Penerjemah : Yomi
CAHAYA YANG MENGELILINGIKU
TERASA KABUR, BAK mimpi di siang bolong. Mengingatkanku pada pemandangan langit
yang kupandang dari bawah air kolam saat kecil dulu. Semua yang kulihat
membuatku dipenuhi rasa nostalgia yang samar. Sesaat kemudian
pemandangan itu memudar, dan gambarannya berubah. Rasanya seperti menonton
salah satu film jadul—hanya satu demi satu gambar buram.
Seorang pria seperti daun
musim gugur yang memegang tangan mungilku.
Seorang wanita yang
berjalan dengan goyah mengangkatku ke dalam pelukannya.
Seorang gadis dan seorang
anak laki-laki masing-masing memegang salah satu tangan mungilku saat kami
berjalan bersama.
Di luar jendela mobil, aku
dapat melihat sebuah bus yang tampak seperti diambil langsung dari manga,
tembok bangunan besar dan toko-toko kecil membentang di sepanjang jalan di
belakangnya.
Di luar jendela kereta,
aku dapat melihat rel kereta api yang membentang tanpa akhir dan pemandangan
kota yang tak berujung.
Gambar-gambar itu terus
bermunculan secara berurutan. Aku sudah sedikit lebih besar sekarang, pergi ke
sekolah mengenakan seragam yang sama dengan anak-anak lain. Aku belajar dan
mengobrol dengan teman-teman di sekolah, Kemudian aku duduk di antara kakak dan
adikku di sofa sambil menonton film, lalu aku makan malam bersama orang tuaku
setelah mereka pulang kerja.
Segala macam pemandangan
melintas di hadapanku, namun gambaran bahagia yang membuatku menitikkan air
mata tiba-tiba terhapus oleh warna putih.
Dinding putih. Lantai
putih dan seprai putih. Berbaring di tempat tidur putih bersih, satu-satunya
yang bisa kulihat hanyalah langit-langit putih.
Dengan lemah kuangkat
tanganku yang gemetar. Tubuhku kurus kering bak pohon yang layu.
Lalu berlanjut ke gambar
berikutnya. Gambar itu berubah lagi dan lagi, tetapi dunia putihnya tetap sama.
Aku bisa mendengar suara bak isak tangis seseorang ketika gambar-gambar itu akhirnya mulai
memudar…
Dan duniaku perlahan
terisi dengan warna hitam.
Aku pun sadar kembali.
Apakah semua itu mimpi?
Rasanya begitu familiar… Mimpi tentang Dunia Cahaya yang kini begitu jauh.
Dimana aku…?
Aku tak bisa melihat apa
pun; sesuatu seperti kabut tebal menggantung di udara. Rasanya seperti aku
memejamkan mata di siang hari—bukan, rasanya seperti mataku memang terpejam.
Begitu aku berpikir untuk membuka mata, sebuah tempat tiba-tiba terlihat meskipun
aku tak merasa sedang mengangkat kelopak mataku.
Hah? Ada apa ini?
Yang kulihat sekarang
bukanlah ruangan putih yang kubayangkan, taman, maupun kota. Yang kulihat
hanyalah daratan tandus nan bengkok dan awan gelap yang menggantung tinggi di
langit sejauh mata memandang. Cara paling sederhana untuk menggambarkan
sekelilingku adalah tanah hitam tak berwarna di bawah langit gelap tak berwarna
pula. Di baliknya, hanya ada rerumputan liar. Dunia ini benar-benar kosong.
Bagaimana ya ngejelasinnya..?
Seandainya ini seperti manga, dengan angin musim dingin yang meniup daun-daun
kering, keadaannya mungkin tidak akan seburuk ini. Sayangnya, tak ada satu
pohon pun yang terlihat—bahkan dompet gembala pun tidak ada.
Tapi tunggu dulu. Kita punya masalah yang lebih besar di sini.
Maksudku, di mana aku berada itu penting, tapi bagaimana aku bisa melihat semua
ini sejak awal?
Aku tidak ingat pernah
membuka mata. Ketika aku terpikir untuk melihat ke suatu tempat, aku bisa
melihatnya dari segala arah secara bersamaan, seolah-olah aku mengingat tempat
itu dari ingatan aku.
Bahkan penampilanku—
Aku menjerit. Tapi aku
tidak bersuara sama sekali... Malahan, makhluk itu hanya melompat-lompat, dan
aku menyadari bahwa makhluk itu sebenarnya aku.
Oke, serius deh. Tenang
dulu. Kenapa? Bagaimana ini bisa terjadi? Apa yang terjadi padaku?! Tubuh ini
memang menggeliat, tapi... Kurasa masuk akal kenapa aku tak bisa bersuara—aku
kan tidak punya mulut.
Sebenarnya, aku sama
sekali tak punya tubuh yang ideal. Saat ini, aku lebih mirip semacam krim puding
yang mengkilap.
Apa-apaan ini?
Oke, aku agak lebih tenang sekarang. Kurasa. Mungkin tadi aku cuma
syok selama beberapa jam, tapi aku nggak punya rasa waktu, ya siapa yang
peduli? Maksudku, mengingat keadaanku sekarang, aku bahkan nggak punya detak
jantung, jadi aku bisa tenang dengan cukup cepat.
Beginilah diriku
sekarang. Aku cuma perlu menerimanya. Meskipun, sejujurnya… aku nggak ingin
menerimanya...
Krim puding mungkin
deskripsi yang tepat untuk tubuh baruku. Aku lebih mirip mayones yang terpisah
dan tak bisa dikocok kembali. Aku sama sekali tidak terlihat lezat.
Ha ha ha. Itu membuatku ingin tertawa. Tapi aku tidak bisa tertawa. Apa itu
berarti aku lebih mirip gas? Atau aku semacam lendir sekarang? Bagaimanapun,
setidaknya aku tampak seperti mayones yang dipisahkan.
Mungkin ini cuma mimpi?
Kelanjutan dari mimpi yang
baru saja kualami? Dunia Cahaya yang kulihat itu nyata, dan ini hanya mimpi
buruk?
Namun kenyataan memang
kejam. Sensasi dan informasi yang kutangkap dari dunia luar, ditambah tubuh
mayones ini, dengan kejam menegaskan bahwa semua itu nyata. Dan yang lebih
menakutkan? Begitu aku mulai menerima kalau ini memang tubuhku sekarang, aku
malah tidak merasa aneh lagi. Bahkan bisa rileks.
Apa aku benar-benar bakal..menerima
ini? Aku benaran bingung.
Apakah ini salah satunya?
Seperti bagaimana pikiran memengaruhi tubuh, tatkala tubuh memengaruhi pikiran?
Intinya, tubuh ini tidak
mengalami pasang surut emosi seperti manusia biasa. Aku tidak punya jantung,
jadi aku tidak merasakannya berdetak lebih kencang. Aku ragu bisa bernapas,
jadi aku tidak bernapas lebih cepat. Aku tidak tahu apakah tubuh ini bisa merasakan
sakit, tapi mungkin aku juga tidak akan mengantuk atau lapar.
Aku telah kehilangan
sebagian besar hal yang membuat hidup ini berharga…namun aku tidak bisa
menangis.
P-pokoknya, meskipun
tubuhku kini seperti mayones yang diiris, jati diriku tetap utuh. Aku tetap
aku. Bukan siapa-siapa lagi—aku.
Jadi…siapakah aku
sebenarnya?
Pikiranku melayang. Aku...
tak bisa mengingat namaku. Satu-satunya alasan kesadaranku tetap ada karena aku
memiliki ingatan tentang Dunia Cahaya. Tapi aku tak tahu apakah itu ingatan
nyata yang kualami sendiri atau bukan. Itu lebih seperti rekaman, film, hanya
video dan gambar. Gadis yang kulihat itu mungkin bukan aku.
Namun, aku ragu segumpal
mayones palsu di dunia hampa ini mampu bermimpi sedetail itu, jadi mungkin saja
aku pernah hidup di dunia itu. Itu hanya kemungkinan, tapi aku ingin punya
harapan. Untuk saat ini, aku akan menganggap diriku tanpa nama.
Mungkin aku bisa saja
menemukan nama untuk diriku sendiri berdasarkan ingatanku tentang dunia itu,
tetapi sesuatu dalam tubuh ini seakan menolak gagasan itu. Nama bukanlah
sesuatu yang kau berikan pada dirimu sendiri. Nama diberikan kepadamu oleh
orang lain—setidaknya aku masih ingat itu.
Sekalipun aku berada di
dunia itu, aku tak ingat siapa namaku di sana. Aku bahkan lupa seperti apa rupa
wajahku sendiri. Aku cukup yakin punya keluarga dan teman, tapi aku juga tak
ingat nama atau wajah mereka.
Baiklah. Kalau gitu,
mari kita lanjutin.
Aku melihat bayangan
diriku mengenakan seragam sekolah, jadi mungkin aku seorang siswa? Berdasarkan
pengetahuanku, aku mungkin berusia awal remaja, paling tua lima belas tahun.
Meskipun, dalam mimpiku, aku...
Aku yakin aku perempuan.
Mungkin aku laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan, tapi tak perlu
dipikirkan lagi. Aku sudah memakai rok sejak kecil, jadi rasanya cukup aman
untuk mengatakan aku perempuan.
Ya. Aku mulai punya
gambaran yang jelas tentang seperti apa penampilanku dulu. Kalau begini terus,
mungkin aku akan ingat... Hah? Apa warna tubuhku tiba-tiba jadi lebih gelap?
Tubuhku yang terpisah dari mayones sekarang terlihat seperti mayones biasa.
Baiklah, aku tak merasa
lebih buruk lagi, jadi aku terus mengingat detail mimpiku dan memutuskan siapa
aku.
Dan begitulah, beberapa
waktu berlalu sejak aku menjadi diriku sendiri… kurasa.
Maksudku, di sini tidak
ada matahari dan aku tidak pernah mengantuk. Aku tidak punya rasa waktu, jadi
aku tidak tahu berapa lama waktu telah berlalu.
Setelah banyak
mengingat—dan menambahkan beberapa detail ke lembar karakterku, begitulah—aku
merasa sudah cukup memahami diriku sendiri. Setidaknya, begitulah yang
kupikirkan.
Namun, meski awalnya aku
pikir semua ini baik-baik saja, masalah baru muncul.
Aku sama sekali tidak ada
kegiatan apa pun.
Maksudku, jika ini nyata
dan aku tidak tahu apa yang terjadi padaku, kau mungkin mengira rasa takut akan
menguasaiku, tapi aku tidak merasa gelisah atau bahkan kesal. Aku juga tidak
menunjukkan tanda-tanda depresi karena kesepian. Mungkin karena tubuhku sekarang
begitu sederhana? Mungkin memang begitulah makhluk seperti ini; mereka mungkin
tidak perlu memikirkan hal-hal yang mengganggu seperti itu.
Atau mungkin... karena aku
sudah bertahun-tahun berbaring di tempat tidur? Mungkin aku tipe orang yang
tidak terlalu memikirkan sesuatu? Aku sungguh berharap itu tidak benar.
Ya. Gadis dalam mimpiku
terkurung di tempat tidurnya. Kalau dipikir-pikir lagi, mungkin aku sudah mati
dan sekarang aku berada di Neraka. Namun, jika ini memang neraka, rasanya tidak
terlalu menyiksa, baik secara fisik maupun mental.
