Sagishi wa Shoujo to Kamen Shikake no Tabi o Suru Chapter 1

Bab 1 Wild Bunch dari Light Novel Masquerade Confidence~ Sagishi wa Shoujo to Kamen Shikake no Tabi o Suru karya 滝浪 酒利 | Yomi Novel

Bab 1 – Wild Bunch [IDN]

Part 1

Menurutku, penipu dan bank itu—ibarat saudara sepupu.

Dari “pernikahan” singkat yang kutinggalkan semalam, yang sempat kubawa hanyalah beberapa puluh perhiasan serta surat kepemilikan rumah dan tanah. Jika semua “hasil rampasan” ini ditukar dengan mata uang resmi, mungkin nilainya sekitar lima ribu pound.

Namun, tentu saja aku tidak bisa seenaknya menukarkan barang-barang yang seakan-akan berteriak “ini hasil curian!” ke dalam bentuk tunai begitu saja. Karena itu, perlu kerja tambahan selama beberapa hari ke depan.

Dengan menempuh jalan berlumpur yang penuh bau kotoran kuda di wilayah timur, aku menjual barang-barang itu sedikit demi sedikit, mensucikannya satu per satu.

Tempat penukarannya selalu sama: bank-bank gelap yang dibangun di pinggiran kota—atau bahkan di tempat terpencil yang bahkan tidak punya jalan—demi menghindari pandangan orang. Di sana, segala hal bisa dijadikan jaminan untuk mendapatkan uang: mulai dari barang curian hingga istri orang.

“Ini surat kepemilikan tanah dan rumah. Lokasinya di desa terpencil bernama Stillfield. Bangunannya baru dibangun setahun lalu.”

Di sebuah bangunan yang dari luar tak lebih dari lumbung tua, aku menunjukkan dokumen itu lewat jendela kecil semacam loket.

Dari balik ruangan gelap itu, muncullah seorang pria berpenampilan lebih mencurigakan daripada tempatnya sendiri, dan berkata,

“Heh… Barang langka juga yang kau bawa. Apa kau semacam perampok?”

“Terserah kau mau pikir aku ini apa. Mau ada darah orang lain nempel juga, yang penting ini barang asli. Cepat cairkan saja.”

Sebagai ganti surat-surat itu, ia menyerahkan sebongkah uang kertas kumal yang nyaris robek.

Itulah uang gelap—dikenal dengan sebutan “Wild Money”, mata uang ilegal yang tidak dikeluarkan oleh pemerintah.

Dengan diberlakukannya liberalisasi perbankan, siapa pun kini bisa mencetak uang sendiri dengan muka mereka terpampang di atasnya. Tak heran negeri ini dibanjiri “uang liar” layaknya anjing-anjing jalanan. Jumlah jenisnya? Paling tidak ada ratusan.

Karena itulah, barang curian atau uang kotor paling aman dicuci melalui bank gelap menjadi uang gelap. Dengan begitu, asal-usulnya tak bisa lagi dilacak.

Namun tetap saja…

“...Cuma segini?”

Uang yang kuterima begitu lemas, mudah terlipat di antara jari-jariku.

“Iya. Kami yang nanggung risikonya, jadi itu harga yang harus dibayar. Lagipula, ini uang kelas delapan. Masih mending kau dapat segitu, tahu?”

Uang itu memiliki nilai tukar sekitar 80% dari mata uang resmi. Tapi jika dibandingkan dengan nilai barang curian aslinya, jumlah itu tetap saja kecil.

Tak ada pilihan lain. Sambil mengklik lidah kesal, kuselipkan uang itu ke dalam jaket.

Saat itulah aku baru sadar akan sesuatu yang sudah lama kulupakan—cincin di jari manis kiriku.

“...Oh ya, sekalian ini juga.”

Kucopot cincin itu dan meletakkannya di atas meja konter.

Cincin pernikahan yang telah kehilangan makna itu kini tampak seperti baru saja dicabut dari jari mayat.

Setelah beberapa hari berlalu, seluruh hasil jarahan akhirnya selesai dicuci bersih.

Kemudian, dengan wajah seolah-olah aku baru saja membawa hasil penjualan bulanan, aku melangkah masuk ke sebuah Free Bank—bank legal dan bebas di tengah kota—dan menumpuk setumpuk uang di loket mereka tanpa ragu sedikit pun.

“Saya mau transfer. Tujuannya ke Smith Bank, ibu kota. Nama dan nomor rekeningnya adalah…”

Dengan demikian, uang liar yang kini setidaknya lebih bersih dari tikus got, akan dikonversi menjadi pound resmi melalui bank ini, lalu dikirim ke salah satu rekening palsuku yang terdaftar atas nama samaran.

Sambil menyelesaikan urusan, aku melirik ke balik konter, mencuri pandang ke bagian dalam. Di sana, terpasang sebuah pintu brankas bundar besar, menancap kokoh pada dinding bata.

Bank adalah sepupu si penipu.

Orang-orang mempercayai isi brankas mewah itu, maka uang kertas mereka pun bernilai. Walaupun kenyataannya brankas itu mungkin kosong atau hanya berisi selembar janji kosong di atas kertas, selama tak ada yang tahu, semuanya baik-baik saja.

Kepercayaanlah yang melahirkan uang—sama seperti dalam penipuan. Maka, bisa dibilang perbankan adalah bentuk penipuan yang dilegalkan. Dan satu-satunya alasan mengapa itu legal, hanyalah karena masyarakat membutuhkannya.

Masyarakat yang tak percaya pada nilai uang adalah masyarakat yang hanya bisa bertransaksi dengan barter seperti zaman purba. Karena itu terlalu merepotkan, manusia pada akhirnya terpaksa tunduk pada uang.

“Terima kasih. Jumlah totalnya 3600 pound, 11 shilling, dan 7 pence. Kami akan potong 3% sebagai biaya layanan, mohon dimaklumi.”

“Mohon bantuannya.”

Dengan langkah yang ringan, aku berbalik meninggalkan bangunan yang terlalu megah untuk fungsinya.

Begitu satu pekerjaan selesai, suara koin tak terlihat berdenting di kepalaku. Suara nyaring namun lembut itu—yang hanya bisa kudengar seorang diri—selalu mengingatkanku akan nilai hidup ini.

Hanya ada satu hal pasti di dunia ini: uang.

Dan aku akan katakan alasannya—karena uang adalah nilai yang bisa dihitung.

Dan karena bisa dihitung, maka ia tak terbantahkan, jelas, dan nyata di mata siapa pun.

Seorang pria miskin dengan penghasilan sepuluh pound per tahun, dan seorang kaya raya dengan sepuluh ribu pound—mana yang lebih bernilai tinggi?

Satu-satunya ukuran objektif untuk menjawab itu hanyalah ini: uang.

Bukanlah ikatan, cinta, keadilan, atau segala macam kebenaran yang hanya hidup dalam ilusi bernama hati—hal-hal semu yang bahkan tak bisa dilihat atau dihitung.

Hanya uanglah yang bisa menunjukkan nilai seseorang dengan jujur dan setia.

Sinar matahari sore mulai condong ke arah Pegunungan Allegheny yang menjulang di seberang kota.

Sambil berjalan, aku menyalakan rokok, lalu melempar sekeping koin ke arah bocah penjual koran yang lewat.

“Satu edisi Continental Weekly.”

“Terima kasih! Om, mau ambil Spring Punch Weekly juga? Ada kolom menarik soal penipuan pernikahan yang terjadi di negara bagian Sunflon—”

“Gak usah. Gak tertarik.”

Kusambar koran yang disodorkan, membukanya sambil terus berjalan menyusuri trotoar—mencari ide untuk pekerjaan berikutnya.

Memang aku ini penipu, tapi bukan berarti aku pilih-pilih. Selain menipu, aku juga mencuri, memeras, atau apapun yang perlu dilakukan.

Kebanyakan rekan seprofesi lebih suka bertahan di satu bidang spesifik. Tapi sejujurnya, mereka itu cuma anjing bodoh yang terus-terusan pakai trik lama yang pernah berhasil.

Aku berbeda.

Aku selalu cari trik baru, mencobanya, mengevaluasi, memperbaiki, dan berkembang.

Rahasia agar tak tertangkap adalah kerja keras. Tanpa tekad untuk terus belajar, pekerjaan apapun tak akan bertahan lama.

“Ups, maaf.”

“Hati-hati, anak muda.”

Berpura-pura sibuk membaca, aku menabrakkan bahu pada beberapa orang sambil mencopet dompet mereka.

Setelah berhasil mencopet tiga orang, sebuah tajuk berita di koran menangkap mataku—dan membuat langkahku terhenti.

Aku menoleh ke belakang. Di sana berdiri stasiun kereta api yang baru dibuka. Rencana baru pun segera terbentuk di benakku.

“...Bagus.”

Langkah pertama: cari target kaya raya. Sisanya bisa menyusul.

Kau tanya di mana bisa menemukannya? Jangan khawatir.

Uang lahir dari kepercayaan.

Dan karena itu, orang kaya selalu berkerumun di tempat-tempat di mana mereka akan dipercaya sebagai orang kaya.


Jika di rumah, mereka tinggal di kawasan elit.

Jika di hotel, mereka tidur di kamar suite.

Dan jika naik kereta…


…sudah tentu, mereka duduk di kelas satu—First Class.


Part 2

Peluit kereta pertama telah berlalu.

Di peron stasiun, aku duduk di bangku tunggu yang catnya mulai terkelupas, dan memejamkan mata.

Cuitan burung dari pucuk dahan di kejauhan, riuh rendah langkah kaki yang sesekali melintas di depanku—semuanya kuenyahkan dari pendengaran.

Kesadaranku kutarik ke dalam. Dalam, dan semakin dalam ke dalam diriku sendiri.

Aku percaya bahwa wajah adalah titik pertemuan antara hati yang telanjang dan lingkungan luar.

Karena itulah, ekspresi manusia tak pernah bisa sepenuhnya disembunyikan.

Apa yang sedang mereka pikirkan, apa yang pernah mereka rasakan—semuanya terekam di sana. Pengalaman, emosi, perjalanan hidup—semuanya tertumpah di wajah.

Namun jika dipikirkan dari sisi sebaliknya, itu berarti: selama kau bisa menempelkan kebenaran palsu pada wajahmu, menipu orang lain jadi perkara mudah.

Dengan konsentrasi penuh yang nyaris memisahkan diri dari napas, aku terus bermimpi dengan sengaja. Menciptakan kehidupan seorang aku yang bukan diriku. Menenun ingatan-imajinatif, lalu menjalaninya seolah-olah itu nyata.

Dulu, dia pernah mengalami hal ini. Saat itu, dia berpikir seperti ini. Dia melupakan sesuatu, atau menjadikannya pelajaran hidup—dan terus hidup hingga kini.

Ingatan palsu itu kuberi daging bernama emosi, hingga perlahan, sosok itu menjadi nyata.

Kehidupan bertopeng yang tercipta lewat proses itu, kembali mengubahku menjadi orang lain hari ini.

Tak lama kemudian, uap panas yang mencekik menyembur ke langit, sementara suara roda baja bergemuruh mendekat. Aku berdiri, lalu mengambil tempat di antrean penumpang kelas atas yang berjejer rapi di bagian depan peron.

“Tolong perlihatkan tiket Anda.”

Giliranku tiba.

Tanpa ragu, dia menyerahkan tiket yang diminta oleh petugas berseragam dengan gunting tiket di tangan.

Dibarengi anggukan kecil dan ucapan selamat jalan, aku—atau lebih tepatnya, dia—melangkah naik ke dalam gerbong.

Sementara dari belakang, terdengar kegaduhan seorang penumpang yang tampaknya kehilangan tiketnya.

***

"──Jadi, bagaimana menurut Anda, Tuan Willem?"

Lelaki yang ditanya, seorang pria gemuk dengan dandanan mencolok, menjatuhkan abu cerutunya dan bergumam, “Tak buruk.”

Sebuah obrolan bisnis yang "secara kebetulan" terjadi di dalam kereta. Respons positif yang sesuai harapan membuat "dia"—John Row, seorang pakar hukum—menggenggam tinju dalam hati.

Di balik kacamata berbingkai tipis miliknya, pemandangan dari jendela perlahan berganti, dari hamparan ladang ke wilayah pegunungan.

Dari timur ke selatan Republik Kolonial, kereta melaju menyusuri rel sepanjang dua ratus mil di sepanjang Pegunungan Allegheny.

Kereta uap—simbol era baru pascarevolusi—meneriakkan siulan nyaring ke langit biru yang jernih. Mesin raksasa itu adalah barang impor strategis dari Kekaisaran Uap Elbion di seberang laut, dibeli langsung oleh pemerintah.

Dari gerbong kelas satu yang mewah bak hotel bintang lima, hingga gerbong kelas tiga yang tak jauh beda dari kandang babi, semua kursi hampir selalu penuh.

Tarif kereta, yang dulunya hanya terjangkau oleh para bangsawan dan orang-orang iseng berduit, kini telah menurun drastis dalam beberapa tahun terakhir.

Dengan irama getaran roda baja, taplak meja linen di atas meja pun bergetar ringan.

Di gerbong makan yang terhubung langsung ke kelas satu, orang-orang berpakaian rapi tampak menikmati makan siang mereka yang agak terlambat.

Sambil meminta cerutu berikutnya dari sekretaris tua-nya, Willem—pria gemuk tadi—akhirnya buka suara.

"Boleh kutanya lagi, John. Apa cerita ini memang bisa dipercaya sepenuhnya?"

"Tentu saja, Tuan Willem. Memang benar, ini investasi berisiko. Tapi 'demam' ini jelas masih akan bertahan untuk sementara waktu. Menentukan titik puncaknya bukan hal sulit bagi seorang profesional seperti saya."

Sambil menggerakkan mulutnya untuk bicara, aku mengingat kembali salah satu berita utama yang kubaca dua minggu lalu:

“UU Perdagangan Bebas, Segera Disahkan?”

Sebelum revolusi, kerajaan Legatos dikuasai oleh kaum bangsawan yang mengendalikan satu-satunya garis pantai di barat. Mereka menutup seluruh jalur laut, melarang kapal asing masuk, dan rakyatnya keluar. Sebuah sistem isolasi total—yang disebut politik sakoku.

Kebijakan isolasi yang nyaris patologis itu diberlakukan karena mereka takut akan bocornya sesuatu. Tapi, pembahasan soal itu kita tunda dulu. 

Setelah revolusi, kebijakan sakoku pun tentu saja dicabut. Namun, perdagangan bebas secara menyeluruh belum kunjung disahkan. Berkali-kali kubu konservatif berhasil menggagalkan pengesahan undang-undangnya di parlemen. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, para pemilik latifundia—perkebunan besar berorientasi ekspor, yang disebut kaum Agrikultura—perlahan membalikkan keseimbangan kekuasaan.

Dan karena itulah, kita kembali ke tajuk utama tadi. Kabar dalam surat kabar itu, setelah dua minggu berlalu, telah memicu demam spekulasi di kalangan publik, seperti wabah yang menghebohkan. Investasi terhadap industri perdagangan yang diperkirakan akan segera dibebaskan, kini menjadi topik panas.

Bahkan dengan penyelidikan sepintas, sudah terdata ratusan perusahaan.

Sebagian besar dari perusahaan dagang yang bermunculan mengikuti tren itu nyaris pasti hanyalah gelembung yang takkan bertahan setahun pun.

Meski begitu, banyak orang tetap membeli saham-saham mereka. Akibatnya, pasar saham membengkak hingga ke titik yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Lalu siapa yang terus meniup balon tak masuk akal ini?

Tentu saja: surat kabar.

Sudah dua belas tahun berlalu sejak kebebasan pers dilegalkan, menggantikan era penyensoran. Kini masyarakat hanya hidup mengikuti arus tren yang berubah setiap hari.

Dan karena itulah "dia", John, menyarankan untuk memanfaatkannya.

"Baik, Tuan Willem. Bila perlu, izinkan saya menjelaskannya sekali lagi."

Melihat anggukan Willem, mata John menyipit sesaat, merasakan keyakinan yang tumbuh. Ia pun melancarkan retorika halus yang telah diasah dari dunia pengadilan.

"Bila Anda bersedia mempercayai saya dan menginvestasikan dana Anda, saya akan menggunakan modal itu untuk membeli sejumlah saham gelembung. Dan terlepas dari berapa besar keuntungan yang saya dapat dari penjualannya, saya menjamin pengembalian lima puluh persen lebih tinggi. Tentu, jika keuntungannya lebih besar dari itu, maka Anda juga akan menerima setengah dari hasil bersihnya."

Singkatnya, yang dia tawarkan adalah perwakilan pembelian saham.

Investasi saham itu rumit. Mulai dari membeli saham yang diterbitkan oleh perusahaan, sampai mencari pembeli saat akan menjual kembali—semuanya butuh negosiasi satu per satu.

Karena itu, kalangan kaya biasanya lebih memilih menunjuk perwakilan, yang lebih ahli dalam urusan-urusan semacam itu.

"Kau percaya diri juga, ya. Kalau harga saham tak sesuai dugaan dan gagal dijual, bukankah kau langsung bangkrut?"

"Justru sebaliknya, saya ini orangnya penakut, …karena itulah, saya yakin akan keberhasilannya."

Dengan nada tenang, John—si calon perwakilan—melanjutkan:

"Harga tinggi saat ini akan segera turun. Tapi manusia, seperti biasa, selalu meyakini hal yang menguntungkan bagi diri mereka. Akan selalu ada orang yang berpikir begini: 'Ini hanya penurunan sementara. Justru kesempatan bagus untuk beli lebih banyak.' ...Jadi saya takkan kehabisan orang yang bisa saya lepas sahamnya."

"Pemikiran yang menarik. Kau memangsa orang-orang bodoh, ya?"

"Anda tidak menyukainya?"

"Tentu tidak."

Masih tersisa sedikit—sangat samar—keraguan dalam sorot mata Willem. Tapi itu bukan masalah. Justru sebaliknya, itu adalah bukti bahwa dia ingin percaya.

Dan bagaimana pun juga, mata yang tumpul milik pria ini takkan mampu menembus topengku.

“...Sejujurnya, bukan urusan transaksi itu sendiri yang membuatku khawatir. Maksudku, sebagai orang awam, kekhawatiranku yang sesungguhnya hanyalah satu hal—bisakah aku benar-benar mempercayaimu?”

“Tentu saja. Seperti yang Anda katakan, itu pertanyaan yang sangat wajar. Tapi, tolong jangan khawatir.”

Itu memang hal paling masuk akal. Kalau John membawa kabur dana investasi, atau menahan semua keuntungan untuk dirinya sendiri, maka tak akan ada gunanya sama sekali.

Itulah mengapa, tentu saja, dia telah menyiapkan sesuatu untuk menghilangkan kekhawatiran itu.

“Ada asuransi yang dirancang untuk mengantisipasi risiko semacam ini, khususnya dalam transaksi saham. Silakan lihat ini sebentar—formulir pengajuan jaminan yang berlaku untuk transaksi dengan nilai di atas batas tertentu. Sebagai gantinya dari membayar pajak atas keuntungan penjualan saham, pihak berwenang akan memberikan perlindungan terhadap kehilangan atau penggelapan dana. Ini adalah kebijakan khusus yang diterbitkan untuk mendorong investasi... Anda belum pernah mendengarnya, ya?”

Willem membelalakkan mata dan mengangguk, tampak seperti baru mendengar kabar penting.

“Dalam kasus ini, Andalah, Tuan Willem, yang akan menjadi pihak tertanggung. Jika saya melakukan kecurangan dan menimbulkan kerugian, Anda hanya perlu membawa ini ke pengadilan, dan dana kompensasi akan dikucurkan.”

“Begitu... izinkan aku memikirkannya sebentar.”

Willem menatap segel resmi dari Kementerian Keuangan pada kontrak itu selama beberapa saat, lalu menghembuskan asap dengan berat.

“...Baiklah. Aku akan ikut dalam rencanamu.”

“Terima kasih banyak!”

Dalam hati, aku mengepalkan kedua tinjuku.

Kesepakatan tercapai—atau lebih tepatnya, penipuan berhasil dilakukan.

“Ambilkan pena dan cek. Dan berikan juga cerutu padanya.”

John menerima cerutu yang disodorkan, lalu menyalakannya dengan penuh penghormatan.

Memberi atau bertukar cerutu adalah simbol lama atas kesepakatan yang telah dicapai.

Tradisi turun-temurun dari zaman dahulu.

“Kau ini sebenarnya apa? Pengacara atau pedagang, ya? Sudah berapa lama kau menjalankan pekerjaan ini? Punya keluarga?”

“Hm, mungkin sudah sepuluh tahun. Ayah saya meninggal muda, meninggalkan banyak utang. Saya mulai menerima pekerjaan sebagai agen investasi dan pengacara demi melunasi semuanya. Sekarang saya hanya punya seorang istri. Tidak ada anak.”

Sekilas, aku melirik jumlah nominal pada cek di atas meja.

Di saat yang sama, koin tak kasatmata pun berputar dalam pikiranku.

Tumpukan uangku bertambah lagi satu tingkat.

Perasaan kepuasan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata membuncah dari dasar perutku.

Namun saat itu juga, samar di balik suara roda kereta yang sudah menjadi latar belakang, terdengar suara pintu antar gerbong yang menutup.

Mungkin itu kondektur yang datang untuk memeriksa tiket. Begitulah dugaanku, dan aku pun menoleh tanpa pikir panjang ke arah suara itu.

“──”

Tanpa sadar, di balik topeng yang kupertahankan, aku menahan napas.

Willem, yang sedang menandatangani kontrak, sama sekali tidak menyadarinya.

Gadis yang muncul dari balik pintu penghubung di belakangnya, menarik sebuah koper persegi di satu tangan.

Rambutnya yang mengalir melewati bahu mungil hingga pinggang, menampilkan gradasi warna yang memukau—dari magenta kemerahan bak peri, hingga putih keperakan seperti bunga salju. Dari pinggangnya yang ramping hingga ke pergelangan kaki mungil, rok hitam berhias renda menggantung ringan, menyelubungi tubuhnya yang nyaris rapuh.

Namun, bukan semua itu yang membuatku terpaku.

Gadis itu menutup sebelah matanya.

Bertolak belakang dengan mata kanannya yang berwarna hijau zamrud dan bersinar lembut, kelopak mata kirinya yang tertutup itu tak tampak dipaksakan, melainkan turun dengan alami dan tenang.

Apa yang tersembunyi di balik sana?

Seolah menjawab rasa ingin tahuku yang tiba-tiba, gadis itu menoleh dan mengangkat sudut bibirnya sedikit.

Baru sesaat kemudian aku sadar dia sedang tersenyum.

Dan lalu perlahan, mata kirinya pun terbuka.

Yang terpampang di sana adalah pupil kristal ungu yang berkilauan.

Sebuah mata seindah permukaan danau di bawah sinar bulan, sekaligus sedalam kegelapan dasar jurang.

Warna yang seperti terlahir dari percampuran rambutnya itu: amethyst yang membentuk sepasang mata heterokromia bersama mata kanan hijaunya.

Dua bola mata itu—berbeda namun serasi—terpasang pada wajah tenang bak boneka porselen.

Aku harus mengakui, sesaat tadi aku benar-benar terpukau oleh keindahan warna yang dimainkan oleh sepasang mata itu.

“Ada apa, John?”

“──Ah, tidak, bukan apa-apa. Tuan sudah selesai menandatangani? Baiklah. Izinkan saya memeriksanya sebentar...”

Bahkan saat aku berpura-pura meninjau dokumen itu, bayangan gadis tadi masih bermain dalam pikiranku.

Mungkin anak dari keluarga bangsawan? Tapi... koper yang usang dan sepatu kulit yang sudah lusuh itu tampak bertolak belakang.

Dan yang paling menggangguku... adalah mata itu.

Mata yang belum pernah kulihat pada siapa pun.

Sorot yang seolah menembus segalanya.

...Tidak. Tidak penting. Bukan urusanku.

Aku mengusir semua keraguan yang berserakan dari kepalaku.

Ilustrasi 1 Masquerade Confidence~ Sagishi wa Shoujo to Kamen Shikake no Tabi o Suru Chapter 1 | Yomi Novel

“Ya, terima kasih telah menunggu. Dokumen tidak ada yang salah. Kalau begitu──”

Saat aku kembali tenang dan hendak menyebutkan soal cek──

Aku kembali bertatapan dengan mata kirinya, mata amethyst itu.

“──!”

Entah sejak kapan, gadis asing itu sudah berdiri tepat di samping tempat dudukku.

Rambut merah salju itu berayun pelan, dan dengan senyum menggoda, ia menunduk menatapku.

“Selamat siang.”

“A-ah. Salam juga, Nona. Ada keperluan apa? Maaf, tapi bisakah kau kembali nanti──”

Suara beningnya terdengar seperti lonceng kristal yang membelit telinga lembut, namun menusuk.

Aku hendak mengabaikannya begitu saja, namun sesaat kemudian──

“Kau sedang berbohong, bukan?”


Part 3

Tips Berbohong, Nomor Dua:

Selalu tetap tenang.

Tak perlu dikatakan, suasana di sekitar seketika membeku.

Hal tak terduga selalu muncul saat kau lupa waspada. Ini bukan kali pertama kebohonganku nyaris terbongkar. Selama ini, setiap kali itu terjadi, aku berhasil menutupinya dan lolos. Kali ini pun, yang harus kulakukan hanyalah menghadapi hal itu sekali lagi.

Jadi tetap tenang, diriku.

“Maaf, Nona. …Sepertinya kau hanya salah paham. Atas dasar apa, sampai bisa menuduh seperti itu kepada orang yang baru kau temui?”

Di balik wajah tenang yang kuatur sebaik mungkin, keringat dingin merambat pelan di sepanjang punggung. Tapi… kenapa bisa ketahuan? Aku tak bisa memikirkan satu pun alasan yang masuk akal.

Lalu, tanpa memberi ruang, bibir mungilnya meluncurkan pukulan telak.

“Ara? Tapi bukankah itu hal yang paling kau pahami sendiri? Wahai Tuan Penipu.”

Sekejap saja, perutku berdenyut seperti diremas, dan tenggorokanku menegang hingga nyaris tak bisa bernapas.

Tenang. Sekarang, yang paling penting bukan lagi soal ketahuan atau tidak. Bila aku panik, itu sama saja dengan pengakuan. Tapi sebaliknya, selama aku tetap tenang, semuanya bisa dianggap sebagai ocehan asal seorang gadis asing yang mencampuri urusan orang dewasa.

“...Dengarkan, Nona asing. Aku sedang membicarakan hal penting dengan Tuan ini. Lalu tiba-tiba kau menyela dan menuduhku sebagai penipu. Itu sudah masuk pencemaran nama baik. Di mana walimu? Aku akan menempuh jalur hukum──”

“Tujuanmu sejak awal hanyalah cek di atas meja itu.”

Suaranya tenang nan tajam, seperti pisau yang menebas langsung ke titik vital.

Dan dengan senyum kekanak-kanakan yang masih melekat di wajahnya, dia mulai membongkar kebohonganku satu per satu, dengan kelancaran yang menakutkan.

“Omong kosong soal investasi itu cuma kedok. Asuransi yang kamu sebut juga bohong belaka. Tak ada hukum seperti itu di negeri ini, dan kontrak yang kamu bawa pasti cuma dokumen palsu—tanda tangan dan cap dari kementerian yang kamu buat dengan sangat rapi.”

Ucapan-ucapannya—yang mustahil ia dengar dari percakapan kami, dilontarkan dengan keyakinan tanpa celah.

Apa yang sebenarnya… sedang terjadi?

Keterkejutan ini terlalu besar—sudah melewati batas keterkejutan, bahkan bisa dibilang telah berubah menjadi rasa takut.

Willem mulai memeriksa kembali kontrak yang telah dia tandatangani.

Dia juga menyadarinya. Bahwa suara gadis itu mengandung sesuatu yang tak bisa disangkal, seperti sedang membaca kunci jawaban dari ujian yang hasilnya sudah ia ketahui.

“Sekaya apa pun seseorang, pada akhirnya mereka hanya manusia. Justru mereka yang merasa bisa terus berada di posisi yang mengambil, adalah yang paling mudah dibohongi... fufu, betapa keji dirimu ini.”

