The Devil Princess Jilid 1 Bab 1

The Devil Princess Episode 1: Sekarang Aku Adalah Seorang Demon

Penerjemah : Yomi

CAHAYA YANG MENGELILINGIKU TERASA KABUR, BAK mimpi di siang bolong. Mengingatkanku pada pemandangan langit yang kupandang dari bawah air kolam saat kecil dulu. Semua yang kulihat membuatku dipenuhi rasa nostalgia yang samar. Sesaat kemudian pemandangan itu memudar, dan gambarannya berubah. Rasanya seperti menonton salah satu film jadul—hanya satu demi satu gambar buram.

Seorang pria seperti daun musim gugur yang memegang tangan mungilku.

Seorang wanita yang berjalan dengan goyah mengangkatku ke dalam pelukannya.

Seorang gadis dan seorang anak laki-laki masing-masing memegang salah satu tangan mungilku saat kami berjalan bersama.

Di luar jendela mobil, aku dapat melihat sebuah bus yang tampak seperti diambil langsung dari manga, tembok bangunan besar dan toko-toko kecil membentang di sepanjang jalan di belakangnya.

Di luar jendela kereta, aku dapat melihat rel kereta api yang membentang tanpa akhir dan pemandangan kota yang tak berujung.

Gambar-gambar itu terus bermunculan secara berurutan. Aku sudah sedikit lebih besar sekarang, pergi ke sekolah mengenakan seragam yang sama dengan anak-anak lain. Aku belajar dan mengobrol dengan teman-teman di sekolah, Kemudian aku duduk di antara kakak dan adikku di sofa sambil menonton film, lalu aku makan malam bersama orang tuaku setelah mereka pulang kerja.

Segala macam pemandangan melintas di hadapanku, namun gambaran bahagia yang membuatku menitikkan air mata tiba-tiba terhapus oleh warna putih.

Dinding putih. Lantai putih dan seprai putih. Berbaring di tempat tidur putih bersih, satu-satunya yang bisa kulihat hanyalah langit-langit putih.

Dengan lemah kuangkat tanganku yang gemetar. Tubuhku kurus kering bak pohon yang layu.

Lalu berlanjut ke gambar berikutnya. Gambar itu berubah lagi dan lagi, tetapi dunia putihnya tetap sama. Aku bisa mendengar suara bak isak tangis seseorang ketika gambar-gambar itu akhirnya mulai memudar…

Dan duniaku perlahan terisi dengan warna hitam.

 

Aku pun sadar kembali.

Apakah semua itu mimpi? Rasanya begitu familiar… Mimpi tentang Dunia Cahaya yang kini begitu jauh.

Dimana aku…?

Aku tak bisa melihat apa pun; sesuatu seperti kabut tebal menggantung di udara. Rasanya seperti aku memejamkan mata di siang hari—bukan, rasanya seperti mataku memang terpejam. Begitu aku berpikir untuk membuka mata, sebuah tempat tiba-tiba terlihat meskipun aku tak merasa sedang mengangkat kelopak mataku.

Hah? Ada apa ini?

Yang kulihat sekarang bukanlah ruangan putih yang kubayangkan, taman, maupun kota. Yang kulihat hanyalah daratan tandus nan bengkok dan awan gelap yang menggantung tinggi di langit sejauh mata memandang. Cara paling sederhana untuk menggambarkan sekelilingku adalah tanah hitam tak berwarna di bawah langit gelap tak berwarna pula. Di baliknya, hanya ada rerumputan liar. Dunia ini benar-benar kosong.

Bagaimana ya ngejelasinnya..? Seandainya ini seperti manga, dengan angin musim dingin yang meniup daun-daun kering, keadaannya mungkin tidak akan seburuk ini. Sayangnya, tak ada satu pohon pun yang terlihat—bahkan dompet gembala pun tidak ada.

Tapi tunggu dulu. Kita punya masalah yang lebih besar di sini. Maksudku, di mana aku berada itu penting, tapi bagaimana aku bisa melihat semua ini sejak awal?

Aku tidak ingat pernah membuka mata. Ketika aku terpikir untuk melihat ke suatu tempat, aku bisa melihatnya dari segala arah secara bersamaan, seolah-olah aku mengingat tempat itu dari ingatan aku.

Bahkan penampilanku—

Aku menjerit. Tapi aku tidak bersuara sama sekali... Malahan, makhluk itu hanya melompat-lompat, dan aku menyadari bahwa makhluk itu sebenarnya aku.

Oke, serius deh. Tenang dulu. Kenapa? Bagaimana ini bisa terjadi? Apa yang terjadi padaku?! Tubuh ini memang menggeliat, tapi... Kurasa masuk akal kenapa aku tak bisa bersuara—aku kan tidak punya mulut.

Sebenarnya, aku sama sekali tak punya tubuh yang ideal. Saat ini, aku lebih mirip semacam krim puding yang mengkilap.

Apa-apaan ini?

Oke, aku agak lebih tenang sekarang. Kurasa. Mungkin tadi aku cuma syok selama beberapa jam, tapi aku nggak punya rasa waktu, ya siapa yang peduli? Maksudku, mengingat keadaanku sekarang, aku bahkan nggak punya detak jantung, jadi aku bisa tenang dengan cukup cepat.

Beginilah diriku sekarang. Aku cuma perlu menerimanya. Meskipun, sejujurnya… aku nggak ingin menerimanya...

Krim puding mungkin deskripsi yang tepat untuk tubuh baruku. Aku lebih mirip mayones yang terpisah dan tak bisa dikocok kembali. Aku sama sekali tidak terlihat lezat.

Ha ha ha. Itu membuatku ingin tertawa. Tapi aku tidak bisa tertawa. Apa itu berarti aku lebih mirip gas? Atau aku semacam lendir sekarang? Bagaimanapun, setidaknya aku tampak seperti mayones yang dipisahkan.

Mungkin ini cuma mimpi?

Kelanjutan dari mimpi yang baru saja kualami? Dunia Cahaya yang kulihat itu nyata, dan ini hanya mimpi buruk?

Namun kenyataan memang kejam. Sensasi dan informasi yang kutangkap dari dunia luar, ditambah tubuh mayones ini, dengan kejam menegaskan bahwa semua itu nyata. Dan yang lebih menakutkan? Begitu aku mulai menerima kalau ini memang tubuhku sekarang, aku malah tidak merasa aneh lagi. Bahkan bisa rileks.

Apa aku benar-benar bakal..menerima ini? Aku benaran bingung.

Apakah ini salah satunya? Seperti bagaimana pikiran memengaruhi tubuh, tatkala tubuh memengaruhi pikiran?

Intinya, tubuh ini tidak mengalami pasang surut emosi seperti manusia biasa. Aku tidak punya jantung, jadi aku tidak merasakannya berdetak lebih kencang. Aku ragu bisa bernapas, jadi aku tidak bernapas lebih cepat. Aku tidak tahu apakah tubuh ini bisa merasakan sakit, tapi mungkin aku juga tidak akan mengantuk atau lapar.

Aku telah kehilangan sebagian besar hal yang membuat hidup ini berharga…namun aku tidak bisa menangis.

P-pokoknya, meskipun tubuhku kini seperti mayones yang diiris, jati diriku tetap utuh. Aku tetap aku. Bukan siapa-siapa lagi—aku.

Jadi…siapakah aku sebenarnya?

Pikiranku melayang. Aku... tak bisa mengingat namaku. Satu-satunya alasan kesadaranku tetap ada karena aku memiliki ingatan tentang Dunia Cahaya. Tapi aku tak tahu apakah itu ingatan nyata yang kualami sendiri atau bukan. Itu lebih seperti rekaman, film, hanya video dan gambar. Gadis yang kulihat itu mungkin bukan aku.

Namun, aku ragu segumpal mayones palsu di dunia hampa ini mampu bermimpi sedetail itu, jadi mungkin saja aku pernah hidup di dunia itu. Itu hanya kemungkinan, tapi aku ingin punya harapan. Untuk saat ini, aku akan menganggap diriku tanpa nama.

Mungkin aku bisa saja menemukan nama untuk diriku sendiri berdasarkan ingatanku tentang dunia itu, tetapi sesuatu dalam tubuh ini seakan menolak gagasan itu. Nama bukanlah sesuatu yang kau berikan pada dirimu sendiri. Nama diberikan kepadamu oleh orang lain—setidaknya aku masih ingat itu.

Sekalipun aku berada di dunia itu, aku tak ingat siapa namaku di sana. Aku bahkan lupa seperti apa rupa wajahku sendiri. Aku cukup yakin punya keluarga dan teman, tapi aku juga tak ingat nama atau wajah mereka.

Baiklah. Kalau gitu, mari kita lanjutin.

Aku melihat bayangan diriku mengenakan seragam sekolah, jadi mungkin aku seorang siswa? Berdasarkan pengetahuanku, aku mungkin berusia awal remaja, paling tua lima belas tahun. Meskipun, dalam mimpiku, aku...

Aku yakin aku perempuan. Mungkin aku laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan, tapi tak perlu dipikirkan lagi. Aku sudah memakai rok sejak kecil, jadi rasanya cukup aman untuk mengatakan aku perempuan.

Ya. Aku mulai punya gambaran yang jelas tentang seperti apa penampilanku dulu. Kalau begini terus, mungkin aku akan ingat... Hah? Apa warna tubuhku tiba-tiba jadi lebih gelap? Tubuhku yang terpisah dari mayones sekarang terlihat seperti mayones biasa.

Baiklah, aku tak merasa lebih buruk lagi, jadi aku terus mengingat detail mimpiku dan memutuskan siapa aku.

 

Dan begitulah, beberapa waktu berlalu sejak aku menjadi diriku sendiri… kurasa.

Maksudku, di sini tidak ada matahari dan aku tidak pernah mengantuk. Aku tidak punya rasa waktu, jadi aku tidak tahu berapa lama waktu telah berlalu.

Setelah banyak mengingat—dan menambahkan beberapa detail ke lembar karakterku, begitulah—aku merasa sudah cukup memahami diriku sendiri. Setidaknya, begitulah yang kupikirkan.

Namun, meski awalnya aku pikir semua ini baik-baik saja, masalah baru muncul.

Aku sama sekali tidak ada kegiatan apa pun.

Maksudku, jika ini nyata dan aku tidak tahu apa yang terjadi padaku, kau mungkin mengira rasa takut akan menguasaiku, tapi aku tidak merasa gelisah atau bahkan kesal. Aku juga tidak menunjukkan tanda-tanda depresi karena kesepian. Mungkin karena tubuhku sekarang begitu sederhana? Mungkin memang begitulah makhluk seperti ini; mereka mungkin tidak perlu memikirkan hal-hal yang mengganggu seperti itu.

Atau mungkin... karena aku sudah bertahun-tahun berbaring di tempat tidur? Mungkin aku tipe orang yang tidak terlalu memikirkan sesuatu? Aku sungguh berharap itu tidak benar.

