Penerjemah : Yomi
SETELAH SEMUA ITU, BUKAN
HANYA AKU YANG TERTANGKAP, tapi Elea-sama, Shelly, Betty, dan bahkan Rick.
Pemimpin teroris tampak senang dengan perkembangan ini dan diam-diam bilang
kalau mereka setidaknya ingin menangkap Elea-sama dan Rick, jadi kami cuma
bonus. Apa-apaan ini?
Namun, mereka tampak seperti
teroris yang jujur, jadi mereka tidak menyakiti siapa pun di sana—hanya memberi
mereka obat tidur atau semacamnya.
Setelah itu, kami berangkat
dengan kereta kuda raksasa milik suatu perusahaan dagang, bergoyang maju mundur
selama sekitar dua jam sebelum tiba di suatu rumah bangsawan. Elea-sama
kemudian dipisahkan dari kami semua.
Rick mengamuk ketika mereka
membawa ibunya pergi, tetapi diam setelah mereka memukulnya.
“Apakah Kamu baik-baik saja,
Ludoric-sama?” tanya Betty.
"A-aku baik-baik
saja!" Kupikir mereka sudah menahan diri, tapi Rick tampak hampir menangis
sambil menekan pipinya yang bengkak. Setidaknya, dia masih cukup baik untuk
tetap tegar.
Aku berharap dia melepaskan
rokku. Seharusnya dia tidak datang kalau setakut itu. Di sisi lain, Shelly
tampaknya baik-baik saja sehingga dia bisa memelototinya dengan tatapan
menakutkan.
Setelah Elea-sama pergi, kami
berempat dibawa ke ruang bawah tanah yang tampak seperti gudang.
Aku ingin mencatat bahwa aku
sangat tenang meskipun dalam situasi seperti itu.
Ini pertama kalinya aku
merasa begitu seperti seorang devil.
Jiwa seorang demon,
hati seorang manusia…
Aku sempat berasumsi
samar-samar bahwa jiwa dan hati itu satu dan sama, tetapi ternyata keduanya
sedikit berbeda. Aku yakin aku memiliki tekad yang begitu kuat karena aku
memiliki ingatan-ingatan tertentu tentang kehidupan di dunia itu dari
mimpi-mimpi aku. Itu pasti bagian darinya. Namun, jika ingatan-ingatan itu
benar-benar satu-satunya yang aku miliki, pasti aku akan jauh lebih ketakutan
dalam situasi ini.
Aku pernah tinggal di Alam
Demon yang mengerikan itu sebagai seorang demon. Meskipun begitu, aku yakin aku
masih punya hati manusia di dalam diriku.
Di dalam gudang, aku melihat
puluhan anak dengan hati dan tubuh yang terluka. Sudah berapa lama mereka di
sini? Salah satu anak tampak kurang makan; ia benar-benar kelelahan karena
menangis dan berteriak, berjongkok dengan tatapan kosong, tampak babak belur
dan hampir mati karena diabaikan. Mungkin ia mencoba melawan dan tertangkap.
Shelly dan yang lainnya
mengalihkan pandangan mereka dari anak-anak itu dengan kesal, tetapi aku terus
menatap mereka.
“Ya ampun…”
Aku tidak merasa kasihan atau
dendam terhadap anak-anak itu. Sebaliknya, aku merasakan kasih sayang yang
mendalam kepada mereka, melihat penderitaan mereka…
Aku sungguh aneh.
Ada apa denganku? Awalnya,
aku salah mengira itu semacam kasih sayang, tapi aneh sekali rasanya aku
merasakan cinta saat melihat anak-anak yang terluka dan menderita?!
Lihat, dalam pikiranku, aku
paham bahwa ini adalah pemandangan yang mengerikan, tetapi hatiku merasa
gembira, seperti ada semacam kekuatan yang mengalir dalam diriku.
Apa yang harus kulakukan? Kayaknya
emang udah nggak ada jalan lain. Aku nyerah.
Saat aku sibuk memikirkan
hal-hal tak berguna itu, aku memalingkan muka. Entah kenapa, Shelly dan Betty
menggenggam tanganku, seolah-olah mereka hampir menangis. Maaf aja, tapi
bukan itu alasanku memalingkan muka.
Hmm?
“Tunggu, anak itu di sana…”
“Ada apa, Yul-sama?” tanya
Shelly dengan nada khawatir.
Aku mengabaikannya karena aku
tertarik pada sensasi anak yang sekarat itu. "Dia... ingin mati." Aku
sudah berjalan mendekati anak itu ketika kata-kata itu terucap dari bibirku.
Aku yakin senyum palsuku yang
biasa telah hilang. Anak-anak itu menyingkir dari jalanku dengan ketakutan saat
aku mendekat. Anak-anak di sekitar anak yang dimaksud segera melarikan
diri—kukira mereka bukan saudara kandungnya. Aku berjongkok di sampingnya.
“Apakah hidup ini terlalu
menyakitkan bagimu?”
Aku yakin mendengar Shelly
dan yang lainnya terkesiap di belakangku.
Anak laki-laki itu membuka
matanya perlahan, mengembuskan napas terengah-engah dari sela-sela bibirnya
yang pecah-pecah. Ia tak bisa bicara, tetapi matanya menceritakan segalanya.
Bibirnya bergerak seolah berkata, "Aku ingin rasa sakit ini berakhir. Aku
ingin merasa lebih baik."