Nada bicaranya terdengar seperti sedang menyanyikan lagu.

Dan aku, entah kenapa merasa seolah kata-kata itu keluar dari mulutku sendiri. Seolah suara hati yang tak pernah kuakui kini menjelma menjadi sosok seorang gadis kecil. Seolah nuraniku yang semestinya sudah lama mati, tiba-tiba mengambil bentuk manusia dan menumpahkan dosaku satu demi satu.

Sebuah mimpi buruk yang terlalu sempurna, dan justru karena itu, mustahil untuk disebut sebagai mimpi.

“……Tuan John.”

Suara rendah itu mengguncang gendang telingaku.

“Ini hanya kesalahpahaman, Tuan Willem. Apa yang dikatakan gadis itu hanyalah omong kosong tanpa satu pun bukti.”

Bahkan di saat-saat terakhir pun, topeng John tetap menjalankan perannya sampai tuntas.

Namun, dalam hati, aku sudah tahu: aku telah kalah.

Bukti atau tidak, itu tak lagi penting. Manusia tak bergerak berdasarkan fakta—mereka bergerak karena apa yang mereka yakini sebagai kebenaran.

Begitu kepercayaan runtuh, maka tak ada lagi kartu untuk dimainkan.

Trrrk.

Terdengar suara robekan. Willem membakar cek itu dengan korek api kecil, lalu berdiri.

“Memang, tidak ada bukti. Tapi cukup untuk membuatku berubah pikiran. …Apapun kebenarannya, ini adalah waktu yang menyenangkan. Setidaknya, perjalanan kereta kali ini tidak membosankan. Terima kasih. Aku permisi.”

“Ah, tunggu! Mohon tunggu sebentar──!”

Teriakan John diabaikan. Willem berjalan pergi, siluet punggungnya lenyap di balik pintu antar gerbong.

Ia menjauh.

Bersamanya, suara koin yang mengalun di kepalaku, suara emas yang selalu membisikkan rasa pasti akan kemenangan ikut menghilang.

Saat itu juga, tubuhku kehilangan tenaga dan jatuh terduduk di kursi, bokong lebih dulu menghantam dudukan dengan bunyi lembut yang terdengar sangat menyedihkan. Dalam pandangan yang terus berkedip aneh, rasa kesal dan amarah mulai berputar, mengaduk dalam dada seperti pusaran racun… dan entah kenapa, aku hanya bisa menyaksikannya bagai sedang berada dalam mimpi buruk yang terlalu terang.

“Kerja bagus. Kamu baik-baik aja?”

Di kursi seberang yang tadi kosong, entah sejak kapan gadis itu sudah duduk di sana.

Saat aku sadar, tanganku sudah mencengkeram kerah bajunya yang cantik nan mewah. Dengan kasar menariknya ke depan, hingga topeng bernama John yang semula menempel di wajahku ikut terlepas bersama kacamata palsu. Dan dari tenggorokan yang tak lagi bisa menahan, suara penuh emosi meledak:

“Kau… sebenarnya apa?”

“Ara, agresif sekali... Apa kamu punya selera seperti itu?”

“Peduli setan! Jawab aku, dasar bocah, kenapa kau mengacaukan rencanaku──”

Namun ketika pandangan kami kembali bersitatap, dan mata kirinya yang berwarna amethyst kembali menatap langsung ke dalam diriku—

“!?”

──Sekejap saja, aku terpaksa melepaskan cengkeramanku seolah tersengat.

…Aku tahu. Sudah jelas sekarang.

Aku tak boleh… tidak, aku tidak bisa menatap mata itu lagi. Untuk kedua kalinya. Karena—

“Ara, jadi kau menyadarinya.”

Yang tercermin dalam mata kiri itu adalah… diriku sendiri. Tapi bukan wujud fisikku melainkan pikiranku. Perasaanku. Kenanganku. Semuanya ditampilkan dalam bentuk yang jelas dan dapat dibaca, seolah pikiranku sedang diputar di layar film dalam mata itu.

Dia sedang… melihat langsung ke dalam hatiku.

Dan hanya satu entitas di dunia ini yang memiliki kemampuan semacam itu.

“…Regalia, faktor darah bangsawan…! Jangan-jangan, kau──!”

Itulah yang dulu… kaum bangsawan gunakan untuk mengendalikan kekuasaan mereka. Mereka menutup ketat aksesnya ke luar negeri, menjaga garis keturunan dengan paranoia yang nyaris gila.

Karena kekuatan supranatural itu—kekuatan yang tertanam dalam darah mereka—adalah segalanya.


Part 4

Regalia, faktor darah bangsawan—

Satu kata untuk menyebut elemen warisan tak berwujud yang bersemayam dalam darah kaum aristokrat.

Dahulu kala, para bangsawan menggunakan kekuatan istimewa ini untuk menundukkan rakyat jelata dan memerintah kerajaan dengan cengkeraman absolut.

Namun, revolusi menandai akhir dari kekuasaan mereka. Satu demi satu para bangsawan berguguran di medan perang, atau kepala mereka berakhir di bawah pisau guillotine. Banyak garis keturunan—dan bersama mereka, Regalia—yang punah secara total.

Sejak saat itu, kesempatan untuk menyaksikan kekuatan Regalia nyaris menghilang dari kehidupan masyarakat umum. Akan tetapi, rasa takut terhadap kekuatan adikodrati yang selama seribu tahun menindas rakyat belum sepenuhnya lenyap dari ingatan kolektif.

Itulah mengapa, di tengah arus penolakan dan diskriminasi itu, satu-satunya yang berhasil bertahan hingga kini hanyalah dua jenis bangsawan:

Mereka yang lebih dahulu berbalik arah dan bergabung dengan pihak revolusi—atau sebaliknya, yang berhasil bersembunyi dari semuanya.

──Pukul tiga sore lewat, dan sebagian besar penumpang telah selesai dengan waktu makan siangnya. Untungnya, tak seorang pun tampaknya memperhatikan perselisihan kami tadi. Baik aku maupun dia, toh bukan orang yang bisa bebas menampilkan diri di hadapan masyarakat umum.

“Apa urusan sisa-sisa bangsawan sepertimu denganku… Apa kau menyimpan dendam padaku, hah?”

Dengan tatapan tertunduk dan suara ditekan sedalam mungkin, aku menyemburkan pertanyaan itu.

“Dendam? Gak juga.”

Jawabannya ringan sekali, seolah itu hal remeh. Bibir kecil nan sempurna itu melontarkannya tanpa ragu.

“Kebetulan saja, saat tatapan kita berselaras, aku merasa kamu orang jahat. Dan sepertinya menyenangkan. Itu aja.”

Amarahku, yang sudah mendidih hingga batas, hampir menyembur keluar—namun dalam detik terakhir, aku menelannya kembali ke dasar perut.

Dan selagi aku kebingungan hendak memaki apa, jari-jarinya yang ramping bergerak memungut buku menu dari atas meja.

“Masih marah? Aku kasih tahu, ya. Saat sedang kesal, obat terbaik adalah… makanan yang enak.”

Tanpa izin, ia memencet bel pelayan. Bunyi khas loncengnya yang tinggi dan melengking menembus deru peluit kereta dan derak roda baja. Tak lama kemudian, seorang Ballboy mendatangi kami.

“Ada yang bisa saya bantu, Nona?”

“Iya. Dua gelas air, dan… hmm, ada rekomendasi?”

Gadis itu memulai pemesanan seenaknya, tanpa menghiraukanku lagi.

Dan entah sejak kapan, mata kirinya—mata amethyst itu—telah kembali tertutup rapat, seolah tidak pernah terjadi apa pun.

"Hari ini kami kedatangan daging sapi pilihan. Karena itu, koki andalan gerbong ini memasaknya sepenuh hati menjadi beef stew. Kami sangat merekomendasikan Anda mencobanya."

"Baiklah, aku pesan satu porsi itu. Tambahkan roti juga, ya."

"Dengan senang hati."

Setelah selesai memesan, gadis itu menunjuk ke mata kirinya yang tertutup dan melanjutkan:

"Eye of the Providence, Mata Kebenaran. Inilah kekuatan Regalia-ku, mata kiri yang mampu melihat ke dalam jiwa dan hati orang lain... Tapi kekuatannya nggak akan bekerja jika lawan gak menatap mata secara langsung. Jadi, kamu gak perlu terlalu waspada gitu, oke?"

"Jangan ngawur begitu!"

Tak ada penipu yang bisa tetap tenang jika sewaktu-waktu bisa dibongkar isi hatinya hanya lewat satu kedipan mata. Rasanya tak beda seperti orang yang disandera dengan pisau di leher—tak mungkin bisa merasa santai.

Mengabaikan kekalutan dalam diriku, gadis itu malah memulai perkenalan diri tanpa diminta.

"Namaku Cronica. Karena satu dan lain hal, aku sedang melakukan perjalanan."

Tak mungkin ada gadis yang bepergian sendirian tanpa alasan. Tapi Cronica sama sekali tak menjelaskan alasannya.

"Aku baru pertama kali melihat seseorang sepertimu."

Dia mengabaikan konteks percakapan dan menyatakan itu sesuka hatinya.

"Kamu seperti memakai topeng—menempelkan wajah lain di atas jiwamu sendiri. Tapi... hanya sampai di situ yang bisa kubaca. Aku nggak bisa melihat bagian terdalam di balik topeng itu. Jadi, apa sebenarnya yang kamu sembunyikan di dalam sana?"

"...Apa yang sedang kau bicarakan?"

Aku tak mengerti maksudnya. Tapi jauh di dasar benakku, sebuah alarm berbunyi nyaring dan tak mengenakkan.

Gadis ini… mata itu… berbahaya. Kabur. Sekarang juga.

Jantungku berdebar-debar seolah memaksa tubuhku untuk segera lari.

"Heh, tahu gak, Penipu-san? Aku jadi makin tertarik padamu."

Dengan senyum bak kucing yang tengah bermain-main dengan tikus, Cronica menatapku. Tapi anehnya, meski aku sadar akan bahaya itu, aku tak bisa beranjak.

Cahaya ungu di matanya telah terpatri di dalam pikiranku, seolah memiliki sihir yang mencengkeram dan tak mau melepaskan sisi terdalam dari diriku.

Jangan-jangan… "Aku"… telah tertangkap oleh mata gadis ini──.

Saat itu, suara roda gerobak terdengar dari samping. Bellboy datang membawa pesanan kami.

"Maaf telah menunggu. Silakan dinikmati.".

Dengan gerakan cekatan yang menunjukkan bahwa dia sudah terbiasa dengan getaran kereta, si bellboy menyelesaikan tugasnya dan berlalu. Begitu dia pergi, gadis itu segera mengalihkan pandangannya dariku, seperti tak sabar menunggu, dan menghadap ke sepiring makanan di depannya.

Daging sapi merah yang empuk, dilumuri mentega putih yang mengalir dari atasnya, tampak begitu lembut hingga meleleh saat disentuh. Gadis itu mengambil sesendok dan menyuapkannya ke mulut kecilnya. Pipi mungilnya mengembang sedikit dan tampak berseri-seri bahagia.

Di balik jendela yang terus bergerak, terbentang pemandangan kaki Pegunungan Allegheny, yang masih mengenakan riasan salju yang belum luruh sepenuhnya, berlatarkan birunya langit dan rona hijau kebiruan di kejauhan.

Menikmati makanan dan pemandangan seperti itu, secara tak sengaja gadis itu menciptakan komposisi layaknya lukisan.

Entah sejak kapan, tenggorokanku terasa sangat kering. Aku mengambil gelas air yang ditinggalkan oleh bellboy tadi dan meminumnya sedikit. Air hangat mengalir turun ke perutku. Dan tepat saat itu, aku mendengar namaku disebut. Nama asliku. Padahal aku tak pernah menyebutkannya.

"──Begitulah, Linus. Maukah kamu melakukan perjalanan bersamaku?"

"Apa maksudmu ‘begitulah’? Dan, kau waras gak sih? Aku ini seorang penipu, tahu!"

"Ya, aku tahu. Tapi mulai sekarang, kamu akan jadi pengawal dan penunjuk jalanku. Kamu akan mengurus biaya perjalanan, makanan, air, pakaian ganti, dan barang-barang penting lainnya, juga jadi pembawa barang, sekaligus membantu urusan pribadiku."

"Jangan bercanda! Kalau begitu, artinya aku cuma jadi budak, kan!?"

Entah sebesar apa kelapangan hati yang dibutuhkan untuk menerima tawaran seperti itu, yang jelas, hatiku belum sampai ke tingkat itu.

"Ara~, kamu gak senang, ya? Sayang sekali. Tapi, kamu sudah gak punya pilihan."

"...Maksudnya apaan tuh"

Gadis itu, dengan mata kirinya yang masih tertutup, seakan membaca tulisan di balik kelopak matanya, melafalkan deretan nama:

"Bank Ibukota Smith, Bank Negara Bagian Luke, Perkumpulan Asuransi Maritim, Dana Kereta Api Wilayah Barat..."

Kata-kata yang tiba-tiba disebutkan itu… dan aku langsung tahu apa maksudnya.

Semua itu adalah tempat aku menyimpan hartaku. Rekening dan investasi tempat aku menabung uang yang telah aku peroleh dari hasil penipuan selama ini. Secara harfiah, itulah seluruh kekayaanku—seluruh nilai yang telah susah payah aku bangun selama ini.

Namun seiring dengan ingatan yang mengalir tanpa sadar, satu kejanggalan terungkap.

Aku tak bisa mengingatnya. Aku tahu bahwa aku menyimpan kekayaanku di sana. Tapi aku tak ingat bagaimana cara mengaksesnya. Nomor rekening, nama samaran yang kugunakan, loket bank, lokasi surat berharga—semuanya hilang dari ingatanku. Seberapa pun aku mencoba menyusuri kegelapan yang menganga di dalam kepalaku, tak satu pun potongan ingatan muncul.

Saat aku hampir jatuh karena mual dan pusing yang mendadak menyerang, aku melihat mulut Cronica sedang menjilat sendok kecilnya. Seolah-olah dengan sendok perak itu, dia telah mengorek keluar ingatanku yang kini tak lagi ada.

"Eye of the Providence, Mata Kebenaran──Second Eye. Maaf ya, aku lupa bilang satu hal. Mata kiriku ini bukan hanya bisa melihat jiwa seseorang. Melalui tatapan mata, aku juga bisa memotong, menempel, atau menyambungkan ingatan, emosi, bahkan pikiran──yah, macam-macam bisa kulakukan."

Senyuman manis dengan nada cokelat teh itu seolah mengandung simpati yang hanya formalitas belaka.

"Berat, ya? Aku tahu itu, bahkan tanpa perlu melihat."

Rasa ngeri yang menyusuri tulang punggungku jelas tak bisa diredakan dengan ucapan pelipur lara seperti itu.

Nilai yang selama ini menopangku telah dirampas dalam sekejap. Keputusasaan yang membuncah dari dasar perutku berputar ganas, lalu melesat naik ke ubun-ubun. Dengan sejumput kewarasan yang tersisa, aku akhirnya berkata dengan suara nyaris tak terdengar:

"...Ini semacam... kesepakatan, ya?"

"Iya. Kalau kamu mau ikut perjalanan ini bersamaku, aku akan membuatmu bisa mengingat semuanya kembali. Tapi kalau kamu menolak... ingatan dan uangmu gak akan pernah kembali."

Jawabanku ternyata adalah sebuah helaan napas yang dalam, begitu dalam, seolah-olah jiwaku ikut melayang.

Apakah ini ganjarannya? Apakah ini hukuman karena selama ini aku telah menipu banyak orang? Tidak kusangka aku akan diincar oleh monster yang bisa membaca pikiran dan merampas ingatan.

"Baguslah, 'kan? Bisa melakukan perjalanan sama gadis cantik ini. Biar kuberitahu, ini bukan penipuan, lho."

Ini jauh lebih parah daripada itu. Sepertinya, kata-kata seperti itu tidak perlu kuucapkan sama sekali.

"Mulai sekarang, kita akur, ya, Linus."

Begitulah, sang penipu, Linus Krueger, menelan kekalahan terbesarnya seumur hidup.

"....Jadi, kenapa harus aku?"

Getaran roda terasa menepuk-nepuk telapak kakiku yang terjulur. Aku bersuara sambil tetap bersandar di kursiku.

Kenapa harus seorang penipu yang hanya berusaha menjalani hidupnya dengan sungguh-sungguh, dan bukan orang baik yang kelihatannya lebih mudah dimanfaatkan, yang harus mengalami nasib seperti ini?

"Entah kenapa, kayaknya seru aja. Bepergian bersama seorang penipu itu pasti nggak akan membosankan, dan tidakkah kamu pikir ini akan menjadi kenangan yang indah?"

Berani-beraninya dia bicara soal kenangan setelah merampas ingatan orang.

"Lagi pula, karena kamu seorang pembohong, kupikir kamu sangat cocok untukku yang penuh kepalsuan ini”

Aku tidak mengerti. Bagi diriku yang hanya bisa melihat apa yang ada di depan mata, aku tidak mungkin bisa membaca niatnya yang sebenarnya. Akan tetapi, satu hal yang sudah pasti: aku sedang dipermainkan olehnya.

Karena itulah, aku merasa luar biasa kesal dan tidak bisa menahan amarah yang membuncah.

Tiba-tiba, Cronica yang telah selesai makan, bertanya sambil menyeka mulutnya dengan serbet.

"...Kalau aku sih, ingin lebih mengenalmu. Kenapa kamu menjadi seorang penipu?"

"Karena aku butuh uang."

Aku melanjutkan perkataanku sambil memalingkan muka dari tatapannya yang seolah berkata "Hanya itu?"

"Siapa pun pasti akan menggunakan kelebihannya demi dirinya sendiri, 'kan? Aku ahli dalam menipu orang, dan profesi inilah yang paling bisa memaksimalkan bakat itu. Atau lebih tepatnya... ah, sudahlah! Kalau memang kau bisa membaca pikiran, jangan tanyakan hal ini satu per satu."

Menanggapi perkataanku, gadis itu berkata sambil menyisir rambut merahnya yang seolah tembus pandang di bawah sinar matahari dari jendela.

"Aku memang bisa melihat jiwa (hati) orang lain, tapi kadang ada juga orang yang sulit untuk kulihat. Khususnya dalam kasusmu, sesuatu yang kau tempelin itu sangat mengganggu. Jadi, akan sangat membantu kalau kamu bisa mengungkapkannya sendiri dengan kata-kata."

Permintaan yang diucapkannya dengan begitu santai itu sungguh kejam luar biasa. Padahal, seorang pesulap yang diminta untuk membongkar triknya sama saja seperti disuruh mati. Namun, Cronica, didorong oleh rasa penasarannya, terus melontarkan kata-kata yang mematikan.

"Lapisan terluar hatimu itu... sepertinya kamu menyebutnya 'topeng', ya? Apa kamu benaran bisa menipu orang dengan hal itu? Kalau boleh jujur ya, bukankah itu hanyalah keyakinan sepihakmu aja?"

Entah disengaja atau tidak, kata-katanya dengan telak menggores harga diriku. Namun, aku yang biasanya bisa mengabaikan provokasi semacam itu, kini malah terpancing. Mungkin karena situasi beberapa menit terakhir ini terlalu penuh gejolak.

"...Kau tahu trik untuk berbohong?"

"Nggak."

"Yang pertama: hanya ucapkan kebenaran. Kebenaran yang benar-benar kau yakini sepenuh hati."

"Berbohong, tapi mengucapkan kebenaran?"

Pertanyaan yang sudah kuduga. Aku mengangguk dengan mantap ke arah mata kirinya yang terpejam.

"Sangat mudah untuk berbohong dari lubuk hati. Kau hanya perlu menjadi manusia yang sepenuhnya percaya bahwa kebohongan itu adalah kenyataan."

Ada orang-orang yang dengan tulus percaya pada sesuatu sebagai kebenaran, meskipun hal itu berbeda dari fakta. Karena itu, jika kau bisa menjadi orang seperti itu, kau bisa mengucapkan kebohongan apa pun dengan jujur.

"Jadi, setiap kali Kamu berbohong, Kamu berlagak menjadi orang lain, ya?"

"Begitulah. Aku membayangkan diriku sebagai orang itu. Setelah selesai menggunakannya, Aku melepaskannya seperti topeng. Siapapun bisa melakukannya jika sudah menguasai triknya. Di tempat kerja atau di rumah, ada reputasi sosial, kan?"

"Nggak ada, kok?"

"...Semua orang di dunia selain dirimu punya itu. Di sana, semua orang berlagak menjadi sesuatu. Namun, mereka menuntut kebenaran dari orang lain. Karena itu, mereka tertipu."

Alis gadis itu mengerut serius, menunjukkan di dahinya bahwa dia sulit memercayainya.

"Nggak peduli seberapa besar seseorang memercayainya, kebohongan tetap aja kebohongan. Aku rasa sangat mustahil untuk memaksakan keyakinan yang sebenarnya bukan kebenaran."

"Tidak benar. Pertama, Kamu salah paham. Kebenaran itu bukan fakta. Fakta adalah kejadian yang benar-benar terjadi, tidak peduli apa yang dipikirkan orang lain. Tapi, kebenaran adalah kata yang menjelaskan apa makna dari fakta itu."

Pada dasarnya, fakta di dunia ini tidak memiliki makna. Hanya saja, kebenaran yang disebut makna ditambahkan belakangan.

Misalnya, anggaplah seseorang meninggal. Itu adalah fakta. Namun, kebenaran tentang seperti apa orang itu, intinya bagaimana dia dipandang oleh orang-orang di sekitarnya, akan memengaruhi panjang atau pendeknya iring-iringan pemakaman meskipun orang mati tidak akan hidup kembali, dan jumlah sumbangan pun akan berubah.

Itulah mengapa Aku berbohong. Aku tidak bisa mengubah fakta yang ada di dunia nyata, tetapi Aku bisa mengubah keyakinan yang disebut kebenaran, yang hanya ada di dalam hati manusia, sebanyak yang Aku mau.

"Batas antara kebenaran dan kebohongan itu seperti dua sisi mata uang. Ketika seseorang tidak bisa lagi memercayai apa yang ingin dia percayai, dia akan membalikkan kebenaran yang baru saja ada menjadi kebohongan. Sebaliknya pun sama. Jadi intinya, apa itu kebohongan dan apa itu kebenaran itu bisa dengan mudah dibalikkan hanya dengan hati seseorang."

"…Hati, seseorang."

Saat Aku mengatakan itu, Chronica bergumam kecil seolah mengulang perkataanku. Aku tidak yakin apakah dia terkesan, tapi apa yang sebenarnya mengganggunya?

Ketika Aku memikirkan itu, getaran roda kereta mulai melambat. Dan tak lama kemudian, kereta berhenti di stasiun kota pedesaan yang damai dengan bunyi peluit kedatangan yang melengking.

Ketika Aku membuka jendela dan melihat keluar, para kru mulai mengisi bahan bakar dengan latar belakang pemandangan sawah yang membentang di kaki gunung, dan penumpang yang jarang naik turun di peron. Waktu berhenti mungkin sekitar 10 menit.

"Bagaimana, mau turun?"

Bagiku, Aku sudah tidak ada urusan lagi dengan kereta ini.

Di atas meja, di seberang gelas yang sedang diminum, Aku bertanya kepada gadis di depanku.

Saat itulah. Suara pintu yang dibuka dengan kasar dan langkah kaki yang mengikutinya menyela pikiranku.

Tanpa bisa dihindari, perhatianku langsung terfokus ke sana.

"Jangan bergerak."

Orang-orang yang muncul dari pintu penghubung di belakang dengan cepat mengepung tempat duduk kami.


Part 5

"Jangan bergerak."

Ancaman bernada rendah itu terdengar jelas bahkan di tengah hiruk-pikuk para penumpang naik turun. Jadi, tak perlu diulang dua kali.

Tiga pria berdiri, menatap ke bawah ke arahku dan Cronica yang duduk saling berhadapan.

Tampaknya mereka tak berniat membuat keributan di sini, karena dengan nada tenang, mereka mengucapkan kalimat ancaman.

"Turunlah bersama kami di stasiun ini."

Begitu ucap salah satu dari mereka, memperlihatkan sekilas moncong pistol dari balik ujung lengan bajunya.

Dua lainnya pun tampak memiliki bentuk mencurigakan di bawah mantel mereka. Dan yang mencolok—tak satu pun dari mereka menatap Cronica. Artinya, mereka tahu.

Siapa sebenarnya mereka ini? Saat ini, itu tak penting.

Yang paling penting adalah bagaimana cara keluar dari situasi genting yang datang mendadak ini.

Sayangnya, aku tidak punya kemampuan bertarung yang bisa dibanggakan, apalagi senjata.

Dari sudut pandangku, aku mengamati keadaan Cronica. Gadis salju merah itu tak tampak panik sedikit pun, hanya menatap meja dengan ekspresi kosong, tanpa kata.

Seketika muncul sebuah pikiran dalam benakku. Kalau aku bilang aku tak ada hubungannya, mungkin... setidaknya aku saja bisa selamat.

"Berdiri. Ikut kami."

Begitu perintah itu diucapkan, dua dari mereka segera mendekati Cronica dan mengeluarkan kain hitam, mungkin untuk menutup matanya.

Lalu—salah satu dari mereka tampak hendak mencengkeram rambut gadis itu dengan kasar—

Dan sebelum aku menyadarinya, tubuhku sudah bergerak.

"Ups."

Berpura-pura menuruti perintah, aku perlahan berdiri dengan ekspresi takut, lalu diam-diam menyenggol bagian bawah meja dengan lututku.

Gelasku—yang masih berisi air—terguling dan jatuh dengan suara nyaring, menumpahkan isinya secara mencolok.

Seperti yang kuharapkan, pria-pria itu langsung mengalihkan pandangan mereka ke arah suara itu.

Dan tepat saat itu juga, cahaya matahari sore yang tajam menembus jendela kereta dari balik pepohonan—

Cahaya itu memantul di tetesan air dari gelas yang tumpah, dan mengenai mata kiri Cronica yang kini terbuka, berkilau seperti batu amethyst.

Tiba-tiba, ketiga pria itu ambruk seketika seperti boneka yang talinya diputus, jatuh ke lantai tanpa perlawanan.

Para penumpang lain yang menoleh karena terkejut, langsung kembali berpaling seolah tak terjadi apa-apa begitu Cronica mengarahkan pandangannya ke mereka.

"...Apa yang baru saja kau lakukan?"

"Second Eye. Aku baru aja ngacak-ngacak ingatan mereka. Mereka nggak akan bangun dalam waktu dekat... Oh, dan orang-orang lain itu, aku cuma bikin mereka lupa apa yang barusan mereka lihat.”

Sekujur punggungku terasa dingin. Aku sempat berharap ada sedikit celah untuk kabur, tapi ternyata hanya dengan satu tatapan... itu benar-benar di luar perkiraan.

Cronica menoleh lagi ke arahku, dan dengan senyum yang seolah mengatakan "Hebat, kan?", dia berkata:

"Kau lumayan juga, tadi keren, lho."

"...Itu kan kau yang lakukan."

Sanggahan yang spontan keluar dari mulutku itu, aku ingin percaya bukan karena merasa bersalah.

Untuk saat ini, kami dudukkan ketiga pria yang tak bergerak itu di dekat jendela.

Pada saat bersamaan, peluit tanda keberangkatan kembali terdengar, dan kotak baja berat itu kembali mulai bergerak perlahan.

"Jadi, siapa sebenarnya mereka ini?"

"Entahlah."

"Jangan ngelak. Mereka tahu soal matamu... Kau lagi diburu, kan?"

Mendengar itu, Cronica menjulurkan lidah kecilnya seperti anak nakal yang ketahuan berbuat curang.

“Benar. Sebenarnya, itu salah satu alasan kenapa aku butuh bantuan.”

"Kalau begitu, kenapa tidak minta tolong ke polisi saja, bukan ke penipu? Tenang saja, penjara itu gratis untuk siapa saja."

"Itu gak akan berhasil," ucap Cronica sambil bersandar di tangan dan menghela napas bersamaan.

"Aku suka bepergian. Melihat banyak hal, dengar suara-suara baru, menyentuh, mencicipi... dan ninggalin semua jejak itu ke dunia ini. Aku juga pengen simpan semua kenangan itu di dalam hatiku. Jadi, aku nggak sudi jadi burung dalam sangkar."

