Bab 1 – Wild Bunch [IDN]
Part 1
Menurutku, penipu dan bank itu—ibarat saudara sepupu.
Dari “pernikahan” singkat yang kutinggalkan semalam, yang sempat kubawa hanyalah beberapa puluh perhiasan serta surat kepemilikan rumah dan tanah. Jika semua “hasil rampasan” ini ditukar dengan mata uang resmi, mungkin nilainya sekitar lima ribu pound.
Namun, tentu saja aku tidak bisa seenaknya menukarkan barang-barang yang seakan-akan berteriak “ini hasil curian!” ke dalam bentuk tunai begitu saja. Karena itu, perlu kerja tambahan selama beberapa hari ke depan.
Dengan menempuh jalan berlumpur yang penuh bau kotoran kuda di wilayah timur, aku menjual barang-barang itu sedikit demi sedikit, mensucikannya satu per satu.
Tempat penukarannya selalu sama: bank-bank gelap yang dibangun di pinggiran kota—atau bahkan di tempat terpencil yang bahkan tidak punya jalan—demi menghindari pandangan orang. Di sana, segala hal bisa dijadikan jaminan untuk mendapatkan uang: mulai dari barang curian hingga istri orang.
“Ini surat kepemilikan tanah dan rumah. Lokasinya di desa terpencil bernama Stillfield. Bangunannya baru dibangun setahun lalu.”
Di sebuah bangunan yang dari luar tak lebih dari lumbung tua, aku menunjukkan dokumen itu lewat jendela kecil semacam loket.
Dari balik ruangan gelap itu, muncullah seorang pria berpenampilan lebih mencurigakan daripada tempatnya sendiri, dan berkata,
“Heh… Barang langka juga yang kau bawa. Apa kau semacam perampok?”
“Terserah kau mau pikir aku ini apa. Mau ada darah orang lain nempel juga, yang penting ini barang asli. Cepat cairkan saja.”
Sebagai ganti surat-surat itu, ia menyerahkan sebongkah uang kertas kumal yang nyaris robek.
Itulah uang gelap—dikenal dengan sebutan “Wild Money”, mata uang ilegal yang tidak dikeluarkan oleh pemerintah.
Dengan diberlakukannya liberalisasi perbankan, siapa pun kini bisa mencetak uang sendiri dengan muka mereka terpampang di atasnya. Tak heran negeri ini dibanjiri “uang liar” layaknya anjing-anjing jalanan. Jumlah jenisnya? Paling tidak ada ratusan.
Karena itulah, barang curian atau uang kotor paling aman dicuci melalui bank gelap menjadi uang gelap. Dengan begitu, asal-usulnya tak bisa lagi dilacak.
Namun tetap saja…
“...Cuma segini?”
Uang yang kuterima begitu lemas, mudah terlipat di antara jari-jariku.
“Iya. Kami yang nanggung risikonya, jadi itu harga yang harus dibayar. Lagipula, ini uang kelas delapan. Masih mending kau dapat segitu, tahu?”
Uang itu memiliki nilai tukar sekitar 80% dari mata uang resmi. Tapi jika dibandingkan dengan nilai barang curian aslinya, jumlah itu tetap saja kecil.
Tak ada pilihan lain. Sambil mengklik lidah kesal, kuselipkan uang itu ke dalam jaket.
Saat itulah aku baru sadar akan sesuatu yang sudah lama kulupakan—cincin di jari manis kiriku.
“...Oh ya, sekalian ini juga.”
Kucopot cincin itu dan meletakkannya di atas meja konter.
Cincin pernikahan yang telah kehilangan makna itu kini tampak seperti baru saja dicabut dari jari mayat.
Setelah beberapa hari berlalu, seluruh hasil jarahan akhirnya selesai dicuci bersih.
Kemudian, dengan wajah seolah-olah aku baru saja membawa hasil penjualan bulanan, aku melangkah masuk ke sebuah Free Bank—bank legal dan bebas di tengah kota—dan menumpuk setumpuk uang di loket mereka tanpa ragu sedikit pun.
“Saya mau transfer. Tujuannya ke Smith Bank, ibu kota. Nama dan nomor rekeningnya adalah…”
Dengan demikian, uang liar yang kini setidaknya lebih bersih dari tikus got, akan dikonversi menjadi pound resmi melalui bank ini, lalu dikirim ke salah satu rekening palsuku yang terdaftar atas nama samaran.
Sambil menyelesaikan urusan, aku melirik ke balik konter, mencuri pandang ke bagian dalam. Di sana, terpasang sebuah pintu brankas bundar besar, menancap kokoh pada dinding bata.
Bank adalah sepupu si penipu.
Orang-orang mempercayai isi brankas mewah itu, maka uang kertas mereka pun bernilai. Walaupun kenyataannya brankas itu mungkin kosong atau hanya berisi selembar janji kosong di atas kertas, selama tak ada yang tahu, semuanya baik-baik saja.
Kepercayaanlah yang melahirkan uang—sama seperti dalam penipuan. Maka, bisa dibilang perbankan adalah bentuk penipuan yang dilegalkan. Dan satu-satunya alasan mengapa itu legal, hanyalah karena masyarakat membutuhkannya.
Masyarakat yang tak percaya pada nilai uang adalah masyarakat yang hanya bisa bertransaksi dengan barter seperti zaman purba. Karena itu terlalu merepotkan, manusia pada akhirnya terpaksa tunduk pada uang.
“Terima kasih. Jumlah totalnya 3600 pound, 11 shilling, dan 7 pence. Kami akan potong 3% sebagai biaya layanan, mohon dimaklumi.”
“Mohon bantuannya.”
Dengan langkah yang ringan, aku berbalik meninggalkan bangunan yang terlalu megah untuk fungsinya.
Begitu satu pekerjaan selesai, suara koin tak terlihat berdenting di kepalaku. Suara nyaring namun lembut itu—yang hanya bisa kudengar seorang diri—selalu mengingatkanku akan nilai hidup ini.
Hanya ada satu hal pasti di dunia ini: uang.
Dan aku akan katakan alasannya—karena uang adalah nilai yang bisa dihitung.
Dan karena bisa dihitung, maka ia tak terbantahkan, jelas, dan nyata di mata siapa pun.
Seorang pria miskin dengan penghasilan sepuluh pound per tahun, dan seorang kaya raya dengan sepuluh ribu pound—mana yang lebih bernilai tinggi?
Satu-satunya ukuran objektif untuk menjawab itu hanyalah ini: uang.
Bukanlah ikatan, cinta, keadilan, atau segala macam kebenaran yang hanya hidup dalam ilusi bernama hati—hal-hal semu yang bahkan tak bisa dilihat atau dihitung.
Hanya uanglah yang bisa menunjukkan nilai seseorang dengan jujur dan setia.
Sinar matahari sore mulai condong ke arah Pegunungan Allegheny yang menjulang di seberang kota.
Sambil berjalan, aku menyalakan rokok, lalu melempar sekeping koin ke arah bocah penjual koran yang lewat.
“Satu edisi Continental Weekly.”
“Terima kasih! Om, mau ambil Spring Punch Weekly juga? Ada kolom menarik soal penipuan pernikahan yang terjadi di negara bagian Sunflon—”
“Gak usah. Gak tertarik.”
Kusambar koran yang disodorkan, membukanya sambil terus berjalan menyusuri trotoar—mencari ide untuk pekerjaan berikutnya.
Memang aku ini penipu, tapi bukan berarti aku pilih-pilih. Selain menipu, aku juga mencuri, memeras, atau apapun yang perlu dilakukan.
Kebanyakan rekan seprofesi lebih suka bertahan di satu bidang spesifik. Tapi sejujurnya, mereka itu cuma anjing bodoh yang terus-terusan pakai trik lama yang pernah berhasil.
Aku berbeda.
Aku selalu cari trik baru, mencobanya, mengevaluasi, memperbaiki, dan berkembang.
Rahasia agar tak tertangkap adalah kerja keras. Tanpa tekad untuk terus belajar, pekerjaan apapun tak akan bertahan lama.
“Ups, maaf.”
“Hati-hati, anak muda.”
Berpura-pura sibuk membaca, aku menabrakkan bahu pada beberapa orang sambil mencopet dompet mereka.
Setelah berhasil mencopet tiga orang, sebuah tajuk berita di koran menangkap mataku—dan membuat langkahku terhenti.
Aku menoleh ke belakang. Di sana berdiri stasiun kereta api yang baru dibuka. Rencana baru pun segera terbentuk di benakku.
“...Bagus.”
Langkah pertama: cari target kaya raya. Sisanya bisa menyusul.
Kau tanya di mana bisa menemukannya? Jangan khawatir.
Uang lahir dari kepercayaan.
Dan karena itu, orang kaya selalu berkerumun di tempat-tempat di mana mereka akan dipercaya sebagai orang kaya.
Jika di rumah, mereka tinggal di kawasan elit.
Jika di hotel, mereka tidur di kamar suite.
Dan jika naik kereta…
…sudah tentu, mereka duduk di kelas satu—First Class.
Part 2
Peluit kereta pertama telah berlalu.
Di peron stasiun, aku duduk di bangku tunggu yang catnya mulai terkelupas, dan memejamkan mata.
Cuitan burung dari pucuk dahan di kejauhan, riuh rendah langkah kaki yang sesekali melintas di depanku—semuanya kuenyahkan dari pendengaran.
Kesadaranku kutarik ke dalam. Dalam, dan semakin dalam ke dalam diriku sendiri.
Aku percaya bahwa wajah adalah titik pertemuan antara hati yang telanjang dan lingkungan luar.
Karena itulah, ekspresi manusia tak pernah bisa sepenuhnya disembunyikan.
Apa yang sedang mereka pikirkan, apa yang pernah mereka rasakan—semuanya terekam di sana. Pengalaman, emosi, perjalanan hidup—semuanya tertumpah di wajah.
Namun jika dipikirkan dari sisi sebaliknya, itu berarti: selama kau bisa menempelkan kebenaran palsu pada wajahmu, menipu orang lain jadi perkara mudah.
Dengan konsentrasi penuh yang nyaris memisahkan diri dari napas, aku terus bermimpi dengan sengaja. Menciptakan kehidupan seorang aku yang bukan diriku. Menenun ingatan-imajinatif, lalu menjalaninya seolah-olah itu nyata.
Dulu, dia pernah mengalami hal ini. Saat itu, dia berpikir seperti ini. Dia melupakan sesuatu, atau menjadikannya pelajaran hidup—dan terus hidup hingga kini.
Ingatan palsu itu kuberi daging bernama emosi, hingga perlahan, sosok itu menjadi nyata.
Kehidupan bertopeng yang tercipta lewat proses itu, kembali mengubahku menjadi orang lain hari ini.
Tak lama kemudian, uap panas yang mencekik menyembur ke langit, sementara suara roda baja bergemuruh mendekat. Aku berdiri, lalu mengambil tempat di antrean penumpang kelas atas yang berjejer rapi di bagian depan peron.
“Tolong perlihatkan tiket Anda.”
Giliranku tiba.
Tanpa ragu, dia menyerahkan tiket yang diminta oleh petugas berseragam dengan gunting tiket di tangan.
Dibarengi anggukan kecil dan ucapan selamat jalan, aku—atau lebih tepatnya, dia—melangkah naik ke dalam gerbong.
Sementara dari belakang, terdengar kegaduhan seorang penumpang yang tampaknya kehilangan tiketnya.
***
"──Jadi, bagaimana menurut Anda, Tuan Willem?"
Lelaki yang ditanya, seorang pria gemuk dengan dandanan mencolok, menjatuhkan abu cerutunya dan bergumam, “Tak buruk.”
Sebuah obrolan bisnis yang "secara kebetulan" terjadi di dalam kereta. Respons positif yang sesuai harapan membuat "dia"—John Row, seorang pakar hukum—menggenggam tinju dalam hati.
Di balik kacamata berbingkai tipis miliknya, pemandangan dari jendela perlahan berganti, dari hamparan ladang ke wilayah pegunungan.
Dari timur ke selatan Republik Kolonial, kereta melaju menyusuri rel sepanjang dua ratus mil di sepanjang Pegunungan Allegheny.
Kereta uap—simbol era baru pascarevolusi—meneriakkan siulan nyaring ke langit biru yang jernih. Mesin raksasa itu adalah barang impor strategis dari Kekaisaran Uap Elbion di seberang laut, dibeli langsung oleh pemerintah.
Dari gerbong kelas satu yang mewah bak hotel bintang lima, hingga gerbong kelas tiga yang tak jauh beda dari kandang babi, semua kursi hampir selalu penuh.
Tarif kereta, yang dulunya hanya terjangkau oleh para bangsawan dan orang-orang iseng berduit, kini telah menurun drastis dalam beberapa tahun terakhir.
Dengan irama getaran roda baja, taplak meja linen di atas meja pun bergetar ringan.
Di gerbong makan yang terhubung langsung ke kelas satu, orang-orang berpakaian rapi tampak menikmati makan siang mereka yang agak terlambat.
Sambil meminta cerutu berikutnya dari sekretaris tua-nya, Willem—pria gemuk tadi—akhirnya buka suara.
"Boleh kutanya lagi, John. Apa cerita ini memang bisa dipercaya sepenuhnya?"
"Tentu saja, Tuan Willem. Memang benar, ini investasi berisiko. Tapi 'demam' ini jelas masih akan bertahan untuk sementara waktu. Menentukan titik puncaknya bukan hal sulit bagi seorang profesional seperti saya."
Sambil menggerakkan mulutnya untuk bicara, aku mengingat kembali salah satu berita utama yang kubaca dua minggu lalu:
“UU Perdagangan Bebas, Segera Disahkan?”
Sebelum revolusi, kerajaan Legatos dikuasai oleh kaum bangsawan yang mengendalikan satu-satunya garis pantai di barat. Mereka menutup seluruh jalur laut, melarang kapal asing masuk, dan rakyatnya keluar. Sebuah sistem isolasi total—yang disebut politik sakoku.
Kebijakan isolasi yang nyaris patologis itu diberlakukan karena mereka takut akan bocornya sesuatu. Tapi, pembahasan soal itu kita tunda dulu.
Setelah revolusi, kebijakan sakoku pun tentu saja dicabut. Namun, perdagangan bebas secara menyeluruh belum kunjung disahkan. Berkali-kali kubu konservatif berhasil menggagalkan pengesahan undang-undangnya di parlemen. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, para pemilik latifundia—perkebunan besar berorientasi ekspor, yang disebut kaum Agrikultura—perlahan membalikkan keseimbangan kekuasaan.
Dan karena itulah, kita kembali ke tajuk utama tadi. Kabar dalam surat kabar itu, setelah dua minggu berlalu, telah memicu demam spekulasi di kalangan publik, seperti wabah yang menghebohkan. Investasi terhadap industri perdagangan yang diperkirakan akan segera dibebaskan, kini menjadi topik panas.
Bahkan dengan penyelidikan sepintas, sudah terdata ratusan perusahaan.
Sebagian besar dari perusahaan dagang yang bermunculan mengikuti tren itu nyaris pasti hanyalah gelembung yang takkan bertahan setahun pun.
Meski begitu, banyak orang tetap membeli saham-saham mereka. Akibatnya, pasar saham membengkak hingga ke titik yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Lalu siapa yang terus meniup balon tak masuk akal ini?
Tentu saja: surat kabar.
Sudah dua belas tahun berlalu sejak kebebasan pers dilegalkan, menggantikan era penyensoran. Kini masyarakat hanya hidup mengikuti arus tren yang berubah setiap hari.
Dan karena itulah "dia", John, menyarankan untuk memanfaatkannya.
"Baik, Tuan Willem. Bila perlu, izinkan saya menjelaskannya sekali lagi."
Melihat anggukan Willem, mata John menyipit sesaat, merasakan keyakinan yang tumbuh. Ia pun melancarkan retorika halus yang telah diasah dari dunia pengadilan.
"Bila Anda bersedia mempercayai saya dan menginvestasikan dana Anda, saya akan menggunakan modal itu untuk membeli sejumlah saham gelembung. Dan terlepas dari berapa besar keuntungan yang saya dapat dari penjualannya, saya menjamin pengembalian lima puluh persen lebih tinggi. Tentu, jika keuntungannya lebih besar dari itu, maka Anda juga akan menerima setengah dari hasil bersihnya."
Singkatnya, yang dia tawarkan adalah perwakilan pembelian saham.
Investasi saham itu rumit. Mulai dari membeli saham yang diterbitkan oleh perusahaan, sampai mencari pembeli saat akan menjual kembali—semuanya butuh negosiasi satu per satu.
Karena itu, kalangan kaya biasanya lebih memilih menunjuk perwakilan, yang lebih ahli dalam urusan-urusan semacam itu.
"Kau percaya diri juga, ya. Kalau harga saham tak sesuai dugaan dan gagal dijual, bukankah kau langsung bangkrut?"
"Justru sebaliknya, saya ini orangnya penakut, …karena itulah, saya yakin akan keberhasilannya."
Dengan nada tenang, John—si calon perwakilan—melanjutkan:
"Harga tinggi saat ini akan segera turun. Tapi manusia, seperti biasa, selalu meyakini hal yang menguntungkan bagi diri mereka. Akan selalu ada orang yang berpikir begini: 'Ini hanya penurunan sementara. Justru kesempatan bagus untuk beli lebih banyak.' ...Jadi saya takkan kehabisan orang yang bisa saya lepas sahamnya."