Jadi itulah yang Kamu
inginkan. Tapi…
"Tidak." Aku
menyentuh pipi kotor anak laki-laki itu dan berbicara dengan suara lembut
sambil tersenyum padanya.
Itu mengalir ke dalam diriku.
Penderitaan mendalam dan
keputusasaan terpatri yang dirasakan anak laki-laki itu memenuhi hatiku yang
kelaparan.
"Hidup."
Ahh, manusia memang
makhluk yang rapuh dan menggemaskan.
Bahkan anak kecil ini dengan
tubuh dan hati yang kecil memiliki nektar yang menarik perhatian aku.
"Teruslah hidup, meski
menyakitkan dan menyedihkan. Itulah aturan menjadi manusia."
Aku bahkan tidak
menyadarinya, tapi setiap anak di gudang bawah tanah ini mendengarkanku
sekarang.
Kalian semua pasti tahu kan.
Jalani hidup kalian yang singkat ini dengan sekuat mungkin. Rasakan sakitnya,
tangisi dukanya, sesali semuanya dan teruslah hidup.
Karena sebagai seorang
devil, aku tak akan pernah membiarkan manusia mati dengan tenang.
“Manifest Light.”
Cahaya menyilaukan memancar
dari seluruh tubuhku dan dengan lembut menyelimuti anak itu. Perasaanku berubah
menjadi kekuatan dan terwujud sebagai sihir penyembuhan.
Saat kekuatan luar biasa itu
mengalir keluar dari diriku, aku menyadari mengapa aku bisa menggunakan sihir
suci, tetapi tidak bisa menggunakan mantra biasa. Masuk akal sekali. Itu karena
cara demon menggunakan sihir berbeda dengan cara manusia.
Aku senang karena aku
memilikinya.
Baiklah, wahai
manusia-manusiaku yang terkasih.
“Aku anugerahkan padamu semua
berkat kehidupan!”
Kutuklah kenyataan bahwa
kau pernah dilahirkan. Tapi ingat, hanya aku di dunia ini yang akan bersuka ria
dalam keputusasaanmu. Selamat datang di dunia yang penuh derita, wahai manusia.
Sekarang serahkan
keputusasaanmu padaku—sang devil.
Ah… akhirnya aku
bisa juga mengungkapkan perasaanku.
Emosiku yang terbebas berubah
menjadi cahaya yang kini menerangi gudang bawah tanah yang luas ini. Sihir
demon murniku berubah menjadi cahaya, sesuai keinginanku, mengikat bahkan
elemen cahaya yang berkemauan lemah dan memaksa mereka untuk bermanifestasi
dengan kemunculan malaikat yang tak terhitung jumlahnya.
Bulu-bulu malaikat ini
berhamburan dalam badai cahaya. Setiap anak yang menyentuhnya sembuh total.
Bulu-bulu cahaya itu berputar pelan bagai salju, mencair di udara.
Semuanya hening.
Aduh. Kayaknya aku
benar-benar keterlaluan kali ini. Nggak bisa dipungkiri—itu bener-bener aneh.
Keheningan itu begitu
menyakitkan. Shelly dan anak-anak lainnya diliputi rasa takjub, atau lebih
tepatnya, terperangah.
Apa yang harus kulakuin
sekarang? Kayaknya emang nggak ada pilihan lain.
Saat itulah pipi imut bocah
setengah mati yang mendambakan kematian itu memerah. Ia menatapku dengan mata
berbinar dan berlutut di hadapanku, menyatukan kedua tangannya. "Terima
kasih, Saint-sama."
Hah?! Saint?! Kenapa?! Aku benar-benar tersadar dari kegembiraanku.
Anak-anak yang lain pasti
mendengarnya juga, karena sekarang semua orang yang telah disembuhkan juga
mulai berlutut, menyatukan tangan mereka dengan air mata mengalir di wajah
mereka dalam doa kepada-Ku.
Tunggu, hentikan! Aku
bukan Saint lho! Aku devil!
***
"Albertine? Apa yang
kamu lakukan di sini?!"
Albertine berdiri di hadapan
Eleanor di ruang bawah tanah yang telah hancur, ditopang oleh pilar-pilar
pedesaan yang begitu besar hingga lebih luas daripada sebuah rumah bangsawan.
Eleanor mencoba mendekatinya, tetapi beberapa ksatria menghalangi jalannya.
Albertine tersenyum tipis saat ia bertemu pandang dengan wanita itu.
"Wah, Eleanor-sama,
senang bertemu Anda lagi. Meskipun kurasa belum lama sejak terakhir kali kita
bertemu."
Karena mereka berdua
bangsawan kelas atas, mereka sering bertemu di pesta malam. Sebelumnya, mereka
berdua kuliah di Akademi Seni Sihir yang sama, dan setiap siswa mengenal mereka
sebagai "dua mawar dari kalangan atas". Tak mungkin mereka tidak
saling kenal.
Masing-masing dari mereka
memiliki semua yang diinginkan orang lain: kecantikan, kewibawaan, kekayaan,
dan kecemburuan semua orang yang mengenal mereka. Namun, setelah lulus, situasi
mereka berubah drastis. Saat mereka bertemu lagi, mereka menjadi pribadi yang
sangat berbeda.
Albertine ingin memiliki kue
dan memakannya sekaligus, dan ia telah berusaha mendapatkan segalanya. Namun,
yang paling ia inginkan adalah satu-satunya hal yang bisa lolos begitu saja
dari genggamannya: hati seorang pria.