Ya. Gadis dalam mimpiku terkurung di tempat tidurnya. Kalau dipikir-pikir lagi, mungkin aku sudah mati dan sekarang aku berada di Neraka. Namun, jika ini memang neraka, rasanya tidak terlalu menyiksa, baik secara fisik maupun mental.

Ada desas-desus bahwa ini hanya mimpi, persis seperti dugaanku sebelumnya. Tentu saja, akulah yang memulai desas-desus penuh harapan itu.

Yang dapat kulakukan hanyalah duduk diam.

Jauh di sana, benda itu melompat lagi.

Tadinya kukatakan tidak ada apa-apa di sini, tapi setelah cukup tenang, aku menyadari ada makhluk di dekat sini yang tampak seperti serangga kecil. Kelihatannya seperti serangga, tapi ternyata bukan serangga. Aku tidak punya dasar perbandingan, tapi makhluk itu kecil dan bergerak seperti serangga, jadi kuputuskan untuk menyebutnya begitu.

Mungkin ia sudah ada di sini sejak tadi, dan aku hanya terlalu bingung hingga tak menyadarinya. Kini setelah aku kembali tenang dan indra penglihatan, pendengaran, dan penciumanku berfungsi dengan baik, ia akhirnya menarik perhatianku. Atau mungkin karena aku tak bergerak sejak aku tersadar di tubuh ini, ia menganggapku bukan ancaman dan aman untuk menampakkan diri. Sejujurnya, karena aku mengira benar-benar sendirian, mengetahui ada sesuatu lain di sini yang bisa bergerak membuatku merasa jauh lebih baik.

Ketika aku perhatikan lebih dekat, ia ternyata cukup lucu. Ia sama sekali tidak terlihat seperti serangga. Ia adalah makhluk aneh yang lebih mirip setetes kabut. Karena aku tidak melakukan apa-apa, ia cukup dekat sehingga aku bisa mengamatinya.

Pukul!

…Aku benar-benar tidak menyangka hal itu. Begitu benda itu hampir mengenai aku, sebagian dari diri aku langsung menyerang dengan kecepatan yang mengejutkan untuk menghajar serangga itu.

Ahhh! Apa yang kulakukan?

Tapi, waktu aku lihat serangga itu, aku merasa seperti tertarik padanya. Kenapa tiba-tiba aku remas seperti itu? Apa aku jadi kucing sekarang?! Reaksiku persis seperti kucing kalau ada yang melambaikan mainan ke arahnya.

Tapi tunggu dulu... Apa-apaan ini...?

Pasti ada semacam makhluk mirip serangga di sini sebelum aku pergi dan memukulnya. Namun, ketika aku memukulnya, makhluk itu menghilang seperti kabut, meninggalkan semacam aroma bunga yang manis.

Aneh sekali. Aku tak tahu kenapa serangga bisa mengeluarkan bau seperti itu. Namun, entah kenapa, baunya membuatku merasa sedikit kenyang, meskipun tubuhku belum pernah merasa lapar sebelumnya.

Itu membuatku teringat bagaimana dalam mimpiku, saat aku masih muda, aku menghisap nektar dari sekuntum bunga kecil.

Berkedut… Berkedut…

Tubuhku dipenuhi sensasi menginginkan sesuatu untuk pertama kalinya.

Tubuhku yang seperti mayones mulai gemetar karena rangsangan dan kegembiraan saat menghirup aroma manis serangga mati yang beberapa saat sebelumnya membuatku nyaman. Terpacu oleh sensasi itu, aku mulai menjelajahi area itu.

Bagaimana mungkin aku menggerakkan tubuh ini...? Kupikir aku punya kekuatan fisik, berdasarkan bagaimana aku bisa mengenai serangga itu, dan kukira mobilitasku akan seperti merangkak. Namun, aku malah mulai melayang ke arah yang kuinginkan.

Mungkin karena aku terlalu bebal—ah, nggak mungkin. Pasti ada penjelasan lain.

Bagaimanapun, aku bisa bergerak secepat aku menyentuh serangga itu, dan aku melayang di atas tanah. Namun, aku tidak bisa terbang ke udara, yang cukup mengecewakan.

Oh, aku nemu serangga lagi.

Sejujurnya, aku merasa agak kesepian, jadi aku bertanya-tanya apakah aku bisa memelihara yang ini. Namun…

Pukul!

Aku langsung melompat begitu melihatnya. Aku benar-benar kayak kucing. Kurangnya pengendalian diri yang kumiliki sungguh menyedihkan. Tapi aku tak bisa menahan diri. Ada sesuatu dalam aroma manis itu yang membuatku tak bisa menolaknya. Lagipula, aku kan perempuan. Bagaimanapun, ini salah serangga itu karena melompat seperti itu dan merangsang naluri berburuku yang murni seperti kucing.

Apakah keadaanku sedang berubah drastis? Atau apakah jiwaku sendiri sedang tercemar? Aku tak suka memikirkan hal itu, tetapi aku harus bersikap praktis dalam menerima bahwa tindakan-tindakan ini diperlukan untuk hidup di tubuh ini dan di dunia ini.

Lagipula, ingatanku akan mimpi itu tidak sempurna, jadi versi diriku yang kubangun sendiri pun tidak sempurna. Jika aku bisa melengkapi bagian-bagian puzzle yang hilang dengan diriku yang sekarang, aku harusnya bisa jadi diriku yang sebenarnya—atau begitulah pikirku.

Hmm? Serangga yang pertama punya aroma bunga, tapi yang ini …lebih ke aroma buah.

Berkedut… Berkedut…

Mungkin aku harus berburu lagi? Oke. Ayo kita lakukan. Dan bukan karena aku nyerah sama seleraku. Aku melakukan ini cuma memuaskan rasa penasaranku.

Mulai saat itu, aku memutuskan untuk berburu serangga demi mengisi waktu.

~Bukan karena aku pengin camilan, oke?! [TL: pake nada tsundere, ngena banget asli wkwk]

 

Mari kita lihat…

Pukul, pukul.

Wah, masih ada lagi!

Pukul, pukul, pukul.

Sejak saat itu, aku menghabiskan beberapa hari berburu dan membasmi serangga. Mmm, setiap serangga mengeluarkan aroma yang harum. Tentu saja, aromanya jauh lebih lembut dibandingkan dengan manisnya Dunia Cahaya itu, tetapi mereka cukup memuaskan naluri berburuku yang kayak kucing, jadi aromanya lebih seperti pelengkap.

Aku tidak benar-benar senang membunuh serangga atau hewan kecil; aku hanya tidak merasa terlalu buruk, karena mereka menghilang begitu saja saat aku menghancurkan mereka. Mungkin, berburu makhluk itu sendiri terasa nikmat. Bisa jadi berburu sesuatu yang lebih besar dan lebih hidup akan lebih nikmat lagi, meskipun aku tidak sepenuhnya yakin.

Ketika aku meninggalkan titik awal, aku menemukan ada makhluk-makhluk yang lebih besar yang tampak seperti tikus. Mereka jauh lebih berhati-hati daripada serangga dan tidak berani mendekatiku. Mereka juga cepat melarikan diri.

Mungkin aku bisa menjadikan salah satu dari mereka sebagai hewan peliharaanku?

Pukul!

Mungkin tidak.

Rasanya enak sekali. Seperti ceri atau stroberi.

 

Saat aku menjalani cara sederhana ini, tubuh aku berubah.

Dan bukan berarti aku gemuk karena terlalu banyak ngemil. Warna kuning tuaku menjadi lebih cerah, seperti telur segar dari ayam kampung dan puding mahal yang terbuat dari krim kental. Tubuhku yang seperti mayones terpisah perlahan mengeras menjadi flan—atau slime, tapi bukan jenis yang kenyal dan menggemaskan seperti yang kau bayangkan. Lebih seperti krim puding yang dibuang ke lantai.

Mengapa juga aku terus bandingin diriku dengan makanan…?

Bagaimanapun, meski aku senang memakai warna yang lebih dingin, itu tidaklah cukup.

Apakah ini berarti aku sedang tumbuh?

Meskipun aku sudah menjadi begitu berat hingga aku tidak bisa mengapung lagi?

Tunggu, apa ini artinya aku benar-benar gemuk? Apa aku cuma gemuk sekarang?!

Sekarang setelah aku menjadi lebih padat dan lebih seperti puding mahal, mungkin aku benar-benar terasa seperti puding, seperti bagaimana serangga itu memiliki segala macam rasa yang berbeda?

Mungkin aku terlihat lezat di mata makhluk lain?

Begitu pikiran itu terlintas di kepalaku, aku berhadapan dengan makhluk yang belum pernah kulihat sebelumnya.

“Kreee!”

Aku hanya bisa menatapnya.

Itu besar sekali!

Itu monyet. Atau setidaknya terlihat kayak monyet. Apa kita melewatkan beberapa level?! Biasanya, kita akan bertemu slime sepertiku selanjutnya!

Tapi mungkinkah tak ada makhluk lain sepertiku di sini karena monyet yang lebih berevolusi ini telah memburu mereka semua? Atau mungkin seekor slime telah menjadi kanibal lalu berevolusi menjadi monyet ini. Itu tebakan terbaikku. Mungkin aku juga berevolusi dari salah satu serangga kecil itu, lalu aku mengembangkan kesadaran dan menjadi diriku sendiri.

Yang berarti monyet ini kedudukannya lebih tinggi dalam urutan kekuasaan dibanding aku.

Monyet ini tidak sebesar simpanse; lebih mirip lemur hitam atau primata kecil lainnya. Ia tampak lebih kecil dari aku, tapi aku merasa tubuhnya jauh lebih padat daripada tubuhku.

"Kreee!"

Monyet itu punya bekas luka merah terang di dahinya dan menyeringai seperti manusia. Aku agak takut.

Wah… Nyeremin sekali.

Tapi kengerian itu membantuku tetap tenang. Memang mengejutkanku, tapi meskipun monyet itu lebih berevolusi, aku tetap sama pekanya.

Hmm, apa yang harus kulakuin? Bisakah aku melawannya? Bisakah aku menghajarnya sekuat tenaga kayak serangga? Sekarang setelah aku tenang, makhluk itu nggak lagi terasa menakutkan, meskipun nyeremin, tapi aku nggak yakin bisa melawannya.

Ahhh… Tapi monyet itu… kelihatannya lezat sekali…

“Kreee…”

Seolah merasakan ada sesuatu yang berubah pada diriku, monyet itu berhenti tersenyum dan mengambil sikap lebih waspada.

Bahkan aku bisa merasakan tubuhku menjadi lebih gelap.

Kalau begitu, mari kita mulai?

Aku akan melahapmu tanpa menyisakan sedikit pun…

Monyet itu tampak hendak menerkamku, jadi aku meregangkan tubuhku yang kenyal untuk menguatkan diri.

Namun…

Hah?!

“Kreeee?!”

Baik monyet maupun aku melompat mundur bersamaan.

Apa yang terjadi?! Sekeliling kami tiba-tiba dipenuhi aura hitam, seperti aspal batu bara yang lengket. Sensasinya begitu kuat sampai-sampai kupikir tubuhku yang terbuat dari puding akan hancur.