"Pemikiran yang menarik. Kau memangsa orang-orang bodoh, ya?"
"Anda tidak menyukainya?"
"Tentu tidak."
Masih tersisa sedikit—sangat samar—keraguan dalam sorot mata Willem. Tapi itu bukan masalah. Justru sebaliknya, itu adalah bukti bahwa dia ingin percaya.
Dan bagaimana pun juga, mata yang tumpul milik pria ini takkan mampu menembus topengku.
“...Sejujurnya, bukan urusan transaksi itu sendiri yang membuatku khawatir. Maksudku, sebagai orang awam, kekhawatiranku yang sesungguhnya hanyalah satu hal—bisakah aku benar-benar mempercayaimu?”
“Tentu saja. Seperti yang Anda katakan, itu pertanyaan yang sangat wajar. Tapi, tolong jangan khawatir.”
Itu memang hal paling masuk akal. Kalau John membawa kabur dana investasi, atau menahan semua keuntungan untuk dirinya sendiri, maka tak akan ada gunanya sama sekali.
Itulah mengapa, tentu saja, dia telah menyiapkan sesuatu untuk menghilangkan kekhawatiran itu.
“Ada asuransi yang dirancang untuk mengantisipasi risiko semacam ini, khususnya dalam transaksi saham. Silakan lihat ini sebentar—formulir pengajuan jaminan yang berlaku untuk transaksi dengan nilai di atas batas tertentu. Sebagai gantinya dari membayar pajak atas keuntungan penjualan saham, pihak berwenang akan memberikan perlindungan terhadap kehilangan atau penggelapan dana. Ini adalah kebijakan khusus yang diterbitkan untuk mendorong investasi... Anda belum pernah mendengarnya, ya?”
Willem membelalakkan mata dan mengangguk, tampak seperti baru mendengar kabar penting.
“Dalam kasus ini, Andalah, Tuan Willem, yang akan menjadi pihak tertanggung. Jika saya melakukan kecurangan dan menimbulkan kerugian, Anda hanya perlu membawa ini ke pengadilan, dan dana kompensasi akan dikucurkan.”
“Begitu... izinkan aku memikirkannya sebentar.”
Willem menatap segel resmi dari Kementerian Keuangan pada kontrak itu selama beberapa saat, lalu menghembuskan asap dengan berat.
“...Baiklah. Aku akan ikut dalam rencanamu.”
“Terima kasih banyak!”
Dalam hati, aku mengepalkan kedua tinjuku.
Kesepakatan tercapai—atau lebih tepatnya, penipuan berhasil dilakukan.
“Ambilkan pena dan cek. Dan berikan juga cerutu padanya.”
John menerima cerutu yang disodorkan, lalu menyalakannya dengan penuh penghormatan.
Memberi atau bertukar cerutu adalah simbol lama atas kesepakatan yang telah dicapai.
Tradisi turun-temurun dari zaman dahulu.
“Kau ini sebenarnya apa? Pengacara atau pedagang, ya? Sudah berapa lama kau menjalankan pekerjaan ini? Punya keluarga?”
“Hm, mungkin sudah sepuluh tahun. Ayah saya meninggal muda, meninggalkan banyak utang. Saya mulai menerima pekerjaan sebagai agen investasi dan pengacara demi melunasi semuanya. Sekarang saya hanya punya seorang istri. Tidak ada anak.”
Sekilas, aku melirik jumlah nominal pada cek di atas meja.
Di saat yang sama, koin tak kasatmata pun berputar dalam pikiranku.
Tumpukan uangku bertambah lagi satu tingkat.
Perasaan kepuasan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata membuncah dari dasar perutku.
Namun saat itu juga, samar di balik suara roda kereta yang sudah menjadi latar belakang, terdengar suara pintu antar gerbong yang menutup.
Mungkin itu kondektur yang datang untuk memeriksa tiket. Begitulah dugaanku, dan aku pun menoleh tanpa pikir panjang ke arah suara itu.
“──”
Tanpa sadar, di balik topeng yang kupertahankan, aku menahan napas.
Willem, yang sedang menandatangani kontrak, sama sekali tidak menyadarinya.
Gadis yang muncul dari balik pintu penghubung di belakangnya, menarik sebuah koper persegi di satu tangan.
Rambutnya yang mengalir melewati bahu mungil hingga pinggang, menampilkan gradasi warna yang memukau—dari magenta kemerahan bak peri, hingga putih keperakan seperti bunga salju. Dari pinggangnya yang ramping hingga ke pergelangan kaki mungil, rok hitam berhias renda menggantung ringan, menyelubungi tubuhnya yang nyaris rapuh.
Namun, bukan semua itu yang membuatku terpaku.
Gadis itu menutup sebelah matanya.
Bertolak belakang dengan mata kanannya yang berwarna hijau zamrud dan bersinar lembut, kelopak mata kirinya yang tertutup itu tak tampak dipaksakan, melainkan turun dengan alami dan tenang.
Apa yang tersembunyi di balik sana?
Seolah menjawab rasa ingin tahuku yang tiba-tiba, gadis itu menoleh dan mengangkat sudut bibirnya sedikit.
Baru sesaat kemudian aku sadar dia sedang tersenyum.
Dan lalu perlahan, mata kirinya pun terbuka.
Yang terpampang di sana adalah pupil kristal ungu yang berkilauan.
Sebuah mata seindah permukaan danau di bawah sinar bulan, sekaligus sedalam kegelapan dasar jurang.
Warna yang seperti terlahir dari percampuran rambutnya itu: amethyst yang membentuk sepasang mata heterokromia bersama mata kanan hijaunya.
Dua bola mata itu—berbeda namun serasi—terpasang pada wajah tenang bak boneka porselen.
Aku harus mengakui, sesaat tadi aku benar-benar terpukau oleh keindahan warna yang dimainkan oleh sepasang mata itu.
“Ada apa, John?”
“──Ah, tidak, bukan apa-apa. Tuan sudah selesai menandatangani? Baiklah. Izinkan saya memeriksanya sebentar...”
Bahkan saat aku berpura-pura meninjau dokumen itu, bayangan gadis tadi masih bermain dalam pikiranku.
Mungkin anak dari keluarga bangsawan? Tapi... koper yang usang dan sepatu kulit yang sudah lusuh itu tampak bertolak belakang.
Dan yang paling menggangguku... adalah mata itu.
Mata yang belum pernah kulihat pada siapa pun.
Sorot yang seolah menembus segalanya.
...Tidak. Tidak penting. Bukan urusanku.
Aku mengusir semua keraguan yang berserakan dari kepalaku.
“Ya, terima kasih telah menunggu. Dokumen tidak ada yang salah. Kalau begitu──”
Saat aku kembali tenang dan hendak menyebutkan soal cek──
Aku kembali bertatapan dengan mata kirinya, mata amethyst itu.
“──!”
Entah sejak kapan, gadis asing itu sudah berdiri tepat di samping tempat dudukku.
Rambut merah salju itu berayun pelan, dan dengan senyum menggoda, ia menunduk menatapku.
“Selamat siang.”
“A-ah. Salam juga, Nona. Ada keperluan apa? Maaf, tapi bisakah kau kembali nanti──”
Suara beningnya terdengar seperti lonceng kristal yang membelit telinga lembut, namun menusuk.
Aku hendak mengabaikannya begitu saja, namun sesaat kemudian──
“Kau sedang berbohong, bukan?”
Part 3
Tips Berbohong, Nomor Dua:
Selalu tetap tenang.
Tak perlu dikatakan, suasana di sekitar seketika membeku.
Hal tak terduga selalu muncul saat kau lupa waspada. Ini bukan kali pertama kebohonganku nyaris terbongkar. Selama ini, setiap kali itu terjadi, aku berhasil menutupinya dan lolos. Kali ini pun, yang harus kulakukan hanyalah menghadapi hal itu sekali lagi.
Jadi tetap tenang, diriku.
“Maaf, Nona. …Sepertinya kau hanya salah paham. Atas dasar apa, sampai bisa menuduh seperti itu kepada orang yang baru kau temui?”
Di balik wajah tenang yang kuatur sebaik mungkin, keringat dingin merambat pelan di sepanjang punggung. Tapi… kenapa bisa ketahuan? Aku tak bisa memikirkan satu pun alasan yang masuk akal.
Lalu, tanpa memberi ruang, bibir mungilnya meluncurkan pukulan telak.
“Ara? Tapi bukankah itu hal yang paling kau pahami sendiri? Wahai Tuan Penipu.”
Sekejap saja, perutku berdenyut seperti diremas, dan tenggorokanku menegang hingga nyaris tak bisa bernapas.
Tenang. Sekarang, yang paling penting bukan lagi soal ketahuan atau tidak. Bila aku panik, itu sama saja dengan pengakuan. Tapi sebaliknya, selama aku tetap tenang, semuanya bisa dianggap sebagai ocehan asal seorang gadis asing yang mencampuri urusan orang dewasa.
“...Dengarkan, Nona asing. Aku sedang membicarakan hal penting dengan Tuan ini. Lalu tiba-tiba kau menyela dan menuduhku sebagai penipu. Itu sudah masuk pencemaran nama baik. Di mana walimu? Aku akan menempuh jalur hukum──”
“Tujuanmu sejak awal hanyalah cek di atas meja itu.”
Suaranya tenang nan tajam, seperti pisau yang menebas langsung ke titik vital.
Dan dengan senyum kekanak-kanakan yang masih melekat di wajahnya, dia mulai membongkar kebohonganku satu per satu, dengan kelancaran yang menakutkan.
“Omong kosong soal investasi itu cuma kedok. Asuransi yang kamu sebut juga bohong belaka. Tak ada hukum seperti itu di negeri ini, dan kontrak yang kamu bawa pasti cuma dokumen palsu—tanda tangan dan cap dari kementerian yang kamu buat dengan sangat rapi.”
Ucapan-ucapannya—yang mustahil ia dengar dari percakapan kami, dilontarkan dengan keyakinan tanpa celah.
Apa yang sebenarnya… sedang terjadi?
Keterkejutan ini terlalu besar—sudah melewati batas keterkejutan, bahkan bisa dibilang telah berubah menjadi rasa takut.
Willem mulai memeriksa kembali kontrak yang telah dia tandatangani.
Dia juga menyadarinya. Bahwa suara gadis itu mengandung sesuatu yang tak bisa disangkal, seperti sedang membaca kunci jawaban dari ujian yang hasilnya sudah ia ketahui.
“Sekaya apa pun seseorang, pada akhirnya mereka hanya manusia. Justru mereka yang merasa bisa terus berada di posisi yang mengambil, adalah yang paling mudah dibohongi... fufu, betapa keji dirimu ini.”
Nada bicaranya terdengar seperti sedang menyanyikan lagu.
Dan aku, entah kenapa merasa seolah kata-kata itu keluar dari mulutku sendiri. Seolah suara hati yang tak pernah kuakui kini menjelma menjadi sosok seorang gadis kecil. Seolah nuraniku yang semestinya sudah lama mati, tiba-tiba mengambil bentuk manusia dan menumpahkan dosaku satu demi satu.
Sebuah mimpi buruk yang terlalu sempurna, dan justru karena itu, mustahil untuk disebut sebagai mimpi.
“……Tuan John.”
Suara rendah itu mengguncang gendang telingaku.
“Ini hanya kesalahpahaman, Tuan Willem. Apa yang dikatakan gadis itu hanyalah omong kosong tanpa satu pun bukti.”
Bahkan di saat-saat terakhir pun, topeng John tetap menjalankan perannya sampai tuntas.
Namun, dalam hati, aku sudah tahu: aku telah kalah.
Bukti atau tidak, itu tak lagi penting. Manusia tak bergerak berdasarkan fakta—mereka bergerak karena apa yang mereka yakini sebagai kebenaran.
Begitu kepercayaan runtuh, maka tak ada lagi kartu untuk dimainkan.
Trrrk.
Terdengar suara robekan. Willem membakar cek itu dengan korek api kecil, lalu berdiri.
“Memang, tidak ada bukti. Tapi cukup untuk membuatku berubah pikiran. …Apapun kebenarannya, ini adalah waktu yang menyenangkan. Setidaknya, perjalanan kereta kali ini tidak membosankan. Terima kasih. Aku permisi.”
“Ah, tunggu! Mohon tunggu sebentar──!”
Teriakan John diabaikan. Willem berjalan pergi, siluet punggungnya lenyap di balik pintu antar gerbong.
Ia menjauh.
Bersamanya, suara koin yang mengalun di kepalaku, suara emas yang selalu membisikkan rasa pasti akan kemenangan ikut menghilang.
Saat itu juga, tubuhku kehilangan tenaga dan jatuh terduduk di kursi, bokong lebih dulu menghantam dudukan dengan bunyi lembut yang terdengar sangat menyedihkan. Dalam pandangan yang terus berkedip aneh, rasa kesal dan amarah mulai berputar, mengaduk dalam dada seperti pusaran racun… dan entah kenapa, aku hanya bisa menyaksikannya bagai sedang berada dalam mimpi buruk yang terlalu terang.
“Kerja bagus. Kamu baik-baik aja?”
Di kursi seberang yang tadi kosong, entah sejak kapan gadis itu sudah duduk di sana.
Saat aku sadar, tanganku sudah mencengkeram kerah bajunya yang cantik nan mewah. Dengan kasar menariknya ke depan, hingga topeng bernama John yang semula menempel di wajahku ikut terlepas bersama kacamata palsu. Dan dari tenggorokan yang tak lagi bisa menahan, suara penuh emosi meledak:
“Kau… sebenarnya apa?”
“Ara, agresif sekali... Apa kamu punya selera seperti itu?”
“Peduli setan! Jawab aku, dasar bocah, kenapa kau mengacaukan rencanaku──”
Namun ketika pandangan kami kembali bersitatap, dan mata kirinya yang berwarna amethyst kembali menatap langsung ke dalam diriku—
“!?”
──Sekejap saja, aku terpaksa melepaskan cengkeramanku seolah tersengat.
…Aku tahu. Sudah jelas sekarang.
Aku tak boleh… tidak, aku tidak bisa menatap mata itu lagi. Untuk kedua kalinya. Karena—
“Ara, jadi kau menyadarinya.”
Yang tercermin dalam mata kiri itu adalah… diriku sendiri. Tapi bukan wujud fisikku melainkan pikiranku. Perasaanku. Kenanganku. Semuanya ditampilkan dalam bentuk yang jelas dan dapat dibaca, seolah pikiranku sedang diputar di layar film dalam mata itu.
Dia sedang… melihat langsung ke dalam hatiku.
Dan hanya satu entitas di dunia ini yang memiliki kemampuan semacam itu.
“…Regalia, faktor darah bangsawan…! Jangan-jangan, kau──!”
Itulah yang dulu… kaum bangsawan gunakan untuk mengendalikan kekuasaan mereka. Mereka menutup ketat aksesnya ke luar negeri, menjaga garis keturunan dengan paranoia yang nyaris gila.
Karena kekuatan supranatural itu—kekuatan yang tertanam dalam darah mereka—adalah segalanya.
Part 4
Regalia, faktor darah bangsawan—
Satu kata untuk menyebut elemen warisan tak berwujud yang bersemayam dalam darah kaum aristokrat.
Dahulu kala, para bangsawan menggunakan kekuatan istimewa ini untuk menundukkan rakyat jelata dan memerintah kerajaan dengan cengkeraman absolut.
Namun, revolusi menandai akhir dari kekuasaan mereka. Satu demi satu para bangsawan berguguran di medan perang, atau kepala mereka berakhir di bawah pisau guillotine. Banyak garis keturunan—dan bersama mereka, Regalia—yang punah secara total.
Sejak saat itu, kesempatan untuk menyaksikan kekuatan Regalia nyaris menghilang dari kehidupan masyarakat umum. Akan tetapi, rasa takut terhadap kekuatan adikodrati yang selama seribu tahun menindas rakyat belum sepenuhnya lenyap dari ingatan kolektif.
Itulah mengapa, di tengah arus penolakan dan diskriminasi itu, satu-satunya yang berhasil bertahan hingga kini hanyalah dua jenis bangsawan:
Mereka yang lebih dahulu berbalik arah dan bergabung dengan pihak revolusi—atau sebaliknya, yang berhasil bersembunyi dari semuanya.
──Pukul tiga sore lewat, dan sebagian besar penumpang telah selesai dengan waktu makan siangnya. Untungnya, tak seorang pun tampaknya memperhatikan perselisihan kami tadi. Baik aku maupun dia, toh bukan orang yang bisa bebas menampilkan diri di hadapan masyarakat umum.
“Apa urusan sisa-sisa bangsawan sepertimu denganku… Apa kau menyimpan dendam padaku, hah?”
Dengan tatapan tertunduk dan suara ditekan sedalam mungkin, aku menyemburkan pertanyaan itu.
“Dendam? Gak juga.”
Jawabannya ringan sekali, seolah itu hal remeh. Bibir kecil nan sempurna itu melontarkannya tanpa ragu.
“Kebetulan saja, saat tatapan kita berselaras, aku merasa kamu orang jahat. Dan sepertinya menyenangkan. Itu aja.”