Eleanor adalah seorang
bangsawan, dan karena dia telah menyerah pada cinta, dia berhasil memperoleh
salah satu masa depan yang diinginkan Albertine untuk dirinya sendiri.
“Mengapa kamu melakukan hal
seperti itu?” tanya Eleanor.
"Kau takkan pernah
mengerti." Albertine sedikit menundukkan pandangannya. Ketika ia
mengangkat kepalanya kembali, tatapannya tetap tajam dan megah seperti biasa.
"Meskipun kurasa aku akan menjelaskannya nanti. Mulai sekarang, aku akan
mengambil semua milikmu. Aku akan mencuri segalanya darimu, menghancurkannya,
dan begitu tak ada yang tersisa, aku akan mengambilnya kembali."
Penghancuran dan pemulihan.
Meski tampak kejam, itu tak ada bedanya dengan seseorang yang kehabisan langkah
saat membalikkan papan permainan. Menyadari hal itu, Eleanor membelalakkan
matanya dengan takjub. "Ya ampun. Apa Forte-sama tahu ini?!"
"Bagaimana mungkin dia
tahu? Aku harus melakukan ini semua agar dia mau melihatku."
“Albertine…” Eleanor tertegun
saat menyadari bahwa kata-kata saja tidak akan cukup untuk membuat Albertine
berubah pikiran.
"Bawa dia ke kamar
tamu," perintah Albertine kepada anak buahnya. "Dan bersikaplah
ramah."
“Tunggu sebentar, Albertine!”
"Selamat tinggal,
Eleanor-sama. Aku sudah menyiapkan tempat duduk khusus untukmu, tempat kau bisa
menyaksikan kehancuran kerajaan ini."
“Albertiiiine!”
Jeritan Eleanor saat para
kesatria mencengkeram lengannya dan menyeretnya pergi membuat Albertine merasa
hampa, namun sedikit puas di saat yang sama.
Meski begitu…
“Ini tidak cukup.”
Albertine berjalan melewati
ruang bawah tanah yang gelap tanpa dinding, menuju ruang terbesar di tengah. Di
sana, para cendekiawan dan penyihir sedang sibuk bekerja. Ia menyapa pria
terhormat di antara mereka, "Bagaimana persiapannya, Bruno-sama?"
Marquess Bruno adalah seorang
pria berusia tiga puluhan dengan rambut cokelat. Ia berlutut di hadapan
Albertine, meninggalkan kecupan ringan di tangannya. "Ah, Anda selalu
menyenangkan untuk dilihat, Albertine-sama. Tentu saja, mereka berjalan sesuai rencana.
Kita akan segera bisa mulai bereksperimen."
Seorang jenderal militer,
Bruno dikenal sebagai bagian dari faksi garis keras yang mendorong perluasan
persenjataan kerajaan. Meskipun penampilannya sederhana, keahliannya
menggunakan pedang setara dengan para ksatria kerajaan dan ia sangat mahir
dalam ilmu sihir. Ia secara pribadi mengawasi operasi mereka di sini.
"Aku tidak mengharapkan
yang kurang darimu. Bagaimana tampilannya sekarang setelah selesai?"
"Lihatlah sendiri...
Lewat sini." Sang Marquess menawarkan tangannya untuk mengawal,
menuntunnya ke tempat mereka bekerja keras. Para penyihir dan ksatria membuka
jalan baginya agar ia bisa melihat lingkaran pemanggilan yang menutupi seluruh
lantai.
"Astaga." Sebagai
salah satu pemimpinnya, Albertine tahu inti rencananya, tetapi tetap saja
mendebarkan menyaksikan lingkaran sihir sebesar rumah bangsawan.
Senang dengan reaksinya,
Bruno kemudian menjelaskan, "Seperti yang Anda ketahui, kami menggunakan
insiden pemanggilan empat tahun lalu sebagai dasar untuk lingkaran pemanggilan
ini dan membuatnya dua puluh persen lebih besar. Kami juga menggabungkan fitur
yang baru Anda kembangkan dan seharusnya bisa berhasil memanggil beberapa great
demon secara berurutan."
Tentu saja, peringatannya
adalah berapa lama kekuatan kehendak dan sihir pemanggil dapat bertahan.
Secara teknis, mereka bisa
saja membuat lingkaran sihir yang lebih besar, tetapi lingkaran sihir yang
lebih besar akan membutuhkan banyak penyihir untuk mengoperasikannya. Lingkaran
yang lebih besar akan membutuhkan lebih banyak sihir, dan semakin banyak
pemanggil, semakin lama ritual akan berlangsung. Dalam situasi seperti itu,
mereka kekurangan penyihir yang bisa dipercaya dan ruang yang cukup luas di
balik pintu tertutup.
Meskipun demikian, ini
merupakan kemajuan yang luar biasa dibandingkan dengan standar saat ini, yaitu
memanggil makhluk secara acak melalui gerbang yang dibuka paksa menggunakan
sihir yang kuat. Tujuan mereka membuat lingkaran sihir sebesar itu tidaklah sekecil
itu.
“Jadi kita bisa memanggil
seseorang yang berpangkat tinggi?”
Bruno mengerutkan kening
mendengar pertanyaan Albertine.