Oh, tunggu. Hei, monyet! Jangan lari-lari sendirian! Badanku berat banget sekarang, aku nggak bisa gerak secepat itu!

Aku berpikir untuk melarikan diri, tapi aku tidak bisa.

Di dekatnya, berdiri di atas dinding batu yang agak tinggi, seekor macan kumbang raksasa berdiri dengan gagah berani namun tanpa ragu menunjukkan keganasannya, bulunya hitam pekat.

Alih-alih terintimidasi, aku justru terpikat oleh keindahannya dan akhirnya menatap binatang itu dengan rasa takjub.

Kalau dibandingkan dengan ukuran monyet, aku sendiri seukuran kucing besar. Namun, macan kumbang ini sepertinya bahkan lebih besar dari gajah. Dan warnanya hitam legam sekali... Aku menyadari bahwa "bersemangat" bukanlah kata yang biasa digunakan untuk menggambarkan warna hitam, tetapi hanya itu satu-satunya kata yang terlintas di benak aku.

Ekor bercabang makhluk itu lebih panjang dari tubuhnya, dan ia melesat seperti cambuk. Batu di bawahnya diremukkan oleh cakar peraknya saat ia menatapku dengan mata perak. Itulah pertama kalinya aku bertemu makhluk cerdas lain di dunia ini.

Aku sadar aku... takut. Itu pertama kalinya aku benar-benar merasa takut sejak aku sadar di dunia ini.

Tapi aku tak bisa berhenti menatap macan kumbang itu. Aku bahkan tak peduli. Aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari makhluk luar biasa ini.

Ooh… aku benar-benar… ingin mengelusnya. Aku sangat ingin mengelusnya. Aku hanya tahu ia akan terasa begitu lembut dan halus. Dadanya pasti akan terasa empuk dan lembut. Ooooh! Pasti rasanya luar biasa!

"Hei." Saat ia menatapku, aura ganas macan kumbang itu memudar. Dengan gestur yang sangat manusiawi, ia menundukkan kepalanya dengan rasa ingin tahu. "Kenapa kau tidak takut padaku?"

Hm?! Itu tadi suara.

Apa yang aku dengar secara harfiah adalah geraman macan kumbang, tetapi dalam pikiran aku, itu menjadi kata-kata nyata yang bermakna bagiku.

Sekuat apa pun aku berusaha, aku tak bisa menjawab. Aku sangat terkejut mendengar kata-kata cerdas untuk pertama kalinya di dunia ini.

Suara macan kumbang itu ternyata bagus—berat, seperti suara pria baruh baya. Mungkin seperti pria berusia awal tiga puluhan. Terus terang, aku sangat menyukai suaranya, jadi aku mencoba melompat-lompat untuk menyampaikannya. Meskipun aku tidak bisa bersuara, aku merasa setidaknya macan kumbang itu memahami antusiasme aku.

Macan kumbang itu menatapku dengan tatapan terkejut, meskipun aku seekor macan kumbang. "Kau mengerti maksudku?"

Aku ingin mengangguk namun tak bisa, jadi aku mencoba untuk mengekspresikan diriku dengan seluruh tubuhku ketika macan kumbang itu tiba-tiba menjepitku dengan kaki depannya yang besar.

"Apa yang kita miliki di sini? Seperti dugaanku—kau tidak menghilang. Kau pasti punya jati diri yang kuat di sana."

Apa?! Kalau aku nggak bisa membentuk jati diri, apa aku bakalan dimakan cuma karena diinjak-injak?! Aku sempat berpikir gitu, tapi... Wah, aku lolos dari maut.

Saat aku gemetar memikirkan hal itu, aku bisa merasakannya tersenyum tipis. "Tidak perlu takut. Atau kau marah?"

Aku tidak benar-benar marah, tapi semua ini agak sulit diterima, tahu? Macan kumbang itu sepertinya mengerti ketika ia melepaskan kaki depannya dan mendekatkan wajahnya untuk menatapku.

"Tenang saja. Aku tidak berencana menyakitimu lagi. Tapi ada sesuatu yang tidak kumengerti—kenapa kau masih punya bentuk seperti itu?"

Hm?

Kenapa? Bukannya aku mengubah diriku menjadi sesuatu yang tampak lezat karena aku ingin terlihat seperti ini. Dengan tubuhku yang menggoda dan berbalut krim puding, aku berusaha menampilkannya sebaik mungkin.

Hebatnya, macan kumbang itu mengerti dan menjelaskan dengan nada kesal, "Seseorang semaju dirimu seharusnya berevolusi secara alami menjadi tubuh yang lebih mudah bergerak, karena tubuhmu lebih padat dan berat. Seperti makhluk yang kau lawan, misalnya. Biasanya, itulah titik di mana makhluk mengembangkan rasa dirinya, tetapi kau tampaknya kasus yang unik. Aku berencana memakan siapa pun yang memenangkan pertengkaran kecilmu, tetapi ternyata aku menemukan sesuatu yang lebih menarik."

Aduh, aku benaran beruntung. Dia pasti udah memakanku, bahkan jika aku ngalahin si monyet itu.

"Biasanya, kau berevolusi berdasarkan naluri. Kurasa, karena rasa percaya dirimu yang kuat, kau merasa puas dengan wujudmu saat ini? Tapi, jika kau tidak membentuk kembali tubuhmu, kau takkan bisa melarikan diri jika bertemu makhluk yang lebih kuat. Kurasa stagnasi ini hanyalah akibat dari memiliki jiwa yang kuat, tapi jangan khawatir, tidak semuanya buruk."

Aku masih bingung.

“Karena kau sudah punya jati diri, seharusnya mudah bagimu untuk membentuk tubuh yang cukup kuat. Berevolusi berdasarkan naluri, mudah bagi kebanyakan orang untuk berubah menjadi salah satu tipe monyet itu. Mereka tidak lemah, tetapi kemampuan mereka rata-rata. Kau butuh keberuntungan jika ingin menjadi makhluk yang lebih kuat. Anggap dirimu beruntung karena bertemu denganku lebih dulu.”

Dia tidak salah. Aku mungkin akan mati seandainya bertemu makhluk lain yang lebih kuat dariku.

"Coba berevolusi. Aku akan mengawasi."

Dia ternyata sangat baik. Aku punya banyak pertanyaan tentang dia, diriku sendiri, dan semua yang ada di sini, tapi kebaikannya saja membuatku lebih mudah menerima kenyataan pahit ini, jadi aku memutuskan untuk fokus pada perkembangan diri.

Aku ingin menjadi apa? Aku pernah berevolusi berdasarkan keinginanku saat itu, jadi aku harus memikirkannya matang-matang. Namun, sejak awal aku sudah memutuskan jalan mana yang akan kutempuh.

Aku membuat tubuhku lembut dan lentur agar bisa melakukan itu, tetapi dia tiba-tiba menginjakku dengan kekuatan besar.

“Kau mencoba menghinaku?”

Apa?!

"Kau gak bisa langsung punya wujud humanoid. Berhenti main-main di sini."

Dia begitu mengintimidasi sampai-sampai aku ingin menangis. Padahal aku tidak bisa.

Tentu saja, Dunia Cahaya itu istimewa bagiku, jadi aku sangat ingin menjadi manusia. Sulit rasanya berubah menjadi wujud lain setelah hatimu menetap pada satu bentuk. Itulah sebabnya aku mencoba menjadi manusia. Tapi menurutnya, itu sama saja dengan bunuh diri.

“Bodoh sekali memilih humanoid sejak awal.”

Humanoid itu lemah. Masuk akal kalau dipikir-pikir. Jika manusia dan hewan karnivora seukurannya berkelahi, biasanya hewan itu yang menang. Manusia hanya kuat karena mereka berkelompok dan membuat senjata.

Namun, asumsi seperti itu tidak ada artinya di dunia ini. Karena itulah, jika aku ingin menjadi lebih kuat, aku harus menjadi binatang seperti dia atau serangga. Dia bilang kalau aku sangat menginginkan lengan dan kaki, aku bisa berkompromi dengan menjadi monyet biasa.

Bahkan berevolusi menjadi monyet biasa pun akan memberiku peningkatan kekuatan yang signifikan. Aku cukup yakin gorila juga bisa mengalahkan karnivora. Namun, apakah aku bisa berevolusi sejauh itu atau tidak, itu semua soal keberuntungan.

Beberapa makhluk memiliki tanduk dan sisik. Dia bilang aku juga bisa mencoba meningkatkan serangan atau pertahananku dengan mendapatkan salah satunya. Namun, dia tidak bertanduk atau bersisik. Menurutku, menjadi seperti dia dan tidak bertanduk atau bersisik terlihat lebih cantik dan keren. Dia sepertinya mengerti apa yang kupikirkan, dilihat dari seringainya.

"Semakin lemah makhluk itu, semakin mereka mempercantik diri. Cakar dan taring saja sudah cukup bagiku."

Oooo… Dia sangat keren.

Dia juga bercerita bahwa ada kasus di mana suatu makhluk berubah menjadi humanoid setelah menjadi sangat kuat—cukup kuat untuk menjadi bos wilayah mereka. Macan kumbang hitam itu mungkin juga bisa menjadi humanoid jika dia mau, tetapi berdasarkan ceritanya, aku rasa dia bangga dengan wujudnya saat ini.

Jadi, kembali ke topik tentang apa yang kuputuskan untuk berevolusi. Kupikir aku hampir tidak mungkin berevolusi menjadi sesuatu seperti manusia buas bertelinga kucing, tapi aku mungkin akan lemah dan aku punya firasat bahwa, berdasarkan ukuranku saat ini, aku hanya akan bisa berevolusi menjadi anak-anak.

Mungkin aku harus pilih bentuk binatang kayak dia? Aku terus aja ngomongin kucing, jadi mungkin aku memang sebaiknya njadi kucing. Pasti menyenangkan kalau bisa mirip dia.

“Sudah memutuskan sekarang?”

Aku mulai bergerak lagi, jadi dia mengalihkan perhatiannya kembali kepadaku. Dia dengan sabar menunggu aku memutuskan. Dia tetap sekuat dulu, tapi aku tak takut lagi padanya.

"Kalau begitu, mulailah. Yang penting adalah fokus memproyeksikan ke dalam dirimu sendiri makhluk seperti apa yang ingin kau jadikan dan kekuatan seperti apa yang ingin kau miliki."

Dimengerti! Aku melompat menanggapi sambil mulai menguatkan citra diriku.

Aku membayangkan kucing yang ramping, keren, dan cantik. Aku suka bulunya yang halus, tapi aku juga suka bulu pendek. Aku tidak suka bulunya rontok.

Berhenti. Aku harus fokus pada penampilan yang kuinginkan. Cantik dan imut itu penting. Aku juga suka anjing, tapi aku yang begitu lemah dalam mimpi itu selalu merasa capek tiap kali ada anjing di sekitar dan mereka selalu kelihatan pengin main terus.