Apakah dia punya rasa takut atau tidak, entahlah—dengan gaya bicara yang nyaris seperti sedang bernyanyi, aku hanya bisa menarik napas panjang dan bertanya lagi:

"Omong kosong... Sudahlah, katakan saja siapa mereka sebenarnya."

Perasaan bahwa aku sudah terjebak dalam lumpur yang tak bisa aku keluarkan kakiku semakin kuat. Tapi karena sudah tak mungkin mundur, setidaknya, aku ingin tahu seberapa dalam lumpur ini.

"Mereka menyebut diri mereka sebagai 'Ksatria'."

Kerlip ungu kebiruan berkelebat di tepi pandanganku, dan Cronica akhirnya menjawab pertanyaanku yang tersimpan di dalam hati.

"Kau benar. 'Ksatria' adalah organisasi rahasia yang terdiri dari sisa-sisa bangsawan yang telah jatuh dan para pengikutnya. Mereka aktif melakukan tindakan destruktif anti-pemerintah di berbagai wilayah Republik Kolonial."

Dengan nada yang kini berubah menjadi pelan dan serius, Cronica menambahkan penjelasan yang sebelumnya terdengar seperti organisasi anti-pemerintah biasa yang hanya menghiasi berita sebulan sekali.

"Dan tujuan Ksatria adalah membangkitkan kembali sang Raja."

Kata-kata itu langsung menusuk gendang telingaku, membuatku tak bisa tidak mempertanyakan apa yang baru saja kudengar.

Raja—sosok yang berdiri di atas para bangsawan yang telah melampaui manusia. Ia adalah penguasa abadi yang pernah memerintah Kerajaan Legatos selama seribu tahun.

"...Kau serius dengan omongan itu?"

Namun sekarang, keberadaan sosok itu sangat diragukan. Memang benar bahwa para bangsawan memiliki kekuatan di luar nalar, tetapi keberadaan seorang penguasa tertinggi mereka hanyalah dongeng belaka. Tak seorang pun pernah melihatnya secara langsung. Bahkan setelah ibu kota kerajaan jatuh dalam revolusi, jasadnya pun tak pernah ditemukan.

Karena itulah, ada teori yang mengatakan bahwa sang Raja sebenarnya tak pernah ada sejak awal—hanya simbol ciptaan para bangsawan, peran fiktif yang mereka butuhkan untuk mengatur kepentingan masing-masing. Aku pun sependapat dengan teori itu. Makhluk abadi yang hidup seribu tahun? Hanya orang bodoh yang percaya. Tapi kemudian—

"Ya. Raja itu ada. Setidaknya, aku pernah melihatnya dengan mataku sendiri."

Cronica mengatakan itu dengan enteng, sambil menundukkan mata kirinya yang tertutup kelopak.

"Itulah sebabnya para Ksatria terus memburuku. Karena sekarang, cuma mata kiriku yang tersisa—satu-satunya jalan yang masih terhubung ke takhta milik dia."

Meskipun ucapannya tidak jelas dan cenderung mengelak, aku tak merasa ingin mendesaknya lebih jauh.

Revolusi, bangsawan, Raja—semua itu adalah masalah dari dimensi yang berbeda dengan kehidupanku. Terlibat sedikit saja, dan hasilnya sudah bisa ditebak: sial.

Namun sayangnya, semuanya sudah terlambat. Hanya karena menarik perhatian gadis ini, hidupku perlahan-lahan mulai dirasuki oleh dunia yang sama sekali asing dan berbahaya.

Maka sekarang, aku hanya bisa menerimanya dan mengubah cara berpikirku. Kalau ingin tetap hidup dan mendapatkan kembali uangku, aku tak bisa lagi mengabaikan ancaman yang semakin dekat ini.

Aku menoleh lagi ke arah tiga pria yang tak sadarkan diri. Tadi mereka bilang kami harus turun di stasiun sebelumnya. Artinya, kemungkinan besar ada rekan mereka yang menunggu di sana. Saat kutanya apakah Cronica bisa membaca informasi lain dari mereka, dia hanya menggeleng pelan.

"Gak, aku gak bisa. Sepertinya orang-orang ini nggak diberi tahu apa pun selain perintah untuk ‘membawa aku turun di stasiun’."

"Jadi cuma anak bawang, ya. Sial..."

"Kau benci urusan ribet yang gak ngasih untung, ya?"

"Benar. Dan aku juga benci bocah yang sok tahu."

"Tapi, kamu tetap nggak ninggalin aku."

"Karena demi uang."

Sambil meludah—baik secara harfiah maupun dalam nada—aku kembali mengajukan satu pertanyaan. Masih ada satu hal lagi yang ingin kupastikan.

"Jadi, sebenarnya… sampai sejauh mana?"

"Maksudnya apa?"

"Maksudku, tujuannya. Sampai sejauh mana aku harus terus ikut denganmu? Kau dikejar-kejar oleh kelompok yang menyebut dirinya Ksatria, dan kau tidak mungkin cuma keluyuran tanpa tujuan, kan?"

"Kalau memang begitu, wah, itu bisa jadi masalah besar, ya. Kamu bakal terjebak dalam pelarian tak berujung, bareng gadis manis nan lemah yang cuma punya penglihatan sedikit lebih tajam dari orang biasa."

"Dasar brengsek..."

"Tenang aja. Aku ini punya tujuan, kok."

Dengan jari telunjuknya yang ramping, ia menunjuk ke garis perbukitan putih yang terlihat dari balik jendela—lalu lebih jauh dari sana.

"Laut."

Kata itu meluncur dari mulutnya dengan semacam gairah yang tak bisa disembunyikan—mungkin harapan, mungkin kerinduan.

"Aku akan naik kapal dari pelabuhan, menyeberangi lautan luas, kabur ke negeri asing. Terus berlari... sejauh mungkin."

Mata kanannya yang sedikit berkaca-kaca menatap ke luar jendela, seolah-olah sedang melihat laut yang belum terlihat di balik lereng gunung.

"Itulah sebabnya, Linus. Aku ingin kamu membantuku... sampai aku berhasil keluar dari negeri ini. Setelah sampai di laut, aku akan mengembalikan ingatanmu. Kalau kamu memutuskan ingin ikut setelah itu pun, aku nggak akan melarang."

"Jelas saja kutolak... Tapi baiklah, sampai ke laut, ya."

Tanpa sadar aku mengembuskan napas. Aku tidak suka ini. Saat ini, kami berada di jalur tenggara yang melintasi Pegunungan Tengah Allegheny. Pantai barat tempat pelabuhan dibuka kembali setelah era isolasi, berada lebih dari seribu mil jauhnya, di arah yang berlawanan.

Meski memanfaatkan jalur kereta api, kereta kuda, dan kapal dengan efisiensi maksimal, perjalanan itu akan memakan waktu kira-kira tiga bulan. Terlalu jauh. Dan yang paling parah, selama waktu itu pikiranku akan terus dibaca olehnya. Mati saja mungkin lebih baik.

Namun bagiku, uang lebih berharga daripada nyawa. Jadi menyerah jelas bukan pilihan. Dan lagi—

“Kenapa? Menatap wajah orang begitu lama.”

“Bukan apa-apa... Bukan apa-apa, jadi berhenti menatap mataku.”

Aku tak bisa membiarkan wajah angkuh itu terus menampilkan ekspresi menang.

Mata yang bisa membaca hati—kemampuan curang macam itu membuatku harus menelan kekalahan, dan itu benar-benar membuatku geram.

Hidupku sebagai penipu tidak semurah itu untuk berakhir di sini. Jadi, lihat saja nanti.

“Aku pasti akan membuatmu menangis nanti.”

“...Meskipun tak melihat, aku tetap bisa mendengarnya. Kau ini, sungguh pria yang menarik ya.”

Aku mengabaikan senyum lelah yang dibumbui keheranan itu, dan mulai berpikir.

Masalah terdekat adalah stasiun berikutnya.

Karena tiga orang tadi sudah gagal, mungkin teman mereka akan mencoba naik dari sana dan menyergap kami.

Saat itulah aku mendengarnya.

Di sela suara peluit dan roda kereta, muncul suara berbeda yang menyusup masuk ke telingaku.

Seperti ujung benda keras yang memukul-mukul kerikil di atas rel—ritmenya terdengar aneh, dan ketika aku menyadarinya...

Sebuah guncangan mengguncang atap gerbong, menggema ke seluruh badan kereta.

Meja dan bangku berguncang seperti ombak, para penumpang pun serempak menoleh ke atas dengan gumaman panik.

Dan satu detik kemudian, sesosok bayangan menerobos langit-langit, mendarat dengan berat di dalam gerbong.

Saat itu juga, terdengar jelas suara semua orang menahan napas.

“...Bau busuk.”

Suara itu rendah, nyaris seperti gemuruh yang keluar dari dasar sel yang berkarat—suara yang bergema di tengah keheningan, membekukan udara.

Pria itu sangat kurus, hampir seperti sakit, dan mengenakan mantel panjang yang menjuntai.

Rambutnya berwarna tembaga, disisir rapat dengan rapi berlebihan—dan di bawahnya, matanya yang bulat dan hitam berputar liar, seperti burung pemakan bangkai yang sedang membidik daging busuk.

——

Aku tidak bisa membaca pikiran orang lain.

Tapi aku tahu.

Aku tahu, meskipun aku tak ingin tahu.

Dari sosok kurus itu menguar bau yang pekat, suram, berkarat darah.

Itu adalah aroma khas—yang tak bisa disembunyikan—dari seseorang yang telah meremukkan nyawa orang lain dengan tangannya sendiri, yang telah menginjak-injak kehidupan banyak orang tanpa ragu.

Bukan penipu kecil sepertiku.

Itu adalah bau dari seorang pembunuh sejati.


Part 6

Sesuatu merambat di sepanjang tulang punggungku.

Sementara rasa mual yang menggetarkan saraf menjalari lambungku, aku tak bisa melepaskan pandangan dari pria itu.

Roda kereta, peluit, bahkan desas-desus penumpang telah menyatu menjadi latar belakang, seolah dunia menyempit hanya pada sosok mencekam yang berdiri di tengah penglihatanku.

Sepasang mata bengkok yang terasa mustahil untuk ditatap sedetik pun—menatap lurus ke arah kami.

“Sudah lama kutunggu. Sel kanker Doro Cancer... Meski begitu, kita masih sejenis. Sebagai bentuk sopan santun, perkenalkan namaku. Aku Aizelred Grakiel, Garda Kedua Penjaga Pelindung Ksatria.”

Begitu suara berat dan kelam itu menyampaikan perkenalan yang terdengar seperti kutukan, bahu Cronica gemetar.

“Tiarap!”

Teriakan tajam dan mendesak itu menggema di dalam gerbong.

Aku yang berada tepat di dekatnya, ditarik paksa oleh lengannya, dan seketika mengikuti perintah itu.

Tepat setelahnya...

“...Sudah kubilang baunya busuk, kan? Manusia rendahan.”

Pria yang menyebut dirinya Glachiel itu mulai berdenyut dari dalam tubuhnya, seolah ada sesuatu yang menggelegak dan meronta dari balik kulit.

Lalu—

Dengan bunyi ledakan tajam yang seolah mengoyak udara, sesuatu terpancar dari tubuh bagian atasnya.

Dinding gerbong makan. Jendela. Para penumpang. Semuanya diserang secara membabi buta oleh benda-benda yang terlempar dari tubuhnya.

Itu adalah—jarum.

Tajam, tipis, dan berwarna merah seperti darah. Ratusan jarum itu mencuat tak terkendali, menghujam segala arah seperti tembakan paku brutal. 

Banyak penumpang terpaku ke dinding, tubuh mereka tergantung seolah dipantek hidup-hidup.

“Ap—...!”

Salah satu duri itu meleset nyaris menyentuh kepalaku, menghantam dinding dan bergetar hebat, menggema hingga ke dalam tengkorak.

Rasa takut membuatku tak bisa bernapas. Otakku tak mampu menyerap apa yang baru saja terjadi.

Aku jatuh terduduk, lututku gemetar, tak mampu berdiri.

Di pusat tragedi itu, Glachiel berdiri tegak, tidak menoleh ke arahku, melainkan menunduk menatap Cronica.

“Hebat juga, kau bisa menghindar. Kau membaca pikiranku, ya? Bagus. Bertahanlah agar tidak mati. Aku diperintahkan untuk tidak membunuhmu, jadi cobalah bertahan hidup. Jangan sampai aku harus bersusah payah karena ulahmu.”

“Cukup sombong juga cara bicaranya.”

Dari balik koper yang telah dijadikannya tameng, kini dipenuhi jarum-jarum berdarah, gadis itu perlahan berdiri.

Dengan satu mata tertutup, ia menatap Glachiel dengan jijik dan kewaspadaan yang nyata.

“Jadi inilah bangsawan Ksatria... Meski baru pertama kali bertemu, sepertinya kalian tak peduli soal cara. Kau menginginkanku sebegitu parahnya, ya? Dasar mesum.”

Nada Cronica tajam dan provokatif, namun wajah kurus Glachiel justru menegang dalam ekspresi iba yang ganjil.

“Dari cara bicaramu... rupanya kabar itu benar adanya, ya—Parasit.”

Nada suara yang terdengar seolah mengasihani seorang pasien yang hanya tinggal menunggu ajal—namun sebenarnya sarat dengan kebencian dan hinaan.

“Kau pasti tak mengingatnya lagi. Pada akhirnya, kau hanyalah parasit sementara.”

Aku tak sempat memahami, kata-kata itu menyentuh sisi terdalam dari diri Cronica.

Namun jelas terlihat—rambut perak dan merah keunguannya bergoyang seolah bergejolak karena amarah.

Dan mata amethyst yang bisa menyingkap isi hati manusia, kini terbuka sepenuhnya, menusuk pria itu dengan tatapan tajam—.

“Tak ada gunanya.”

“…Agh!”

Sekejap kemudian, Cronica terhempas ke belakang, tangan kiri memegangi mata kirinya seolah terbakar.

Kakinya terseret beberapa langkah ke belakang, terkejut dan kesakitan.

“Memang, matamu itu cukup merepotkan. Tapi hanya berlaku bagi manusia rendahan. Kami para bangsawan yang mewarisi faktor mudah saja memantulkan gangguan seperti itu... Hah, itu adalah hukuman atas pengkhianatanmu.”

Grakiel menyeringai—tawa mengejeknya berderak seperti logam berkarat.

Meski aku tak paham sepenuhnya maksud ucapannya, tapi aku telah menyadarinya.

Mata kiri Cronica… tidak bisa menembus pria ini. Ia memang bisa membaca isi hati, namun tidak bisa mengganggu pikiran seperti yang ia lakukan pada tiga orang sebelumnya, atau padaku.

Entah bagaimana caranya, pria ini kebal terhadap kemampuan itu.

Secercah keputusasaan, sedingin lumpur di musim dingin, menggulung di tenggorokanku.

Bangsawan monster ini… pasti sudah menunggu Cronica di stasiun sebelumnya.

Entah dengan cara apa, ia berhasil mengejar kereta yang tengah melaju, lalu menerobos langsung ke dalam gerbong.

“Tapi kau benar-benar membuatku repot, tahu... Haa, sungguh menyebalkan.

Karena perlawanan bodohmu itu, a-aku, harus—masuk ke tempat menjijikkan seperti ini!”

Suara gerutuan Grakiel makin naik nada, penuh amarah.

Dan dari tubuhnya, duri-duri kembali menjulur, menyerupai ranting-ranting terkutuk yang menggeliat dan mengancam.

Bersamaan dengannya, udara penuh dengan aroma darah dan karat yang makin pekat—bau yang tak bisa disangkal sebagai tanda nyata akan kematian yang segera datang.

Itu adalah sesuatu yang tak bisa disamarkan. Aura khas yang terukir dalam tulang punggung manusia, mengalir bersama darah, dan memancar keluar melalui kulit.

Pengalaman membunuh yang melekat pada jiwa—bukti nyata seorang pembunuh.

Aku terperanjat, menoleh—dan di sana, kulihat Cronica yang menekan mata kirinya, darah merembes dari sela-sela jarinya.

Aku hanyalah seorang penipu.

Aku bisa memperdaya hati manusia sesuka hati, tapi tidak demikian saat berhadapan langsung dengan kenyataan.

Karena itulah…

Aku tak bisa berbuat apa-apa.

Kecuali—meninggalkan gadis itu dan melarikan diri dari tempat ini.

Begitu pikiranku mencapai kesimpulan itu…

Sreeekk!

Tiba-tiba, udara yang sarat dengan bau kematian terbelah oleh suara tajam.

Dua tembakan. Lalu tiga. Namun sasaran mereka bukan aku.

Tubuh mungil itu… ditembus oleh duri-duri kejam. Aku melihatnya dengan mata kepala sendiri, seolah waktu berjalan lambat. Duri merah, tertancap di tenggorokannya, dan mata ungu yang berlumuran darah bertemu dengan tatapanku.

Semuanya terjadi dalam sekejap. Seperti bunga yang terpatahkan tanpa ampun, Cronica tumbang.

Hidup yang tadinya ada di sana… kini memudar. Dalam sekejap yang memisahkan antara hidup dan mati.

Namun matanya masih menatapku—Mata kiri itu… seakan ingin menyampaikan sesuatu padaku…

“────ッ!!”

Saat itu juga, kedua kakiku yang gemetar akhirnya bergerak. Tanpa berpikir panjang, tanganku menarik pistol dari balik saku.

Pistol itu—hasil curian dari tiga orang sebelumnya, lengkap dengan amunisinya.

Aku tak punya alasan untuk ragu menarik pelatuk.

Tiga peluru yang kulepaskan—semuanya mengenai tubuh Grakiel.

Tubuh kurus itu, bagai ranting kering, terhentak ke belakang akibat hentakan peluru.

Menggunakan momentum itu, aku berbalik dan menyeret tubuh Cronica ke pelukanku.

Lalu, aku lari sekuat tenaga menuju pintu antar gerbong di bagian depan.

Dengan tubuh ringan yang mengkhawatirkan dalam gendonganku,

tanpa menoleh ke belakang, aku menembakkan sisa peluru di magazinku,

melesat melewati jarak pendek menuju pintu dengan kecepatan yang belum pernah kulakukan sebelumnya.

Dan tepat saat tanganku menyentuh gagang pintu—Suara tembakan dari belakang merobek udara.

Nyaris! Pintu di belakangku dipenuhi lubang, tapi aku tak punya waktu bahkan untuk merasa lega.

Masih memeluk tubuh Cronica yang tak bergerak, aku terjatuh masuk ke gerbong depan dengan posisi menyedihkan.

Gerbong itu juga adalah gerbong makan, membentang hingga tiga gerbong panjang.

Beberapa penumpang yang ada menatapku dengan wajah heran—lalu berteriak histeris saat menyadari situasinya.

Namun aku tak bisa memberikan penjelasan, apalagi peringatan.

Aku menerobos mereka, mendorong siapa saja yang menghalangi jalan,

dan terus berlari ke bagian paling depan.

“Tu-tuan!? Apa yang terjadi—!?”

Seorang petugas kereta berlari mendekat dengan wajah pucat panik—dan seketika sebuah duri tertancap tepat di antara alisnya.

Teriakan dan jeritan panik pun bergema. Di tengah kekacauan itu, langkah kaki menginjak-injak sesuatu terdengar memantul dari belakang.

“Jangan ribut. Jangan menangis. Kalian manusia hina—bau busuk! Ahh, ahh!! Ini sungguh tak tertahankan. Aku perlu… membersihkannya.”

Suara teriakan bernada gelisah dan menjijikkan itu, bagaikan sinyal untuk memulai pembantaian.

Hujan duri seperti tembakan panah dari pasukan pemanah mengguyur gerbong,

menyematkan para penumpang ke dinding dan kursi satu per satu. Serangan membabi buta itu—jelas bukan strategi, melainkan letupan pembunuhan impulsif.

“Sialan… Kgh!”

Refleks, aku menarik mayat di dekatku dan menjadikannya tameng. Namun tetap saja, beberapa duri menembus pertahananku—menancap ke lengan dan betis dengan kejam.

Rasanya seperti logam cair panas dituangkan ke dalam dagingku. Kereta mulai berbelok mengikuti jalur, dan bodi gerbong pun miring.

Kakiku tergelincir, dan aku hampir menjatuhkan Cronica dari pelukanku. Tapi aku bertahan—memaksa diriku untuk tetap menggenggam tubuhnya erat.

Tanpa henti, aku melesat menuju gerbong berikutnya. Tak lagi peduli dengan teriakan atau pandangan penumpang lain. Aku hanya berlari, lurus ke depan.

Rasa sakitnya bukan masalah. Yang membakar pikiranku adalah—ancaman nyata yang terus mendekat dari belakang.

Grakiel.

Makhluk bangsawan pemilik darah "Regalia",yang tak bisa mati bahkan setelah ditembak berkali-kali.

Salah satu dari para ksatria yang memburu Cronica. Dan yang paling buruk—dia bukan orang yang bisa diajak bicara. Tidak akan ada negosiasi. Tidak ada belas kasihan.

Ketegangan dan kepanikan mempercepat detak jantungku. Apa yang harus kulakukan? Kalau terus maju, ujungnya buntu. Kalau begitu, melompat keluar saja?

Gagasan impulsif itu segera kutepis. Meski aku selamat sekalipun, itu tidak ada gunanya. Musuhku—makhluk itu—adalah sesuatu yang bisa mengejar kereta yang sedang melaju.

Lebih dari itu…

Hei, Linus. Sebenarnya, apa yang sedang kau lakukan? Gadis itu sudah mati. Buang saja. Kalau kau sendirian, mungkin dia tidak akan mengejarmu lagi.

"Hah… haah… sial…! Gkh—AAGHH!!"

Tiba-tiba, sebuah rasa sakit yang luar biasa menghantam pikiranku,

seolah memotong seluruh alur logika yang tengah berputar mencari jalan keluar.

Bukan sekadar nyeri biasa—Rasanya seperti tulangku digerus oleh amplas dari dalam, terlalu menyiksa untuk tetap berdiri. Tubuhku roboh begitu saja, dan Cronica terlepas dari pelukanku. Tapi aku bahkan tak sanggup peduli.

Duri-duri yang tertancap di tangan dan kakiku…seakan menyala, menancapkan rasa sakit yang menusuk hingga ke inti tubuh.

“Apa… ini…! GAAH—!!”

Rasa sakitnya menyesakkan napas. Getaran rel yang menjalar melalui lantai gerbong memperparah setiap denyut neraka ini.

Yang bisa kulakukan hanya… merangkak seperti ulat sekarat, di antara dua gerbong.

“Sialan…!”

Dunia mendadak menjadi kabur, terbaring miring dan tak lagi stabil. Kesadaran mulai meninggalkanku. Gelap perlahan menyelimuti segalanya.

Tepat sebelum semuanya menghilang, di sudut penglihatanku—kilatan samar cahaya ungu berpendar.

Dan setelah itu…segala sesuatu tenggelam dalam kegelapan.


Part 7

Apakah ini semacam pelarian dari kenyataan? Kesadaranku yang menyerah melarikan diri ke dalam mimpi masa lalu.

Dengan kata lain, ini adalah aku saat masih anak-anak—saat aku tidak tahu apa-apa, atau lebih tepatnya, bisa hidup tanpa tahu apa-apa.

Di halaman belakang teater yang dikelola ayahku, terletak di kawasan paling elit ibu kota kerajaan, berada di bawah naungan seorang bangsawan berpengaruh—aku bersembunyi di balik bayang-bayang peralatan panggung tua yang sudah dibuang, menggigit sebatang cokelat yang kucuri dari kamar.

Aku sudah tidak sekecil itu lagi, yang bisa merasa bahagia hanya dengan berlari-lari sambil berteriak seperti orang bodoh. Namun aku juga belum cukup dewasa untuk bisa mengendalikan dorongan pemberontakan kekanak-kanakan yang menggelegak di dalam diri. Usia saat itu memang seperti itu.

Singkatnya, aku membolos sekolah yang diperintahkan oleh orang tuaku untuk aku hadiri, tapi karena tidak ada hal lain yang bisa kulakukan selain merajuk dengan murung, inilah yang terjadi pada hari itu.

『Ah, ternyata kamu memang di sini, Linus.』

『…Nee-san.』

Dari balik papan berdiri yang catnya sudah mengelupas, muncul wajah kakakku yang sudah sangat kukenal, mengintip dari atas.

Dengan rambut panjang berwarna rami dan kecantikannya yang menonjol bahkan tanpa harus dibela sebagai keluarga, gadis muda yang matang sebelum waktunya itu benar-benar pantas menjadi pemeran utama di rombongan teater kami. Jika diminta memerankan seorang janda, dia bisa menangis hanya dalam hitungan detik, seorang aktris yang piawai. Namun saat itu, dia memperlihatkan senyum tulus yang hanya ditunjukkan kepada keluarga.

Padahal, dulu saat aku mulai mengingat dunia sekitar, kami biasa berlari-lari di halaman belakang dengan tubuh penuh luka lecet. Tapi entah sejak kapan, dia mulai mengenakan berbagai topeng orang dewasa. Kepadanya, aku menyimpan rasa iri yang menyerupai kekaguman dan kesepian seperti kehilangan sosok ibu, lalu aku berkata:

『Apa kamu boleh ada di sini? Pertunjukan siang pasti sudah dimulai.』

『Kamu juga, tahu? Sudah lama lewat dari jam masuk sekolah.』

Sambil berkata begitu, dia duduk di sebelahku, lututnya tertutup oleh rok panjang.

『Jadwalnya berubah. Katanya, Ayah akhirnya berhasil membujuk ketua sirkus yang sudah lama dia incar, dan hari ini saja mereka mau tampil di tempat kita. Karena aku lagi senggang, kupikir… kenapa tidak bermain dengan adik kecilku yang manis setelah sekian lama?』

『Kalau aku pergi ke sekolah, apa yang akan kamu lakuin?』

『Tidak mungkin kamu pergi. Aku sudah tahu kok.』

Aku berniat membantah jawaban cepat itu, tapi langsung menyerah. Memang, aku tidak akan bisa menang darinya.

『Hei, hei, memangnya sekolah itu sebosan itu, ya?』

Ditanya dengan rasa ingin tahu yang tulus oleh kakakku, aku belum cukup dewasa untuk bisa memberi jawaban yang cerdas.

『Bukan…berarti membosankan. Tapi lebih dari itu, aku nggak suka.』

"Begitu, ya," katanya, lalu dia tidak bertanya lebih jauh. Dia membiarkan bagian dari diriku yang akan mudah rapuh bila diungkapkan dengan kata-kata tetap tersembunyi begitu saja. Dan entah bagaimana, aku menyukai sisi dirinya yang seperti itu.

『Lagian, meskipun aku menuruti Ayah dan pergi ke sekolah buat belajar, pada akhirnya aku nggak bakal bisa mengurus tempat ini. Aku juga nggak tertarik cari uang.』

Kalimat yang kulanjutkan itu seperti usahaku untuk mengelabui diriku sendiri, tapi kali ini dengan mudah dibalas balik olehnya.

『Tapi kan, kamu juga nggak punya hal lain yang pengen kamu lakuin, kan?』

『Y-ya, sih…』

Kakakku menatap langit sejenak, seolah sedang berpikir, lalu tiba-tiba menepukkan kedua tangannya yang kering dengan bunyi pluk.

『Kalau begitu, Linus! Mau coba naik panggung bareng aku?』

『Hah!?』

『Kalau sudah diputuskan… langsung latihan! Kita mulai dari suara dulu, ya. Ayo, berdiri.』

『T-tunggu dulu, Nee-san!』

Aku buru-buru menolak kakakku yang langsung mengubah nada suaranya jadi seperti pelatih.

『Aku nggak bisa akting! Gerakannya terlalu lebay, dan… itu, rasanya malu banget…』

『Nggak apa-apa, nggak apa-apa. Kamu bakal terbiasa, kok. Jadi serahkan saja pada Onee-chan oke.』

Seolah menambahkan sesuatu, kakakku membungkuk dan berbisik di telingaku.

