Sagishi wa Shoujo to Kamen Shikake no Tabi o Suru Chapter 2 [IDN]

Bab 2 Carnival of Savarin dari Light Novel Masquerade Confidence~ Sagishi wa Shoujo to Kamen Shikake no Tabi o Suru karya 滝浪 酒利 | Yomi Novel

Penerjemah : Koyomin

Bab 2 - Carnival of Savarin

Part 1

Istilah pecinta kuliner baru muncul belakangan ini.

“Bangun, Linus. Kita sudah sampai.”

“…Aku sudah bangun.”

Bersamaan dengan suara peluit kereta yang melengking, sentuhan tangan mungil yang mengguncang lututku mengakhiri tidurku yang dangkal.

Saat aku menyingkap koran yang menutupi wajahku, judul utama yang baru saja kubaca tadi kembali melintas di pandangan.

『Rute Trans-Selatan Diserang. 245 Korban Tewas dan Terluka, Diduga Ulah Kaum Anti-Revolusi.』

Sudah tepat dua minggu sejak aku dan Chronica bertemu. Untungnya, belum ada serangan kedua sejauh ini. Dan tempat yang kami datangi sekarang mungkin adalah lokasi teraman dari bahaya itu, setidaknya di dalam negeri.

Mengikuti Chronica yang hanya membawa barang bawaan ringan, aku turun dari kereta sambil menjinjing dua koper untuk kami berdua.

Peron di stasiun ibu kota, yang ditutupi oleh struktur baja berbentuk kubah, dipadati oleh penumpang dari segala penjuru.

Mengabaikan para porter yang mengerubungi penumpang kaya, kami ikut mengantre di tengah keramaian menuju gerbang keluar selama beberapa menit.

Aku menyerahkan tiket yang sudah berlubang kepada petugas, menyelipkan beberapa buku pinjaman kereta ke dalam kotak pengembalian, lalu keluar dari stasiun.

Waktu menunjukkan menjelang siang. Dari alun-alun stasiun berbentuk setengah lingkaran yang diterangi matahari musim panas, kami bisa melihat pemandangan ibukota terbentang bak panorama.

Namun tak ada yang patut disanjung. Gedung-gedung tinggi yang megah berdiri berjajar hanya untuk menakut-nakuti orang desa. Kota besar selalu mengubah kesan tiap kali dikunjungi, tapi tabiatnya tak pernah berubah.

Meski begitu, gadis di sebelahku justru menunjuk dengan polos ke arah kemegahan palsu itu dan berseru:

“Waaah… Seperti yang kuduga, ibu kota benar-benar luar biasa. Lihat, Linus! Hotel itu, di depannya ada air mancur! Gimana kalau kita coba menginap di kamar paling atas?”

“Jangan ngaco. Dan, kalau kau terlalu heboh begitu, kau bakal kelihatan kek orang udik, tahu.”

“Kamu juga. Kalau terlalu sok dewasa begitu, malah jadi kelihatan kekanak-kanakan, lho.”

“…Udah, diam aja.”

Inilah Parington, bekas ibukota kerajaan dan sekarang menjadi ibu kota Republik Kolonial.

Dua belas tahun lalu, tempat inilah yang menjadi pusat gempa yang membalikkan seluruh negeri ini.

Di atas fondasi ibu kota baru yang dibangun oleh Parlemen Rakyat dan meniupkan angin kebebasan, tertanam puing-puing kebusukan lama yang dihancurkan, beserta kutukan para bangsawan yang dieksekusi.

Dan awal dari perjalanan kami ke tempat ini… dimulai satu minggu yang lalu.

***

『…Aku bosan.』

Di depan setumpuk kentang rebus yang dimasak asal-asalan dan bacon yang hampir seluruhnya terdiri dari lemak, Chronica mengibaskan garpunya seolah-olah mengangkat bendera putih, lalu bergumam kesal.

Sudah sekitar seminggu sejak pertemuan kami di kereta, danselama itu aku dan Chronica terus berpindah-pindah di wilayah selatan, menuju laut.

Sepanjang perjalanan, kami tentu saja tak punya pilihan lain selain mengandalkan penginapan desa yang tampak seperti sudah digerogoti tikus, baik untuk makan maupun tidur.

『Tahan saja. Makanan di daerah ini memang dari dulu tidak ada yang layak.』

Padahal tanahnya subur, tapi kondisi pangan di empat provinsi selatan sangat memprihatinkan. Kemungkinan besar penyebabnya adalah sistem monokultur yang berkembang pesat sejak revolusi, yakni para borjuis kelas menengah yang mendadak jadi tuan tanah, memaksa para penyewa lahan menanam tanaman dengan margin keuntungan tinggi seperti tembakau dan kapas, tanpa peduli pada kebutuhan pangan lokal.

『Hei… berapa hari lagi sampai kita tiba di kota yang punya jalur kereta?』

『Empat atau lima hari, kira-kira. Jangan menatapku seperti itu, jalan di sini juga sama buruknya.』

Dengan pipi yang masih menempel di meja, Chronica menghela napas ke arah gunungan kentang asin di depannya.

『…Aku ingin makan sesuatu yang enak.』

Itu adalah kemewahan yang jelas tak mungkin kami harapkan di tempat seperti ini. Tapi justru karena itulah, keinginan kami sejalan.

Aku pun tak berniat tinggal lama di pedesaan miskin seperti ini, terlebih saat hampir tak ada target yang bisa kutipu..

『Yah, sabar sedikit lagi.』

Seolah terpancing oleh gumamanku, mata kiri Chronica yang berwarna ungu amethyst itu menatapku dengan ragu.

Tanpa berkata sepatah kata pun, aku membalas tatapannya yang curiga dan memberitahunya tujuan kami selanjutnya.

***

…Dan sekarang, kami pun berada di ibu kota seperti ini.

Satu-satunya kelebihan kota besar adalah jumlah manusianya, yang berarti selalu ada target untuk ditipu. Jalan besar yang dipenuhi bangunan rangka kayu bertembok bata merah-putih itu sesak oleh para pria dan wanita berpakaian rapi.

"Ayo ke sini, Linus! …Sudah kubilang, ikuti aku baik-baik!"

Dengan suara ceria, gadis itu melangkah sambil mengayun-ayunkan koper hitam barunya, berisi pakaian ganti.

"Tujuan utama kita memang makanan, tapi ini masih terlalu awal untuk makan siang. Mumpung kita di ibu kota, yuk kita keliling-keliling dulu. Hitung-hitung sebagai apéritif sebelum makan besar."

Ujung sepatu kulit yang menjulur dari rok gingham-nya mengetuk batu paving saat ia tersenyum. Kemeja putih tanpa lengan dan topi lebar senada menaungi rambut panjangnya yang bergradasi dua warna, ujung perak pucatnya berkilau diterpa cahaya matahari. Sebelum datang ke ibukota, dia membeli semua pakaian itu (dengan uangku), dan kini penampilannya benar-benar mencerminkan musim panas yang sedang berlangsung.

Bukan berarti aku terpikat pada penampilannya. Sama sekali tidak. Tapi… dengan terpaksa, aku meraih tangan yang dia sodorkan.

"Jaga aku baik-baik ya. Linus."

Dan jika harus menggambarkan satu jam setelahnya dalam satu kata, maka hanya ada satu yang tepat:

“…Capek.”

Begitu aku bersandar di bangku alun-alun pusat tempat kami akhirnya bisa beristirahat, kalimat itu meluncur keluar begitu saja.

Aku diseret ke butik-butik kecil yang penuh gaya, dibelokkan ke rumah berlapis kaca, dibuat jantungan saat dia berhenti terpaku di depan toko perhiasan, lalu dimarahi karena berjalan terlalu lambat… Meski sebagai penipu aku sudah cukup terbiasa menemani perempuan berjalan-jalan di kota, tapi kalau lawannya gadis ini, rasanya sungguh jauh lebih melelahkan dari biasanya.

Sambil memandangi langit biru yang menyebalkan di atas kepala, aku menyalakan rokok tanpa sadar. Dan saat itu juga, Chronica yang duduk di sebelahku tiba-tiba bersuara:

"Kamu sudah lelah? …Kamu kayak om-om aja."

"Biarkan saja. Dan dengar, aku ini masih dua puluh delapan tahun."

Sambil menghembuskan asap, aku menjawab begitu. Chronica hanya menatap langit yang sama dengan satu mata, lalu bergumam:

"Kesampingkan usiamu yang ternyata cukup muda itu… Ini cuacanya benar-benar cerah, ya… Oh iya!"

Begitu dia menepuk tangan, gadis itu langsung mengeluarkan sebuah buku dari kopernya atau lebih tepatnya, mungkin buku harian yang sempat dia sebut sebelumnya, dia mengelap ujung penanya, lalu mulai menulis cepat di halaman itu.

Entah dari mana dia mendapatkannya, buku harian itu tampak tebal dan kokoh. Dari kondisi sampulnya yang sudah usang, sepertinya buku itu sering dipakai. Mungkin dia sudah membacanya berulang kali.

“Biasanya buku seperti itu ditulis di akhir hari, kan?”

“Aku ini tipe yang nulis saat terpikir aja. Soalnya… hmm, nggak jadi deh.”

Kalimat itu terpotong. Hanya ujung pena yang terus bergerak di atas kertas. Saat aku melirik dari samping, isi buku harian itu ternyata lebih mirip catatan pengingat, dengan potongan-potongan kalimat pendek tersebar di berbagai bagian.

Namun ketika aku terlalu lama mengawasinya, sebuah tatapan setengah melotot tiba-tiba mengarah padaku.

“Kuperingatkan ya, kalau kamu berani baca tanpa izin… aku akan membuatmu menderita.”

“Itu udah teradi… Bercanda, aku nggak punya waktu buat kepo puisi remaja.”

Aku menghembuskan napas penuh asap sambil bersandar. Dan saat itu juga, ujung mataku menangkap sesuatu di balik asap rokok yang mengepul.

Belum sempat aku berkata apa-apa, Chronica tampaknya juga melihat hal yang sama.

“Linus… itu…”

Tak tahu harus mulai dari mana, akhirnya aku hanya menyampaikan fakta dengan datar.

“Itu alat pemenggal. Yang dipakai saat Revolusi. Sekarang dijadikan monumen.”

Di bawah sinar matahari yang cerah namun sejuk, deretan alat pemenggal berkarat karena darah berdiri membisu.

Di tengah-tengah alun-alun berbentuk segi enam, tempat di mana jalan-jalan utama saling bersilang. Nama tempat itu, seperti yang dikenal banyak orang, adalah Alun-alun Guillotine Revolusioner.

Dulu, negara ini pernah memiliki sistem eksekusi mati.

Pada masa lampau, para bangsawan biasa mengadakan eksekusi terbuka yang brutal dan penuh pertunjukan, semata-mata untuk menakut-nakuti rakyat.

Namun saat Revolusi bergulir, darah biru para bangsawan ditebang secara massal. Tak ada lagi pertunjukan, hanya efisiensi yang dingin.

“...Maaf, gimana ya, aku... lupa,” ucapku pelan, merasa tidak enak hati.

Chronica sendiri jarang bicara soal ini, tapi dia pun termasuk bangsawan yang tersisa dari masa lalu.

Bahkan bangsawan yang kini tinggal di ibu kota dan telah menyerahkan hak atas faktor-nya kepada Biro Pengelola pun nyaris tak ada yang sudi menginjakkan kaki di tempat seperti ini. Wajar saja. Meski keluarga mereka mendukung revolusi, sering kali ada sanak saudara yang kepalanya ikut jatuh di sini.

Namun Chronica hanya menatap alat pemenggal itu dengan wajah tenang, lalu berkata:

“Tak usah dipikirkan. Aku tak punya siapa-siapa yang mati karena revolusi. Tidak keluarga, tidak teman… tidak satu pun.”

Entah kenapa, saat itu wajahnya dari samping justru terlihat seperti seorang anak kecil yang sedang iri pada sesuatu yang tak bisa ia miliki.

Jam di ujung alun-alun segi enam itu pun berdentang, menandai tengah hari dan menggantikan peran matahari sebagai penunjuk waktu.

Seolah itu adalah sinyal, Chronica pun menutup kembali buku hariannya, menggenggam tanganku, lalu berdiri.

“Lupakan yang tadi. Ayo kita pergi, Linus. Jangan lupa tujuan utama kita adalah…”

Ia menunjuk jalan besar yang mengarah ke pusat kota yang lebih modern, dan dengan semangat yang nyaris meledak, ia berseru:

“Restoran!”

Part 2

Pembantaian besar-besaran terhadap kaum bangsawan yang dalam istilah halus disebut revolusi rakyat, juga membawa perubahan dalam budaya kota.

Salah satunya adalah kemunculan bentuk rumah makan baru yang dibuka oleh para mantan pelayan bangsawan yang kehilangan pekerjaan.

Di tempat-tempat seperti itu, selama kau bisa membayar, siapa pun bisa menikmati makanan bukan untuk mengisi perut semata, melainkan demi kenikmatan. Kalau memakai istilah masa kini: kuliner.

Itulah yang disebut restoran. Tempat makan yang menjadi simbol zaman baru.

『Hebat! Kalau memang ada tempat seperti itu, nggak ada alasan untuk menolak. Sudah diputuskan, tujuan kita selanjutnya: ibu kota!』

Begitulah kata Chronica dengan semangat membara, sambil menengadah dari tempat tidur usang di penginapan murah kawasan selatan. Seolah bisa membaca pikiranku sebelum aku sempat mengucap sepatah kata pun.

Tentu saja aku tidak keberatan. Tapi tetap saja, ada satu hal yang cukup mengganjal pikiranku.

『...Ngomong-ngomong, sejak kapan sih kau mulai bepergian kayak gini? Maksudku, selama ini kau hidup seperti apa?』

Untuk ukuran seorang gadis yang katanya sedang dalam perjalanan, Chronica terlalu... ya, terlalu polos. Bahkan kata "naif" pun terasa terlalu ringan.

Dia terdiam beberapa detik, lalu berbisik pelan, seperti ingin memberi alasan tanpa benar-benar memberikannya.

『...Rahasia. Kalau kamu benar-benar penasaran, silakan berimajinasi sesukamu.』

Sikapnya jelas menghindar. Tapi anehnya, aku tidak merasa perlu mendesaknya lebih jauh. Lagipula, kecuali soal uangku yang dirampas, aku sama sekali tak punya niat mengenal gadis ini lebih dalam.

『Ya udah. …Terus, sikap nyebelinmu itu juga sudah dari lahir, ya?』

Dadanya aja kecil, batinku nyaris meluncur keluar, tapi sebelum sempat terucap, lutut dari balik meja menghantam tulang keringku dengan kekuatan tak terduga. Saat aku meringis menahan nyeri, sebelah mata kirinya terbuka sedikit dan melirikku sambil melemparkan senyum manis yang sama sekali tidak terlihat tulus.

『Pokoknya, kita ke restoran ya. Tempat yang paling enak, paling luar biasa』

***

Begitulah, keinginan Chronica dan demam restoran yang melanda ibu kota menemukan titik temu yang sempurna.

Di jalanan kuliner yang kini tengah naik daun itu, kerumunan orang dari segala usia dan latar belakang memenuhi setiap sudut dengan wajah-wajah riang dan penuh semangat. Menyadari bahwa aku kini adalah bagian dari keramaian itu... membuatku ingin menghilang dari muka bumi.

Dan yang lebih parah: hanya ada satu mulut untuk menghela napas ini.

“...Dengar, tolonglah, bisa nggak cepet diputusin aja? Sudah, yang di ujung situ juga kelihatan enak, kan?”

“Nggak bisa! Ini pertama kalinya aku makan di restoran, tahu? Harus pilih yang benar-benar berkesan. Harus jadi kenangan indah! …Hmm, restoran itu kayaknya gratin seafood-nya enak. Tapi menu lainnya biasa aja, ya. Yang sana... ih, masa sih? Mereka beneran makan bekicot?”

Dengan mata kirinya yang berwarna ungu, Chronica terus-menerus mengamati para pelanggan yang keluar dari berbagai restoran, seolah membaca ingatan mereka soal menu dan ulasan rasa. Sudah hampir setengah jam, tapi langkahnya nyaris tak berpindah dari tempat semula.

Eye of the Providence. Mata kirinya itu biasanya selalu terpejam. Kata Chronica sendiri, alasannya karena: ‘Yang terlihat belum tentu selalu ingin kita lihat.’

“Lelah juga, ya... Nggak nyangka jumlah restoran di sini sebanyak ini.”

“Itu karena sekarang nggak ada lagi serikat dagang.”

Begitu dia menoleh dengan dahi mengernyit, aku mulai menjelaskan sambil mengingat-ingat.

“Dulu, orang nggak bisa sembarangan buka usaha. Misalnya toko roti, jumlahnya dibatasi per kota. Gandum harus pakai stok dari tahun sebelumnya, harga nggak boleh naik atau turun, diskon dilarang, bahkan jualan kue selain roti pun nggak boleh. Pokoknya ketat banget.”

Itu semua konon demi menjaga stabilitas kualitas dan pasokan bahan pangan untuk masyarakat bawah. Sistem serikat dagang seperti itu sudah ada sejak zaman sebelum revolusi. Tapi...

“Kalau kayak gitu, bukannya malah merepotkan, ya?”

“Iya. Makanya sistem itu dibubarkan. Dan hasilnya, ya beginilah jadinya.”

Restoran menjamur seperti rumput liar di musim hujan—semua karena pembatasan dicabut. Permintaan pasar yang sebenarnya diabaikan, dan begitu tren ini lewat, sebagian besar dari mereka pasti akan gulung tikar. Baru saja aku selesai menjelaskan hal itu, ketika—

“Ah! Lihat, Linus! Lihat tuh, orang yang baru keluar dari restoran itu—dia habis makan full course mewah! Wah, kelihatannya enak banget! Terutama... bagian dessert-nya!”

Chronica sudah berlari lebih dulu, mengabaikan omelanku lebih ringan dari tiupan angin sepoi.

“Dasar... Bocah macam dia kalau sudah manja gini, besarnya pasti jadi orang yang nyusahin.”

Aku mengumpat pelan, menggantikan helaan napas yang tak sempat keluar. Baru saja hendak mengejar punggung mungil yang makin menjauh, tapi kuurungkan niat itu.

Kalau dipikir-pikir, bukankah ini justru kesempatan? Sekarang dia sedang menjauh, dan aku bisa menyelesaikan urusanku tanpa gangguan. Waktu yang dibiarkan lewat tanpa menghasilkan uang hanyalah kerugian yang tak bisa ditutup.

Kalau begitu—aku segera melihat sekeliling ke tengah keramaian tanpa menarik perhatian.

Seorang pria dengan topi tinggi dari sutra. Sekelompok ibu-ibu yang tertawa kecil sambil membawa kantong belanja. Aku mencari “calon korban” yang terlihat punya uang dan terlalu percaya diri... dan kemudian, sosok itu tiba-tiba muncul di ujung pandanganku.

Seorang wanita dengan payung berenda mencolok. Mantel gaun biru muda dengan potongan asimetris di bagian bawah, pinggang menyempit kelewat ketat, dan rok panjang menjuntai—semua itu menjelaskan tanpa kata bahwa dia, adalah seorang nona bangsawan.