Aduh, aku teralihkan lagi. Harus membayangkan seperti apa penampilanku nanti... Aku ingin berlari cepat menembus kegelapan dan tampil keren dengan mengalahkan musuh-musuhku kayak ninja dengan cakar dan taringku.

Sesuatu yang bisa terbang lincah di tanah... Hmm? Terbang? Jadi burung kayaknya seru. Elang memang keren. Kurasa hanya alap-alap yang cepat? Tapi kita butuh lebih dari sekadar kecepatan untuk bertahan hidup. Setidaknya, itulah yang kurasakan. Sesuatu yang bisa terbang cepat tanpa menabrak apa pun, bahkan di dalam gua...

Enggak, enggak, enggak! Bukan terbang! Aku maunya jadi kucing—kucing! Aku kucing. Kucing. Kucing. Kucing. Aku kucing. Anak kucing yang cantik nan imut...

 

"Apa-apaan itu?"

"Aku bingung harus bilang apa." Aku berhasil! Aku sudah berevolusi dan bisa bicara sekarang. Tapi meskipun aku sangat gembira, ekspresinya jelas muram, meskipun dia seekor macan kumbang.

Ketika evolusiku selesai, aku menjadi seekor kucing.

Penampilanku persis seperti yang kubayangkan: aku yang cantik nan imut. Bahkan aku pengin memuji diriku sendiri.

Namun, meskipun aku seekor kucing, aku telah menjadi anak kucing yang sangat kecil—dan sayap kelelawar kecil di punggungku sangat imut. Warna kulitku yang seperti krim puding  kini menjadi emas yang indah. Mataku yang bulat dan imut tampak seperti batu rubi. Cakar dan taringku berwarna merah cerah dan berkilau seperti batu permata bening—yang jelas-jelas hidup.

Kini aku bagaikan permata dunia. Seekor anak kucing yang begitu menggemaskan hingga aku yang ada di dunia mimpi pasti ingin merawat dan memelukku sepanjang hari.

“Bagaimana rencanamu untuk bertarung seperti ini?”

“Eh, eh…”

Aduh. Dia marah. Kenapa? Yah, aku bisa menebaknya.

Dia marah karena aku bodoh. Bahkan aku sendiri tahu aku bodoh. Ini bukan cara yang tepat untuk bertahan hidup di dunia di mana yang kuat memangsa yang lemah.

"Hah... ha..." Aku tak kuasa menahan tawa, berusaha meredakan suasana. Dia hanya menatapku dengan tatapan dingin yang mengejutkan.

Apakah dia sudah kehilangan niat baiknya padaku? Ah, sudah cukup aku bertemu seseorang yang bisa kuajak bicara.

Aku suka suaranya, dan aku sangat berharap dia mengizinkanku mengelusnya. Aku tahu sekarang aku punya bulu sendiri, tapi ini berbeda.

Dia terus menatap dalam diam.

Aku mulai tertatih-tatih menghampirinya dengan kaki-kaki mungilku dan terjatuh di tengah jalan. Teringat aku kini punya sayap kelelawar, aku mencoba mengepakkannya dan mengangkat tubuhku ke udara sebelum jatuh terduduk lagi.

Kini, kami berdua tenggelam dalam keheningan.

Aku bingung harus berbuat apa dengan betapa canggungnya keadaan saat ini. Saat itulah dia mendesah keras dan mendekat, memamerkan taringnya.

"Eek?!"

A-apa dia akan memakanku?!

“Jangan bergerak.”

Chomp. Dia mulai berjalan, menggigitku seperti ayah kucing.

Dibandingkan dengannya, aku lebih mirip hamster yang dimangsa karnivora besar. Apa yang dia lakukan?

“Uhhhh?”

"Aku tidak ingin memakanmu. Sudah lama sejak terakhir kali aku punya teman bicara yang cerdas. Itu saja. Ini akan merepotkan, tapi aku akan membesarkanmu sampai aku bosan denganmu. Kau seharusnya bahagia."

"Oke…"

Dulu aku kesepian dan menginginkan seekor binatang peliharaan, sekarang aku menjadi binatang peliharaannya, dan kami berdua pun memulai hidup bersama.

Namun, dalam pikiranku, aku adalah seorang gadis. Dan meskipun dia seekor macan kumbang hitam, dia juga seorang pria dengan suara merdu. Membayangkan menjadi peliharaannya membuatku sedikit malu.

"Kau tidak memikirkan hal aneh-aneh, kan?" tanyanya.

"T-tentu saja gak. Ooooh, ya, jadi bolehkah aku bertanya sesuatu?"

"Ada apa?" Dia terdengar curiga, tapi dia tetap menjawabku.

Area yang kumasuki ini sebenarnya adalah wilayah kekuasaannya, tapi bukan "sarangnya". Karena kami tidak perlu tidur atau makan, dia tidak perlu mencari tempat aman untuk dirinya sendiri.

Namun, dengan tubuh kucingku yang lemah dan sebagainya, aku memang menginginkan tempat yang aman. Bukan berarti ada yang lebih kuat dariku yang berani menyerang karena takut padanya.

“Di mana tepatnya kita berada?”

Yang dia lakukan hanyalah tersenyum tipis menanggapi pertanyaanku yang samar nan bodoh itu, sambil mencoba menebak apa maksudku sebenarnya. "Kurasa yang kau maksud bukan wilayahku, tapi dunia ini sendiri?"

"Ya."

"Pertanyaan yang aneh. Kau tidak dipanggil sebelumnya? Bukankah begitu caramu memperoleh bahasa dan pengetahuan?"

"'Dipanggil'? Tidak, kurasa aku baru saja lahir."

"Apa?" Dia terdengar terkejut, jadi aku mulai bercerita tentang diriku.

Karena dia tahu tentang humanoid dan manusia, kupikir dia mungkin juga tahu tentang Dunia Cahaya dari mimpiku. Aku sudah menduga ini mungkin dunia yang sama sekali berbeda, tapi aku sungguh tidak ingin itu terjadi.

“Kenangan mimpi? Jiwa-jiwa yang dibawa ke dunia ini hancur dan kehilangan pengetahuan yang mereka miliki. Aku tidak yakin apakah kau lahir dari kumpulan pengetahuan atau kau hanya mengingatnya, begitukah.”

Aku terdiam.

Tunggu jadi ini artinya, ada kemungkinan aku sebenarnya bukan gadis seperti yang kupikir…

Bagaimanapun, gambaran seekor macan kumbang hitam raksasa dan seekor anak kucing emas yang berbicara dengan nada serius satu sama lain agak surealis.

Aku merasa mungkin aku tidak menanggapi serius situasi ini sebagaimana mestinya, tetapi aku hanya bisa menjadi diri aku sendiri, Akibatnya, aku justru lebih terganggu oleh kekhawatiran-kekhawatiran kecil yang sebenarnya tidak terlalu penting.

Kalau dipikir-pikir, aku heran betapa mudahnya dia menerima semua ini. Aku yakin sebagian alasannya karena kecerdasannya, tapi aku juga merasa orang sekuat dia tidak mempermasalahkan hal-hal kecil.

"Adapun dunia ini, ia memiliki banyak nama yang berbeda. Hanya ras tertua yang dapat memahami kebenarannya."

Oke, tapi aku tidak meminta sesuatu yang teknis.

"Manusia punya satu istilah untuk dunia ini. Mereka menyebutnya Dunia Ethereal."

“Dunia Ethereal?”

“Di sini, aku akan menjelaskannya dengan cara yang bisa Kau pahami.”

~Arigatou gozaimasu

Pada dasarnya, tempat di mana manusia, hewan, dan makhluk hidup lainnya hidup disebut Dunia Material, dan tempat ini—tempat yang dipenuhi jiwa-jiwa berkemauan keras—disebut Dunia Ethereal.

"Lihat ke Atas."

"Ke atas?"

Aku mendongak seperti yang dilakukannya, melihat langit di atas sana tertutupi oleh awan gelap berkabut seperti biasa.

"Itu bukan langit. Itu dinding pembatas. Dunia Ethereal terbagi menjadi beberapa lapisan. Di atas sana ada lapisan yang disebut Alam Peri."

Mendengarnya memang mengejutkan, tapi aku tidak bingung.

Atau mungkin lebih masuk akal untuk mengatakan bahwa aku perlahan-lahan memahami maksudnya. Dalam mimpi itu, ketika aku terjebak di tempat tidur, orang-orang yang aku kira adalah saudara laki-laki dan perempuan aku telah membacakan berbagai macam cerita fantasi dan mitos kepadaku.

“Apakah ada Surga juga?”

"Surga? Belum pernah dengar yang seperti itu, tapi level tertinggi Dunia Ethereal disebut Alam Elemental. Di sanalah para makhluk yang mengumpulkan jiwa dan menyebarkannya ke seluruh dunia tinggal."

Jadi, mungkin unsur-unsur ini tuh lebih mirip sama bayanganku soal dewa dan malaikat, ya? Kalau gitu...

"Hey…"

"Ya?"

"Lalu, di mana kita? Bagian mana dari Dunia Ethereal ini? Gak, tunggu—apa sebutan manusia untuk kita?"

“Hmm, kurasa manusia memanggil kami demons.”

“Aku takut akan hal itu.”

Entah bagaimana, aku sudah menduganya!

Aku lebih suka menjadi elemen gelap atau semacamnya, tapi kenyataan tidak sebaik itu. Apa aku benar-benar melakukan sesuatu yang cukup buruk sampai pantas disebut demon?

Mereka menyebut tempat kita berada sekarang ini Alam Demon. Lapisan terendah dari Dunia Ethereal adalah Abyss. Hanya jiwa-jiwa yang rusak dan telah diusir dari semua dunia lain yang jatuh ke dalam Abyss. Jiwa-jiwa yang tidak dapat dimurnikan, bahkan setelah dihancurkan, kemudian muncul di Alam Demon dan berubah menjadi demons.

Aku tidak mendapat jawaban.

Maksudku… kamu beneran tega ngasih aku gangguan mental seberat itu?

Dan begitulah, aku menyadari bahwa diriku adalah seorang demon. Tapi untungnya aku sekarang memahami diriku sendiri—atau setidaknya, itulah yang kuputuskan.

“Pertama, kita perlu melakukan sesuatu terhadap bentuk tidak efektif yang telah Kau ambil.”

“Tapi itu lucu, kan?”

“Dan bagaimana tepatnya kau berniat untuk bertahan hidup?”

Bercanda, dia menggigitku. Aku takut gigita saja sudah cukup untuk membunuhku, jadi aku berharap dia tidak melakukannya.

“Jangan jatuh sekarang,” dia memperingatkan.

"Oke."

Karena aku belum bisa berburu sendiri, dia akan pergi berburu untukku.

Kali ini, alih-alih menunggangi mulutnya, aku menunggangi kepalanya seperti rambut palsu pirang. Tapi aku tak bisa menancapkan cakarku padanya kalau aku mau jatuh, karena aku yakin dia akan menggigitku lagi kalau aku melakukannya.