Amarahku, yang sudah mendidih hingga batas, hampir menyembur keluar—namun dalam detik terakhir, aku menelannya kembali ke dasar perut.
Dan selagi aku kebingungan hendak memaki apa, jari-jarinya yang ramping bergerak memungut buku menu dari atas meja.
“Masih marah? Aku kasih tahu, ya. Saat sedang kesal, obat terbaik adalah… makanan yang enak.”
Tanpa izin, ia memencet bel pelayan. Bunyi khas loncengnya yang tinggi dan melengking menembus deru peluit kereta dan derak roda baja. Tak lama kemudian, seorang Ballboy mendatangi kami.
“Ada yang bisa saya bantu, Nona?”
“Iya. Dua gelas air, dan… hmm, ada rekomendasi?”
Gadis itu memulai pemesanan seenaknya, tanpa menghiraukanku lagi.
Dan entah sejak kapan, mata kirinya—mata amethyst itu—telah kembali tertutup rapat, seolah tidak pernah terjadi apa pun.
"Hari ini kami kedatangan daging sapi pilihan. Karena itu, koki andalan gerbong ini memasaknya sepenuh hati menjadi beef stew. Kami sangat merekomendasikan Anda mencobanya."
"Baiklah, aku pesan satu porsi itu. Tambahkan roti juga, ya."
"Dengan senang hati."
Setelah selesai memesan, gadis itu menunjuk ke mata kirinya yang tertutup dan melanjutkan:
"Eye of the Providence, Mata Kebenaran. Inilah kekuatan Regalia-ku, mata kiri yang mampu melihat ke dalam jiwa dan hati orang lain... Tapi kekuatannya nggak akan bekerja jika lawan gak menatap mata secara langsung. Jadi, kamu gak perlu terlalu waspada gitu, oke?"
"Jangan ngawur begitu!"
Tak ada penipu yang bisa tetap tenang jika sewaktu-waktu bisa dibongkar isi hatinya hanya lewat satu kedipan mata. Rasanya tak beda seperti orang yang disandera dengan pisau di leher—tak mungkin bisa merasa santai.
Mengabaikan kekalutan dalam diriku, gadis itu malah memulai perkenalan diri tanpa diminta.
"Namaku Cronica. Karena satu dan lain hal, aku sedang melakukan perjalanan."
Tak mungkin ada gadis yang bepergian sendirian tanpa alasan. Tapi Cronica sama sekali tak menjelaskan alasannya.
"Aku baru pertama kali melihat seseorang sepertimu."
Dia mengabaikan konteks percakapan dan menyatakan itu sesuka hatinya.
"Kamu seperti memakai topeng—menempelkan wajah lain di atas jiwamu sendiri. Tapi... hanya sampai di situ yang bisa kubaca. Aku nggak bisa melihat bagian terdalam di balik topeng itu. Jadi, apa sebenarnya yang kamu sembunyikan di dalam sana?"
"...Apa yang sedang kau bicarakan?"
Aku tak mengerti maksudnya. Tapi jauh di dasar benakku, sebuah alarm berbunyi nyaring dan tak mengenakkan.
Gadis ini… mata itu… berbahaya. Kabur. Sekarang juga.
Jantungku berdebar-debar seolah memaksa tubuhku untuk segera lari.
"Heh, tahu gak, Penipu-san? Aku jadi makin tertarik padamu."
Dengan senyum bak kucing yang tengah bermain-main dengan tikus, Cronica menatapku. Tapi anehnya, meski aku sadar akan bahaya itu, aku tak bisa beranjak.
Cahaya ungu di matanya telah terpatri di dalam pikiranku, seolah memiliki sihir yang mencengkeram dan tak mau melepaskan sisi terdalam dari diriku.
Jangan-jangan… "Aku"… telah tertangkap oleh mata gadis ini──.
Saat itu, suara roda gerobak terdengar dari samping. Bellboy datang membawa pesanan kami.
"Maaf telah menunggu. Silakan dinikmati.".
Dengan gerakan cekatan yang menunjukkan bahwa dia sudah terbiasa dengan getaran kereta, si bellboy menyelesaikan tugasnya dan berlalu. Begitu dia pergi, gadis itu segera mengalihkan pandangannya dariku, seperti tak sabar menunggu, dan menghadap ke sepiring makanan di depannya.
Daging sapi merah yang empuk, dilumuri mentega putih yang mengalir dari atasnya, tampak begitu lembut hingga meleleh saat disentuh. Gadis itu mengambil sesendok dan menyuapkannya ke mulut kecilnya. Pipi mungilnya mengembang sedikit dan tampak berseri-seri bahagia.
Di balik jendela yang terus bergerak, terbentang pemandangan kaki Pegunungan Allegheny, yang masih mengenakan riasan salju yang belum luruh sepenuhnya, berlatarkan birunya langit dan rona hijau kebiruan di kejauhan.
Menikmati makanan dan pemandangan seperti itu, secara tak sengaja gadis itu menciptakan komposisi layaknya lukisan.
Entah sejak kapan, tenggorokanku terasa sangat kering. Aku mengambil gelas air yang ditinggalkan oleh bellboy tadi dan meminumnya sedikit. Air hangat mengalir turun ke perutku. Dan tepat saat itu, aku mendengar namaku disebut. Nama asliku. Padahal aku tak pernah menyebutkannya.
"──Begitulah, Linus. Maukah kamu melakukan perjalanan bersamaku?"
"Apa maksudmu ‘begitulah’? Dan, kau waras gak sih? Aku ini seorang penipu, tahu!"
"Ya, aku tahu. Tapi mulai sekarang, kamu akan jadi pengawal dan penunjuk jalanku. Kamu akan mengurus biaya perjalanan, makanan, air, pakaian ganti, dan barang-barang penting lainnya, juga jadi pembawa barang, sekaligus membantu urusan pribadiku."
"Jangan bercanda! Kalau begitu, artinya aku cuma jadi budak, kan!?"
Entah sebesar apa kelapangan hati yang dibutuhkan untuk menerima tawaran seperti itu, yang jelas, hatiku belum sampai ke tingkat itu.
"Ara~, kamu gak senang, ya? Sayang sekali. Tapi, kamu sudah gak punya pilihan."
"...Maksudnya apaan tuh"
Gadis itu, dengan mata kirinya yang masih tertutup, seakan membaca tulisan di balik kelopak matanya, melafalkan deretan nama:
"Bank Ibukota Smith, Bank Negara Bagian Luke, Perkumpulan Asuransi Maritim, Dana Kereta Api Wilayah Barat..."
Kata-kata yang tiba-tiba disebutkan itu… dan aku langsung tahu apa maksudnya.
Semua itu adalah tempat aku menyimpan hartaku. Rekening dan investasi tempat aku menabung uang yang telah aku peroleh dari hasil penipuan selama ini. Secara harfiah, itulah seluruh kekayaanku—seluruh nilai yang telah susah payah aku bangun selama ini.
Namun seiring dengan ingatan yang mengalir tanpa sadar, satu kejanggalan terungkap.
Aku tak bisa mengingatnya. Aku tahu bahwa aku menyimpan kekayaanku di sana. Tapi aku tak ingat bagaimana cara mengaksesnya. Nomor rekening, nama samaran yang kugunakan, loket bank, lokasi surat berharga—semuanya hilang dari ingatanku. Seberapa pun aku mencoba menyusuri kegelapan yang menganga di dalam kepalaku, tak satu pun potongan ingatan muncul.
Saat aku hampir jatuh karena mual dan pusing yang mendadak menyerang, aku melihat mulut Cronica sedang menjilat sendok kecilnya. Seolah-olah dengan sendok perak itu, dia telah mengorek keluar ingatanku yang kini tak lagi ada.
"Eye of the Providence, Mata Kebenaran──Second Eye. Maaf ya, aku lupa bilang satu hal. Mata kiriku ini bukan hanya bisa melihat jiwa seseorang. Melalui tatapan mata, aku juga bisa memotong, menempel, atau menyambungkan ingatan, emosi, bahkan pikiran──yah, macam-macam bisa kulakukan."
Senyuman manis dengan nada cokelat teh itu seolah mengandung simpati yang hanya formalitas belaka.
"Berat, ya? Aku tahu itu, bahkan tanpa perlu melihat."
Rasa ngeri yang menyusuri tulang punggungku jelas tak bisa diredakan dengan ucapan pelipur lara seperti itu.
Nilai yang selama ini menopangku telah dirampas dalam sekejap. Keputusasaan yang membuncah dari dasar perutku berputar ganas, lalu melesat naik ke ubun-ubun. Dengan sejumput kewarasan yang tersisa, aku akhirnya berkata dengan suara nyaris tak terdengar:
"...Ini semacam... kesepakatan, ya?"
"Iya. Kalau kamu mau ikut perjalanan ini bersamaku, aku akan membuatmu bisa mengingat semuanya kembali. Tapi kalau kamu menolak... ingatan dan uangmu gak akan pernah kembali."
Jawabanku ternyata adalah sebuah helaan napas yang dalam, begitu dalam, seolah-olah jiwaku ikut melayang.
Apakah ini ganjarannya? Apakah ini hukuman karena selama ini aku telah menipu banyak orang? Tidak kusangka aku akan diincar oleh monster yang bisa membaca pikiran dan merampas ingatan.
"Baguslah, 'kan? Bisa melakukan perjalanan sama gadis cantik ini. Biar kuberitahu, ini bukan penipuan, lho."
Ini jauh lebih parah daripada itu. Sepertinya, kata-kata seperti itu tidak perlu kuucapkan sama sekali.
"Mulai sekarang, kita akur, ya, Linus."
Begitulah, sang penipu, Linus Krueger, menelan kekalahan terbesarnya seumur hidup.
"....Jadi, kenapa harus aku?"
Getaran roda terasa menepuk-nepuk telapak kakiku yang terjulur. Aku bersuara sambil tetap bersandar di kursiku.
Kenapa harus seorang penipu yang hanya berusaha menjalani hidupnya dengan sungguh-sungguh, dan bukan orang baik yang kelihatannya lebih mudah dimanfaatkan, yang harus mengalami nasib seperti ini?
"Entah kenapa, kayaknya seru aja. Bepergian bersama seorang penipu itu pasti nggak akan membosankan, dan tidakkah kamu pikir ini akan menjadi kenangan yang indah?"
Berani-beraninya dia bicara soal kenangan setelah merampas ingatan orang.
"Lagi pula, karena kamu seorang pembohong, kupikir kamu sangat cocok untukku yang penuh kepalsuan ini”
Aku tidak mengerti. Bagi diriku yang hanya bisa melihat apa yang ada di depan mata, aku tidak mungkin bisa membaca niatnya yang sebenarnya. Akan tetapi, satu hal yang sudah pasti: aku sedang dipermainkan olehnya.
Karena itulah, aku merasa luar biasa kesal dan tidak bisa menahan amarah yang membuncah.
Tiba-tiba, Cronica yang telah selesai makan, bertanya sambil menyeka mulutnya dengan serbet.
"...Kalau aku sih, ingin lebih mengenalmu. Kenapa kamu menjadi seorang penipu?"
"Karena aku butuh uang."
Aku melanjutkan perkataanku sambil memalingkan muka dari tatapannya yang seolah berkata "Hanya itu?"
"Siapa pun pasti akan menggunakan kelebihannya demi dirinya sendiri, 'kan? Aku ahli dalam menipu orang, dan profesi inilah yang paling bisa memaksimalkan bakat itu. Atau lebih tepatnya... ah, sudahlah! Kalau memang kau bisa membaca pikiran, jangan tanyakan hal ini satu per satu."
Menanggapi perkataanku, gadis itu berkata sambil menyisir rambut merahnya yang seolah tembus pandang di bawah sinar matahari dari jendela.
"Aku memang bisa melihat jiwa (hati) orang lain, tapi kadang ada juga orang yang sulit untuk kulihat. Khususnya dalam kasusmu, sesuatu yang kau tempelin itu sangat mengganggu. Jadi, akan sangat membantu kalau kamu bisa mengungkapkannya sendiri dengan kata-kata."
Permintaan yang diucapkannya dengan begitu santai itu sungguh kejam luar biasa. Padahal, seorang pesulap yang diminta untuk membongkar triknya sama saja seperti disuruh mati. Namun, Cronica, didorong oleh rasa penasarannya, terus melontarkan kata-kata yang mematikan.
"Lapisan terluar hatimu itu... sepertinya kamu menyebutnya 'topeng', ya? Apa kamu benaran bisa menipu orang dengan hal itu? Kalau boleh jujur ya, bukankah itu hanyalah keyakinan sepihakmu aja?"
Entah disengaja atau tidak, kata-katanya dengan telak menggores harga diriku. Namun, aku yang biasanya bisa mengabaikan provokasi semacam itu, kini malah terpancing. Mungkin karena situasi beberapa menit terakhir ini terlalu penuh gejolak.
"...Kau tahu trik untuk berbohong?"
"Nggak."
"Yang pertama: hanya ucapkan kebenaran. Kebenaran yang benar-benar kau yakini sepenuh hati."
"Berbohong, tapi mengucapkan kebenaran?"
Pertanyaan yang sudah kuduga. Aku mengangguk dengan mantap ke arah mata kirinya yang terpejam.
"Sangat mudah untuk berbohong dari lubuk hati. Kau hanya perlu menjadi manusia yang sepenuhnya percaya bahwa kebohongan itu adalah kenyataan."
Ada orang-orang yang dengan tulus percaya pada sesuatu sebagai kebenaran, meskipun hal itu berbeda dari fakta. Karena itu, jika kau bisa menjadi orang seperti itu, kau bisa mengucapkan kebohongan apa pun dengan jujur.
"Jadi, setiap kali Kamu berbohong, Kamu berlagak menjadi orang lain, ya?"
"Begitulah. Aku membayangkan diriku sebagai orang itu. Setelah selesai menggunakannya, Aku melepaskannya seperti topeng. Siapapun bisa melakukannya jika sudah menguasai triknya. Di tempat kerja atau di rumah, ada reputasi sosial, kan?"
"Nggak ada, kok?"
"...Semua orang di dunia selain dirimu punya itu. Di sana, semua orang berlagak menjadi sesuatu. Namun, mereka menuntut kebenaran dari orang lain. Karena itu, mereka tertipu."
Alis gadis itu mengerut serius, menunjukkan di dahinya bahwa dia sulit memercayainya.
"Nggak peduli seberapa besar seseorang memercayainya, kebohongan tetap aja kebohongan. Aku rasa sangat mustahil untuk memaksakan keyakinan yang sebenarnya bukan kebenaran."
"Tidak benar. Pertama, Kamu salah paham. Kebenaran itu bukan fakta. Fakta adalah kejadian yang benar-benar terjadi, tidak peduli apa yang dipikirkan orang lain. Tapi, kebenaran adalah kata yang menjelaskan apa makna dari fakta itu."
Pada dasarnya, fakta di dunia ini tidak memiliki makna. Hanya saja, kebenaran yang disebut makna ditambahkan belakangan.
Misalnya, anggaplah seseorang meninggal. Itu adalah fakta. Namun, kebenaran tentang seperti apa orang itu, intinya bagaimana dia dipandang oleh orang-orang di sekitarnya, akan memengaruhi panjang atau pendeknya iring-iringan pemakaman meskipun orang mati tidak akan hidup kembali, dan jumlah sumbangan pun akan berubah.
Itulah mengapa Aku berbohong. Aku tidak bisa mengubah fakta yang ada di dunia nyata, tetapi Aku bisa mengubah keyakinan yang disebut kebenaran, yang hanya ada di dalam hati manusia, sebanyak yang Aku mau.
"Batas antara kebenaran dan kebohongan itu seperti dua sisi mata uang. Ketika seseorang tidak bisa lagi memercayai apa yang ingin dia percayai, dia akan membalikkan kebenaran yang baru saja ada menjadi kebohongan. Sebaliknya pun sama. Jadi intinya, apa itu kebohongan dan apa itu kebenaran itu bisa dengan mudah dibalikkan hanya dengan hati seseorang."
"…Hati, seseorang."
Saat Aku mengatakan itu, Chronica bergumam kecil seolah mengulang perkataanku. Aku tidak yakin apakah dia terkesan, tapi apa yang sebenarnya mengganggunya?
Ketika Aku memikirkan itu, getaran roda kereta mulai melambat. Dan tak lama kemudian, kereta berhenti di stasiun kota pedesaan yang damai dengan bunyi peluit kedatangan yang melengking.
Ketika Aku membuka jendela dan melihat keluar, para kru mulai mengisi bahan bakar dengan latar belakang pemandangan sawah yang membentang di kaki gunung, dan penumpang yang jarang naik turun di peron. Waktu berhenti mungkin sekitar 10 menit.
"Bagaimana, mau turun?"
Bagiku, Aku sudah tidak ada urusan lagi dengan kereta ini.
Di atas meja, di seberang gelas yang sedang diminum, Aku bertanya kepada gadis di depanku.
Saat itulah. Suara pintu yang dibuka dengan kasar dan langkah kaki yang mengikutinya menyela pikiranku.
Tanpa bisa dihindari, perhatianku langsung terfokus ke sana.
"Jangan bergerak."
Orang-orang yang muncul dari pintu penghubung di belakang dengan cepat mengepung tempat duduk kami.