Ada desas-desus bahwa ini
hanya mimpi, persis seperti dugaanku sebelumnya. Tentu saja, akulah yang
memulai desas-desus penuh harapan itu.
Yang dapat kulakukan
hanyalah duduk diam.
Jauh di sana, benda itu
melompat lagi.
Tadinya kukatakan tidak
ada apa-apa di sini, tapi setelah cukup tenang, aku menyadari ada makhluk di
dekat sini yang tampak seperti serangga kecil. Kelihatannya seperti serangga,
tapi ternyata bukan serangga. Aku tidak punya dasar perbandingan, tapi makhluk
itu kecil dan bergerak seperti serangga, jadi kuputuskan untuk menyebutnya
begitu.
Mungkin ia sudah ada di
sini sejak tadi, dan aku hanya terlalu bingung hingga tak menyadarinya. Kini
setelah aku kembali tenang dan indra penglihatan, pendengaran, dan penciumanku
berfungsi dengan baik, ia akhirnya menarik perhatianku. Atau mungkin karena aku
tak bergerak sejak aku tersadar di tubuh ini, ia menganggapku bukan ancaman dan
aman untuk menampakkan diri. Sejujurnya, karena aku mengira benar-benar
sendirian, mengetahui ada sesuatu lain di sini yang bisa bergerak membuatku
merasa jauh lebih baik.
Ketika aku perhatikan
lebih dekat, ia ternyata cukup lucu. Ia sama sekali tidak terlihat seperti
serangga. Ia adalah makhluk aneh yang lebih mirip setetes kabut. Karena aku
tidak melakukan apa-apa, ia cukup dekat sehingga aku bisa mengamatinya.
Pukul!
…Aku benar-benar tidak
menyangka hal itu. Begitu benda itu hampir mengenai aku, sebagian dari diri aku
langsung menyerang dengan kecepatan yang mengejutkan untuk menghajar serangga
itu.
Ahhh! Apa yang
kulakukan?
Tapi, waktu aku lihat
serangga itu, aku merasa seperti tertarik padanya. Kenapa tiba-tiba aku remas
seperti itu? Apa aku jadi kucing sekarang?! Reaksiku persis seperti kucing
kalau ada yang melambaikan mainan ke arahnya.
Tapi tunggu dulu...
Apa-apaan ini...?
Pasti ada semacam makhluk
mirip serangga di sini sebelum aku pergi dan memukulnya. Namun, ketika aku
memukulnya, makhluk itu menghilang seperti kabut, meninggalkan semacam aroma
bunga yang manis.
Aneh sekali. Aku tak tahu
kenapa serangga bisa mengeluarkan bau seperti itu. Namun, entah kenapa, baunya
membuatku merasa sedikit kenyang, meskipun tubuhku belum pernah merasa lapar
sebelumnya.
Itu membuatku teringat
bagaimana dalam mimpiku, saat aku masih muda, aku menghisap nektar dari
sekuntum bunga kecil.
Berkedut… Berkedut…
Tubuhku dipenuhi sensasi
menginginkan sesuatu untuk pertama kalinya.
Tubuhku yang seperti
mayones mulai gemetar karena rangsangan dan kegembiraan saat menghirup aroma
manis serangga mati yang beberapa saat sebelumnya membuatku nyaman. Terpacu
oleh sensasi itu, aku mulai menjelajahi area itu.
Bagaimana mungkin aku
menggerakkan tubuh ini...? Kupikir aku punya kekuatan fisik, berdasarkan
bagaimana aku bisa mengenai serangga itu, dan kukira mobilitasku akan seperti
merangkak. Namun, aku malah mulai melayang ke arah yang kuinginkan.
Mungkin karena aku
terlalu bebal—ah, nggak mungkin. Pasti ada penjelasan lain.
Bagaimanapun, aku bisa
bergerak secepat aku menyentuh serangga itu, dan aku melayang di atas tanah.
Namun, aku tidak bisa terbang ke udara, yang cukup mengecewakan.
Oh, aku nemu serangga lagi.
Sejujurnya, aku merasa
agak kesepian, jadi aku bertanya-tanya apakah aku bisa memelihara yang ini.
Namun…
Pukul!
Aku langsung melompat
begitu melihatnya. Aku benar-benar kayak kucing. Kurangnya pengendalian diri
yang kumiliki sungguh menyedihkan. Tapi aku tak bisa menahan diri. Ada sesuatu
dalam aroma manis itu yang membuatku tak bisa menolaknya. Lagipula, aku kan
perempuan. Bagaimanapun, ini salah serangga itu karena melompat seperti itu dan
merangsang naluri berburuku yang murni seperti kucing.
Apakah keadaanku sedang
berubah drastis? Atau apakah jiwaku sendiri sedang tercemar? Aku tak suka
memikirkan hal itu, tetapi aku harus bersikap praktis dalam menerima bahwa
tindakan-tindakan ini diperlukan untuk hidup di tubuh ini dan di dunia ini.
Lagipula, ingatanku akan
mimpi itu tidak sempurna, jadi versi diriku yang kubangun sendiri pun tidak
sempurna. Jika aku bisa melengkapi bagian-bagian puzzle yang hilang dengan
diriku yang sekarang, aku harusnya bisa jadi diriku yang sebenarnya—atau
begitulah pikirku.
Hmm? Serangga yang
pertama punya aroma bunga, tapi yang ini …lebih ke aroma buah.
Berkedut… Berkedut…
Mungkin aku harus
berburu lagi? Oke. Ayo kita lakukan. Dan bukan karena aku nyerah sama seleraku.
Aku melakukan ini cuma memuaskan rasa penasaranku.
Mulai saat itu, aku
memutuskan untuk berburu serangga demi mengisi waktu.
~Bukan karena aku pengin
camilan, oke?! [TL: pake nada tsundere, ngena banget asli wkwk]
Mari kita lihat…
Pukul, pukul.
Wah, masih ada lagi!
Pukul, pukul, pukul.
Sejak saat itu, aku
menghabiskan beberapa hari berburu dan membasmi serangga. Mmm, setiap serangga
mengeluarkan aroma yang harum. Tentu saja, aromanya jauh lebih lembut
dibandingkan dengan manisnya Dunia Cahaya itu, tetapi mereka cukup memuaskan
naluri berburuku yang kayak kucing, jadi aromanya lebih seperti pelengkap.
Aku tidak benar-benar
senang membunuh serangga atau hewan kecil; aku hanya tidak merasa terlalu
buruk, karena mereka menghilang begitu saja saat aku menghancurkan mereka.
Mungkin, berburu makhluk itu sendiri terasa nikmat. Bisa jadi berburu sesuatu
yang lebih besar dan lebih hidup akan lebih nikmat lagi, meskipun aku tidak
sepenuhnya yakin.
Ketika aku meninggalkan
titik awal, aku menemukan ada makhluk-makhluk yang lebih besar yang tampak
seperti tikus. Mereka jauh lebih berhati-hati daripada serangga dan tidak
berani mendekatiku. Mereka juga cepat melarikan diri.
Mungkin aku bisa
menjadikan salah satu dari mereka sebagai hewan peliharaanku?
Pukul!
Mungkin tidak.
Rasanya enak sekali.
Seperti ceri atau stroberi.
Saat aku menjalani cara
sederhana ini, tubuh aku berubah.
Dan bukan berarti aku
gemuk karena terlalu banyak ngemil. Warna kuning tuaku menjadi lebih cerah,
seperti telur segar dari ayam kampung dan puding mahal yang terbuat dari krim
kental. Tubuhku yang seperti mayones terpisah perlahan mengeras menjadi flan—atau
slime, tapi bukan jenis yang kenyal dan menggemaskan seperti yang kau
bayangkan. Lebih seperti krim puding yang dibuang ke lantai.
Mengapa juga aku terus bandingin
diriku dengan makanan…?
Bagaimanapun, meski aku
senang memakai warna yang lebih dingin, itu tidaklah cukup.
Apakah ini berarti aku
sedang tumbuh?
Meskipun aku sudah menjadi
begitu berat hingga aku tidak bisa mengapung lagi?
Tunggu, apa ini artinya
aku benar-benar gemuk? Apa aku cuma gemuk sekarang?!
Sekarang setelah aku
menjadi lebih padat dan lebih seperti puding mahal, mungkin aku benar-benar
terasa seperti puding, seperti bagaimana serangga itu memiliki segala macam
rasa yang berbeda?
Mungkin aku terlihat lezat
di mata makhluk lain?
Begitu pikiran itu
terlintas di kepalaku, aku berhadapan dengan makhluk yang belum pernah kulihat
sebelumnya.
“Kreee!”
Aku hanya bisa menatapnya.
Itu besar sekali!
Itu monyet. Atau
setidaknya terlihat kayak monyet. Apa kita melewatkan beberapa level?!
Biasanya, kita akan bertemu slime sepertiku selanjutnya!
Tapi mungkinkah tak ada
makhluk lain sepertiku di sini karena monyet yang lebih berevolusi ini telah
memburu mereka semua? Atau mungkin seekor slime telah menjadi kanibal lalu
berevolusi menjadi monyet ini. Itu tebakan terbaikku. Mungkin aku juga berevolusi
dari salah satu serangga kecil itu, lalu aku mengembangkan kesadaran dan
menjadi diriku sendiri.
Yang berarti monyet ini
kedudukannya lebih tinggi dalam urutan kekuasaan dibanding aku.
Monyet ini tidak sebesar
simpanse; lebih mirip lemur hitam atau primata kecil lainnya. Ia tampak lebih
kecil dari aku, tapi aku merasa tubuhnya jauh lebih padat daripada tubuhku.
"Kreee!"
Monyet itu punya bekas
luka merah terang di dahinya dan menyeringai seperti manusia. Aku agak takut.
Wah… Nyeremin sekali.
Tapi kengerian itu
membantuku tetap tenang. Memang mengejutkanku, tapi meskipun monyet itu lebih
berevolusi, aku tetap sama pekanya.
Hmm, apa yang harus
kulakuin? Bisakah aku melawannya? Bisakah aku menghajarnya sekuat tenaga kayak
serangga? Sekarang setelah aku tenang, makhluk itu nggak lagi terasa menakutkan,
meskipun nyeremin, tapi aku nggak yakin bisa melawannya.
Ahhh… Tapi monyet itu…
kelihatannya lezat sekali…
“Kreee…”
Seolah merasakan ada
sesuatu yang berubah pada diriku, monyet itu berhenti tersenyum dan mengambil
sikap lebih waspada.
Bahkan aku bisa merasakan
tubuhku menjadi lebih gelap.
Kalau begitu, mari kita
mulai?
Aku akan melahapmu
tanpa menyisakan sedikit pun…
Monyet itu tampak hendak
menerkamku, jadi aku meregangkan tubuhku yang kenyal untuk menguatkan diri.
Namun…
Hah?!
“Kreeee?!”
Baik monyet maupun aku
melompat mundur bersamaan.
Apa yang terjadi?!
Sekeliling kami tiba-tiba dipenuhi aura hitam, seperti aspal batu bara yang
lengket. Sensasinya begitu kuat sampai-sampai kupikir tubuhku yang terbuat dari
puding akan hancur.