Dia itu lumayan baik untuk ukuran demon, pikirku, tapi aku benar-benar menyadari betapa demon dia sebenarnya dari betapa kejamnya dia membunuh setiap makhluk lendir—makhluk sepertiku dulu—yang kami temui dan mencabik-cabik semua monyet mini itu dengan cakarnya.

Aku tidak begitu yakin dengan slime-slime itu, tapi aku bisa merasakan ada rasa percaya diri dalam monyet-monyet mini itu dari tatapan mereka yang penuh ketakutan saat dia mencabik-cabik mereka.

Ngomong-ngomong, monyet mini itu rasanya seperti apel dan anggur. Enak banget.

“Apa ini akan membuatku lebih kuat?”

"Aku cukup yakin kau seharusnya bisa berburu sendiri jika kita terus begini. Meskipun kupikir kau berhasil menjadi lebih kuat sendirian."

"Hah? Bagaimana?"

“Kekuatan demon bergantung pada dirinya sendiri. Kau sudah memiliki rasa diri sejak awal, jadi berkat semua kebiasaan makanmu yang kejam, aku yakin kau seharusnya sudah bisa menangani monyet-monyet kecil dan sejenisnya sendirian.”

"Kejam?"

Apa gak ada cara yang lebih baik untuk menjelaskannya? Yang kulakukan hanyalah sedikit kehilangan kendali atas nafsu makanku...

Kurasa aku tak cukup kuat untuk melawan monyet-monyet kecil itu, dan monyet yang berbekas luka itu agak lebih besar daripada yang lain. Tetap saja, semuanya jadi agak membingungkan.

“Katakan, Tuan Black Panther, siapa namamu—?”

"'Black Panther'?" selanya. "Jangan panggil aku begitu. Kita demons tidak bernama sejak lahir. Jika demons mulai saling memberi nama, itu akan menyangkal keberadaan kita dan melemahkan kita."

"Benaran?"

Pada dasarnya, tak satu pun penghuni Dunia Ethereal punya nama. Seperti katanya, memberi demon nama kepada demon lain adalah tindakan ofensif yang mengingkari keberadaan mereka. Kurasa inilah alasan aku juga tak bisa memberi nama pada diriku sendiri.

Ada beberapa makhluk bernama demons yang tinggal di Alam Demon. Mereka dipanggil ke Dunia Material, entah melalui pemanggilan atau metode lain, dan diberi nama oleh orang-orang dari spesies lain.

Penghuni Dunia Material dapat memberi nama kepada demon. Demon yang diurapi dengan nama-nama ini kemudian menjadi lebih kuat, karena mereka memiliki kesadaran diri yang lebih kuat.

Namun, ada juga kekurangannya: Manusia yang rapuh hanya bisa menamai demon jika lebih lemah dari orang yang memanggilnya. Dengan menamai mereka, jiwa mereka akan terhubung, dan jika keadaan memburuk, salah satu dari mereka mungkin secara tidak sengaja menggunakan yang lain hingga mati.

Bahkan ada insiden di mana seorang manusia mencoba memberi nama secara paksa kepada demon yang kuat, lalu jiwanya hancur. Kedengarannya memang menakutkan.

Seseorang sekuat rekanku mustahil diberi nama oleh makhluk dari Dunia Material. Mungkin salah satu naga terkuat pun bisa? Apakah naga memang ada? Bagaimanapun, mungkin orang seperti itu bisa memberinya nama, tetapi mayoritas makhluk seperti itu memandang demons dengan permusuhan, jadi dia bilang itu tidak akan terjadi.

“Kalau begitu, aku harus memanggilmu apa?”

“Kami tak punya nama, tapi kami punya gelar dan spesies. Panggilan kami berbeda-beda, tergantung warna bulu atau sisik kami dan tempat tinggal kami. Makhluk lain memanggilku 'Si Dark Beast.'”

“Dark Beast?”

“Aku satu-satunya di spesiesku, jadi begitulah caramu menyebutku.”

"Si Dark Beast"? Aku sebenarnya nggak terlalu suka itu, jadi mungkin aku akan tetap memanggilnya "dia" saja. Berdasarkan apa yang dia katakan, sepertinya mereka lebih tertarik pada gelar taksonomi daripada spesies. Kurasa tidak masalah jika dia satu-satunya.

Namun perlu dicatat, bahwa ia terus memanggil semua monyet mini demons hanya dengan sebutan “monyet.”

“Baiklah, Tuan Dark Beast. Gimana denganku?”

Sungguh menyebalkan bahwa demons juga tidak bisa memberi nama pada diri mereka sendiri.

“Lupakan soal ‘Tuan.’ Panggil aku apa saja.”

"Oke. Terus gimana denganku?"

"Spesiesmu? Hmm, kau memang jenis yang tidak biasa."

Ternyata binatang seperti kami itu tidak biasa. Sampai aku berevolusi, dia berasumsi aku akan menjadi seperti monyet, meskipun aku cerdas. Jahat sekali.

Nama “Dark Beast” untuk spesiesnya awalnya berasal dari makhluk cerdas selama jangka waktu yang panjang setelah mereka memanggilnya seperti itu.

"Baiklah, aku sudah memutuskan. Karena spesiesmu mirip dengan spesiesku, kami akan memanggilmu 'Si Golden Beast.'"

"Uh, Makasih."

Golden Beast karena aku kucing emas? Ya, tentu saja, terserah.

Tapi aku tidak mengatakannya keras-keras. Wajahnya begitu penuh kemenangan, dan aku hanya bisa mendesah pelan.

 

***

 

Beberapa waktu berlalu dan aku cukup terbiasa dengan kehidupan sebagai seorang demon.

Monyet-monyet mini itu sangat takut padanya, tapi tentu saja mereka akan menunjukkan taring mereka pada anak kucing sepertiku. Mereka ternyata mudah dibunuh setelah aku terbiasa; dia benar bahwa aku cukup kuat.

Aku berhenti terlalu peduli dengan tatapan ketakutan di mata mereka saat aku membunuh mereka. Mungkin itu naluri demonik untuk tidak peduli dengan hal-hal semacam itu.

“Itulah kualitas yang selalu kau miliki.”

"Hah?"

Apa sih yang dibicarakan kucing raksasa ini?

"Aku tidak bermaksud jahat. Aku berpikir alasanmu masih punya ingatan mungkin karena ada roh yang masih hidup di dalam dirimu."

Dia berbicara tentang hal-hal yang nggak aku mengerti lagi.

Pada dasarnya, jiwa merupakan wadah kehidupan, sedangkan ingatan merupakan hal yang sama sekali berbeda.

Makhluk hidup yang memiliki jiwa membentuk rasa diri mereka berdasarkan jiwa mereka setelah mereka menyadari diri. Bagi manusia, jiwa mereka berkembang berdasarkan pengalaman mereka dan menjadi roh.

Roh mengumpulkan ingatan dan emosi sebagai pengalaman. Ketika mereka bertransmigrasi, mereka mengonsumsi poin pengalaman tersebut untuk berpotensi menghasilkan kemampuan yang lebih besar di kehidupan selanjutnya. Jika mereka menyimpan semua ingatan mereka saat memasuki kehidupan selanjutnya, maka mereka tidak akan mendapatkan bonus apa pun untuk kemampuan mereka.

Tetapi itu berarti aku tidak mempunyai kemampuan.

“Jadi, kurasa gak ada manusia dengan kemampuan hebat yang masih memiliki ingatan mereka, ya?”

"Ada."

Eh Beneran?

"Namun, dalam kasus-kasus seperti itu, mereka bisa jadi demon berpangkat tinggi atau jiwa mereka terikat pada makhluk paranormal. Manusia yang masih memiliki ingatan cenderung sembrono karena mereka percaya bahwa ada kehidupan selanjutnya. Mereka akhirnya kehilangan semua pengalaman mereka setelah mati dan harus memulai hidup baru sebagai kutu."

"Benarkah?"

Kembali ke topik sebelumnya, ketika roh tetap ada, ia memengaruhi tubuh. Demikian pula, roh juga dipengaruhi oleh tubuh.

Biasanya, meskipun seseorang terlahir kembali dengan ingatan, ingatan tersebut bukanlah ingatan yang utuh, melainkan hanya rekaman tanpa emosi. Namun, jika seseorang dengan keras kepala berpegang teguh pada emosi kehidupan masa lalunya, rohnya tidak akan mampu beradaptasi dan tidak akan mudah mendapatkan poin pengalaman baru.

“Lalu apa artinya itu bagi aku?”

"Ingatanmu sudah terasa seperti rekaman, ya? Aku tidak tahu apakah kau punya kehidupan lampau atau rohmu adalah kumpulan kenangan yang terpecah, tapi karena kau sudah menerima bahwa kau adalah demon, aku tidak bisa membayangkan seperti apa wujud rohmu saat ini."

"Jadi begitu."

Ia berpikir bahwa mungkin jika ada roh di dalam diriku berdasarkan ingatan mimpiku, maka bisa jadi kepribadian lamanya juga ada.

"Namun, meskipun Kau telah terpengaruh oleh rekaman itu, Kau tetaplah Kau—Golden Beast. Kau seharusnya bangga."

"Oke." Makasih. Ya, akulah aku.

"Ngomong-ngomong, poin pengalaman jiwa adalah mangsa kami demons. Manusia dengan banyak pengalaman sangat lezat bagi kami."

"Uh, benar."

Itu benar-benar merusak segalanya bagiku.

 

Dan begitulah, aku terus berbincang tentang berbagai hal dengannya.

Beberapa makhluk jelas memiliki emosi, seperti monyet mini, jadi aku bertanya kepadanya mengapa kami tidak berbicara dengan mereka.

“Apakah kau senang berbicara dengan orang idiot?”

"Aku ngerti maksudmu."

Ada makhluk cerdas lain di Alam Demon selain monyet mini. Namun, sebagian besar dari mereka tidak bisa bercakap-cakap dengan cerdas atau mereka adalah orang-orang bodoh yang sombong. Karena itulah sudah lama sekali sejak terakhir kali ia menemukan seseorang sepertiku untuk diajak bicara, seseorang yang tidak takut padanya dan bisa bercakap-cakap dengan normal.

"Apa kau senang ngobrol denganku?" tanyaku.

“Apa yang kau ceritakan kepadaku tentang mimpi itu tentu saja menarik.”

Aku juga senang mengobrol dengannya. Dia mungkin terlihat garang—dan sebenarnya, aku mungkin takut akan betapa garangnya dia sebenarnya—tetapi saat mengobrol dengannya, aku mulai merasakan bahwa dia memiliki pengetahuan dan kecerdasan seperti makhluk yang telah hidup sangat lama.

Namun, ada saat-saat di mana kami tidak berbicara.

Mungkin karena kami berdua spesies kucing, tapi terkadang berguling-guling di tanah itu menyenangkan. Cara kami bermain dan menghibur diri juga mirip.

"Hehe."

Ketika aku sedang tidur siang, tiba-tiba dia mulai mengelus perutku yang buncit dengan ujung hidungnya.

Rasanya geli. Kadang-kadang dia benar-benar bertingkah seperti kucing.