Part 5
"Jangan bergerak."
Ancaman bernada rendah itu terdengar jelas bahkan di tengah hiruk-pikuk para penumpang naik turun. Jadi, tak perlu diulang dua kali.
Tiga pria berdiri, menatap ke bawah ke arahku dan Cronica yang duduk saling berhadapan.
Tampaknya mereka tak berniat membuat keributan di sini, karena dengan nada tenang, mereka mengucapkan kalimat ancaman.
"Turunlah bersama kami di stasiun ini."
Begitu ucap salah satu dari mereka, memperlihatkan sekilas moncong pistol dari balik ujung lengan bajunya.
Dua lainnya pun tampak memiliki bentuk mencurigakan di bawah mantel mereka. Dan yang mencolok—tak satu pun dari mereka menatap Cronica. Artinya, mereka tahu.
Siapa sebenarnya mereka ini? Saat ini, itu tak penting.
Yang paling penting adalah bagaimana cara keluar dari situasi genting yang datang mendadak ini.
Sayangnya, aku tidak punya kemampuan bertarung yang bisa dibanggakan, apalagi senjata.
Dari sudut pandangku, aku mengamati keadaan Cronica. Gadis salju merah itu tak tampak panik sedikit pun, hanya menatap meja dengan ekspresi kosong, tanpa kata.
Seketika muncul sebuah pikiran dalam benakku. Kalau aku bilang aku tak ada hubungannya, mungkin... setidaknya aku saja bisa selamat.
"Berdiri. Ikut kami."
Begitu perintah itu diucapkan, dua dari mereka segera mendekati Cronica dan mengeluarkan kain hitam, mungkin untuk menutup matanya.
Lalu—salah satu dari mereka tampak hendak mencengkeram rambut gadis itu dengan kasar—
Dan sebelum aku menyadarinya, tubuhku sudah bergerak.
"Ups."
Berpura-pura menuruti perintah, aku perlahan berdiri dengan ekspresi takut, lalu diam-diam menyenggol bagian bawah meja dengan lututku.
Gelasku—yang masih berisi air—terguling dan jatuh dengan suara nyaring, menumpahkan isinya secara mencolok.
Seperti yang kuharapkan, pria-pria itu langsung mengalihkan pandangan mereka ke arah suara itu.
Dan tepat saat itu juga, cahaya matahari sore yang tajam menembus jendela kereta dari balik pepohonan—
Cahaya itu memantul di tetesan air dari gelas yang tumpah, dan mengenai mata kiri Cronica yang kini terbuka, berkilau seperti batu amethyst.
Tiba-tiba, ketiga pria itu ambruk seketika seperti boneka yang talinya diputus, jatuh ke lantai tanpa perlawanan.
Para penumpang lain yang menoleh karena terkejut, langsung kembali berpaling seolah tak terjadi apa-apa begitu Cronica mengarahkan pandangannya ke mereka.
"...Apa yang baru saja kau lakukan?"
"Second Eye. Aku baru aja ngacak-ngacak ingatan mereka. Mereka nggak akan bangun dalam waktu dekat... Oh, dan orang-orang lain itu, aku cuma bikin mereka lupa apa yang barusan mereka lihat.”
Sekujur punggungku terasa dingin. Aku sempat berharap ada sedikit celah untuk kabur, tapi ternyata hanya dengan satu tatapan... itu benar-benar di luar perkiraan.
Cronica menoleh lagi ke arahku, dan dengan senyum yang seolah mengatakan "Hebat, kan?", dia berkata:
"Kau lumayan juga, tadi keren, lho."
"...Itu kan kau yang lakukan."
Sanggahan yang spontan keluar dari mulutku itu, aku ingin percaya bukan karena merasa bersalah.
Untuk saat ini, kami dudukkan ketiga pria yang tak bergerak itu di dekat jendela.
Pada saat bersamaan, peluit tanda keberangkatan kembali terdengar, dan kotak baja berat itu kembali mulai bergerak perlahan.
"Jadi, siapa sebenarnya mereka ini?"
"Entahlah."
"Jangan ngelak. Mereka tahu soal matamu... Kau lagi diburu, kan?"
Mendengar itu, Cronica menjulurkan lidah kecilnya seperti anak nakal yang ketahuan berbuat curang.
“Benar. Sebenarnya, itu salah satu alasan kenapa aku butuh bantuan.”
"Kalau begitu, kenapa tidak minta tolong ke polisi saja, bukan ke penipu? Tenang saja, penjara itu gratis untuk siapa saja."
"Itu gak akan berhasil," ucap Cronica sambil bersandar di tangan dan menghela napas bersamaan.
"Aku suka bepergian. Melihat banyak hal, dengar suara-suara baru, menyentuh, mencicipi... dan ninggalin semua jejak itu ke dunia ini. Aku juga pengen simpan semua kenangan itu di dalam hatiku. Jadi, aku nggak sudi jadi burung dalam sangkar."
Apakah dia punya rasa takut atau tidak, entahlah—dengan gaya bicara yang nyaris seperti sedang bernyanyi, aku hanya bisa menarik napas panjang dan bertanya lagi:
"Omong kosong... Sudahlah, katakan saja siapa mereka sebenarnya."
Perasaan bahwa aku sudah terjebak dalam lumpur yang tak bisa aku keluarkan kakiku semakin kuat. Tapi karena sudah tak mungkin mundur, setidaknya, aku ingin tahu seberapa dalam lumpur ini.
"Mereka menyebut diri mereka sebagai 'Ksatria'."
Kerlip ungu kebiruan berkelebat di tepi pandanganku, dan Cronica akhirnya menjawab pertanyaanku yang tersimpan di dalam hati.
"Kau benar. 'Ksatria' adalah organisasi rahasia yang terdiri dari sisa-sisa bangsawan yang telah jatuh dan para pengikutnya. Mereka aktif melakukan tindakan destruktif anti-pemerintah di berbagai wilayah Republik Kolonial."
Dengan nada yang kini berubah menjadi pelan dan serius, Cronica menambahkan penjelasan yang sebelumnya terdengar seperti organisasi anti-pemerintah biasa yang hanya menghiasi berita sebulan sekali.
"Dan tujuan Ksatria adalah membangkitkan kembali sang Raja."
Kata-kata itu langsung menusuk gendang telingaku, membuatku tak bisa tidak mempertanyakan apa yang baru saja kudengar.
Raja—sosok yang berdiri di atas para bangsawan yang telah melampaui manusia. Ia adalah penguasa abadi yang pernah memerintah Kerajaan Legatos selama seribu tahun.
"...Kau serius dengan omongan itu?"
Namun sekarang, keberadaan sosok itu sangat diragukan. Memang benar bahwa para bangsawan memiliki kekuatan di luar nalar, tetapi keberadaan seorang penguasa tertinggi mereka hanyalah dongeng belaka. Tak seorang pun pernah melihatnya secara langsung. Bahkan setelah ibu kota kerajaan jatuh dalam revolusi, jasadnya pun tak pernah ditemukan.
Karena itulah, ada teori yang mengatakan bahwa sang Raja sebenarnya tak pernah ada sejak awal—hanya simbol ciptaan para bangsawan, peran fiktif yang mereka butuhkan untuk mengatur kepentingan masing-masing. Aku pun sependapat dengan teori itu. Makhluk abadi yang hidup seribu tahun? Hanya orang bodoh yang percaya. Tapi kemudian—
"Ya. Raja itu ada. Setidaknya, aku pernah melihatnya dengan mataku sendiri."
Cronica mengatakan itu dengan enteng, sambil menundukkan mata kirinya yang tertutup kelopak.
"Itulah sebabnya para Ksatria terus memburuku. Karena sekarang, cuma mata kiriku yang tersisa—satu-satunya jalan yang masih terhubung ke takhta milik dia."
Meskipun ucapannya tidak jelas dan cenderung mengelak, aku tak merasa ingin mendesaknya lebih jauh.
Revolusi, bangsawan, Raja—semua itu adalah masalah dari dimensi yang berbeda dengan kehidupanku. Terlibat sedikit saja, dan hasilnya sudah bisa ditebak: sial.
Namun sayangnya, semuanya sudah terlambat. Hanya karena menarik perhatian gadis ini, hidupku perlahan-lahan mulai dirasuki oleh dunia yang sama sekali asing dan berbahaya.
Maka sekarang, aku hanya bisa menerimanya dan mengubah cara berpikirku. Kalau ingin tetap hidup dan mendapatkan kembali uangku, aku tak bisa lagi mengabaikan ancaman yang semakin dekat ini.
Aku menoleh lagi ke arah tiga pria yang tak sadarkan diri. Tadi mereka bilang kami harus turun di stasiun sebelumnya. Artinya, kemungkinan besar ada rekan mereka yang menunggu di sana. Saat kutanya apakah Cronica bisa membaca informasi lain dari mereka, dia hanya menggeleng pelan.
"Gak, aku gak bisa. Sepertinya orang-orang ini nggak diberi tahu apa pun selain perintah untuk ‘membawa aku turun di stasiun’."
"Jadi cuma anak bawang, ya. Sial..."
"Kau benci urusan ribet yang gak ngasih untung, ya?"
"Benar. Dan aku juga benci bocah yang sok tahu."
"Tapi, kamu tetap nggak ninggalin aku."
"Karena demi uang."
Sambil meludah—baik secara harfiah maupun dalam nada—aku kembali mengajukan satu pertanyaan. Masih ada satu hal lagi yang ingin kupastikan.
"Jadi, sebenarnya… sampai sejauh mana?"
"Maksudnya apa?"
"Maksudku, tujuannya. Sampai sejauh mana aku harus terus ikut denganmu? Kau dikejar-kejar oleh kelompok yang menyebut dirinya Ksatria, dan kau tidak mungkin cuma keluyuran tanpa tujuan, kan?"
"Kalau memang begitu, wah, itu bisa jadi masalah besar, ya. Kamu bakal terjebak dalam pelarian tak berujung, bareng gadis manis nan lemah yang cuma punya penglihatan sedikit lebih tajam dari orang biasa."
"Dasar brengsek..."
"Tenang aja. Aku ini punya tujuan, kok."
Dengan jari telunjuknya yang ramping, ia menunjuk ke garis perbukitan putih yang terlihat dari balik jendela—lalu lebih jauh dari sana.
"Laut."
Kata itu meluncur dari mulutnya dengan semacam gairah yang tak bisa disembunyikan—mungkin harapan, mungkin kerinduan.
"Aku akan naik kapal dari pelabuhan, menyeberangi lautan luas, kabur ke negeri asing. Terus berlari... sejauh mungkin."
Mata kanannya yang sedikit berkaca-kaca menatap ke luar jendela, seolah-olah sedang melihat laut yang belum terlihat di balik lereng gunung.
"Itulah sebabnya, Linus. Aku ingin kamu membantuku... sampai aku berhasil keluar dari negeri ini. Setelah sampai di laut, aku akan mengembalikan ingatanmu. Kalau kamu memutuskan ingin ikut setelah itu pun, aku nggak akan melarang."
"Jelas saja kutolak... Tapi baiklah, sampai ke laut, ya."
Tanpa sadar aku mengembuskan napas. Aku tidak suka ini. Saat ini, kami berada di jalur tenggara yang melintasi Pegunungan Tengah Allegheny. Pantai barat tempat pelabuhan dibuka kembali setelah era isolasi, berada lebih dari seribu mil jauhnya, di arah yang berlawanan.
Meski memanfaatkan jalur kereta api, kereta kuda, dan kapal dengan efisiensi maksimal, perjalanan itu akan memakan waktu kira-kira tiga bulan. Terlalu jauh. Dan yang paling parah, selama waktu itu pikiranku akan terus dibaca olehnya. Mati saja mungkin lebih baik.
Namun bagiku, uang lebih berharga daripada nyawa. Jadi menyerah jelas bukan pilihan. Dan lagi—
“Kenapa? Menatap wajah orang begitu lama.”
“Bukan apa-apa... Bukan apa-apa, jadi berhenti menatap mataku.”
Aku tak bisa membiarkan wajah angkuh itu terus menampilkan ekspresi menang.
Mata yang bisa membaca hati—kemampuan curang macam itu membuatku harus menelan kekalahan, dan itu benar-benar membuatku geram.
Hidupku sebagai penipu tidak semurah itu untuk berakhir di sini. Jadi, lihat saja nanti.
“Aku pasti akan membuatmu menangis nanti.”
“...Meskipun tak melihat, aku tetap bisa mendengarnya. Kau ini, sungguh pria yang menarik ya.”
Aku mengabaikan senyum lelah yang dibumbui keheranan itu, dan mulai berpikir.
Masalah terdekat adalah stasiun berikutnya.
Karena tiga orang tadi sudah gagal, mungkin teman mereka akan mencoba naik dari sana dan menyergap kami.
Saat itulah aku mendengarnya.
Di sela suara peluit dan roda kereta, muncul suara berbeda yang menyusup masuk ke telingaku.
Seperti ujung benda keras yang memukul-mukul kerikil di atas rel—ritmenya terdengar aneh, dan ketika aku menyadarinya...
Sebuah guncangan mengguncang atap gerbong, menggema ke seluruh badan kereta.
Meja dan bangku berguncang seperti ombak, para penumpang pun serempak menoleh ke atas dengan gumaman panik.
Dan satu detik kemudian, sesosok bayangan menerobos langit-langit, mendarat dengan berat di dalam gerbong.
Saat itu juga, terdengar jelas suara semua orang menahan napas.
“...Bau busuk.”
Suara itu rendah, nyaris seperti gemuruh yang keluar dari dasar sel yang berkarat—suara yang bergema di tengah keheningan, membekukan udara.
Pria itu sangat kurus, hampir seperti sakit, dan mengenakan mantel panjang yang menjuntai.
Rambutnya berwarna tembaga, disisir rapat dengan rapi berlebihan—dan di bawahnya, matanya yang bulat dan hitam berputar liar, seperti burung pemakan bangkai yang sedang membidik daging busuk.
——
Aku tidak bisa membaca pikiran orang lain.
Tapi aku tahu.
Aku tahu, meskipun aku tak ingin tahu.
Dari sosok kurus itu menguar bau yang pekat, suram, berkarat darah.
Itu adalah aroma khas—yang tak bisa disembunyikan—dari seseorang yang telah meremukkan nyawa orang lain dengan tangannya sendiri, yang telah menginjak-injak kehidupan banyak orang tanpa ragu.
Bukan penipu kecil sepertiku.
Itu adalah bau dari seorang pembunuh sejati.
Part 6
Sesuatu merambat di sepanjang tulang punggungku.
Sementara rasa mual yang menggetarkan saraf menjalari lambungku, aku tak bisa melepaskan pandangan dari pria itu.
Roda kereta, peluit, bahkan desas-desus penumpang telah menyatu menjadi latar belakang, seolah dunia menyempit hanya pada sosok mencekam yang berdiri di tengah penglihatanku.
Sepasang mata bengkok yang terasa mustahil untuk ditatap sedetik pun—menatap lurus ke arah kami.
“Sudah lama kutunggu. Sel kanker Doro Cancer... Meski begitu, kita masih sejenis. Sebagai bentuk sopan santun, perkenalkan namaku. Aku Aizelred Grakiel, Garda Kedua Penjaga Pelindung Ksatria.”
Begitu suara berat dan kelam itu menyampaikan perkenalan yang terdengar seperti kutukan, bahu Cronica gemetar.
“Tiarap!”
Teriakan tajam dan mendesak itu menggema di dalam gerbong.
Aku yang berada tepat di dekatnya, ditarik paksa oleh lengannya, dan seketika mengikuti perintah itu.
Tepat setelahnya...
“...Sudah kubilang baunya busuk, kan? Manusia rendahan.”
Pria yang menyebut dirinya Glachiel itu mulai berdenyut dari dalam tubuhnya, seolah ada sesuatu yang menggelegak dan meronta dari balik kulit.
Lalu—
Dengan bunyi ledakan tajam yang seolah mengoyak udara, sesuatu terpancar dari tubuh bagian atasnya.
Dinding gerbong makan. Jendela. Para penumpang. Semuanya diserang secara membabi buta oleh benda-benda yang terlempar dari tubuhnya.
Itu adalah—jarum.
Tajam, tipis, dan berwarna merah seperti darah. Ratusan jarum itu mencuat tak terkendali, menghujam segala arah seperti tembakan paku brutal.
Banyak penumpang terpaku ke dinding, tubuh mereka tergantung seolah dipantek hidup-hidup.
“Ap—...!”
Salah satu duri itu meleset nyaris menyentuh kepalaku, menghantam dinding dan bergetar hebat, menggema hingga ke dalam tengkorak.
Rasa takut membuatku tak bisa bernapas. Otakku tak mampu menyerap apa yang baru saja terjadi.
Aku jatuh terduduk, lututku gemetar, tak mampu berdiri.
Di pusat tragedi itu, Glachiel berdiri tegak, tidak menoleh ke arahku, melainkan menunduk menatap Cronica.
“Hebat juga, kau bisa menghindar. Kau membaca pikiranku, ya? Bagus. Bertahanlah agar tidak mati. Aku diperintahkan untuk tidak membunuhmu, jadi cobalah bertahan hidup. Jangan sampai aku harus bersusah payah karena ulahmu.”