『Aku yakin kamu punya bakat, Linus.』

Lalu, sambil menatap mataku langsung dan lurus, dia meyakinkanku:

『Kamu adalah anak yang setidaknya bisa memahami perasaan orang lain. Tapi dalam dunia akting, yang lebih penting adalah memahami hatimu sendiri, dan tahu cara menggunakannya dengan baik. Dalam hal itu… aku yakin kamu jauh melebihi orang kebanyakan.』

Lalu, sambil berkata begitu, tangan kakakku yang putih menyusup masuk ke saku celanaku. Tanpa sempat terkejut, dia menarik keluar bungkus cokelat yang kusimpan diam-diam.

『Kamu juga cukup nekat dan lihai… Ini kan cokelat yang aku simpan di laci? Karena akhir-akhir ini sering berkurang, aku sampai menguncinya, tahu.』

『…Ah, eh, itu…』

『Sebagai hukuman, hari ini kamu harus berteriak sampai jatuh pingsan! Oke, kita mulai dari latihan pertama!』

Lagi-lagi, dia menepuk punggungku dengan lebih keras dari sebelumnya—dan sebelum aku sempat berteriak minta ampun…

Saat itulah, kesadaranku ditarik kembali ke dunia nyata.


Part 8

"Oh, kamu sudah bangun rupanya."

Begitu kelopak mataku terbuka, pandanganku langsung bertemu dengan sepasang mata berwarna ungu yang menatapku dari dekat. Dari sensasi di bagian belakang kepalaku, sepertinya aku sedang berbaring di atas paha seorang gadis. Dan entah kenapa, rasa sakit yang tadi kurasakan kini telah lenyap.

"Kebetulan sekali, Linus. Proses pencabutan di tubuhmu sudah selesai... Karena sensasi nyerinya disegel untuk sementara waktu, kamu nggak merasa sakit, kan? Sekarang bantu aku, tolong cabutkan ini."

Dengan senyum canggung, Cronica menunjuk ke lehernya—yang saat ini sedang tertancap duri merah kehitaman yang menembus dengan cara yang sangat mengerikan.

"!! Cronica, kau... kau masih hidup…!!"

Aku langsung bangkit secara refleks. Kondisi gadis itu jelas-jelas mengenaskan. Satu duri menembus lehernya—yang jelas merupakan luka fatal. Selain itu, duri juga menancap di bahu kanan, dada, perut samping, hingga paha kirinya.

Tak peduli bagaimana pun aku mencoba memikirkannya, seharusnya dia tidak mungkin masih hidup dan bisa bicara. Namun, meskipun begitu…

"Duri ini, sepertinya tumbuh dengan menyerap darah. Ah, maksudku bukan tumbuh di luar, tapi di dalam. Semakin banyak darah yang diserap, makin jauh akar-akar itu menjalar ke dalam daging dan tulang mangsanya, lalu membuat mereka lumpuh karena rasa sakitnya."

Dengan tenang, Cronica menjelaskan semua itu. Tapi wajahnya sedikit berkeringat dan tampak pucat.

"Sialan!"

Aku segera menyingkirkan segala kekhawatiran yang tidak penting dan melihat sekeliling. Udara panas dan aroma gosong memenuhi hidungku. Sepertinya kami sedang berada di gerbong dapur, tak jauh setelah melewati gerbong penumpang.

Aku mengabaikan panci yang masih mendidih di atas api, membalikkan barang-barang di sekitar dan mengumpulkan apa pun yang bisa dipakai. Lalu, aku menghampiri Cronica yang bersandar lemah di meja dapur, dan mengulurkan tangan ke arah duri yang masih menancap di tubuhnya.

Aku menariknya keluar dengan sentakan, dan dengan sensasi mengoles, kulit dan dagingnya yang lembut terkoyak. Darah segar mengucur deras seperti jus buah, membasahi tanganku dengan rasa realitas yang hangat.

Ini jelas bukan luka yang bisa ditanggung manusia.

"Monster, ya… Gak apa, aku suka orang yang jujur."

Seolah telah membaca arah pikiranku, Cronica menyeringai dengan bibir merah menyala, mengejek dirinya sendiri.

"Bangsa bangsawan yang mewarisi faktor itu memang berbeda secara struktural dengan manusia biasa. Sekadar luka begini nggak akan bikin aku mati... yah, aku termasuk yang cukup tangguh di antara mereka."

Bau amis darah menguar di udara. Tubuh indah yang anggun nan mewah itu tampak seolah bisa runtuh kapan saja, seiring dagingnya yang terkoyak.

"...Si brengsek itu, Grakiel, tidak mengejar kita?"

"Sepertinya begitu. Untuk saat ini, ya. Aku tahu karena sudah mengintip pikirannya. Dia sepertinya berniat membantai semua penumpang di kereta ini. Soal kita, dia pikir nggak perlu buru-buru, karena mengira setelah menusukkan beberapa duri, kita tak akan bisa banyak bergerak."

"...Begitu ya."

Rasa iba atau keinginan untuk menyelamatkan orang lain—perasaan semacam itu tampaknya telah kulepaskan di tengah pelarian tadi. Sampai di titik ini, aku bahkan tidak punya ruang dalam hatiku untuk peduli pada siapapun selain diriku dan dia.

Aku membersihkan luka dengan alkohol, lalu membalutnya dengan kain yang tampak bersih. Saat aku harus melepas sebagian pakaian yang menghalangi penanganan, wajah gadis itu sempat memerah sedikit.

"Mesum."

"Ini murni tindakan medis. Tenang saja. Tubuhmu yang kurus seperti kambing ini tidak cukup menarik untuk membuatku berpikiran aneh."

"...Hal seperti itu, justru simpan saja dalam hatimu."

Setelah beberapa menit, penanganan darurat pun selesai. Saat aku membantu mengenakan kembali pakaiannya, pikiranku dipenuhi pertanyaan: Bagaimana caranya kita keluar dari sini?

Mungkin Cronica membaca kegelisahanku. Namun, dia hanya menggeleng pelan, seolah melepaskan segalanya.

"Tak akan bisa. Dengan kaki manusia, sekeras apa pun berusaha, kamu nggak akan bisa kabur… Kecuali kamu meninggalkanku, tentu saja."

Bersandar pada rak yang sudah berlumuran darah, gadis itu lalu mengajukan sebuah pertanyaan.


Ilustrasi 2 Masquerade Confidence~ Sagishi wa Shoujo to Kamen Shikake no Tabi o Suru Chapter 1 | Yomi Novel

"Untungnya, dia nggak akan sampai ke sini dalam waktu dekat. Kebiasaan buruknya yang lebih suka membuat korbannya menderita semaksimal mungkin daripada membunuh mereka dengan cepat… berkat itu, kita masih punya cukup waktu buat berpikir. Jadi, kasih aku jawabanmu, Linus."

Itu bertentangan. Barusan dia berkata ingin diselamatkan, tapi sekarang dia bersikap seolah boleh saja ditinggalkan. Ucapan gadis itu terdengar seperti terpidana mati yang, setelah mendengar langkah mendekat, menghentikan usahanya menggali lubang di dinding sel.

"Jadi kau sudah menyerah?"

Aku bertanya. Cronica mengangguk lemah, dengan ketenangan yang menyakitkan.

"...Ya, sepertinya begitu. Penglihatanku nggak mempan padanya. Padahal ini pertama kalinya aku coba ke bangsawan, tapi ternyata sama sekali nggak ada gunanya. Mungkin karena itu ulah tubuh aslinya, atau karena aku sendiri sudah memburuk. Entahlah. Tapi... kurasa itu udah nggak penting lagi."

Sambil menggumamkan logika yang hanya dimengerti oleh dirinya sendiri, jemari halusnya memainkan rambut magenta dan perak yang telah ternoda oleh darah.

Saat aku bertanya lagi apakah dia tidak takut, jawabannya datang dengan pelan.

"Takut, tentu saja. Tapi anehnya... saat waktunya benar-benar tiba, rasanya malah nggak terlalu penting. Mungkin... aku udah lelah sejak lama. Teramat sangat lelah."

Entah kenapa, mendengar ketenangan putus asa itu, aku merasa lebih marah daripada iba.

"...Kau boleh saja menyerah. Tapi, bagaimana dengan uangku?"

"Siapa tahu... Jangan-jangan, kau mau aku balikin ingatanmu sebelum aku ditangkap dan dibunuh? Maaf, itu nggak bisa. Tak seperti orang tertentu, aku ini tipe yang menepati janji."

Di tengah keadaan seperti ini—atau justru karena itulah—dia tetap bisa berkata dengan nada menggoda.

"Atau, kau mau menyiksaku dulu sebelum kabur, dan coba paksa ingatanmu kembali? Silakan aja. Mau memperkosaku, menelantarkanku di sini, semuanya terserah kamu. Lakuin sesukamu."

Ucapannya, dilemparkan ringan dari tubuh yang lunglai seperti boneka dengan benang yang putus, jatuh di dekat ujung sepatuku.

Saat itulah aku sadar—gadis ini, sejak awal, mungkin memang tidak pernah percaya bahwa mereka bisa lolos dari semua ini.

Dia tahu, cepat atau lambat, saat ini akan datang. Dan tetap saja... dia terus berjalan.

Kenapa dia tidak menyerahkan diri ke pihak berwenang sejak awal? Kenapa tidak langsung bunuh diri saja? Dan yang paling membingungkan, apa yang dia harapkan dari perjalanan seperti ini?

Aku benar-benar tak mengerti.

Namun, satu hal yang sangat jelas.

"...Menjengkelkan. Sungguh menjengkelkan."

"Eh?"

Bahwa dia tidak mau mengembalikan uangku sampai detik ini—itu masih bisa kupahami. Aku pun akan melakukan hal yang sama kalau jadi Cronica. Karena, sungguh menyebalkan rasanya jika seseorang malah untung saat kau akan mati.

Tapi yang benar-benar membuatku muak... adalah hal yang satu lagi.

Dengan senyum samar yang sok tahu, seolah sudah tahu akhir dari cerita ini, dia menerima keputusasaan tanpa rasa gentar. Dan aku kalah oleh gadis seperti itu. Sebagai penipu, aku kalah.

Dan belum menang sampai sekarang.

Jadi, bahkan jika aku mati, aku tak akan pernah menerima bahwa dia telah melarikan diri membawa kemenangan selamanya──dengan uangku dicuri dan harga diriku sebagai penipu terluka.

Tiba-tiba, dari dasar perut yang mendidih karena amarah, ingatan yang lama terkubur pun meluap.

──Wajah kakakku yang telah membeku. Tatapan matanya yang tak lagi memantulkan apa pun.

──Hujan putih yang turun deras di luar jendela.

──Rasa dingin dari pisau di tangan kananku. Dan warna merah yang menyusul.

Aku ingat. Benar—sejak awal, aku sudah tahu apa yang akan kulakukan.

Aku berbalik, lalu mulai mengisi ulang peluru ke dalam pistol kosong. Di belakangku, aku bisa merasakan keterkejutan Cronica.

"...Eh? Tunggu, jangan bilang kau serius...!?"

Lucu. Padahal dia bisa melihat hati orang lain. Lalu apa yang membuatnya terkejut sekarang?

Masih membelakanginya, aku mengangkat bahu dengan ringan.

Bagiku, hanya ada satu kepastian—uang lebih berharga dari nyawa. Dan harga diri sebagai penipu yang telah kukumpulkan selama ini pun, cukup pantas untuk dipertaruhkan nyawa.

"Tenang saja. Kalau aku sudah memutuskan untuk bertindak, aku gak ada niat buat mati."

Aku menarik napas dalam-dalam. Membiarkan udara segar membanjiri paru-paruku dan menyebar dingin ke seluruh tubuh, membawa serta ketenangan yang dibutuhkan.

Dua puluh tahun hidup sebagai penipu. Tak terhitung kesalahan, kegagalan, dan kecelakaan yang kualami. Tapi tiap kali, aku selalu bertahan seperti ini.

Kumatangkan pikiranku. Mataku menyisir dapur sempit di sekeliling, menggali dalam-dalam setiap sudut pengalaman dan ingatan selama belasan menit terakhir...dan juga sepanjang hidupku—lalu memusatkan perhatian pada secercah kemungkinan yang samar.

"Aku akan bunuh si monster itu. Dan aku akan keluar dari sini hidup-hidup."

Kalimat itu bukan untuk siapa pun.

Itu hanya untuk meyakinkan diriku sendiri.


Part 9

Satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah rasa sakit.

Sebagai algojo penyiksa, Grakiel membangkitkan Factor miliknya saat berusia dua belas tahun. Di hari yang sama, ia mewarisi jabatan sang ayah.

Pekerjaan pertamanya: menyiksa istri dan anak dari seorang pria yang baru saja ditangkap, tepat di depan mata sang pria itu sendiri.

Pada akhirnya, dia menyerahkan dua mayat yang telah menjadi papan ranjau dipenuhi jarum, dan membiarkan si pria pergi tanpa sedikit pun luka.

Tak lama kemudian, pria itu menggantung dirinya di depan bekas keluarga yang telah dibantai itu. 

Sebagai peringatan.

Manusia rendahan—rakyat jelata—mudah lupa.

Mereka lupa akan kedudukan mereka. Lupa bahwa mereka hanyalah makhluk rendah.

Bila dibiarkan, mereka akan mulai menggertak para bangsawan.

Karena itulah, mereka harus diajari. Agar tak pernah lupa lagi, penderitaan abadi harus diukir dalam tubuh dan jiwa mereka.

Mereka harus dijadikan contoh. Dipajang sebagai cermin untuk massa bodoh lainnya.

Tentu, pekerjaan ini kotor. Tapi ini adalah pekerjaan yang harus dilakukan oleh seseorang.

Dan sejujurnya, yang membuat semuanya jadi salah... mungkin adalah kami, para bangsawan.

Kami yang memiliki darah luhur ini, kami yang gagal mendidik para hewan ternak dengan benar.

Kami terlalu lunak. Penderitaan dan keputusasaan yang kami berikan pada mereka terlalu sedikit.

Itulah sebabnya… Revolusi berhasil.

Maka, misi Ksatria Ordo hanya satu: Mengobati sel kanker bernama Doro Cancer—dan ketika Raja bangkit kembali, kami akan mendidik para rakyat dengan sempurna kali ini.

***

"Ugh... gila. Rasanya... menjijikkan banget."

"Padahal, aku sudah cukup banyak melewatkan bagian-bagian yang terlalu parah, lho. Kamu gak apa-apa?"

"Aku baik-baik saja," jawabku sambil menggelengkan kepala yang terasa sakit.

Melalui kontak mata dengan Cronica, ingatan Grakiel mengalir ke dalam pikiranku.

Pemandangan yang terlalu mengerikan untuk bisa dianggap nyata.

Aku benar-benar menyesal telah memintanya dan tak bisa menahan makian.

Karena dalam semua itu, terselip juga sesuatu yang bahkan lebih sulit dipahami:

Kebencian yang menyimpang dan tak masuk akal.

Dia membenci makhluk-makhluk kotor itu. Tak tahan berada dekat mereka.

Namun di saat yang sama... dia sangat menikmatinya.

Melihat rakyat jelata itu menderita, hancur, kehilangan bentuknya sebagai manusia—itu adalah kesenangan baginya.

Sosoknya adalah manifestasi dari kekuasaan bengkok dan kekejaman tanpa simpati.

Kepribadiannya…

Singkatnya, sudah benar-benar rusak.

"Menjijikkan... tapi, kurang lebih aku paham."

Jelas, ini bukan lawan yang bisa diajak bicara. Bagi dia, kami bukan makhluk yang layak dinegosiasikan, bahkan tidak pernah terpikir olehnya.

Tapi justru karena itulah... ada celah yang bisa dimanfaatkan.

"Waktunya gak banyak. Ayo, gerak cepat."

Aku menyalakan rokok, menyuntikkan sedikit semangat ke kepala yang masih pusing.

Lalu, aku mulai bersiap—untuk membunuh makhluk itu, yang akan segera datang... demi membunuh kami.

Beberapa menit kemudian, pintu belakang gerbong dapur didobrak oleh tekanan brutal.

"Dia datang..."

Kami bersembunyi di balik meja dapur. Di sebelahku, ada satu panci stockpot besar yang dibalik.

Di sampingnya, Cronica sedang meringkuk. Untukku, tidak ada tempat bersembunyi.

Ujian pertama: selamatkan diri sendiri dulu—itu prioritasnya.

Dan kemudian, mereka muncul para penumpang dari gerbong belakang berduyun-duyun masuk ke dapur.

Tapi keadaan mereka...Begitu menjijikkan sampai tak sanggup lagi kulihat langsung.

Mereka menyerupai kaktus merah darah, tubuh dipenuhi duri besar yang mencuat ke segala arah.

Namun yang paling mengerikan: mereka masih hidup. Duri-duri itu menancap ke dalam, menghujam sistem saraf mereka—menyetrum, menyiksa, memaksa mereka terus berjalan.

Pawai kematian para manusia berduri itu berhenti tiba-tiba di tengah dapur.

Lalu semuanya mulai gemetar. Tak beraturan. Tak wajar. Seperti pertanda buruk yang memuncak dalam sebuah raungan... lalu:

"...!!"

Begitu aku menarik kepala untuk mengintip, mereka meledak serempak.

Duri-duri yang menyerap darah dari dalam tubuh tumbuh secara eksplosif—menyembur keluar bersama serpihan tulang dan daging. 

Ledakan brutal itu menghancurkan segalanya secara membabi buta.

Gerbong pun berubah menjadi sarang peluru. Udara menerobos deras lewat lubang-lubang baru, menyusul suara ledakan yang bergemuruh.

Dan tak lama setelah itu... Aku mendengar suara langkah kaki yang tenang—melangkahi puing-puing—disertai suara dingin, penuh iritasi.

"Kenapa diam saja...? Tunjukkan dirimu. Kau masih hidup, kan?"

Dengan tangan dan kaki yang tercabik oleh ledakan dan serpihan, aku berdiri dari balik meja dapur.

"Yah... Terima kasih saja, pakaian terbaikku jadi hancur lebur."

Tepat di sebelahku, panci stockpot yang penyok di sana-sini terangkat sedikit dari dalam—pertanda bahwa Cronica siap kapan saja.

Begitu mata kami bertemu, Grakiel langsung menyeringai dengan jijik dan mengerutkan alisnya.

"Sejak kapan makhluk rendahan sepertimu, jelata mendapat izin untuk membuka mulut kotormu di hadapanku? Tak termaafkan. Sangat tak termaafkan. Karena itu, aku akan membunuhmu."

"Harusnya aku yang ngomong begitu, dasar bajingan landak berduri."

Dengan marah, aku mengarahkan pistol ke wajah sombongnya, meskipun aku tahu itu tidak akan mempan.

"Kau tahu tidak, bangsawan macam kalian sekarang sudah resmi jadi hama masyarakat. Dan meski ini bukan tugas resmi warga negara yang baik... aku akan jadi pembasmimu hari ini."

Sengaja kutebar provokasi berlebihan karena aku tahu itu ampuh.

Cronica telah memberitahuku lewat mata kirinya: Makhluk ini mabuk akan penderitaan dan keputusasaan manusia, bangga pada superioritasnya yang menjijikkan.

Dan jika harga dirinya tergores, dia pasti akan bereaksi. Dia pasti ingin menghancurkanku sekejam mungkin, demi memuaskan egonya.

Tanganku yang memegang pistol mulai bergetar, bukan karena akting, tapi murni ketakutan.

Dan dia langsung menanggapinya dengan tawa sinis yang terdengar seperti mengejek kegagalanku hidup.

"Heh... jangan sok berani, makhluk rendahan. Takut, ya? Kau gemetar."

"Tentu saja takut. Ini pertama kalinya aku ngobrol dengan landak yang bisa ngomong."

Kutimpali ejekan dengan nada dingin, dan kurasakan aura pembunuh yang tak terlihat mulai terfokus ke arahku.

Dia sudah memutuskan. Dia akan mempermainkanku, membuatku merangkak, mendengarkan ratapanku, lalu membunuhku dengan perlahan.

"...Hey, makhluk inferior. Aku baru saja berubah pikiran. Demi keberanianmu itu, aku akan memberimu kesempatan. Satu-satunya peluang untuk hidup."

Dengan suara tenang namun dibalut aura pembunuh yang kental, Grakiel melanjutkan:

"Serahkan gadis kecil yang kau sembunyikan di bawah kakimu. Lakukan itu, dan aku akan membiarkanmu hidup."

Aku hanya tertawa kecil sebagai jawabannya.

"Kau payah dalam berbohong."

"Apa…!?"

"Kalimatmu barusan... tidak tulus. Dan wajahmu, penuh ekspresi. Kau sebenarnya ingin melihatku hancur karena dikhianati... Benar, kan?"

Wajahnya mengerut karena kesal. Duri-duri di tubuhnya mulai merayap.

Datang!

"Sekarang, Cronica!!"

Aku menembakkan peluru sambil menjatuhkan diri ke balik meja, menghindari serangan duri yang ditembakkan ke arahku.

Tentu saja, peluruku meleset. Tapi itu tidak penting—tugasku hanya satu: mengalihkan perhatiannya sampai akhir.

Saat itu, Cronica bangkit menggantikanku, dan dengan kedua tangan, ia melemparkan sesuatu ke arah kaki Grakiel.

Benda itu berat bagi lengan mungilnya. Maka benda itu terlempar dalam gerakan berputar, membentuk parabola yang canggung menuju sasaran...


『...Beneran, aku cukup melempar ini aja?』

『Iya. Jangan sentuh sembarangan. Sampai saat digunakan, kita lindungi pakai panci stockpot itu. Kalau gagal... kita berdua bisa meledak.』

Cronica memandang benda itu dengan tatapan penuh keraguan yang sangat jelas.

『Kereta ini barang bekas dari Kekaisaran Uap Elbion. Jadi, dapurnya juga masih pakai perlengkapan standar dari sana, tanpa ubahan.』

Sambil mematikan kompor, aku mengangkat panci kecil yang tadi dipakai memasak.

Di atas tutup ulir yang rapat tertutup, terdapat lubang kecil dengan lonceng uap yang segera kututup rapat-rapat dengan sumbat.

『...Itu sebenarnya apa?』

『Stew tadi... enak, kan?』

Sambil tetap membelakangi Cronica, aku mulai menjelaskan dengan nada seperti sedang membacakan trivia yang kudengar entah dari mana.

『Di dalam kereta yang sempit dan terus berguncang, panci besar yang bisa tumpah sangat merepotkan. Karena itu, masakan rebusan saat perjalanan biasanya dimasak pakai ini. Kecil, bisa ditutup rapat, dan yang paling penting bisa melunakkan bahan makanan dalam waktu singkat tanpa harus bikin penumpang nunggu lama.』

Kuketuk perlahan tutup panci yang menggelembung karena panas, memastikan besarnya tekanan di baliknya.

『Panci presto. Kalau kau salah pakai benda ini──』


Apa yang akan terjadi?

Jawabannya ditunjukkan secara nyata—sekarang juga.

Grakiel bereaksi wajar terhadap benda yang melayang pelan ke arahnya. Ia memanjangkan duri dan menancapkannya, lalu melempar balik. Jika itu hanya pelempar biasa, tindakannya mungkin efektif. Tapi dalam kasus ini, itu adalah kesalahan fatal.

"!!"

Sesaat sebelum suara ledakan dahsyat bergema, aku memegang Cronica dan menjatuhkan diri ke lantai bersamanya.

Aku tak perlu melihat untuk tahu apa yang terjadi. Cairan rebusan dan tekanan tinggi di dalam alat masak super panas itu, terlepas lewat lubang kecil yang tertembus duri—meledak keluar sebagai kekuatan penghancur yang mengerikan.

Kekuatan ledakan tunggal itu tak kalah dibanding “manusia duri” sebelumnya. 

Menyingkirkan dengungan telinga akibat ledakan, aku mengangkat kepala dan melihat ke depan. Grakiel menancap di dinding dalam gerbong dengan separuh tubuh bagian kanan hilang. Penutup panci menancap di wajahnya, dan lehernya terpelintir patah ke samping.

Namun, aku tahu… itu belum cukup untuk membuatnya mati.

Aku melompati meja masak yang sudah setengah hancur dan menerjang. Dengan sekuat tenaga, aku menghantam tubuhnya dengan tendangan. Dinding yang sudah rapuh pun tak sanggup menahan, dan Grakiel akhirnya terlempar ke luar gerbong.

"Maaf, tapi kau turun di sini."

Tukang siksa berlumuran darah itu terpental mundur, memantul beberapa kali di atas kerikil, lalu terseret masuk ke dalam neraka roda kereta yang sedang berputar.

Suara mengerikan daging dan tulang yang dilumat terdengar begitu jelas. Serpihan tubuh dan cipratan darah memancar ke udara, lalu segera mengalir ke belakang, menghilang dari pandangan seiring kereta terus melaju.

Dan aku pun merasakan kekuatan mengalir keluar dari tubuhku, seketika.


Part 10

"Kerja bagus, Linus. Kita berhasil."

"Semoga saja… Ugh, sial, kepalaku masih pening."

Dengan langkah ringan, Cronica muncul dari pintu penghubung di depan. Dari balik perban, sepertinya pendarahannya sudah berhenti. Seperti yang dia bilang, memang makhluk yang tangguh.

Beberapa menit telah berlalu sejak kejadian itu.

Kami meninggalkan gerbong dapur yang kini terbuka lebar dan berpindah ke gerbong penyimpanan batu bara di depan. Bersandar pada kontainer arang yang berjelaga, aku duduk dan bertanya,

"Ke mana saja kau tadi?"

"Ke ruang mesin. Aku memberi perintah baru ke masinis."

Tampaknya saat aku tak sadarkan diri, dia menggunakan para juru masak yang dikendalikannya untuk memanggil para masinis, dan memerintahkan mereka agar tetap menjalankan kereta tanpa menghiraukan kekacauan.

Sambil mengangguk seadanya, aku membuka botol obat stimulan.

Entah efektif atau tidak untuk luka, untungnya setiap gerbong dilengkapi obat-obatan sederhana untuk penumpang yang sakit.

"Mau minum juga?"

"Aku nggak suka obat," jawab Cronica sambil menggeleng.

“Ada juga sisi kekanakan,” gumamku, dan dia menendang lututku ringan. Yah, setidaknya dia terlihat sehat.

"Kalau gitu, aku mau balik dulu ke gerbong penumpang sebentar. Aku ninggalin barang-barangku di sana."

Ujung roknya yang hitam berkibar saat ia melangkah melewatiku. Tapi aku ingat, kopernya yang dipakai jadi tameng waktu itu, sudah penuh lubang. Rasanya tak mungkin isinya masih utuh.

"Benar juga… Mungkin semua pakaian ganti di dalamnya udah hancur. Tapi tetap aja, ada barang penting lain di dalamnya."

"Barang penting?" tanyaku sambil menatapnya tanpa pikir panjang.

Cronica terdiam sejenak sebelum menjawab, "Buku harian. Aku nulis perjalanan ini sejak awal."

Itu satu-satunya benda yang tak bisa dia abaikan, walaupun penuh lubang sekalipun.

Buku harian. Mendengar kata itu, seolah aku hampir mengingat sesuatu… tapi kepalaku masih terlalu pusing untuk menghubungkannya.

"…Tunggu. Aku ikut. Aku juga punya barang di sana."

Lagipula, aku masih butuh obat tambahan. Luka-lukaku terasa semakin perih. Kalau beruntung, mungkin ada tingtur anestesi kuat di salah satu gerbong. Begitu aku berdiri dengan goyah—

"Benar. Meski begitu, setidaknya biar kuucapkan terima kasih… Aku nggak menyangka ini akan berhasil."

Mendengar kata-kata Cronica saat ia menoleh, jawabanku sudah pasti.

"Karena uang."

"Pembohong."

Dengan mata kirinya tetap terpejam, Cronica menyunggingkan senyum malu-malu yang tak biasa.

"Karena kamu pembohong, aku nggak akan percaya kata-katamu itu."

Sudah kuduga. Aku hampir saja membalas dengan gumaman sinis—Terserah, bilang saja sesukamu—ketika tiba-tiba, tubuh ringan itu menyentuh dadaku.

Seketika, seolah ia memelukku dan aku terdiam, kaget oleh sentuhan itu—

Mendadak, sensasi panas menembus perutku.

"────!!"

"A──… ah, L-Linus…!!"

Saat kuturunkan pandanganku, ujung sebuah pasak berdarah yang menembus perut Cronica kini juga menancap di tubuhku, menembus punggung.