Oh, tunggu. Hei,
monyet! Jangan lari-lari sendirian! Badanku berat banget sekarang, aku nggak
bisa gerak secepat itu!
Aku berpikir untuk
melarikan diri, tapi aku tidak bisa.
Di dekatnya, berdiri di
atas dinding batu yang agak tinggi, seekor macan kumbang raksasa berdiri dengan
gagah berani namun tanpa ragu menunjukkan keganasannya, bulunya hitam pekat.
Alih-alih terintimidasi,
aku justru terpikat oleh keindahannya dan akhirnya menatap binatang itu dengan
rasa takjub.
Kalau dibandingkan dengan
ukuran monyet, aku sendiri seukuran kucing besar. Namun, macan kumbang ini
sepertinya bahkan lebih besar dari gajah. Dan warnanya hitam legam sekali...
Aku menyadari bahwa "bersemangat" bukanlah kata yang biasa
digunakan untuk menggambarkan warna hitam, tetapi hanya itu satu-satunya kata
yang terlintas di benak aku.
Ekor bercabang makhluk itu
lebih panjang dari tubuhnya, dan ia melesat seperti cambuk. Batu di bawahnya
diremukkan oleh cakar peraknya saat ia menatapku dengan mata perak. Itulah
pertama kalinya aku bertemu makhluk cerdas lain di dunia ini.
Aku sadar aku... takut.
Itu pertama kalinya aku benar-benar merasa takut sejak aku sadar di dunia ini.
Tapi aku tak bisa berhenti
menatap macan kumbang itu. Aku bahkan tak peduli. Aku tak bisa mengalihkan
pandanganku dari makhluk luar biasa ini.
Ooh… aku benar-benar…
ingin mengelusnya. Aku sangat ingin mengelusnya.
Aku hanya tahu ia akan terasa begitu lembut dan halus. Dadanya pasti akan
terasa empuk dan lembut. Ooooh! Pasti rasanya luar biasa!
"Hei." Saat ia
menatapku, aura ganas macan kumbang itu memudar. Dengan gestur yang sangat
manusiawi, ia menundukkan kepalanya dengan rasa ingin tahu. "Kenapa kau
tidak takut padaku?"
Hm?! Itu tadi suara.
Apa yang aku dengar secara
harfiah adalah geraman macan kumbang, tetapi dalam pikiran aku, itu menjadi
kata-kata nyata yang bermakna bagiku.
Sekuat apa pun aku
berusaha, aku tak bisa menjawab. Aku sangat terkejut mendengar kata-kata cerdas
untuk pertama kalinya di dunia ini.
Suara macan kumbang itu
ternyata bagus—berat, seperti suara pria baruh baya. Mungkin seperti pria
berusia awal tiga puluhan. Terus terang, aku sangat menyukai suaranya, jadi aku
mencoba melompat-lompat untuk menyampaikannya. Meskipun aku tidak bisa
bersuara, aku merasa setidaknya macan kumbang itu memahami antusiasme aku.
Macan kumbang itu
menatapku dengan tatapan terkejut, meskipun aku seekor macan kumbang. "Kau
mengerti maksudku?"
Aku ingin mengangguk namun
tak bisa, jadi aku mencoba untuk mengekspresikan diriku dengan seluruh tubuhku
ketika macan kumbang itu tiba-tiba menjepitku dengan kaki depannya yang besar.
"Apa yang kita miliki
di sini? Seperti dugaanku—kau tidak menghilang. Kau pasti punya jati diri yang
kuat di sana."
Apa?! Kalau aku nggak
bisa membentuk jati diri, apa aku bakalan dimakan cuma karena diinjak-injak?!
Aku sempat berpikir gitu, tapi... Wah, aku lolos dari maut.
Saat aku gemetar
memikirkan hal itu, aku bisa merasakannya tersenyum tipis. "Tidak perlu
takut. Atau kau marah?"
Aku tidak benar-benar
marah, tapi semua ini agak sulit diterima, tahu? Macan kumbang itu sepertinya
mengerti ketika ia melepaskan kaki depannya dan mendekatkan wajahnya untuk
menatapku.
"Tenang saja. Aku
tidak berencana menyakitimu lagi. Tapi ada sesuatu yang tidak kumengerti—kenapa
kau masih punya bentuk seperti itu?"
Hm?
Kenapa? Bukannya aku
mengubah diriku menjadi sesuatu yang tampak lezat karena aku ingin terlihat
seperti ini. Dengan tubuhku yang menggoda dan berbalut krim puding, aku
berusaha menampilkannya sebaik mungkin.
Hebatnya, macan kumbang
itu mengerti dan menjelaskan dengan nada kesal, "Seseorang semaju
dirimu seharusnya berevolusi secara alami menjadi tubuh yang lebih mudah
bergerak, karena tubuhmu lebih padat dan berat. Seperti makhluk yang kau lawan,
misalnya. Biasanya, itulah titik di mana makhluk mengembangkan rasa dirinya,
tetapi kau tampaknya kasus yang unik. Aku berencana memakan siapa pun yang
memenangkan pertengkaran kecilmu, tetapi ternyata aku menemukan sesuatu yang
lebih menarik."
Aduh, aku benaran
beruntung. Dia pasti udah memakanku, bahkan jika aku ngalahin si monyet itu.
"Biasanya, kau
berevolusi berdasarkan naluri. Kurasa, karena rasa percaya dirimu yang kuat,
kau merasa puas dengan wujudmu saat ini? Tapi, jika kau tidak membentuk kembali
tubuhmu, kau takkan bisa melarikan diri jika bertemu makhluk yang lebih kuat.
Kurasa stagnasi ini hanyalah akibat dari memiliki jiwa yang kuat, tapi jangan
khawatir, tidak semuanya buruk."
Aku masih bingung.
“Karena kau sudah punya
jati diri, seharusnya mudah bagimu untuk membentuk tubuh yang cukup kuat.
Berevolusi berdasarkan naluri, mudah bagi kebanyakan orang untuk berubah
menjadi salah satu tipe monyet itu. Mereka tidak lemah, tetapi kemampuan mereka
rata-rata. Kau butuh keberuntungan jika ingin menjadi makhluk yang lebih kuat.
Anggap dirimu beruntung karena bertemu denganku lebih dulu.”
Dia tidak salah. Aku
mungkin akan mati seandainya bertemu makhluk lain yang lebih kuat dariku.
"Coba berevolusi. Aku
akan mengawasi."
Dia ternyata sangat baik.
Aku punya banyak pertanyaan tentang dia, diriku sendiri, dan semua yang ada di
sini, tapi kebaikannya saja membuatku lebih mudah menerima kenyataan pahit ini,
jadi aku memutuskan untuk fokus pada perkembangan diri.
Aku ingin menjadi apa? Aku
pernah berevolusi berdasarkan keinginanku saat itu, jadi aku harus
memikirkannya matang-matang. Namun, sejak awal aku sudah memutuskan jalan mana
yang akan kutempuh.
Aku membuat tubuhku lembut
dan lentur agar bisa melakukan itu, tetapi dia tiba-tiba menginjakku dengan
kekuatan besar.
“Kau mencoba menghinaku?”
Apa?!
"Kau gak bisa
langsung punya wujud humanoid. Berhenti main-main di sini."
Dia begitu mengintimidasi
sampai-sampai aku ingin menangis. Padahal aku tidak bisa.
Tentu saja, Dunia Cahaya
itu istimewa bagiku, jadi aku sangat ingin menjadi manusia. Sulit rasanya
berubah menjadi wujud lain setelah hatimu menetap pada satu bentuk. Itulah
sebabnya aku mencoba menjadi manusia. Tapi menurutnya, itu sama saja dengan
bunuh diri.
“Bodoh sekali memilih
humanoid sejak awal.”
Humanoid itu lemah. Masuk
akal kalau dipikir-pikir. Jika manusia dan hewan karnivora seukurannya
berkelahi, biasanya hewan itu yang menang. Manusia hanya kuat karena mereka
berkelompok dan membuat senjata.
Namun, asumsi seperti itu
tidak ada artinya di dunia ini. Karena itulah, jika aku ingin menjadi lebih
kuat, aku harus menjadi binatang seperti dia atau serangga. Dia bilang kalau
aku sangat menginginkan lengan dan kaki, aku bisa berkompromi dengan menjadi
monyet biasa.
Bahkan berevolusi menjadi
monyet biasa pun akan memberiku peningkatan kekuatan yang signifikan. Aku cukup
yakin gorila juga bisa mengalahkan karnivora. Namun, apakah aku bisa berevolusi
sejauh itu atau tidak, itu semua soal keberuntungan.
Beberapa makhluk memiliki
tanduk dan sisik. Dia bilang aku juga bisa mencoba meningkatkan serangan atau
pertahananku dengan mendapatkan salah satunya. Namun, dia tidak bertanduk atau
bersisik. Menurutku, menjadi seperti dia dan tidak bertanduk atau bersisik
terlihat lebih cantik dan keren. Dia sepertinya mengerti apa yang kupikirkan,
dilihat dari seringainya.
"Semakin lemah
makhluk itu, semakin mereka mempercantik diri. Cakar dan taring saja sudah
cukup bagiku."
Oooo… Dia sangat keren.
Dia juga bercerita bahwa
ada kasus di mana suatu makhluk berubah menjadi humanoid setelah menjadi sangat
kuat—cukup kuat untuk menjadi bos wilayah mereka. Macan kumbang hitam itu
mungkin juga bisa menjadi humanoid jika dia mau, tetapi berdasarkan ceritanya,
aku rasa dia bangga dengan wujudnya saat ini.
Jadi, kembali ke topik
tentang apa yang kuputuskan untuk berevolusi. Kupikir aku hampir tidak mungkin
berevolusi menjadi sesuatu seperti manusia buas bertelinga kucing, tapi aku
mungkin akan lemah dan aku punya firasat bahwa, berdasarkan ukuranku saat ini,
aku hanya akan bisa berevolusi menjadi anak-anak.
Mungkin aku harus pilih
bentuk binatang kayak dia? Aku terus aja ngomongin kucing, jadi mungkin aku memang
sebaiknya njadi kucing. Pasti menyenangkan kalau bisa mirip dia.
“Sudah memutuskan
sekarang?”
Aku mulai bergerak lagi,
jadi dia mengalihkan perhatiannya kembali kepadaku. Dia dengan sabar menunggu
aku memutuskan. Dia tetap sekuat dulu, tapi aku tak takut lagi padanya.
"Kalau begitu,
mulailah. Yang penting adalah fokus memproyeksikan ke dalam dirimu sendiri
makhluk seperti apa yang ingin kau jadikan dan kekuatan seperti apa yang ingin
kau miliki."
Dimengerti! Aku melompat menanggapi sambil mulai menguatkan citra diriku.
Aku membayangkan kucing
yang ramping, keren, dan cantik. Aku suka bulunya yang halus, tapi aku juga
suka bulu pendek. Aku tidak suka bulunya rontok.
Berhenti. Aku harus
fokus pada penampilan yang kuinginkan. Cantik dan imut itu penting. Aku juga
suka anjing, tapi aku yang begitu lemah dalam mimpi itu selalu merasa capek tiap
kali ada anjing di sekitar dan mereka selalu kelihatan pengin main terus.