“Cukup sombong juga cara bicaranya.”
Dari balik koper yang telah dijadikannya tameng, kini dipenuhi jarum-jarum berdarah, gadis itu perlahan berdiri.
Dengan satu mata tertutup, ia menatap Glachiel dengan jijik dan kewaspadaan yang nyata.
“Jadi inilah bangsawan Ksatria... Meski baru pertama kali bertemu, sepertinya kalian tak peduli soal cara. Kau menginginkanku sebegitu parahnya, ya? Dasar mesum.”
Nada Cronica tajam dan provokatif, namun wajah kurus Glachiel justru menegang dalam ekspresi iba yang ganjil.
“Dari cara bicaramu... rupanya kabar itu benar adanya, ya—Parasit.”
Nada suara yang terdengar seolah mengasihani seorang pasien yang hanya tinggal menunggu ajal—namun sebenarnya sarat dengan kebencian dan hinaan.
“Kau pasti tak mengingatnya lagi. Pada akhirnya, kau hanyalah parasit sementara.”
Aku tak sempat memahami, kata-kata itu menyentuh sisi terdalam dari diri Cronica.
Namun jelas terlihat—rambut perak dan merah keunguannya bergoyang seolah bergejolak karena amarah.
Dan mata amethyst yang bisa menyingkap isi hati manusia, kini terbuka sepenuhnya, menusuk pria itu dengan tatapan tajam—.
“Tak ada gunanya.”
“…Agh!”
Sekejap kemudian, Cronica terhempas ke belakang, tangan kiri memegangi mata kirinya seolah terbakar.
Kakinya terseret beberapa langkah ke belakang, terkejut dan kesakitan.
“Memang, matamu itu cukup merepotkan. Tapi hanya berlaku bagi manusia rendahan. Kami para bangsawan yang mewarisi faktor mudah saja memantulkan gangguan seperti itu... Hah, itu adalah hukuman atas pengkhianatanmu.”
Grakiel menyeringai—tawa mengejeknya berderak seperti logam berkarat.
Meski aku tak paham sepenuhnya maksud ucapannya, tapi aku telah menyadarinya.
Mata kiri Cronica… tidak bisa menembus pria ini. Ia memang bisa membaca isi hati, namun tidak bisa mengganggu pikiran seperti yang ia lakukan pada tiga orang sebelumnya, atau padaku.
Entah bagaimana caranya, pria ini kebal terhadap kemampuan itu.
Secercah keputusasaan, sedingin lumpur di musim dingin, menggulung di tenggorokanku.
Bangsawan monster ini… pasti sudah menunggu Cronica di stasiun sebelumnya.
Entah dengan cara apa, ia berhasil mengejar kereta yang tengah melaju, lalu menerobos langsung ke dalam gerbong.
“Tapi kau benar-benar membuatku repot, tahu... Haa, sungguh menyebalkan.
Karena perlawanan bodohmu itu, a-aku, harus—masuk ke tempat menjijikkan seperti ini!”
Suara gerutuan Grakiel makin naik nada, penuh amarah.
Dan dari tubuhnya, duri-duri kembali menjulur, menyerupai ranting-ranting terkutuk yang menggeliat dan mengancam.
Bersamaan dengannya, udara penuh dengan aroma darah dan karat yang makin pekat—bau yang tak bisa disangkal sebagai tanda nyata akan kematian yang segera datang.
Itu adalah sesuatu yang tak bisa disamarkan. Aura khas yang terukir dalam tulang punggung manusia, mengalir bersama darah, dan memancar keluar melalui kulit.
Pengalaman membunuh yang melekat pada jiwa—bukti nyata seorang pembunuh.
Aku terperanjat, menoleh—dan di sana, kulihat Cronica yang menekan mata kirinya, darah merembes dari sela-sela jarinya.
Aku hanyalah seorang penipu.
Aku bisa memperdaya hati manusia sesuka hati, tapi tidak demikian saat berhadapan langsung dengan kenyataan.
Karena itulah…
Aku tak bisa berbuat apa-apa.
Kecuali—meninggalkan gadis itu dan melarikan diri dari tempat ini.
Begitu pikiranku mencapai kesimpulan itu…
Sreeekk!
Tiba-tiba, udara yang sarat dengan bau kematian terbelah oleh suara tajam.
Dua tembakan. Lalu tiga. Namun sasaran mereka bukan aku.
Tubuh mungil itu… ditembus oleh duri-duri kejam. Aku melihatnya dengan mata kepala sendiri, seolah waktu berjalan lambat. Duri merah, tertancap di tenggorokannya, dan mata ungu yang berlumuran darah bertemu dengan tatapanku.
Semuanya terjadi dalam sekejap. Seperti bunga yang terpatahkan tanpa ampun, Cronica tumbang.
Hidup yang tadinya ada di sana… kini memudar. Dalam sekejap yang memisahkan antara hidup dan mati.
Namun matanya masih menatapku—Mata kiri itu… seakan ingin menyampaikan sesuatu padaku…
“────ッ!!”
Saat itu juga, kedua kakiku yang gemetar akhirnya bergerak. Tanpa berpikir panjang, tanganku menarik pistol dari balik saku.
Pistol itu—hasil curian dari tiga orang sebelumnya, lengkap dengan amunisinya.
Aku tak punya alasan untuk ragu menarik pelatuk.
Tiga peluru yang kulepaskan—semuanya mengenai tubuh Grakiel.
Tubuh kurus itu, bagai ranting kering, terhentak ke belakang akibat hentakan peluru.
Menggunakan momentum itu, aku berbalik dan menyeret tubuh Cronica ke pelukanku.
Lalu, aku lari sekuat tenaga menuju pintu antar gerbong di bagian depan.
Dengan tubuh ringan yang mengkhawatirkan dalam gendonganku,
tanpa menoleh ke belakang, aku menembakkan sisa peluru di magazinku,
melesat melewati jarak pendek menuju pintu dengan kecepatan yang belum pernah kulakukan sebelumnya.
Dan tepat saat tanganku menyentuh gagang pintu—Suara tembakan dari belakang merobek udara.
Nyaris! Pintu di belakangku dipenuhi lubang, tapi aku tak punya waktu bahkan untuk merasa lega.
Masih memeluk tubuh Cronica yang tak bergerak, aku terjatuh masuk ke gerbong depan dengan posisi menyedihkan.
Gerbong itu juga adalah gerbong makan, membentang hingga tiga gerbong panjang.
Beberapa penumpang yang ada menatapku dengan wajah heran—lalu berteriak histeris saat menyadari situasinya.
Namun aku tak bisa memberikan penjelasan, apalagi peringatan.
Aku menerobos mereka, mendorong siapa saja yang menghalangi jalan,
dan terus berlari ke bagian paling depan.
“Tu-tuan!? Apa yang terjadi—!?”
Seorang petugas kereta berlari mendekat dengan wajah pucat panik—dan seketika sebuah duri tertancap tepat di antara alisnya.
Teriakan dan jeritan panik pun bergema. Di tengah kekacauan itu, langkah kaki menginjak-injak sesuatu terdengar memantul dari belakang.
“Jangan ribut. Jangan menangis. Kalian manusia hina—bau busuk! Ahh, ahh!! Ini sungguh tak tertahankan. Aku perlu… membersihkannya.”
Suara teriakan bernada gelisah dan menjijikkan itu, bagaikan sinyal untuk memulai pembantaian.
Hujan duri seperti tembakan panah dari pasukan pemanah mengguyur gerbong,
menyematkan para penumpang ke dinding dan kursi satu per satu. Serangan membabi buta itu—jelas bukan strategi, melainkan letupan pembunuhan impulsif.
“Sialan… Kgh!”
Refleks, aku menarik mayat di dekatku dan menjadikannya tameng. Namun tetap saja, beberapa duri menembus pertahananku—menancap ke lengan dan betis dengan kejam.
Rasanya seperti logam cair panas dituangkan ke dalam dagingku. Kereta mulai berbelok mengikuti jalur, dan bodi gerbong pun miring.
Kakiku tergelincir, dan aku hampir menjatuhkan Cronica dari pelukanku. Tapi aku bertahan—memaksa diriku untuk tetap menggenggam tubuhnya erat.
Tanpa henti, aku melesat menuju gerbong berikutnya. Tak lagi peduli dengan teriakan atau pandangan penumpang lain. Aku hanya berlari, lurus ke depan.
Rasa sakitnya bukan masalah. Yang membakar pikiranku adalah—ancaman nyata yang terus mendekat dari belakang.
Grakiel.
Makhluk bangsawan pemilik darah "Regalia",yang tak bisa mati bahkan setelah ditembak berkali-kali.
Salah satu dari para ksatria yang memburu Cronica. Dan yang paling buruk—dia bukan orang yang bisa diajak bicara. Tidak akan ada negosiasi. Tidak ada belas kasihan.
Ketegangan dan kepanikan mempercepat detak jantungku. Apa yang harus kulakukan? Kalau terus maju, ujungnya buntu. Kalau begitu, melompat keluar saja?
Gagasan impulsif itu segera kutepis. Meski aku selamat sekalipun, itu tidak ada gunanya. Musuhku—makhluk itu—adalah sesuatu yang bisa mengejar kereta yang sedang melaju.
Lebih dari itu…
Hei, Linus. Sebenarnya, apa yang sedang kau lakukan? Gadis itu sudah mati. Buang saja. Kalau kau sendirian, mungkin dia tidak akan mengejarmu lagi.
"Hah… haah… sial…! Gkh—AAGHH!!"
Tiba-tiba, sebuah rasa sakit yang luar biasa menghantam pikiranku,
seolah memotong seluruh alur logika yang tengah berputar mencari jalan keluar.
Bukan sekadar nyeri biasa—Rasanya seperti tulangku digerus oleh amplas dari dalam, terlalu menyiksa untuk tetap berdiri. Tubuhku roboh begitu saja, dan Cronica terlepas dari pelukanku. Tapi aku bahkan tak sanggup peduli.
Duri-duri yang tertancap di tangan dan kakiku…seakan menyala, menancapkan rasa sakit yang menusuk hingga ke inti tubuh.
“Apa… ini…! GAAH—!!”
Rasa sakitnya menyesakkan napas. Getaran rel yang menjalar melalui lantai gerbong memperparah setiap denyut neraka ini.
Yang bisa kulakukan hanya… merangkak seperti ulat sekarat, di antara dua gerbong.
“Sialan…!”
Dunia mendadak menjadi kabur, terbaring miring dan tak lagi stabil. Kesadaran mulai meninggalkanku. Gelap perlahan menyelimuti segalanya.
Tepat sebelum semuanya menghilang, di sudut penglihatanku—kilatan samar cahaya ungu berpendar.
Dan setelah itu…segala sesuatu tenggelam dalam kegelapan.
Part 7
Apakah ini semacam pelarian dari kenyataan? Kesadaranku yang menyerah melarikan diri ke dalam mimpi masa lalu.
Dengan kata lain, ini adalah aku saat masih anak-anak—saat aku tidak tahu apa-apa, atau lebih tepatnya, bisa hidup tanpa tahu apa-apa.
Di halaman belakang teater yang dikelola ayahku, terletak di kawasan paling elit ibu kota kerajaan, berada di bawah naungan seorang bangsawan berpengaruh—aku bersembunyi di balik bayang-bayang peralatan panggung tua yang sudah dibuang, menggigit sebatang cokelat yang kucuri dari kamar.
Aku sudah tidak sekecil itu lagi, yang bisa merasa bahagia hanya dengan berlari-lari sambil berteriak seperti orang bodoh. Namun aku juga belum cukup dewasa untuk bisa mengendalikan dorongan pemberontakan kekanak-kanakan yang menggelegak di dalam diri. Usia saat itu memang seperti itu.
Singkatnya, aku membolos sekolah yang diperintahkan oleh orang tuaku untuk aku hadiri, tapi karena tidak ada hal lain yang bisa kulakukan selain merajuk dengan murung, inilah yang terjadi pada hari itu.
『Ah, ternyata kamu memang di sini, Linus.』
『…Nee-san.』
Dari balik papan berdiri yang catnya sudah mengelupas, muncul wajah kakakku yang sudah sangat kukenal, mengintip dari atas.
Dengan rambut panjang berwarna rami dan kecantikannya yang menonjol bahkan tanpa harus dibela sebagai keluarga, gadis muda yang matang sebelum waktunya itu benar-benar pantas menjadi pemeran utama di rombongan teater kami. Jika diminta memerankan seorang janda, dia bisa menangis hanya dalam hitungan detik, seorang aktris yang piawai. Namun saat itu, dia memperlihatkan senyum tulus yang hanya ditunjukkan kepada keluarga.
Padahal, dulu saat aku mulai mengingat dunia sekitar, kami biasa berlari-lari di halaman belakang dengan tubuh penuh luka lecet. Tapi entah sejak kapan, dia mulai mengenakan berbagai topeng orang dewasa. Kepadanya, aku menyimpan rasa iri yang menyerupai kekaguman dan kesepian seperti kehilangan sosok ibu, lalu aku berkata:
『Apa kamu boleh ada di sini? Pertunjukan siang pasti sudah dimulai.』
『Kamu juga, tahu? Sudah lama lewat dari jam masuk sekolah.』
Sambil berkata begitu, dia duduk di sebelahku, lututnya tertutup oleh rok panjang.
『Jadwalnya berubah. Katanya, Ayah akhirnya berhasil membujuk ketua sirkus yang sudah lama dia incar, dan hari ini saja mereka mau tampil di tempat kita. Karena aku lagi senggang, kupikir… kenapa tidak bermain dengan adik kecilku yang manis setelah sekian lama?』
『Kalau aku pergi ke sekolah, apa yang akan kamu lakuin?』
『Tidak mungkin kamu pergi. Aku sudah tahu kok.』
Aku berniat membantah jawaban cepat itu, tapi langsung menyerah. Memang, aku tidak akan bisa menang darinya.
『Hei, hei, memangnya sekolah itu sebosan itu, ya?』
Ditanya dengan rasa ingin tahu yang tulus oleh kakakku, aku belum cukup dewasa untuk bisa memberi jawaban yang cerdas.
『Bukan…berarti membosankan. Tapi lebih dari itu, aku nggak suka.』
"Begitu, ya," katanya, lalu dia tidak bertanya lebih jauh. Dia membiarkan bagian dari diriku yang akan mudah rapuh bila diungkapkan dengan kata-kata tetap tersembunyi begitu saja. Dan entah bagaimana, aku menyukai sisi dirinya yang seperti itu.
『Lagian, meskipun aku menuruti Ayah dan pergi ke sekolah buat belajar, pada akhirnya aku nggak bakal bisa mengurus tempat ini. Aku juga nggak tertarik cari uang.』
Kalimat yang kulanjutkan itu seperti usahaku untuk mengelabui diriku sendiri, tapi kali ini dengan mudah dibalas balik olehnya.
『Tapi kan, kamu juga nggak punya hal lain yang pengen kamu lakuin, kan?』
『Y-ya, sih…』
Kakakku menatap langit sejenak, seolah sedang berpikir, lalu tiba-tiba menepukkan kedua tangannya yang kering dengan bunyi pluk.
『Kalau begitu, Linus! Mau coba naik panggung bareng aku?』
『Hah!?』
『Kalau sudah diputuskan… langsung latihan! Kita mulai dari suara dulu, ya. Ayo, berdiri.』
『T-tunggu dulu, Nee-san!』
Aku buru-buru menolak kakakku yang langsung mengubah nada suaranya jadi seperti pelatih.
『Aku nggak bisa akting! Gerakannya terlalu lebay, dan… itu, rasanya malu banget…』
『Nggak apa-apa, nggak apa-apa. Kamu bakal terbiasa, kok. Jadi serahkan saja pada Onee-chan oke.』
Seolah menambahkan sesuatu, kakakku membungkuk dan berbisik di telingaku.
『Aku yakin kamu punya bakat, Linus.』
Lalu, sambil menatap mataku langsung dan lurus, dia meyakinkanku:
『Kamu adalah anak yang setidaknya bisa memahami perasaan orang lain. Tapi dalam dunia akting, yang lebih penting adalah memahami hatimu sendiri, dan tahu cara menggunakannya dengan baik. Dalam hal itu… aku yakin kamu jauh melebihi orang kebanyakan.』
Lalu, sambil berkata begitu, tangan kakakku yang putih menyusup masuk ke saku celanaku. Tanpa sempat terkejut, dia menarik keluar bungkus cokelat yang kusimpan diam-diam.
『Kamu juga cukup nekat dan lihai… Ini kan cokelat yang aku simpan di laci? Karena akhir-akhir ini sering berkurang, aku sampai menguncinya, tahu.』
『…Ah, eh, itu…』
『Sebagai hukuman, hari ini kamu harus berteriak sampai jatuh pingsan! Oke, kita mulai dari latihan pertama!』
Lagi-lagi, dia menepuk punggungku dengan lebih keras dari sebelumnya—dan sebelum aku sempat berteriak minta ampun…
Saat itulah, kesadaranku ditarik kembali ke dunia nyata.
Part 8
"Oh, kamu sudah bangun rupanya."
Begitu kelopak mataku terbuka, pandanganku langsung bertemu dengan sepasang mata berwarna ungu yang menatapku dari dekat. Dari sensasi di bagian belakang kepalaku, sepertinya aku sedang berbaring di atas paha seorang gadis. Dan entah kenapa, rasa sakit yang tadi kurasakan kini telah lenyap.