Aku ingin mencakarnya kalau dia menjilatku, tapi aku tidak kekanak-kanakan sampai mencakarnya sambil menggulungku seperti bola bulu dengan hidungnya atau menciumku. Lagipula, dia juga membiarkanku meringkuk di bulunya! Bulunya halus, tapi bulu di sekitar dadanya menjadi bagus dan halus saat dia rileks. Aku praktis membenamkan diri di dalamnya, menikmati bulu-bulunya dengan seluruh tubuhku.

Dia juga mengeluarkan bau yang sangat harum. Aku baru mencium sedikit saja, tapi agak manis, seperti aku baru saja menjilat alkohol dan agak mabuk. Padahal aku belum pernah minum alkohol sebelumnya. Aku jadi penasaran, apa perutku juga punya bau yang sama?

Ah, hei, aku bilang jangan menjilat!

Maka, kami menghabiskan waktu yang sangat lama bersama. Aku tidak tahu persis berapa lama waktu telah berlalu, karena waktu tidak benar-benar mengalir di Dunia Ethereal ini, tetapi aku bisa merasakannya dari seberapa banyak aku berubah.

Dulu aku anak kucing yang lucu, tapi sekarang aku sudah dewasa dan ramping. Aku tumbuh dari bola bulu menjadi seukuran kucing liar. Ukuranku memang belum mendekatinya, tapi sekarang aku mampu mengimbanginya. Meski aku hanya sesekali menggunakan sayapku! Mungkin aku bisa lebih cepat darinya kalau aku benar-benar menggunakan sayapku?

Aku juga semakin kuat. Mungkin karena aku terlalu banyak makan dan minum? Tapi dia selalu menangkap berbagai macam mangsa dan kami praktis tak terpisahkan sejak pertama kali bertemu, jadi tentu saja aku juga bisa makan.

Aku akan berburu sendiri setiap kali ingin camilan. Aku bisa merasakan aku semakin kuat dengan cara itu, entah aku suka atau tidak. Sebenarnya, aku bertemu seekor monyet yang agak besar beberapa hari yang lalu, tetapi ia langsung lari begitu melihatku. Monyet sebesar itu memang agak aneh. Sesekali, kami bertemu kelabang atau beast seperti kami, tetapi kami jarang melihat makhluk sebesar monyet ini.

Ilustrasi The Devil Princess Pertama | Yomi Novel

Karena sebesar itu, monyet itu tampak seperti simpanse. Tapi, tunggu dulu...

Bekas luka merah di dahinya itu terasa familiar…

“Apakah kau monyet yang pernah kutemui sebelumnya?”

“I-itu kamu.”

Ia bisa bicara! Yah, kurasa itu masuk akal karena ia telah berevolusi hingga titik ini. Bahkan monyet mini yang lebih tua pun bisa bicara, meskipun kami hanya pernah mendengar mereka meratap dalam kesakitan menjelang ajal.

Monyet ini mungkin makhluk evolusi pertama yang pernah kutemui. Yang kuyakini akan kulawan. Itu benar-benar menyadarkanku. Bagaimana dia bisa selama ini? Dia pasti sudah besar!

“Kreee!”

"Ah!"

Dia kabur saat aku mendekat. Dia langsung kabur tanpa membuang waktu. Karena mengira aku akan mengejarnya, aku pun langsung lari. Tapi tepat saat aku hendak mengejarnya, aku tercengang karena kehilangan jejaknya.

Apa yang merasukinya? Aku sama sekali tidak bilang kalau rasanya akan seperti selai stroberi pekat.

Entah kenapa, monyet demons berbau seperti buah. Aneh sekali!

Meskipun cara dia menatapku membuatku menyadari betapa kuatnya diriku. Setiap kali aku bermain dengan Dark Beast, dia akhirnya akan mendorongku ke bawah dan menggosokkan hidungnya ke perutku, jadi aku tidak menyadarinya.

Apakah aku sudah lebih kuat? Nah, lain kali aku tahu tidak akan kalah.

Dan hal-hal terus berlanjut seperti itu sampai suatu hari…

“Hei, apa itu?”

Akhirnya aku kalah dalam permainan kami dan dipeluk, tapi karena dia benar-benar menyebalkan, aku menggigit hidungnya dan, sebagai permintaan maaf, dia membiarkanku memeluknya kembali. Tepat saat aku membenamkan wajahku di dadanya, aku melihat sesuatu di sudut pandanganku.

Suasana hatinya tiba-tiba berubah. "Hm? Itu gerbang pemanggilan. Aku pernah mengajarimu tentang itu sebelumnya." Dia nyaris tak melirikku saat menjawab singkat. Kupikir dia hanya kesal karena harus mengulang sesuatu yang sudah diceritakannya.

"Bukan itu maksudku. Semua orang kecil itu ditarik masuk ke gerbang. Apa yang terjadi?"

Dia sedang dalam suasana hati yang baik sebelumnya. Apa yang merasukinya?

Aku teringat apa yang dia ajarkan tentang gerbang pemanggilan. Pada dasarnya, gerbang itu seperti pintu yang bisa dibuat manusia seperti penyihir dari dalam Dunia Material. Demon yang memasukinya akhirnya dipanggil ke sisi lain.

Aku tidak yakin itu benar atau tidak, tapi yang bisa kulakukan hanyalah mengingat mimpi itu dan apa yang dia katakan. Aku sendiri belum pernah melihat manusia atau dunia seperti itu.

Ternyata aku tidak bisa melewati pintu-pintu ini. Aku sudah bersemangat untuk pergi ke Dunia Cahaya saat pertama kali mendengar tentang pintu-pintu itu, tetapi aku tidak bisa melewatinya. Alasannya berkaitan dengan kekuatan pengguna sihir yang memengaruhi ukuran pintunya. Hanya demons kecil yang bisa melewati pintu-pintu kecil itu. Meskipun tubuhku kecil, aku sudah cukup kuat untuk bergulat dengannya, jadi hanya ujung kakiku yang bisa melewati salah satu gerbang kecil itu sekarang. Suatu kali, aku mencoba memasukkan kaki ke dalam dan meraba-raba, tetapi aku mendengar semacam jeritan kesakitan di sisi lain dan itu ternyata menjadi pengalaman yang cukup mengejutkan.

Dulu waktu dia masih kecil, dia sudah berkali-kali mencoba masuk lewat pintu, tapi sekarang dia bilang dia bahkan tidak bisa memasukkan ujung cakarnya.

Sihir, ya? Aku pengin banget lihat sendiri suatu hari nanti.

“Waaa!”

Saat aku sedang asyik berpikir, ia tiba-tiba berguling, membuatku terlonjak berdiri. Lalu dengan muram ia berkata, "Yang lebih lemah sedang dipanggil paksa dari pihak lawan. Kalau itu terjadi, mereka akan dipaksa menjadi budak tanpa kesempatan untuk membuat perjanjian yang adil."

Ooh, sekarang aku ngerti. Yang tertarik cuma slime, tikus, sama makhluk lain yang punya kesadaran diri kayak serangga.

Ketika demons dari Alam Demon dipanggil ke Dunia Material, mereka membuat perjanjian dengan pemanggil mereka. Sebagai gantinya, mereka bisa meminta jiwa mereka atau pengorbanan, tetapi para penghuni Dunia Material tampaknya cukup pelit. Jika mereka berhasil membuat perjanjian yang baik, mereka bisa bermanifestasi di Dunia Material tanpa batasan apa pun sehingga mereka bisa mengabulkan keinginan mereka dengan kekuatan mereka yang dahsyat. Namun, ternyata manusia terlalu takut untuk memberikan demons kekuatan apa pun.

Namun, karena perjanjian tersebut, kami tidak akan bisa melakukan hal-hal gila—meskipun Kamu memiliki sedikit kebebasan jika Kamu berhasil membuat celah dalam perjanjian tersebut, yang mana demons ahli dalam hal itu.

"Dunia ini penuh orang jahat. Aku harus hati-hati waktu bikin perjanjian." Aku tidak ingin menyombongkan diri, tapi aku yakin dengan kemampuanku untuk tidak bisa menahan diri.

"Kau... Ya. Sebaiknya kau hati-hati," katanya.

"Hei Bukannya ini bagian di mana kamu bilang aku bakal baik-baik aja… meskipun sebenernya enggak?" Lagipula, kita sudah bersama cukup lama.

“Ada sesuatu yang lembut tentangmu.”

"Hmph." Aku agak kesal dan mulai memukul wajahnya dengan cakarku. Dia tertawa senang.

Tapi kemudian…

"Hah?!"

Dia sedang tertawa, tetapi wajahnya tiba-tiba mengeras saat dia membantingku ke belakang dan menggigit punggungku.

“Hei, itu sakit!”

Karena aku adalah demon, hal itu tidak menyakitkan secara fisik, namun aku merasakan sensasi dipotong perlahan dan dapat merasakan dengan kuat perasaannya mengalir dari giginya ke dalam diriku, dan itu terasa menyakitkan.

Itu pertama kalinya dia menggigitku sekeras itu, membuatku merinding saat mengingat saat pertama kali kami bertemu.

Akan tetapi, dari rasa sakitnya, aku dapat merasakan bahwa dia sangat kesal.

"Hai?"

"Golden Beast… Kau tidak perlu pergi ke mana pun. Tetaplah bersamaku."

Aku tak bisa berkata-kata. Dia belum pernah bicara dengan suara seseram itu sebelumnya. Aku langsung berdiri begitu dia mencabut giginya dari tubuhku dan menempelkan hidungku ke hidungnya.

“Kadang-kadang kamu tuh nyebelin banget.”

"Aku bukan manusia." Gumamnya terdengar seperti dia sedang merajuk, yang membuatku tertawa kecil.

"Tenang aja. Lagian aku juga nggak bisa ke mana-mana, kok."

Dia terdiam.

 

***

 

Si Black Panther Demon. Alam Liar Beast di Alam Demon. Si Dark Beast.

Dia benar-benar demon yang ditakuti dan dia mendapatkan apa pun yang diinginkannya, apa pun yang terjadi.

Setelah hari itu, belenggu yang mengikatku semakin erat.

Bukannya aku ingin meninggalkannya atau semacamnya, tapi aku tidak berbohong saat bilang aku tidak bisa pergi ke mana pun. Menyadari hal itu juga, dia jadi terlalu khawatir, jangan-jangan aku tiba-tiba menghilang entah ke mana.

Setidaknya, begitulah rasanya. Apa dia harus begitu bergantung?

Apakah dia selalu posesif seperti ini?

Aku sudah lama bersamanya, tapi rasanya kami tidak selalu bersama sepanjang hari. Setiap kali aku lapar, aku akan berburu sendirian. Setiap kali demon yang kuat menyusup ke wilayahnya, dia akan berlari dengan penuh semangat untuk melawan mereka.

Namun kini ia selalu di sisiku. Ia akan menemaniku ke mana pun aku pergi. Dan setiap kali aku tersesat, ia akan membawaku kembali ke dalam mulutnya.