Ini bukanlah siasat yang bisa
mereka gunakan di depan umum, bahkan jika mereka sedang berperang. Namun,
melepaskan seratus great demon sekalipun sudah lebih dari cukup untuk
melemahkan sebuah kerajaan. Satu great demon kekuatannya setara dengan seratus
prajurit. Seratus great demon sudah cukup untuk memberikan pukulan telak bagi
bangsa yang lebih kecil, tergantung pada perjanjian yang disepakati dengan
mereka. Namun, kerajaan sekuat Talitelud pasti memiliki pemanggil yang dapat
memanggil elemental utama—yang setara dengan great demon—jadi mereka tidak bisa
berharap kemenangan mutlak dalam kasus-kasus seperti itu.
Tujuan awal rencana ini
adalah memanggil demon berpangkat tinggi untuk meningkatkan peluang mereka
memenangkan pertempuran apa pun yang mungkin mereka hadapi. Lebih dari lima
puluh anak yang mereka kumpulkan dikorbankan untuk memanggil satu demon tertentu,
seekor monster dengan pangkat yang cukup tinggi untuk menyamai arch elemental,
yang mampu menyebabkan gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami,
tornado—segala macam bencana alam di seluruh dunia…
Salah satu demon seperti itu
pernah muncul di dunia ini. Ia muncul dalam wujud manusia menyeramkan yang
mengenakan pakaian bangsawan kuno dan konon telah menghancurkan seluruh negeri
sendirian.
“Itu akan sulit; namun, aku
ingin memanggil makhluk itu,” Bruno mengakui dengan sedikit ragu.
“Ya, aku juga mengingatnya
dengan baik.”
Empat tahun sebelumnya,
mereka berdua hadir dalam insiden pemanggilan demon. Bruno adalah komandan
operasi dan Albertine memimpin para penyihir sebagai pengamat dari Akademi Seni
Sihir.
Albertine telah dilarang
berpartisipasi langsung dalam operasi itu karena jabatannya, tetapi dia tetap
bergabung dalam pertempuran berbahaya itu karena dendam terhadap suaminya,
karena insiden itu terjadi di tanah miliknya.
Saat itu, Bruno hanya
menginginkan lebih banyak pahala untuk meningkatkan otoritasnya, dan Albertine
hanya ingin menunjukkan keberadaannya. Namun, pada hari itu, keduanya telah
melihat sosok agung: Seekor kucing emas yang begitu cantik, tampak seperti utusan
para dewa. Spesimen tingkat tinggi yang unik di antara demons, dengan bulu yang
berkilau keemasan dan sayap kelelawar keemasan yang cemerlang—Si Golden Beast.
Tidak semua orang
menyadarinya, tetapi hanya segelintir orang saja yang sadar.
Kejijian luar biasa yang
tersembunyi di dalam tubuhnya yang kecil mampu mengaburkan langit berbintang
dan bulan dengan kegelapan. Emas nan indah itu memiliki kekuatan yang begitu
besar, melampaui kekuatan yang dimiliki oleh makhluk yang lebih agung, mereka
tak tertandingi.
Para pemanggil kemungkinan
besar tidak memiliki kekuatan yang cukup dalam lingkaran sihir mereka. Golden
demon telah menghilang ke surga dan Gereja telah menyatakan bahwa golden itu
tidak ada lagi di dunia ini, sehingga Albertine dan Bruno, yang terpikat oleh
keindahan dan kekuatannya, berencana untuk memanggilnya kembali. Mereka
memiliki tujuan dan perasaan masing-masing tentang hal itu, tetapi mereka
berdua telah terpesona oleh demon itu dan bekerja keras untuk mencapai tujuan
mereka dengan semacam kefanatikan.
"Saat ini, kami telah
menyesuaikannya untuk memanggil demon yang lebih tua dan kuat sebagai
percobaan. Apa yang harus kami lakukan untuk itu?"
"Hmm."
Bahkan sebuah eksperimen pun
membutuhkan beberapa pengorbanan untuk memanggil lebih dari great demon. Mereka
tidak tahu berapa banyak pengorbanan yang dibutuhkan untuk memanggil golden demon
itu lagi, dan mereka tidak ingin stok keturunan mereka terbuang sia-sia.
Mereka telah menangkap
Eleanor agar ia tidak dapat menggunakan keahlian sihirnya yang hebat untuk
mengganggu tahap akhir eksperimen mereka. Mereka juga telah menculik putranya
untuk dikorbankan di hadapannya, tetapi Albertine tidak ingin menggunakannya dalam
uji coba semacam ini.
Saat itulah Albertine
teringat Zumana yang menyebutkan seorang anak tertentu dalam laporannya.
Salah satu anak itu memiliki
garis keturunan yang kuat dan bakat sihir yang luar biasa. Dia pasti akan
menjadi pengorbanan yang berharga bagi beberapa orang.
***
"Anda mau memanfaatkan
anak itu?" tanya Zumana tanpa berpikir. Ia tampak terkejut dengan
kejujuran itu dan menundukkan kepala. "Maaf, saya bicara tanpa izin."
Albertine mengangguk tenang
kepada Zumana saat mereka menuju ruangan tempat anak-anak dikurung. "Tidak
apa-apa. Lagipula, ini bukan bagian dari rencana awal kita."