"Kebetulan sekali, Linus. Proses pencabutan di tubuhmu sudah selesai... Karena sensasi nyerinya disegel untuk sementara waktu, kamu nggak merasa sakit, kan? Sekarang bantu aku, tolong cabutkan ini."
Dengan senyum canggung, Cronica menunjuk ke lehernya—yang saat ini sedang tertancap duri merah kehitaman yang menembus dengan cara yang sangat mengerikan.
"!! Cronica, kau... kau masih hidup…!!"
Aku langsung bangkit secara refleks. Kondisi gadis itu jelas-jelas mengenaskan. Satu duri menembus lehernya—yang jelas merupakan luka fatal. Selain itu, duri juga menancap di bahu kanan, dada, perut samping, hingga paha kirinya.
Tak peduli bagaimana pun aku mencoba memikirkannya, seharusnya dia tidak mungkin masih hidup dan bisa bicara. Namun, meskipun begitu…
"Duri ini, sepertinya tumbuh dengan menyerap darah. Ah, maksudku bukan tumbuh di luar, tapi di dalam. Semakin banyak darah yang diserap, makin jauh akar-akar itu menjalar ke dalam daging dan tulang mangsanya, lalu membuat mereka lumpuh karena rasa sakitnya."
Dengan tenang, Cronica menjelaskan semua itu. Tapi wajahnya sedikit berkeringat dan tampak pucat.
"Sialan!"
Aku segera menyingkirkan segala kekhawatiran yang tidak penting dan melihat sekeliling. Udara panas dan aroma gosong memenuhi hidungku. Sepertinya kami sedang berada di gerbong dapur, tak jauh setelah melewati gerbong penumpang.
Aku mengabaikan panci yang masih mendidih di atas api, membalikkan barang-barang di sekitar dan mengumpulkan apa pun yang bisa dipakai. Lalu, aku menghampiri Cronica yang bersandar lemah di meja dapur, dan mengulurkan tangan ke arah duri yang masih menancap di tubuhnya.
Aku menariknya keluar dengan sentakan, dan dengan sensasi mengoles, kulit dan dagingnya yang lembut terkoyak. Darah segar mengucur deras seperti jus buah, membasahi tanganku dengan rasa realitas yang hangat.
Ini jelas bukan luka yang bisa ditanggung manusia.
"Monster, ya… Gak apa, aku suka orang yang jujur."
Seolah telah membaca arah pikiranku, Cronica menyeringai dengan bibir merah menyala, mengejek dirinya sendiri.
"Bangsa bangsawan yang mewarisi faktor itu memang berbeda secara struktural dengan manusia biasa. Sekadar luka begini nggak akan bikin aku mati... yah, aku termasuk yang cukup tangguh di antara mereka."
Bau amis darah menguar di udara. Tubuh indah yang anggun nan mewah itu tampak seolah bisa runtuh kapan saja, seiring dagingnya yang terkoyak.
"...Si brengsek itu, Grakiel, tidak mengejar kita?"
"Sepertinya begitu. Untuk saat ini, ya. Aku tahu karena sudah mengintip pikirannya. Dia sepertinya berniat membantai semua penumpang di kereta ini. Soal kita, dia pikir nggak perlu buru-buru, karena mengira setelah menusukkan beberapa duri, kita tak akan bisa banyak bergerak."
"...Begitu ya."
Rasa iba atau keinginan untuk menyelamatkan orang lain—perasaan semacam itu tampaknya telah kulepaskan di tengah pelarian tadi. Sampai di titik ini, aku bahkan tidak punya ruang dalam hatiku untuk peduli pada siapapun selain diriku dan dia.
Aku membersihkan luka dengan alkohol, lalu membalutnya dengan kain yang tampak bersih. Saat aku harus melepas sebagian pakaian yang menghalangi penanganan, wajah gadis itu sempat memerah sedikit.
"Mesum."
"Ini murni tindakan medis. Tenang saja. Tubuhmu yang kurus seperti kambing ini tidak cukup menarik untuk membuatku berpikiran aneh."
"...Hal seperti itu, justru simpan saja dalam hatimu."
Setelah beberapa menit, penanganan darurat pun selesai. Saat aku membantu mengenakan kembali pakaiannya, pikiranku dipenuhi pertanyaan: Bagaimana caranya kita keluar dari sini?
Mungkin Cronica membaca kegelisahanku. Namun, dia hanya menggeleng pelan, seolah melepaskan segalanya.
"Tak akan bisa. Dengan kaki manusia, sekeras apa pun berusaha, kamu nggak akan bisa kabur… Kecuali kamu meninggalkanku, tentu saja."
Bersandar pada rak yang sudah berlumuran darah, gadis itu lalu mengajukan sebuah pertanyaan.
"Untungnya, dia nggak akan sampai ke sini dalam waktu dekat. Kebiasaan buruknya yang lebih suka membuat korbannya menderita semaksimal mungkin daripada membunuh mereka dengan cepat… berkat itu, kita masih punya cukup waktu buat berpikir. Jadi, kasih aku jawabanmu, Linus."
Itu bertentangan. Barusan dia berkata ingin diselamatkan, tapi sekarang dia bersikap seolah boleh saja ditinggalkan. Ucapan gadis itu terdengar seperti terpidana mati yang, setelah mendengar langkah mendekat, menghentikan usahanya menggali lubang di dinding sel.
"Jadi kau sudah menyerah?"
Aku bertanya. Cronica mengangguk lemah, dengan ketenangan yang menyakitkan.
"...Ya, sepertinya begitu. Penglihatanku nggak mempan padanya. Padahal ini pertama kalinya aku coba ke bangsawan, tapi ternyata sama sekali nggak ada gunanya. Mungkin karena itu ulah tubuh aslinya, atau karena aku sendiri sudah memburuk. Entahlah. Tapi... kurasa itu udah nggak penting lagi."
Sambil menggumamkan logika yang hanya dimengerti oleh dirinya sendiri, jemari halusnya memainkan rambut magenta dan perak yang telah ternoda oleh darah.
Saat aku bertanya lagi apakah dia tidak takut, jawabannya datang dengan pelan.
"Takut, tentu saja. Tapi anehnya... saat waktunya benar-benar tiba, rasanya malah nggak terlalu penting. Mungkin... aku udah lelah sejak lama. Teramat sangat lelah."
Entah kenapa, mendengar ketenangan putus asa itu, aku merasa lebih marah daripada iba.
"...Kau boleh saja menyerah. Tapi, bagaimana dengan uangku?"
"Siapa tahu... Jangan-jangan, kau mau aku balikin ingatanmu sebelum aku ditangkap dan dibunuh? Maaf, itu nggak bisa. Tak seperti orang tertentu, aku ini tipe yang menepati janji."
Di tengah keadaan seperti ini—atau justru karena itulah—dia tetap bisa berkata dengan nada menggoda.
"Atau, kau mau menyiksaku dulu sebelum kabur, dan coba paksa ingatanmu kembali? Silakan aja. Mau memperkosaku, menelantarkanku di sini, semuanya terserah kamu. Lakuin sesukamu."
Ucapannya, dilemparkan ringan dari tubuh yang lunglai seperti boneka dengan benang yang putus, jatuh di dekat ujung sepatuku.
Saat itulah aku sadar—gadis ini, sejak awal, mungkin memang tidak pernah percaya bahwa mereka bisa lolos dari semua ini.
Dia tahu, cepat atau lambat, saat ini akan datang. Dan tetap saja... dia terus berjalan.
Kenapa dia tidak menyerahkan diri ke pihak berwenang sejak awal? Kenapa tidak langsung bunuh diri saja? Dan yang paling membingungkan, apa yang dia harapkan dari perjalanan seperti ini?
Aku benar-benar tak mengerti.
Namun, satu hal yang sangat jelas.
"...Menjengkelkan. Sungguh menjengkelkan."
"Eh?"
Bahwa dia tidak mau mengembalikan uangku sampai detik ini—itu masih bisa kupahami. Aku pun akan melakukan hal yang sama kalau jadi Cronica. Karena, sungguh menyebalkan rasanya jika seseorang malah untung saat kau akan mati.
Tapi yang benar-benar membuatku muak... adalah hal yang satu lagi.
Dengan senyum samar yang sok tahu, seolah sudah tahu akhir dari cerita ini, dia menerima keputusasaan tanpa rasa gentar. Dan aku kalah oleh gadis seperti itu. Sebagai penipu, aku kalah.
Dan belum menang sampai sekarang.
Jadi, bahkan jika aku mati, aku tak akan pernah menerima bahwa dia telah melarikan diri membawa kemenangan selamanya──dengan uangku dicuri dan harga diriku sebagai penipu terluka.
Tiba-tiba, dari dasar perut yang mendidih karena amarah, ingatan yang lama terkubur pun meluap.
──Wajah kakakku yang telah membeku. Tatapan matanya yang tak lagi memantulkan apa pun.
──Hujan putih yang turun deras di luar jendela.
──Rasa dingin dari pisau di tangan kananku. Dan warna merah yang menyusul.
Aku ingat. Benar—sejak awal, aku sudah tahu apa yang akan kulakukan.
Aku berbalik, lalu mulai mengisi ulang peluru ke dalam pistol kosong. Di belakangku, aku bisa merasakan keterkejutan Cronica.
"...Eh? Tunggu, jangan bilang kau serius...!?"
Lucu. Padahal dia bisa melihat hati orang lain. Lalu apa yang membuatnya terkejut sekarang?
Masih membelakanginya, aku mengangkat bahu dengan ringan.
Bagiku, hanya ada satu kepastian—uang lebih berharga dari nyawa. Dan harga diri sebagai penipu yang telah kukumpulkan selama ini pun, cukup pantas untuk dipertaruhkan nyawa.
"Tenang saja. Kalau aku sudah memutuskan untuk bertindak, aku gak ada niat buat mati."
Aku menarik napas dalam-dalam. Membiarkan udara segar membanjiri paru-paruku dan menyebar dingin ke seluruh tubuh, membawa serta ketenangan yang dibutuhkan.
Dua puluh tahun hidup sebagai penipu. Tak terhitung kesalahan, kegagalan, dan kecelakaan yang kualami. Tapi tiap kali, aku selalu bertahan seperti ini.
Kumatangkan pikiranku. Mataku menyisir dapur sempit di sekeliling, menggali dalam-dalam setiap sudut pengalaman dan ingatan selama belasan menit terakhir...dan juga sepanjang hidupku—lalu memusatkan perhatian pada secercah kemungkinan yang samar.
"Aku akan bunuh si monster itu. Dan aku akan keluar dari sini hidup-hidup."
Kalimat itu bukan untuk siapa pun.
Itu hanya untuk meyakinkan diriku sendiri.
Part 9
Satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah rasa sakit.
Sebagai algojo penyiksa, Grakiel membangkitkan Factor miliknya saat berusia dua belas tahun. Di hari yang sama, ia mewarisi jabatan sang ayah.
Pekerjaan pertamanya: menyiksa istri dan anak dari seorang pria yang baru saja ditangkap, tepat di depan mata sang pria itu sendiri.
Pada akhirnya, dia menyerahkan dua mayat yang telah menjadi papan ranjau dipenuhi jarum, dan membiarkan si pria pergi tanpa sedikit pun luka.
Tak lama kemudian, pria itu menggantung dirinya di depan bekas keluarga yang telah dibantai itu.
Sebagai peringatan.
Manusia rendahan—rakyat jelata—mudah lupa.
Mereka lupa akan kedudukan mereka. Lupa bahwa mereka hanyalah makhluk rendah.
Bila dibiarkan, mereka akan mulai menggertak para bangsawan.
Karena itulah, mereka harus diajari. Agar tak pernah lupa lagi, penderitaan abadi harus diukir dalam tubuh dan jiwa mereka.
Mereka harus dijadikan contoh. Dipajang sebagai cermin untuk massa bodoh lainnya.
Tentu, pekerjaan ini kotor. Tapi ini adalah pekerjaan yang harus dilakukan oleh seseorang.
Dan sejujurnya, yang membuat semuanya jadi salah... mungkin adalah kami, para bangsawan.
Kami yang memiliki darah luhur ini, kami yang gagal mendidik para hewan ternak dengan benar.
Kami terlalu lunak. Penderitaan dan keputusasaan yang kami berikan pada mereka terlalu sedikit.
Itulah sebabnya… Revolusi berhasil.
Maka, misi Ksatria Ordo hanya satu: Mengobati sel kanker bernama Doro Cancer—dan ketika Raja bangkit kembali, kami akan mendidik para rakyat dengan sempurna kali ini.
***
"Ugh... gila. Rasanya... menjijikkan banget."
"Padahal, aku sudah cukup banyak melewatkan bagian-bagian yang terlalu parah, lho. Kamu gak apa-apa?"
"Aku baik-baik saja," jawabku sambil menggelengkan kepala yang terasa sakit.
Melalui kontak mata dengan Cronica, ingatan Grakiel mengalir ke dalam pikiranku.
Pemandangan yang terlalu mengerikan untuk bisa dianggap nyata.
Aku benar-benar menyesal telah memintanya dan tak bisa menahan makian.
Karena dalam semua itu, terselip juga sesuatu yang bahkan lebih sulit dipahami:
Kebencian yang menyimpang dan tak masuk akal.
Dia membenci makhluk-makhluk kotor itu. Tak tahan berada dekat mereka.
Namun di saat yang sama... dia sangat menikmatinya.
Melihat rakyat jelata itu menderita, hancur, kehilangan bentuknya sebagai manusia—itu adalah kesenangan baginya.
Sosoknya adalah manifestasi dari kekuasaan bengkok dan kekejaman tanpa simpati.
Kepribadiannya…
Singkatnya, sudah benar-benar rusak.
"Menjijikkan... tapi, kurang lebih aku paham."
Jelas, ini bukan lawan yang bisa diajak bicara. Bagi dia, kami bukan makhluk yang layak dinegosiasikan, bahkan tidak pernah terpikir olehnya.
Tapi justru karena itulah... ada celah yang bisa dimanfaatkan.
"Waktunya gak banyak. Ayo, gerak cepat."
Aku menyalakan rokok, menyuntikkan sedikit semangat ke kepala yang masih pusing.
Lalu, aku mulai bersiap—untuk membunuh makhluk itu, yang akan segera datang... demi membunuh kami.
Beberapa menit kemudian, pintu belakang gerbong dapur didobrak oleh tekanan brutal.
"Dia datang..."
Kami bersembunyi di balik meja dapur. Di sebelahku, ada satu panci stockpot besar yang dibalik.
Di sampingnya, Cronica sedang meringkuk. Untukku, tidak ada tempat bersembunyi.
Ujian pertama: selamatkan diri sendiri dulu—itu prioritasnya.
Dan kemudian, mereka muncul para penumpang dari gerbong belakang berduyun-duyun masuk ke dapur.
Tapi keadaan mereka...Begitu menjijikkan sampai tak sanggup lagi kulihat langsung.
Mereka menyerupai kaktus merah darah, tubuh dipenuhi duri besar yang mencuat ke segala arah.
Namun yang paling mengerikan: mereka masih hidup. Duri-duri itu menancap ke dalam, menghujam sistem saraf mereka—menyetrum, menyiksa, memaksa mereka terus berjalan.
Pawai kematian para manusia berduri itu berhenti tiba-tiba di tengah dapur.
Lalu semuanya mulai gemetar. Tak beraturan. Tak wajar. Seperti pertanda buruk yang memuncak dalam sebuah raungan... lalu:
"...!!"
Begitu aku menarik kepala untuk mengintip, mereka meledak serempak.
Duri-duri yang menyerap darah dari dalam tubuh tumbuh secara eksplosif—menyembur keluar bersama serpihan tulang dan daging.
Ledakan brutal itu menghancurkan segalanya secara membabi buta.
Gerbong pun berubah menjadi sarang peluru. Udara menerobos deras lewat lubang-lubang baru, menyusul suara ledakan yang bergemuruh.
Dan tak lama setelah itu... Aku mendengar suara langkah kaki yang tenang—melangkahi puing-puing—disertai suara dingin, penuh iritasi.
"Kenapa diam saja...? Tunjukkan dirimu. Kau masih hidup, kan?"
Dengan tangan dan kaki yang tercabik oleh ledakan dan serpihan, aku berdiri dari balik meja dapur.
"Yah... Terima kasih saja, pakaian terbaikku jadi hancur lebur."
Tepat di sebelahku, panci stockpot yang penyok di sana-sini terangkat sedikit dari dalam—pertanda bahwa Cronica siap kapan saja.
Begitu mata kami bertemu, Grakiel langsung menyeringai dengan jijik dan mengerutkan alisnya.
"Sejak kapan makhluk rendahan sepertimu, jelata mendapat izin untuk membuka mulut kotormu di hadapanku? Tak termaafkan. Sangat tak termaafkan. Karena itu, aku akan membunuhmu."
"Harusnya aku yang ngomong begitu, dasar bajingan landak berduri."
Dengan marah, aku mengarahkan pistol ke wajah sombongnya, meskipun aku tahu itu tidak akan mempan.