Tapi masalah terbesarku dengan semua ini adalah dia tidak mengizinkanku memeluknya lagi. Dia akan memeluk perutku, tapi setiap kali aku mencoba memeluknya balik, dia akan membentakku.

Hmph. Apa dia mencoba mendisiplinkanku atau apa?

 

"Hah?"

Suatu hari, aku perhatikan dia nggak ada di mana pun. Aneh… Mungkin sebaiknya aku keluar dan mencari camilan selagi ada kesempatan? Tapi begitu pikiran itu terlintas di benak aku, dia kembali.

“Kamu pergi ke mana?”

"Aku sedang berburu," katanya sambil menjatuhkan makhluk-makhluk yang dililitnya di kedua ekornya. Mereka gemetar ketakutan.

“Apakah ini sejenis demons muda?”

Dia telah menangkap empat demons kecil yang tampak seperti baru saja berevolusi dari serangga. Mereka tidak berkabut atau lengket. Namun, mereka tidak seperti demons lain di area ini. Dua berwarna hitam legam yang langka. Satu berwarna kuning, seperti warnaku sebelum berevolusi. Dan yang terakhir berwarna putih, yang belum pernah kulihat sebelumnya. Keempatnya sangat tidak biasa.

“Kamu pergi keluar untuk mencari ini?”

“Aku kebetulan bertemu mereka.”

Kebetulan ketemu mereka lagi ngapain? Masing-masing dari mereka samar-samar berbau bunga yang aku suka. Tapi, di balik itu, ada aroma yang belum pernah kucium sebelumnya di sini, dan warnanya pun unik.

Apakah seperti ini cara cowok memberi cewek bunga?

demons kecil itu mulai gemetar semakin hebat saat aku menatap mereka, yang sebenarnya gak mengejutkan. Mereka telah ditangkap oleh Si Dark Beast, yang berkuasa di Alam Demon, lalu dipersembahkan kepada Golden Beast, yang diyakini sebagai anteknya. Sekalipun mereka tidak memiliki kesadaran diri, mereka akan gemetar hanya karena naluri.

Aku yakin dia pasti menangkapkannya untukku karena dia ingat rasa apa yang aku suka, tapi rasanya sia-sia…

Meski begitu, mereka terlihat sangat lezat.

Tepat pada saat itu, demons kecil itu melompat ketakutan.

"Hei, nggak perlu takut. Aku nggak akan memakanmu." Bahkan aku tahu itu sama sekali tidak meyakinkan.

"Apa maksudnya?" tanyanya dengan suara rendah.

"Hei, Dark Beast? Bolehkah aku memelihara makhluk-makhluk kecil ini?"

Dia hanya tersenyum tipis mendengarnya.

“Kau punya itu untukku, kan?”

"Benar. Baiklah, silakan saja," katanya, lalu langsung menjatuhkan diri ke tanah.

Dia sulit dibaca, tapi seperti buku terbuka, seperti biasa. Yah, terserahlah. Dia sepertinya mengira aku sedang menghibur diri dengan memelihara mereka. Memang tidak sepenuhnya salah, tapi karena mereka peliharaanku, aku memutuskan untuk bermain-main dengan mereka.

“Mari kita bersenang-senang bersama.”

Mereka menatapku dengan kaget dan bingung.

Aku berusaha tersenyum ramah pada mereka, tetapi tampaknya hal itu malah membuat mereka takut.

 

Setelah itu, aku memulai proyek membesarkan demonku, yang berarti dia memberi aku sedikit kebebasan lagi saat aku mengurus demons kecil itu. Meskipun anak-anak kecil ini tampak agak takut padanya, mungkin dia memberi kami ruang karena rasa hormat.

Dia? Memberi Hormat? Hah. Aku tak bisa menahan tawa.

Jadi, apa pendapat mereka tentang aku? Waktunya mencari tahu.

Hmm, aku akan mencobanya.

Kugenggam masing-masing keping itu dengan mulutku dan kulemparkan ke punggungku. Aku berlari hati-hati agar tidak jatuh, perlahan-lahan menambah kecepatan sebelum kubentangkan sayap kelelawarku dan terbang ke langit biru yang luas.

Langit biru yang luas itu seperti apa? Di mana itu? Hanya ada awan gelap di sini. Tapi rasanya menyenangkan bisa terbang melewatinya. Sayapku telah tumbuh beberapa kali lebih besar daripada panjang tubuhku, jadi mereka terlihat sangat keren.

Jadi, apa rencanaku membesarkan mereka?

Tentu saja, karena perburuan berlebihan.

Aku terbang menembus langit gelap dengan kecepatan sangat tinggi. Setiap kali melihat monyet-monyet mini, aku mencakar mereka hingga berkeping-keping dengan cakarku. Kurasa aku sudah cukup kuat sehingga melesat melewati mereka saja sudah akan mencabik-cabik mereka, tapi aku tak peduli. Semuanya baik-baik saja.

Boing! Boing!

Saat demons kecil itu membunuh dan memakan demons ini, mereka perlahan-lahan berhenti takut padaku dan mulai melompat-lompat kegirangan di punggungku.

Hei, kamu bakalan jatuh kalau meronta-ronta kayak gitu. Meskipun aku tidak sepenuhnya yakin apakah mereka senang karena bisa makan atau karena mereka menikmati kegembiraan pembunuhan.

Lebih baik tidak memusingkan hal-hal kecil.

Sepertinya permainan membesarkan demon seperti ini cocok dengan kepribadianku, karena aku sangat menikmati proses membesarkan dan merawat mereka. Bahkan, permainan ini membantu aku melupakan betapa aku ingin pergi ke dunia lain itu.

Saat aku terbang ke angkasa dengan senyuman di wajahku setiap hari, dia akan melihatku pergi dengan ekspresi yang tak terlukiskan dari wajahnya.

Sekarang, saatnya memulai pelatihan hari ini.

Fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap…

“Hei, kamu! Ini terri-ku—”

Sentakan!

Apa itu tadi?! Kupikir aku merasakan demon yang cukup kuat di dekat sini, tapi aku tak bisa berhenti dengan cepat.

Aku begitu asyik meninju demon sampai mati satu demi satu dengan cakarku, sampai kupikir ada sesuatu yang menarik perhatianku.

Aku akan pura-pura nggak lihat apa pun.

Aku tidak berbalik. Aku akan terus hidup dengan menatap lurus ke depan. Artinya, aku sama sekali tidak melihat demon mengejarku.

Tapi itu barusan nyaris banget. Jangan-jangan dia lebih kuat dari aku? Dark Beast sih bilang nggak ada yang bisa ngalahin aku di tempat ini, tapi siapa yang tahu apa yang bakal kita temuin di Alam Demon?

Meskipun di atas dan di bawah sebenarnya tidak terlalu besar, Dunia Ethereal itu seluas angkasa, jadi aku yakin aku tidak akan pernah sepenuhnya aman dari pertemuan dengan demon yang kuat, bahkan di Alam Demon ini. Kupikir aku pasti terlalu terbawa terbang begitu cepat sehingga aku tidak sengaja meninggalkan wilayahnya.

Kurasa aku harus terbang balik secepat mungkin… sambil ngebasmi monyet-monyet kecil yang kutemui di sepanjang jalan.

Tapi hewan peliharaanku memang istimewa. Mereka senang sekali menunggangi punggungku seperti biasa, padahal aku terus-terusan tabrak lari!

Aku sekarang agak suka melihat mereka melompat-lompat dan senang mereka tidak takut lagi padaku. Aku sedikit memperlambat laju perburuanku dan mulai berbicara kepada mereka, menceritakan semua tentang impianku tentang Dunia Cahaya seperti seorang ibu, seperti seorang kakak perempuan, seperti seorang guru.

Apa tak apa-apa kalau seorang demon bermimpi seperti itu? Aku tak akan menghilang begitu saja karena ini seperti bentuk penyangkalan diri, kan? Yah, kupikir aku akan melewati batas itu kalau memang harus begitu. Lagipula, aku kan seorang demon. Aku tak memikirkan konsekuensinya.

Daripada terlalu mikirin hal yang bikin pusing, mending aku fokus bantuin anak-anak kecil ini biar bisa ngomong. Soalnya aku yakin mereka juga bakal senang. Oke?

Boing! Boing!

 

Dan begitulah, kehidupan terus berlanjut seperti itu. Berkat pelatihanku, mereka menjadi lebih cerdas... aku rasa.

Mereka sudah cukup besar sekarang dan bisa berburu camilan sendiri saat lapar. Mungkin usia mereka sudah siap untuk berevolusi?

“Mungkin kamu harus memberi mereka nama spesies,” komentar Dark Beast.

"Nama spesies? Bolehkah aku memberi mereka nama saat ini?" Aku agak terkejut dengan sarannya. Karena sekarang aku tidak perlu lagi memperhatikan makhluk-makhluk kecil itu, dia kembali memelukku, jadi aku benar-benar sibuk.

"Biasanya, mereka tidak cukup pintar untuk memahami hal itu. Namun, mereka mulai menyerap pengetahuanmu dan menjadi sangat—maksudku, unik."

Apakah dia baru saja akan mengatakan "aneh"?

“Jika Kau berhasil membesarkan mereka sesuai dengan gambaranmu, mereka mungkin bisa memperoleh bentuk yang berbeda dari monyet pada umumnya.”

"Oh, ya? Jadi itu yang kamu pikir dengan m—ow!"

Dia menggigit perutku. Dia menjilatiku saat aku bilang sakit, jadi aku benar-benar bingung apa yang coba dia lakukan. Biarin saja aku sendiri.

"Jadi? Apa yang harus kubuat?" tanyaku.

“Aku yakin Kau pasti punya ide-ide aneh.”

"Hmph." Aku memalingkan muka dengan kesal karena ada nada dingin dalam ucapannya. Siapa di antara kita yang seharusnya jadi anak kecil di sini?

Tapi sekarang setelah kupikir-pikir lagi, itu bukan ide yang buruk.

Spesies mereka, ya? Apa bagusnya? Mungkin aku bisa bikin mereka kayak yang pernah kulihat di buku agama dari dunia mimpi? Tidak, tunggu, mereka bukan demons— Mereka lebih kayak setengah dewa, jadi kayaknya nggak cocok kalau diterapin di sini. Gimana kalau aku bikin mereka jadi monster dari semacam mitos?

Atau... jangan monster biasa deh. Mungkin sesuatu yang lebih mirip demon, atau mayat hidup? Atau... bahkan Empat Beast Keberuntungan? Aku mulai bergumam sendiri sambil memikirkannya, yang membuat keempat demons anak kecil melompat ke arahku karena khawatir. Oh tunggu, yang putih itu cuma main-main.

Anak-anak demons masing-masing memiliki kepribadian yang sangat berbeda meskipun aku mengajari mereka dengan cara yang sama. Aku merasa mereka bahkan telah memilih jenis kelamin mereka sendiri, seperti yang aku dan Dark Beast lakukan.