Mereka awalnya berencana
menjadikan putra Eleanor sebagai subjek uji. Mereka akan membiarkannya dirasuki
oleh demon rendah sebelum menggunakannya sebagai tumbal. Mereka akan
menghancurkan hati Eleanor dengan menunjukkan putranya kepadanya sebagai
setengah-demon. Mereka berhasil menangkap Eleanor lebih cepat dari jadwal,
tetapi sisanya akan membutuhkan waktu.
Dahulu kala, orang-orang
telah bereksperimen dengan kerasukan oleh demons rendah untuk melihat apakah
tubuh yang hidup dan berjiwa dapat menyerap kekuatan demon atau elemental. Uji
coba ini mengakibatkan subjek berubah menjadi semacam monster, dan bidang studi
ini dilarang sebelum potensi penuhnya dapat direalisasikan.
Manusia kehilangan akal
ketika dirasuki oleh demon atau elemen yang lebih kuat, dan jika makhluk itu
terlalu lemah, manusia juga akan menjadi lebih lemah, tidak dapat memperoleh
kekuatan apa pun meskipun tubuh mereka telah diubah. Bangsa di selatan juga pernah
bereksperimen di masa lalu, tetapi Albertine tidak dapat memperoleh hasil
penelitian mereka, meskipun ia tidak menduganya.
Jika gadis kecil itu memiliki
garis keturunan yang sama kuatnya dengan Ludoric, tentu saja mereka bisa
menemukan cara yang lebih baik untuk memanfaatkannya daripada hanya
memperlakukannya sebagai pion sekali pakai. Zumana pun percaya—tetapi ia tahu
bahwa begitu nona-nya yang tegas telah mengambil keputusan, sulit untuk
mengubahnya.
“Yang ingin kuketahui
hanyalah apakah seorang anak dengan garis keturunan yang begitu panjang dan
kuat mampu menahan kekuatan demon.”
"Saya mengerti."
Aku sangat meragukan bahwa
hanya itu saja yang terjadi, pikir Zumana.
Berbicara dengan Eleanor
bukanlah bagian dari rencana. Justru karena mereka berhasil mendapatkan gadis
itu—yang awalnya bukan bagian dari rencana—Albertine kehilangan ketenangannya.
Gadis itu lahir dari wanita
yang dicintai suaminya. Ia adalah putri kesayangan yang didambakan suaminya,
putri yang rela ia korbankan segalanya. Sudah pasti ia akan mencintainya sejak
awal, tetapi bahkan Zumana pun tahu bahwa Albertine memiliki perasaan yang
rumit tentang bagaimana gadis ini begitu dicintai oleh semua orang. Bisa jadi
Albertine secara tidak sadar takut pada gadis yang keberadaannya mengganggu
ketenangan hatinya.
Sebaliknya, Zumana menganggap
gadis itu sebagai sesuatu yang mencurigakan. Ia sama sekali tidak menunjukkan
rasa takut selama penculikan. Ia dengan tegas mengajukan tuntutannya—atau lebih
tepatnya, bernegosiasi dengan Zumana, bersikap seolah-olah ia adalah orang yang
berkedudukan tinggi. Bagaimana mungkin gadis kecil itu dibesarkan untuk
berperilaku seperti itu padahal usianya belum empat tahun? Putri sulung
Albertine memang sangat berbakat menurut Zumana, tetapi bahkan ia pun
membutuhkan otoritas ketika berdebat dengan orang dewasa.
Zumana mulai mempertimbangkan
kembali segalanya karena ia menyadari bahwa inilah yang mereka maksud dengan
memiliki garis keturunan yang kuat. Baik putri Albertine maupun pemuda Ludoric
memiliki garis keturunan yang sama, tetapi Zumana mulai merasa bahwa garis
keturunan gadis itu mungkin lebih kuat lagi. Mungkin karena garis keturunannya
itulah ia memiliki kecantikan yang begitu luar biasa dan keagungan yang
membuatnya tampak seperti bukan manusia. Jika mereka tidak begitu terpesona
oleh kecantikannya yang bak malaikat, beberapa ksatria yang dipinjamnya dari
Marquess Bruno kemungkinan besar akan langsung berlutut di hadapannya—begitulah
bedanya dia.
Tapi semua itu tak penting
bagiku. Albertine adalah nona-ku, dan apa pun yang dia katakan itu mutlak.
Zumana tak hanya
menghormatinya sebagai nona, tapi juga mencintainya sebagai seorang wanita. Ia
mencintai setiap hal tentangnya. Betapa cantiknya ia seperti mawar, sikapnya
yang angkuh, tekadnya, kekuatannya—bahkan ekspresi kesepian yang sesekali ia
tangkap. Semua kelemahannya.
Dan perasaannya tidak pernah
goyah, bahkan setelah dia mengetahui bahwa dialah yang telah membuat
keluarganya mengalami kesulitan seperti itu.
“Apa… yang terjadi di sana?”
Albertine terkejut ketika mereka berdiri di depan pintu kamar tempat anak-anak
itu dikurung.
Mereka tidak menempatkan
penjaga. Hanya ada patroli sesekali, karena mereka tidak memiliki cukup
personel dan anak-anak sekecil itu tidak mungkin bisa berbuat apa-apa.
Namun apa yang mereka lihat
sekarang sungguh aneh.
Semacam cahaya menyilaukan
seterang matahari itu sendiri merembes keluar dari celah-celah pintu kokoh yang
terkunci rapat. Cahaya itu berkibar-kibar, tampak seperti bulu-bulu ilusi,
berubah menjadi partikel cahaya dan menghilang begitu menyentuh lantai.