Aduh, aku teralihkan
lagi. Harus membayangkan seperti apa penampilanku nanti... Aku ingin berlari
cepat menembus kegelapan dan tampil keren dengan mengalahkan musuh-musuhku kayak
ninja dengan cakar dan taringku.
Sesuatu yang bisa
terbang lincah di tanah... Hmm? Terbang? Jadi burung kayaknya seru. Elang
memang keren. Kurasa hanya alap-alap yang cepat? Tapi kita butuh lebih dari
sekadar kecepatan untuk bertahan hidup. Setidaknya, itulah yang kurasakan.
Sesuatu yang bisa terbang cepat tanpa menabrak apa pun, bahkan di dalam gua...
Enggak, enggak, enggak!
Bukan terbang! Aku maunya jadi kucing—kucing! Aku kucing. Kucing. Kucing.
Kucing. Aku kucing. Anak kucing yang cantik nan imut...
"Apa-apaan itu?"
"Aku bingung harus
bilang apa." Aku berhasil! Aku sudah berevolusi dan bisa bicara sekarang.
Tapi meskipun aku sangat gembira, ekspresinya jelas muram, meskipun dia seekor
macan kumbang.
Ketika evolusiku selesai,
aku menjadi seekor kucing.
Penampilanku persis
seperti yang kubayangkan: aku yang cantik nan imut. Bahkan aku pengin memuji
diriku sendiri.
Namun, meskipun aku seekor
kucing, aku telah menjadi anak kucing yang sangat kecil—dan sayap kelelawar
kecil di punggungku sangat imut. Warna kulitku yang seperti krim puding kini menjadi emas yang indah. Mataku yang
bulat dan imut tampak seperti batu rubi. Cakar dan taringku berwarna merah
cerah dan berkilau seperti batu permata bening—yang jelas-jelas hidup.
Kini aku bagaikan permata
dunia. Seekor anak kucing yang begitu menggemaskan hingga aku yang ada di dunia
mimpi pasti ingin merawat dan memelukku sepanjang hari.
“Bagaimana rencanamu untuk
bertarung seperti ini?”
“Eh, eh…”
Aduh. Dia marah. Kenapa?
Yah, aku bisa menebaknya.
Dia marah karena aku bodoh.
Bahkan aku sendiri tahu aku bodoh. Ini bukan cara yang tepat untuk bertahan
hidup di dunia di mana yang kuat memangsa yang lemah.
"Hah... ha..."
Aku tak kuasa menahan tawa, berusaha meredakan suasana. Dia hanya menatapku
dengan tatapan dingin yang mengejutkan.
Apakah dia sudah
kehilangan niat baiknya padaku? Ah, sudah cukup aku bertemu seseorang yang bisa
kuajak bicara.
Aku suka suaranya, dan aku
sangat berharap dia mengizinkanku mengelusnya. Aku tahu sekarang aku punya bulu
sendiri, tapi ini berbeda.
Dia terus menatap dalam
diam.
Aku mulai tertatih-tatih
menghampirinya dengan kaki-kaki mungilku dan terjatuh di tengah jalan. Teringat
aku kini punya sayap kelelawar, aku mencoba mengepakkannya dan mengangkat
tubuhku ke udara sebelum jatuh terduduk lagi.
Kini, kami berdua
tenggelam dalam keheningan.
Aku bingung harus berbuat
apa dengan betapa canggungnya keadaan saat ini. Saat itulah dia mendesah keras
dan mendekat, memamerkan taringnya.
"Eek?!"
A-apa dia akan memakanku?!
“Jangan bergerak.”
Chomp. Dia mulai berjalan, menggigitku seperti ayah kucing.
Dibandingkan dengannya,
aku lebih mirip hamster yang dimangsa karnivora besar. Apa yang dia lakukan?
“Uhhhh?”
"Aku tidak ingin
memakanmu. Sudah lama sejak terakhir kali aku punya teman bicara yang cerdas.
Itu saja. Ini akan merepotkan, tapi aku akan membesarkanmu sampai aku bosan
denganmu. Kau seharusnya bahagia."
"Oke…"
Dulu aku kesepian dan
menginginkan seekor binatang peliharaan, sekarang aku menjadi binatang
peliharaannya, dan kami berdua pun memulai hidup bersama.
Namun, dalam pikiranku,
aku adalah seorang gadis. Dan meskipun dia seekor macan kumbang hitam, dia juga
seorang pria dengan suara merdu. Membayangkan menjadi peliharaannya membuatku
sedikit malu.
"Kau tidak memikirkan
hal aneh-aneh, kan?" tanyanya.
"T-tentu saja gak.
Ooooh, ya, jadi bolehkah aku bertanya sesuatu?"
"Ada apa?" Dia
terdengar curiga, tapi dia tetap menjawabku.
Area yang kumasuki ini
sebenarnya adalah wilayah kekuasaannya, tapi bukan "sarangnya".
Karena kami tidak perlu tidur atau makan, dia tidak perlu mencari tempat aman
untuk dirinya sendiri.
Namun, dengan tubuh
kucingku yang lemah dan sebagainya, aku memang menginginkan tempat yang aman.
Bukan berarti ada yang lebih kuat dariku yang berani menyerang karena takut
padanya.
“Di mana tepatnya kita
berada?”
Yang dia lakukan hanyalah
tersenyum tipis menanggapi pertanyaanku yang samar nan bodoh itu, sambil
mencoba menebak apa maksudku sebenarnya. "Kurasa yang kau maksud bukan
wilayahku, tapi dunia ini sendiri?"
"Ya."
"Pertanyaan yang
aneh. Kau tidak dipanggil sebelumnya? Bukankah begitu caramu memperoleh bahasa
dan pengetahuan?"
"'Dipanggil'? Tidak,
kurasa aku baru saja lahir."
"Apa?" Dia
terdengar terkejut, jadi aku mulai bercerita tentang diriku.
Karena dia tahu tentang
humanoid dan manusia, kupikir dia mungkin juga tahu tentang Dunia Cahaya dari
mimpiku. Aku sudah menduga ini mungkin dunia yang sama sekali berbeda, tapi aku
sungguh tidak ingin itu terjadi.
“Kenangan mimpi? Jiwa-jiwa
yang dibawa ke dunia ini hancur dan kehilangan pengetahuan yang mereka miliki.
Aku tidak yakin apakah kau lahir dari kumpulan pengetahuan atau kau hanya
mengingatnya, begitukah.”
Aku terdiam.
Tunggu jadi ini
artinya, ada kemungkinan aku sebenarnya bukan gadis seperti yang kupikir…
Bagaimanapun, gambaran
seekor macan kumbang hitam raksasa dan seekor anak kucing emas yang berbicara
dengan nada serius satu sama lain agak surealis.
Aku merasa mungkin aku
tidak menanggapi serius situasi ini sebagaimana mestinya, tetapi aku hanya bisa
menjadi diri aku sendiri, Akibatnya, aku justru lebih terganggu oleh
kekhawatiran-kekhawatiran kecil yang sebenarnya tidak terlalu penting.
Kalau dipikir-pikir, aku
heran betapa mudahnya dia menerima semua ini. Aku yakin sebagian alasannya
karena kecerdasannya, tapi aku juga merasa orang sekuat dia tidak
mempermasalahkan hal-hal kecil.
"Adapun dunia ini, ia
memiliki banyak nama yang berbeda. Hanya ras tertua yang dapat memahami
kebenarannya."
Oke, tapi aku tidak
meminta sesuatu yang teknis.
"Manusia punya satu
istilah untuk dunia ini. Mereka menyebutnya Dunia Ethereal."
“Dunia Ethereal?”
“Di sini, aku akan
menjelaskannya dengan cara yang bisa Kau pahami.”
~Arigatou gozaimasu
Pada dasarnya, tempat di
mana manusia, hewan, dan makhluk hidup lainnya hidup disebut Dunia Material,
dan tempat ini—tempat yang dipenuhi jiwa-jiwa berkemauan keras—disebut Dunia
Ethereal.
"Lihat ke Atas."
"Ke atas?"
Aku mendongak seperti yang
dilakukannya, melihat langit di atas sana tertutupi oleh awan gelap berkabut
seperti biasa.
"Itu bukan langit.
Itu dinding pembatas. Dunia Ethereal terbagi menjadi beberapa lapisan. Di atas
sana ada lapisan yang disebut Alam Peri."
Mendengarnya memang
mengejutkan, tapi aku tidak bingung.
Atau mungkin lebih masuk
akal untuk mengatakan bahwa aku perlahan-lahan memahami maksudnya. Dalam mimpi
itu, ketika aku terjebak di tempat tidur, orang-orang yang aku kira adalah
saudara laki-laki dan perempuan aku telah membacakan berbagai macam cerita fantasi
dan mitos kepadaku.
“Apakah ada Surga juga?”
"Surga? Belum pernah
dengar yang seperti itu, tapi level tertinggi Dunia Ethereal disebut Alam
Elemental. Di sanalah para makhluk yang mengumpulkan jiwa dan menyebarkannya ke
seluruh dunia tinggal."
Jadi, mungkin unsur-unsur
ini tuh lebih mirip sama bayanganku soal dewa dan malaikat, ya? Kalau gitu...
"Hey…"
"Ya?"
"Lalu, di mana kita?
Bagian mana dari Dunia Ethereal ini? Gak, tunggu—apa sebutan manusia untuk
kita?"
“Hmm, kurasa manusia
memanggil kami demons.”
“Aku takut akan hal itu.”
Entah bagaimana, aku sudah
menduganya!
Aku lebih suka menjadi
elemen gelap atau semacamnya, tapi kenyataan tidak sebaik itu. Apa aku
benar-benar melakukan sesuatu yang cukup buruk sampai pantas disebut demon?
Mereka menyebut tempat
kita berada sekarang ini Alam Demon. Lapisan terendah dari Dunia Ethereal
adalah Abyss. Hanya jiwa-jiwa yang rusak dan telah diusir dari semua dunia lain
yang jatuh ke dalam Abyss. Jiwa-jiwa yang tidak dapat dimurnikan, bahkan setelah
dihancurkan, kemudian muncul di Alam Demon dan berubah menjadi demons.
Aku tidak mendapat
jawaban.
Maksudku… kamu beneran
tega ngasih aku gangguan mental seberat itu?
Dan begitulah, aku
menyadari bahwa diriku adalah seorang demon. Tapi untungnya aku sekarang
memahami diriku sendiri—atau setidaknya, itulah yang kuputuskan.
“Pertama, kita perlu
melakukan sesuatu terhadap bentuk tidak efektif yang telah Kau ambil.”
“Tapi itu lucu, kan?”
“Dan bagaimana tepatnya kau
berniat untuk bertahan hidup?”
Bercanda, dia menggigitku.
Aku takut gigita saja sudah cukup untuk membunuhku, jadi aku berharap dia tidak
melakukannya.
“Jangan jatuh sekarang,”
dia memperingatkan.
"Oke."
Karena aku belum bisa
berburu sendiri, dia akan pergi berburu untukku.
Kali ini, alih-alih
menunggangi mulutnya, aku menunggangi kepalanya seperti rambut palsu pirang.
Tapi aku tak bisa menancapkan cakarku padanya kalau aku mau jatuh, karena aku
yakin dia akan menggigitku lagi kalau aku melakukannya.