"Kau tahu tidak, bangsawan macam kalian sekarang sudah resmi jadi hama masyarakat. Dan meski ini bukan tugas resmi warga negara yang baik... aku akan jadi pembasmimu hari ini."
Sengaja kutebar provokasi berlebihan karena aku tahu itu ampuh.
Cronica telah memberitahuku lewat mata kirinya: Makhluk ini mabuk akan penderitaan dan keputusasaan manusia, bangga pada superioritasnya yang menjijikkan.
Dan jika harga dirinya tergores, dia pasti akan bereaksi. Dia pasti ingin menghancurkanku sekejam mungkin, demi memuaskan egonya.
Tanganku yang memegang pistol mulai bergetar, bukan karena akting, tapi murni ketakutan.
Dan dia langsung menanggapinya dengan tawa sinis yang terdengar seperti mengejek kegagalanku hidup.
"Heh... jangan sok berani, makhluk rendahan. Takut, ya? Kau gemetar."
"Tentu saja takut. Ini pertama kalinya aku ngobrol dengan landak yang bisa ngomong."
Kutimpali ejekan dengan nada dingin, dan kurasakan aura pembunuh yang tak terlihat mulai terfokus ke arahku.
Dia sudah memutuskan. Dia akan mempermainkanku, membuatku merangkak, mendengarkan ratapanku, lalu membunuhku dengan perlahan.
"...Hey, makhluk inferior. Aku baru saja berubah pikiran. Demi keberanianmu itu, aku akan memberimu kesempatan. Satu-satunya peluang untuk hidup."
Dengan suara tenang namun dibalut aura pembunuh yang kental, Grakiel melanjutkan:
"Serahkan gadis kecil yang kau sembunyikan di bawah kakimu. Lakukan itu, dan aku akan membiarkanmu hidup."
Aku hanya tertawa kecil sebagai jawabannya.
"Kau payah dalam berbohong."
"Apa…!?"
"Kalimatmu barusan... tidak tulus. Dan wajahmu, penuh ekspresi. Kau sebenarnya ingin melihatku hancur karena dikhianati... Benar, kan?"
Wajahnya mengerut karena kesal. Duri-duri di tubuhnya mulai merayap.
Datang!
"Sekarang, Cronica!!"
Aku menembakkan peluru sambil menjatuhkan diri ke balik meja, menghindari serangan duri yang ditembakkan ke arahku.
Tentu saja, peluruku meleset. Tapi itu tidak penting—tugasku hanya satu: mengalihkan perhatiannya sampai akhir.
Saat itu, Cronica bangkit menggantikanku, dan dengan kedua tangan, ia melemparkan sesuatu ke arah kaki Grakiel.
Benda itu berat bagi lengan mungilnya. Maka benda itu terlempar dalam gerakan berputar, membentuk parabola yang canggung menuju sasaran...
『...Beneran, aku cukup melempar ini aja?』
『Iya. Jangan sentuh sembarangan. Sampai saat digunakan, kita lindungi pakai panci stockpot itu. Kalau gagal... kita berdua bisa meledak.』
Cronica memandang benda itu dengan tatapan penuh keraguan yang sangat jelas.
『Kereta ini barang bekas dari Kekaisaran Uap Elbion. Jadi, dapurnya juga masih pakai perlengkapan standar dari sana, tanpa ubahan.』
Sambil mematikan kompor, aku mengangkat panci kecil yang tadi dipakai memasak.
Di atas tutup ulir yang rapat tertutup, terdapat lubang kecil dengan lonceng uap yang segera kututup rapat-rapat dengan sumbat.
『...Itu sebenarnya apa?』
『Stew tadi... enak, kan?』
Sambil tetap membelakangi Cronica, aku mulai menjelaskan dengan nada seperti sedang membacakan trivia yang kudengar entah dari mana.
『Di dalam kereta yang sempit dan terus berguncang, panci besar yang bisa tumpah sangat merepotkan. Karena itu, masakan rebusan saat perjalanan biasanya dimasak pakai ini. Kecil, bisa ditutup rapat, dan yang paling penting bisa melunakkan bahan makanan dalam waktu singkat tanpa harus bikin penumpang nunggu lama.』
Kuketuk perlahan tutup panci yang menggelembung karena panas, memastikan besarnya tekanan di baliknya.
『Panci presto. Kalau kau salah pakai benda ini──』
Apa yang akan terjadi?
Jawabannya ditunjukkan secara nyata—sekarang juga.
Grakiel bereaksi wajar terhadap benda yang melayang pelan ke arahnya. Ia memanjangkan duri dan menancapkannya, lalu melempar balik. Jika itu hanya pelempar biasa, tindakannya mungkin efektif. Tapi dalam kasus ini, itu adalah kesalahan fatal.
"!!"
Sesaat sebelum suara ledakan dahsyat bergema, aku memegang Cronica dan menjatuhkan diri ke lantai bersamanya.
Aku tak perlu melihat untuk tahu apa yang terjadi. Cairan rebusan dan tekanan tinggi di dalam alat masak super panas itu, terlepas lewat lubang kecil yang tertembus duri—meledak keluar sebagai kekuatan penghancur yang mengerikan.
Kekuatan ledakan tunggal itu tak kalah dibanding “manusia duri” sebelumnya.
Menyingkirkan dengungan telinga akibat ledakan, aku mengangkat kepala dan melihat ke depan. Grakiel menancap di dinding dalam gerbong dengan separuh tubuh bagian kanan hilang. Penutup panci menancap di wajahnya, dan lehernya terpelintir patah ke samping.
Namun, aku tahu… itu belum cukup untuk membuatnya mati.
Aku melompati meja masak yang sudah setengah hancur dan menerjang. Dengan sekuat tenaga, aku menghantam tubuhnya dengan tendangan. Dinding yang sudah rapuh pun tak sanggup menahan, dan Grakiel akhirnya terlempar ke luar gerbong.
"Maaf, tapi kau turun di sini."
Tukang siksa berlumuran darah itu terpental mundur, memantul beberapa kali di atas kerikil, lalu terseret masuk ke dalam neraka roda kereta yang sedang berputar.
Suara mengerikan daging dan tulang yang dilumat terdengar begitu jelas. Serpihan tubuh dan cipratan darah memancar ke udara, lalu segera mengalir ke belakang, menghilang dari pandangan seiring kereta terus melaju.
Dan aku pun merasakan kekuatan mengalir keluar dari tubuhku, seketika.
Part 10
"Kerja bagus, Linus. Kita berhasil."
"Semoga saja… Ugh, sial, kepalaku masih pening."
Dengan langkah ringan, Cronica muncul dari pintu penghubung di depan. Dari balik perban, sepertinya pendarahannya sudah berhenti. Seperti yang dia bilang, memang makhluk yang tangguh.
Beberapa menit telah berlalu sejak kejadian itu.
Kami meninggalkan gerbong dapur yang kini terbuka lebar dan berpindah ke gerbong penyimpanan batu bara di depan. Bersandar pada kontainer arang yang berjelaga, aku duduk dan bertanya,
"Ke mana saja kau tadi?"
"Ke ruang mesin. Aku memberi perintah baru ke masinis."
Tampaknya saat aku tak sadarkan diri, dia menggunakan para juru masak yang dikendalikannya untuk memanggil para masinis, dan memerintahkan mereka agar tetap menjalankan kereta tanpa menghiraukan kekacauan.
Sambil mengangguk seadanya, aku membuka botol obat stimulan.
Entah efektif atau tidak untuk luka, untungnya setiap gerbong dilengkapi obat-obatan sederhana untuk penumpang yang sakit.
"Mau minum juga?"
"Aku nggak suka obat," jawab Cronica sambil menggeleng.
“Ada juga sisi kekanakan,” gumamku, dan dia menendang lututku ringan. Yah, setidaknya dia terlihat sehat.
"Kalau gitu, aku mau balik dulu ke gerbong penumpang sebentar. Aku ninggalin barang-barangku di sana."
Ujung roknya yang hitam berkibar saat ia melangkah melewatiku. Tapi aku ingat, kopernya yang dipakai jadi tameng waktu itu, sudah penuh lubang. Rasanya tak mungkin isinya masih utuh.
"Benar juga… Mungkin semua pakaian ganti di dalamnya udah hancur. Tapi tetap aja, ada barang penting lain di dalamnya."
"Barang penting?" tanyaku sambil menatapnya tanpa pikir panjang.
Cronica terdiam sejenak sebelum menjawab, "Buku harian. Aku nulis perjalanan ini sejak awal."
Itu satu-satunya benda yang tak bisa dia abaikan, walaupun penuh lubang sekalipun.
Buku harian. Mendengar kata itu, seolah aku hampir mengingat sesuatu… tapi kepalaku masih terlalu pusing untuk menghubungkannya.
"…Tunggu. Aku ikut. Aku juga punya barang di sana."
Lagipula, aku masih butuh obat tambahan. Luka-lukaku terasa semakin perih. Kalau beruntung, mungkin ada tingtur anestesi kuat di salah satu gerbong. Begitu aku berdiri dengan goyah—
"Benar. Meski begitu, setidaknya biar kuucapkan terima kasih… Aku nggak menyangka ini akan berhasil."
Mendengar kata-kata Cronica saat ia menoleh, jawabanku sudah pasti.
"Karena uang."
"Pembohong."
Dengan mata kirinya tetap terpejam, Cronica menyunggingkan senyum malu-malu yang tak biasa.
"Karena kamu pembohong, aku nggak akan percaya kata-katamu itu."
Sudah kuduga. Aku hampir saja membalas dengan gumaman sinis—Terserah, bilang saja sesukamu—ketika tiba-tiba, tubuh ringan itu menyentuh dadaku.
Seketika, seolah ia memelukku dan aku terdiam, kaget oleh sentuhan itu—
Mendadak, sensasi panas menembus perutku.
"────!!"
"A──… ah, L-Linus…!!"
Saat kuturunkan pandanganku, ujung sebuah pasak berdarah yang menembus perut Cronica kini juga menancap di tubuhku, menembus punggung.
Rasa ditekan yang menghancurkan, seperti isi tubuh dikoyak dari dalam, membakar seluruh sarafku dalam sekejap. Pandanganku berputar liar. Saat aku merasa kakiku tak lagi menyentuh lantai, sebuah hentakan dahsyat menelusuri tulang belakangku.
Ternyata kami ditembak, pasak itu telah menembus kami berdua dan menghempaskan tubuh kami ke arah kontainer batu bara, hingga tertancap di dinding logam layaknya serangga spesimen.
Dengan Cronica masih berada dalam pelukanku, kami tertusuk bersama. Tapi aku tak punya tenaga, bahkan untuk mengkhawatirkan gadis di pelukanku.
Dari lantai yang retak, sesuatu mulai merangkak keluar—makhluk asing, bentuknya menjijikkan.
Dari tubuh atas yang sebelumnya hancur, dan separuh bawah yang terpotong, ratusan duri terus tumbuh dan bergeliat tanpa henti, membentuk kembali tubuhnya dengan cara yang amat tidak wajar.
Bersama suara gesekan logam yang menyengat, kereta pun terhenti. Mungkin sambungannya rusak.
Tapi itu tak penting. Dalam ruangan yang kini terdiam, hanya satu hal yang jelas terasa:
Kebencian murni—pekat, berat, tanpa cela menyelimuti udara di sekitarku.
"……Kenapa, hah!? Jawab aku, dasar ras rendahan!. Kenapa aku, yang jauh lebih mulia darimu, harus… harus menjadi yang di bawah!? Di dalam kotak bau yang berguncang, penuh dengan manusia ternak sepertimu, dan dari semua tempat… kenapa harus di bawah roda! Kenapa aku harus dilindas──! Hah!? Ini semua salahmu, dasar serangga menjijikkan!!"
Menghadapi aura mematikan, ia mengangkat kepalanya, aku sadar betul, jauh di dalam pikiran: Aku akan mati di sini.
"Aku tak akan membiarkanmu mati dengan mudah. Kau melanggar hukum. Kau melawan kehendak 'Sang Raja' yang telah menetapkan aku di atas dan kau di bawah... Maka kau akan menerima hukumanmu."
Sekejap kemudian, kedua tangan dan kakiku ditembus oleh duri-duri, menancap sampai ke tulang, mengikat tubuhku mati-matian.
"〈Dain Weedle, Iblis Kematian〉──Bersiaplah menerima nasibmu, ras rendahan. Dengan racun duriku ini, akan kutancapkan kau di dasar neraka… untuk selamanya!!"
Duri yang menancap di dahiku perlahan-lahan mulai menanamkan akar panasnya ke dalam, menebarkan rasa sakit tak terlukiskan. Suara teriakanku, yang terdengar asing bahkan di telingaku sendiri, mengguncang kerongkongan. Seluruh tubuhku bergetar hebat, seperti akan patah.
...Mungkin ini adalah ganjaran. Hukuman yang pantas untuk seorang penipu yang seumur hidupnya menipu dan memanfaatkan orang lain demi keuntungan. Saat memikirkannya seperti itu, entah kenapa aku merasa bisa menerima semua ini.
Dalam kesadaranku yang mulai memudar, satu-satunya hal yang tersisa hanyalah rasa sakit yang membuat gila dan aku sudah kehabisan cara untuk melawannya. Segala hal yang bisa kulakukan, sudah kulakukan.
Jadi anehnya, aku tidak merasa menyesal—bukan… tapi, harusnya aku merasa menyesal.
Karena aku adalah penipu. Sampah manusia yang akan melakukan apapun: demi uang, dengan uang, melalui uang, untuk uang. Jika aku mati sebersih ini… itu pasti ada yang salah.
Mataku turun menatap sosok gadis yang juga tertusuk bersamaku.
Ke arah mata kirinya, tempat uangku tidak akan pernah kembali—atau mungkin… mungkin di dalam sana, tersembunyi “diriku yang sebenarnya”—aku berusaha menaruh pikiran terakhirku.
Namun di saat itu, dunia yang menggelap menunjukkan satu hal terakhir:
Sebentuk kristal ungu yang dibasahi panas tembus pandang, menatapku dengan tenang.
"────!!"
Tatapan kami bersilangan. Sesuatu mengalir melalui retinaku dalam sekejap, mengguncang otakku hingga ke akar.
Itu jauh lebih menusuk dari rasa sakit yang hendak menghabisiku. Dan lebih mematikan dari kegelapan yang hendak menelanku. Yang datang padaku bukan sekadar kematian—melainkan… kehampaan yang terlalu dalam untuk bisa dipahami.
…Dan lalu, aku jatuh.
Ke mana? Aku tidak tahu. Kegelapan yang menyelimutiku begitu pekat hingga tak bisa dipahami.
Tapi apa itu? Aku mencoba mengungkapkannya dengan kata-kata—terlalu sederhana untuk diungkapkan dengan kata-kata.
Tak ada pemahaman. Tak ada empati. Kekosongan yang benar-benar absurd dan tak berarti itu perlahan mengunyah dan melumat diriku, menghapus keberadaanku seutuhnya.
Wajahku, namaku, hidupku—semua yang membuatku menjadi “aku” dilucuti.
Sisa-sisa dari apa yang dulunya aku pun kini menjadi bukan siapa-siapa, dan meluncur jatuh menuruni lereng kehancuran yang tak berujung.
──Tidak, tapi… tunggu sebentar.
Jika aku sadar akan itu semua… maka siapa sebenarnya aku yang sedang menyadarinya ini?
Dan saat itulah…Dari dalam diriku sendiri—dari sesuatu yang tanpa keraguan adalah “aku”—aku mendengarnya.
Part 11
Aku berteriak, “Berhenti!” Aku memanggil namanya.
Sebelum sadar, kehangatan basah telah mengalir menuruni pipiku.
“Linus…!!”
Luka yang terus menembus dan menyiksa tubuhku tak sebanding dengan panas yang membakar dadaku—saking sesaknya, aku hampir tak bisa bernapas.
Aku tak mengerti. Kenapa aku begitu terguncang oleh kematian seorang penipu yang baru saja kutemui?
Dia pembohong, egois, rakus akan uang, penuh perhitungan—manusia yang sama sekali tidak pantas untuk dikasihani. Aku tahu itu, karena aku pernah melihat jiwanya.
Namun tetap saja, aku tidak ingin dia mati. Aku tidak mengerti diriku sendiri.
『Kamu sedang berbohong, kan?』
Saat itu aku hanya iseng. Hanya rasa ingin tahu. Hanya sedikit usikan, itu saja.
『"Mulai sekarang, kita akur, ya, Linus."』
Aku minta dia menemaniku dalam perjalanan, ini hanyalah jalan memutar yang kulakukan atas dasar kesenangan sesaat.
Karena pada akhirnya, aku tahu ke mana semua ini akan berakhir. Sejak awal, jalan ini sudah ditakdirkan runtuh. Dan di ujungnya, tak ada apa-apa selain kehampaan dan ketiadaan. Itu satu-satunya hal yang selalu aku tahu.
Namun, meski begitu… aku tetap menginginkan kenangan.
Aku ingin melihat, mendengar, menyentuh—meninggalkan jejakku, meskipun hanya sedikit, di dunia ini.
Dan sekarang… baru sekarang aku menyadarinya.
Bahwa perjalanan panjang yang kutempuh sendirian, sebagai sosok fiktif yang bukan siapa-siapa…terlalu sunyi.