“Kenapa…?” Albertine pernah
melihat ini sebelumnya.
Cahaya ini adalah sihir suci,
dan bahkan merupakan berkat tingkat tinggi. Albertine hanya pernah melihatnya
dilakukan sekali, oleh Yang Mulia Paus Gereja Kostor. Ini adalah jenis berkat
yang dilakukan para pendeta untuk menyembuhkan orang dan memberi mereka
perlindungan dari kejahatan. Berkat seperti ini, yang dilakukan oleh Paus, akan
memberkati semua orang yang hadir, dan keterampilan yang dibutuhkan untuk
melakukannya bergantung pada jumlah orang yang terpengaruh.
Feast of Blessings. Hanya satu orang di Kerajaan Suci yang mampu menggunakan mantra ini,
dan bahkan Paus pun tak akan bisa bergerak setelah merapalkannya pada tiga
puluh orang. Mungkin tak ada sepuluh orang pun yang mampu menggunakannya di
seluruh benua.
Setidaknya ada lima puluh
anak di ruangan itu. Ini berarti salah satu anak di ruangan itu bisa
menggunakan sihir suci yang bahkan lebih kuat daripada Paus sendiri.
Jika penyihir itu adalah
orang tertentu…
"Zumana! Buka pintunya!
Cepat!"
Albertine tampak tak sabar
ketika Zumana membuka pintu dan ia praktis melompat masuk. Yang mereka temukan
bukanlah anak-anak yang terluka dan ketakutan yang telah pasrah pada nasib
mereka, melainkan anak-anak yang semuanya tampak sehat walafiat, memanjatkan
doa-doa mereka kepada seorang anak yang merupakan gambaran dari Saint.
***
"Apa yang kau
lakukan?!" teriak seorang wanita cantik berambut merah sambil menerobos
masuk ke ruangan. Aku mengenalinya saat naik kereta bersama ayahku.
Hah? Kenapa?! Apa yang kau
lakukan di sini?! Semuanya sudah cukup rumit bagiku,
apalagi dengan semua anak-anak yang memanggilku Saint atau apalah itu dan
memohon-mohon, jadinya aku nggak bisa bergerak. Jangan memperburuk keadaan lah!
"Minggir!" geram
wanita itu kepada anak-anak sambil menyerbu mereka.
Wah, ekspresinya sungguh
tidak manusiawi. Hah? Kenapa dia menatapku? Dia langsung menyerangku?!
“Kamu ikut denganku!”
"Eek!" Wanita
cantik itu mencengkeram lenganku dan aku pun menjerit ketakutan.
Saat itulah anak laki-laki
pertama yang kusembuhkan—Noel, ya?—tiba-tiba membuka matanya lebar-lebar dan
melemparkan dirinya ke arah wanita itu.
“Jangan sentuh Saaaaint!”
Wanita cantik itu
menyingkirkannya dengan tangannya. "Anak bodoh!"
"Waaaah!" Rick juga
melompat ke arah wanita itu. Kenapa dia bertindak sejauh ini?!
"Kenapa, kau—!"
Wanita itu bahkan tak ragu menamparnya juga. Ia terus berusaha menyeretku
keluar ruangan sementara Shelly, Betty, dan semua anak di ruangan itu
menyerbunya.
“Aku tidak akan membiarkanmu
mengambil Yul-sama!”
“Yul!”
“Saint-sama!”
“Saint!”
Anak-anak terus menyerbunya
sambil berteriak memanggil Saint. Wanita itu merengut. Dan aku bahkan lebih
merengut daripada dia.
"O Wind!" Pria yang
tampak seperti pelayan yang berdiri di dekat pintu mengucapkan semacam mantra
yang membuat Shelly dan yang lainnya terlempar mundur.
Aku dan wanita cantik itu
hanya merasakan angin sepoi-sepoi. Dia sungguh mengesankan! Dan dia juga
berhasil tidak melukai anak-anak. Dia benar-benar berbakat.
"Diam! Kalau kau terus
bertingkah, aku akan membunuhnya!" teriak wanita itu.
Anak-anak itu langsung
terdiam.
Uh, ya… membunuhku sih
jelas bakal jadi masalah dan segala macam, tapi jujur saja, aku lebih milih
mereka jangan sampai terluka. soalnya aku sudah capek-capek nyembuhin mereka.
Apa ini saatnya aku ngomong sesuatu? Bukan buat melindungi diriku sendiri atau
semacamnya kok.
“Semuanya, aku akan baik-baik
saja,” kataku sambil tersenyum untuk meyakinkan mereka sebaik yang kubisa.
Shelly dan yang lainnya mulai
meratap putus asa.
Uhhh? Aku melirik wanita cantik itu, mencari tahu apa yang harus kulakukan,
tapi dia tampak terkejut dengan perilaku mereka.
Aku tahu ekspresi apa itu.
Yap. Nyonya! Keluarkan aku dari sini!
Bukannya aku sudah menyerah
pada logika berpikirku atau semacamnya. Aku hanya berpikir bahwa tidak ada yang
bisa dilakukan untuk memperbaiki situasi ini sekarang.
"Berjalan!"
“Ahhh!”
Ah, hei, sakit tau. Wanita itu meremas lenganku dengan menyakitkan menanggapi jawabanku
yang asal-asalan. Iya, aku tahu. Anak-anak normal pasti bakal jauh lebih
ketakutan dalam situasi kayak gini.