Dia itu lumayan baik untuk
ukuran demon, pikirku, tapi aku benar-benar
menyadari betapa demon dia sebenarnya dari betapa kejamnya dia membunuh setiap
makhluk lendir—makhluk sepertiku dulu—yang kami temui dan mencabik-cabik semua
monyet mini itu dengan cakarnya.
Aku tidak begitu yakin
dengan slime-slime itu, tapi aku bisa merasakan ada rasa percaya diri dalam
monyet-monyet mini itu dari tatapan mereka yang penuh ketakutan saat dia
mencabik-cabik mereka.
Ngomong-ngomong, monyet
mini itu rasanya seperti apel dan anggur. Enak banget.
“Apa ini akan membuatku
lebih kuat?”
"Aku cukup yakin kau
seharusnya bisa berburu sendiri jika kita terus begini. Meskipun kupikir kau
berhasil menjadi lebih kuat sendirian."
"Hah?
Bagaimana?"
“Kekuatan demon bergantung
pada dirinya sendiri. Kau sudah memiliki rasa diri sejak awal, jadi berkat
semua kebiasaan makanmu yang kejam, aku yakin kau seharusnya sudah bisa
menangani monyet-monyet kecil dan sejenisnya sendirian.”
"Kejam?"
Apa gak ada cara yang
lebih baik untuk menjelaskannya? Yang kulakukan hanyalah sedikit kehilangan
kendali atas nafsu makanku...
Kurasa aku tak cukup kuat
untuk melawan monyet-monyet kecil itu, dan monyet yang berbekas luka itu agak
lebih besar daripada yang lain. Tetap saja, semuanya jadi agak membingungkan.
“Katakan, Tuan Black Panther,
siapa namamu—?”
"'Black
Panther'?" selanya. "Jangan panggil aku begitu. Kita demons tidak
bernama sejak lahir. Jika demons mulai saling memberi nama, itu akan menyangkal
keberadaan kita dan melemahkan kita."
"Benaran?"
Pada dasarnya, tak satu
pun penghuni Dunia Ethereal punya nama. Seperti katanya, memberi demon nama
kepada demon lain adalah tindakan ofensif yang mengingkari keberadaan mereka.
Kurasa inilah alasan aku juga tak bisa memberi nama pada diriku sendiri.
Ada beberapa makhluk
bernama demons yang tinggal di Alam Demon. Mereka dipanggil ke Dunia Material,
entah melalui pemanggilan atau metode lain, dan diberi nama oleh orang-orang
dari spesies lain.
Penghuni Dunia Material
dapat memberi nama kepada demon. Demon yang diurapi dengan nama-nama ini
kemudian menjadi lebih kuat, karena mereka memiliki kesadaran diri yang lebih
kuat.
Namun, ada juga
kekurangannya: Manusia yang rapuh hanya bisa menamai demon jika lebih lemah
dari orang yang memanggilnya. Dengan menamai mereka, jiwa mereka akan
terhubung, dan jika keadaan memburuk, salah satu dari mereka mungkin secara
tidak sengaja menggunakan yang lain hingga mati.
Bahkan ada insiden di mana
seorang manusia mencoba memberi nama secara paksa kepada demon yang kuat, lalu
jiwanya hancur. Kedengarannya memang menakutkan.
Seseorang sekuat rekanku
mustahil diberi nama oleh makhluk dari Dunia Material. Mungkin salah satu naga
terkuat pun bisa? Apakah naga memang ada? Bagaimanapun, mungkin orang seperti
itu bisa memberinya nama, tetapi mayoritas makhluk seperti itu memandang demons
dengan permusuhan, jadi dia bilang itu tidak akan terjadi.
“Kalau begitu, aku harus
memanggilmu apa?”
“Kami tak punya nama, tapi
kami punya gelar dan spesies. Panggilan kami berbeda-beda, tergantung warna
bulu atau sisik kami dan tempat tinggal kami. Makhluk lain memanggilku 'Si Dark
Beast.'”
“Dark Beast?”
“Aku satu-satunya di
spesiesku, jadi begitulah caramu menyebutku.”
"Si Dark
Beast"? Aku sebenarnya nggak terlalu suka
itu, jadi mungkin aku akan tetap memanggilnya "dia" saja.
Berdasarkan apa yang dia katakan, sepertinya mereka lebih tertarik pada gelar
taksonomi daripada spesies. Kurasa tidak masalah jika dia satu-satunya.
Namun perlu dicatat, bahwa
ia terus memanggil semua monyet mini demons hanya dengan sebutan “monyet.”
“Baiklah, Tuan Dark Beast.
Gimana denganku?”
Sungguh menyebalkan bahwa
demons juga tidak bisa memberi nama pada diri mereka sendiri.
“Lupakan soal ‘Tuan.’
Panggil aku apa saja.”
"Oke. Terus gimana denganku?"
"Spesiesmu? Hmm, kau
memang jenis yang tidak biasa."
Ternyata binatang seperti
kami itu tidak biasa. Sampai aku berevolusi, dia berasumsi aku akan menjadi
seperti monyet, meskipun aku cerdas. Jahat sekali.
Nama “Dark Beast” untuk
spesiesnya awalnya berasal dari makhluk cerdas selama jangka waktu yang panjang
setelah mereka memanggilnya seperti itu.
"Baiklah, aku sudah
memutuskan. Karena spesiesmu mirip dengan spesiesku, kami akan memanggilmu 'Si Golden
Beast.'"
"Uh, Makasih."
Golden Beast karena aku
kucing emas? Ya, tentu saja, terserah.
Tapi aku tidak
mengatakannya keras-keras. Wajahnya begitu penuh kemenangan, dan aku hanya bisa
mendesah pelan.
***
Beberapa waktu berlalu dan
aku cukup terbiasa dengan kehidupan sebagai seorang demon.
Monyet-monyet mini itu
sangat takut padanya, tapi tentu saja mereka akan menunjukkan taring mereka
pada anak kucing sepertiku. Mereka ternyata mudah dibunuh setelah aku terbiasa;
dia benar bahwa aku cukup kuat.
Aku berhenti terlalu
peduli dengan tatapan ketakutan di mata mereka saat aku membunuh mereka.
Mungkin itu naluri demonik untuk tidak peduli dengan hal-hal semacam itu.
“Itulah kualitas yang
selalu kau miliki.”
"Hah?"
Apa sih yang dibicarakan
kucing raksasa ini?
"Aku tidak bermaksud
jahat. Aku berpikir alasanmu masih punya ingatan mungkin karena ada roh yang
masih hidup di dalam dirimu."
Dia berbicara tentang
hal-hal yang nggak aku mengerti lagi.
Pada dasarnya, jiwa
merupakan wadah kehidupan, sedangkan ingatan merupakan hal yang sama sekali
berbeda.
Makhluk hidup yang
memiliki jiwa membentuk rasa diri mereka berdasarkan jiwa mereka setelah mereka
menyadari diri. Bagi manusia, jiwa mereka berkembang berdasarkan pengalaman
mereka dan menjadi roh.
Roh mengumpulkan ingatan
dan emosi sebagai pengalaman. Ketika mereka bertransmigrasi, mereka mengonsumsi
poin pengalaman tersebut untuk berpotensi menghasilkan kemampuan yang lebih
besar di kehidupan selanjutnya. Jika mereka menyimpan semua ingatan mereka saat
memasuki kehidupan selanjutnya, maka mereka tidak akan mendapatkan bonus apa
pun untuk kemampuan mereka.
Tetapi itu berarti aku
tidak mempunyai kemampuan.
“Jadi, kurasa gak ada
manusia dengan kemampuan hebat yang masih memiliki ingatan mereka, ya?”
"Ada."
Eh Beneran?
"Namun, dalam
kasus-kasus seperti itu, mereka bisa jadi demon berpangkat tinggi atau jiwa
mereka terikat pada makhluk paranormal. Manusia yang masih memiliki ingatan
cenderung sembrono karena mereka percaya bahwa ada kehidupan selanjutnya.
Mereka akhirnya kehilangan semua pengalaman mereka setelah mati dan harus
memulai hidup baru sebagai kutu."
"Benarkah?"
Kembali ke topik
sebelumnya, ketika roh tetap ada, ia memengaruhi tubuh. Demikian pula, roh juga
dipengaruhi oleh tubuh.
Biasanya, meskipun
seseorang terlahir kembali dengan ingatan, ingatan tersebut bukanlah ingatan
yang utuh, melainkan hanya rekaman tanpa emosi. Namun, jika seseorang dengan
keras kepala berpegang teguh pada emosi kehidupan masa lalunya, rohnya tidak
akan mampu beradaptasi dan tidak akan mudah mendapatkan poin pengalaman baru.
“Lalu apa artinya itu bagi
aku?”
"Ingatanmu sudah
terasa seperti rekaman, ya? Aku tidak tahu apakah kau punya kehidupan lampau
atau rohmu adalah kumpulan kenangan yang terpecah, tapi karena kau sudah
menerima bahwa kau adalah demon, aku tidak bisa membayangkan seperti apa wujud
rohmu saat ini."
"Jadi begitu."
Ia berpikir bahwa mungkin
jika ada roh di dalam diriku berdasarkan ingatan mimpiku, maka bisa jadi
kepribadian lamanya juga ada.
"Namun, meskipun Kau
telah terpengaruh oleh rekaman itu, Kau tetaplah Kau—Golden Beast. Kau
seharusnya bangga."
"Oke." Makasih.
Ya, akulah aku.
"Ngomong-ngomong,
poin pengalaman jiwa adalah mangsa kami demons. Manusia dengan banyak
pengalaman sangat lezat bagi kami."
"Uh, benar."
Itu benar-benar merusak
segalanya bagiku.
Dan begitulah, aku terus
berbincang tentang berbagai hal dengannya.
Beberapa makhluk jelas
memiliki emosi, seperti monyet mini, jadi aku bertanya kepadanya mengapa kami
tidak berbicara dengan mereka.
“Apakah kau senang
berbicara dengan orang idiot?”
"Aku ngerti
maksudmu."
Ada makhluk cerdas lain di
Alam Demon selain monyet mini. Namun, sebagian besar dari mereka tidak bisa
bercakap-cakap dengan cerdas atau mereka adalah orang-orang bodoh yang sombong.
Karena itulah sudah lama sekali sejak terakhir kali ia menemukan seseorang
sepertiku untuk diajak bicara, seseorang yang tidak takut padanya dan bisa
bercakap-cakap dengan normal.
"Apa kau senang ngobrol
denganku?" tanyaku.
“Apa yang kau ceritakan
kepadaku tentang mimpi itu tentu saja menarik.”
Aku juga senang mengobrol
dengannya. Dia mungkin terlihat garang—dan sebenarnya, aku mungkin takut akan
betapa garangnya dia sebenarnya—tetapi saat mengobrol dengannya, aku mulai
merasakan bahwa dia memiliki pengetahuan dan kecerdasan seperti makhluk yang
telah hidup sangat lama.
Namun, ada saat-saat di
mana kami tidak berbicara.
Mungkin karena kami berdua
spesies kucing, tapi terkadang berguling-guling di tanah itu menyenangkan. Cara
kami bermain dan menghibur diri juga mirip.
"Hehe."
Ketika aku sedang tidur
siang, tiba-tiba dia mulai mengelus perutku yang buncit dengan ujung hidungnya.