Rasa ditekan yang menghancurkan, seperti isi tubuh dikoyak dari dalam, membakar seluruh sarafku dalam sekejap. Pandanganku berputar liar. Saat aku merasa kakiku tak lagi menyentuh lantai, sebuah hentakan dahsyat menelusuri tulang belakangku.

Ternyata kami ditembak, pasak itu telah menembus kami berdua dan menghempaskan tubuh kami ke arah kontainer batu bara, hingga tertancap di dinding logam layaknya serangga spesimen.

Dengan Cronica masih berada dalam pelukanku, kami tertusuk bersama. Tapi aku tak punya tenaga, bahkan untuk mengkhawatirkan gadis di pelukanku.

Dari lantai yang retak, sesuatu mulai merangkak keluar—makhluk asing, bentuknya menjijikkan.

Dari tubuh atas yang sebelumnya hancur, dan separuh bawah yang terpotong, ratusan duri terus tumbuh dan bergeliat tanpa henti, membentuk kembali tubuhnya dengan cara yang amat tidak wajar.

Bersama suara gesekan logam yang menyengat, kereta pun terhenti. Mungkin sambungannya rusak.

Tapi itu tak penting. Dalam ruangan yang kini terdiam, hanya satu hal yang jelas terasa:

Kebencian murni—pekat, berat, tanpa cela menyelimuti udara di sekitarku.

"……Kenapa, hah!? Jawab aku, dasar ras rendahan!. Kenapa aku, yang jauh lebih mulia darimu, harus… harus menjadi yang di bawah!? Di dalam kotak bau yang berguncang, penuh dengan manusia ternak sepertimu, dan dari semua tempat… kenapa harus di bawah roda! Kenapa aku harus dilindas──! Hah!? Ini semua salahmu, dasar serangga menjijikkan!!"

Menghadapi aura mematikan, ia mengangkat kepalanya, aku sadar betul, jauh di dalam pikiran: Aku akan mati di sini.

"Aku tak akan membiarkanmu mati dengan mudah. Kau melanggar hukum. Kau melawan kehendak 'Sang Raja' yang telah menetapkan aku di atas dan kau di bawah... Maka kau akan menerima hukumanmu."

Sekejap kemudian, kedua tangan dan kakiku ditembus oleh duri-duri, menancap sampai ke tulang, mengikat tubuhku mati-matian.

"〈Dain Weedle, Iblis Kematian〉──Bersiaplah menerima nasibmu, ras rendahan. Dengan racun duriku ini, akan kutancapkan kau di dasar neraka… untuk selamanya!!"

Duri yang menancap di dahiku perlahan-lahan mulai menanamkan akar panasnya ke dalam, menebarkan rasa sakit tak terlukiskan. Suara teriakanku, yang terdengar asing bahkan di telingaku sendiri, mengguncang kerongkongan. Seluruh tubuhku bergetar hebat, seperti akan patah.

...Mungkin ini adalah ganjaran. Hukuman yang pantas untuk seorang penipu yang seumur hidupnya menipu dan memanfaatkan orang lain demi keuntungan. Saat memikirkannya seperti itu, entah kenapa aku merasa bisa menerima semua ini.

Dalam kesadaranku yang mulai memudar, satu-satunya hal yang tersisa hanyalah rasa sakit yang membuat gila dan aku sudah kehabisan cara untuk melawannya. Segala hal yang bisa kulakukan, sudah kulakukan.

Jadi anehnya, aku tidak merasa menyesal—bukan… tapi, harusnya aku merasa menyesal.

Karena aku adalah penipu. Sampah manusia yang akan melakukan apapun: demi uang, dengan uang, melalui uang, untuk uang. Jika aku mati sebersih ini… itu pasti ada yang salah.

Mataku turun menatap sosok gadis yang juga tertusuk bersamaku.

Ke arah mata kirinya, tempat uangku tidak akan pernah kembali—atau mungkin… mungkin di dalam sana, tersembunyi “diriku yang sebenarnya”—aku berusaha menaruh pikiran terakhirku.

Namun di saat itu, dunia yang menggelap menunjukkan satu hal terakhir:

Sebentuk kristal ungu yang dibasahi panas tembus pandang, menatapku dengan tenang.

"────!!"

Tatapan kami bersilangan. Sesuatu mengalir melalui retinaku dalam sekejap, mengguncang otakku hingga ke akar.

Itu jauh lebih menusuk dari rasa sakit yang hendak menghabisiku. Dan lebih mematikan dari kegelapan yang hendak menelanku. Yang datang padaku bukan sekadar kematian—melainkan… kehampaan yang terlalu dalam untuk bisa dipahami.

…Dan lalu, aku jatuh.

Ke mana? Aku tidak tahu. Kegelapan yang menyelimutiku begitu pekat hingga tak bisa dipahami.

Tapi apa itu? Aku mencoba mengungkapkannya dengan kata-kata—terlalu sederhana untuk diungkapkan dengan kata-kata.

Tak ada pemahaman. Tak ada empati. Kekosongan yang benar-benar absurd dan tak berarti itu perlahan mengunyah dan melumat diriku, menghapus keberadaanku seutuhnya.

Wajahku, namaku, hidupku—semua yang membuatku menjadi “aku” dilucuti.

Sisa-sisa dari apa yang dulunya aku pun kini menjadi bukan siapa-siapa, dan meluncur jatuh menuruni lereng kehancuran yang tak berujung.

──Tidak, tapi… tunggu sebentar.

Jika aku sadar akan itu semua… maka siapa sebenarnya aku yang sedang menyadarinya ini?

Dan saat itulah…Dari dalam diriku sendiri—dari sesuatu yang tanpa keraguan adalah “aku”—aku mendengarnya.


Part 11

Aku berteriak, “Berhenti!” Aku memanggil namanya.

Sebelum sadar, kehangatan basah telah mengalir menuruni pipiku.

“Linus…!!”

Luka yang terus menembus dan menyiksa tubuhku tak sebanding dengan panas yang membakar dadaku—saking sesaknya, aku hampir tak bisa bernapas.

Aku tak mengerti. Kenapa aku begitu terguncang oleh kematian seorang penipu yang baru saja kutemui?

Dia pembohong, egois, rakus akan uang, penuh perhitungan—manusia yang sama sekali tidak pantas untuk dikasihani. Aku tahu itu, karena aku pernah melihat jiwanya.

Namun tetap saja, aku tidak ingin dia mati. Aku tidak mengerti diriku sendiri.

『Kamu sedang berbohong, kan?』

Saat itu aku hanya iseng. Hanya rasa ingin tahu. Hanya sedikit usikan, itu saja.

『"Mulai sekarang, kita akur, ya, Linus."』

Aku minta dia menemaniku dalam perjalanan, ini hanyalah jalan memutar yang kulakukan atas dasar kesenangan sesaat.

Karena pada akhirnya, aku tahu ke mana semua ini akan berakhir. Sejak awal, jalan ini sudah ditakdirkan runtuh. Dan di ujungnya, tak ada apa-apa selain kehampaan dan ketiadaan. Itu satu-satunya hal yang selalu aku tahu.

Namun, meski begitu… aku tetap menginginkan kenangan.

Aku ingin melihat, mendengar, menyentuh—meninggalkan jejakku, meskipun hanya sedikit, di dunia ini.

Dan sekarang… baru sekarang aku menyadarinya.

Bahwa perjalanan panjang yang kutempuh sendirian, sebagai sosok fiktif yang bukan siapa-siapa…terlalu sunyi.

Dan inilah akibatnya.

Karena diriku… dia disiksa hingga mati dengan kekejaman yang melebihi neraka.

Aku seharusnya sudah tahu. Aku seharusnya sudah bersiap untuk akhir seperti ini. Tapi tetap saja, gelombang emosi yang tidak pernah kuperkirakan kini mengamuk tak terkendali dalam tubuhku yang sudah tak bisa lagi bergerak.

“……Tidak.”

Apa yang tidak aku inginkan?

Sebuah penyesalan baru, berbeda dari segala penyesalan yang selama ini membentuk diriku, Chronica baru saja lahir sebagai emosi yang hidup. Dan penyesalan itu berteriak:

Jangan jadikan aku penyesalan…

Karena aku masih ingin—hanya sedikit lebih lama melanjutkan perjalanan ini bersamanya.

Begitu aku menyadarinya, perasaan yang meluap dari dalamku seperti menarik pelatuk sesuatu.

Dan yang terbangun karenanya adalah sebuah kekuatan yang bahkan aku sendiri tak tahu sampai detik ini bahwa aku memilikinya: kemampuan ketiga dari faktor dalam diriku.

Arah pandanganku.

Kekuatanku menghantam masuk ke dalam sorot mata pria yang sekarat itu, seolah diserap ke dalam kedalaman pupilnya, menancap kuat di sana.

“…Apa?”

Suara Grakiel yang terdengar dari belakangku bergetar, seolah ia mengungkapkan perasaanku sendiri.

Linus, yang seharusnya sudah tidak sadarkan diri, tiba-tiba mendongakkan kepala seperti habis dipukul keras—lalu roboh. Tubuhnya yang menempel padaku mulai bergetar aneh. Darah yang terus mengalir, otot-otot berlubang, dan tulang-tulang yang rusak… seakan tak lagi relevan.

Seolah makhluk lain telah merasuk ke dalam jasadnya dan memaksanya bergerak.

Dan saat itulah aku mulai menyadari, apa yang telah kulakukan padanya.

Di detik berikutnya, Linus yang seharusnya sekarat melompat seperti peluru yang ditembakkan.

Saking kuatnya, duri-duri yang menancap di tubuhnya terlepas satu per satu, membuat kami berdua terlempar ke lantai.

“!? A-Apa yang barusan──”

Tapi alasan mengapa keterkejutan makhluk itu—Grakiel—terpotong di tengah jalan, tertangkap jelas dalam penglihatanku yang menyamping:

Lengan kanannya, yang dilapisi duri merah, telah tercabik tanpa suara. Dan kemudian, pekikan seperti auman binatang buas bergema mengguncang seluruh gerbong, seolah hendak merobeknya dari dalam.

「GIAAAAAAAAAA H!!」

Suara itu bukan milik Linus Kruger.

Bukan pula milik siapa pun dari kehidupan palsu yang pernah ia perankan.

Itu adalah

〈Mata Kebenaran ― Eye of the Providence〉Kemampuan Ketiga: Mata Ketiga. Transmigrasi Jiwa dan Raga, Sebuah kemampuan untuk menyalin seluruh ingatan, emosi, dan jiwa seseorang, lalu menanamkannya ke dalam tubuh orang lain.

Tubuh yang dulunya milik Linus berubah dengan cepat, seolah-olah dilucuti dari kemanusiaannya seiring detik yang berlalu. Informasi fatal yang tertanam di retina menyebar bagaikan racun—menginfeksi otak dalam sekejap, mengalir lewat batang otak ke tulang belakang, lalu menjalari seluruh tubuh bersama darah, mengganti tubuh pria itu dari dalam, membentuk ulangnya menjadi sesuatu yang bukan manusia, bukan bangsawan… melainkan sesuatu yang lain.

Tanpa ekspresi, Linus mulai memakan lengan kanan Grakiel yang masih digenggamnya.

Duri-duri istimewa, produk dari kemampuan istimewa Regalia sang Bangsawan  dikunyah begitu saja, dikoyak, dan diubah menjadi bagian dari daging serta darahnya. Dan hanya dalam sekejap, tubuhnya pulih total, sepasang mata yang menyala liar kini mengunci pandangannya ke arah musuh.

Mungkin karena keanehan yang jelas terlihat dalam tatapan itu, Grakiel menahan napas, tampak benar-benar terguncang.

“...K-Kau, manusia rendahan! A-Apa… apa arti semua ini!? Mata itu… apa!? K-Kau, makhluk hina, b-beraninya melawan kekuatanku, kekuatan bangsawan ini—!!”

Teriakan penuh kepanikan yang ia gunakan untuk menyamarkan rasa takutnya diikuti oleh hujan duri yang ditembakkan dengan kekuatan luar biasa.

Namun, Linus menerjang lurus ke depan, tepat ke dalam badai kematian itu. Tak ada usaha untuk menghindar, tak ada gerakan licik, bahkan tanda-tanda kehati-hatian manusiawi pun telah lenyap. Ia hanya menelan seluruh rentetan duri itu, membiarkannya menembus daging dan tulang sambil terus mendekat. Dan dengan satu pukulan telanjang, ia menghancurkan ratusan duri sekaligus dan menghantam tubuh utama Grakiel hingga terpental.

Bangsawan itu terbang menembus tumpukan batubara dan terlempar melewati pintu gerbong menuju gerbong sebelah.

Linus mengejarnya dengan kedua kaki yang melesat seperti pegas yang dilepaskan.

Di atas puing-puing yang berserakan, Grakiel tersungkur, tak berdaya. Linus merobek lengannya, menghancurkan kakinya, lalu membabat semua duri yang menjalar keluar—tanpa rasa takut, tanpa belas kasihan. Ia membongkar tubuh itu seperti mesin penghancur yang dingin, hingga tak tersisa.

──Dan aku hanya bisa menatap, terjatuh tak berdaya, menyaksikan semuanya.

Dalam pikiranku yang panas dan gemetar, potongan-potongan pengetahuan terlarang mulai tersambung, membentuk satu kesimpulan mengerikan.

Regalia, Faktor Darah Bangsawan adalah elemen pewarisan tak berbentuk. Ia terhubung pada jiwa melalui aliran darah manusia, dan mengubah tubuh menjadi sosok bangsawan melalui bentuk kehidupan parasit yang dikenal sebagai Parasite Monarch.

Namun, hal yang kutanamkan ke dalam dirinya melalui mata kiriku tadi itu bukan sekadar faktor darah.

Karena aku bisa melihatnya dengan jelas. Di dalam tatapan mata baru Linus yang telah berubah… menggeliatlah suatu kegelapan.

Itu bukan jiwa manusia biasa. Bahkan bukan jiwa seorang bangsawan.

Kegelapan itu…

Itu adalah Asal-usulku. Tanah kelahiranku. Tempat terkutuk yang seharusnya tak pernah ada…

“…A… Aah…”

Dari bibir yang berlumuran darah, meluaplah ratapan penuh penyesalan atas dosa yang tak bisa diperbaiki.

Kehidupan seorang pria bernama Linus baru saja berakhir. Secara total.

“Gah…! Guh, oooooh! K-Kau… kaulah penyebabnya, AAAAARGH!!”

Teriakan menyayat dari si algojo memutus keputusasaan dalam pikiranku. Grakiel, dengan wajah penuh ketakutan, memuntahkan hujan duri bertubi-tubi, memaksa tubuh Linus terpental dan terlempar jauh menembus atap gerbong.

Dan saat napas terengah-engah, sorot matanya yang merah penuh kebencian kini beralih padaku.

“Kau…! Kau, bukan?! Kau yang melakukan ini! Apa yang telah kau perbuat, dasar sel kanker terkutuk, Doro Cancer!! Apa yang kau lakukan pada manusia rendahan itu──”

“Diamlah… Aku akan memberitahumu, jadi… jangan bicara lagi.”

Seolah ingin mengakhiri segalanya, aku melemparkan seluruh pengetahuan yang kumiliki langsung ke dalam mata bangsawan malang itu.

Apa itu Raja. Apa itu Faktor Darah Bangsawan—Regalia. Dan apa sebenarnya para bangsawan seperti dirinya ini.

Saat Grakiel yang secara tak sengaja telah mengetahui seluruh kebenaran mencerna semuanya, ekspresi di wajahnya menghilang. 

Sebuah tinju seukuran bola meriam menembus wajahnya yang pucat pasi.

Sosok buas menerjang dari atap gerbong yang jebol, menubruk buruannya seperti hewan buas dan merobeknya berkeping-keping. Dengan kecepatan yang melampaui regenerasi duri, Linus membongkar tubuh bangsawan itu—mencabut lengan, menghancurkan kaki, mematahkan seluruh duri yang menjalar, lalu mencabut kepala dan dada seperti mengangkat patung.

Dan akhirnya, suara daging remuk terdengar saat kedua tangannya menggenggam sisa-sisa tubuh itu dan menghancurkannya.

Berapa lama dia mengorek dan mencabik-cabik sisa darah dan otak yang berserakan di kakinya… aku tak tahu.

“…Linus…”

Saat akhirnya keheningan kembali menyelimuti gerbong, aku menatapnya.

Linus berdiri mematung bak boneka putus tali. Matanya kosong, tak memantulkan apa pun. Pikirannya telah mati lebih dulu. Tubuhnya, yang telah mengalami mutasi hebat, tak akan lama lagi menyusul dan hancur sendiri.

“Maafkan aku…”

Permintaan maaf yang tak akan pernah sampai, hanya kebohongan yang diteteskan bersama air mata, jatuh ke lantai. Dan saat itulah—

“──Eh?”

Lengan Linus, yang seharusnya tak lagi bergerak, mulai gemetar perlahan. Ujung jarinya yang seperti tersesat di kehampaan mulai bergerak, lalu perlahan mengarah ke wajahnya sendiri. 

Seolah menemukan sesuatu yang tak kasatmata. Jari-jarinya menggenggam sesuatu yang tak terlihat, sebuah ketebalan yang tak ada…

“Yang.. Benar saja…”

Terdengar seperti suara sesuatu yang koyak. Dari dalam dirinya, kegelapan tanpa wajah terkupas dan jatuh.

Suara serak menyelinap lewat keheningan, menyentuh gendang telingaku yang membeku karena terkejut.

“Balikin… uangku.”


Part 12

Aku mendengarnya.

Suara koin.Suara uang yang tak pernah ada, masih terus bergema, sejak hari itu yang telah lewat bagai lonceng peringatan. Seolah berkata bahwa “Aku” harus kembali menjadi diriku sendiri. 

“Yang.. Benar saja…”

Aku menyentuhkan jari pada ujung kegelapan yang mencoba menenggelamkanku, pada batas tipis yang disebut topeng.

“Balikin… uangku.”

Saat ujung jariku akhirnya merobeknya, rasa lega yang menyelimutiku begitu kuat hingga aku hampir tersedak.

Di tengah dunia yang akhirnya kembali berwarna, aku menatap wajah seorang gadis yang berdiri membeku. Ingin kukatakan sesuatu padanya. Tapi dengan kepala yang masih diliputi kekurangan oksigen, bahkan satu kalimat sarkastik pun tak muncul di pikiranku.

Jadi, yang bisa kulakukan hanya mengklik lidah—tsk.

“Mengapa… kenapa… kau bisa kembali…?”

“Entahlah… Mungkin karena aku bertarung mati-matian, makanya aku juga gak ingat lagi ngapain, atau apa yang sebenarnya terjadi…Tapi satu hal yang pasti—aku menang.”

Aku bilang akan membuatnya pasang wajah kalah, kan? Mungkin hasilnya tidak terlalu jelas, tapi cukup sepadan. Karena aku sempat melihat wajah cueknya itu berubah terkejut. Itu sudah cukup bagiku.

Tepat di saat itu juga batas ketahananku pecah. Seluruh persendianku menjerit seperti boneka yang rusak, dan kedua kakiku, yang tak mau menopang berat tubuh lagi, menyerah begitu saja. Tubuhku roboh, telentang ke lantai.

Dan tepat ketika aku hendak melemparkan kesadaranku yang baru pulih ke dalam kekacauan yang berat, lesu, dan berlumpur itu, kejadian itu terjadi.

Suara tawa Cronica meledak bagaikan peluru, menggema di gendang telingaku.

“Ha, haha… fu, fufufu… ahaha… ahahahahaha──!”

Refleks aku mendongak, hanya untuk melihat gadis itu membungkuk sambil memegangi mata kirinya—terbahak, terguncang oleh tawa yang meledak seperti letusan.

Dia tertawa. Menertawakan. Mekar dalam tawa. Bahu mungilnya bergetar begitu hebat, seakan hendak hancur dalam setiap gelombang emosi yang entah bagaimana hanya bisa kupahami sebagai kegembiraan. 

aku sempat meragukan pandangan mataku sendiri. 

Apa sih, yang membuatnya sebahagia itu?

Apa karena dia masih hidup? Bukan. Intuisiku langsung menolaknya. Reaksi ini… bukan sekadar lega karena selamat.

Belum sempat pikiranku menyusuri jawabannya lebih jauh, dia berkata, “Aku… sungguh… sungguh bersyukur… bisa bertemu denganmu…”

Melihat gadis itu tercekat karena kegembiraan membuatku tak bisa berkata-kata.

Darah yang mengalir dari mata kirinya yang terbuka lebar, seperti air mata, sungguh tak terbayangkan. Setiap pembuluh darah yang terlihat di bawah matanya telah pecah, dan retakan merah tanpa ampun terukir di wajahnya yang pucat, seperti boneka porselen yang retak.

Namun, Cronica tampaknya tidak kesakitan saat itu.

Dengan tangan yang lembut membelai mata kirinya yang terlika, bibirnya itu bergumam pelan, seolah sedang mengucap berkah. Tapi aku… benar-benar tak mengerti apa maksudnya.

“Karena kamu itu… penipu.”

Namun dia… mengucapkan terima kasih padaku dengan tulus.

“Karena kamu itu… keras kepala, nggak pernah jujur, nyebelin banget… dan juga… seorang pembohong kelas berat, yang bahkan sanggup mencabik wajah yang seharusnya nggak pernah ada…tapi berkatmu, akhirnya aku bisa—"

Kalimat itu menggantung. Lalu, dengan senyum berlumur darah yang anehnya begitu terang, ia melanjutkan:

“…melihat tujuan dari perjalanan ini. Aku tahu, ke mana akhirnya.”

Mata itu tak sedang memandangku. Tak pula menatap ke dalam hatiku. 

Melainkan—seakan menatap jauh… sangat jauh… ke tempat yang bahkan lebih jauh dari samudra itu sendiri.

──Beberapa saat setelah itu.

Dengan ragu, aku memanggil gadis yang akhirnya berhenti tertawa.

Suara peluit dan denting roda kereta sudah lama lenyap tanpa jejak. Cahaya senja yang berwarna merah tua menyelinap masuk lewat celah-celah dinding yang berlumuran darah, menyinari tubuh sang gadis dalam bayangan kelam.

“Eh… jadi, sekarang… kau mau ke mana?”

Dengan sisa darah kering masih menempel di pipinya, tersapu oleh senyuman, Cronica menjawab:

“Sudah kukatakan, kan? Kita akan ke laut. Tentu saja, kamu juga ikut.”

Baru saja aku hendak memprotes bahwa itu akan merepotkan, Cronica langsung menyela, berbicara dengan nada seolah sedang bernyanyi.

“Tapi sebelum itu, kita kan baru saja ngalamin hal yang mengerikan, ya? Jadi kita harus istirahat dulu. Aku ingin ke tempat yang ada air hangat buat mandi~, tempat tidur empuk, dan kalau bisa… penginapan yang pemandangannya indah!”

Sambil berkata begitu, Cronica mencubit ujung bajunya yang compang-camping dan menghela napas seperti orang kelelahan.

Ia menggumam bahwa dia harus mengambil kembali kopernya yang tertinggal di gerbong penumpang. Tapi sebelum ia pergi, aku kembali memanggilnya dan berkata:

Daripada dia menuntut hal-hal yang tak mungkin bisa didapat di penginapan murah pedesaan yang akan kita tempati malam ini, lebih baik aku memberinya sesuatu sekarang.

“Kalau cuma pemandangan… itu bisa kuturuti sekarang juga. Hadap ke samping.”

Begitu kata-kata itu keluar dari mulutku, Aku memaksakan tenaga ke kakiku yang gemetar dan menendang dinding gerbong yang penuh lubang. Rangka dua-dimensi berkualitas rendah yang sudah rusak itu roboh ke belakang seperti bangunan tiruan,  dan sebagai gantinya, sebuah pemandangan terbentang  di depan mata Cronica yang terpana.

“…Bohong.”

Di barat—arah laut—matahari merah menyala sedang tenggelam, tepat saat menyatu dengan puncak-puncak terjal Pegunungan Tengah yang putih dan curam. 

Angin gunung yang membawa guguran daun menerpa masuk, membuat rambut panjangnya berkibar.

Entah berapa lama gadis itu menatap langit senja yang meleleh itu, dengan mata beriris warna aneh yang berbeda dari kebanyakan orang.

“Terima kasih.”

Aku pura-pura tidak mendengar ucapan terima kasih yang ia berikan sambil menoleh dan tersenyum padaku.

Ilustrasi Terakhir Masquerade Confidence~ Sagishi wa Shoujo to Kamen Shikake no Tabi o Suru Chapter 1 | Yomi Novel
Info!

Jika kalian Bingung dengan Tata Letak situs, Silahkan Cek ke sitemap

Bab 1 – Wild Bunch 

Part 1

In my opinion, con artists and banks are like cousins.

From the brief ‘marriage’ I left behind last night, all I managed to take with me were a few dozen pieces of jewellery and the deeds to a house and some land. If all these ‘spoils’ were exchanged for legal tender, they would probably be worth around five thousand pounds.

However, of course, I couldn’t just casually exchange these items—which seemed to scream “stolen goods!”—for cash. Therefore, additional work would be needed over the next few days.

Travelling along the muddy, horse-manure-scented roads in the eastern region, I sold the items bit by bit, cleansing them one by one.

The exchange locations were always the same: shadowy banks built on the outskirts of the city—or even in remote areas without roads—to avoid prying eyes. There, anything could be used as collateral to obtain money: from stolen goods to someone’s wife.

“This is the deed to the land and house. It’s located in a remote village called Stillfield. The building was constructed just a year ago.”

In a building that looked like no more than an old barn from the outside, I showed the documents through a small window, like a counter.

From the dark room behind it, a man emerged—who looked more suspicious than the place itself—and said,

“Heh… You’ve brought a rare item. Are you some kind of robber?”

“It’s up to you what you think I am. Even if there’s someone else’s blood on it, what matters is that it’s genuine. Just cash it out quickly.”

In exchange for the documents, he handed over a crumpled, nearly torn piece of paper money.

That was black money—known as “Wild Money,” an illegal currency not issued by the government.

With the implementation of banking liberalisation, anyone could now print their own money with their face on it. No wonder the country was flooded with “wild money” like stray dogs. How many types were there? At least hundreds.

That’s why stolen goods or dirty money are safest when laundered through a black-market bank into black money. That way, its origin can no longer be traced.

But still…

“...Just this much?”

The money I received was so limp it easily folded between my fingers.

“Yes. We take the risk, so that’s the price we have to pay. Besides, this is eighth-grade money. You’re lucky to get that much, you know?”

The money had an exchange rate of around 80% of the official currency. But compared to the value of the stolen goods themselves, the amount was still small.

There was no other choice. With a frustrated click of my tongue, I slipped the money into my jacket.

That’s when I suddenly remembered something I had long forgotten—the ring on my left ring finger.

“...Oh, and this too.”

I took off the ring and placed it on the counter.

The wedding ring, which had lost its meaning, now looked like it had just been pulled off a corpse’s finger.

After a few days, all the loot was finally cleaned up.

Then, with a face as if I had just brought in the monthly sales, I walked into a Free Bank—a legal and free bank in the city centre—and piled a stack of money on their counter without a second thought.

“I want to transfer. The destination is Smith Bank, the capital city. The name and account number are…”

Thus, the illicit money—now at least cleaner than sewer rats—would be converted into official pounds through this bank and sent to one of my fake accounts registered under an alias.

While handling the transaction, I glanced behind the counter, stealing a peek inside. There, a large round safe door was securely anchored to the brick wall.

The bank is the cousin of the con artists.

People trust the contents of that luxurious vault, so their paper money holds value. Even though the vault might be empty—or contain nothing but a worthless piece of paper—as long as no one knows, everything is fine.

Trust is what creates money—just like in a scam. Thus, banking can be called a legalised form of fraud. And the only reason it is legal is because society needs it.

A society that does not trust the value of money is a society that can only transact through barter, like in ancient times. Since that is too cumbersome, humans eventually had to submit to money.

“Thank you. The total amount is 3,600 pounds, 11 shillings, and 7 pence. We will deduct 3% as a service fee; please understand.”

“Please assist me.”

With light steps, I turned and left the building that was too grand for its purpose.