Tunggu dulu, bagaimana
caranya bersikap takut lagi? Kupikir aku bisa bersikap seperti Shelly atau
Betty, tapi mungkin sudah agak terlambat. Jadi aku menurut saja, dan sementara
itu, pria yang mirip pelayan itu terus menatapku dengan rasa ingin tahu.
Santai aja. Aku beneran
nggak mencurigakan, sumpah deh. Aku perlu belajar
bagaimana caranya bersikap lebih seperti manusia biasa.
Maka, wanita cantik itu
menggenggam tanganku saat kami berjalan menyusuri lorong suram ini hingga tiba
di tempat yang bahkan lebih luas daripada tempat mereka menahan semua
anak-anak. Kupikir kami berada di bawah tanah, dan akhirnya aku bertanya-tanya
apakah aku akan baik-baik saja.
Mereka telah merobohkan semua
dinding hingga hanya menyisakan pilar-pilar, tapi aku merasa mereka
membiarkannya di sana untuk suatu tujuan. Mungkin mereka akan memperkuat
semacam sihir atau semacamnya?
Aku tak tahu ke mana dia
membawaku, namun kebetulan ada sebuah kursi, jadi wanita itu menyuruhku duduk
dan berjongkok untuk menatapku.
“Kau putri Liasteia, kan?”
"Ya," kataku
setelah ragu sejenak.
Apa dia juga teman Ibu?
Tidak, kukira bukan. Ada sesuatu yang sangat emosional dari caranya menyebut
nama Ibu tadi.
Wanita itu tampak lebih
tenang daripada sebelumnya, tetapi ia masih sangat kesal. Ia memaksakan diri
untuk tersenyum seperti anak kecil, tetapi setelah pertunjukan kekerasan itu,
aku merasa senyum itu meresahkan.
“Siapa namamu?”
“Yulucia,” jawabku setelah
jeda.
"Jadi namamu Yulucia.
Dan kau bisa menggunakan sihir suci?"
"Benar."
“Siapa yang mengajarimu sihir
semacam itu yang baru saja kau gunakan?”
Sihir macam itu? Aku
memiringkan kepala, memberinya tatapan bingung. Aku belajar sihir suci dari
Vio, tapi kalau bukan itu yang dia maksud, apa maksudnya tentang tarian para
malaikat? Apa itu sihir yang seharusnya tidak kugunakan? Aku hanya memberinya
tatapan yang seolah berkata, "Aku masih anak-anak dan aku tidak tahu apa
yang kau bicarakan," yang membuatnya mendesah lelah.
“Apakah kamu tahu apa itu
Saint?”
Itu lagi? Aku menggeleng
diam-diam, pura-pura tidak tahu. Dia menyipitkan mata dengan tatapan tajam.
"Saint adalah orang yang
sangat istimewa bagi kerajaan kita, apalagi jika dia keturunan bangsawan. Tapi
itu tidak masalah. Sekarang, dengarkan baik-baik, Yulucia. Aku akan
memberitahumu apa yang akan terjadi padamu sekarang."
"Oke." Aku
mengangguk, berpura-pura menjadi gadis baik.
Senyum palsu wanita itu
berubah menjadi sadis. "Awalnya, aku berencana menggunakanmu untuk kerasukan
demon, tapi kurasa kita bisa melakukan eksperimen lain jika kau benar-benar
memiliki kemampuan magis yang cukup untuk menyebut dirimu seorang Saint
sejati."
"Oke…?"
Eh, bukan aku yang nyebut
diri sendiri Saint atau semacamnya.
Namun kemudian wanita cantik
itu mengucapkan kata-kata yang mengganggu yang membuatku spontan mencoba
berdiri, namun terhenti saat dia meraih bahuku.
"Hmm, ya. Pertama, coba
potong lenganmu dulu. Aku yakin sakit banget, tapi kamu bisa sembuhkan
sendiri."
Aku terdiam. Apa yang
dikatakan wanita ini?
"Jangan khawatir. Kalau
kau Saint, aku yakin kau akan baik-baik saja. Setelah itu, kita coba potong
kakimu. Pasti banyak darahnya, jadi kau harus cepat sembuh agar tidak mati. Dan
mungkin akan menarik untuk melihat apa yang akan terjadi kalau kami menusukkan
paku ke tubuhmu. Akan jauh lebih sakit kalau kau sembuh selagi paku-paku itu
masih menusuk tubuhmu."
Uhhhh…?
“Mungkin kita harus
menjadikan penguatan mantra ini sebagai tujuan kita melalui sihir suci. Lalu,
jika sihirmu habis, sehingga perlawananmu berkurang, kita akan memastikan kau
dirasuki oleh demon yang lebih lemah. Semoga berhasil melawan. Kalau tidak, kau
akan dipenuhi sisik atau duri di sekujur lengan dan tubuhmu. Hehe… Aku tak
sabar melihat ekspresi keluarga kerajaan dan Gereja saat mereka melihat Saint
kesayangan mereka seperti daemon.”
Wanita cantik ini
kedengarannya seperti sudah gila, memuntahkan hal-hal yang begitu menjijikkan.
Aku benar-benar bisa merasakan jantungnya telah berubah secara aneh.
Senyumnya yang licik
tiba-tiba berubah sedih saat dia menyentuh pipiku.