Rasanya geli.
Kadang-kadang dia benar-benar bertingkah seperti kucing.
Aku ingin mencakarnya
kalau dia menjilatku, tapi aku tidak kekanak-kanakan sampai mencakarnya sambil
menggulungku seperti bola bulu dengan hidungnya atau menciumku. Lagipula, dia
juga membiarkanku meringkuk di bulunya! Bulunya halus, tapi bulu di sekitar
dadanya menjadi bagus dan halus saat dia rileks. Aku praktis membenamkan diri
di dalamnya, menikmati bulu-bulunya dengan seluruh tubuhku.
Dia juga mengeluarkan bau
yang sangat harum. Aku baru mencium sedikit saja, tapi agak manis, seperti aku
baru saja menjilat alkohol dan agak mabuk. Padahal aku belum pernah minum
alkohol sebelumnya. Aku jadi penasaran, apa perutku juga punya bau yang sama?
Ah, hei, aku bilang
jangan menjilat!
Maka, kami menghabiskan
waktu yang sangat lama bersama. Aku tidak tahu persis berapa lama waktu telah
berlalu, karena waktu tidak benar-benar mengalir di Dunia Ethereal ini, tetapi
aku bisa merasakannya dari seberapa banyak aku berubah.
Dulu aku anak kucing yang
lucu, tapi sekarang aku sudah dewasa dan ramping. Aku tumbuh dari bola bulu
menjadi seukuran kucing liar. Ukuranku memang belum mendekatinya, tapi sekarang
aku mampu mengimbanginya. Meski aku hanya sesekali menggunakan sayapku! Mungkin
aku bisa lebih cepat darinya kalau aku benar-benar menggunakan sayapku?
Aku juga semakin kuat.
Mungkin karena aku terlalu banyak makan dan minum? Tapi dia selalu menangkap
berbagai macam mangsa dan kami praktis tak terpisahkan sejak pertama kali
bertemu, jadi tentu saja aku juga bisa makan.
Aku akan berburu sendiri
setiap kali ingin camilan. Aku bisa merasakan aku semakin kuat dengan cara itu,
entah aku suka atau tidak. Sebenarnya, aku bertemu seekor monyet yang agak
besar beberapa hari yang lalu, tetapi ia langsung lari begitu melihatku. Monyet
sebesar itu memang agak aneh. Sesekali, kami bertemu kelabang atau beast
seperti kami, tetapi kami jarang melihat makhluk sebesar monyet ini.
Karena sebesar
itu, monyet itu tampak seperti simpanse. Tapi, tunggu dulu...
Bekas luka merah di
dahinya itu terasa familiar…
“Apakah kau monyet yang
pernah kutemui sebelumnya?”
“I-itu kamu.”
Ia bisa bicara! Yah,
kurasa itu masuk akal karena ia telah berevolusi hingga titik ini. Bahkan
monyet mini yang lebih tua pun bisa bicara, meskipun kami hanya pernah
mendengar mereka meratap dalam kesakitan menjelang ajal.
Monyet ini mungkin makhluk
evolusi pertama yang pernah kutemui. Yang kuyakini akan kulawan. Itu
benar-benar menyadarkanku. Bagaimana dia bisa selama ini? Dia pasti sudah
besar!
“Kreee!”
"Ah!"
Dia kabur saat aku
mendekat. Dia langsung kabur tanpa membuang waktu. Karena mengira aku akan
mengejarnya, aku pun langsung lari. Tapi tepat saat aku hendak mengejarnya, aku
tercengang karena kehilangan jejaknya.
Apa yang merasukinya? Aku
sama sekali tidak bilang kalau rasanya akan seperti selai stroberi pekat.
Entah kenapa, monyet
demons berbau seperti buah. Aneh sekali!
Meskipun cara dia
menatapku membuatku menyadari betapa kuatnya diriku. Setiap kali aku bermain
dengan Dark Beast, dia akhirnya akan mendorongku ke bawah dan menggosokkan
hidungnya ke perutku, jadi aku tidak menyadarinya.
Apakah aku sudah lebih
kuat? Nah, lain kali aku tahu tidak akan kalah.
Dan hal-hal terus
berlanjut seperti itu sampai suatu hari…
“Hei, apa itu?”
Akhirnya aku kalah dalam
permainan kami dan dipeluk, tapi karena dia benar-benar menyebalkan, aku
menggigit hidungnya dan, sebagai permintaan maaf, dia membiarkanku memeluknya
kembali. Tepat saat aku membenamkan wajahku di dadanya, aku melihat sesuatu di
sudut pandanganku.
Suasana hatinya tiba-tiba
berubah. "Hm? Itu gerbang pemanggilan. Aku pernah mengajarimu tentang itu
sebelumnya." Dia nyaris tak melirikku saat menjawab singkat. Kupikir dia
hanya kesal karena harus mengulang sesuatu yang sudah diceritakannya.
"Bukan itu maksudku.
Semua orang kecil itu ditarik masuk ke gerbang. Apa yang terjadi?"
Dia sedang dalam suasana
hati yang baik sebelumnya. Apa yang merasukinya?
Aku teringat apa yang dia
ajarkan tentang gerbang pemanggilan. Pada dasarnya, gerbang itu seperti pintu
yang bisa dibuat manusia seperti penyihir dari dalam Dunia Material. Demon yang
memasukinya akhirnya dipanggil ke sisi lain.
Aku tidak yakin itu benar
atau tidak, tapi yang bisa kulakukan hanyalah mengingat mimpi itu dan apa yang
dia katakan. Aku sendiri belum pernah melihat manusia atau dunia seperti itu.
Ternyata aku tidak bisa
melewati pintu-pintu ini. Aku sudah bersemangat untuk pergi ke Dunia Cahaya
saat pertama kali mendengar tentang pintu-pintu itu, tetapi aku tidak bisa
melewatinya. Alasannya berkaitan dengan kekuatan pengguna sihir yang memengaruhi
ukuran pintunya. Hanya demons kecil yang bisa melewati pintu-pintu kecil itu.
Meskipun tubuhku kecil, aku sudah cukup kuat untuk bergulat dengannya, jadi
hanya ujung kakiku yang bisa melewati salah satu gerbang kecil itu sekarang.
Suatu kali, aku mencoba memasukkan kaki ke dalam dan meraba-raba, tetapi aku
mendengar semacam jeritan kesakitan di sisi lain dan itu ternyata menjadi
pengalaman yang cukup mengejutkan.
Dulu waktu dia masih
kecil, dia sudah berkali-kali mencoba masuk lewat pintu, tapi sekarang dia
bilang dia bahkan tidak bisa memasukkan ujung cakarnya.
Sihir, ya? Aku pengin banget
lihat sendiri suatu hari nanti.
“Waaa!”
Saat aku sedang asyik
berpikir, ia tiba-tiba berguling, membuatku terlonjak berdiri. Lalu dengan
muram ia berkata, "Yang lebih lemah sedang dipanggil paksa dari pihak
lawan. Kalau itu terjadi, mereka akan dipaksa menjadi budak tanpa kesempatan
untuk membuat perjanjian yang adil."
Ooh, sekarang aku
ngerti. Yang tertarik cuma slime, tikus, sama makhluk lain yang punya kesadaran
diri kayak serangga.
Ketika demons dari Alam
Demon dipanggil ke Dunia Material, mereka membuat perjanjian dengan pemanggil
mereka. Sebagai gantinya, mereka bisa meminta jiwa mereka atau pengorbanan,
tetapi para penghuni Dunia Material tampaknya cukup pelit. Jika mereka berhasil
membuat perjanjian yang baik, mereka bisa bermanifestasi di Dunia Material
tanpa batasan apa pun sehingga mereka bisa mengabulkan keinginan mereka dengan
kekuatan mereka yang dahsyat. Namun, ternyata manusia terlalu takut untuk
memberikan demons kekuatan apa pun.
Namun, karena perjanjian
tersebut, kami tidak akan bisa melakukan hal-hal gila—meskipun Kamu memiliki
sedikit kebebasan jika Kamu berhasil membuat celah dalam perjanjian tersebut,
yang mana demons ahli dalam hal itu.
"Dunia ini penuh
orang jahat. Aku harus hati-hati waktu bikin perjanjian." Aku tidak ingin
menyombongkan diri, tapi aku yakin dengan kemampuanku untuk tidak bisa menahan
diri.
"Kau... Ya. Sebaiknya
kau hati-hati," katanya.
"Hei Bukannya ini
bagian di mana kamu bilang aku bakal baik-baik aja… meskipun sebenernya enggak?"
Lagipula, kita sudah bersama cukup lama.
“Ada sesuatu yang lembut
tentangmu.”
"Hmph." Aku agak
kesal dan mulai memukul wajahnya dengan cakarku. Dia tertawa senang.
Tapi kemudian…
"Hah?!"
Dia sedang tertawa, tetapi
wajahnya tiba-tiba mengeras saat dia membantingku ke belakang dan menggigit
punggungku.
“Hei, itu sakit!”
Karena aku adalah demon,
hal itu tidak menyakitkan secara fisik, namun aku merasakan sensasi dipotong
perlahan dan dapat merasakan dengan kuat perasaannya mengalir dari giginya ke
dalam diriku, dan itu terasa menyakitkan.
Itu pertama kalinya dia
menggigitku sekeras itu, membuatku merinding saat mengingat saat pertama kali
kami bertemu.
Akan tetapi, dari rasa
sakitnya, aku dapat merasakan bahwa dia sangat kesal.
"Hai?"
"Golden Beast… Kau
tidak perlu pergi ke mana pun. Tetaplah bersamaku."
Aku tak bisa berkata-kata.
Dia belum pernah bicara dengan suara seseram itu sebelumnya. Aku langsung
berdiri begitu dia mencabut giginya dari tubuhku dan menempelkan hidungku ke
hidungnya.
“Kadang-kadang kamu tuh
nyebelin banget.”
"Aku bukan
manusia." Gumamnya terdengar seperti dia sedang merajuk, yang membuatku
tertawa kecil.
"Tenang aja. Lagian
aku juga nggak bisa ke mana-mana, kok."
Dia terdiam.
***
Si Black Panther Demon.
Alam Liar Beast di Alam Demon. Si Dark Beast.
Dia benar-benar demon yang
ditakuti dan dia mendapatkan apa pun yang diinginkannya, apa pun yang terjadi.
Setelah hari itu, belenggu
yang mengikatku semakin erat.
Bukannya aku ingin
meninggalkannya atau semacamnya, tapi aku tidak berbohong saat bilang aku tidak
bisa pergi ke mana pun. Menyadari hal itu juga, dia jadi terlalu khawatir,
jangan-jangan aku tiba-tiba menghilang entah ke mana.
Setidaknya, begitulah
rasanya. Apa dia harus begitu bergantung?
Apakah dia selalu posesif
seperti ini?
Aku sudah lama bersamanya,
tapi rasanya kami tidak selalu bersama sepanjang hari. Setiap kali aku lapar,
aku akan berburu sendirian. Setiap kali demon yang kuat menyusup ke wilayahnya,
dia akan berlari dengan penuh semangat untuk melawan mereka.
Namun kini ia selalu di
sisiku. Ia akan menemaniku ke mana pun aku pergi. Dan setiap kali aku tersesat,
ia akan membawaku kembali ke dalam mulutnya.