Ia berdiri membelakangi keramaian, menatap etalase toko di sisi jalan. Gerak-geriknya begitu anggun, rambut pirang-platinumnya bergoyang mengikuti langkah yang pelan dan berirama. Pemandangan itu seolah-olah mengundangku, seperti pintu lemari harta karun yang baru saja terbuka.

Sudah kutentukan. Wanita itu jadi targetnya.

Menjaga jarak agar tak terlalu dekat atau terlalu jauh, aku mengikutinya sambil merogoh saku. Sebuah cermin saku dan sisir kecil—seperangkat alat untuk memastikan penampilan. Dalam urusan penipuan pun, kesan pertama itu segalanya.

Namun saat aku mulai mempercepat langkah, sesuatu di ujung penglihatanku membuatku menghentikan diri.

“Hm? …Eh, oyy...”

Seorang pria asing muncul dari kerumunan dan menghampiri wanita itu. Entah untuk menanyakan arah, merayu, atau menjual sesuatu—aku tidak peduli.

Masalahnya adalah pria itu ternyata tidak sendiri. Satu orang lagi muncul diam-diam dari belakang.

Saat temannya mengalihkan perhatian si wanita, orang kedua itu tanpa ragu merampas tas kecil yang tergantung di pergelangan tangan sang nona.

“—Hei! T-Tunggu!!”

Refleks berteriak, lalu berpura-pura mengejar seperti si pengalih perhatian tadi, aku pun ikut berlari ke arah kejadian.

Cara seklise itu, tanpa sedikit pun kreativitas—menurutku, trik kelas tiga yang bahkan tak pantas disebut trik. Tapi lebih dari kesal, kakiku bergerak lebih dulu.

Tak bisa kubiarkan wanita itu—targetku—dirampas oleh perampok murahan di jalanan seperti mereka.

Aku segera memprediksi arah lari si pelaku, memotong jalurnya lebih dulu, lalu bersembunyi di balik kerumunan. Begitu si perampok datang berlari dengan kecepatan penuh, aku menyelipkan satu kaki ke depannya secara tiba-tiba.

“!? Guaagh!!”

Pria malang itu terpeleset dengan sangat indah, lalu menghantam tiang lampu jalan dengan kepala lebih dulu.

Dompet kecil yang terlepas dari genggamannya melayang dalam parabola sempurna ke udara. Aku menyambutnya dengan satu lambaian tangan, menangkapnya tepat waktu.

Tanpa memperlambat langkah, aku terus berjalan di antara kerumunan, berselisip dengan pria kedua yang hendak menyusul temannya.

Dalam sepersekian detik, tanganku bergerak lincah—menarik sabuk dari pinggang pria itu dan melepaskannya.

“!? Guh—arggh!!”

Celananya melorot begitu saja, membuatnya tersandung karena terinjak sendiri, lalu meluncur dengan wajah terlebih dahulu ke sisi temannya, sambil memamerkan celana dalam lusuhnya pada khalayak.

Sementara kerumunan mulai ribut dan para pengamat mulai berseru-seru, aku hanya menunduk sedikit dan kembali mengenakan “wajah biasa” yang selalu kupakai saat sedang beraksi.

Aku bahkan tak perlu mencari-cari lagi. Di sana, wanita dengan payung renda itu berdiri terpaku, masih dalam keadaan terkejut.

Dengan nada suara yang dibuat-buat seolah ini kebetulan semata, aku mendekat dan menyapanya.

“Permisi, Nona yang cantik. Ini... sepertinya dompetmu terjatuh.”

Ilustrasi Pertama dari Light Novel Sagishi wa Shojo to Kamen Jilid 1 Bab 2

Part 3

Pria itu menggandeng tangan sang wanita dan membawanya ke teras terbuka sebuah restoran yang tampak cocok tak jauh dari tempat kejadian.

Ketika mereka hanya memesan minuman, sang pelayan sempat memasang ekspresi tak senang. Namun, begitu menerima tip dalam jumlah cukup besar, wajahnya langsung berseri. Tak perlu diminta untuk mengatakan “silakan bersantai”—karena memang itulah rencananya dari awal.

“Te-terima kasih banyak… Kamu benar-benar menyelamatkanku. Aku bahkan tak tahu bagaimana harus membalas kebaikan sebesar ini…”

“Tak perlu membalas apa pun. Yang lebih penting, Kamu tidak terluka, kan? Wanita secantik dirimu berjalan sendirian di tengah keramaian seperti ini… agak sembrono, kalau boleh kukatakan.”

“Y-ya… Aku pun menyadari itu, sebenarnya… Hanya saja… ada sedikit alasan pribadi…”

Tatkala si wanita menundukkan wajahnya dengan ragu, dalam hati aku hanya bisa mengangguk kecil—ya, seperti yang kuduga.

Rambut pirang platina-nya berkilau seperti kelopak bunga camellia, dan meski pita biru yang menghiasi rambutnya terkesan terlalu kekanak-kanakan, warnanya cocok dan mempercantik penampilannya. Anting mutiara yang ia kenakan jelas mahal, dan aroma parfum yang tercium pun berasal dari merek kelas atas.

Meski begitu, ada satu detail aneh—di balik seluruh perhatian pada penampilan luar itu, kuku-kukunya polos tanpa hiasan cat sedikit pun. Meski terasa janggal, hal itu masih bisa diabaikan.

“Sepertinya kamu menyimpan sesuatu yang cukup dalam. Tapi mungkin, pertemuan ini sudah ditakdirkan. Jika kamu berkenan… izinkan aku membantu sebisanya.”

Meski sebenarnya, dalam pengalaman pribadi, “masalah pribadi” wanita jenis ini biasanya tak lebih dalam dari genangan air hujan.

“T-Terima kasih! Ini kali pertama… ada orang asing yang begitu baik hati padaku!…Ngomong-ngomong, boleh aku tahu… siapa namamu?”

“Namaku Wilson Broget. Silakan panggil aku Will, jika berkenan.”

Itulah nama yang saat ini sedang “ku gunakan”—bukan sebagai diriku yang asli, melainkan sebagai dirinya.

Dia adalah anak seorang petani dari wilayah timur yang hidup sederhana. Namun berkat ketekunan dan kerja kerasnya, ia berhasil lulus universitas dan kini menjadi pengusaha muda yang memiliki ladang kapas luas serta pabrik sendiri.

Sikap dan aura yang dipancarkannya penuh percaya diri dan kesegaran—nyaris merupakan sosok ideal bagi wanita.

Satu-satunya kekurangan pria sempurna ini hanyalah: dia tidak benar-benar ada.

Sebagai balasan, si wanita menyambut perkenalan itu dengan senyum semanis bunga dan mengangkat gelas limun yang dipesan.

“Dengan senang hati, Will! Namaku Patricia Ushkeen. Silakan panggil aku Patty.”

Topeng Will memberikan respons yang jauh lebih baik dari yang diharapkan. Setelah itu, keduanya pun cepat akrab, mengobrol ringan sambil perlahan mencairkan suasana.

Konon, keluarga asal Patricia adalah bangsawan kaya dari wilayah selatan. Namun darinya, aku sama sekali tak merasakan aura mengerikan khas yang itu. Malah bisa dibilang, dia begitu ceroboh sampai jadi korban penjambretan.

Memang tak semua bangsawan memiliki Regalia, faktor darah kebangsawanan. Faktor ini hanya diwariskan dari satu orang tua ke satu anak. Dengan kata lain, sekalipun kedua orang tuanya bangsawan, hanya dua anak mereka yang bisa mewarisi faktor itu. Selebihnya hanyalah “bangsawan” dalam nama, tapi hakikatnya orang biasa.

Dan kenyataannya, sebagian besar keluarga bangsawan yang masih tersisa pascarevolusi pun sudah kehilangan garis pewarisan Regalia sepenuhnya.

Tiba-tiba, terdengar bunyi pelan es mencair yang mengetuk dinding dalam gelas. Pada saat bersamaan, Patricia membuka isi hatinya.

Ia mengatakan bahwa ia melarikan diri dari rumah karena muak dijodohkan oleh orang tuanya.

“Itu alasan yang sangat biasa~desuwa? Bagi seseorang sepertimu, yang membangun hidupnya dari nol lewat kerja keras, keluhan gadis manja sepertiku yang tak pernah kekurangan apa-apa pasti terdengar bodoh. …Silakan tertawakan saja.”

“Aku tak akan menertawakanmu. Tidak sedikitpun. ‘Alasan yang biasa’ itu justru bukti bahwa banyak orang merasa hal itu tidak bisa dikompromikan. Dan kalau kamu mengambil pilihan serius karena itu… aku takkan pernah menganggapnya sepele.”

“...Terima kasih. Kamu benar-benar baik, ya…”

Melihat Patricia nyaris berlinang air mata karena tersentuh, aku hanya menertawakannya diam-diam dari balik topeng.

Sudah cukup untuk mengerti cara kerja isi kepala wanita ini. Sama seperti yang biasa dilakukan Cronica, sekarang aku sudah mengobrol cukup lama dengannya untuk tahu apa yang benar-benar dia inginkan.

Patricia ingin percaya bahwa pertemuan ini adalah takdir. Lebih dari sekadar penyesalan karena melarikan diri secara impulsif, dia mendambakan adanya “kebetulan yang terasa pasti”—sebuah takdir manis yang seolah berkata: ini memang jalanmu.

Kalau begitu, aku hanya perlu memenuhi peran yang dia inginkan. Aku akan menjadi sosok yang dia harapkan. Dan ketika akhirnya dia terhanyut, tenggelam dalam danau impiannya yang indah itu—dia takkan sadar bahwa permukaan cermin yang menyambutnya itu milik iblis.

“Tapi, Patty. Aku harus jujur padamu—aku khawatir. Bukan cuma karena kejadian tadi, tapi kalau kamu terus bepergian sendirian seperti ini, kamu bisa saja mengalami hal yang lebih berbahaya. Terus terang, menurutku kamu sebaiknya segera berdamai dengan ayahmu dan kembali ke rumah.”

“Itu… memang benar, sih…”

“Tapi, kalau memang itu terasa terlalu sulit… maukah kamu mengandalkan aku saja?”

Saat berkata demikian, pria itu menggenggam tangan Patricia dengan lembut.

“E-eh… Will, maksudmu… dan soal tangan ini, maksudku… itu…”

“…Maaf. Mungkin memang terlalu cepat. Kalau kamu tak nyaman, kamu boleh menolaknya, sungguh.”

Sambil menyampaikan perasaan tulus lewat mata zamrud yang memikat, di baliknya aku mendengar denting samar koin-koin tak terlihat. Semudah memelintir pergelangan tangan bayi. Tubuh, hati, bahkan kekayaan keluarga wanita ini—semuanya kini berada di genggamanku.

“Patty… maukah kau ikut denganku?”

“…Will.”

Di teras kafe, dalam siang yang seolah membuat waktu terhenti, kedua pasang mata saling menatap. Bibir mereka perlahan saling mendekat, nyaris bersentuhan—hingga pada detik itu, aku sadar.

Dari balik bahu putihnya yang dihiasi rona platinum-blonde, sepasang mata ungu itu menatap tajam ke arahku.

“──GUUHHHAAAHH!?!”

“W-Will!?”

Tatapan itu menembus retina lalu menghantam langsung ke dalam otakku. Tekad Chronica yang menghujam bagai palu mengguncang sumsum tulang belakang. Dampaknya bukan hanya memaksa tubuh Will dan diriku terpisah dari Patricia, namun juga membuatku terpental ke arah pot besar di belakang dengan posisi seperti jembatan patah.

“KYAAAH! W-Will, ADA APA!? T-tunggu… luapan hasrat seperti ini terlalu mengejutkan, bukan terlalu cepat, tapi terlalu eksperimental!?”

“B-bukan… ini, ada… alasannya…”

Tubuhku tak bisa bangkit. Punggungku melengkung kaku membentuk lengkungan aneh, kepala masih tertanam di dalam pot, tak bisa diangkat. Tapi entah kenapa, kedua kakiku bergerak sendiri, berdiri melawan kehendakku.

Segera kembali. Perintah yang tertanam langsung di batang otak mengalir cepat lewat darah ke seluruh tubuh.

“Ma-maaf… sejujurnya aku mengidap penyakit langka—kejang refleks punggung laut mendadak… H-hari ini aku pamit dulu.”

“Apa itu tadi!? Penyakit absurd dengan reaksi dramatis berlebihan!? Eh, tunggu! Setelah momen barusan, kamu pikir ini akhir yang masuk akal!?”

Meninggalkan dalih mengada-ada itu, aku melarikan diri dari tempat kejadian.

Untungnya, dalam beberapa langkah tubuhku kembali ke postur normal. Dengan susah payah aku menyelinap keluar dari kerumunan dan sampai di hadapan Chronica.

Namun sebelum sempat mengeluh dalam kondisi napas yang hampir habis, suara dingin gadis itu menyentakku lebih keras dari tamparan.

“Baka~.”

Part 4

Beberapa menit kemudian, ketika akhirnya suasana hati Chronica sedikit membaik, aku pun bertanya apakah ia sudah menentukan tempat makan.

“...Belum. Soalnya aku sibuk mencari si tukang bohong dan buaya darat yang meninggalkanku di tengah jalan.”

Tentu saja. Batal sudah harapanku. Mood-nya belum membaik sama sekali.

“Maaf, oke? Tapi salahmu juga. Mau cari makan sampai matahari tenggelam?”

“Aku tahu... Tapi...”

Chronica menunduk, suaranya meredup sesaat. Tapi aku tak bisa lagi berjalan menemaninya. Bukan karena kesabaran, tapi karena... pinggangku benar-benar tak kuat lagi.

“Sudah, cukup. Ikut saja.”

“Eh, tunggu──Linus!?”

Kali ini aku yang menggenggam tangan Chronica, menariknya dengan agak paksa. Kami keluar dari jalan utama yang ramai menuju gang sempit yang suram, tempat tikus-tikus biasa berseliweran.

Dan memang, satu hal yang kupelajari selama jalan-jalan tadi: semua restoran di jalan utama sama sekali tidak layak. Terutama yang ramai—itu justru yang paling harus dihindari.

“Tunggu… tempat makan di arah sini? Seriusan?”

“Tenang saja. Tadi aku sempat lihat sesuatu. Nih, kita sudah sampai.”

Di ujung gang, berdiri sebuah bangunan tua dua lantai dengan tampilan yang benar-benar... tidak menjanjikan.

Lokasinya pun payah. Kemungkinan besar pemiliknya hanya orang naif yang tertipu dan dapat tempat sialan ini.

“Aduh... kenapa sih narik-narik gitu, tapi bunganya... cantik, ya.”

Chronica mendekatkan wajahnya ke hamparan bunga kembang sepatu yang tumbuh segar di taman kecil depan toko, dan bergumam pelan.

Bagian depan toko tampak bersih. Seekor kucing gemuk—mungkin pelindung alami dari tikus—tertidur malas di atas kanopi, menguap panjang.

Tak seramai toko-toko mencolok di jalan utama, tapi justru itu yang membuat tempat ini menjanjikan.

Disambut suara nyaring lonceng pintu, aku dan Chronica melangkah masuk ke dalam.

“Ara~, pelanggan ya. Selamat datang.”

Sambutan itu datang dari seorang maid tua, membungkuk dalam dan sopan. Tubuhnya yang bulat seperti bawang bombai besar tampak sangat pas dengan celemek putih lusuh yang ia kenakan.

Kami duduk di meja yang ditunjukkan. Ruangan sempit itu memiliki dinding putih bercat kusam yang memantulkan cahaya lampu orange dengan lembut. Meja kayunya, meski tampak murah, mengkilap seperti kayu hitam mahal yang telah dipoles telaten selama bertahun-tahun.

“Terima kasih telah berkunjung. Jarang ada tamu muda seperti kalian… ya, tamu secara umum juga jarang sih… Tapi terlepas dari itu, kami akan melayani dengan sepenuh hati.”

Maid tua itu dengan cekatan menyajikan air dan serbet, semua dilakukan dengan gerakan rapi dan anggun.

“Terima kasih. Kalau boleh tanya, menunya dari chef langsung?”

“Betul. Kami tidak menyediakan daftar menu. Rasanya seperti diundang makan malam kuno, bukan?”

“Dan ini sudah sesuai dengan yang kuharapkan.”

Sambil membiarkan Chronica yang tampak bingung dengan tanda tanya di wajahnya, kami menunggu sejenak sampai akhirnya terdengar langkah kaki tergesa-gesa mendekat.

“Se…selamat datang!”

Yang muncul adalah seorang pria yang penampilannya sangat khas koki. Wajahnya terlihat ramah dan kulitnya agak terbakar dan yang paling mencolok adalah hidungnya yang besar dan memerah, jelas menandakan bahwa ia sudah bertahun-tahun terpapar panasnya api dapur.

“Terima kasih. Kami sudah lumayan lama berjalan keliling tadi, jadi perut ini sudah mulai keroncongan. Gadis ini juga, meski tak tampak begitu, makannya cukup banyak. Bisa kami minta dua jenis appetizer dan dua main course, serta roti dan anggur?”

“Ba…baik! Apakah ada makanan yang tidak disukai?”

“Tidak ada hal yang khusus. Hanya saja, dia ini masih bocah, jadi kalau bisa, yang terlalu pedas tolong dihindari.”

Alis Chronica sedikit mengerut mendengar itu, tapi aku pura-pura tidak melihat.

Sementara sang pemilik restoran buru-buru kembali ke dapur, maid tua itu menunduk dan meminta maaf.

“Mohon maaf atas kekacauan barusan. Tuan kami memang agak ceroboh orangnya, tapi kemampuan beliau sebenarnya tidak perlu diragukan. Mungkin karena sudah lama tidak menerima pelanggan, beliau jadi sedikit gugup. Mohon pengertiannya.”

“Tak masalah, sungguh... Ah, ini hanya karena penasaran saja—Anda dan pemilik restoran ini, apakah suami istri?”

“Oh, tidak. Saya hanya pegawai di sini. Hubungan kami sepenuhnya profesional, murni urusan pekerjaan, seperti antara atasan dan bawahan. Tapi kalau boleh tahu... Anda dan nona ini, apakah kalian pasangan kekasih?”

“Tidak sama sekali. Saya cuma dititipi putri kerabat.”

Aku menepis pertanyaan itu dengan asal. Tapi entah kenapa, si maid tua justru menarik napas panjang dan dalam.

“Oh... begitu, ya. Maafkan saya. Saya sempat mengira... nona yang cantik ini berasal dari keluarga terpandang, sementara Anda adalah tukang kebunnya, lalu kalian melarikan diri bersama demi cinta yang tak direstui keluarga. Itu yang saya bayangkan—maksud saya, saya kira begitu...”

“Sekali lagi, tidak ada yang seperti itu. Dan... kenapa detail latarnya begitu spesifik?”

Meski aku mencoba memotong ucapannya, maid tua itu tetap melanjutkan khayalannya dengan semangat yang menggebu.