"Ahh, matamu cantik
sekali. Mirip sekali dengan matanya. Mata itulah yang membuatku begitu
menyukainya. Sejak pertama kali bertemu waktu kecil, aku sudah menyukainya.
Tapi aku tak bisa mengungkapkan perasaanku padanya... Aku hanya bisa mengatakan
hal-hal yang kejam padanya."
Jari-jarinya menyentuh bawah
mataku sebelum perlahan menurunkan kedua tangannya. "Aku begitu yakin
bahwa... dia akan menjadi milikku, asalkan aku menunggu. Kakak laki-lakinya
juga tahu bahwa ini yang terbaik, demi bakatnya. Tapi... dia menemukan yang
lain sebelum aku punya kesempatan."
Tangan putihnya gemetar saat
perlahan mencengkeram leherku. "Aku membencinya. Aku bahkan tak ingin
melihatnya. Tapi di kastil... di pesta malam... bahkan pesta teh... kapan pun
aku melihatnya, dia selalu ada di sisinya. Awalnya, dia berada di dekatnya
seperti adik perempuan, tapi kemudian dia mencuri hatinya."
Perlahan, tanpa suara, ia
menekan jari-jarinya dalam-dalam ke kulitku. "Dan meskipun aku
menjadikannya milikku, dia tak pernah memberikan hatinya kepadaku. Jadi aku
mengatakan hal-hal yang bahkan lebih kejam. Saat itulah kakak laki-lakinya
mulai ikut campur... Meskipun kami telah bekerja sama untuk mewujudkan
persatuan ini, dia menjadi musuhku. Selama orang-orang itu terus menghalangi
jalanku, hatinya takkan pernah menjadi milikku..."
Aku benar-benar terdiam.
Ah, gitu. Jadi gitu ya.
Ini adalah kisah seorang
gadis yang tidak bisa jujur tentang perasaannya meskipun ia mencintai
seseorang. Ia tidak ingin aku tahu ceritanya atau apa pun. Ia hanya bisa
menceritakan ini karena ia akan membunuhku—karena aku adalah seorang anak yang
akan mati, dan ia ingin seseorang tahu.
"Seandainya aku bersikap
lebih seperti Saint, apakah dia akan jatuh cinta padaku? Seandainya
putri-putriku berambut pirang seperti dia, apakah dia akan mencintai mereka?
Apa yang harus kami lakukan agar dicintainya? Entahlah... aku tak tahu harus berbuat
apa! Apa yang harus kulakukan agar kami bisa menjadi keluarga? Tak seorang pun
pernah mengajariku cara hidup seperti itu! Jadi sekarang, yang bisa kulakukan
hanyalah menghancurkan semuanya! Hancurkan semuanya dan mulai lagi dari
awal!"
Aku terus terdiam tanpa
mengatakan apa pun.
Benar-benar nggak
kompeten, dia... Pastinya dia tahu, bahkan membalikkan papan permainan pun
nggak bakal bikin pria itu jatuh cinta padanya. Tapi hatinya udah terlalu retak
dan hancur, sampai-sampai satu-satunya yang bisa dia lakukan cuma terus
berpegang pada ide itu.
"Tapi itu pun takkan
berhasil... Karena kau di sini. Dia takkan mencintaiku atau putri-putriku
karena dia punya seseorang sepertimu, yang begitu dicintai semua orang! Jadi...
aku ingin kau mati. Kau sudah muak dengan cintanya, kan? Jadi kau akan mati,
lalu dia akan jadi milikku!" Dia mencondongkan tubuh untuk berteriak di
wajahku sambil meremas leherku lebih erat.
Dari kepribadiannya, aku
berasumsi dia belum pernah punya teman perempuan lain yang bisa diajak berbagi
pikiran tergelapnya. Seandainya saja dia punya seseorang yang bisa dia ajak
bicara terbuka. Seandainya saja dia bisa lebih jujur tentang perasaannya.
Tapi kamu nggak perlu
menangis lagi.
Aku mengulurkan tanganku
untuk menyentuh tangannya yang gemetar saat ia mencengkeram leherku dan
tersenyum padanya.
Nggak apa-apa. Kamu nggak
perlu menangis lagi.
Melihat bayanganku yang
tersenyum di matanya sedikit bergetar, aku tak kuasa menahan diri untuk
mengusap lembut air matanya. Ia bahkan tak menyadari ia sedang menangis.
"A-apa yang kau—?"
Tatapannya bergetar karena bingung. Kami bertatapan, dan tatapan tajamnya
perlahan menghilang. Aku dengan lembut menggenggam pipinya yang pucat dengan
kedua tanganku.
Hati manusia begitu lembut,
begitu sedih, begitu rapuh, namun begitu indah. Sekalipun cinta yang mendalam
ini berubah menjadi kebencian dan rasa sakit, aku akan tetap menghargainya.
Manusia memang begitu manis.
Dan perasaan ini membuatku
gila.
“Aku akan mencintaimu.”
"Ehh?"
Akhirnya aku menyadarinya.
Akhirnya aku menyadari perasaan apa yang ada di dalam diriku. Aku mencintai
manusia.
Aku—sebagai seorang
devil—haus akan cinta.
Memikirkan bahwa orang jahat
memiliki rahasia manis yang tersembunyi di dalam diri mereka.
“—Ittadakimasu—.”
Patah!
Aku dengan sangat lembut mematahkan lehernya.