Tapi masalah terbesarku
dengan semua ini adalah dia tidak mengizinkanku memeluknya lagi. Dia akan
memeluk perutku, tapi setiap kali aku mencoba memeluknya balik, dia akan
membentakku.
Hmph. Apa dia mencoba
mendisiplinkanku atau apa?
"Hah?"
Suatu hari, aku
perhatikan dia nggak ada di mana pun. Aneh… Mungkin sebaiknya aku keluar dan
mencari camilan selagi ada kesempatan? Tapi begitu
pikiran itu terlintas di benak aku, dia kembali.
“Kamu pergi ke mana?”
"Aku sedang
berburu," katanya sambil menjatuhkan makhluk-makhluk yang dililitnya di
kedua ekornya. Mereka gemetar ketakutan.
“Apakah ini sejenis demons
muda?”
Dia telah menangkap empat
demons kecil yang tampak seperti baru saja berevolusi dari serangga. Mereka
tidak berkabut atau lengket. Namun, mereka tidak seperti demons lain di area
ini. Dua berwarna hitam legam yang langka. Satu berwarna kuning, seperti warnaku
sebelum berevolusi. Dan yang terakhir berwarna putih, yang belum pernah kulihat
sebelumnya. Keempatnya sangat tidak biasa.
“Kamu pergi keluar untuk
mencari ini?”
“Aku kebetulan bertemu
mereka.”
Kebetulan ketemu mereka
lagi ngapain? Masing-masing dari mereka samar-samar berbau bunga yang aku suka.
Tapi, di balik itu, ada aroma yang belum pernah kucium sebelumnya di sini, dan
warnanya pun unik.
Apakah seperti ini cara
cowok memberi cewek bunga?
demons kecil itu mulai
gemetar semakin hebat saat aku menatap mereka, yang sebenarnya gak mengejutkan.
Mereka telah ditangkap oleh Si Dark Beast, yang berkuasa di Alam Demon, lalu
dipersembahkan kepada Golden Beast, yang diyakini sebagai anteknya. Sekalipun
mereka tidak memiliki kesadaran diri, mereka akan gemetar hanya karena naluri.
Aku yakin dia pasti
menangkapkannya untukku karena dia ingat rasa apa yang aku suka, tapi rasanya
sia-sia…
Meski begitu, mereka
terlihat sangat lezat.
Tepat pada saat itu,
demons kecil itu melompat ketakutan.
"Hei, nggak perlu
takut. Aku nggak akan memakanmu." Bahkan aku tahu itu sama sekali tidak
meyakinkan.
"Apa maksudnya?"
tanyanya dengan suara rendah.
"Hei, Dark Beast?
Bolehkah aku memelihara makhluk-makhluk kecil ini?"
Dia hanya tersenyum tipis
mendengarnya.
“Kau punya itu untukku,
kan?”
"Benar. Baiklah,
silakan saja," katanya, lalu langsung menjatuhkan diri ke tanah.
Dia sulit dibaca, tapi
seperti buku terbuka, seperti biasa. Yah, terserahlah. Dia sepertinya mengira
aku sedang menghibur diri dengan memelihara mereka. Memang tidak sepenuhnya
salah, tapi karena mereka peliharaanku, aku memutuskan untuk bermain-main dengan
mereka.
“Mari kita
bersenang-senang bersama.”
Mereka menatapku dengan
kaget dan bingung.
Aku berusaha tersenyum
ramah pada mereka, tetapi tampaknya hal itu malah membuat mereka takut.
Setelah itu, aku memulai
proyek membesarkan demonku, yang berarti dia memberi aku sedikit kebebasan lagi
saat aku mengurus demons kecil itu. Meskipun anak-anak kecil ini tampak agak
takut padanya, mungkin dia memberi kami ruang karena rasa hormat.
Dia? Memberi Hormat? Hah. Aku tak bisa menahan tawa.
Jadi, apa pendapat mereka
tentang aku? Waktunya mencari tahu.
Hmm, aku akan
mencobanya.
Kugenggam masing-masing
keping itu dengan mulutku dan kulemparkan ke punggungku. Aku berlari hati-hati
agar tidak jatuh, perlahan-lahan menambah kecepatan sebelum kubentangkan sayap
kelelawarku dan terbang ke langit biru yang luas.
Langit biru yang luas itu
seperti apa? Di mana itu? Hanya ada awan gelap di sini. Tapi rasanya
menyenangkan bisa terbang melewatinya. Sayapku telah tumbuh beberapa kali lebih
besar daripada panjang tubuhku, jadi mereka terlihat sangat keren.
Jadi, apa rencanaku
membesarkan mereka?
Tentu saja, karena
perburuan berlebihan.
Aku terbang menembus
langit gelap dengan kecepatan sangat tinggi. Setiap kali melihat monyet-monyet
mini, aku mencakar mereka hingga berkeping-keping dengan cakarku. Kurasa aku
sudah cukup kuat sehingga melesat melewati mereka saja sudah akan mencabik-cabik
mereka, tapi aku tak peduli. Semuanya baik-baik saja.
Boing! Boing!
Saat demons kecil itu
membunuh dan memakan demons ini, mereka perlahan-lahan berhenti takut padaku
dan mulai melompat-lompat kegirangan di punggungku.
Hei, kamu bakalan jatuh
kalau meronta-ronta kayak gitu. Meskipun aku tidak
sepenuhnya yakin apakah mereka senang karena bisa makan atau karena mereka
menikmati kegembiraan pembunuhan.
Lebih baik tidak
memusingkan hal-hal kecil.
Sepertinya permainan
membesarkan demon seperti ini cocok dengan kepribadianku, karena aku sangat
menikmati proses membesarkan dan merawat mereka. Bahkan, permainan ini membantu
aku melupakan betapa aku ingin pergi ke dunia lain itu.
Saat aku terbang ke
angkasa dengan senyuman di wajahku setiap hari, dia akan melihatku pergi dengan
ekspresi yang tak terlukiskan dari wajahnya.
Sekarang, saatnya
memulai pelatihan hari ini.
Fwap, fwap, fwap, fwap,
fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap,
fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap,
fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap, fwap…
“Hei, kamu! Ini terri-ku—”
Sentakan!
Apa itu tadi?! Kupikir aku
merasakan demon yang cukup kuat di dekat sini, tapi aku tak bisa berhenti
dengan cepat.
Aku begitu asyik meninju
demon sampai mati satu demi satu dengan cakarku, sampai kupikir ada sesuatu
yang menarik perhatianku.
Aku akan pura-pura nggak
lihat apa pun.
Aku tidak berbalik. Aku
akan terus hidup dengan menatap lurus ke depan. Artinya, aku sama sekali tidak
melihat demon mengejarku.
Tapi itu barusan nyaris
banget. Jangan-jangan dia lebih kuat dari aku? Dark Beast sih bilang nggak ada
yang bisa ngalahin aku di tempat ini, tapi siapa yang tahu apa yang bakal kita
temuin di Alam Demon?
Meskipun di atas dan di
bawah sebenarnya tidak terlalu besar, Dunia Ethereal itu seluas angkasa, jadi
aku yakin aku tidak akan pernah sepenuhnya aman dari pertemuan dengan demon
yang kuat, bahkan di Alam Demon ini. Kupikir aku pasti terlalu terbawa terbang
begitu cepat sehingga aku tidak sengaja meninggalkan wilayahnya.
Kurasa aku harus
terbang balik secepat mungkin… sambil ngebasmi monyet-monyet kecil yang kutemui
di sepanjang jalan.
Tapi hewan peliharaanku
memang istimewa. Mereka senang sekali menunggangi punggungku seperti biasa,
padahal aku terus-terusan tabrak lari!
Aku sekarang agak suka
melihat mereka melompat-lompat dan senang mereka tidak takut lagi padaku. Aku
sedikit memperlambat laju perburuanku dan mulai berbicara kepada mereka,
menceritakan semua tentang impianku tentang Dunia Cahaya seperti seorang ibu,
seperti seorang kakak perempuan, seperti seorang guru.
Apa tak apa-apa kalau
seorang demon bermimpi seperti itu? Aku tak akan menghilang begitu saja karena
ini seperti bentuk penyangkalan diri, kan? Yah, kupikir aku akan melewati batas
itu kalau memang harus begitu. Lagipula, aku kan seorang demon. Aku tak memikirkan
konsekuensinya.
Daripada terlalu
mikirin hal yang bikin pusing, mending aku fokus bantuin anak-anak kecil ini
biar bisa ngomong. Soalnya aku yakin mereka juga bakal senang. Oke?
Boing! Boing!
Dan begitulah, kehidupan
terus berlanjut seperti itu. Berkat pelatihanku, mereka menjadi lebih cerdas...
aku rasa.
Mereka sudah cukup besar
sekarang dan bisa berburu camilan sendiri saat lapar. Mungkin usia mereka sudah
siap untuk berevolusi?
“Mungkin kamu harus
memberi mereka nama spesies,” komentar Dark Beast.
"Nama spesies?
Bolehkah aku memberi mereka nama saat ini?" Aku agak terkejut dengan
sarannya. Karena sekarang aku tidak perlu lagi memperhatikan makhluk-makhluk
kecil itu, dia kembali memelukku, jadi aku benar-benar sibuk.
"Biasanya, mereka
tidak cukup pintar untuk memahami hal itu. Namun, mereka mulai menyerap
pengetahuanmu dan menjadi sangat—maksudku, unik."
Apakah dia baru saja akan
mengatakan "aneh"?
“Jika Kau berhasil
membesarkan mereka sesuai dengan gambaranmu, mereka mungkin bisa memperoleh
bentuk yang berbeda dari monyet pada umumnya.”
"Oh, ya? Jadi itu
yang kamu pikir dengan m—ow!"
Dia menggigit perutku. Dia
menjilatiku saat aku bilang sakit, jadi aku benar-benar bingung apa yang coba
dia lakukan. Biarin saja aku sendiri.
"Jadi? Apa yang harus
kubuat?" tanyaku.
“Aku yakin Kau pasti punya
ide-ide aneh.”
"Hmph." Aku
memalingkan muka dengan kesal karena ada nada dingin dalam ucapannya. Siapa di
antara kita yang seharusnya jadi anak kecil di sini?
Tapi sekarang setelah
kupikir-pikir lagi, itu bukan ide yang buruk.
Spesies mereka, ya? Apa
bagusnya? Mungkin aku bisa bikin mereka kayak yang pernah kulihat di buku agama
dari dunia mimpi? Tidak, tunggu, mereka bukan demons— Mereka lebih kayak
setengah dewa, jadi kayaknya nggak cocok kalau diterapin di sini. Gimana kalau
aku bikin mereka jadi monster dari semacam mitos?
Atau... jangan monster
biasa deh. Mungkin sesuatu yang lebih mirip demon, atau mayat hidup? Atau...
bahkan Empat Beast Keberuntungan? Aku mulai
bergumam sendiri sambil memikirkannya, yang membuat keempat demons anak kecil
melompat ke arahku karena khawatir. Oh tunggu, yang putih itu cuma main-main.
Anak-anak demons
masing-masing memiliki kepribadian yang sangat berbeda meskipun aku mengajari
mereka dengan cara yang sama. Aku merasa mereka bahkan telah memilih jenis
kelamin mereka sendiri, seperti yang aku dan Dark Beast lakukan.
