Penerjemah : Koyomin
Bab 3 Sur le pont L'on y danse
Part 0
Di dunia ini, hanya ada satu hal yang pasti.
Yaitu: aturan.
Selama kita menaati perintah dan menjalani apa yang telah ditetapkan, masyarakat menjanjikan kebahagiaan.
Aku mempercayainya sepenuh hati. Aku sudah menapaki jalan ini begitu lama, dan aku yakin itu bukanlah sebuah kesalahan.
Aku menjawab setiap soal persis seperti di buku pelajaran. Aku hidup sesuai nasihat orang tuaku. Aku menyelesaikan setiap misi persis seperti yang diperintahkan.
Sepanjang hidupku, aku tak pernah sekali pun melanggar aturan yang telah ditetapkan.
Dan berkat itu, aku benar-benar meraih kebahagiaan.
Penghasilan yang stabil dan pekerjaan tetap bukan hanya menopang keluarga besarku yang jatuh miskin akibat revolusi, tapi juga cukup untuk membahagiakan perempuan yang paling kucintai.
Aturan yang kutempuh selama ini tidaklah salah.
Tidak salah sama sekali.
Jadi, pasti yang salah—yang menghancurkan kebahagiaan ini—bukan siapa-siapa, kecuali...
Itu semua adalah perbuatan pria itu.
Part 1
Saat aku mendongak tanpa sadar, malam tanpa awan terbentang di langit.
Orang-orang menengadah hanya untuk mengalihkan pandangan dari kenyataan di depan mata mereka. Pasti seperti aku sekarang.
“Tolong Tambahkan lagi.”
“…Maaf, tapi itu yang terakhir. Kalau masih lapar, makan saja rumput yang ada di sekitar situ.”
Aku menunjuk bagian bawah panci kemah kosong yang baru saja kuangkat dari atas api unggun.
Maid berambut hitam itu menatap hal yang sama denganku dengan mata biru muda seperti es, lalu menghela napas pelan.
Realitas tak menyenangkan nomor dua—maksudku, gadis ini bernama Evelyn. Seorang tentara dan, menurut pengakuannya sendiri, seorang pemilik faktor yang bukan berasal dari kalangan bangsawan. Dia juga tipikal pembuat masalah yang baru saja bergabung dalam perjalanan ini.
“Apa sih? Dari tadi kau menatap wajahku terus. Serius, itu menjengkelkan.” Ucapnya
Sementara rok tipis hitam-putih polos yang ia kenakan bergoyang pelan diterpa angin lembut yang membawa serta dedaunan kering.
Sudah lebih dari tiga minggu sejak kekacauan di ibu kota, dan malam musim gugur di sepanjang jalan utama kini benar-benar terasa dingin.
“Eh, kamu pakai baju kayak gitu tidak kedinginan? Kalau sampai sakit perut, jangan salahin aku.”
“Tidak masalah. Aku bukan manusia biasa, dan aku juga tidak selemah gadis kecil itu.”
Nada akhir Evelyn itu diarahkan pada satu orang lagi yang duduk di dekat api unggun.
Realitas tak menyenangkan nomor satu—maksudku, Cronica—menyelipkan rambut merah saljunya ke dalam tudung tebal dan membungkus diri rapat-rapat dengan mantel wol warna krem yang hangat, membuatnya benar-benar mirip anak domba.
“Yah, dingin itu tetap dingin, Linus, buatkan kopi hangat, dong.”
“Hitam saja, ya. Gula dan susu sudah habis.”
“Kalau begitu, nggak usah deh… Haaachii!”
Chronica bersin kecil, ujung hidungnya memerah, tapi tetap duduk manis di dekat api. Aku mengangkat ketel yang kupanaskan di samping panci, lalu membuka kaleng seng, berharap bisa menyeduh sesuatu untuk menghangatkan badan. Sayangnya, bahkan bubuk kopi instan pun sudah habis.
Saat itu juga, terdengar hembusan napas kasar di punggungku seperti protes yang tak terucap.
Aku menoleh, mendapati dua ekor kuda berdiri di sana. Kuda campuran berwarna cokelat kastanye itu menatapku lekat-lekat dengan mata hitamnya.
“Sepertinya mereka juga lapar, lho. Dan mereka ingin air juga.”
“Iya, iya.”