“Ah, meski kalian hanya kerabat, kalian masih muda dan dekat. Siapa yang bisa menjamin kalau kisah ini tak akan berkembang jadi penuh bumbu asmara yang... dituangkan per galon? Aduh! Kalau begitu, saya tidak bisa tinggal diam! Saya harus memastikan hidangan hari ini menjadi pembuka dari tragedi cinta tanpa akhir yang menyeret kalian ke jurang asmara penuh pusaran dan──aw, aduh!”

“...Ibu tak apa-apa?”

Chronica bertanya hati-hati ketika si maid tua tiba-tiba membungkuk sambil memegangi pinggangnya.

“Mo…mohon maaf... Tubuh tua ini tak sanggup mengikuti semangat yang tiba-tiba meledak karena aroma remaja penuh cinta ini... sepertinya pinggang saya tak bisa diajak kompromi...”

Sambil terhuyung-huyung berdiri, maid tua itu tetap sempat membungkuk dengan penuh hormat sebelum mundur, semangatnya yang barusan menggebu kini memudar dengan sendirinya.

“Ma…mohon bersantai saja… Bahkan jika saya kelak terkubur di dalam tanah, tulang tua ini akan tetap mendoakan kebahagiaan kalian berdua…”

Aku spontan menutup wajah dengan tangan saat melihatnya pergi sambil mengacungkan jempol ke arah kami.

“Ini beneran rumah makan, kan…?”

“Kau yang memilihnya,” sahut Chronica, entah kenapa dengan senyum kecil di sudut bibirnya.

“Harusnya kau bantu menyangkal sedikit kek. Mungkin kalau kubasahi pakai air tadi, si nenek bisa padam.”

“Mungkin malah tambah parah. Apa pun yang kau lakukan, pasti akan seperti menyiramkan minyak ke api. Lagipula, kau juga kelihatannya tidak terlalu terganggu.”

“Jangan mengada-ada. Aku masih punya sedikit rasa jijik terhadap cinta.”

Sekilas, wajah Patricia melintas di benakku.

Dia pun sama saja. Cinta, kasih sayang, semua omong kosong itu hanyalah ilusi yang digunakan orang untuk menipu diri sendiri. Tak ada yang sebodoh membiarkan hidup dikendalikan oleh sesuatu yang bahkan tak bisa disentuh.

Tak ada yang tidak bisa dibeli dengan uang. Itu ungkapan yang sangat aku sukai.

Kalau memang ada sesuatu yang tak bisa dibeli dengan uang, berarti sejak awal memang tidak pernah ada di dunia ini.

Cinta, keadilan, perdamaian… Orang bilang hal-hal itu tak ternilai dan tak bisa ditukar dengan uang. Menurutku, itu hanya kesalahpahaman yang konyol.

Benda yang tak bisa dibeli dengan uang, justru karena dari awal tidak pernah benar-benar ada. Dan kalau sesuatu tidak ada, maka tentu saja tidak bisa kau dapatkan, sesering apa pun kau mencarinya.

“Kau ini… benar-benar menyedihkan. Nggak ada romannya sama sekali.” 

“Biarin. Semua itu lebih cocok jadi makanan anjing.”

Setelah menunggu sekitar belasan menit, pesanan kami akhirnya tiba. Dan ternyata—semua kekhawatiranku soal rasa tadi sama sekali tak beralasan.

Hidangan pembuka yang kami pesan ada dua: ikan goreng renyah dengan aroma yang langsung menggoda selera, dan quiche bayam panggang yang matangnya pas. Untuk menu utama, tersaji daging babi panggang dengan saus apel, serta sup krim putih yang dibungkus dalam kulit pai hangat dan mengembang sempurna. Semuanya disajikan bersama roti empuk yang masih hangat, baru keluar dari oven.

Tak satu pun hidangan itu dibuat asal-asalan. Semuanya dimasak dengan penuh perhatian, seolah hanya untuk meja kami saja—benar-benar terasa seperti order made.

Di restoran populer di jalan utama, mustahil mendapatkan perlakuan seperti ini. Di tempat-tempat ramai itu, banyaknya pelanggan memaksa mereka mempersingkat proses, memangkas langkah, dan mengandalkan menu siap saji yang sudah disiapkan sebelumnya.

Itu memang cara berdagang yang tepat di masa kini. Efisiensi di atas segalanya—waktu dan tenaga per pelanggan dipangkas, jumlah pelanggan dimaksimalkan, dan keuntungan menjadi prioritas. Itulah wajah nyata bisnis modern yang berorientasi massal.

Namun, restoran ini dan pemiliknya… masih hidup di masa lalu, tak berubah sejak zaman mereka mengabdi di rumah-rumah bangsawan.

Karena tak mampu menjadi pebisnis yang mengikuti zaman, karena hanya tahu bagaimana cara mengabdi dengan setia pada seseorang—restoran milik koki tua itu, justru mampu memberikan pelayanan terbaik yang tak bisa ditemukan di tempat lain.

Dan kelak, tempat seperti ini akan menghilang dalam bayang-bayang sejarah, tanpa suara.

“Yah, aku sendiri sih nggak peduli. Tapi ngomong-ngomong, Chronica…”

“...Apa dengan ekspresi menyebalkan itu? Mau bilang ‘Tuh kan, bagus kau nurut sama aku, dasar bocah’ gitu?”

Itu benar, persis begitu.

Tampaknya Chronica langsung membaca niatku dari matanya yang mulai menyipit, dan pada saat yang sama—

“Mo-mohon maaf yang sebesar-besarnya, Tuan pelanggan! Apakah ada yang kurang berkenan dengan masakan kami?!”

Pemilik toko yang tadi menggantikan sang maid tua—yang tampaknya masih kesakitan—datang sambil membawa teh setelah makan dan langsung panik melihat ekspresi Chronica.

Bahkan Chronica sendiri terlihat kaget melihat reaksi itu, lalu buru-buru melambaikan tangan.

“Ti-tidak! Bukan begitu, Pak Pemilik! Masakannya… benar-benar lezat. Hanya saja… aku… agak gengsi mengakuinya di depan pria ini… Ugh! Baiklah! Aku menyerah!”

Ia menghela napas panjang, kemudian diam-diam menendang kakiku di bawah meja sebelum bangkit dari kursinya.

Dengan gerakan anggun, ia menjepit ujung rok dan membungkuk dalam sapaan formal yang sempurna—curtsy yang penuh keanggunan.

“Ini… makanan terenak yang pernah aku cicipi. Aku merasa terhormat bisa menemukan restoran seperti ini.”

Mungkin pemandangan itu pernah dialami sang pemilik di masa lalu, saat ia masih melayani bangsawan. Kini, momen tersebut terulang kembali dengan begitu indah. Wajahnya memerah karena terharu, matanya berkaca-kaca, dan ia berulang kali membungkuk sambil menahan isak.

“Sa-saya juga merasa… bersyukur… karena bisa menerima pelanggan seperti kalian di hari terakhir saya…!”

“Ti-tidak usah bayar hari ini. Kata-kata kalian barusan saja sudah cukup membuat semua perjuangan restoran ini tak sia-sia…”

Saat kalimat itu keluar dari mulut pemilik toko, firasat buruk langsung menyambar benakku.

Tapi sudah terlambat.

Cahaya ungu yang memantul dari mata Chronica, berkilau seperti kristal kecubung yang terpantul dari pisau meja, sudah mengatakan segalanya.

“Kenapa restoran sebagus ini… mau ditutup?”

“Ah, ya… Sebenarnya, saya malu mengakuinya, tapi… saya memang payah dalam urusan bisnis, jadi…”

“Itu bohong.”

Kalimat tajam gadis itu langsung memotong kesunyian yang tiba-tiba menggantung di udara.

“Kalau tidak keberatan… maukah menceritakan semuanya? Anggap saja ini takdir. Kita dipertemukan, dan kalau bisa, aku ingin membantu.”

“Oi—”

Kalimat ‘jangan sok inisiatif!’ sudah hampir keluar dari mulutku, tapi tak jadi terucap. Chronica hanya melirik, dan entah kenapa aku langsung diam—seolah dibekukan.

Akhirnya, di bawah tatapan itu, sang pemilik perlahan membuka mulut dengan nada ragu.

“Sebenarnya… saya sedang digugat dalam perkara warisan…”

Singkatnya, begini asal-usulnya.

Pemilik restoran ini dulunya adalah koki pribadi seorang bangsawan revolusioner. Sang tuan—sudah menua dan tak punya anak—meninggal dunia karena sakit tak lama setelah revolusi usai. Sebelum wafat, ia meninggalkan sebagian harta yang lolos dari penyitaan, berikut hak warisnya, kepada sang koki. Semua itu tertulis dalam surat wasiat resmi, karena dari semua pelayan, hanya dialah yang paling dipercaya.

Bermodalkan warisan tersebut, restoran ini berdiri beberapa tahun lalu. Meski lokasinya terpencil dan pelanggan bisa dihitung dengan jari, dana warisan sang tuan membuatnya tak perlu khawatir bangkrut. Bagi sang pemilik, itu sudah lebih dari cukup.

Namun, suatu hari, muncul seseorang yang mengaku sebagai kerabat jauh keluarga bangsawan itu. Ia menggugat, menuduh sang koki merampas warisan secara tidak sah.

“Nama orang itu… Gordon.”

Aku langsung menahan napas.

Sebagai orang yang hidup di jalur abu-abu, aku tahu betul nama itu.

Shelley Gordon—secara resmi dikenal sebagai pengusaha sukses di ibu kota yang mengelola banyak restoran mewah, hotel, dan klub malam. Tapi itu hanya citra di permukaan. Di balik layar, dia dikenal sebagai sosok kelam yang menyediakan tempat rahasia untuk para politisi dan pengusaha melakukan pertemuan gelap—salah satu tokoh utama dalam dunia bawah tanah yang kerap menjadi perantara suap dan kolusi.

Tak perlu berpikir lama untuk tahu bahwa orang semacam aku jelas bukan tandingan bagi sosok seperti itu. Tapi tentu saja—dan seperti biasa—aku tidak punya pilihan. Sorot mata kiri gadis itu sudah bicara lebih dulu dariku.

“Serahkan saja pada kami. Kebetulan, aku ini… seorang ahli hukum. Aku juga sudah cukup sering menangani perkara pengadilan.”

“Be-benar begitu?!”

Wajah sang pemilik toko langsung berseri-seri. Sementara itu, gadis yang tersenyum penuh percaya diri itu tampak amat menyebalkan, seolah berkata, lihat kan? Tepat pilihanku.

Sial. Dia pikir aku bakal tetap berdiri santai padahal sebentar lagi harus menyeberangi jembatan yang bisa runtuh kapan saja?

Tapi sayangnya, senyum palsuku—yang sudah kulatih bertahun-tahun—terlalu pandai menyembunyikan kegetiran di baliknya. Maka aku tetap menjaga ekspresi tipis itu, sambil mengangkat satu pertanyaan yang mengganjal sejak tadi.

“Oh ya. Ini cuma pertanyaan iseng… tapi warisan yang dipermasalahkan itu, kira-kira jumlahnya… berapa?”

“Ah, ya. Kalau dikira-kira, mungkin sekitar… sebanyak ini.”

Begitu jumlahnya disebut, aku spontan melirik Chronica. Dan benar saja—dia mengangguk pelan, seolah berkata: kau nggak salah dengar.

Denting koin langsung berdentang di sudut tergelap pikiranku. Tak perlu dijelaskan lagi—pendirianku berubah seketika.

“Percayakan pada kami. Kami akan pastikan restoran ini kembali ke tanganmu.”

Bagiku, sudah jelas—yang jadi alasan untuk bertaruh nyawa bukanlah cinta, bukan pula loyalitas, apalagi pengabdian.

Tapi uang. Yang nyata. Yang bisa dipegang.

Dan untuk itu… aku tidak akan menyesal, walau harus mempertaruhkan hidup.

Part 5

Beberapa hari kemudian.

“──Berdasarkan seluruh fakta yang telah dipaparkan, kami menyimpulkan bahwa Tuan Gordon jelas tidak berada dalam posisi yang sah untuk mengklaim hak waris.”

Dengan suara mantap yang menggema di ruang sidang Mahkamah Agung Ibu Kota, aku melirik diam-diam ke arah bangku lawan tempat Shelley Gordon duduk santai, tubuhnya yang besar tenggelam dalam kursi pengacara terdakwa.

Meski tubuhnya hampir sepadan dengan si pemilik restoran yang sedang kukawal, wajahnya mencerminkan kebusukan yang tak bisa disembunyikan. Sambil mengisap cerutu, pria itu menatap ke arahku dengan ekspresi bosan dan menghina.

Seolah mengatakan, hasil akhir sidang ini sudah jelas sejak awal.

“Gagal ya.”

“Jelas. Mana bisa menang kalau seluruh juri sudah disuap.”

Sore harinya, setibanya di restoran, aku menyampaikan kabar kekalahan itu pada si pemilik. Tubuh yang sudah penat karena terus menahan emosi dan formalitas pun langsung ambruk di atas kursi.

“Meski begitu… ugh… terima kasih banyak… untuk segalanya…”

Pemilik restoran itu terisak, memeluk teko teh hangat di tangannya. Butir air mata jatuh pelan, membasahi taplak meja. Sementara itu, maid tua yang setia berdiri di sampingnya memberi hormat, lalu mengambil alih menyajikan teh ke cangkir porselen, menyebarkan aroma harum yang menenangkan.

“Terima kasih atas kerja kerasnya, Krüger-sama… Walau hasilnya tidak berpihak pada kita, jangan berkecil hati. Bagi kami, niat dan usaha kalian sudah lebih dari cukup untuk membuat hati ini lega.”

Ia menunduk sopan, lalu mundur bersama si pemilik menuju dapur.

“Jadi? Langkah berikutnya apa? Aku yakin kau sudah menyiapkannya.”

Nada bicara Chronica menyiratkan seolah ia sudah membaca pikiranku sejak awal. Aku mengalihkan pandangan ke arah jendela, lalu mengangguk pelan.

“Ada. Tapi, untuk bisa berhasil, kau harus menuruti satu permintaanku.”

“Itu tergantung isinya… Dasar mesum.”

“Bukan itu. Kali ini permintaanku sungguh serius. Sampai urusan ini selesai… jangan pernah mencoba membaca pikiranku.”

***

‘aku perlu bersiap’ ucap Linus sebelum akhirnya meninggalkan restoran seorang diri.

Sementara itu, aku yang ditinggalkan memilih membantu di dapur—mengisi waktu dengan mencuci piring di ruang belakang yang agak tersembunyi.

“A-anda tak perlu melakukan hal seperti ini, Ojou-sama. Mohon bersantai saja.”

“Tak apa. Sudah lama aku ingin mencoba mencuci piring, setidaknya sekali. Lagipula, anggap saja ini balas budi untuk teh tadi. Rasanya benar-benar… luar biasa.”

“Senang sekali mendengarnya. Jika teh kami bisa cocok di lidah Chronica-sama, maka tak ada yang lebih membahagiakan.”

Saat itu, dari balik konter dapur, muncullah sosok berbalut seragam maid yang kebesaran—berwajah bulat dan bertubuh gemuk.

Pemilik restoran sempat terkejut melihat kemunculannya, lalu buru-buru menjelaskan bahwa teh tadi bukan buatannya.

“Memang saya punya sedikit pengetahuan soal teh, tapi dibandingkan buatan Aria… tak ada tandingannya. Jujur saja, maid seperti dia terlalu baik untuk tempat sederhana seperti ini.”

“Aduh, kalau dipuji begitu, saya tak punya apa-apa untuk membalas. Lagi pula, hanya tempat seperti inilah yang mau mempekerjakan nenek-nenek tua seperti saya, yang cuma bisa menuang teh.”

Kudengar restoran ini memang sengaja didirikan untuk menampung para mantan pelayan bangsawan yang kehilangan pekerjaan setelah revolusi. Tidak seperti toko-toko di jalan utama yang kulalui bersama Linus—mereka hanya menerima tenaga muda, kuat, dan gesit.

“Bagi orang seperti saya, yang sudah pikun, tak bisa menarik pelanggan, apalagi cepat lelah, mencari pekerjaan di usia seperti ini sama sulitnya seperti menunggu musim dingin berakhir dan langsung melompat ke musim semi. Biasanya di umur begini, orang tinggal mengandalkan tabungan, pensiun, atau bantuan dari anak cucu… tapi yah, tidak semua orang seberuntung itu.”

Perempuan tua itu—Aria—mengatakannya sambil tersenyum. Namun, di balik senyum lembutnya, ada kesepian yang terasa… kesepian karena dunia terus melaju, meninggalkan orang-orang seperti dirinya di belakang.

Bukan hanya penipu nyinyir seperti Linus, bahkan aku pun mendadak merasa sebal pada dunia yang seperti ini.

“Yah, maafkan saya. Tak bermaksud membuat suasana jadi muram… sepertinya kulit kering saya sedang haus kelembapan, sampai-sampai mulutnya ikut-ikutan basah. Mari kita ganti topik saja. Kalau boleh tahu, Chronica-sama… kenapa Anda melakukan perjalanan ini?”

Pertanyaan yang datang tiba-tiba itu terdengar ringan, tapi entah kenapa mengguncang sesuatu dalam diriku.

Kenapa aku melakukan perjalanan? Jawabannya tak pernah berubah, baik dulu maupun sekarang.

“Aku ingin punya kenangan. Melihat banyak hal, mendengarnya, merasakannya sendiri… lebih dari apa pun, aku ingin punya jejak hidupku sendiri.”

Namun, makna dari jawaban itu sudah berubah—karena pria penipu itu.

Mataku yang tertutup di sisi kiri berdenyut pelan. Luka itu memang sudah sembuh di permukaan, tapi aku tahu bekasnya tak pernah benar-benar hilang. Aku bisa merasakannya… seolah ada rantai tak kasatmata yang selama ini mengikatku pada awal segalanya—dan kini mulai retak.

Semua ini… karena dia.

Karena dia, aku melihat sesuatu yang seharusnya tak pernah ada—sebuah harapan. Sebuah tujuan akhir yang dulu tak pernah sanggup kubayangkan, kini mulai terbentuk. Takdir yang seharusnya tak bisa diubah, entah bagaimana berhasil ia belokkan.

Perjalanan ini tak lagi seperti pasir yang terus mengalir dari jam retak—bukan lagi pelarian yang kuperpanjang dengan alasan kosong. Karena itu, kali ini aku ingin menjalaninya tanpa penyesalan.

Aku ingin menyelamatkan tempat ini… restoran yang dikenalkan padaku oleh pria itu.

“Chronica-sama?”

“Ah… maaf. Tadi tanganku sempat berhenti, ya?”

Tanpa sadar, tanganku masih menyentuh piring di dalam air. Aku seperti terputus dari tubuhku sendiri.

“Oh, tak perlu minta maaf. Saya tebak, tadi Anda sedang memikirkan Krüger-sama, kan? Saya bisa mengerti. Orangnya memang sedikit sinis, tapi cukup tampan juga, ya. Aduh… saya jadi iri sekaligus teringat masa muda saya. Dulu, saya juga sempat terlibat dalam kisah cinta rahasia yang panjang sekali dengan tuan muda tempat saya mengabdi, lho.”