"Hmm, karena kalian
berdua warnanya mirip, kurasa kalian bisa jadi kakak beradik." Setelah aku
memutuskan itu, kedua anak hitam itu melompat-lompat riang. Anak kuning itu
lalu menatapku penuh harap. Di mana wajahnya? Anak putih itu berhenti bermain-main
dan menghampiri kami juga.
"Aku akan memutuskan
seperti apa spesiesmu nantinya." Maka, aku mulai membuat statistik untuk
mereka berdasarkan bagaimana aku membayangkan spesies mereka.
Apakah benar-benar tidak
apa-apa bagiku untuk melakukan ini? Mungkin mereka punya ide sendiri tentang
cita-cita mereka. Namun, keempat demons menerima ideku dengan senang hati,
seolah-olah itu hal yang paling normal di dunia.
Ketika aku bertanya
kepadanya tentang kekhawatiranku, dia bilang itu tidak aneh.
"Dalam wujud muda dan
tak terbatas ini, sulit bagi demons untuk menciptakan gambaran tentang seperti
apa mereka ingin menjadi saat berada di Alam Demon jika mereka belum dipanggil
ke Dunia Material. Inilah sebabnya mengapa kebanyakan dari mereka menjadi
monyet jelek yang bahkan tidak memiliki jenis kelamin."
“Kenapa monyet?”
Hanya ada sedikit demons
selain aku dan dia yang bukan monyet di Alam Demon ini. Beberapa menjadi
serangga atau ikan. Bukankah lebih baik jika ada lebih banyak variasi di dunia
ini? Ketika aku menanyakan hal ini kepadanya, dia berpikir sejenak dan tampak
bingung.
"Entahlah. Mungkin
gambaran demons yang dimiliki manusia di Dunia Material memengaruhi kita di
sini."
"Ooh."
Lalu mengapa demons adalah
monyet?
Ternyata ketika
unsur-unsur dari Alam Unsur terwujud di Dunia Material, unsur-unsur api menjadi
kadal, unsur-unsur tanah menjadi kurcaci dan beast, sedangkan unsur-unsur angin
dan air mengambil bentuk maiden—semua karena begitulah manusia berpikir mereka
seharusnya terlihat.
Apakah ini semua karena
gambaran kita tentang mereka dari kisah-kisah heroik? Memang benar, gagasan
tentang elemen air yang tampak seperti orang tua tidak menarik bagi aku.
Masuk akal juga kenapa
demons jelek, tapi kenapa monyet? Aku sama sekali tidak suka membayangkannya.
Aku selalu bilang ke anak-anakku betapa lucunya mereka saat merawat mereka,
jadi pasti mereka akan tumbuh jadi demons yang cantik.
Dan akhirnya tibalah
saatnya bagi mereka untuk berevolusi.
"Apa-apaan itu?"
“Aku nggak yakin harus
berkata apa.”
Aku benar-benar tidak tahu
apa yang baru saja terjadi. Rasanya seperti déjà vu. Tapi kali ini, dia
terdengar terkejut, alih-alih marah.
“NonAnnyAya!” Keempat anak
aku yang sudah dewasa demon sekarang sudah bisa berbicara, meskipun agak sulit
dimengerti.
Ya ampun. mereka imut
banget. Satu-satunya masalah di sini... mungkin mereka terlalu imut.
Dua makhluk hitam yang
kuduga kakak dan adik itu kini memiliki tubuh bulat menggemaskan bak bakpao.
Mereka menatapku dengan mata ungu bakpao yang berkilauan. Satu-satunya yang
mirip demon dari mereka adalah tanduk kambing hitam mereka. Tidak, tunggu dulu—tanduk
pada makhluk yang tampak lebih kalem (yang kusebut adik perempuan) lebih mirip
tanduk domba, bukan tanduk kambing.
Ah, sudahlah. Dua
tanduknya malah bikin dia kelihatan kayak punya kuncir dua, dan itu lucu
banget—jadi, nggak masalah.
Di sebelah mereka ada yang
berwarna kuning dan memancarkan aura yang seolah memohon perhatian. Warnanya
kini mirip denganku—mungkin karena dia ingin meniruku—hanya saja dia seekor
ular. Bukan kucing; ular. Entah kenapa, kulitnya lembut, bukan bersisik, tapi
kurasa itu cukup menggemaskan.
Terakhir adalah si putih
yang suka menghabiskan seluruh waktunya bermain dan sekarang tampak seperti
monyet. Tapi bukan monyet jelek—monyet putih, berbulu halus, dan imut. Dia
sungguh luar biasa berbulu. Entah kenapa, awalnya kupikir dia memakai semacam topeng
badut, tapi ternyata memang begitulah wajahnya sekarang.
“Golden Beast…”
"Oh, ya. Aku
tahu."
Dia tidak perlu mengatakan
apa-apa lagi. Mereka semua hanyalah hewan peliharaan.
***
Kini keluarga kami telah
bertambah dengan anggota yang sudah bisa berbicara, hidup terasa jauh lebih
beragam. Anak-anak terus tumbuh dan dengan senang hati bercerita tentang
penjahat macam apa yang mereka lawan hari itu atau tentang bagaimana mereka
berhasil memakan demon yang lebih besar dari mereka. Percakapan kami memang
agak mengerikan.
Si Dark Beast… Dia
mengizinkanku memelihara hewan peliharaan ini sebagai kalung dan rantai—untuk
menahanku di sini karena keterikatannya yang masih ada padaku. Dan aku tahu
melihat mereka berempat bermain bersama juga membuatnya merasa damai.
Tapi Dark Beast…apa dia
tidak tahu?
Kami demons tidak pernah
memiliki emosi seperti itu sejak awal.
Dan perasaan damai itu
justru membuatku semakin memikirkan Dunia Cahaya yang kulihat dalam mimpiku.
Saat aku memikirkan statistik untuk anak-anak ini, mengingat dengan sekuat
tenaga pengetahuan tentang dunia mimpi itu membuatku kembali merindukannya, meskipun
aku pernah menyerah. Bahkan, merindukannya.
Aku ingin pulang. Perasaan yang tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata mulai meluap.
Api rindu yang dahsyat mulai membakarku.
Aku ingin pulang. Tapi aku tidak bisa.
Karena aku bahkan tidak
yakin apakah dunia cemerlang dalam mimpiku itu benar-benar ada.
Saat itulah aku sadar dia
diam-diam ada di sampingku sepanjang waktu.
Dan bukan hanya dia.
Keempat demons itu merasakan bahwa aku ingin pergi dan menatapku dengan cemas.
Aku ingin pulang. Tapi
aku gak bisa pulang ke dunia itu.
Tapi jika aku bisa
pergi ke dunia di mana orang-orang hidup dengan cahaya yang sama, maka...
Crack!
Tepat pada saat itu,
terdengar suara letupan keras.
Dia dan keempat demons
berjaga-jaga karena mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Tapi aku tahu. Aku
langsung memahaminya: sebuah pintu ke sini telah terbuka dari sisi lain.
Kerinduanku telah menarik
sebuah pintu—lingkaran pemanggil sihir—dari sisi lain kepadaku.
Bukan hal yang mudah bagi
kami demons untuk pergi ke Dunia Material karena emosi gelap yang melekat pada
kami adalah dosa-dosa yang membebani jiwa kami. Jiwa-jiwa yang terbebani dosa
tenggelam ke dalam tanah. Untuk bangkit dari ini, demons normal tidak punya
jalan lain selain seseorang dari sisi lain yang membukakan gerbang bagi mereka.
Apakah aku sudah cukup
kuat sehingga beban jiwaku bisa diabaikan? Ataukah karena aku memiliki
pengetahuan tentang Dunia Cahaya?
Aku tidak tahu alasannya.
Yang kutahu hanyalah bahwa pintu yang kubuka paksa di sisi lain adalah gerbang
pemanggilan raksasa yang cukup besar untuk menyelimuti seluruh tubuhku.
"Ini tidak
mungkin!" Menyadari apa yang terjadi, ia mulai melompat ke arahku. Namun,
terlepas dari kekuatannya, cahaya gerbang pemanggilan itu menolaknya
seolah-olah itu benda asing.
Tentu saja itu akan
terjadi. Aku memahaminya seolah itu adalah hal yang paling normal di dunia.
Lingkaran pemanggilan ini hanya untukku. Lingkaran ini diciptakan hanya untuk
membawaku ke sisi lain.
"Tidak! Jangan
pergi!" teriaknya, sambil berulang kali melemparkan dirinya ke arah cahaya
itu.
Namun gerbang pemanggilan
ini telah dibuat dengan seluruh kekuatanku, jadi tidak mudah untuk
menghancurkannya, bahkan untuknya.
Cahaya redup mulai
memancar dari gerbang. Aku diselimuti cahaya yang kurindukan—cahaya dari
mimpiku—saat tubuhku mulai menghilang di balik gerbang.
Semuanya jadi...
kabur... Aku membuka mata untuk terakhir kalinya
menatap Alam Demon, tempat aku dilahirkan dan dibesarkan. Dia menatapku dengan
tatapan mengerikan di wajahnya.
“Golden Beeeeeeeeeeeeast!”
Suaranya bergema di
telingaku…
Maafkan
aku karena membuatmu marah lagi.
***
Aku bisa melihat cahaya.
Rasanya seperti aku sedang menatap langit dari dasar lautan gelap saat
terbangun. Perlahan, cahaya itu semakin menyelimuti.
Di mana aku? Apa aku
berhasil sampai ke dunia mimpi—ke dunia yang terang?
Aku tak bisa melihat. Aku
juga tak bisa mendengar dengan baik, meskipun ada sesuatu yang terdengar
seperti gumaman samar. Dan aku tak bisa menggerakkan tubuhku.
Mungkin pemanggilannya
gagal? Mungkin aku cuma membeku karena takut mati? Rasanya udah lama banget
sejak terakhir kali aku ngerasa kayak gini. Tapi—
Sesuatu menghantam tubuhku
dengan suara keras dan aku spontan tersentak.
Hah? Aku bisa bernapas?
Aku mendengar teriakan
memekakkan telinga dari sesosok makhluk kecil. Sebelum aku menyadari suara itu
keluar dari mulutku sendiri, aku mendengar suara seseorang yang memiliki
kesadaran diri. Begitu aku menyadari mereka mengucapkan kata-kata, aku berhasil
menyusun kembali suara-suara tak bermakna itu menjadi kata-kata yang bisa
kupahami.
“Ah, anakku sayang. Yulucia-ku yang manis.”
[TL Note: btw ku ngikut ke tl Eng nya soal namanya]
Pada saat itu, seakan-akan
jiwaku tersambar petir.
Aku menyadari bahwa aku
telah dilahirkan sebagai demon tanpa nama dan bahwa, setelah mengerahkan
seluruh kekuatanku untuk dipanggil ke Dunia Material, aku telah diberi nama
dalam tubuh yang telah memperoleh kesadaran untuk pertama kalinya. Keberadaanku
yang dulu ambigu kini telah sepenuhnya diakui.
Dan aku pun kemudian mengerti bahwa aku, seorang demon dari Alam Demon, telah kehilangan seluruh kekuatanku dan terlahir ke dunia ini sebagai bayi manusia yang tak berdaya.