"Hmm, karena kalian berdua warnanya mirip, kurasa kalian bisa jadi kakak beradik." Setelah aku memutuskan itu, kedua anak hitam itu melompat-lompat riang. Anak kuning itu lalu menatapku penuh harap. Di mana wajahnya? Anak putih itu berhenti bermain-main dan menghampiri kami juga.

"Aku akan memutuskan seperti apa spesiesmu nantinya." Maka, aku mulai membuat statistik untuk mereka berdasarkan bagaimana aku membayangkan spesies mereka.

Apakah benar-benar tidak apa-apa bagiku untuk melakukan ini? Mungkin mereka punya ide sendiri tentang cita-cita mereka. Namun, keempat demons menerima ideku dengan senang hati, seolah-olah itu hal yang paling normal di dunia.

Ketika aku bertanya kepadanya tentang kekhawatiranku, dia bilang itu tidak aneh.

"Dalam wujud muda dan tak terbatas ini, sulit bagi demons untuk menciptakan gambaran tentang seperti apa mereka ingin menjadi saat berada di Alam Demon jika mereka belum dipanggil ke Dunia Material. Inilah sebabnya mengapa kebanyakan dari mereka menjadi monyet jelek yang bahkan tidak memiliki jenis kelamin."

“Kenapa monyet?”

Hanya ada sedikit demons selain aku dan dia yang bukan monyet di Alam Demon ini. Beberapa menjadi serangga atau ikan. Bukankah lebih baik jika ada lebih banyak variasi di dunia ini? Ketika aku menanyakan hal ini kepadanya, dia berpikir sejenak dan tampak bingung.

"Entahlah. Mungkin gambaran demons yang dimiliki manusia di Dunia Material memengaruhi kita di sini."

"Ooh."

Lalu mengapa demons adalah monyet?

Ternyata ketika unsur-unsur dari Alam Unsur terwujud di Dunia Material, unsur-unsur api menjadi kadal, unsur-unsur tanah menjadi kurcaci dan beast, sedangkan unsur-unsur angin dan air mengambil bentuk maiden—semua karena begitulah manusia berpikir mereka seharusnya terlihat.

Apakah ini semua karena gambaran kita tentang mereka dari kisah-kisah heroik? Memang benar, gagasan tentang elemen air yang tampak seperti orang tua tidak menarik bagi aku.

Masuk akal juga kenapa demons jelek, tapi kenapa monyet? Aku sama sekali tidak suka membayangkannya. Aku selalu bilang ke anak-anakku betapa lucunya mereka saat merawat mereka, jadi pasti mereka akan tumbuh jadi demons yang cantik.

Dan akhirnya tibalah saatnya bagi mereka untuk berevolusi.

 

"Apa-apaan itu?"

“Aku nggak yakin harus berkata apa.”

Aku benar-benar tidak tahu apa yang baru saja terjadi. Rasanya seperti déjà vu. Tapi kali ini, dia terdengar terkejut, alih-alih marah.

“NonAnnyAya!” Keempat anak aku yang sudah dewasa demon sekarang sudah bisa berbicara, meskipun agak sulit dimengerti.

Ya ampun. mereka imut banget. Satu-satunya masalah di sini... mungkin mereka terlalu imut.

Dua makhluk hitam yang kuduga kakak dan adik itu kini memiliki tubuh bulat menggemaskan bak bakpao. Mereka menatapku dengan mata ungu bakpao yang berkilauan. Satu-satunya yang mirip demon dari mereka adalah tanduk kambing hitam mereka. Tidak, tunggu dulu—tanduk pada makhluk yang tampak lebih kalem (yang kusebut adik perempuan) lebih mirip tanduk domba, bukan tanduk kambing.

Ah, sudahlah. Dua tanduknya malah bikin dia kelihatan kayak punya kuncir dua, dan itu lucu banget—jadi, nggak masalah.

Di sebelah mereka ada yang berwarna kuning dan memancarkan aura yang seolah memohon perhatian. Warnanya kini mirip denganku—mungkin karena dia ingin meniruku—hanya saja dia seekor ular. Bukan kucing; ular. Entah kenapa, kulitnya lembut, bukan bersisik, tapi kurasa itu cukup menggemaskan.

Terakhir adalah si putih yang suka menghabiskan seluruh waktunya bermain dan sekarang tampak seperti monyet. Tapi bukan monyet jelek—monyet putih, berbulu halus, dan imut. Dia sungguh luar biasa berbulu. Entah kenapa, awalnya kupikir dia memakai semacam topeng badut, tapi ternyata memang begitulah wajahnya sekarang.

“Golden Beast…”

"Oh, ya. Aku tahu."

Dia tidak perlu mengatakan apa-apa lagi. Mereka semua hanyalah hewan peliharaan.

 

***

 

Kini keluarga kami telah bertambah dengan anggota yang sudah bisa berbicara, hidup terasa jauh lebih beragam. Anak-anak terus tumbuh dan dengan senang hati bercerita tentang penjahat macam apa yang mereka lawan hari itu atau tentang bagaimana mereka berhasil memakan demon yang lebih besar dari mereka. Percakapan kami memang agak mengerikan.

Ilustrasi The Devil Princess Kedua | Yomi Novel


Tapi aku mengerti.

Si Dark Beast… Dia mengizinkanku memelihara hewan peliharaan ini sebagai kalung dan rantai—untuk menahanku di sini karena keterikatannya yang masih ada padaku. Dan aku tahu melihat mereka berempat bermain bersama juga membuatnya merasa damai.

Tapi Dark Beast…apa dia tidak tahu?

Kami demons tidak pernah memiliki emosi seperti itu sejak awal.

Dan perasaan damai itu justru membuatku semakin memikirkan Dunia Cahaya yang kulihat dalam mimpiku. Saat aku memikirkan statistik untuk anak-anak ini, mengingat dengan sekuat tenaga pengetahuan tentang dunia mimpi itu membuatku kembali merindukannya, meskipun aku pernah menyerah. Bahkan, merindukannya.

Aku ingin pulang. Perasaan yang tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata mulai meluap. Api rindu yang dahsyat mulai membakarku.

Aku ingin pulang. Tapi aku tidak bisa.

Karena aku bahkan tidak yakin apakah dunia cemerlang dalam mimpiku itu benar-benar ada.

Saat itulah aku sadar dia diam-diam ada di sampingku sepanjang waktu.

Dan bukan hanya dia. Keempat demons itu merasakan bahwa aku ingin pergi dan menatapku dengan cemas.

Aku ingin pulang. Tapi aku gak bisa pulang ke dunia itu.

Tapi jika aku bisa pergi ke dunia di mana orang-orang hidup dengan cahaya yang sama, maka...

 

Crack!

 

Tepat pada saat itu, terdengar suara letupan keras.

Dia dan keempat demons berjaga-jaga karena mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi.

Tapi aku tahu. Aku langsung memahaminya: sebuah pintu ke sini telah terbuka dari sisi lain.

Kerinduanku telah menarik sebuah pintu—lingkaran pemanggil sihir—dari sisi lain kepadaku.

Bukan hal yang mudah bagi kami demons untuk pergi ke Dunia Material karena emosi gelap yang melekat pada kami adalah dosa-dosa yang membebani jiwa kami. Jiwa-jiwa yang terbebani dosa tenggelam ke dalam tanah. Untuk bangkit dari ini, demons normal tidak punya jalan lain selain seseorang dari sisi lain yang membukakan gerbang bagi mereka.

Apakah aku sudah cukup kuat sehingga beban jiwaku bisa diabaikan? Ataukah karena aku memiliki pengetahuan tentang Dunia Cahaya?

Aku tidak tahu alasannya. Yang kutahu hanyalah bahwa pintu yang kubuka paksa di sisi lain adalah gerbang pemanggilan raksasa yang cukup besar untuk menyelimuti seluruh tubuhku.

"Ini tidak mungkin!" Menyadari apa yang terjadi, ia mulai melompat ke arahku. Namun, terlepas dari kekuatannya, cahaya gerbang pemanggilan itu menolaknya seolah-olah itu benda asing.

Tentu saja itu akan terjadi. Aku memahaminya seolah itu adalah hal yang paling normal di dunia. Lingkaran pemanggilan ini hanya untukku. Lingkaran ini diciptakan hanya untuk membawaku ke sisi lain.

"Tidak! Jangan pergi!" teriaknya, sambil berulang kali melemparkan dirinya ke arah cahaya itu.

Namun gerbang pemanggilan ini telah dibuat dengan seluruh kekuatanku, jadi tidak mudah untuk menghancurkannya, bahkan untuknya.

Cahaya redup mulai memancar dari gerbang. Aku diselimuti cahaya yang kurindukan—cahaya dari mimpiku—saat tubuhku mulai menghilang di balik gerbang.

Semuanya jadi... kabur... Aku membuka mata untuk terakhir kalinya menatap Alam Demon, tempat aku dilahirkan dan dibesarkan. Dia menatapku dengan tatapan mengerikan di wajahnya.

 

“Golden Beeeeeeeeeeeeast!”

 

Suaranya bergema di telingaku…


Ilustrasi The Devil Princess Ketiga | Yomi Novel

Maafkan aku karena membuatmu marah lagi.

 

***

 

Aku bisa melihat cahaya. Rasanya seperti aku sedang menatap langit dari dasar lautan gelap saat terbangun. Perlahan, cahaya itu semakin menyelimuti.

Di mana aku? Apa aku berhasil sampai ke dunia mimpi—ke dunia yang terang?

Aku tak bisa melihat. Aku juga tak bisa mendengar dengan baik, meskipun ada sesuatu yang terdengar seperti gumaman samar. Dan aku tak bisa menggerakkan tubuhku.

Mungkin pemanggilannya gagal? Mungkin aku cuma membeku karena takut mati? Rasanya udah lama banget sejak terakhir kali aku ngerasa kayak gini. Tapi—

Sesuatu menghantam tubuhku dengan suara keras dan aku spontan tersentak.

Hah? Aku bisa bernapas?

Aku mendengar teriakan memekakkan telinga dari sesosok makhluk kecil. Sebelum aku menyadari suara itu keluar dari mulutku sendiri, aku mendengar suara seseorang yang memiliki kesadaran diri. Begitu aku menyadari mereka mengucapkan kata-kata, aku berhasil menyusun kembali suara-suara tak bermakna itu menjadi kata-kata yang bisa kupahami.

 

“Ah, anakku sayang. Yulucia-ku yang manis.” 


[TL Note: btw ku ngikut ke tl Eng nya soal namanya]

 

Pada saat itu, seakan-akan jiwaku tersambar petir.

Aku menyadari bahwa aku telah dilahirkan sebagai demon tanpa nama dan bahwa, setelah mengerahkan seluruh kekuatanku untuk dipanggil ke Dunia Material, aku telah diberi nama dalam tubuh yang telah memperoleh kesadaran untuk pertama kalinya. Keberadaanku yang dulu ambigu kini telah sepenuhnya diakui.

Dan aku pun kemudian mengerti bahwa aku, seorang demon dari Alam Demon, telah kehilangan seluruh kekuatanku dan terlahir ke dunia ini sebagai bayi manusia yang tak berdaya.

Gabung dalam percakapan