“B-benarkah…”

Aria berkata demikian sambil tersenyum malu, pipinya sedikit memerah, seperti sedang mengenang masa remajanya.

Aku hampir saja membuka mata kiriku, namun buru-buru menutupnya kembali. Tak elok rasanya mengintip sejarah seseorang… dan seandainya kisah cinta itu memang sepanjang yang ia bilang, mungkin aku akan menyesal kalau sampai melihat semuanya. Ingin tahu, tapi juga tidak. Tapi tetap saja—tidak.

Memang benar. Hati orang lain yang tak terlihat… lebih baik tetap tak terlihat.

Setelah menyimpulkan itu, aku kembali memusatkan perhatian ke piring-piring yang harus dicuci—untuk pertama kalinya dalam hidupku.

Part 6

Di tempat lain.

Ruangan itu terlalu mewah untuk disebut perpustakaan, tapi juga terlalu norak untuk disebut ruang kerja. Yang paling tepat, mungkin menyebutnya ruang tamu—ruang untuk memamerkan kekuasaan kepada para tamu yang datang berkunjung.

Sang pemilik ruangan, seorang pria tambun berpostur raksasa, tengah menikmati makan siangnya. Di atas meja walnut, terbentang taplak putih yang kontras dengan peralatan makan dari perak. Ia memotong daging panggang yang mengilap dan menggigitnya perlahan, mengunyah dengan suara basah yang tak mengenakkan.

Kilau dari kepala plontosnya yang berminyak memantulkan cahaya chandelier di atas.

“Ulangi sekali lagi, Tuan Hattingson. Tadi aku kurang dengar.”

“Go-Gordon… a-aku datang untuk meminta bantuanmu.”

Pria bernama Hattingson itu berkata dengan wajah yang pucat dan tirus. Meski pakaiannya terlihat mahal, dirinya sendiri tampak seperti gambaran sempurna dari seorang bangsawan yang telah kehilangan segalanya.

“Meminta bantuan, ya? Ya tentu. Kau hanya punya satu jenis permintaan, bukan?”

“T-tolong… sedikit saja. Aku sudah memberitahumu kondisi harta keluarga itu. Bukankah kau bilang bisa menang di pengadilan? Jadi… jadi, beri juga aku──”

“Jadi, kau ingin mencicipi remah-remah dari kekayaan keluarga lamamu yang sekarang sedang kita gugat. Begitu, kan, Hattingson?”

Telinga Hattingson seolah menolak mendengar, tapi kata-kata Gordon menelanjangi kenyataan yang memang tak bisa dibantah. Ia terdiam, terhuyung sesaat, lalu menunduk.

Tapi wajah-wajah para pelayan tua di rumah leluhurnya, serta gedung megah yang menua tanpa dana, terlintas di pikirannya. Demi itu semua, dia menekan rasa malu dan mengangguk pelan.

Gordon mengusap mulutnya dengan serbet, lalu berdiri tanpa rasa hormat sedikit pun.

Piring makan siangnya yang kosong entah sejak kapan sudah menghilang dari meja, bersama taplaknya, seolah tidak pernah ada di sana.

“Tidak. Aku menolak. Itu jawaban yang ingin kukatakan. Tapi…”

Ia berhenti sejenak, lalu melangkah maju dengan aura yang memaksa.

“Aku beri kau satu kesempatan. Berlutut dan jilat sepatuku. Mungkin saja aku berubah pikiran.”

Sekilas, mata si bangsawan paruh baya itu bergetar. Antara harga diri yang tersisa dan realitas kejatuhan yang sudah tak bisa ditolak, ia hanya perlu beberapa detik untuk memutuskan.

Pelan-pelan, ia berlutut. Lalu menjulurkan lidahnya ke sepatu kulit hitam mengilap itu—yang memantulkan wajahnya sendiri, tampak menyedihkan dan tak berdaya.

Dari atas, senyuman licik nan keji perlahan terbit di wajah pria tambun itu. Namun Hattingson tak bisa melihatnya.

“Heh… sungguh menyedihkan. Baiklah, Aku berubah pikiran.”

“J-jadi…!”

“Hmm. Aku rasa, membiarkanmu terus mempermalukan diri sendiri hanya akan menyedihkan.”

Begitu kalimat itu berakhir, suara desingan tajam membelah udara dan langsung menancap di leher Hattingson.

“Guh… agh… a-apa ini… darahku… aaaaAAGHHH!!”

Tanpa ia sadari, di tangan Gordon telah tergenggam sebuah crossbow berburu. Anak panah yang dilepaskan adalah jenis khusus yang pernah digunakan secara brutal pada masa Revolusi—anak panah pembuang darah. Ujungnya yang tajam menembus kulit, dan lubang silindris di tengah batangnya menyedot darah secara paksa melalui tekanan kapiler, memaksa cairan kehidupan itu keluar dari tubuh.

Saat mulut Hattington ternganga kesakitan karena kehilangan darah, Gordon menghujamkan ujung sepatu botnya ke wajah pria yang terkapar.

“Melihat kalian para bangsawan benar-benar membuatku muak. Selama ini hidup sombong di atas tahta, lalu saat Revolusi datang, kalian menjilat dan menjual diri demi bertahan hidup. Lalu ketika benar-benar jatuh ke titik paling rendah, barulah kalian menyerahkan harga diri kalian. Menjijikkan. Makhluk paling menyedihkan.”

Ia melanjutkan dengan suara datar, sambil menginjak sisa-sisa harga diri Hattingson yang masih tersisa.

“Zaman sudah berubah. Kalian tak berhak lagi memegang apapun. Tak ada kehormatan, tak ada jabatan, tak ada harta—dan bahkan tidak sepotong pun dari daging dan darah kalian. Karena semuanya, mulai dari ujung kepala sampai kaki, sudah menjadi milikku.”

—Satu jam kemudian.

Dengan tenang ia menyalakan cerutu pasca makan, dan mempersilakan tamu berikutnya masuk ke atas permadani baru yang masih mengembang halus.

“Selamat datang, Nona. Maaf telah membuat Anda menunggu lama. Jadi, urusan apa yang membawa utusan Ordo Ksatria datang pada saya—seperti yang dibisikkan kabar angin?”

“Ada satu hal yang ingin saya ajukan kepada Anda, Shelley Gordon-sama. Sebuah tawaran kerja sama.”

“Menarik. Silakan lanjutkan. Tapi mungkin sebaiknya kita mulai dengan memperkenalkan diri terlebih dahulu. Siapa nama Anda, Nona?”

Rambut pirang-platinumnya berkilau saat ia membungkuk ringan, pita biru di kepalanya bergoyang lembut.

“Nama saya Patricia Ushkeen. Saya datang untuk meminta bantuan Anda dalam sebuah misi. Tujuan kami adalah mengamankan keberadaan seorang gadis bangsawan.”

Part 7

Ujung jari yang ramping mengambil sepotong kerupuk dari piring besar yang tersusun rapi di atas taplak kain brokat.

“Enak?”

“Enggak juga.”

Tiga hari telah berlalu sejak kekalahan di pengadilan. Kini kami berada di sebuah ballroom hotel mewah. Pilar-pilar marmer yang dipahat dengan indah, langit-langit berlapis cat putih mengilat, dan lampu kristal megah yang tergantung tinggi memancarkan cahaya ke seluruh ruangan. Di bawahnya, suara alunan musik dari ansambel kuningan yang mengkilap bercampur dengan gumaman sopan namun bising dari para tamu undangan.

Sedikit catatan: gedung ini berdiri tepat menghadap bekas alun-alun pusat kota, tempat eksekusi revolusioner yang beberapa hari lalu kukunjungi bersama Cronica. Dibangun di atas tanah bekas lokasi guillotine. Harus kuakui—pilihan yang cukup... berkelas, dalam cara yang paling sinis.

Pemilik hotel ini, tentu saja, Shelley Gordon. Ia juga yang menyelenggarakan jamuan makan malam ini.

Dan kami—aku dan Cronica—berhasil menyusup ke dalamnya. Tak perlu dijelaskan bagaimana cara kami menipu bagian resepsionis.

“Ngomong-ngomong,” katanya, menatapku sambil menilai, “ternyata kamu bisa dandan juga, ya?”

“Kau tahu pekerjaanku, kan? Menipu dan berdandan—itu bagian dari keahlianku.”

Penampilan Cronica kusesuaikan agar pantas di tempat seperti ini. Tapi sejujurnya, bahan dasarnya memang sudah luar biasa. Rambut merah salju bak benang sutra kusisir ke belakang, membiarkan tengkuknya terbuka, lalu kukunci dengan hiasan rambut dari tempurung penyu. Sedikit lipstik, sentuhan bedak tipis di pipi—dan jadilah dia seperti aktris panggung yang turun ke dunia nyata.

Gaun malam hitam yang ia kenakan pun membuatnya semakin menonjol. Sejak tadi, banyak mata diam-diam memperhatikannya.

Namun Cronica sama sekali tak berusaha menyembunyikan raut tak sukanya, kening berkerut dan tatapan tajam menatap sekeliling.

Saat kutanya alasannya, ia menghela napas dan berkata:

“Rasanya nyebelin. Tatapan laki-laki yang dipenuhi niat tersembunyi... dan para perempuan yang memancarkan iri serta permusuhan. Mereka pikir bisa menyembunyikannya, tapi aku bisa melihat semuanya.”

“Dan kenapa itu mengganggumu?”

“Maaf saja, kepribadianku nggak sebusuk kamu. …Oh ya, hampir lupa, ada satu hal yang ingin kutanyakan. Hei, Linus. Sebenarnya… gaya dandanan ini—kesukaanmu, ya?”

Ia menoleh ke arahku, masih dengan mata kirinya tertutup, menepati janji dari hari itu.

“Kalau mau sombong, tunggu sepuluh tahun lagi. Sekarang ini, kau cuma kuda beban yang dipakaikan gaun pesta.”

“…Itu maksudnya apa dan berasal dari bahasa mana, hah?”

Rencana kali ini adalah pilihan terakhir—senjata pamungkas. Karena itu, bentuknya sederhana dan lugas. Kami menyusup ke pesta, lalu mendekati si tuan rumah, Gordon, berpura-pura menyapanya… atau cukup menarik perhatiannya. Dan setelah itu—

“Aku akan mencuri ingatannya, kan?”

“Benar. Ambil semuanya—lokasi harta warisan, alamat para simpanannya, kalau perlu sekalian wajah orang tuanya. Beres sudah.”

Karena kami kalah di pengadilan, tak ada jalan lagi untuk merebut kembali warisan itu… kecuali keluar dari jalur hukum.

“Ini terasa agak… kasar, ya. Padahal kamu begitu rahasiakan rencana ini, tapi nyatanya malah kurang greget. Aku pikir kamu akan pakai sesuatu yang lebih… pintar, licik gitu, lebih sesuai dengan profesi penipu ulungmu.”

“Jangan minta yang aneh-aneh. Menghajar bajingan bukan spesialisasiku. …Ngomong-ngomong, seberapa dekat harus berada?”

“Paling tidak lima belas kaki. Kalau lebih dari itu, pandangan kami nggak akan tersambung.”

“Baik. Kalau begitu, kita mulai sekarang.”

Kalau berhasil, ini akan menjadi akhir dari semuanya. Semua persiapan yang kami lakukan sebelumnya akan terbayar. Dan mungkin, berkat beberapa tindakan pencegahan yang kupasang diam-diam, sejauh ini tak ada tanda-tanda gangguan.

Ketika kusodorkan tangan ke samping, jari-jari halus merespons dan menyentuh telapak tanganku. Bersama Cronica, aku melangkah perlahan, menyusuri karpet merah yang tergelar menuju ruang pesta.

Kami tampil layaknya seorang ayah yang mendampingi debut sosial anak gadisnya yang pemalu. Dengan cara itu, kami perlahan mendekat ke kursi tamu kehormatan, tempat si gendut sasaran kami duduk dengan pongah.

—Namun tiba-tiba, irama musik di ruangan berubah.

Alunan ceria menggema, dan orang-orang membuka ruang. Saat untuk berdansa telah tiba.

Tak mungkin kami mengabaikannya. Terlalu mencurigakan jika kami tetap diam di tempat. Maka tidak ada pilihan.

“Cronica, kau—”

Kau bisa menari, kan?

Saat aku berbalik dan bertanya. 

“Selamat malam. Dan salam kenal, wahai pria bodoh.”

tangan yang kupegang…bukanlah tangan Cronica.

Entah sejak kapan, dia menghilang begitu saja, lenyap tanpa jejak. Sebagai gantinya, berdiri seorang gadis asing, dengan rambut hitam sepekat sayap burung basah dan mata biru es yang menatap lurus ke arahku.

Sebelum aku sempat menarik napas karena terkejut, ekspresi dinginnya—sedingin salju yang membekukan lidah—menghantamku dengan satu kalimat:

“Bolehkah aku minta satu tarian monsieur?”

...Rahasia kedua dalam seni berbohong:

Tetap tenang.

“Kamu menari dengan baik”

“…Siapa kau?”

Tangannya menyentuh pinggangku yang bergelombang seperti ombak putih, dan kami mulai bergerak bersama dalam irama dansa.

Ia mengenakan sarung tangan sutra yang halus, namun sentuhannya terasa sekeras baja.

Wajahnya—simetris, dingin, tanpa cela—seperti boneka porselen yang tak pernah mengenal emosi.

Sepasang mata biru bening seperti kaca berkilauan, menatapku tajam seakan menyelami isi kepalaku.

“Aku Evelyn. Sekretaris sekaligus pengawal pribadi Tuan Gordon.”

Perkenalan itu terdengar aneh. Terlalu tenang, terlalu jauh, seolah suara itu tak berasal dari gadis di depanku, melainkan dari tempat yang jauh di dasar laut.

“Di mana Cronica?” 

Suaraku dingin, nyaris beku. Bahkan aku sendiri terkejut akan betapa datarnya nada itu. Mataku terasa panas. Pandanganku seakan menyempit. Dorongan yang mengancam akan meledak dari lubuk hatiku tertahan oleh tabir topengku yang acuh.

“Maksud kamu gadis itu ya?” 

Ilustrasi Kedua dari Light Novel Sagishi wa Shojo to Kamen Jilid 1 Bab 2

Satu langkah, lalu berputar. Dengan gerakan sehalus angin, saputanganku lenyap dari dadaku.

“Aku sudah menghapusnya. Seperti ini,”

Evelyn menjatuhkan selembar kain putih ke arah bayangan dirinya sendiri, dibentuk oleh cahaya kristal dari chandelier di atas. Kain itu melayang ringan, seakan tertarik oleh kehampaan. Dan ketika menyentuh bayangan hitam itu—ia lenyap. Seperti gula yang jatuh ke dalam teh panas, ia larut begitu saja.

Tak mungkin salah. Itu adalah kekuatan supranatural. Bukan trik, bukan ilusi. Hanya satu penjelasan: kekuatan darah bangsawan—Regalia.

Dan saat aku menyadarinya, aku tahu. Tanpa sempat menjerit, tanpa sempat meronta, Cronica telah dihapus dari dunia ini.

“Kalau boleh memberi saran pribadi, daripada memikirkan yang sudah berlalu… sebaiknya kau khawatirkan diri sendiri, sekarang.”

Suaranya terasa jauh. Musik pun bergema seperti dari bawah air. Kesadaranku terasa terlepas dari tubuh, mengambang di belakang dunia nyata, mendidih pelan di tempat yang tak bisa kusentuh.

Di matanya—mata seorang perempuan sedingin musim salju—terpantul wajahku sendiri. Dingin, kosong, tak bernyawa.

“Kau pasti sudah tahu, kan? Kau itu terlalu ikut campur.”

Langkah. Langkah. Putar. Langkah. Putar.

Tubuhku terus bergerak, seperti boneka yang ditarik talinya. Seolah otakku tak lagi perlu terlibat. 

Dan memang, pikiranku hanya mengulang satu kalimat, berputar-putar di dalam sana seperti mantra retak:

“Jadi, sayangnya, Kau akan mati. Sebentar lagi.

Tenang. Tetaplah Tenang.

Dengan itu, Musik berhenti. Putaran terakhir. Kami saling menatap—diam, membeku dalam postur akhir dansa.

Dan dalam kepalaku yang masih penuh kekacauan mendidih itu, aku mendongak perlahan

Hanya untuk mendapati Gordon, dengan wajah bosan dan cerutu di mulut, sedang berdiri di sana.

Part 8

"Kamu sudah menginjak ekor harimau, ya, Tuan Pengacara."

Bahkan ketika cahaya chandelier yang menyilaukan belum sepenuhnya hilang dari balik kelopak mataku, aku sudah tergeletak di lantai gudang yang kusam dan kotor, dengan tangan dan kaki terikat.

Suara Gordon menggema, menyuruh mundur para preman yang tadi mengeroyokku.

Suara sepatu kulitnya menghantam lantai dan menggema keras di telingaku. Puntung cerutu yang dijatuhkan ke pipiku membakar luka yang terbuka.

Tenggorokanku yang ingin melontarkan sumpah serapah hanya mampu terbatuk oleh campuran darah dan liur.

"Pengacara… apa kau sendiri tidak merasa itu gelar yang konyol? Kau pikir bisa melindungi orang lain cuma dengan omongan? Nyatanya sekarang kau dipaksa merangkak di tanah karena kekerasan—jadi katakan, apa tujuanmu sebenarnya?"

Begitu aku mengangkat wajah untuk merespons, sol sepatunya menghantam wajahku dengan keras.

"Tidak usah dijawab. Aku sudah bisa menebak. Kau pasti mengincar uang dari toko itu, kan? Tapi yang benar-benar ingin kutanyakan satu hal… siapa gadis yang bersamamu itu?"

Ujung sepatunya yang keras menendang daguku. Suara aneh keluar dari tenggorokanku yang dipenuhi darah.

"Wajahmu… seperti anjing yang setia. Tuannya pasti dia, ya? Katakan. Kenapa kau bersama gadis itu? Dan kenapa para Ksatria memburunya?"

Sambil menahan rasa sakit, aku berusaha memahami maksud di balik semua pertanyaannya.

Gordon tahu tentang Chronica. Dia juga tahu tentang para Ksatria. Dan dia ingin tahu lebih dari itu.

Kalau begitu, kenapa gadis itu dibunuh? Untuk mencegah itu, aku…Tapi untuk sekarang—

"…Tidak ada satu kata pun yang ingin kusampaikan padamu."

"Begitu ya. Mungkin kau cuma bisa ngomong kalau di ruang sidang? Sayang sekali, aku tidak akan membawamu ke pengadilan. Karena, putusanku sudah dijatuhkan."

Jari-jari tebalnya menjentik. Dan sekali lagi, aku dikepung oleh lingkaran kekerasan.

Tapi aku tak berkata apa pun. Dimanapun dan kapanpun, tujuan penyiksaan hanya satu—mengorek isi kotak bernama manusia. Begitu kau membuka mulut, semuanya selesai. Nasib kotak kosong sudah ditentukan sejak awal.

Sebaliknya, selama kau menjaga mulutmu tetap tertutup, kau bisa tetap hidup.