Kalau aku bilang aku juga lapar, rasanya tak ada gunanya. Didorong oleh suara Cronica, aku pun berdiri sambil memegangi perut kosongku. Aku menyiapkan pakan dan menimba air dari danau air tawar di dekat situ ke dalam ember.
Dataran malam diterangi cahaya bintang, jadi jarak pandang tidak terlalu buruk. Jika memperhatikan dengan saksama, di antara rerumputan bernuansa musim gugur, tampak bekas peninggalan seperti baju zirah, pelana kuda, pedang, dan tombak yang telah lapuk dan ditinggalkan begitu saja.
Bukan pemandangan yang langka. Itu hanyalah sisa-sisa perang antarkeluarga bangsawan dari era Kerajaan Legatos yang bisa ditemukan di berbagai penjuru negeri.
Yang mati dalam perang biasanya adalah para rakyat jelata, yang dikerahkan seperti boneka. Perang-perang pengganti yang dilakukan dengan rasa seperti olahraga itu tak pernah punya alasan mulia—yang tersisa hanyalah peralatan tempur usang yang membusuk, menjadi saksi bisu dari nyawa-nyawa yang sia-sia dikorbankan demi hiburan.
...Setelah beberapa menit, aku meletakkan ember yang telah terisi air. Dua ekor kuda yang tadinya sedang mengunyah rumput kini menyodokkan wajah mereka ke dalam ember. Aku melepas pelana dari punggung mereka, lalu menyisir bulu-bulu mereka dengan sikat.
Otot-otot ramping mereka bergetar kecil, seolah geli terkena hembusan napas khas hewan yang bau. Sambil mengelus lembut sisi tubuh mereka, aku pun berpikir:
Begitu sampai di kota berikutnya, aku akan langsung menjual mereka.
Soalnya, aku sudah benar-benar kehabisan uang.
Dan jika aku merenungkan kembali bagaimana semua ini bisa terjadi… yah, ceritanya agak panjang.
***
Kami meninggalkan ibu kota Parin dengan menunggang kuda pada pagi hari, tepat setelah aku bertemu kembali dengan Evelyn.
『Gadis kecil, kamu adalah umpannya.』
Nada datar itu diarahkan pada Cronica, yang saat
ini duduk di pangkuanku, sementara aku memegang tali kendali kuda.
『Dan yang akan memancingnya… adalah aku. Kalau kita berhasil mendapatkan informasi berguna dari para pembunuh bayaran ksatria yang terpancing oleh umpan ini… mungkin aku tidak akan keberatan melepaskan kalian.』
Itulah alasan kenapa perjalanan dengan menunggang kuda yang membuat kami lebih mudah terisolasi, dipilih. Cara ini lebih efektif memancing para penyerang sekaligus meminimalkan risiko melibatkan orang luar. Begitulah penjelasan Evelyn.
『Sebenarnya, kalian berdua seharusnya sudah kutangkap dan diperiksa secara menyeluruh—atau lebih tepatnya, disiksa sesuai prosedur… Tapi sungguh, koneksi yang kalian miliki benar-benar merepotkan.』
Evelyn mendesah sebal sambil meludahkannya dengan nada kesal. Mendengar itu, Cronica bertanya dengan nada santai:
『Kamu bicara soal Aria, kan? Dia sehebat itu ya? Gurumu itu?』
Evelyn mengangguk singkat, lalu melanjutkan:
『“Bloom Sweeper”, Sapu Hitam. Pasukan pembunuh beranggotakan para pemilik faktor non-bangsawan, tempat aku bergabung sebelum revolusi. Tugasnya membasmi bangsawan yang melakukan kejahatan berat, dan juga para Carnibalist—ahli waris yang melanggar tabu. Di antara semua petarung tangguh di sana, dia adalah yang terkuat—jauh melampaui yang lain.』
Kata-kata itu diucapkan dengan tenang, tapi terdengar juga sedikit nada nostalgia di dalamnya.