Dan inilah akibatnya.
Karena diriku… dia disiksa hingga mati dengan kekejaman yang melebihi neraka.
Aku seharusnya sudah tahu. Aku seharusnya sudah bersiap untuk akhir seperti ini. Tapi tetap saja, gelombang emosi yang tidak pernah kuperkirakan kini mengamuk tak terkendali dalam tubuhku yang sudah tak bisa lagi bergerak.
“……Tidak.”
Apa yang tidak aku inginkan?
Sebuah penyesalan baru, berbeda dari segala penyesalan yang selama ini membentuk diriku, Chronica baru saja lahir sebagai emosi yang hidup. Dan penyesalan itu berteriak:
Jangan jadikan aku penyesalan…
Karena aku masih ingin—hanya sedikit lebih lama melanjutkan perjalanan ini bersamanya.
Begitu aku menyadarinya, perasaan yang meluap dari dalamku seperti menarik pelatuk sesuatu.
Dan yang terbangun karenanya adalah sebuah kekuatan yang bahkan aku sendiri tak tahu sampai detik ini bahwa aku memilikinya: kemampuan ketiga dari faktor dalam diriku.
Arah pandanganku.
Kekuatanku menghantam masuk ke dalam sorot mata pria yang sekarat itu, seolah diserap ke dalam kedalaman pupilnya, menancap kuat di sana.
“…Apa?”
Suara Grakiel yang terdengar dari belakangku bergetar, seolah ia mengungkapkan perasaanku sendiri.
Linus, yang seharusnya sudah tidak sadarkan diri, tiba-tiba mendongakkan kepala seperti habis dipukul keras—lalu roboh. Tubuhnya yang menempel padaku mulai bergetar aneh. Darah yang terus mengalir, otot-otot berlubang, dan tulang-tulang yang rusak… seakan tak lagi relevan.
Seolah makhluk lain telah merasuk ke dalam jasadnya dan memaksanya bergerak.
Dan saat itulah aku mulai menyadari, apa yang telah kulakukan padanya.
Di detik berikutnya, Linus yang seharusnya sekarat melompat seperti peluru yang ditembakkan.
Saking kuatnya, duri-duri yang menancap di tubuhnya terlepas satu per satu, membuat kami berdua terlempar ke lantai.
“!? A-Apa yang barusan──”
Tapi alasan mengapa keterkejutan makhluk itu—Grakiel—terpotong di tengah jalan, tertangkap jelas dalam penglihatanku yang menyamping:
Lengan kanannya, yang dilapisi duri merah, telah tercabik tanpa suara. Dan kemudian, pekikan seperti auman binatang buas bergema mengguncang seluruh gerbong, seolah hendak merobeknya dari dalam.
「GIAAAAAAAAAA H!!」
Suara itu bukan milik Linus Kruger.
Bukan pula milik siapa pun dari kehidupan palsu yang pernah ia perankan.
Itu adalah
〈Mata Kebenaran ― Eye of the Providence〉Kemampuan Ketiga: Mata Ketiga. Transmigrasi Jiwa dan Raga, Sebuah kemampuan untuk menyalin seluruh ingatan, emosi, dan jiwa seseorang, lalu menanamkannya ke dalam tubuh orang lain.
Tubuh yang dulunya milik Linus berubah dengan cepat, seolah-olah dilucuti dari kemanusiaannya seiring detik yang berlalu. Informasi fatal yang tertanam di retina menyebar bagaikan racun—menginfeksi otak dalam sekejap, mengalir lewat batang otak ke tulang belakang, lalu menjalari seluruh tubuh bersama darah, mengganti tubuh pria itu dari dalam, membentuk ulangnya menjadi sesuatu yang bukan manusia, bukan bangsawan… melainkan sesuatu yang lain.
Tanpa ekspresi, Linus mulai memakan lengan kanan Grakiel yang masih digenggamnya.
Duri-duri istimewa, produk dari kemampuan istimewa Regalia sang Bangsawan dikunyah begitu saja, dikoyak, dan diubah menjadi bagian dari daging serta darahnya. Dan hanya dalam sekejap, tubuhnya pulih total, sepasang mata yang menyala liar kini mengunci pandangannya ke arah musuh.
Mungkin karena keanehan yang jelas terlihat dalam tatapan itu, Grakiel menahan napas, tampak benar-benar terguncang.
“...K-Kau, manusia rendahan! A-Apa… apa arti semua ini!? Mata itu… apa!? K-Kau, makhluk hina, b-beraninya melawan kekuatanku, kekuatan bangsawan ini—!!”
Teriakan penuh kepanikan yang ia gunakan untuk menyamarkan rasa takutnya diikuti oleh hujan duri yang ditembakkan dengan kekuatan luar biasa.
Namun, Linus menerjang lurus ke depan, tepat ke dalam badai kematian itu. Tak ada usaha untuk menghindar, tak ada gerakan licik, bahkan tanda-tanda kehati-hatian manusiawi pun telah lenyap. Ia hanya menelan seluruh rentetan duri itu, membiarkannya menembus daging dan tulang sambil terus mendekat. Dan dengan satu pukulan telanjang, ia menghancurkan ratusan duri sekaligus dan menghantam tubuh utama Grakiel hingga terpental.
Bangsawan itu terbang menembus tumpukan batubara dan terlempar melewati pintu gerbong menuju gerbong sebelah.
Linus mengejarnya dengan kedua kaki yang melesat seperti pegas yang dilepaskan.
Di atas puing-puing yang berserakan, Grakiel tersungkur, tak berdaya. Linus merobek lengannya, menghancurkan kakinya, lalu membabat semua duri yang menjalar keluar—tanpa rasa takut, tanpa belas kasihan. Ia membongkar tubuh itu seperti mesin penghancur yang dingin, hingga tak tersisa.
──Dan aku hanya bisa menatap, terjatuh tak berdaya, menyaksikan semuanya.
Dalam pikiranku yang panas dan gemetar, potongan-potongan pengetahuan terlarang mulai tersambung, membentuk satu kesimpulan mengerikan.
Regalia, Faktor Darah Bangsawan adalah elemen pewarisan tak berbentuk. Ia terhubung pada jiwa melalui aliran darah manusia, dan mengubah tubuh menjadi sosok bangsawan melalui bentuk kehidupan parasit yang dikenal sebagai Parasite Monarch.
Namun, hal yang kutanamkan ke dalam dirinya melalui mata kiriku tadi itu bukan sekadar faktor darah.
Karena aku bisa melihatnya dengan jelas. Di dalam tatapan mata baru Linus yang telah berubah… menggeliatlah suatu kegelapan.
Itu bukan jiwa manusia biasa. Bahkan bukan jiwa seorang bangsawan.
Kegelapan itu…
Itu adalah Asal-usulku. Tanah kelahiranku. Tempat terkutuk yang seharusnya tak pernah ada…
“…A… Aah…”
Dari bibir yang berlumuran darah, meluaplah ratapan penuh penyesalan atas dosa yang tak bisa diperbaiki.
Kehidupan seorang pria bernama Linus baru saja berakhir. Secara total.
“Gah…! Guh, oooooh! K-Kau… kaulah penyebabnya, AAAAARGH!!”
Teriakan menyayat dari si algojo memutus keputusasaan dalam pikiranku. Grakiel, dengan wajah penuh ketakutan, memuntahkan hujan duri bertubi-tubi, memaksa tubuh Linus terpental dan terlempar jauh menembus atap gerbong.
Dan saat napas terengah-engah, sorot matanya yang merah penuh kebencian kini beralih padaku.
“Kau…! Kau, bukan?! Kau yang melakukan ini! Apa yang telah kau perbuat, dasar sel kanker terkutuk, Doro Cancer!! Apa yang kau lakukan pada manusia rendahan itu──”
“Diamlah… Aku akan memberitahumu, jadi… jangan bicara lagi.”
Seolah ingin mengakhiri segalanya, aku melemparkan seluruh pengetahuan yang kumiliki langsung ke dalam mata bangsawan malang itu.
Apa itu Raja. Apa itu Faktor Darah Bangsawan—Regalia. Dan apa sebenarnya para bangsawan seperti dirinya ini.
Saat Grakiel yang secara tak sengaja telah mengetahui seluruh kebenaran mencerna semuanya, ekspresi di wajahnya menghilang.
Sebuah tinju seukuran bola meriam menembus wajahnya yang pucat pasi.
Sosok buas menerjang dari atap gerbong yang jebol, menubruk buruannya seperti hewan buas dan merobeknya berkeping-keping. Dengan kecepatan yang melampaui regenerasi duri, Linus membongkar tubuh bangsawan itu—mencabut lengan, menghancurkan kaki, mematahkan seluruh duri yang menjalar, lalu mencabut kepala dan dada seperti mengangkat patung.
Dan akhirnya, suara daging remuk terdengar saat kedua tangannya menggenggam sisa-sisa tubuh itu dan menghancurkannya.
Berapa lama dia mengorek dan mencabik-cabik sisa darah dan otak yang berserakan di kakinya… aku tak tahu.
“…Linus…”
Saat akhirnya keheningan kembali menyelimuti gerbong, aku menatapnya.
Linus berdiri mematung bak boneka putus tali. Matanya kosong, tak memantulkan apa pun. Pikirannya telah mati lebih dulu. Tubuhnya, yang telah mengalami mutasi hebat, tak akan lama lagi menyusul dan hancur sendiri.
“Maafkan aku…”
Permintaan maaf yang tak akan pernah sampai, hanya kebohongan yang diteteskan bersama air mata, jatuh ke lantai. Dan saat itulah—
“──Eh?”
Lengan Linus, yang seharusnya tak lagi bergerak, mulai gemetar perlahan. Ujung jarinya yang seperti tersesat di kehampaan mulai bergerak, lalu perlahan mengarah ke wajahnya sendiri.
Seolah menemukan sesuatu yang tak kasatmata. Jari-jarinya menggenggam sesuatu yang tak terlihat, sebuah ketebalan yang tak ada…
“Yang.. Benar saja…”
Terdengar seperti suara sesuatu yang koyak. Dari dalam dirinya, kegelapan tanpa wajah terkupas dan jatuh.
Suara serak menyelinap lewat keheningan, menyentuh gendang telingaku yang membeku karena terkejut.
“Balikin… uangku.”
Part 12
Aku mendengarnya.
Suara koin.Suara uang yang tak pernah ada, masih terus bergema, sejak hari itu yang telah lewat bagai lonceng peringatan. Seolah berkata bahwa “Aku” harus kembali menjadi diriku sendiri.
“Yang.. Benar saja…”
Aku menyentuhkan jari pada ujung kegelapan yang mencoba menenggelamkanku, pada batas tipis yang disebut topeng.
“Balikin… uangku.”
Saat ujung jariku akhirnya merobeknya, rasa lega yang menyelimutiku begitu kuat hingga aku hampir tersedak.
Di tengah dunia yang akhirnya kembali berwarna, aku menatap wajah seorang gadis yang berdiri membeku. Ingin kukatakan sesuatu padanya. Tapi dengan kepala yang masih diliputi kekurangan oksigen, bahkan satu kalimat sarkastik pun tak muncul di pikiranku.
Jadi, yang bisa kulakukan hanya mengklik lidah—tsk.
“Mengapa… kenapa… kau bisa kembali…?”
“Entahlah… Mungkin karena aku bertarung mati-matian, makanya aku juga gak ingat lagi ngapain, atau apa yang sebenarnya terjadi…Tapi satu hal yang pasti—aku menang.”
Aku bilang akan membuatnya pasang wajah kalah, kan? Mungkin hasilnya tidak terlalu jelas, tapi cukup sepadan. Karena aku sempat melihat wajah cueknya itu berubah terkejut. Itu sudah cukup bagiku.
Tepat di saat itu juga batas ketahananku pecah. Seluruh persendianku menjerit seperti boneka yang rusak, dan kedua kakiku, yang tak mau menopang berat tubuh lagi, menyerah begitu saja. Tubuhku roboh, telentang ke lantai.
Dan tepat ketika aku hendak melemparkan kesadaranku yang baru pulih ke dalam kekacauan yang berat, lesu, dan berlumpur itu, kejadian itu terjadi.
Suara tawa Cronica meledak bagaikan peluru, menggema di gendang telingaku.
“Ha, haha… fu, fufufu… ahaha… ahahahahaha──!”
Refleks aku mendongak, hanya untuk melihat gadis itu membungkuk sambil memegangi mata kirinya—terbahak, terguncang oleh tawa yang meledak seperti letusan.
Dia tertawa. Menertawakan. Mekar dalam tawa. Bahu mungilnya bergetar begitu hebat, seakan hendak hancur dalam setiap gelombang emosi yang entah bagaimana hanya bisa kupahami sebagai kegembiraan.
aku sempat meragukan pandangan mataku sendiri.
Apa sih, yang membuatnya sebahagia itu?
Apa karena dia masih hidup? Bukan. Intuisiku langsung menolaknya. Reaksi ini… bukan sekadar lega karena selamat.
Belum sempat pikiranku menyusuri jawabannya lebih jauh, dia berkata, “Aku… sungguh… sungguh bersyukur… bisa bertemu denganmu…”
Melihat gadis itu tercekat karena kegembiraan membuatku tak bisa berkata-kata.
Darah yang mengalir dari mata kirinya yang terbuka lebar, seperti air mata, sungguh tak terbayangkan. Setiap pembuluh darah yang terlihat di bawah matanya telah pecah, dan retakan merah tanpa ampun terukir di wajahnya yang pucat, seperti boneka porselen yang retak.
Namun, Cronica tampaknya tidak kesakitan saat itu.
Dengan tangan yang lembut membelai mata kirinya yang terlika, bibirnya itu bergumam pelan, seolah sedang mengucap berkah. Tapi aku… benar-benar tak mengerti apa maksudnya.
“Karena kamu itu… penipu.”
Namun dia… mengucapkan terima kasih padaku dengan tulus.
“Karena kamu itu… keras kepala, nggak pernah jujur, nyebelin banget… dan juga… seorang pembohong kelas berat, yang bahkan sanggup mencabik wajah yang seharusnya nggak pernah ada…tapi berkatmu, akhirnya aku bisa—"
Kalimat itu menggantung. Lalu, dengan senyum berlumur darah yang anehnya begitu terang, ia melanjutkan:
“…melihat tujuan dari perjalanan ini. Aku tahu, ke mana akhirnya.”
Mata itu tak sedang memandangku. Tak pula menatap ke dalam hatiku.
Melainkan—seakan menatap jauh… sangat jauh… ke tempat yang bahkan lebih jauh dari samudra itu sendiri.
──Beberapa saat setelah itu.
Dengan ragu, aku memanggil gadis yang akhirnya berhenti tertawa.
Suara peluit dan denting roda kereta sudah lama lenyap tanpa jejak. Cahaya senja yang berwarna merah tua menyelinap masuk lewat celah-celah dinding yang berlumuran darah, menyinari tubuh sang gadis dalam bayangan kelam.
“Eh… jadi, sekarang… kau mau ke mana?”
Dengan sisa darah kering masih menempel di pipinya, tersapu oleh senyuman, Cronica menjawab:
“Sudah kukatakan, kan? Kita akan ke laut. Tentu saja, kamu juga ikut.”
Baru saja aku hendak memprotes bahwa itu akan merepotkan, Cronica langsung menyela, berbicara dengan nada seolah sedang bernyanyi.
“Tapi sebelum itu, kita kan baru saja ngalamin hal yang mengerikan, ya? Jadi kita harus istirahat dulu. Aku ingin ke tempat yang ada air hangat buat mandi~, tempat tidur empuk, dan kalau bisa… penginapan yang pemandangannya indah!”
Sambil berkata begitu, Cronica mencubit ujung bajunya yang compang-camping dan menghela napas seperti orang kelelahan.
Ia menggumam bahwa dia harus mengambil kembali kopernya yang tertinggal di gerbong penumpang. Tapi sebelum ia pergi, aku kembali memanggilnya dan berkata:
Daripada dia menuntut hal-hal yang tak mungkin bisa didapat di penginapan murah pedesaan yang akan kita tempati malam ini, lebih baik aku memberinya sesuatu sekarang.
“Kalau cuma pemandangan… itu bisa kuturuti sekarang juga. Hadap ke samping.”
Begitu kata-kata itu keluar dari mulutku, Aku memaksakan tenaga ke kakiku yang gemetar dan menendang dinding gerbong yang penuh lubang. Rangka dua-dimensi berkualitas rendah yang sudah rusak itu roboh ke belakang seperti bangunan tiruan, dan sebagai gantinya, sebuah pemandangan terbentang di depan mata Cronica yang terpana.
“…Bohong.”
Di barat—arah laut—matahari merah menyala sedang tenggelam, tepat saat menyatu dengan puncak-puncak terjal Pegunungan Tengah yang putih dan curam.
Angin gunung yang membawa guguran daun menerpa masuk, membuat rambut panjangnya berkibar.
Entah berapa lama gadis itu menatap langit senja yang meleleh itu, dengan mata beriris warna aneh yang berbeda dari kebanyakan orang.
“Terima kasih.”
Aku pura-pura tidak mendengar ucapan terima kasih yang ia berikan sambil menoleh dan tersenyum padaku.
Jika kalian Bingung dengan Tata Letak situs, Silahkan Cek ke sitemap