Once one task was completed, the sound of invisible coins jingling in my head echoed. That loud yet gentle sound—which only I could hear—always reminded me of the value of life.

There is only one certainty in this world: money.

And I will tell you why—because money is a quantifiable value.

And because it is quantifiable, it is indisputable, clear, and real in the eyes of everyone.

A poor man with an income of ten pounds a year, and a rich man with ten thousand pounds—which is more valuable?

The only objective measure to answer that is this: money.

Not bonds, love, justice, or any kind of truth that exists only in the illusion called the heart—things that are illusory and cannot even be seen or counted.

Only money can honestly and faithfully show a person's worth.

The afternoon sun began to tilt toward the Allegheny Mountains, towering across the city.

As I walked, I lit a cigarette and tossed a coin to the newspaper vendor passing by.

“One copy of the Continental Weekly.”

“Thank you! Sir, would you like the Spring Punch Weekly too? There’s an interesting column about a marriage scam that happened in the state of Sunflon—”

“No, thanks. Not interested.”

I snatched the newspaper he offered, opening it as I continued walking along the sidewalk—looking for ideas for my next job.

I am a con artist, but that doesn’t mean I’m picky. Besides conning, I also steal, extort, or do whatever needs to be done.

Most of my colleagues prefer to stick to one specific field. But honestly, they’re just dumb dogs who keep using the same old tricks that once worked.

I’m different.

I’m always looking for new tricks, trying them out, evaluating them, improving them, and evolving.

The secret to not getting caught is hard work. Without the determination to keep learning, no job lasts long.

“Oops, sorry.”

“Be careful, young man.”

Pretending to be busy reading, I bumped into a few people while picking their pockets.

After successfully pickpocketing three people, a headline in the newspaper caught my eye—and made me stop in my tracks.

I turned around. There stood the newly opened train station. A new plan immediately formed in my mind.

“...Good.”

First step: find a wealthy target. The rest will follow.

You ask where to find them? Don’t worry.

Money comes from trust.

And because of that, the wealthy always gather in places where they will be trusted as wealthy.


If at home, they live in elite neighbourhoods.

If at a hotel, they stay in suites.

And if on a train…


…of course, they sit in First Class.


Part 2

The first train whistle had passed.

On the station platform, I sat on a waiting bench whose paint was beginning to peel and closed my eyes.

The chirping of birds from the treetops in the distance, the low murmur of footsteps occasionally passing in front of me—I blocked it all out.

I pulled my consciousness inward. Deeper and deeper into myself.

I believe that the face is the meeting point between the naked heart and the external world.

That is why human expressions can never be completely hidden.

What they are thinking, what they have felt—it’s all recorded there. Experiences, emotions, life’s journey—they all spill out onto the face.

However, if considered from the opposite perspective, it means: as long as you can affix a false truth to your face, deceiving others becomes easy.

With full concentration that nearly separates me from my breath, I continue to dream—intentionally. Creating the life of an “I” that is not myself. Weaving imaginative memories, then living them as if they were real.

Once, he had experienced this. At that time, he thought this way. He forgot something—or turned it into a life lesson—and continued living to this day.

I gave that false memory flesh called emotion, until slowly, that figure became real.

The masked life created through that process transformed me into someone else today.

Soon after, hot steam choked the sky, while the rumble of steel wheels grew closer. I stood and took my place in the neat line of first-class passengers at the front of the platform.

“Please show your ticket.”

My turn came.

Without hesitation, he handed over the ticket requested by the uniformed attendant holding a pair of ticket scissors.

With a small nod and a farewell, I—or rather, he—stepped into the carriage.

Meanwhile, behind us, came the commotion of a passenger who seemed to have lost their ticket.

***

“──So, what do you think, Mr. Willem?”

The man being addressed, a heavyset man with a striking appearance, tapped the ash from his cigar and muttered, “Not bad.”

A business conversation that “coincidentally” took place on the train. The positive response he had hoped for made “him”—John Row, a legal expert—clench his fist in satisfaction.

Behind his thin-framed glasses, the view outside the window slowly shifted from fields to mountainous terrain.

From the east to the south of the Colonial Republic, the train traveled along two hundred miles of track through the Allegheny Mountains.

The steam train—a symbol of the new post-revolution era—blew a loud whistle into the clear blue sky. The massive machine was a strategic import from the Elbion Steam Empire across the sea, purchased directly by the government.

From the luxurious first-class compartments resembling five-star hotels to the third-class ones barely distinguishable from pigsties, nearly every seat was always filled.

Train fares, once affordable only to nobles and idle rich, had dropped drastically in recent years.

With the rhythmic vibration of the steel wheels, the linen tablecloths on the tables trembled lightly.

In the dining car connected directly to first class, neatly dressed passengers were enjoying a slightly late lunch.

While asking his elderly secretary for another cigar, Willem—the portly man—finally spoke up.

“May I ask again, John. Can this story be fully trusted?”

“Of course, Mr. Willem. It is true, this is a risky investment. But this ‘fever’ will clearly persist for some time. Determining its peak is not difficult for a professional like me.”

As he opened his mouth to speak, I recalled one of the headlines I had read two weeks earlier:

“Free Trade Agreement, Soon to Be Enacted?”

Before the revolution, the Legatos Kingdom was ruled by nobles who controlled the only western coastline. They closed all sea routes, banned foreign ships from entering, and prevented their people from leaving—a total isolation system known as the sakoku policy.

This almost pathological isolationism was enforced because they feared something would leak out. But let’s set that discussion aside for now.

After the revolution, the sakoku policy was, of course, abolished. However, comprehensive free trade has yet to be enacted. Time and again, the conservative faction has successfully blocked the bill’s passage in parliament. But in recent years, the owners of latifundia—large, export-oriented plantations known as the Agrikultura—have gradually shifted the balance of power.

And that brings us back to the main headline. The news reported two weeks ago sparked a fever of speculation among the public, like a sensational epidemic. Investment in the trading industry, expected to be liberalized soon, has become a hot topic.

Even with a cursory investigation, hundreds of companies have been identified.

Most of the emerging trading companies riding this trend are almost certainly bubbles that won’t last a year.

Nevertheless, many people continue to buy their stocks. As a result, the stock market has swollen to an unprecedented level.

So who is keeping this irrational bubble inflated?

Of course: the newspapers.

It has been twelve years since press freedom replaced the era of censorship. Now, society follows only the ever-shifting trends of the day.

And that is why he, John, suggested taking advantage of it.

“All right, Mr. Willem. If necessary, allow me to explain it again.”

Seeing Willem nod, John’s eyes narrowed briefly, sensing growing confidence. He then launched into the polished rhetoric honed in the courtroom.

“If you’re willing to trust me and invest your funds, I’ll use that capital to purchase a number of bubble stocks. And regardless of how much profit I make from their sale, I guarantee a return fifty percent higher. Of course, if the profit exceeds that, you’ll also receive half of the net proceeds.”

In short, what he was offering was stock purchase representation.

Stock investment is complex. From purchasing shares issued by companies to finding buyers when reselling—everything requires individual negotiation.

That’s why the wealthy typically appoint representatives more skilled in such matters.

“You’re pretty confident, aren’t you? If the stock price doesn’t meet expectations and fails to sell, wouldn’t you go bankrupt?”

“On the contrary, I’m a cautious person... that’s why I’m confident in its success.”

With a calm tone, John—the prospective representative—continued:

“The current high prices will soon drop. But people, as always, believe whatever suits them. There will always be those who think, ‘This is just a temporary dip. It’s a good opportunity to buy more.’ …So I won’t run out of people to sell my shares to.”

“Interesting thinking. You’re preying on the foolish, aren’t you?”

“You don’t like it?”

“Of course not. I like it.”

There was still a faint—very faint—doubt in Willem’s gaze. But that wasn’t a problem. On the contrary, it was proof he wanted to believe.

And in any case, this man’s dull eyes wouldn’t be able to pierce my mask.

“...Honestly, it’s not the transaction itself that concerns me. I mean, as a layman, my real concern is just one thing—can I really trust you?”

“Of course. As you said, it’s a very reasonable question. But please don’t worry.”

That was the most logical thing to say. If John were to embezzle the investment funds or keep all the profits for himself, it would be completely pointless.

That’s why, of course, he had prepared something to alleviate those concerns.

“There’s insurance designed to anticipate such risks—especially in stock transactions. Please take a look at this: the application form for collateral applicable to transactions exceeding a certain threshold. Instead of paying taxes on profits from stock sales, the authorities provide protection against loss or embezzlement of funds. This is a special policy issued to encourage investment... You’ve never heard of it, have you?”

Willem’s eyes widened, and he nodded, looking as though he had just heard important news.

“In this case, you, Mr. Willem, will be the insured party. If I commit fraud and cause losses, you only need to take this to court, and the compensation funds will be disbursed.”

“I see... let me think about it for a moment.”

Willem stared at the official seal from the Ministry of Finance on the contract, then exhaled heavily.

“...All right. I’ll join your plan.”

“Thank you very much!”

In my heart, I clenched both fists.

The deal was sealed—or more accurately, the fraud had been successfully carried out.

“Get the pen and check. And give him a cigar, too.”

John accepted the cigar offered to him, then lit it with respect.

Giving or exchanging cigars was an old symbol of an agreement reached—

A tradition passed down from ancient times.

“What are you, really? A lawyer or a businessman? How long have you been doing this job? Do you have a family?”

“Hm, maybe ten years. My father died young, leaving behind a lot of debt. I started taking jobs as an investment agent and lawyer to pay it all off. Now I only have a wife. No children.”

I glanced at the amount on the check on the table.

At the same time, invisible coins were spinning in my mind.

My pile of money had grown another level.

A sense of satisfaction that couldn’t be put into words welled up from the depths of my stomach.

But at that moment, faintly behind the sound of the train wheels that had become the background, the sound of the door between the carriages closing could be heard.

Perhaps it was the conductor coming to check tickets. That was my guess, and I turned my head without thinking toward the sound.

“──”

Unconsciously, behind the mask I maintained, I held my breath.

Willem, who was signing the contract, didn’t notice at all.

The girl who emerged from behind the connecting door behind him was pulling a square suitcase in one hand.

Her hair flowed from her slender shoulders to her waist, displaying a stunning gradient of colors—from magenta red like a fairy to silver white like snowflakes. From her slender waist to her delicate ankles, a black lace-trimmed skirt hung lightly, enveloping her nearly fragile body.

However, it wasn’t all of that that left me spellbound.

The girl had one eye closed.

In contrast to her right eye, which was emerald green and softly glowing, her left eyelid—closed not forcibly, but gently and naturally—rested with a kind of serene confidence.

What was hidden behind it?

As if answering my sudden curiosity, the girl turned her head and slightly raised the corner of her lips.

Only a moment later did I realize—she was smiling.

And then, slowly, her left eye opened.

What was revealed there was a shimmering purple crystal pupil.

An eye as beautiful as the surface of a lake under moonlight, yet as deep as the darkness of a canyon’s depths.

The color seemed born from the mixture of her hair: amethyst forming a pair of heterochromatic eyes alongside her green right eye.

Those two eyes—different, yet harmonious—were set in a calm face like that of a porcelain doll.

I must admit, for a moment I was truly captivated by the beauty of the colors played by those eyes.

“What’s wrong, John?”

“──Ah, no, nothing. Has the gentleman finished signing? Alright. Let me check it for a moment...”

Even as I pretended to review the document, the image of that girl still lingered in my mind.

Perhaps the daughter of a noble family? But... the worn-out suitcase and the shabby leather shoes seemed out of place.

And what bothered me the most... were those eyes.

Eyes I’d never seen on anyone else.

A gaze that seemed to pierce through everything.

...No. It doesn’t matter. It’s none of my business.

I pushed all the lingering doubts out of my head.

illustration 1 Masquerade Confidence~ Sagishi wa Shoujo to Kamen Shikake no Tabi o Suru Chapter 1 | Yomi Novel

“Yes, thank you for waiting. There’s nothing wrong with the documents. In that case──”

As I calmed down and was about to mention the check──

I locked eyes again with her left eye—that amethyst eye.

“──!”

I don’t know when, but the stranger was already standing right next to my seat.

Her snow-red hair swayed gently, and with a teasing smile, she looked down at me.

“Good afternoon.”

“A-ah. Hello, ma’am. What can I do for you? I’m sorry, but could you come back later──”

Her clear voice sounded like a crystal bell wrapping around my ears—soft, yet piercing.

I was about to ignore her, but a moment later──

“You’re lying, aren’t you?”


Part 3

Tips for Lying, Number Two:

Always stay calm.

Needless to say, the atmosphere around me froze instantly.

The unexpected always happens when you let your guard down. This wasn’t the first time one of my lies had nearly been exposed. So far, every time it happened, I’d managed to cover it up and get away with it. This time, all I had to do was face it again.

So stay calm, self.

“I’m sorry, ma’am… It seems like you’ve misunderstood. On what basis could you accuse someone you’ve just met like that?”

Behind the calm façade I’d carefully maintained, cold sweat trickled slowly down my back.

But… how did she find out? I couldn’t think of a single plausible reason.

Then, without giving me a chance to respond, her small lips delivered a decisive blow:

“Ara? But isn’t that something you understand best yourself? Oh, Mr. Con Artist.”

In an instant, my stomach clenched like it was being squeezed, and my throat tightened so much I could barely breathe.

Stay calm.

Now, the most important thing isn’t whether I’ve been found out or not.

If I panic, it’s the same as admitting it.

But on the other hand, as long as I stay calm, everything can be dismissed as the ramblings of a foreign girl meddling in adult affairs.

“...Listen, foreign lady. I was discussing an important matter with this gentleman. Then suddenly you interrupted and accused me of being a fraud. That’s defamation. Where’s your guardian? I’ll take legal action—”

“Your goal from the start was only the check on that table.”

Her voice was calm yet sharp, like a knife slicing directly to the vital point.

And with a childish smile still on her face, she began to expose my lies one by one—with terrifying ease.

“The nonsense about the investment is just a cover. The insurance you mentioned is also a lie. There’s no such law in this country, and the contract you brought is definitely a forged document—the signature and seal from the ministry were crafted with meticulous precision.”

Her words—impossible for her to have heard from our conversation—were spoken with unwavering certainty.

What was actually… happening?

The shock was too great—it had surpassed the threshold of shock, and could even be called fear.

Willem began to reexamine the contract he had signed.

He realized it too.

That the girl’s voice contained something undeniable—

As if she were reading the answers to an exam whose results he already knew.

“No matter how wealthy someone is, in the end they are only human. It is those who think they can keep taking who are the easiest to deceive... fufu, how wicked you are.”

The tone of her voice sounded almost like a song.

And I, for some reason, felt as though those words were coming out of my own mouth.

As though the voice of my heart—one I had never acknowledged—had now taken the form of a little girl.

As if my conscience, which should have died long ago, had suddenly taken human form

and begun to pour out my sins, one by one.

A nightmare too perfect to be called a dream.

“……Mr. John.”

That low voice shook my eardrums.

“This is just a misunderstanding, Mr. Willem. What that girl said was nothing but nonsense, without a shred of evidence.”

Even in the final moments, John’s mask continued to play its role to the end.

But deep down, I already knew: I had lost.

Evidence or not, it no longer mattered. Humans don’t act based on facts—they act based on what they believe to be true.

Once that belief crumbles, there are no more cards to play.

Trrrk.

The sound of tearing echoed. Willem burned the check with a small lighter, then stood up.

“Indeed, there’s no evidence. But it’s enough to make me change my mind. …Whatever the truth may be, this has been an enjoyable time. At least, this train ride wasn’t boring. Thank you. I’ll be going now.”

“Ah, wait! Please wait a moment──!”

John’s shout was ignored. Willem walked away, his silhouette disappearing behind the door between the carriages.

He was leaving.

With him, the sound of coins jingling in my head—the golden sound that always whispered the certainty of victory—faded away.

At that moment, my body lost its strength and collapsed onto the seat, my buttocks hitting the cushion with a soft thump that somehow sounded terribly sad.

In my eyes, which kept flickering strangely, frustration and anger began to swirl—churning in my chest like a poisonous vortex… and for some reason, I could only watch it unfold, as if I were trapped in a nightmare that was too bright.

“Good job. Are you okay?”

On the empty chair across from me, the girl had been sitting there for who knows how long.

When I came to, my hands were already clutching the collar of her beautiful, luxurious dress.

Roughly pulling her forward, the mask named John that had been stuck to my face came off, along with the fake glasses.

And from a throat that could no longer hold back, an emotional voice erupted:

“You… what are you really?”

“Ara, you’re so aggressive… Do you have that kind of taste?”

“Damn it! Answer me, you brat—why did you mess up my plan──”

But when our gazes met again, and her amethyst-colored left eye stared directly into my soul—

“!?”

──In an instant, I was forced to release my grip, as if I’d been stung.

…I knew. It was clear now.

I couldn’t… no, I mustn’t look into those eyes again. Not a second time. Because—

“Ara, so you realized it.”

What was reflected in that left eye was… myself.

But not my physical form. My thoughts. My feelings. My memories.

Everything was displayed clearly and legibly, as if my mind were being projected onto a movie screen within that eye.

She was… looking directly into my heart.

And there was only one entity in this world capable of such a thing.

“…Regalia. The noble blood factor…! Could it be that you──!”

That was what the nobles once used to control their power.

They had guarded it with near-mad paranoia, strictly restricting access and protecting their bloodline at all costs.

Because that supernatural power—the power embedded in their blood—was everything.


Part 4

Regalia, the blood factor of nobility—

A single word to describe the intangible element of inheritance that resides in the blood of aristocrats.

In ancient times, the nobility used this special power to subjugate the common people and rule the kingdom with an iron fist.

However, the revolution marked the end of their rule. One by one, the nobles fell on the battlefield—or their heads ended up beneath the guillotine. Many bloodlines—and with them, the Regalia—were completely eradicated.

Since then, the opportunity to witness the power of the Regalia has nearly vanished from the lives of the common people. Yet the fear of the supernatural power that oppressed them for a thousand years has not entirely faded from collective memory.

That is why, amidst the tide of rejection and discrimination, only two types of nobles have managed to survive to this day:

Those who turned their backs and joined the revolutionary side—or, conversely, those who managed to hide from it all.

──It was past three in the afternoon, and most of the passengers had finished their lunch. Fortunately, no one seemed to notice our earlier argument. Neither he nor I were the kind of people who could freely show ourselves in public.

“What business do the remnants of nobility like you have with me… Do you hold a grudge against me, huh?”

With a downcast gaze and a voice suppressed as deeply as possible, I spat out the question.

“Grievance? Not really.”

His answer was light, as if it were a trivial matter. Those small, perfect lips uttered it without hesitation.

“It just so happened that when our gazes met, I felt you were a bad person. And it seemed enjoyable. That’s all.”

My anger, which had been boiling to the brink, nearly erupted—but at the last second, I swallowed it back down.

While I was still unsure what to say, her slender fingers reached out to pick up the menu from the table.

“Still angry? Let me tell you, when you’re upset, the best remedy is… good food.”

Without permission, she pressed the waiter’s bell. The distinctive high-pitched ring cut through the roar of the train whistle and the clatter of steel wheels. Soon after, a bellboy approached us.

“Can I help you, Ma’am?”

“Yes. Two glasses of water, and… hmm, any recommendations?”

The girl began placing her order casually, no longer paying attention to me.

And somehow, her left eye—that amethyst eye—had closed tightly again, as if nothing had ever happened.

“Today we have premium beef. That’s why the head chef of this carriage has prepared it with all his heart into beef stew. We highly recommend you try it.”

“Alright, I'll have one portion of that. Add some bread too, please.”

“With pleasure.”

After finishing her order, the girl pointed to her closed left eye and continued:

"Eye of Providence, Eye of Truth. This is the power of my Regalia—the left eye that can see into the souls and hearts of others... But its power won’t work if the opponent doesn’t look directly into the eyes. So, you don’t need to be too cautious, okay?”

“Don’t be so reckless!”

No liar could remain calm if their true feelings could be exposed with just a single glance. It felt no different from being held hostage with a knife to the throat—impossible to feel at ease.

Ignoring the turmoil within me, the girl began introducing herself without being asked.

“My name is Cronica. For various reasons, I’m on a journey.”

No girl would travel alone without a reason. But Cronica didn’t explain her reason at all.

“I’ve never seen someone like you before.”

She ignored the context of the conversation and stated it as she pleased.

“You’re like wearing a mask—attaching another face over your own soul. But… that’s all I can read. I can’t see the deepest part behind the mask. So, what are you really hiding inside there?”

“...What are you talking about?”

I didn’t understand what she meant. But deep in my mind, an alarm rang—loudly and uncomfortably.

This girl... those eyes... dangerous. Run. Now.

My heart was pounding, as if forcing my body to flee immediately.

“Heh, you know what, Con Artist-san? I’m getting more interested in you.”

With a smile like a cat playing with a mouse, Cronica looked at me. But strangely, even though I was aware of the danger, I couldn’t move.

Purple light shone from her eyes.

“I’m sorry, but I can’t let you go.”

The purple light in her eyes was etched into my mind, as if it had a spell that gripped and refused to release the deepest part of me.

Perhaps… “I”… had been captured by this girl’s eyes──.

At that moment, the sound of a cart’s wheels came from the side. The bellboy arrived with our order.

“Sorry for the wait. Please enjoy.”

With deft movements that showed he was accustomed to the train’s vibrations, the bellboy finished his task and left. As soon as he was gone, the girl immediately turned her gaze away from me—almost impatiently—and faced the plate of food in front of her.

The tender red beef, coated in white butter flowing from above, looked so soft it seemed to melt at the touch. The girl took a spoonful and brought it to her small mouth. Her tiny cheeks puffed out slightly, and she looked radiantly happy.

Beyond the moving window, the view of the Allegheny Mountains stretched out—still adorned with snow that hadn’t fully melted—against the backdrop of the blue sky and the distant greenish-blue hues.

Enjoying the food and the view like that, the girl unintentionally created a composition reminiscent of a painting.

I don’t know when it started, but my throat felt very dry. I took the glass of water left by the bellboy earlier and drank a little. The warm water flowed down into my stomach. And at that very moment, I heard my name being called. My real name. Even though I had never mentioned it.

“──That's how it is, Linus. Would you like to travel with me?”

“What do you mean, ‘that’s how it is’? And are you even sane? I’m a con artist, you know!”

“Yes, I know. But from now on, you’ll be my bodyguard and guide. You’ll handle travel expenses, food, water, spare clothes, and other important items, as well as carry my belongings and assist with my personal affairs.”

“Don’t joke around! If that’s the case, that means I’m just a slave, right!?”

I don’t know how much generosity of heart it takes to accept such an offer, but clearly, my heart isn’t there yet.

“Ara~, you're not happy, are you? That’s too bad. But you don’t have a choice.”

“...What does that mean?”

The girl, with her left eye still closed, as if reading the words behind her eyelid, recited a list of names:

“Smith Capital Bank, Luke State Bank, Maritime Insurance Association, Western Railway Fund...”

The words were suddenly mentioned… and I immediately knew what she meant.

All of those were where I kept my wealth. The accounts and investments where I had saved the money obtained through fraud over the years. Literally, that was my entire fortune—the entire value I had worked so hard to build up.

However, as the memories flowed unconsciously, one anomaly emerged.

I couldn’t remember it. I knew I had stored my wealth there. But I couldn’t recall how to access it. The account number, the alias I used, the bank counter, the location of the securities—all of it had vanished from my memory. No matter how hard I tried to navigate the darkness gaping inside my head, not a single fragment of memory emerged.

As I nearly fell from the sudden nausea and dizziness, I saw Cronica’s mouth licking her small spoon. As if, with that silver spoon, she had scraped out the memories that no longer existed.

“Eye of Providence, Eye of Truth—Second Eye. Sorry, I forgot to mention one thing. This left eye of mine isn’t just capable of seeing a person’s soul. Through my gaze, I can also cut, paste, or connect memories, emotions, even thoughts──well, all sorts of things I can do.”

That sweet smile, with its tea-brown tone, seemed to hold sympathy that was nothing more than a formality.

“Heavy, isn’t it? I know that, even without needing to see.”

The dread creeping up my spine couldn’t be soothed by such comforting words.

The values that had sustained me were snatched away in an instant. Despair surged from the depths of my stomach, swirling violently, then shooting up to my skull. With the last shred of sanity remaining, I finally spoke in a voice barely audible:

“...This is some kind of... deal, right?”

“Yes. If you want to join me on this journey, I’ll make sure you can remember everything again. But if you refuse... your memories and your money will never come back.”

My response was a deep sigh, so deep it felt like my soul was floating away.

Is this the punishment? Is this the consequence for deceiving so many people?

I never expected to be targeted by a monster that can read minds and steal memories.

“Good, right? Getting to travel with this beautiful girl. Let me tell you, this isn’t a scam, you know.”

This is far worse than that. It seems those words shouldn’t have been spoken at all.

“From now on, we’ll get along, okay, Linus?”

That’s how the con artist, Linus Krueger, suffered the greatest defeat of his life.

“...So, why me?”

The vibration of the wheels felt like it was tapping my outstretched feet. I spoke while still leaning back in my seat.

Why should a con artist who’s just trying to live his life honestly—and not some good person who seems easier to take advantage of—have to suffer this fate?

“I don’t know why, but it seems exciting. Traveling with a con artist will definitely not be boring, and don’t you think it will be a wonderful memory?”

How dare he talk about memories after stealing someone’s memories.

“Besides, since you’re a liar, I think you’re perfect for someone as fake as me.”

I don’t understand. For someone like me, who can only see what’s right in front of him, I can’t possibly read his true intentions. However, one thing is certain: I’m being played by him.

That’s why I felt extremely annoyed and couldn’t hold back my anger.

Suddenly, Cronica, who had finished eating, asked while wiping her mouth with a napkin:

“...As for me, I want to get to know you better. Why did you become a con artist?”

“Because I needed money.”

I continued while averting my gaze from her stare, which seemed to say, “Is that all?”

“Everyone uses their strengths for their own benefit, right? I’m good at deceiving people, and this profession is the one that can maximize that talent the most. Or rather... ah, never mind! If you can really read minds, don’t ask me these questions one by one.”

In response, the girl spoke while combing her red hair, which seemed translucent under the sunlight streaming through the window.

“I can indeed see into people’s souls—hearts—but sometimes, there are people who are difficult for me to see. Especially in your case, whatever you’re hiding is very distracting. So, it would be very helpful if you could express it yourself with words.”

The request she made so casually was incredibly cruel. After all, asking a magician to reveal their trick is like asking them to die. However, driven by her curiosity, Cronica continued to speak words that were like daggers.

“The outer layer of your heart... you call it a ‘mask,’ right? Can you really deceive people with that? To be honest, isn’t that just your own one-sided belief?”

Whether intentional or not, her words deeply wounded my pride.

And yet I, who could usually ignore such provocations, was now provoked.

Perhaps it was because the situation in the last few minutes had been too turbulent.

“...Do you know the trick to lying?”

“No.”

“The first one: just speak the truth. The truth you truly believe in with all your heart.”

“Lying, but speaking the truth?”

A question I had anticipated. I nodded firmly toward his closed left eye.

“It’s very easy to lie from the bottom of your heart. You just need to be a person who fully believes that the lie is the truth.”

There are people who sincerely believe something to be true, even if it differs from the facts. Therefore, if you can become such a person, you can speak any lie honestly.

“So, every time you lie, you pretend to be someone else, right?”

“That’s right. I imagine myself as that person. After I’m done using it, I take it off like a mask. Anyone can do it once they master the trick. At work or at home, there’s always some kind of social role or reputation, right?”

“No, there isn’t.”

“...Everyone in the world except you has it. Out there, everyone pretends to be something. However, they still demand the truth from others. Because of that, they’re deceived.”

The girl’s eyebrows furrowed seriously, a faint crease appearing on her forehead as if she found it hard to believe.

“No matter how much someone believes it, a lie is still a lie. I think it’s impossible to force a belief that isn’t the truth.”

“That’s not true. First, you’re misunderstanding. Truth isn’t the same as fact. A fact is an event that actually happened, regardless of what others think. But truth is the word that explains the meaning of that fact.”

Basically, facts in this world have no meaning. It's only truth—the meaning attached later—that gives them substance.