Namun justru karena itu, kau akan ditempatkan dalam kondisi yang lebih buruk dari kematian. Dan teori itu—kutegaskan sendiri dengan tubuhku sebagai bukti.

"…Ugh."

Tapi, ya… kurasa sudah waktunya. Rasa sakit, jika melewati batas tertentu, mulai berubah menjadi kebas. Mungkin otak yang pengecut ini sudah menyerah dan mulai mencari tempat pelarian.

Begitulah, kesadaranku pun meluncur keluar dari tubuh—berlindung di dalam diriku sendiri.

Meskipun aku tahu, tempat seperti itu tidak akan memberiku kedamaian.

***

『Nggak apa-apa... semuanya akan baik-baik saja, Linus. Percayalah, semuanya akan baik-baik saja...』

Di hadapan ayah yang tergantung dari langit-langit, kakakku terus mengulang kata-kata itu sambil memelukku erat.

Dua belas tahun lalu, revolusi mengubah hidup kami sepenuhnya. Teater yang dulu dikelola ayah kehilangan patron dari kaum bangsawan, lalu dibakar habis oleh amukan warga. Keluarga kami pun jatuh bangkrut.

Saat itu pula perang saudara meletus, membuat masyarakat terjerumus ke dalam kekacauan. Dan dalam guncangan itu, aku—yang masih dipeluk oleh lengan kakakku yang gemetar namun tegar—masih ingat betul bagaimana aku menetapkan tekad polos dan kekanak-kanakan: bahwa aku akan melindungi satu-satunya keluarga yang kumiliki.

Tapi kenyataannya, justru sebaliknya.

Nee-san jauh lebih kuat dariku. Dia mampu menatap ke depan dan tetap melangkah.

『Lihat ini, Linus.』

Di atas meja makan kecil di kamar sempit yang terlalu bobrok untuk disebut apartemen, kakakku meletakkan sebuah botol kaca yang entah dari mana ia temukan. Di dasar botol kusam itu, tampak beberapa koin yang terkumpul.

『Masih sedikit sih... tapi aku mulai menabung.』

Di siang hari, kami bekerja apa pun yang bisa kami temukan—terutama membersihkan mayat-mayat. Namun mungkin karena bakat alaminya, kakak dengan cepat mendapatkan posisi sebagai penyanyi di bar malam. Tak sulit menebak bahwa uang itu ia simpan dari hasil bernyanyi.

『Kalau ini nanti penuh, aku ingin membangun kembali teater. Itu mimpiku sekarang. Gimana menurutmu, Linus? Kalau panggung itu sudah jadi, kali ini kita akan tampil bersama, ya.』

Senyumnya saat itu begitu indah, seperti hari-hari yang telah lama berlalu—dan justru karena terlalu indah, aku nyaris tak sanggup menatapnya.

Dengan hati-hati seolah menyentuh benda rapuh, aku bertanya pelan:

『…Nee-san, kau serius?』

『Serius, dong. Aku nggak main-main. Makanya... kumohon.』

Dia berkata begitu sambil memelukku dengan lengan kurusnya.

『Kau juga, jangan menyerah... kita harus bertahan hidup bersama.』

Dan tak lama setelah itu, kakakku tumbang—muntah darah karena memaksakan diri terlalu keras.

...Itulah sebabnya aku membenci hal-hal samar seperti mimpi, harapan, atau cinta.

Itu semua tidak pantas dipercaya.

Karena pada waktu itu, yang benar-benar kami butuhkan bukanlah fatamorgana semacam itu.

Aku membenci kebohongan manis yang enggan menatap kenyataan apa adanya.

***

──Sudah berapa lama aku kehilangan kesadaran? Indra terhadap waktu rasanya sudah lebih dulu dihajar hingga mati. Saat aku membuka kelopak mata, sosok Gordon dan anak buahnya sudah tak terlihat lagi.

Tapi… tidak. Masih ada satu orang di depanku. Seorang pria bertubuh besar dan lamban, mengenakan pakaian kerja kotor yang mengingatkan pada tukang masak. Sepasang matanya yang besar dan menonjol langsung menatapku.

"D-D-danna-sama bilang… sisanya serahkan padaku... A-aku biasanya kerja di dapur..."

Tanpa diminta, dia mulai memperkenalkan diri sembari membalikkan badan, lalu mulai mengeluarkan peralatan yang jelas-jelas bukan untuk pekerjaan yang menyenangkan. Suara logamnya bergema keras, seperti sengaja dibuat dramatis untuk menakut-nakuti—seolah dia sedang bersiap untuk menyembelih.

Mengabaikan semuanya, aku perlahan bangkit dari lantai tanpa membuat suara, meski tangan dan kakiku masih terikat.

Cahaya kilas balik yang sempat melintas dalam pikiranku pun telah berlalu. Namun, ada satu kenangan yang tetap menempel seperti darah yang belum kering—membekas di hadapanku dan tak mau pergi.

──Hujan yang terus mengguyur, dinginnya gagang pisau dalam genggaman.

──Suara koin berdosa yang berdenting dalam botol kaca berlumur darah.

Saat itu—di hari itu—wajah kakakku yang kubunuh masih terus melekat di benakku.

"Ro-roast beef buatanku... f-favorit semua orang... Le-lezat, kata... p-pelanggan, juga Gordon-danna. K-kau pasti bakal bilang begitu juga. Pa-pasti."

Aku melepaskan sendi bahu dari tempatnya, melonggarkan tali hingga lenganku bebas.

Sudah lama aku tidak melakukan teknik lolos tali, tapi untungnya kali ini berhasil.

Lalu, ujung tali itu kuikat membentuk simpul seperti laso, mirip milik penggembala sapi.

Chronica… sudah mati.

Itu kesalahanku. Uangku tak akan pernah kembali. Mungkin itulah sebabnya... mengapa amarah ini begitu menyala—panas, brutal, menggelegak tanpa kendali dalam dadaku.

"T-tapi… kalau Danna minta, a-aku juga bisa m-masak manusia. K-kata mereka sih tetap enak… 'Sakit, tolong berhenti, aku akan bicara, kumohon'—semua bilang begitu…"

"Hoi. Dasar tolol."

Begitu pria itu menoleh, aku melemparkan simpul tali dengan pemberat kancing manset ke arah kepalanya.

Sama seperti permainan lempar cincin, tali itu melingkar tepat di lehernya. Dalam waktu yang sama, aku paksakan tubuhku yang babak belur untuk menarik tali itu sekuat tenaga. Dengan hentakan mendadak dan jeratan yang menegang, tali itu mencekik leher si pria.

"!! Ber... berh-henti..."

Dia menggeliat, berbuih, dan akhirnya terkapar di lantai.

Lalu aku melepaskan ikatan di kaki, bangkit dengan tubuh limbung. Di dalam kepalaku—meski sudah kubanjiri dengan akal sehat berkali-kali—api yang menyala itu tak kunjung padam.

"Kau sudah membangkitkan amarahku, brengsek."

Part 9

Keesokan paginya. Di kamar pribadinya yang sekaligus berfungsi sebagai ruang tamu, Gordon terbangun dari tidur dangkal setelah semalaman begadang karena suara ketukan di pintu.

"Apa. Masuk saja cepat."

"Pe-permisi!"

Yang datang adalah anak buahnya sendiri, seorang preman dari kelompoknya. Salah satu yang ikut memukuli si pengacara semalam.

"Ada apa. Apa dia sudah buka mulut? Jangan bilang kau membunuhnya duluan."

"Ti-tidak… bukan itu. Maksud saya, bukan dua-duanya, tapi…"

Sambil mengeluarkan cambuk hukuman dari bawah meja, Gordon berkata pelan dengan nada mengancam, "Bicara."

"O-o-orang yang kita tangkap itu… ka-kabur, Tuan. Waktu saya cek pagi ini, dia sudah hilang… se-sepertinya dia mencekik si Toby, algojo kita, lalu kabur begitu saja…"

Beberapa menit kemudian, cambuk yang kini berlumur darah dilemparkan begitu saja ke atas tubuh mayat yang masih hangat. Gordon mendesah pendek, lalu berkata dengan malas, "Bereskan."

"Dimengerti."

Menjawab perintah itu, seorang wanita berdiri dari balik bayangan yang memanjang di lantai—bayangan yang ditarik oleh cahaya mentari pagi dari arah balkon.

Sosok itu adalah Evelyn. Dan bersamaan dengan kepergiannya dari bayangan itu, darah dan jasad pun ikut terserap, menghilang bersama gelapnya lantai.

"Orang itu kabur… apa akan kita kejar? Hari ini juga, kami pasti bisa menangkapnya kembali."

"Tidak usah. Nanti saja."

"Sebentar lagi, perempuan dari Ksatria akan datang. Kau tetap disisiku, Evelyn."

Gaun moire berpola gelombang yang sama seperti semalam pun ikut bergoyang kecil saat Evelyn membungkuk hormat. Ia lalu bertanya,

"Mengapa memilih bekerja sama dengan Ksatria?"

Utusan dari Ordo Ksatria itu datang tiba-tiba. Namanya Patricia. Pada akhirnya, Gordon menyetujui perjanjian rahasia dengan perempuan itu. Isinya: menangkap seorang gadis bangsawan bernama Chronica, atas nama Ordo Ksatria yang kesulitan bergerak bebas di ibu kota. Sebagai gantinya, Gordon menuntut posisi resmi dalam tubuh organisasi mereka.

"—Ada angin apa sampai-sampai kau mau ikut campur? Kau yang selama ini dikenal paling membenci kaum bangsawan… Meskipun sebenarnya, aku sendiri sudah lama bertanya-tanya soal hal itu."

"Hari ini kau banyak bicara, ya. Jarang sekali untuk seseorang sependiam dirimu."

"Maafkan. Hanya… hanya penasaran saja."

‘Tak apa,’ gumam Gordon sambil menyalakan cerutunya—daun tembakau selatan kesukaannya.

"Aku sebenarnya tidak punya dendam khusus pada para bangsawan. Aku cuma suka menginjak-injak mereka yang dulu sok berkuasa di atas kita. Itu saja. Dan kau—bagaimana menyebutnya… kau tak punya sikap sombong ala bangsawan kebanyakan. Mungkin karena itu, kau bisa bertahan di sisiku."

Evelyn adalah pemilik faktor Regalia yang tak terdaftar, dan muncul begitu saja kira-kira setengah tahun lalu. Dengan kata lain, dia adalah sisa-sisa kaum bangsawan yang tersisa. Kini, posisinya bisa dibilang tangan kanan Gordon.

"Ini cuma urusan bisnis. Salah satu bentuk investasi. Aku tak akan mencampurkan urusan pribadi. Menjalin koneksi dengan Ordo Ksatria tak akan pernah merugikan. Kau pun pasti pernah dengar, kan... kabar burung soal mereka. Katanya, ordo itu—memiliki jasad Sang Raja," 

Dari balkon yang terbuka, pandangan mereka jatuh ke alun-alun di bawah sana. Di tengah-tengahnya, berdiri tegak sebuah guillotine tua yang sudah berkarat, memantulkan cahaya pagi yang dingin. Seolah-olah masih menunggu kepala si terdakwa yang tak kunjung datang.

Sang Raja. Penguasa abadi selama seribu tahun, digulingkan dalam Revolusi—hingga kini, keberadaan jasadnya tak diketahui. Namun beredar kabar bahwa siapapun yang berhasil memperoleh jasad tak-mati itu, akan jadi penguasa baru negeri ini.

"Jadi kau percaya? Pada takhayul semacam itu?"

Gordon terkekeh lirih, senyum sinis mengambang di bibirnya.

"Percaya? Bukan sekadar percaya. Khusus padamu, akan kujelaskan… Aku yakin—kalau aku bisa mendapatkan mayat sang Raja itu, aku pasti akan menguasai negeri ini."

Tangannya mengusap perut buncitnya, dan ucapannya terdengar penuh keyakinan, tak seperti bualan kosong.

"Jadi, semua ini hanyalah langkah awal. Dan demi memastikan negosiasi berikutnya dengan Ordo berjalan lebih mulus… kita harus mengumpulkan informasi lebih banyak lagi. —Keluarkan dia, Evelyn."

"Baik."

Apakah itu cuma ambisi… atau khayalan belaka? Evelyn tak bertanya. Ia hanya mengangguk pelan, lalu menggerakkan bayangan di bawah kakinya.

Bayangan itu beriak, lalu dari permukaannya yang hitam pekat, muncul sosok seorang gadis.

Begitu mengangkat wajahnya, mata kanan berwarna hijau giok itu menatap tajam ke arah Gordon. Rambut merah panjangnya bergetar saat ia menoleh dengan marah.

"Nah, nona manis yang menggugah selera… kenapa, ya, kau sampai dikejar-kejar seperti ini? kalau tidak keberatan aku bisa membantu"

Suara Gordon terdengar teatrikal, seperti aktor murahan dalam sandiwara kelas dua. Penuh tipu daya yang bahkan tak berusaha ditutupi.

Part 10

"Itu jelas bohong, bahkan tak perlu kulihat untuk tahu… tapi akan kubuat kau menyesalinya."

〈Eye of the Providence〉—Mata Kedua dari Regalia Mata Kebenaran. Tepat sebelum tatapan tajam yang menyala di mataku menghantam lawan dan menghancurkan pikirannya secara langsung…

Sebuah bayangan hitam berdiri, memutuskan kontak mata yang hampir terbentuk antara aku dan Gordon.

Bayangan tiga dimensi itu menjulur dari kaki gaun putih sang wanita. Ia menghela napas pendek, lalu entah dari mana, mengambil dua buah kacamata berbingkai hitam seperti kacamata opera.

“Hati-hati. Regalia gadis ini tampaknya bukan tipe yang mengandalkan kekuatan fisik, melainkan khusus untuk serangan mental. Titik pangkal kekuatannya—barangkali—ada pada matanya. Dan pelatuknya… adalah tatapannya.”

Dengan tenang, wanita itu mengenakan satu kacamata untuk dirinya sendiri dan menyerahkan yang satunya pada Gordon.

Aku mengepalkan gigi. Sederhana, tapi itu cara paling efektif untuk menetralkan kemampuanku. Selama aku tak bisa menatap langsung ke mata lawan, mata kiriku ini sama sekali tak berguna.

Aku pun terlambat menyadari apa kekuatan wanita bangsawan ini. Kemampuan untuk memanipulasi domain bayangan—secara bebas. Kegelapan tempat aku tadi tenggelam… ternyata bukan hanya alat penahanan. Kemungkinan besar, ia menggunakannya sebagai perpanjangan indera dan tempat penyimpanan barang.

Bayangan itu kembali memadat menjadi datar. Gordon, kini memakai kacamata hitam, mengelus dagunya yang penuh daging dengan raut kagum.

"Heh, jadi begitu rupanya. Si pirang sialan itu… sengaja tak memberitahuku. Licik juga. Tapi tak masalah, kau menyelamatkanku Evelyn. Sebagai hadiah, mau kucubit pipimu?”

“Terima kasih, tapi tidak. Kalau kau melakukan itu, aku akan membunuhmu atas dasar pelecehan.”

Gordon tertawa kecil, lalu kembali menatapku dari balik lensa hitamnya—tatapan yang penuh hasrat, kini tanpa upaya untuk menyamarkannya.

Aku mundur setapak, rasa jijik menyeruak dalam dada. Namun tetap kugenggam sisa keberanianku, dan melemparkan pertanyaan seperti tantangan:

“Kau bilang telah bekerja sama dengan Ordo Ksatria? Sungguh bodoh. Apa kau benar-benar yakin mereka akan menepati janji?”

“Tentu saja tidak. Karena itulah ini semua adalah bagian dari negosiasi dan siasat. Selama aku memegang kendali atas dirimu, keunggulan ku tetap tak tergoyahkan. Bahkan jika mereka mencoba menyerang secara langsung… di ibukota, itu takkan semudah itu. Jadi kau tak perlu khawatir. Tugasmu sekarang hanya memikirkan bagaimana caranya menjadi berguna bagiku.”

Begitu Gordon selesai berbicara, aku langsung melontarkan pertanyaan yang sejak tadi menyesakkan dadaku.

“Linus… pria yang bersamaku. Apa yang kau lakukan padanya?”

"Kalau dia… sudah kubunuh."

Sesaat—dan ini bukan kiasan—jantungku benar-benar berhenti berdetak.

“...Itu yang ingin kukatakan, tentu saja. Tapi rupanya rekanmu itu lebih keras kepala daripada kecoa dapur. Sudah sempat kuperiksa sedikit, tapi sayangnya berhasil kabur.”

Namun sebelum desahan lega yang lolos dari bibirku sempat menyelesaikan satu napas pun, Gordon melanjutkan, menghantam harapan itu hingga remuk.

“Tapi tak usah cemas. Akan segera kutangkap lagi dan kucarikan dia untukmu. Oh iya, ngomong-ngomong, aku ingin tanya satu hal. Kau suka hamburger? Aku suka. Kuharap dia juga suka... meskipun kalau sudah digiling kasar dan ditaburi banyak lada hitam, rasanya siapa pun akan menyukainya.”

Getaran menjalar di punggungku karena rasa ngeri yang begitu menjijikkan. Aku tahu itu bukan Linus, tapi perasaan mual yang kupetik dari tubuh tambun di depanku sungguh nyata. Ini adalah hawa yang dimiliki oleh orang yang telah membiarkan dirinya mengonsumsi hidup orang lain tanpa rasa bersalah—arogansi yang berbau darah dan daging segar.

...Namun, tidak, ini bukan sekadar itu.

Tatapan yang menembus kacamata hitam dan membelai tubuhku dengan liur mengandung hasrat ini—ia membawa sesuatu yang lebih kotor, lebih rendah, lebih... naluriah. Aku mengenalinya. Aku pernah melihatnya. Di kampung halamanku yang dulu, jauh di balik mata kiriku ini.

“Kau... jangan-jangan—”

Jawabannya bukan dengan kata-kata, melainkan kilatan logam. Sebilah pisau daging, diasah begitu tajam hingga permukaannya memantulkan bayangan, ditariknya keluar dengan acuh dari bawah meja.

“Aku paling suka bagian paha ayam. Bagaimana dengan milikmu, nona?”

Begitu kata-kata menjijikkan itu lepas, tangan gemuknya mencengkeram tubuhku, menjatuhkanku ke atas karpet dan menekanku hingga tak bisa bergerak.

Aku tak bisa melawan. Regalia yang tumbuh bengkok dalam tubuh seorang bangsawan cacat sepertiku tak memberiku kekuatan lebih dari gadis biasa.

Dengan kasar, roknya disingkap. Lalu pisau pun melayang turun—seperti guillotine—dan menebas kaki kananku dari pangkal paha.

Rasa sakitnya datang terlambat, menyusul setelah tubuhku memproses keterkejutannya.

Dengan tangan berlumur darah, Gordon mengangkat potongan kakiku dan menjilatinya perlahan, sebelum akhirnya menggigit daging mentah yang masih meneteskan darah itu.

Seperti menyantap chicken leg—paha ayam goreng.

Dalam derita yang menusuk dan dinginnya darah yang mengalir dari luka terbuka, aku sadar sepenuhnya.