For example, suppose someone dies. That is a fact. However, the truth about who that person was—essentially, how they were perceived by those around them—will influence the length of the funeral procession. The dead won’t come back to life, of course, but the size of the crowd, the number of tears shed, the amount of donations—all of that changes based on the narrative.

That is why I lie.

I cannot change the facts that exist in the real world, but I can change the belief called truth, which exists only within the human heart, as much as I want.

“The line between truth and lies is like two sides of a coin. When someone can no longer believe what they want to believe, they’ll turn the truth that just existed into a lie. The opposite is also true. So the point is, what is a lie and what is the truth can easily be reversed—just by someone’s heart.”

“...Heart, someone.”

When I said that, Cronica murmured softly, as if repeating my words. I wasn’t sure if she was impressed, but something was clearly bothering her.

As I thought about that, the train’s wheels began to slow down. Soon after, the train stopped at a peaceful rural station with the shrill sound of the arrival whistle.

When I opened the window and looked out, I saw crew members beginning to refuel the train, with rice fields stretching at the foot of the mountains in the background. A few passengers were boarding and alighting at the platform. The stop lasted about ten minutes.

“How about it? Want to get off?”

For me, I had no further business with this train.

Across the table, by the glass I had been drinking from, I asked the girl in front of me.

At that moment, the sound of a door being roughly opened and the footsteps that followed interrupted my thoughts.

Unavoidably, my attention immediately shifted in that direction.

“Don’t move.”

The people who emerged from the connecting door behind us quickly surrounded our seats.


Part 5

“Don't move.”

The low-pitched threat was clear, even amid the hustle and bustle of passengers getting on and off. There was no need to repeat it.

Three men stood, staring down at Cronica and me, seated across from each other.

They didn’t seem intent on causing a scene, speaking the threat in a calm tone.

“Get off with us at this station.”

One of them briefly revealed the muzzle of a pistol from beneath the sleeve of his jacket.

The other two had similarly suspicious shapes under their coats. What stood out most—none of them were looking at Cronica. That meant they knew.

Who were they, exactly? At that moment, it didn’t matter.

What mattered most was how to escape this sudden crisis.

Unfortunately, I had no combat skills to speak of—let alone a weapon.

From my vantage point, I observed Cronica’s condition. The red-haired snow maiden showed no signs of panic, merely staring at the table with a blank expression, saying nothing.

Suddenly, a thought crossed my mind. If I say I have nothing to do with this, maybe... at least I can survive.

“Stand up. Come with us.”

As soon as the order was given, two of them approached Cronica and pulled out a black cloth—probably to cover her eyes.

Then—one of them seemed about to roughly grab the girl's hair—

And before I realized it, my body had already moved.

“Oops.”

Pretending to obey the order, I slowly stood with a frightened expression, then quietly nudged the bottom of the table with my knee.

My glass—still filled with water—tipped over and fell with a loud clatter, spilling its contents conspicuously.

As I’d hoped, the men immediately turned their gaze toward the sound.

And at that very moment, sharp afternoon sunlight pierced through the train window from behind the trees—

The light reflected off the droplets from the spilled glass and hit Cronica's now-open left eye, sparkling like an amethyst.

Suddenly, the three men collapsed like puppets whose strings had been cut, falling to the floor without resistance.

The other passengers, who had turned their heads in surprise, immediately looked away as if nothing had happened once Cronica directed her gaze toward them.

“...What did you just do?”

"Second Eye. I just messed with their memories. They won't wake up anytime soon... Oh, and the others? I just made them forget what they saw."

A chill ran down my spine. I had hoped there might be a small opening to escape, but it turned out that with just one glance... it was completely beyond expectations.

Cronica turned back to me, and with a smile that seemed to say, Impressive, isn't it? she said:

“You're pretty good. That was cool.”

“...That was you who did it.”

The spontaneous objection that escaped my mouth—I wanted to believe it wasn’t because I felt guilty.

For now, we seated the three motionless men near the window.

At the same time, the departure whistle sounded again, and the heavy steel box began to move slowly once more.

“So, who are they really?”

“I don't know.”

“Don't deny it. They know about your eyes... You're being hunted, aren't you?”

Hearing that, Cronica stuck out her little tongue like a naughty child who had been caught cheating.

"That's right. Actually, that's one of the reasons why I need help."

"Then why don't you ask the police for help instead of a con artist? Don’t worry, prison is free for everyone."

"That won't work," Cronica said, leaning on her hands and sighing at the same time.

"I love traveling. Seeing new things, hearing new sounds, touching, tasting... and leaving all those traces behind in this world. I also want to keep all those memories in my heart. So, I refuse to be a bird in a cage."

Whether she was afraid or not, I couldn’t tell—with a speaking style almost like singing, I could only take a deep breath and ask again:

"Nonsense... Just tell me who they really are."

The feeling that I was stuck in mud I couldn’t pull my feet out of grew stronger. But since there was no turning back, at least I wanted to know how deep the mud was.

"They call themselves the ‘Knights.’"

A purple-blue flash flickered at the edge of my vision, and Cronica finally answered the question I’d been holding in my heart.

"You’re right. ‘Knights’ is a secret organization composed of the remnants of fallen nobility and their followers. They actively carry out destructive anti-government actions across various regions of the Colonial Republic."

With a tone that had now become slow and serious, Cronica added an explanation that had previously sounded like a typical anti-government group that only made the news once a month.

"And the Knights' goal is to revive the King."

Those words pierced my eardrums, making me question what I had just heard.

The King—a figure standing above the nobles who had surpassed humanity. He was the eternal ruler who had once governed the Kingdom of Legatos for a thousand years.

"...Are you serious about that?"

However, the existence of that figure is now highly questionable. While it’s true that the nobles possess powers beyond comprehension, the existence of their supreme ruler is nothing more than a fairy tale. No one has ever seen him directly. Even after the capital fell in the revolution, his body was never found.

That’s why there’s a theory that the King never existed in the first place—just a symbol created by the nobles, a fictional role they needed to manage their own interests. I agree with that theory. An immortal being who lived for a thousand years? Only a fool would believe that. But then—

"Yes. The King exists. At least, I have seen him with my own eyes."

Cronica said it casually, lowering her left eye, which was hidden behind an eyelid.

"That’s why the Knights keep hunting me. Because now, only my left eye remains—the only connection left to his throne."

Though her words were unclear and evasive, I didn’t feel like pressing her further.

Revolution, nobility, the King—those were from a different dimension than my life. Getting involved even a little would lead to trouble.

Unfortunately, it was already too late. Just by catching this girl’s attention, my life had slowly begun to be consumed by a completely foreign and dangerous world.

So now, I could only accept it and change my way of thinking. If I wanted to stay alive and get my money back, I could no longer ignore this growing threat.

I glanced back at the three unconscious men. Earlier, they said we had to get off at the previous station. That means there’s likely someone waiting for them there. When I asked if Cronica could read any other information from them, she just shook her head slowly.

"No, I can't. It seems like these people weren't told anything besides the order to ‘take me off at the station.’"

"So just a lowly errand boy, huh. Damn..."

"You hate complicated matters that don't pay off, don’t you?"

"Right. And I also hate know-it-all kids."

"But you still didn’t leave me."

"Because of the money."

Spitting—both literally and figuratively—I asked one more question. There was one more thing I wanted to confirm.

"So, actually… how far?"

"What do you mean?"

"I mean, the goal. How far do I have to keep following you? You’re being chased by a group calling themselves the Knights, and you can’t just be wandering around aimlessly, can you?"

"If that’s the case, well, that could be a big problem. You’ll be trapped in an endless escape, alongside a sweet, fragile girl who only has slightly sharper vision than an ordinary person."

"You bastard..."

"Calm down. I have a purpose, you know."

With her slender index finger, she pointed to the white mountain range visible through the window—and beyond.

"The sea."

The word slipped from her mouth with an unmistakable passion—perhaps hope, perhaps longing.

"I'll board a ship from the port, cross the vast ocean, flee to a foreign land. Keep running... as far as I can."

His right eye, slightly teary, stared out the window, as if seeing the sea that lay beyond the mountain ridge.

"That's why, Linus. I want you to help me... until I manage to escape this country. Once we reach the sea, I'll restore your memories. If you decide to join me afterward, I won't stop you."

"Of course I'll refuse... But fine, until we reach the sea, then."

Unconsciously, I exhaled. I didn't like this. Currently, we were on the southeastern route crossing the Allegheny Mountains. The western coast, where the port had reopened after the isolation era, was over a thousand miles away—in the opposite direction.

Even by utilizing trains, horse-drawn carriages, and ships with maximum efficiency, the journey would take roughly three months. Too far. And worst of all, during that time, my thoughts would continue to be read by him. Death might be better.

But for me, money is more valuable than life. So giving up is clearly not an option. And besides—

"Why? Staring at someone’s face for so long."

"It’s nothing... It’s nothing, so stop staring at me."

I couldn’t let that arrogant face keep showing that smug expression.

Eyes that can read hearts—that kind of cheating ability made me swallow defeat, and it really made me furious.

My life as a con artist wasn’t going to end here. So just wait and see.

"I’ll make you cry later."

"...Even without seeing, I can still hear it. You’re such an interesting man."

I ignored that tired smile tinged with astonishment and began to think.

The immediate problem was the next station.

Since the three people earlier had failed, their friends might try to board there and ambush us.

That’s when I heard it.

Amidst the sounds of whistles and train wheels, a different sound crept into my ears.

Like the tip of a hard object tapping on the gravel on the tracks—the rhythm sounded odd, and when I realized it...

A tremor shook the roof of the carriage, echoing throughout the train.

Tables and benches shook like waves, and passengers turned upward in unison with panicked murmurs.

And a second later, a shadow burst through the ceiling, landing heavily inside the carriage.

At that moment, the sound of everyone holding their breath was clearly audible.

"...The stench of rot."

The voice was low, almost like a rumble emerging from the rusted depths of a cell—a voice echoing in the silence, freezing the air.

The man was extremely thin, almost emaciated, and wore a long, trailing coat.

His copper-colored hair was combed back neatly, almost obsessively—and beneath it, his round, black eyes darted wildly, like a vulture zeroing in on rotting flesh.

——

I can’t read other people’s minds.

But I know.

I know, even though I don’t want to know.

From that thin figure emanated a thick, gloomy, rusty smell of blood.

It was the distinctive scent—impossible to hide—of someone who had crushed the lives of others with their own hands, who had trampled on the lives of many people without hesitation.

Not a small-time con artist like me.

It was the smell of a true killer.


Part 6

Something crept along my spine.

While nausea shook my nerves and spread through my stomach, I couldn't take my eyes off the man.

The wheels of the train, the whistle, even the murmurs of the passengers had merged into the background—as if the world had narrowed to the terrifying figure standing at the center of my vision.

A pair of crooked eyes that felt impossible to look at for even a second—staring straight at us.

"I’ve been waiting a long time. Doro Cancer... Still, we’re the same kind. As a matter of courtesy, let me introduce myself. I am Aizelred Grakiel, Second Guard of the Knight Protectors."

As the heavy, dark voice delivered an introduction that sounded like a curse, Cronica’s shoulders trembled.

"Get down!"

The sharp, urgent shout echoed inside the carriage.

I, who was right next to her, was forcibly pulled by her arm and immediately followed the command.

Immediately afterward—

"...I told you it smelled rotten, didn’t I? Lowly human."

The man who called himself Glachiel began to pulsate from within, as if something was boiling and struggling beneath his skin.

Then—

With a sharp explosion that seemed to tear through the air, something erupted from his upper body.

The dining car walls. The windows. The passengers. Everything was attacked indiscriminately by the objects flying from his body.

They were—needles.

Sharp, thin, and red like blood. Hundreds of needles erupted uncontrollably, piercing in all directions like brutal nail shots.

Many passengers were pinned to the walls, their bodies hanging as if impaled alive.

"What—...!"

One of the needles narrowly missed my head, striking the wall and vibrating violently, echoing deep into my skull.

Fear made it impossible for me to breathe. My mind couldn’t process what had just happened.

I fell to the ground, my knees trembling, unable to stand.

At the center of the tragedy, Glachiel stood tall—not looking at me, but staring down at Cronica.

"Impressive. You managed to dodge. You read my mind, didn’t you? Good. Stay alive so you don’t die. I was ordered not to kill you, so try to survive. Don’t make me go to the trouble because of you."

"Pretty arrogant way of talking."

From behind the suitcase she had used as a shield—now covered in bloodied needles—the girl slowly stood up.

With one eye closed, she glared at Glachiel with obvious disgust and caution.

"So this is the Knight noble... Even though we’ve only just met, it seems you don’t care about manners. You want me that badly, do you? You pervert."

Cronica’s tone was sharp and provocative, but Glachiel’s gaunt face twisted into an odd expression—pity.

"From the way you speak... it seems the rumors are true, huh—Parasite."

His tone sounded as though he were pitying a patient awaiting death—yet it was brimming with hatred and contempt.

"You must not remember it anymore. In the end, you are merely a temporary parasite."

I didn’t have time to understand, but those words struck the deepest part of Cronica’s being.

However, one thing was clear—her silver and purple-red hair trembled as if in anger.

And her amethyst eyes, which could reveal the contents of a person’s heart, now opened fully, piercing the man with a sharp gaze—

"It’s useless."

"...Agh!"

In an instant, Cronica was thrown backward, her left hand clutching her left eye as if it were on fire.

Her feet dragged several steps back, shocked and in pain.

“Indeed, your eyes are quite troublesome. But that only applies to lowly humans. We nobles, who inherit the factor, can easily reflect such disturbances... Hah, that is the punishment for your betrayal.”

Grakiel smirked—his mocking laughter crackled like rusted metal.

Though I didn’t fully understand the meaning of his words, I had already realized it.

Cronica’s left eye… couldn’t penetrate this man.

She could read his heart, but she couldn’t disrupt his thoughts like she had done to the three others before—or to me.

Somehow, this man was immune to that ability.

A glimmer of despair, as cold as winter mud, rolled down my throat.

This monster nobleman… must have been waiting for Cronica at the previous station.

Somehow, he managed to catch up to the moving train and burst straight into the carriage.

“But you’re really giving me a headache, you know… Haa, it’s so annoying.

Because of your stupid resistance, I—I had to—end up in this disgusting place!”

Grakiel’s growling voice grew louder, filled with anger.

And from his body, spines once again extended—resembling cursed branches, writhing and threatening.

Along with them, the air filled with the scent of blood and rust, growing thicker—a smell that could only mean one thing: death.

It couldn’t be concealed.

A distinctive aura engraved in the human spine, flowing through the blood, and radiating out through the skin.

The experience of killing embedded in the soul—the tangible proof of a murderer.

I was startled, turned my head—and there I saw Cronica, pressing her left eye, blood seeping through the gaps between her fingers.

I was just a con artist.

I could deceive people's hearts at will—but not when faced with reality.

That’s why...

I couldn’t do anything.

Except—leave that girl and run away from this place.

As soon as my mind reached that conclusion—

Sreeekk!

Suddenly, the air thick with the scent of death was split by a sharp sound.

Two shots. Then three. But their target wasn’t me.

That tiny body… pierced by cruel thorns. I saw it with my own eyes, as if time had slowed down.

Red thorns embedded in her throat, and her blood-stained purple eyes met mine.

Everything happened in an instant. Like a flower snapped without mercy, Cronica fell.

The life that had been there… now faded away. In the instant that separates life from death.

But her eyes still stared at me—that left eye… as if trying to convey something to me…

“────ッ!!”

At that moment, my trembling legs finally moved. Without hesitation, my hand pulled the pistol from my pocket.

The pistol—stolen from the three people before, complete with its ammunition.

I had no reason to hesitate in pulling the trigger.

The three bullets I fired—all struck Grakiel’s body.

That slender frame, like a dry branch, was knocked backward by the impact of the bullets.

Using that momentum, I turned and dragged Cronica’s body into my arms.

Then, I ran with all my strength toward the inter-carriage door at the front.

With the worryingly light body in my arms,

without looking back, I fired the remaining bullets in my magazine,

shooting through the short distance toward the door at a speed I’d never achieved before.

And just as my hand touched the door handle—a gunshot from behind tore through the air.

Almost! The door behind me was riddled with holes, but I didn’t even have time to feel relieved.

Still holding Cronica’s motionless body, I fell into the front carriage in a pitiful position.

That carriage was also a dining car, stretching across three long sections.

Some passengers stared at me with puzzled expressions—then screamed hysterically when they realized the situation.

But I couldn’t offer an explanation, let alone a warning.

I pushed through them, shoving anyone who blocked my path,

and kept running toward the very front.

“Sir!? What’s happening—!?”

A train attendant ran over with a pale, panicked face—and suddenly, a thorn pierced right between his eyebrows.

Screams and panicked cries echoed. Amid the chaos, the sound of footsteps crushing something echoed from behind.

“Don’t make a fuss. Don’t cry. You worthless humans—you stink! Ahh, ahh!! This is unbearable. I need… to clean it up.”

That anxious and repulsive scream sounded like a signal to begin the massacre.

A rain of thorns—like arrows from an archery unit—poured down on the carriage,

pinning the passengers to the walls and seats one by one.

The blind attack—clearly not a strategy, but an impulsive outburst of murder.

“Damn it… Kgh!”

Reflexively, I pulled the corpse next to me and used it as a shield.

But still, some thorns pierced my defense—sinking into my arms and calves with cruelty.

It felt like molten metal was being poured into my flesh.

The train began to turn along the tracks, and the carriage tilted.

My feet slipped, and I nearly dropped Cronica from my embrace. But I held on—forcing myself to keep her body tightly in my grasp.

Without pause, I sprinted toward the next carriage.

I no longer cared about the screams or the stares of the other passengers. I just ran—straight ahead.

The pain didn’t matter. What burned in my mind was—the real threat closing in from behind.

Grakiel.

The noble creature of “Regalia” blood, who couldn’t die even after being shot multiple times.

One of the knights hunting Cronica. And worst of all—he’s not someone you can reason with. No negotiations. No mercy.

Tension and panic quickened my heartbeat. What should I do? If I keep going, it’s a dead end. Then maybe I should jump out?

I quickly dismissed that impulsive thought. Even if I survived, it wouldn’t matter.

My enemy—that creature—was something that could chase down a moving train.

More than that…

Hey, Linus. What are you doing, anyway? The girl is already dead. Just leave her. If you’re alone, maybe it won’t chase you anymore.

“Hah... haah... damn it...! Gkh—AAGHH!!”

Suddenly, an excruciating pain struck my mind,

as if cutting off all logical thought processes that were spinning around looking for a way out.

It wasn’t just ordinary pain—it felt like my bones were being ground down by sandpaper from the inside, too agonizing to stand.

My body collapsed, and Cronica slipped from my embrace. But I couldn’t even care.

The thorns embedded in my hands and feet… seemed to glow, driving pain that pierced to the core of my body.

“What… is this…! GAAH—!!”

The pain was suffocating.

The vibrations from the tracks coursing through the train car floor only intensified each agonizing pulse.

All I could do was crawl like a dying worm between the two train cars.

“Damn it…!”

The world suddenly blurred, tilting sideways and no longer stable.

Consciousness began to fade. Darkness slowly enveloped everything.

Just before everything vanished, in the corner of my vision—a faint purple glow flickered.

And after that… everything sank into darkness.


Part 7

Is this some kind of escape from reality?

My consciousness, having given up, flees into the dreams of the past.

In other words, this is me as a child—when I knew nothing, or more accurately, when I could live without knowing anything.

In the backyard of the theater managed by my father, located in the most elite area of the royal capital under the protection of an influential nobleman, I hid behind the shadows of old, discarded stage equipment, biting into a chocolate bar I had stolen from the room.

I wasn’t that small anymore—no longer able to feel happy just by running around and screaming like a fool.

But I wasn’t mature enough to control the rebellious impulses bubbling up inside me either.

That’s just how it was at that age.

In short, I skipped school, which my parents had ordered me to attend.

But since there was nothing else I could do besides sulk gloomily, this is what happened that day.

『Ah, so you were here after all, Linus.』

『…Nee-san.』

From behind the peeling wooden board, the face of my older sister, whom I knew well, peered down from above.

With her long flaxen hair and striking beauty that didn’t need to be defended as family, the young woman—mature beyond her years—was truly worthy of being the lead actress in our theater troupe.

If asked to play a widow, she could cry in seconds. A skilled actress.

But at that moment, she showed a genuine smile reserved only for family.

Back then, when I first began to remember the world around me, we used to run around the backyard with our bodies covered in scrapes.

But at some point, she started wearing various adult masks.

Toward her, I harbored a mix of envy, admiration, and loneliness—like losing a mother figure—and I said:

『Are you allowed to be here? The matinee must have already started.』

『You too, you know? It’s long past school time.』

As she spoke, she sat beside me, her knees covered by a long skirt.

『The schedule changed. Apparently, Dad finally managed to persuade the circus director he’s been targeting for a long time, and today they’re performing here. Since I’m free, I thought… why not play with my sweet little brother after all this time?』

『If I go to school, what will you do?』

『You can’t go. I already know that.』

I intended to argue with that quick answer, but gave up immediately.

After all, I couldn’t win against her.

『Hey, hey, is school really that boring?』

Asked with genuine curiosity by my older sister, I wasn’t mature enough to give a clever answer.

『It’s not… boring. But more than that, I just don’t like it.』

'I see,' she said, then didn’t ask any further.

She let that part of me—the part that would easily crumble if expressed in words—remain hidden.

And somehow, I liked that side of her.

『Besides, even if I follow Dad and go to school to study, in the end, I won’t be able to manage this place. I’m also not interested in making money.』

The sentence I continued felt like a half-hearted excuse, but this time, she easily countered it.

『But you don’t have anything else you want to do, do you?』

『Y-yeah, I guess…』

My older sister stared at the sky for a moment, as if deep in thought—then suddenly clapped her dry hands together with a plop.

『Then, Linus! Want to try performing on stage with me?』

『Huh!?』

『Once it’s decided… let’s start practicing! We’ll start with the voice first, okay? Come on, stand up.』

『Wait a minute, Onee-chan!』

I hurriedly refused my sister, who had suddenly switched to a coach-like tone.

『I can't act! The movements are too over-the-top, and… it feels so embarrassing…』

『It’s okay, it’s okay. You’ll get used to it. So just leave it to Onee-chan, okay?』

As if adding something extra, my sister leaned in and whispered in my ear:

『I’m sure you have talent, Linus.』

Then, looking straight into my eyes, she assured me:

『You’re a child who can at least understand others’ feelings. But in the world of acting, what’s more important is understanding your own heart—and knowing how to use it well. In that regard… I’m sure you’re far beyond the average person.』

Then, as she said that, her white hand slipped into my pants pocket.

Without giving me a chance to react, she pulled out the chocolate bar I had been hiding.

『You’re pretty bold and clever… This is the chocolate I kept in the drawer, right? Since it’s been disappearing lately, I even locked it up, you know.』

『…Ah, uh, that…』

『As punishment, today you have to scream until you faint! Alright, let’s start with the first exercise!』

Again, she slapped my back—harder than before—and before I could scream for mercy...

That’s when my consciousness was pulled back to reality.


Part 8

“Oh, you're awake, I see.”

As soon as my eyelids opened, my gaze met a pair of purple eyes staring at me from close up. From the sensation at the back of my head, it seemed I was lying on a girl's thighs. And for some reason, the pain I had felt earlier had disappeared.

“What a coincidence, Linus. The extraction process in your body is complete... Since the pain sensation has been temporarily sealed, you don’t feel any pain, right? Now help me—please remove this.”

With an awkward smile, Cronica pointed to her neck—which was currently pierced by a dark red thorn that had penetrated in a horrifying manner.

“!! Cronica, you... you're still alive…!!”

I immediately jumped up reflexively. The girl's condition was clearly dire. One thorn had pierced her neck—a clearly fatal wound. Additionally, thorns were embedded in her right shoulder, chest, side of her abdomen, and left thigh.

No matter how I tried to think about it, she shouldn’t have been alive and able to speak. And yet...

“This thorn seems to grow by absorbing blood. Ah, I mean not growing on the outside, but on the inside. The more blood it absorbs, the further its roots spread into the flesh and bones of its prey, paralyzing them with pain.”

Cronica explained all this calmly. But her face was slightly sweaty and pale.

“Damn it!”

I quickly pushed aside all unnecessary worries and looked around. The hot air and the smell of burning filled my nose. It seemed we were in the kitchen car, not far from the last passenger car.

I ignored the pot still boiling over the fire, flipped through the items around me, and gathered anything that could be used. Then, I approached Cronica, who was leaning weakly against the kitchen table, and reached out toward the thorn still embedded in her body.

I pulled it out with a jerk, and with a slick sensation, her soft skin and flesh tore apart. Fresh blood flowed freely like fruit juice, soaking my hands with the warm reality of it all.

This was clearly not a wound a human could endure.

“Monster, huh… It’s okay, I like honest people.”

As if reading my thoughts, Cronica smirked with her bright red lips, mocking herself.

“The noble race that inherited that factor is structurally different from ordinary humans. A wound like this won’t kill me... well, I’m pretty tough among them.”

The pungent smell of blood filled the air. That elegant, luxurious body seemed as though it could collapse at any moment, torn and raw.

“...That bastard, Grakiel—he’s not chasing us?”

“It seems so. For now, yes. I know because I’ve been reading his mind. He seems intent on slaughtering all the passengers on this train. As for us, he thinks there’s no need to hurry—assuming that after stabbing us a few times, we wouldn’t be able to move much.”

“...I see.”

Pity, or the desire to save others—such feelings had been shed during the escape. At this point, I didn’t even have room in my heart to care about anyone besides myself and her.

I cleaned the wounds with alcohol, then bandaged them with clean-looking cloth. When I had to remove some of the clothing obstructing the treatment, the girl’s face flushed slightly.

“Pervert.”

“This is purely a medical procedure. Relax. Your skinny body isn’t attractive enough to make me think anything strange.”

“...Keep thoughts like that to yourself.”

After a few minutes, the emergency treatment was finished. As I helped her put her clothes back on, my mind was filled with questions: How are we going to get out of here?

Perhaps Cronica sensed my anxiety. However, she only shook her head slowly, as if letting go of everything.

“It’s impossible. With human legs, no matter how hard you try, you won’t be able to escape… Unless you leave me behind, of course.”

Leaning against the blood-stained shelf, the girl then asked a question.

Illustration 2 Masquerade Confidence~ Sagishi wa Shoujo to Kamen Shikake no Tabi o Suru Chapter 1 | Yomi Novel

“Fortunately, he won’t be here anytime soon. His bad habit of preferring to make his victims suffer as much as possible rather than killing them quickly... thanks to that, we still have enough time to think. So, give me your answer, Linus.”

That’s contradictory. Just now she said she wanted to be saved, but now she was acting as if it was okay to be left behind. Her words sounded like those of a death row inmate who, after hearing footsteps approaching, stopped trying to dig a hole in the cell wall.

“So you’ve given up?”

I asked. Cronica nodded weakly, with a painful calmness.

“…Yes, it seems so. My vision doesn’t work on him. This was my first time trying it on a noble, but it turned out to be completely useless. Maybe it’s because of his true form, or because I’ve already deteriorated. I don’t know. But... I guess it doesn’t matter anymore.”

Muttering logic only she could understand, her delicate fingers played with her magenta and silver hair, stained with blood.

When I asked again if she wasn’t afraid, her answer came slowly.

“Afraid? Of course. But strangely… when the time finally comes, it doesn’t feel that important anymore. Maybe… I’ve been tired for a long time. Extremely tired.”

For some reason, hearing that desperate calmness made me feel more angry than pity.

“...You can give up if you want. But what about my money?”

“Who knows... Maybe you want me to restore your memories before I’m captured and killed? Sorry, that’s not possible. Unlike certain people, I’m the type who keeps my promises.”

In this situation—or perhaps because of it—she could still speak with a teasing tone.

“Or do you want to torture me first before escaping, and try to force your memories back? Go ahead. Want to rape me, abandon me here—it’s all up to you. Do as you please.”

Her words, casually tossed from a limp body like a doll with broken strings, fell near the tip of my shoe.

That was when I realized—this girl, from the start, might have never believed they could escape all of this.

She knew, sooner or later, this moment would come. And yet... she kept walking.

Why didn’t she surrender to the authorities from the beginning? Why not just kill herself?

And most confusing of all—what did she expect from a journey like this?

I truly don’t understand.