Inilah wujud aslinya.

“Sungguh gadis nakal. Menggoda orang dewasa dengan aroma semenggoda itu... benar-benar anak jahat. Sampai-sampai aku tak bisa menahan diri dan mencicipinya sedikit.”

Suara itu terdengar di sela-sela suara kunyahan, menggema bersama nyeri yang seperti membakar kulit. Namun meski tubuhku terkulai dan kesakitan, pikiranku terus tertuju pada seseorang yang tak ada di ruangan ini. Dia bilang sudah "sedikit" menyakitinya. Dan jika itu dilakukan oleh orang sekeji ini... maka pasti bukan sekadar luka biasa.

Penyesalan mencengkeram tubuhku, lebih panas dan perih dari luka yang menganga di pahaku. Karena aku... karena kebodohanku, mungkin dia sudah benar-benar mati.

Sesuatu yang hangat tumpah dari balik kelopak mataku yang terpejam. Meskipun memalukan, aku tak bisa menahannya. Aku menangis.

Gordon meludah, memuntahkan sisa-sisa daging—entah otot atau tulang—dengan ekspresi puas, lalu menyeka mulutnya. Potongan kakiku yang dibuang sembarangan itu kini bersinar karena sudah dijilat bersih dan dibanjiri air liurnya.

“Terima kasih untuk makanannya, mademoiselle. Lezat sekali, nona... Kalau bisa, aku ingin menyantap seluruh tubuhmu, termasuk kedua matamu yang tampak sangat menggoda. Tapi tidak sekarang. Tampaknya kita kedatangan tamu.”

Suara langkah kaki menggema dari koridor di luar. Ketukan pintu yang menyusul mengabarkan kedatangan seseorang. Gordon bangkit, menyambutnya dengan suara riang.

“Selamat datang, sang wanita terhormat dari Ordo Ksatria.”

“Mohon maaf atas kedatangan tanpa undangan ini. Hamba datang dengan harapan bahwa urusan Anda telah berjalan sesuai rencana. Mohon ampun atas kelancangannya, Tuan Gordon.”

Dan sosok yang kini melangkah masuk itu... aku mengenalnya.

Tak mungkin salah. Beberapa hari lalu, wanita inilah yang bersama Linus.

Namanya adalah...

“...Patricia Ushkeen.”

Begitu gumamku terdengar pelan, sang wanita berambut pirang hanya menanggapi dengan senyum tipis di bibirnya.

Part 11

“Gadis kanker sel Doro cancer, ya... Kita memang baru bertemu, tapi kurasa aku tak perlu menyebutkan siapa namaku. Begitu juga dengan maksud kedatanganku.”

Dengan kepala sedikit tertunduk, wanita itu memberi hormat pada Cronica tanpa menatapnya langsung, lalu memalingkan wajah, menoleh ke arah Gordon.

“Seingatku, aku sudah menyampaikan bahwa syaratnya adalah dalam keadaan hidup. Jadi... apa maksud dari kondisi ini?”

“Dia masih hidup, Biar bagaimanapun, dia memang bangsawan meski masih anak-anak. Dicicipi sedikit saja tak akan langsung mati, kan? Justru kau yang perlu menjelaskan. Kenapa kekuatan mata gadis ini tak pernah kau sebutkan?”

“~Ara? Apa aku belum sempat memberitahumu? Maaf sekali... Tapi, lebih penting dari itu—”

Ia bicara seolah tak terjadi apa-apa, lalu menjentikkan jemari bersarung putih. Sebuah saputangan tipis jatuh ke bayangan di belakangnya.

Sekejap kemudian, dengan bunyi decak lidah, rambut sewarna bulu basah dan gaun seputih buih muncul dari dalam bayang-bayang, melesat seperti burung air.

“Menyembunyikan mata-mata di bawah kaki orang lain, sungguh tak sopan. Apa maksudmu dengan cara seperti ini?”

Gordon mengangkat bahu dengan santai, tak menunjukkan rasa bersalah sedikit pun.

Tentu saja, tidak ada dari mereka yang berniat memutuskan kesepakatan. Gordon membutuhkan koneksi dengan kesatuan ksatria demi ambisinya, dan pihak ksatria menginginkan Cronica. Dengan kepentingan yang saling menguntungkan, tak ada alasan untuk berkonflik secara frontal. Saling menggertak hanyalah bagian dari perebutan kendali.

“Kalau begitu, anggap saja ini impas... Bagaimana kalau kita mulai dari awal lagi?”

Gordon menoleh ke arah asistennya.

“Evelyn, cukup. Bawakan teh untuk tamu kita.”

Tanpa berkata apa pun, Evelyn mengangguk, lalu menghilang ke balik bayangan.

"Itu boleh saja. Aku juga ingin sekali lagi menyampaikan permohonan maafku atas segala tindakan yang tidak sopan. ──Tapi sebelum masuk ke pokok pembicaraan, boleh satu permintaan terlebih dahulu?"

"Apa itu?"

"Apakah aku diperbolehkan memastikan… bahwa gadis itu benar-benar asli?"

Atas permintaan yang sangat wajar itu, Gordon tidak tampak tersinggung sedikit pun, hanya mengangguk.

"Aku tidak keberatan. Tapi bagaimana caramu melakukannya?"

"Terima kasih. Ya, ini hal yang sangat sederhana, kok."

Patricia berjalan mendekat ke arah gadis yang kehilangan sebelah kakinya dan sedang menahan rasa sakit, lalu berlutut perlahan. Ia mengangkat dagu tipis gadis itu dengan lembut. Kelopak mata kirinya, yang basah oleh keringat sebesar butiran air, perlahan terbuka, dan dari sana tampak kilau amethyst yang memancar.

Keduanya saling menatap selama beberapa detik. Sampai akhirnya, Chronica tertegun dan menahan napas,

──kemudian tersenyum dengan ekspresi lega.

"Beneran ya kamu ini,… dasar pembohong."

"Ya. Kamu tahu itu, kan?"

Dalam sekejap, ketika Gordon menatap dengan mata terbelalak, dari ujung lengan baju renda yang terjulur, muncullah percikan asap mesiu.

Satu tembakan. Lalu tembakan kedua. Peluru menghantam tubuh gemuk Gordon, dan pistol derringer yang tak lagi berguna jatuh ke lantai.

Dan orang yang sampai beberapa saat lalu dikenal sebagai Patricia──akhirnya memperlihatkan jati dirinya yang sebenarnya.

Korset yang membelit perutnya terlepas dengan bunyi patah, bulu-bulu palsu di pundaknya jatuh, rambut palsu pirang dan gaun wanita disingkirkan. Ia menepuk jakunnya, dan suaranya kembali ke nada aslinya.

Lalu, akhirnya, bersama dengan riasan wajah, topeng tak kasatmata itu pun terkoyak dari dirinya.

Dan yang muncul dengan anggun dari balik pakaian samaran yang kini tak lagi berguna, adalah seorang pria bertangan kanan lincah memegang senapan panjang layaknya pesulap.

"Aku belum sempat memperkenalkan diri. Maaf sudah menipu, tapi aku bukanlah seorang nona bangsawan, atau pun pengacara."

Sambil memeluk gadis itu dengan tangan kirinya, pria itu berkata:

"Linus Kurger. Pekerjaanku—seorang penipu."

Part 12

Akan kuajarkan padamu satu rahasia dalam berbohong.

Yang ketiga: berdirilah di posisi lawan bicaramu.

"A-a… apa… penipu, kau bilang? Ti-tidak mungkin… Ja-jangan bilang… sejak awal kau—!"

"Benar sekali."

Hadiah yang memang sudah kupersiapkan untuknya adalah itu: peluru yang kembali kutanamkan untuk ketiga kalinya ke perutnya yang merangkak di lantai.

Hal yang paling penting dalam kebohongan adalah imajinasi. Dengarkan ceritanya, perhatikan gerak-geriknya, baca ekspresi wajahnya, lalu bayangkan sendiri kehidupan yang telah dijalaninya hingga sampai ke titik itu.

Kalau kau bisa berdiri di posisi mereka—Membuat wajah yang sama bukanlah hal sulit.

Sejak awal, orang yang mengunjungi Gordon dengan nama Patricia, itu adalah aku.

Beberapa hari lalu, aku sempat berpikir, sayang kalau aku tak memanfaatkan kepribadian dan latar belakang yang kudapat dari berinteraksi dengannya. Mengaku sebagai anggota ksatria sekedar ad-lib dadakan demi memperlancar negosiasi. Pada kenyataannya, dia hanya gadis lugu yang kabur dari rumah.

Bagaimanapun juga, dengan menyamar sebagai dia, aku sengaja memberikan informasi tentang Chronica kepada Gordon. Dan seperti yang sudah kuduga, si penguasa sok agung bertubuh tambun itu mengadakan pesta demi menjebak kami.

Rencananya sederhana. Dengan identitas asli Chronica yang tersembunyi, cukup satu tatapan dari mata kirinya untuk menyelesaikan semuanya. Seandainya pun rencana itu gagal dan aku tertangkap, tubuhku bisa kujadikan bahan tawar-menawar, jadi setidaknya aku takkan dibunuh.

Tapi kesalahan terbesar dari semuanya adalah dia—Evelyn.

Karena dia, aku tertangkap. Dan akibatnya, aku sempat mengira Chronica telah mati. ──Bagaimanapun, utang ini harus kubayar lunas suatu hari nanti.

"Chronica… hey, kau baik-baik saja?"

Wajah gadis itu pucat pasi saat mengangguk lemah. Aku segera membalut lukanya dengan menyobek sisa pakaian penyamaranku yang tadi kulepas. Paha kirinya telah terpotong bersih. Andai gadis biasa yang mengalaminya, dia pasti sudah mati karena kehabisan darah.

"…Maafkan aku, Linus. Karena aku… kamu jadi mengalami hal yang berbahaya…"

"Jangan minta maaf. Ini salahku sendiri. Kau—tidak, uangku… selamat, itu yang terpenting."

Chronica tersenyum tipis, seolah bisa membaca pikiranku, lalu menyandarkan tengkuk ungu kemerahannya ke dadaku. Entah karena luka parah atau kehilangan banyak darah, kelopak matanya yang dihiasi bulu mata panjang menutup rapat seperti orang yang kehilangan kesadaran.

Sementara itu, kepada Gordon yang terengah-engah seperti ulat gemuk berlumuran darah, aku berkata:

"Jadi begini, dasar babi botak. Aku punya dua utang sama kau. Yang pertama, karena kau sudah menyiksaku habis-habisan. Dan yang kedua—"

Tiba-tiba aku terdiam, kata-kataku tersangkut di tenggorokan. Tanpa berpikir, aku menendang perut tambunnya yang berlumuran darah, dan saat itulah, amarah yang telah lama membara dalam dadaku akhirnya meluap, disulut oleh alasan yang baru saja muncul di kepalaku.

"Chronica ini… aku meminjamkan uangku padanya. Uangku, yang ini. Jadi, dengan kata lain…──kau sudah berani menyentuh satu-satunya hal paling berharga dalam hidupku."

Amarahku berbunyi nyaring di dalam kepala, seperti tumpukan koin yang dilempar keras-keras.

Mengikuti suara itu, aku menjejalkan moncong senapan ke dalam mulut Gordon yang memerah dan berlumuran darah, masih terengah-engah dalam kesakitan.

“Ggh… t-t-tunggu──!!”

“Maaf, tapi aku nggak dengar permohonan belas kasihan. Ini adalah putusan hukuman dariku.”

Aku menarik pelatuknya, membidik langsung ke rasa tajam yang menyayat tenggorokannya. Peluru itu menghantam dan menghancurkan tengkorak kepala Gordon.

Darah segar dan cairan otaknya muncrat deras ke dinding putih dan lemari kayu hitam. Setelah menyaksikan pembantaian mengerikan itu seperti bunga busuk yang mekar, aku membalik badan sambil menggendong tubuh Chronica yang terkulai lemas──namun di saat itulah…

“Kita bertemu lagi, ya… wahai pria bodoh.”

“──!?”

Seseorang muncul dari balik bayangan—gaun putih bergelombang, membawa satu set perlengkapan teh. Dengan tenang, perempuan itu menatap kekacauan di ruangan, lalu meletakkan nampan teh ke atas kabinet terdekat.

Evelyn. Aku juga punya utang pada wanita bangsawan ini. Tapi yang jadi masalah sekarang bukan itu.

“Majikanmu sudah mati. …Kupikir, kalian juga nggak sedekat itu sampai perlu balas dendam atau semacamnya. Jadi aku kasih tawaran. Kalau kau biarkan kami pergi──”

“Boleh saja.”

Evelyn mengangguk begitu saja. …Tapi, kenapa? Tegang ini seolah mencengkeram tulang punggungku dan tak mau lepas. Seperti ada peringatan dalam hati: ancaman sebenarnya baru saja dimulai.

“Memang benar aku nggak punya kewajiban atau minat untuk meratapi si babi yang mati itu. Tapi…”

Dalam keheningan dan hawa dingin yang tiba-tiba menyelimuti, Evelyn merentangkan kedua tangannya. Saat dia berdiri, bayangannya bergerak seolah menjadi pelayan setia, menanggalkan pakaian lamanya dan menggantinya dengan seragam baru.

“Aku memiliki kewajiban… untuk mengajukan beberapa pertanyaan pada kalian.”

Beberapa detik kemudian, dia berdiri di sana, mengenakan gaun pelayan hitam-putih yang dikenal sebagai maid outfit, dengan rambut pirang gelapnya yang lembap dihiasi penutup kepala khas pelayan.

Namun bukan itu yang paling menarik perhatian.

Di lengan kanannya—terpampang lencana yang menampilkan lambang elang berkepala tunggal menggigit seratus lilin putih.

Aku tahu. Semua orang tahu. Itu adalah lambang resmi pasukan revolusioner──yang kini dikenal sebagai Angkatan Darat Republik Kolonial Glanz.

“Sepertinya aku belum sempat memperkenalkan diri secara resmi. Kalau begitu, perkenankanlah aku mengulanginya.”

Jadi inilah identitas sebenarnya perempuan ini—seseorang yang aku dan Chronica paling tidak boleh temui.

“Aku adalah Evelyn Havelhaval, Letnan Khusus dari Departemen Ketujuh Pengelolaan Artefak, Angkatan Darat Republik Kolonial Glanz. Pekerjaanku—seorang tentara.”

Part 13

Dalam situasi yang berubah drastis, bahkan waktu untuk mengumpat pun tak ada. Aku segera memaksa pikiranku untuk berputar.

Tentara. Itu adalah profesi yang mewakili pemerintahan Republik melalui kekuatan militer. Sedangkan Departemen Pengelolaan Artefak adalah lembaga yang bertugas menjinakkan para bangsawan yang masih tersisa di dalam negeri dengan belenggu hukum, dan menjadikan mereka tunduk dalam kendali negara.

“Jangan terlalu pedulikan seragam maid ini. Hanya sisa dari pekerjaan lamaku.”

Dengan satu kalimat, Evelyn yang kini tak lagi menjadi maid meredam pertanyaan terbesarku, lalu melanjutkan penjelasannya dengan nada administratif.

“──Terlepas dari itu, mungkin kalian juga punya banyak hal yang ingin ditanyakan, dan aku pun sama. Maka mari kita urutkan satu per satu. Pertama, siapa kalian sebenarnya?”

Kalau tidak menjawab, akan kubunuh. Itulah pesan bisu yang terasa jelas dari hawa mematikan yang menguasai ruang tamu yang porak-poranda ini.

Setelah memilih kata dengan sangat hati-hati, yang keluar dari mulutku terdengar seperti daftar laporan:

“Ini Chronica. Dia sedang diburu oleh para Ksatria.”

“Begitu, lalu kamu?”

“…Linus Kurger. Aku cuma orang yang terseret bersamanya.”

“Begitukah? Terdengar seperti kebohongan, tapi baiklah, kuanggap cukup. Maka sekarang, perkenankan aku memperkenalkan diriku lagi. Aku adalah tentara yang bertugas di bawah Pemerintahan Republik. Misi saat ini: memusnahkan organisasi pemberontak yang menyebut dirinya Ksatria. Untuk itu, aku menyusup ke lingkaran orang-orang yang kemungkinan memiliki informasi tentang mereka…”

Tok… tok… Suara langkah kakinya mendekat, lalu sebuah tendangan penuh kekesalan menghantam jasad dan melemparkannya ke sudut ruangan.

“Si babi cabul ini ternyata benar-benar tidak tahu apa-apa. Serius, ini misi yang sia-sia.”

Suaranya yang kering, terdengar semakin dingin dari sebelumnya.

“Berikutnya, aku ingin bertanya langsung pada bangsawan kecil ini. Kenapa para Ksatria memburumu?”

“Itu karena dia—”

“Aku tidak sedang bicara padamu.”

Suara itu datang dari tepat di belakangku. Dan seketika aku merasa leherku dicengkeram, sebelum tubuhku dilemparkan dan menghantam tembok. Tubuhku merosot ke lantai, dan saat itu aku baru menyadari—aku baru saja dibanting dengan kekuatan fisik yang mustahil dipercayai.

Hangat tubuh gadis itu telah lenyap dari tanganku.

Dalam pandangan yang kabur karena rasa sakit dan benturan, aku melihat Evelyn, yang kini menggendong Chronica seperti membawa barang, menampar pipi putih gadis itu.

“Berhentilah pura-pura tidur. Kalau lengah, aku bisa saja benar-benar membuatmu tidur untuk selamanya.”

“...Sungguh... ini cukup... menyakitkan, kau tahu... Tapi, apa yang kau inginkan dariku, Nona Tentara?”

Meskipun Cronica menunjukkan ekspresi perih dan getir, Evelyn sama sekali tak peduli.

“Mengapa kau menjadi target Ksatria? Apa hubunganmu dengan mereka? Katakan semuanya—sejelas-jelasnya. Jika aku menganggap informasi itu berguna untuk penyelidikanku, aku akan mempertimbangkan untuk membiarkanmu hidup.”

Menahan nyeri di punggung, aku mencoba bangkit. Tangan yang secara naluriah mencari penopang kebetulan—atau mungkin tidak sengaja—meraih kenop pintu yang mengarah ke lorong.

Mungkin, saat ini aku bisa kabur. Suara ilahi berbisik lembut di telingaku.

Lawan kami bukan lagi Gordon, tapi kekuasaan negara. ...Namun, entah kenapa...

Dengan tangan kosong yang bahkan tak sempat mengambil senjata, aku justru berseru pada Evelyn yang masih mencekik Cronica dalam balutan seragam pelayannya:

“...Lepaskan dia.”

Evelyn tak menoleh. Hanya tawa dingin penuh niat membunuh yang menjawab.

“Kau benar-benar tolol. Aku tadinya hampir bersedia melepaskanmu kalau kau diam saja. Tapi baiklah, kalau memang ingin mati, aku akan mengabulkannya.”

Seiring dengan perintah tuannya, bilah bayangan yang dibentuk oleh faktor mulai memadat dan menghunus. Aku berpikir keras—apa alasan yang bisa kugunakan untuk melawan itu? Namun sebelum sempat berpikir lebih jauh, tiba-tiba Chronica berteriak...

“Berhenti!”

Suara itu—lemah seperti belum pernah kudengar sebelumnya, membuatku lebih terkejut daripada siapa pun.

“Aku akan bicara... jadi, kumohon... jangan bunuh dia...”

Kenapa? Mengapa kau mengatakan itu? Hanya karena kita pernah melakukan perjalanan bersama? Karena aku menolongmu? Apa karena kau berhutang budi?

Kalau begitu, kau terlalu melebih-lebihkan. Aku hanyalah manusia sampah. Semua yang kulakukan semata demi uang.

Jadi tolong...

“...Jangan menangis, bodoh.”

Dan seketika, ujung bayangan tajam itu menempel erat di tenggorokanku.

“Jadi, menjadikannya sandera adalah langkah yang tepat. Sekarang, bicara, gadis kecil. Kalau aku mendeteksi kebohongan, kepala pria ini tak akan bisa bercanda lagi, karena akan terlepas dari tubuhnya.”

Namun, sekali lagi, saat itu juga...

Sesuatu melintas cepat di sudut pandangku, dan disertai dentuman keras, Evelyn terpental jauh.

Part 14

Suara angin yang terbelah menyusul setengah detik kemudian, menggema mengerikan di gendang telinga.

Saat menatap ke atas dengan terpana, kulihat sebuah cambuk raksasa terbuat dari darah dan daging berputar melintasi ruangan, mencabik rak buku dan tembok.

Kemudian terdengar suara pekat, dalam, dan rendah, menggema di ruangan yang kini benar-benar telah menjelma neraka.

“……Dua belas tahun lalu, aku hanyalah tukang daging biasa.”

Bayangan yang tadi mengancam leherku sudah lenyap. Di balik lubang besar di dinding, Evelyn telah terlempar keluar—bersama Cronica. Tapi aku bahkan tak punya waktu atau tenaga untuk mengkhawatirkan keadaan mereka.

Karena aku melihatnya sosok yang kini berdiri di sudut ruangan. Tubuh gendut yang meneteskan sesuatu entah darah atau sumsum tulang tak henti-henti, menjijikkan, tak ingin kubayangkan bagaimana makhluk itu bisa mengeluarkan suara.

“Dan saat revolusi pecah di ibukota, orang-orang kekurangan tenaga untuk memancung para bangsawan. Hanya karena aku seorang tukang daging… aku dipaksa mengurus algojo.”

Terdengar suara berdecak basah dan menjijikkan. Uap mengepul dari tengkoraknya yang pecah. Apa itu… regenerasi?

Makhluk itu meludah, melontarkan peluru timah dari celah bibirnya—lalu terkekeh kecil, suara tawa yang merayap dingin di tulang belakangku.

“Suatu sore, seperti biasa aku bereskan mayat tanpa kepala… lalu aku mendengarnya. Cahaya matahari senja, merah bagai rubi, memantulkan potongan tubuh yang lebih merah dari anggur… dan ia berbisik padaku—‘Makan aku.’”

Akal sehatku menolak memahami apa yang ia katakan. Tapi monolog menjijikkan itu tak juga berhenti.

“Ketika aku sadar, aku tahu. Sesuatu ada di dalam darah itu. Kau mengerti, kan? Kau pasti paham. Warisan Factor Bangsawan Regalia ternyata… tak hanya diturunkan lewat keturunan.”

Ketakutan berlendir merayap pelan naik ke tulang punggungku, saat tawa menggelegar mengguncang seluruh ruangan.

“Sejak saat itu aku terus makan. Daging para bangsawan. Darah mereka! Setiap kali kulakukan, aku merasa tubuhku berubah sedikit demi sedikit… Tapi aku tak pernah menyangka, ternyata kekuatannya sebesar ini! Hah! Wajar saja, mana mungkin seseorang tahu dirinya abadi… sebelum benar-benar mati!”

Di saat itulah—tentakel besar melesat dan menghantam dadaku dengan kekuatan penuh. Dunia di mataku berputar, dan tubuhku terhempas ke lantai sekeras-kerasnya. Seluruh tubuh terasa remuk, dan aku memuntahkan darah di tengah rasa sakit yang menyayat.

Sambil menatap ke bawah kearah-ku Gordon menjilat darah di ujung jarinya dan berkata:

“Menarik juga. Kau bukan bangsawan, kan? Aku tahu kau tidak punya Regalia. Tapi darahmu… rasanya aneh. Menarik. Dan bagaimana bisa kau masih bergerak dengan luka seperti itu?”

“Ggh… uuugh… mana aku… tahu…”

“Ku-ku… hahaha. Keras kepala sampai akhir, ya? Tak masalah. Kalau begitu, biar lidahku yang mengungkap siapa kau sebenarnya. Akan kupreteli kepalamu yang terpenggal, kukorek isinya, dan kusedot otakmu sampai tak tersisa sedikit pun.”

Kata-katanya merayap dingin ke tengkukku, terpancar dari sepasang mata buas yang berkilat menjijikkan. Rasa takut yang sulit digambarkan merambat ke seluruh tubuhku.

Dimakan hidup-hidup… dan mati.

Bukan sekadar dibunuh. Bukan mati karena sakit. Tapi tubuh ini… akan dilahap oleh makhluk lain, bagian demi bagian, sementara kesadaranku masih ada—pikiran itu membangkitkan ketakutan purba, yang terasa terlalu mengerikan untuk bisa diterima oleh makhluk hidup mana pun──Itu bukan kematian. Itu penghapusan diri.

“──Hei.”

Seketika itu juga, cambuk berdarah yang menari di udara mendadak terputus, meledak ke dinding dan meninggalkan cipratan kotor.

Gordon, yang terbelalak melihat bayangan bersenjata yang kini berdiri tegak, tak sadar bahwa seseorang telah muncul di belakangnya.

Seorang maid berdiri diam, entah sejak kapan dia tiba di sana.

“Jangan sok asik ngobrol sambil ngacuhin aku, dasar babi tengik!!”

Dengan raungan menggema, tendangan berputar itu menghantam dan menghancurkan kepala Gordon—dari leher ke atas. Tapi bukan hanya itu. Serentetan bilah bayangan menyusul, mencabik-cabik tubuh bengkak menjijikkan itu hingga menjadi serpihan daging yang beterbangan. Namun..

“Evelyn... tenang saja. Kau juga akan kusantap, sebagai lauk pendamping. Tapi tenang, aku akan benar-benar menikmati rasanya.”

Potongan darah dan daging yang bertebaran... mulai menggulung kembali ke tempatnya. Ia tidak mati—bahkan setelah semua itu.

Aku hanya bisa terpaku, terguncang oleh pemandangan yang terlalu mustahil untuk dicerna. Saat itu, dari balik bayangan tak jauh dariku, muncul seorang maid sambil menggendong seorang gadis.

Begitu tatapan mereka bertemu, Evelyn tanpa ragu melemparkan Cronica ke arahku.

Dengan panik, aku menangkap tubuh gadis yang lemas itu. Tak lama kemudian, terdengar suara decakan lidah penuh kekesalan.

“Kesalahan perhitunganku. Kekekalan tubuh itu… sepertinya aku meremehkan kadar kegemukannya.”

“…Apa sebenarnya dia itu? Seorang bangsawan?”

“Bukan,” jawab Evelyn, mengibaskan darah dari dahinya yang pecah.

“Makhluk seperti dia, kami menyebutnya Pewaris Pemakan Mayat, atau Carnibalist. Dia adalah tiruan, yang mewarisi faktor darah bangsawan, Regalia, secara tidak sempurna… dengan cara memakan jasad kaum bangsawan. Karena tidak melalui pewarisan genetis, mereka tidak memiliki kemampuan khusus. Tapi ketidakterbatasan hidup yang tumbuh dari kebiasaan memakan mayat berulang kali… kalau sudah sampai level seperti itu, dia adalah ancaman nyata.”

“Jijik. Evolusi balik yang menjijikkan. Dalam beberapa hal… malah lebih cocok disebut ‘bangsawan’ dibanding bangsawan itu sendiri,” gumam Cronica.

Evelyn menatapnya dengan sorot curiga, namun segera mengalihkan pandangannya kembali.

“Detailnya nanti saja. Untuk sekarang, lupakan semua yang baru saja terjadi… dan mari kita bekerja sama.”

Itu adalah tawaran yang tak mungkin kutolak. Aku membenahi posisi tubuh Cronica di lenganku, menegakkan lutut, siap bergerak.

Tak jauh dari situ ada pintu yang mengarah ke lorong.

“Oke, terserah. Sisanya, kupercayakan padamu.”

“Apa? Hei, tunggu dulu──!!”

Gordon, yang telah selesai beregenerasi, kembali menyerang Evelyn dengan keganasan membara.

Tapi aku tidak menoleh lagi. Dengan segenap tenaga, membelakangi pertempuran itu, aku berlari sekuat tenaga menerobos pintu masih menggendong Cronica di pelukanku.

Part 15

Kami berlari menyusuri lorong panjang, menuju ke arah pintu keluar. Di dalam pelukanku, Chronica berbisik dengan suara serak.

"…Linus, maafkan aku."

"Diam. Jangan minta maaf, jangan menangis. Aku yang ceroboh… hanya itu saja."

"Tapi… kalau saja aku nggak bilang sejak awal untuk menyelamatkan toko itu—"

Namun, tak peduli apa pun yang dia katakan, aku tak bisa membiarkan dia memikul tanggung jawab. Karena—

"…Dengar baik-baik. Aku yang dihajar habis-habisan, kakimu juga... semua itu akibat dari keputusan aku yang ingin mendapatkan uang dari toko itu. Bukan karena aku mengabulkan permintaanmu."

Aku adalah penipu. Karena itu, tak mungkin aku sampai mengalami kesialan hanya karena mendengarkan permintaan seorang gadis.

Aku menendang pintu yang muncul di ujung lorong. Ruangan di baliknya adalah aula tempat pesta semalam diadakan. Dalam suasana redup yang remang-remang, aku menjejakkan kaki dan menatap sekeliling, mencari jalan keluar.

Tiba-tiba, dinding di sisi berlawanan hancur dengan suara ledakan, dan sesuatu yang terlempar menghantam tanah tepat di sampingku.

"Evelyn!"

Begitu aku mengenali seragam pelayan itu yang berdiri dengan tubuh sempoyongan dan muntah darah, aku tak sadar menggumamkan namanya.

"Sial… bahkan waktu yang dia beli pun tidak cukup."

"…Begitukah pendapatmu yang tidak manusiawi?"

Setelah mengancam kami, dia masih bisa berkata begitu. Aku hendak membalas ucapannya saat—

"Kalian semua tidak akan diizinkan pulang. Sudah kubilang, akan kumakan kalian sampai tak tersisa."

Suara berat dan dalam menggema di dalam aula. Gordon muncul dari pintu masuk lainnya, menendangnya hingga roboh. Bagian atas tubuhnya telanjang, memperlihatkan otot-otot besar yang menggembung. Di belakang tubuh raksasanya, para bawahannya yang mirip preman berkumpul dalam kelompok besar.

"Apa yang harus kita lakukan? Kalau terus begini, kita semua jadi makan siangnya."

"Menjadi menu makan siang di restoran… itu bahkan tidak cukup lucu untuk jadi lelucon."

Evelyn berdiri dan mengepalkan tinjunya, lalu mengangkat bayangan di bawah kakinya menjadi bentuk tiga dimensi. Namun jelas bahwa dia mengalami luka serius. Di sisi lain, Gordon menampilkan senyum percaya diri, tanpa sedikit pun tanda-tanda kelelahan.

"Hei, maaf mengganggu semangatmu itu, tapi... menurutku kita lebih baik kabur saja. Dengan kemampuanmu, tak bisakah kita keluar dari bangunan ini?"

"Mustahil. Ada dua alasan. Pertama, masalah berat. Aku memang bisa berpindah secara instan lewat bayangan, tapi kalau sambil membawa makhluk hidup lain, jarak teleportasiku jadi sangat terbatas. Apalagi kalau membawa dua orang. Kedua… masalahnya, sekarang siang hari."

Yang pertama masih bisa kupahami. Tapi alasan kedua, aku sama sekali tidak mengerti. Apakah cahaya matahari punya efek negatif terhadap kemampuannya?

Namun, Evelyn tidak menjelaskan lebih jauh soal itu. Ia hanya menambahkan dengan nada dingin:

“Dan satu hal lagi. Siapa yang memutuskan… bahwa aku akan kalah?”

Dengan kasar, ia membetulkan headpiece-nya yang sudah berantakan dan menyeka noda merah di sudut bibirnya dengan lengan putih seragamnya. Pelayan berambut hitam itu kini tampak seperti sebilah pedang tumpul yang masih haus akan cipratan darah.

“Aku seorang tentara. Dan sebelum itu, aku adalah seorang maid penyapu hitam. Aku tak punya ekor untuk digunakan kabur hanya karena harus berhadapan dengan sampah seperti ini.”

Tekadnya menggema dalam niat membunuh yang tak surut sedikit pun. Begitu mendengarnya, aku langsung sadar bahwa membujuknya adalah tindakan sia-sia.

“...Oi, Evelyn.”

“Ada apa lagi?”

“Kau takkan sanggup sendirian. Dalam situasi begini, mau tak mau... aku juga akan bertarung.”

“...Untuk bagian pertama aku tak bisa setuju, tapi bagian kedua kuucapkan selamat datang. Kau punya rencana, bukan?”

“Yah, itu kebiasaan profesi—aku selalu menyimpan satu-dua trik.”

Aku memanggil nama Cronica.

Tatapan kami bertemu mata amethystnya yang menatap dari dalam pelukanku, dan mataku sendiri.

“Lakukan itu lagi. Yang waktu di kereta. Pindahkan 'itu' ke dalam diriku, satu kali lagi.”

“...Tidak.”

Suara gemetar itu, dan mata kanannya yang basah… Apa itu hanya perasaanku, atau dia memang hampir menangis?

“Waktu itu berhasil hanya karena keajaiban. Kau tahu itu. Kau pasti sudah menyadari juga perubahan yang terjadi pada tubuhmu. Kalau kita coba lagi… kali ini, kau benar-benar akan kehilangan dirimu sendiri.”

“Cepat lakukan. Kalau tidak, kita semua akan mati di sini.”

Ketegangan membeku di udara. Benang-benang tak terlihat meregang di sepanjang aula gelap ini, seolah hanya menunggu satu getaran kecil untuk putus.

Tak ada lagi waktu.

Maka, aku pun menatap mata kirinya yang seakan hendak menyedotku masuk, dan menyatakan dengan pasti:

“Aku akan baik-baik saja.”

Tentu saja, aku tidak punya dasar apa-apa. Tapi jelas, tidak ada pilihan lain.

Seperti biasa, aku menyajikan kebohongan terang-terangan… sebagai satu-satunya kebenaran.

“Percayalah. Anggap saja kau sedang tertipu.”

Saat itu juga, setetes air mata jatuh dari mata kirinya. Apa maknanya? Aku tak tahu.

Tapi tetap saja, gadis itu mengangguk pelan. Dalam tatapan kami yang saling bersilangan, muncul kembali pusaran aneh yang dulu pernah kulihat… tepat seperti saat itu.

“〈Eye of the Providence〉—Mata Ketiga.”

Gordon mulai bergerak.

Dan seolah untuk melindungi kami, bayangan hitam dengan bentuk senjata berdiri di antara kami dan mereka.

Namun, sesaat kemudian… segalanya diabaikan begitu saja.

Suara gemuruh yang meledak dari atas kepala memutus seluruh kejadian di tempat itu.

Aku, Cronica, Evelyn, juga Gordon dan yang lainnya. Semua orang secara serempak menengadah menatap langit-langit.

Entah bagaimana, yang terlihat di sana justru langit siang yang cerah. Cahaya matahari menembus atap istana tiga lantai yang jebol, dan pecahan lampu gantung berkilau seperti pecahan bintang yang melayang turun.

Mungkin karena pemandangan itu begitu absurd, seperti ilusi yang tak masuk akal, kami tak segera sadar akan sosok yang muncul bersamanya.

“Mohon maaf atas kunjungan yang kasar ini. Soalnya… pintu depan tidak terbuka.”

Sosok nenek tua itu dengan santainya menepuk-nepuk celemek putihnya, menyingkirkan debu. Kami terlambat menyadarinya.

“Karena Anda pulang terlambat, saya jadi khawatir. Kalau tidak buru-buru, brunch Tuan Toko akan keburu dingin. Maka saya datang menjemput. Kruger-sama. Cronica-sama.”

Cronica berteriak seolah bangkit dari mimpi, suara yang gemetar campur aduk antara kebingungan dan keterkejutan.

“Aria!? Kau… jangan-jangan… tapi kenapa bisa—?!”

Apa yang dilihatnya di balik wajah tua yang lembut itu? Dengan mata kirinya yang istimewa, Cronica tak sanggup melanjutkan kalimatnya.

Aku pun menyadari bahwa Evelyn di sampingku juga menunjukkan reaksi aneh.

Dia gemetar. Ketakutan.

Napasnya tercekat, tatapan biru esnya terbelalak dan tak mampu melihat apa pun selain sosok itu. Bibirnya yang pucat bergetar, lalu berbisik pelan:

“…Shishou…”

Sang nenek tua menanggapinya seakan menyapa murid lama yang tiba-tiba bertemu kembali.

“Betapa pertemuan yang tak terduga. Sudah lama, Evelyn. Masih saja gegabah seperti dulu rupanya. Sudah berkali-kali kukatakan, hidupmu akan lebih pendek dari peluru kalau terus hidup seperti itu.”

“Oi, nenek tua. Sebenarnya… siapa kau?”

Gordon, yang telah kembali tenang, akhirnya berbicara.

Sang nenek pun menoleh padanya dengan sikap sopan, mengangkat ujung roknya, mengangkat satu ujung kaki, dan membungkuk dalam sebuah curtsey yang anggun.

Gerakan anggun itu begitu sempurna hingga pantas disebut indah membuat punggungku merinding seketika, seolah ada hawa dingin yang menjalar ke tulang.

Dari punggung bungkuk si nenek, aku nyaris melihat fatamorgana berupa riak-riak hitam pekat yang membumbung. Seakan ujung-ujung pedang raksasa tengah menembus lapisan waktu yang menumpuk pada tubuh rapuh itu, mencoba menerobos keluar.

Dan bau itu… kini begitu pekat sampai terasa menusuk hidung. Bau yang kukenal, yang tak mungkin salah.

Bau takdir yang melekat pada hidup seseorang.

Bau dosa—bau dari jiwa yang berkarat oleh darah.

Itu… adalah aura seorang pembunuh.

Aura yang bahkan jauh melampaui milik Glaciel.

"Kau… dari faksi mana, hah? Dasar nenek bau tanah. Kelihatannya kau juga bangsawan, tapi—"

Namun suara Gordon itu, dipotong dengan ringan… seolah hanya sapuan angin.

“Ara~? Betapa aneh. Sebenarnya dari tadi saya sudah curiga… Tapi kenapa seekor babi bisa bicara seperti manusia, ya?”