However, one thing is very clear.

“...Annoying. So annoying.”

“Huh?”

That she refuses to return my money even now—I can understand that.

I would do the same if I were Cronica.

Because it’s truly infuriating when someone profits while you’re about to die.

But what really makes me sick… is one more thing.

With a faint, know-it-all smile, as if she already knew the end of this story, she accepted despair without fear.

And I lost to a girl like that.

As a con artist, I lost.

And I haven’t won yet.

So even if I die, I will never accept that she has escaped with victory forever—with my money stolen and my pride as a con artist wounded.

Suddenly, from the bottom of my stomach boiling with anger, long-buried memories overflowed.

──My brother’s frozen face. His eyes no longer reflecting anything.

──The heavy white rain falling outside the window.

──The coldness of the knife in my right hand. And the red that followed.

I remember. Right—from the start, I already knew what I would do.

I turned around and began reloading the empty pistol.

Behind me, I could feel Cronica’s shock.

“...Eh? Wait, don’t tell me you’re serious...!?”

Funny. She could see into people’s hearts. So what was she shocked about now?

Still facing away from her, I shrugged lightly.

For me, there was only one certainty—money was more valuable than life.

And the pride I had accumulated as a con artist was worth risking my life for.

“Don’t worry. Once I’ve decided to act, I have no intention of dying.”

I took a deep breath.

I let the fresh air flood my lungs and spread cold throughout my body, bringing with it the calm I needed.

Twenty years of living as a con artist.

Countless mistakes, failures, and accidents I had experienced.

But every time, I always survived like this.

I sharpened my thoughts.

My eyes scanned the narrow kitchen around me, delving deeply into every corner of experience and memory from the past few minutes… and throughout my entire life—then focused on a faint glimmer of possibility.

“I will kill that monster. And I will get out of here alive.”

Those words weren’t for anyone else.

They were only to convince myself.


Part 9

The only certainty in this world is pain.

As an executioner and torturer, Grakiel awakened his Factor at the age of twelve. On the same day, he inherited his father’s position.

His first task: torturing the wife and child of a man who had just been arrested—right in front of the man himself.

In the end, he handed over two bodies that had been turned into minefields filled with needles, and let the man go without a single scratch.

Shortly afterward, the man hanged himself in front of the family that had been slaughtered.

As a warning.

Lowly humans—the common folk—are easily forgetful.

They forget their place. They forget that they are merely lowly creatures.

If left unchecked, they begin to defy the nobility.

That is why they must be taught. To ensure they never forget, eternal suffering must be etched into their bodies and souls.

They must be made an example.

Displayed as a mirror for the other ignorant masses.

Of course, this work is dirty. But it is work that must be done by someone.

And honestly, what makes everything wrong… might be us, the nobles.

We who possess this noble blood.

We who failed to educate the livestock properly.

We were too lenient. The suffering and despair we inflicted upon them were too little.

That is why… the Revolution succeeded.

Thus, the mission of the Knights of the Order is singular:

To eradicate the cancer known as Doro Cancer—And when the King rises again, we will educate the people perfectly this time.

***

"Ugh… crazy. It feels... absolutely disgusting."

“Even though I’ve already skipped over the parts that were too graphic, you know. Are you okay?”

“I’m fine,” I replied, shaking my aching head.

Through eye contact with Cronica, Grakiel’s memories had flowed into my mind.

A scene too horrific to be considered real.

I truly regretted asking her—and couldn’t hold back my curses.

Because amidst all that, there was something even harder to comprehend:

A twisted, irrational hatred.

He hated those filthy creatures. He couldn’t stand being near them.

Yet at the same time… he relished it.

Watching the common folk suffer, shatter, lose their humanity—

That was his pleasure.

His form was the embodiment of twisted power and cruelty without compassion.

His personality…

In short, it was completely broken.

“Disgusting… but, I suppose I understand.”

Clearly, this was not an opponent worth talking to.

To him, we were not beings worthy of negotiation—

Not even a thought crossed his mind.

But precisely because of that... there was an opening to exploit.

“Time is short. Let’s move quickly.”

I lit a cigarette, injecting a little spirit into my still-dizzy head.

Then I began to prepare—

To kill that creature, which was about to arrive...

To kill us.

A few minutes later, the back door of the kitchen car was smashed open by brutal force.

“He’s coming…”

We hid behind the kitchen table. Next to me was a large stockpot turned upside down.

Beside it, Cronica was curled up.

For me, there was no place to hide.

The first test: save yourself first—that was the priority.

And then, the passengers from the rear car poured into the kitchen.

But their condition… it was so repulsive I couldn’t bear to look directly at them.

They resembled blood-red cacti, their bodies covered in large spines protruding in all directions.

But what was most terrifying: they were still alive.

The spines were embedded deep inside, piercing their nervous systems—electrifying, torturing, forcing them to keep moving.

The procession of spiked humans came to an abrupt halt in the middle of the kitchen.

Then everything began to tremble. Irregularly. Unnaturally.

Like an ominous sign culminating in a roar... then:

“...!!”

As I pulled my head back to peek, they exploded simultaneously.

The spines that had absorbed blood from within their bodies grew explosively—

spurting out along with fragments of bone and flesh.

The brutal explosion destroyed everything indiscriminately.

The carriage turned into a bullet nest.

Air rushed through the new holes, followed by the rumbling sound of secondary explosions.

And shortly after that… I heard the sound of calm footsteps—

stepping over the debris—accompanied by a cold, irritated voice.

“Why are you silent...? Show yourself. You're still alive, aren't you?”

With my hands and feet torn apart by the explosion and shrapnel, I stood up from behind the kitchen table.

“Well... thanks a lot. My best clothes are ruined.”

Right beside me, the dented stockpot lifted slightly from within—a sign that Cronica was ready at any moment.

As our eyes met, Grakiel immediately sneered with disgust and furrowed his brows.

“Since when did a lowly creature like you—a commoner—get permission to open your filthy mouth in front of me? Unforgivable. Very unforgivable. Therefore, I will kill you.”

“I should be the one saying that, you prickly porcupine bastard.”

Angrily, I aimed the pistol at his arrogant face, even though I knew it wouldn’t work.

“Do you know that nobles like you are now officially considered a plague on society? And even though this isn't the official duty of a good citizen... I will be your exterminator today.”

I deliberately provoked him—because I knew it would work.

Cronica had told me through her left eye:

This creature is intoxicated by human suffering and despair, proud of its disgusting superiority.

And if its pride is wounded, it will react.

It will want to destroy me as cruelly as possible, to satisfy its ego.

My hand holding the pistol began to tremble—not from acting, but from pure fear.

And it responded immediately with a sneering laugh, like it was mocking my failure at life.

“Heh… don’t act brave, lowly creature. Afraid, are you? You’re trembling.”

“Of course I’m scared. This is the first time I’ve talked to a hedgehog that can speak.”

I retorted with a cold tone, and I felt the invisible aura of a killer beginning to focus on me.

He had made up his mind.

He would toy with me, make me crawl, listen to my cries—then kill me slowly.

“...Hey, inferior creature. I’ve just changed my mind. For your courage, I’ll give you a chance. The only chance to live.”

With a calm voice, but wrapped in a thick aura of murder, Grakiel continued:

“Hand over the little girl you’re hiding under your feet. Do that, and I’ll let you live.”

I gave only a small laugh in response.

“You’re terrible at lying.”

“What…!?”

“Your words just now… weren’t sincere. And your face—so full of expression.

You actually want to see me destroyed by betrayal… right?”

His face twisted in anger.

The spines on his body began to crawl.

Come on!

“Now, Cronica!!”

I fired a bullet while diving behind the table, narrowly avoiding the thorns fired at me.

Of course, my bullet missed. But that didn’t matter—my only task was to distract him until the end.

At that moment, Cronica stood up in my place and, with both hands, threw something toward Grakiel’s feet.

The object was heavy for her small arms. So it flew in a spinning motion, forming an awkward parabola toward its target...


『...Really, I just have to throw this?』

『Yes. Don’t touch it carelessly. Until it’s used, we’ll protect it with that stockpot. If it fails... we both could explode.』

Cronica looked at the object with a clearly doubtful expression.

『This train is a used item from the Elbion Steam Empire. So, the kitchen still uses standard equipment from there, without any modifications.』

While turning off the stove, I lifted the small pot used for cooking.

On the tightly sealed screw lid, there was a small hole with a steam whistle, which I immediately sealed tightly with a plug.

『...What is that exactly?』

『The stew earlier... was delicious, right?』

Still facing away from Cronica, I began explaining in a tone like I was reciting trivia I’d heard somewhere.

『In a narrow, constantly shaking train, a large pot that could spill was very troublesome. That’s why stewed dishes during travel were usually cooked using this. Small, sealed tightly, and most importantly—it softens ingredients quickly without making passengers wait too long.』

I gently tapped the lid of the pot, which was bulging from the heat, checking the pressure inside.

『A pressure cooker. If you use this thing wrong—』


What would happen?

The answer was shown in real time—right now.

Grakiel reacted normally to the object floating slowly toward him. He extended his spines, impaled it, and then threw it back. If it had just been an ordinary explosive, his reaction might’ve been effective. But in this case, it was a fatal mistake.

“!!”

Just before the deafening explosion echoed, I grabbed Cronica and dropped to the floor with her.

I didn’t need to see to know what had happened. The boiling liquid and high pressure inside the super-heated cooking device had escaped through the small hole pierced by the spines—exploding outward as a terrifying destructive force.

The power of that single explosion was no less than that of the “thorn man” before.

Ignoring the ringing in my ears, I lifted my head and looked ahead.

Grakiel was embedded in the wall of the carriage, half of his right side missing.

The pot lid was stuck in his face, and his neck was twisted and broken to the side.

However, I knew… that wasn’t enough to kill him.

I jumped over the half-destroyed stove and charged forward.

With all my strength, I kicked him hard.

The fragile wall couldn’t hold him back, and Grakiel was finally thrown out of the carriage.

“Sorry, but you have to get off here.”

The blood-soaked torturer was flung backward, bouncing several times on the gravel, then dragged into the hellish wheels of the spinning train.

The horrific sound of flesh and bone being crushed echoed clearly.

Shards of flesh and spatters of blood flew into the air—then quickly flowed backward, disappearing from view as the train continued on its path.

And I felt the power drain from my body, instantly.


Part 10

“Good job, Linus. We did it.”

“I hope so... Ugh, damn, my head still hurts.”

With light steps, Cronica appeared from the connecting door in front. From behind the bandage, it seemed like the bleeding had stopped. As she’d said—she really was a tough creature.

Several minutes had passed since the incident.

We left the now-open kitchen car and moved to the coal storage car in front. Leaning against the soot-covered charcoal container, I sat down and asked,

“Where were you just now?”

“In the engine room. I gave new orders to the engineer.”

It seemed that while I was unconscious, she had used the cooks under her control to summon the engineers and ordered them to keep the train running despite the chaos.

Nodding absently, I opened a bottle of stimulant medication.

Whether it worked or not, fortunately each car was equipped with basic supplies for sick passengers.

“Want some too?”

“I don't like medicine,” Cronica replied, shaking her head.

“There’s also a childish side to her,” I muttered, and she gently kicked my knee.

Well, at least she looked healthy.

“In that case, I’ll go back to the passenger car for a moment. I left my belongings there.”

The hem of her black skirt fluttered as she walked past me.

But I remembered that the suitcase she had used as a shield back then was already full of holes. It seemed unlikely that its contents were still intact.

“You’re right… Maybe all the spare clothes inside are ruined. But there are still other important items in there.”

“Important items?” I asked, staring at her without thinking.

Cronica paused before answering, “A diary. I’ve been writing about this journey since the beginning.”

That was the only thing she couldn’t ignore—even if it was full of holes.

A diary.

Hearing that word, it was as if I almost remembered something… but my head was still too dizzy to connect the dots.

“…Wait. I’m coming. I also have something in there.”

Besides, I still needed more medicine. My wounds were getting more painful. If I was lucky, maybe there was some strong anesthetic tincture in one of the carriages. As I stood up unsteadily—

“Right. Still, at least let me say thank you… I didn’t think this would work.”

Hearing Cronica’s words as she turned her head, my answer was already decided.

“Because of the money.”

“Liar.”

With her left eye still closed, Cronica gave an unusual, shy smile.

“Because you’re a liar, I won’t believe your words.”

I knew it. I was about to respond with a sarcastic mutter—Whatever, say whatever you want—when suddenly, that light body touched my chest.

Instantly, as if she were hugging me, I froze, startled by the touch—and then, a burning sensation pierced my stomach.

“────!!”

“A──… ah, L-Linus…!!”

When I lowered my gaze, the tip of a bloodied stake that had pierced Cronica’s stomach was now also embedded in my body, stabbing through my back.

The crushing pressure, as if my insides were being torn apart from within, burned through every nerve in an instant. My vision spun wildly.

As I felt my feet lose the ground, a tremendous jolt coursed through my spine.

We had been shot.

The spike had pierced both of us and flung our bodies toward the coal container, embedding us in the metal wall like insect specimens.

With Cronica still in my arms, we were impaled together. But I had no strength left—not even to worry about the girl in my grasp.

From the cracked floor, something began to crawl out—a foreign creature, repulsive in form.

From the upper half of its shattered body and the severed lower half, hundreds of spines continued to grow and writhe, reforming its shape in an utterly unnatural way.

With the screeching sound of metal grinding, the train came to a halt.

Perhaps the connection had been damaged.

But that didn’t matter.

In the now-silent room, only one thing was clearly felt:

Pure hatred—thick, heavy, flawless—enveloping the air around me.

“……Why, huh!? Answer me, you lowly race! Why must I, who am far more noble than you, have to… have to be the one below!? In this stinking, shaking box, filled with human cattle like you— and of all places… why must it be under the wheels!? Why must I be crushed──! Hah!? This is all your fault, you disgusting insect!!”

Facing that deadly aura, he raised his head, and I realized—deep within my mind:

I will die here.

“I won’t let you die easily. You broke the law. You defied the will of ‘The King,’ who placed me above and you below... So you will receive your punishment.”

In an instant, both my hands and feet were pierced by thorns, embedding themselves deep into the bone—binding my body tightly.

“〈Dain Weedle, Demon of Death〉──Prepare to accept your fate, lowly race. With this poisonous thorn of mine, I will impale you at the bottom of hell… forever!!”

The thorn embedded in my forehead began to sink its scorching roots deeper, spreading an indescribable pain.

My scream, which sounded unfamiliar even to my own ears, tore from my throat. My whole body shook violently, as if about to break.

...Perhaps this was retribution. A fitting punishment for a con artist who spent his life deceiving and exploiting others for his own gain.

When I thought of it that way, for some reason, I felt I could accept it.

In my fading consciousness, the only thing left was the maddening pain, and I had run out of ways to fight it. Everything I could do—I had done.

So strangely, I didn’t feel sorry—no... but I should feel sorry.

Because I am a con artist. Human trash who will do anything: for money, with money, through money, for money. If I die this clean... something must be wrong.

My eyes fell on the figure of the girl, also stabbed with me.

Toward her left eye—where my money would never return. Or maybe… maybe inside there, hidden, was “my true self.” I tried to place my final thoughts there.

But at that moment, the darkening world revealed one last thing: A purple crystal, drenched in transparent heat, staring at me—calmly.

“────!!”

Our gazes crossed.

Something flowed through my retinas in an instant, shaking my brain to its core.

It was far more piercing than the pain that was about to consume me— and more deadly than the darkness that was about to swallow me. What came to me was not merely death—but…

An emptiness too deep to comprehend.

And then, I fell.

Where to? I didn’t know. The darkness enveloping me was so thick it couldn’t be understood.

But what was it? I tried to describe it with words—but it was too simple to be expressed in words.

No understanding. No empathy. That utterly absurd and meaningless void slowly chewed and devoured me, erasing my existence entirely.

My face, my name, my life—everything that made me “me” was stripped away. The remnants of what I once was now became nothing, sliding down the slope of endless destruction.

──No, but… wait a moment.

If I am aware of all this… then who exactly am I who is aware of it?

And at that moment… from within myself—from something that is undoubtedly “me”—I heard it.


Part 11

I shouted, “Stop!” I called his name.

Before I knew it, warm tears were streaming down my cheeks.

“Linus...!!”

The wounds that continued to pierce and torment my body were nothing compared to the heat burning in my chest—it was so suffocating that I could hardly breathe.

I didn't understand. Why was I so shaken by the death of a con artist I had just met?

He was a liar, selfish, greedy for money, calculating—a man who was completely unworthy of pity. I knew that because I had seen his soul.

But still, I didn't want him to die. I didn't understand myself.

“You’re lying, aren’t you?”  

At the time, I was just being playful. Just curious. Just a little teasing, that’s all.  

“From now on, let’s get along, okay, Linus?”  

I asked him to accompany me on the journey; it was just a detour I took for the sake of momentary pleasure.  

Because in the end, I knew where all this would lead. From the start, this path was destined to crumble. And at the end, there was nothing but emptiness and nothingness. That was the only thing I always knew.  

But even so… I still wanted memories.  

I wanted to see, hear, touch—leave my mark, even if only a little, on this world.  

And now… only now do I realize it.

That the long journey I’ve undertaken alone, as a fictional character who is no one… is too lonely.  

And this is the consequence.  

Because of me… he was tortured to death with cruelty surpassing hell.

I should have known. I should have been prepared for an end like this. But still, the waves of emotion I never anticipated now rage uncontrollably within my body that can no longer move.  

“……No.”  

What do I not want?  

A new regret, different from all the regrets that have shaped me so far, Chronica has just been born as a living emotion. And that regret screams:  

Don’t make me regret…  

Because I still want—just a little longer to continue this journey with him.  

As soon as I realized it, the overflowing feelings within me felt like pulling the trigger of something.  

And what awoke because of it was a power I didn’t even know I possessed until this very moment: the third ability of the factor within me.

My gaze.  

My power struck into the dying man’s eyes, as if absorbed into the depths of his pupils, lodging firmly there.  

“…What?”  

Grakiel’s voice trembled from behind me, as if expressing my own feelings.

Linus, who should have been unconscious, suddenly jerked his head up as if struck hard—then collapsed. His body, still clinging to mine, began to tremble oddly. The blood flowing, the torn muscles, and the broken bones… seemed irrelevant.

As if another creature had possessed his body and forced it to move.

And that was when I began to realize what I had done to him.

In the next instant, Linus, who should have been dying, leaped like a bullet fired from a gun.

So forcefully that the thorns embedded in his body began to detach one by one, sending both of us flying to the floor.

“!? What just──”

But the reason why the creature’s—Grakiel’s—surprise was cut short was clearly visible in my peripheral vision:  

His right arm, covered in red thorns, had been torn apart without a sound. And then, a scream like the roar of a wild beast echoed, shaking the entire carriage, as if it were about to tear it apart from within.

「GIAAAAAAAAAA H!!」

That voice wasn’t Linus Kruger’s.

Nor was it anyone’s from the fake life he had once portrayed.

It was

〈Eye of Truth — Eye of Providence〉Third Ability: Third Eye. Soul and Body Transmigration, an ability to copy all of a person’s memories, emotions, and soul, then implant them into another person’s body.

The body that once belonged to Linus was changing rapidly, as if being stripped of its humanity with each passing second. The fatal information embedded in the retina spread like poison—infecting the brain in an instant, flowing through the brainstem to the spinal cord, then coursing through the entire body with the blood, transforming the man’s body from within, reshaping it into something not human, not noble… but something else.

Without expression, Linus began to eat Grakiel’s right arm, which he still held in his grasp.

The special thorns, a product of the nobleman’s special ability, were chewed, torn apart, and transformed into part of his flesh and blood. And in an instant, his body was fully healed, a pair of wild, glowing eyes now locked onto his enemy.

Perhaps due to the obvious strangeness in that gaze, Grakiel held his breath, clearly shaken.

“...You, lowly human! What... what does all this mean!? Those eyes... what!? You, vile creature, how dare you defy my power, the power of the nobility—!!”

The panicked scream he used to mask his fear was followed by a hail of thorns fired with extraordinary force.

However, Linus charged straight ahead, right into the storm of death. There was no attempt to dodge, no cunning movements, not even a trace of human caution remained. He simply swallowed the entire barrage of thorns, letting them pierce his flesh and bones as he continued to advance. And with a single bare-handed strike, he shattered hundreds of thorns at once and struck Grakiel’s main body, sending it flying.

The nobleman flew through a pile of coal and was flung through the train car door into the adjacent car.

Linus pursued him with legs that sprang like released springs.

Amidst the scattered debris, Grakiel lay helplessly. Linus tore off his arms, crushed his legs, then hacked away all the spines that were spreading out—without fear, without mercy. He dismantled the body like a cold, ruthless machine, leaving nothing behind.

──And I could only watch, falling helplessly, witnessing everything.

In my hot, trembling mind, fragments of forbidden knowledge began to connect, forming a terrifying conclusion.

Regalia, the Noble Blood Factor, is an intangible element of inheritance. It connects to the soul through the flow of human blood, transforming the body into a noble figure through a parasitic life form known as the Parasite Monarch.  

However, what I implanted into him through my left eye was not merely the blood factor.

Because I could see it clearly. Within the newly transformed gaze of Linus’s eyes… a darkness writhed.  

It was not the soul of an ordinary human. Not even the soul of a noble.  

That darkness…  

It was my Origin. My birthplace. The cursed place that should never have existed…  

“…A… Aah…”

From lips stained with blood, a lament filled with regret for an irreparable sin poured forth.  

The life of a man named Linus had just ended. Completely.  

“Gah…! Guh, oooooh! You… you’re the cause of this, AAAAARGH!!”

The executioner’s piercing scream cut through the despair in my mind. Grakiel, his face filled with fear, unleashed a relentless storm of thorns, forcing Linus’s body to fly through the air and crash through the train car’s roof.

And as he gasped for breath, his red, hate-filled eyes turned to me.

“You…! You, right?! You did this! What have you done, you cursed cancer cell, Doro Cancer!! What did you do to that lowly human──”  

“Shut up… I’ll tell you, so… don’t speak anymore.”  

As if to end everything, I hurled all the knowledge I possessed directly into the eyes of that unfortunate nobleman.

What is a King. What is the Noble Blood Factor—Regalia. And what exactly are nobles like him.

As Grakiel, who had inadvertently learned the entire truth, processed everything, the expression on his face vanished. 

A fist the size of a cannonball pierced his pale face.

A savage figure charged from the broken roof of the carriage, attacking its prey like a wild beast and tearing it to pieces. With speed surpassing the regeneration of spines, Linus dismantled the nobleman’s body—ripping off arms, crushing legs, breaking every spine that spread out, then pulling off the head and chest like lifting a statue.

And finally, the sound of flesh crushing echoed as his hands gripped the remaining fragments of the body and shattered them.

How long he dug and tore at the scattered blood and brain matter at his feet… I do not know.

“…Linus…”

When silence finally enveloped the carriage again, I looked at him.

Linus stood motionless like a broken doll. His eyes were empty, reflecting nothing. His mind had already died. His body, which had undergone a tremendous mutation, would soon follow and crumble on its own.

“I’m sorry…”

An apology that would never reach him, just a lie dripping with tears, falling to the floor. And at that moment—

“──Eh?”  

Linus’s arm, which should no longer move, began to tremble slowly. The tips of his fingers, as if lost in emptiness, began to move, then slowly turned toward his own face.  

As if finding something invisible. His fingers grasped something unseen, a thickness that did not exist…  

“That… is right…”

It sounded like the tearing of something. From within him, a faceless darkness peeled away and fell.

A hoarse voice slipped through the silence, touching my frozen eardrums in shock.

“Give me back… my money.”


Part 12

I heard it.

The sound of coins. The sound of money that never existed, still echoing since that day that passed like a warning bell. As if saying that “I” must return to being myself. 

“That's right...”

I touched my finger to the edge of the darkness trying to swallow me whole, to the thin line called a mask.

“Give me back… my money.”

When the tip of my finger finally tore it apart, the relief that enveloped me was so strong I nearly choked.

In the world that had finally regained its color, I stared at the face of a girl standing frozen. I wanted to say something to her. But with my head still deprived of oxygen, not even a sarcastic sentence came to mind.  

So, all I could do was click my tongue—tsk.  

“Why… why… can you come back…?”

“I don’t know… Maybe because I fought so hard, I don’t even remember what I did or what really happened… But one thing is certain—I won.”

I said I’d make her look defeated, right? Maybe the result wasn’t very clear, but it was worth it. Because I saw her indifferent face turn to surprise. That was enough for me.

At that very moment, my endurance broke. Every joint in my body screamed like a broken doll, and my legs, which refused to support my weight anymore, simply gave up. My body collapsed, lying flat on the floor.

And just as I was about to throw my newly regained consciousness into that heavy, sluggish, muddy chaos, it happened.

Cronica’s laughter erupted like a bullet, echoing in my ears.

“Ha, haha… fu, fufufu… ahaha… ahahahahaha──!”

I reflexively looked up, only to see the girl bending over, holding her left eye—laughing, shaken by laughter that erupted like an explosion.

She was laughing. Laughing. Blooming in laughter. Her tiny shoulders shook so violently, as if they might shatter with each wave of emotion that I could only understand as joy. 

I doubted my own eyes. 

What on earth made her so happy?

Was it because she was still alive? No. My intuition immediately rejected that. This reaction… wasn’t just relief at being safe.  

Before my mind could delve deeper into the answer, she said, “I… truly… truly am grateful… to have met you…”  

Seeing the girl choked with joy left me speechless.

The blood flowing from her wide-open left eye, like tears, was unimaginable. Every blood vessel visible beneath her eye had burst, and ruthless red cracks were etched into her pale face, like a cracked porcelain doll.

However, Cronica didn’t seem to be in pain at that moment.

With her gentle hands caressing her swollen left eye, her lips murmured softly, as if uttering a blessing. But I… truly didn’t understand what she meant.

“Because you are... a con artist.”

But she... thanked me sincerely.

“Because you are... stubborn, never honest, really annoying... and also... a heavyweight liar, who is even capable of tearing apart a face that should never have existed... but thanks to you, I can finally—”

The sentence hung in the air. Then, with a blood-stained smile that was oddly bright, he continued:  

“…see the purpose of this journey. I know where it’s heading.”  

Those eyes weren’t looking at me. They weren’t gazing into my heart either.  

Instead—they seemed to be staring far… very far… to a place even farther than the ocean itself.

──A few moments later.

Hesitantly, I called out to the girl who had finally stopped laughing.

The sound of the whistle and the clatter of the train wheels had long since faded away without a trace. The deep red light of dusk crept in through the cracks in the blood-stained walls, illuminating the girl’s body in the dark shadows.

“Um… so, now… where are you going?”  

With dried blood still clinging to her cheek, swept away by a smile, Cronica replied:  

“I already told you, didn’t I? We’re going to the sea. Of course, you’re coming too.”  

Just as I was about to protest that it would be troublesome, Cronica interrupted, speaking in a tone as if she were singing.

“But before that, we just went through something terrifying, right? So we need to rest first. I want to go somewhere with warm water for a bath~, a soft bed, and if possible… a place with a beautiful view!”  

As she spoke, Cronica pinched the torn edge of her shirt and sighed like someone exhausted.

She muttered that she had to retrieve her suitcase left behind in the passenger compartment. But before she left, I called her back and said:  

Rather than her demanding things that couldn’t be obtained at the cheap rural inn we’d be staying at tonight, it was better to give her something now.  

“If it’s just the view… I can grant that right now. Turn to the side.”  

As soon as the words left my mouth, I forced myself to stand on my trembling legs and kicked the wall of the train car, which was full of holes. The low-quality, two-dimensional frame, already damaged, collapsed backward like a mock-up building, and in its place, a scene unfolded before Cronica's stunned eyes.

“...Lies.”

To the west—toward the sea—the red sun was setting, just as it merged with the sharp peaks of the white, rugged Central Mountains. 

The mountain wind carrying fallen leaves swept in, making her long hair flutter.

Who knows how long the girl stared at the melting evening sky, with her eyes of an unusual color different from most people.

“Thank you.”

I pretended not to hear the thank you she gave while turning her head and smiling at me.

Last Illustration Masquerade Confidence~ Sagishi wa Shoujo to Kamen Shikake no Tabi o Suru Chapter 1 | Yomi Novel


Gabung dalam percakapan