Gordon menggeram. Otot-otot di pelipisnya menegang. Dengan marah, ia memberi perintah kepada anak buah di belakangnya.

“Bunuh dia. Nenek sialan ini bikin sakit mata.”

Anak buahnya, seperti prajurit terlatih, segera mengangkat crossbow.

Namun yang terdengar setelah itu adalah suara tumpul beruntun, suara benda berat jatuh ke lantai.

Leher para pria itu. Seperti buah ara yang matang, mereka berguguran ke kaki sendiri.

Dan sebelum siapa pun bisa menjerit, suara deru melingkar yang tajam memecah udara menghantam telinga dan rasa nalar.

Dua kapak kecil senjata pembunuh yang barusan memanen jiwa berputar di udara, lalu dengan presisi yang menyeramkan, kembali ke tangan si nenek tua yang kini merentangkan kedua tangannya.

“Ahh… sudah lama, tapi tetap saja… sungguh perasaan yang menyenangkan.”

Dua hatchet yang berlumuran darah. Tetesannya tak ada satu pun yang jatuh ke tanah—semuanya mengalir di sepanjang gagang, membasahi tangan keriput yang mencengkeramnya erat.

“Sensasi memenggal kepala bajingan... tak ada yang bisa menandinginya.”

“Kau, keparat──ッ!!”

Gordon meraung, mengayunkan tinjunya seolah menyambut kedatangan tamu yang sangat dinanti.

Namun palu besi yang diselubungi angin kencang itu menghantam kosong. Sang nenek telah melayang ringan seperti bulu, melompat dan berputar di udara, lalu mendarat dengan bunyi cipratan di belakang si raksasa jelek, tepat di genangan darah yang baru saja terbentuk.

“Nenek sialan! Kau cukup kuat rupanya! Pasti kau bangsawan terkemuka, ya!? Bagus, bagus! Tamu dadakan sebagai hidangan utama, aku sangat menyambutnya! Meski agak lewat tanggal kedaluwarsa, tak perlu khawatir. Perutku belum pernah bermasalah sekalipun! Bahkan setetes darahmu pun tidak akan kusia-siakan──”

Tapi begitu Gordon berbalik dengan penuh semangat, ia langsung membeku.

Dan itu wajar. Karena aku pun, yang menyaksikan dari sisi lain, tak bisa berkata apa-apa.

Genangan darah yang mengalir di atas lantai marmer telah menghilang. Mengering, seolah terserap oleh tanah atau lebih tepatnya, diserap.

Darah itu—kehidupan itu—ditelan oleh tubuh si maid tua. Dari telapak kakinya, naik ke pergelangan, menyebar ke seluruh pembuluh darahnya sebagai persembahan.

Bersamaan dengan itu, tubuh keriput itu mulai berubah.

Menjadi muda. Lebih tinggi. Lebih lentur. Seperti pohon pemakan manusia yang tumbuh dengan menyerap mayat sebagai pupuk, tangan dan kaki yang pendek mulai memanjang, tulangnya melesak, dan kulit keringnya merekah dengan vitalitas muda.

Bahkan kepala para korban yang bergelimpangan, ikut terkuras habis hingga tak tersisa.

Dan di tempat itu kini berdiri seorang maid berambut panjang merah darah, berdiri anggun bak bunga neraka di ujung dunia, mekar di atas ladang pembantaian.

“Oh ya, saya hampir lupa memperkenalkan diri.”

Suaranya lembut namun menyayat, muda dan memesona, sambil ia menjilat bibirnya perlahan. Dari sela-sela jari putihnya, empat pasang—delapan bilah mata kapak tumpul yang berkilau suram—muncul begitu saja.

“Perkenalkan Nama saya Aria the Hatchet. Posisi: Sapu Pertama dari Mantan Divisi Pembersih Kerajaan untuk Dekadensi, The Black Broom—Bloomsweeper. Profesi: Bekerja di restoran. Keahlian: Menyiapkan teh dan… membersihkan sampah.”

Part 16

Sepasang kapak ganda melukis sabetan di udara. Sementara darah segar menyiram tubuhnya dari kepala hingga kaki, Aria tersenyum dalam ekstasi.

“Ahh… perasaan yang kurindukan.”

Daging yang terpotong, cipratan darah yang berhamburan, namun tak satu potong pun, tak setetes pun jatuh ke tanah.

Setiap tetesan, setiap serpihan, langsung terserap begitu saja. Bilah kapak merah menyala, dijalin dari darah murni, melahap habis segala yang bernyawa tanpa membiarkan satu pun lolos.

Senyuman kejam menghiasi wajahnya saat ia menyatakan nama teknik warisan dari darah langka yang tak mulia, namun sangat khusus:

“《Vampiric Variant – Live Hatchet》, aktivasi dimulai.”

Di balik rok yang berkibar ringan, disela rambut merah menyala yang menari di udara berjejer kapak-kapak kecil dalam jumlah yang tak terhitung.

Melihat itu, wajah Gordon yang bengkak dan menjijikkan menegang. Kedua matanya yang keruh menguning terbelalak.

Setiap kali tubuhnya ditebas, kecepatannya menyembuhkan diri makin melambat. Luka yang ditinggalkan, tetap perih. Dan lebih dari darah atau stamina, sesuatu yang lebih mendasar, lebih esensial… seperti inti kehidupan itu sendiri seolah dilucuti.

Dan semuanya semua sensasi dan penyiksaan itu berhubungan dengan bilah-bilah merah darah yang terus tumbuh di hadapannya.

“Ti… tidak… mung.. Kau… jangan menyerap keabadianku, jangan serap aaaahhhhh!!”

“Oh? Apa Anda tidak menyukai diet? Sayang sekali. Tapi tolong bertahan sedikit lagi. Sampai saya bisa menghachet leher paling sia-sia yang menopang ketidakmampuan nomor satu Anda.”

Dan saat itu juga, dari untaian rambut panjang merah darah, bilah-bilah kapak bermunculan serentak, menyatu membentuk semacam cambuk bersendi seperti ular logam.

“Teknik Rahasia, True Hatchet Fist──Blood Chain – Andromedas.”

Lengan kanan Gordon yang dililit erat tak luput dari nasib tragis—tercekik, terpotong halus hingga tak bersisa. Bahkan darah segar yang muncrat pun, bersama dengan nyawa tanpa batas yang dikandungnya, terserap habis oleh bilah-bilah merah.

“A-aAAAAAAaaaaAAAGGGH!!!”

Ketakutan yang membuncah akhirnya menarik pelatuk. Insting bertahan hidup Gordon meledak liar, menggila dan membengkak hingga tak terkendali. Ia bersatu dengan nafsu makan terkutuknya, menembus batas dan menampakkan mutasi yang tak seharusnya ada di dunia ini.

“Ara~, betapa… mengesankan.”

Tepat di hadapan Aria, sosok pemangsa yang tubuhnya mengembang berkali-kali lipat membuka perutnya dalam garis vertikal, menyeringai dengan rahang menjijikkan yang dipenuhi barisan gigi-gigi tajam. Dan dalam sekejap, sang maid merah disapu habis tanpa bekas.

“……! Guuhh… AAAAAAGH!!!?”

Namun, detik berikutnya, perut yang membengkak itu menggelembung dari dalam dan meledak.

Bersama semburan darah dan daging yang menghiasi udara, mekar sebuah mawar raksasa dari ribuan kapak kecil merah sepekat darah.

Di tengah kelopak-kelopak bunga berdarah yang berguguran perlahan, Aria berdiri tenang, anggun, tersenyum memikat.

“Sayang sekali… Anda terlalu tidak berkelas untuk bisa memakan saya.”

Tatapan lelaki itu, yang kini memegangi perutnya yang koyak sambil memohon nyawa, ditebas habis oleh tatapan jijik dan helaan napas penuh kekecewaan.

“Dengan demikian… Anda gagal. Silakan ulangi pelajaran etika makan Anda… dari dasar. Di dasar neraka.”

Dari ujung lengan bajunya yang putih bersih, kapak-kapak kembali tumbuh tanpa akhir. Gerombolan kapak vampirik yang dijalin dari nyawa para korban menghujani Gordon seperti hujan deras tak berampun—menancap satu demi satu ke tubuhnya.

Tak butuh waktu beberapa detik. Tubuh raksasa itu tertancap, terhempas, dan terpasung di dinding oleh kekuatan beruntun.

Lemparan itu berhenti. Tapi putaran tubuh Aria belum berakhir. Ia menari tanpa belas kasihan, dan di ujung gerakan, lengannya perlahan-lahan berubah menjelma menjadi kapak perang raksasa.

“Teknik pamungkas True Hatchet Fist──Blood Burial Storm – Francisca Typhons.”

Dan di puncak kecepatan putarnya, Aria melesat bagaikan tornado berkarat oleh darah menghantam, mencabik, dan melumat tubuh musuh bersama ribuan kapak yang berputar bersamanya.

Ketika badai darah itu reda… tak satu pun sisa Gordon tertinggal. Tubuhnya telah lenyap sepenuhnya—terurai seperti debu dan hilang ditelan udara.

Part 17

"Apakah... kita selamat?"

"Sepertinya... begitu."

Di bawah cahaya matahari yang menyusup dari langit-langit yang runtuh, aku dan Cronica terbaring telentang bersebelahan.

Tubuhku sakit. Pokoknya sangat lelah. Bahkan tak ada tenaga untuk merasa senang karena selamat. Dan saat itulah—

"Permisi."

Tiba-tiba, sentuhan jari yang dingin menyentuh leherku. Sesaat kemudian, sesuatu yang hangat mengalir dari sana, mengisi kembali tenaga, stamina, dan bahkan nyawa yang seharusnya telah habis.

Beberapa detik kemudian, aku dan Cronica sudah duduk seolah tak terjadi apa-apa, saling menatap. Di atas kepala kami, suara Aria muda terdengar.

"Saya  membagikan sebagian kekuatan hidup yang telah saya serap dari orang itu. Jika hanya kelelahan atau patah tulang, itu sudah bukan masalah. Namun... Cronica-sama, sayangnya, mengenai kaki Anda—"

"Tidak apa-apa. Dengan tenaga sebanyak ini, dalam dua atau tiga hari, kaki ini akan tumbuh kembali."

"Astaga~..."

Saat kulihat, luka di kaki kiri Cronica sudah berhenti berdarah. Bahkan, dari bawah perban, ujung luka itu tampak bergerak-gerak pelan. Melihat itu, Aria menutup mulutnya dengan takjub.

"Apakah Anda mungkin... ah, maafkan saya. Kalau begitu, ini keberuntungan yang luar biasa. Meski begitu, sebelum proses regenerasi selesai, pasti akan cukup merepotkan. Silakan, pegang tangan saya."

"Terima kasih. Tapi nggak perlu, aku akan memakai ini saja."

"...Jangan seenaknya jadikan aku tongkat jalan!"

Saat gadis mungil itu bersandar padaku, aku menangkapnya dengan satu tangan. Senyum khasnya yang biasa kembali, memandangku dengan nakal. Menyadari bahwa protesku sia-sia, aku menyerahkan lengan kananku, yang langsung digenggam erat.

"...Jangan seenaknya mengakhiri semuanya dengan happy ending, ya."

Saat itu, satu sosok lain bangkit perlahan, seragam maid lain. Evelyn, yang tampaknya juga menerima pembagian kekuatan hidup dari Aria, sudah tidak terlihat terluka.

"Shishou... jadi anda memilih untuk menolong kedua orang itu."

"Ya. Saat ini aku hanyalah seorang karyawan restoran kecil. Ini adalah bagian dari pelayanan untuk pelanggan penting. Aku akan memberimu alamatnya nanti, Evelyn. Datanglah berkunjung."

"Saya menolak. Karena dua orang itu adalah saksi penting, saya harus segera menangkap mereka."

"Begitu ya."

Barulah saat itu, Evelyn mengepalkan tinjunya yang semula gemetar, dan dengan tatapan mata biru dingin, ia menatap tajam si maid berseragam merah.

"Jika Anda menghalangi, Shishou... Maka sesuai tugas saya sebagai prajurit Republik, saya akan menjatuhkan hukuman kepada Anda sebagai pemilik faktor tak terdaftar—"

"Berisik sekali."

Semangat penuh tekad itu dipotong habis dengan satu kalimat. Aria menyela dengan nada seakan lelah dan kesal.

"Berhentilah terus bergantung pada kewajiban yang kau ucapkan sendiri. Kalau kau masih takut padaku sampai-sampai mau ngompol seperti dulu, sebaiknya kau jujur saja. Aku bisa membiarkanmu pergi, tahu?"

Seberapa dalam harga dirinya terusik oleh kalimat itu, hanya bisa ditebak.

Setelah satu kedipan, Evelyn menurunkan suhu dalam tatapannya, lalu berkata:

"Permisi. Kalau begitu, saya akan menerima kebaikan hatimu—Evelyn Havelhaval, mantan anggota ‘Bloom Sweeper’ urutan ke-7. Mulai sekarang, izinkan saya membunuh mantan Shishou saya."

"Wajah yang bagus. Bagus sekali, murid bodoh. Baiklah, sudah lama tak bertarung, mari kuladeni. Jika, dalam satu dari seratus milyar kemungkinan, kau berhasil mengenai aku lebih dulu, maka kali ini aku akan menyerah."

Begitulah, dengan begitu mulusnya duel antara dua maid yang dipenuhi niat membunuh itu dimulai.

Tanpa kusadari, nyawa aku dan Cronica pun ikut dipertaruhkan dalam hasil pertarungan mereka—

Namun, penyelesaiannya... terjadi dalam sekejap mata.

Sayangnya, sebagai manusia biasa, aku tak punya kemampuan untuk memahami duel intens yang terkompres dalam waktu sesingkat itu.

Dengan kata lain, selain hasil yang terpampang di depan mata, tak ada yang bisa kuceritakan.

Tubuh Evelyn terlempar hingga sisi seberang aula, terseret bersama puing-puing dinding tempat ia menabrak, tenggelam dalam genangan darah tanpa bergerak sedikit pun.

"Hey, Linus... itu tadi, jangan-jangan..."

"Iya, pasti mati itu."

"Oh, kalian ini. Jangan bicara seolah-olah dia benar-benar mati. Saya tidak membunuhnya, kok... Kurasa, mungkin, semoga saja."

Aria melepaskan tinjunya yang tadi menghantam wajah muridnya sekuat meriam, lalu melambaikan tangan seakan membela diri.

Melihat senyumnya yang entah kenapa tampak malu-malu itu, aku dan Cronica tak bisa berkata apa-apa lagi.

Part 18

Beberapa hari kemudian.

Aku berjalan di atas jalanan berbatu menuju stasiun, menenteng dua koper milikku dan Cronica di kedua tangan.

Waktunya berpisah dengan ibu kota... tempat yang telah memberi kami terlalu banyak pengalaman.

Kami melangkah di jalan utama malam hari, arah sebaliknya dari saat kedatangan. Batu-batu jalanan yang disinari lampu gas tampak penuh bekas sepatu orang-orang yang melintasi siang tadi.

"Heh, kita bisa ketinggalan kereta malam, tahu. Cepatan sedikit."

"…Aku tahu. Tapi... beri aku sedikit waktu lagi."

Cronica berjalan di belakangku, sedikit lambat. Sepertinya ia enggan berpisah, matanya menelusuri setiap sudut kota, seolah ingin membekukannya dalam ingatan.

Kakinya yang sempat cedera sudah pulih, seperti yang diperkirakan, dalam dua hari.

Sedangkan soal toko itu... setelah Gordon mati, arus suap terputus, dan putusan awal diubah dalam persidangan banding.

Sebagai tambahan, si pemilik toko sampai jatuh sakit dan harus berbaring di tempat tidur hingga pagi tadi, karena terkejut melihat Aria yang telah "awet muda." Katanya, untuk sementara dia akan tetap menggunakan wujud itu.

Setidaknya, soal toko itu beres sudah. Tapi masalah kami belum selesai.

"Buruan. Pihak manajemen pasti sudah tahu soal kita. Kalau kita nggak cepat—"

Tiba-tiba aku terhenti. Sebuah kenyataan besar yang kulupakan mendadak menyergap pikiranku.

"Hah? Linus? Setelah nyuruh orang buru-buru, sekarang malah—"

"…Aku lupa."

Wajahku seketika memucat. Semua yang ada di kepalaku langsung tersapu bersih oleh satu pikiran itu.

"Uangnya! Kita lupa ambil bayaran dari si pemilik toko!!"

Aku langsung hendak balik arah dan lari kembali sekuat tenaga. Tapi langkahku dicegat oleh mata kiri ungu milik Cronica yang menyipit tajam.

"Jangan halangi aku! Kau tahu nggak, aku mengalami semua itu demi apa?!"

"Tentu saja demi aku, kan? Meskipun itu cuma bohong... anggap saja begitu, ya?"

Cronica melangkah mendekat, lalu dengan kedua tangan yang terulur lembut, ia membungkukkan kepalaku sedikit ke bawah. Sementara itu, dirinya berjinjit, menegakkan tubuhnya setinggi mungkin.

Kami saling menatap—hanya sepersekian detik, dengan senyum malu-malu mengembang di wajahnya.

Lalu bibirnya menyentuh pipiku. Ringan, lembut, dan segera menjauh.

“──Itu upah dariku. Hanya ini… apa kamu kecewa?”

Aku berniat menjawab entah dengan protes atau candaan. Tapi sialnya, aku malah kehilangan kata-kata.

Saat itulah—

“Di tengah jalan ramai, kalian berdua sedang mesra-mesraan untuk apa, kalau boleh tanya?”

“ッ…! Kau lagi—!”

Aku terperanjat dan langsung menoleh ke belakang.

Di bawah cahaya terang lampu kota, berdirilah seorang maid, anggun dan tak tergoyahkan seperti sekelompok bunga liar yang mekar sendirian di tengah malam.

Evelyn.

Dengan rambut hitamnya yang tergerai, dan perban melilit di dahinya, ekspresinya tetap datar seperti biasa.

“Jadi kau tidak mati.”

“Kau selamat? Kau baik-baik saja?”

“Tidak baik-baik saja. Aku benar-benar hampir mati, sungguh.”

Jawabannya disampaikan tanpa nada, datar dan tenang.

Refleks, aku menggenggam tangan Cronica erat-erat, bersiap kabur kapan saja.

Tapi ternyata, tidak ada serangan. Evelyn tidak menunjukkan gelagat menyerang. Sebaliknya, dengan wajah seolah ingin menghindari percakapan ini seandainya bisa, dia menyampaikan tujuannya.

“...Setelah kejadian kemarin dilaporkan ke atasan, sebuah misi baru telah diberikan padaku.”

Ia menghela napas panjang. Sangat panjang.

Lalu bibir tipis itu pun menyampaikan keputusan yang tak bisa ditolak.

“Mulai sekarang, aku akan ikut bersama kalian sebagai pengawal. Tugas ini sekaligus mencakup perlindungan dan pengawasan terhadap kalian berdua.”

Kemudian, seolah benar-benar menyesal, ia menambahkan:

“Dan sayangnya, kalian tidak bisa menolak. Aku juga… tak punya pilihan.”

Gabung dalam percakapan