『Menyakitkan memang, tapi aku masih jauh dari levelnya. Kalau sampai dia menjadi musuh, kerusakan yang dialami pemerintah akan luar biasa besar. …Jadi, selama dia mau menyembunyikan taringnya, itu justru berkah bagi kami.』
Tiba-tiba, rambut panjang yang tertiup angin menyentuh ujung hidungku. Cronica yang bersandar di dadaku mendongak dan berkata:
『Ternyata kita memang nggak salah pilih toko, ya, Linus.』
『Iya, benar juga... Tapi kalau bukan karena ketemu si pemilik toko itu, kita nggak bakal terlibat sejauh ini—』
『Stop. Jangan dipikirkan lebih jauh dari itu.』
Bagaimanapun juga, para pejabat tinggi pemerintah tampaknya menilai bahwa menggantungkan Cronica di ujung kail lebih berguna ketimbang mengikatnya dengan rantai. Penilaian itu—apakah harus disebut bijak, atau justru—
『Kalian juga pasti sedang terdesak, ya. Separah itu, ya, urusannya dengan para ksatria itu?』
『…Kamu beneran tidak tahu apa-apa, ya.』
Mendengar pertanyaanku, Evelyn mendesah panjang—entah karena heran atau mengejek—lalu berkata:
『Ksatria yang kumaksud itu adalah para bangsawan sisa yang paling kuat. Mereka sudah aktif sejak awal revolusi, tepatnya saat ibu kota jatuh. Selain rekam jejak terorisme dan pembunuhan tokoh penting di berbagai wilayah, yang paling menyusahkan dari mereka adalah—pemerintah hampir tidak tahu apa-apa tentang mereka.』
Evelyn melanjutkan, mengatakan bahwa baik jumlah anggota maupun markas utama mereka tidak diketahui.
『Dan yang lebih penting dari semua itu… ada satu rumor yang tak bisa diabaikan. Konon, mereka masih menyimpan jenazah Sang Raja yang mereka bawa kabur saat ibu kota jatuh.』
Jenazah Sang Raja. Begitu kata-kata itu terucap, tubuh Cronica di pelukanku bergetar halus, seolah menanggapi langsung.
Chronica pernah berkata—para ksatria berniat menghidupkan kembali Sang Raja menggunakan matanya.
『Jika itu benar, maka pemerintah harus segera merebutnya… dan melenyapkannya tanpa sisa dari muka bumi. Karena… yang membunuh Sang Raja bukanlah revolusi—melainkan kematian Sang Raja yang memicu revolusi. Itulah kebenaran dua belas tahun lalu.』
『Apa?』
Itu pertama kalinya aku mendengar hal seperti itu. Suaraku meluncur begitu saja, terdengar bodoh dan hampa.
『Sepertinya aku sudah bicara terlalu banyak. Cukup sampai di sini. Lagipula, kau hanya pembohong rendahan. Tak ada alasan untuk memberitahumu lebih jauh..』
Evelyn mengakhiri penjelasannya begitu saja.
Namun Cronica menambahkan, suaranya tetap tenang:
『...Sang Raja, yang seharusnya tidak bisa mati, tiba-tiba saja meninggal hari itu. Tidak ada yang tahu penyebabnya. Tapi yang pasti, kematian itu melemahkan ketiga Bangsawan Agung, yang selnya adalah turunan langsung Sang Raja. Dan ketika salah satu dari mereka melihat situasi makin tak menguntungkan, dia mengkhianati monarki. Itu sebabnya revolusi bisa berhasil.』
Ketika aku melirik ke bawah, mata kirinya—berwarna ungu seperti kecubung—terbuka, seolah membaca kelanjutan cerita langsung dari pikiran Evelyn. Jelas ini informasi rahasia yang hanya diketahui oleh kalangan pemerintahan yang pernah terlibat langsung dalam revolusi.
『Itulah mengapa pemerintah begitu gelisah. Sang Raja, yang seharusnya abadi selama seribu tahun, tiba-tiba mati. Dan karena tak ada yang tahu penyebabnya, tak ada jaminan ia tidak akan bangkit kembali kapan saja… setidaknya sampai sisa-sisa tubuhnya benar-benar dihancurkan.』
Tak ada yang bisa menjamin waktu tidak akan berputar ke belakang. Kalau itu cara pandangnya, maka perlakuan mereka terhadapku dan Cronica memang masuk akal.
『Mata kiri itu… kemampuan yang benar-benar menjengkelkan. Semakin kulihat, semakin besar keinginanku untuk membunuhnya. Tapi… satu hal patut kupuji darimu, Penipu. Entah bagaimana kau bisa bertahan bergaul dengannya. Oh, benar juga…』
Tiba-tiba, maid bergaun hitam putih itu teringat sesuatu.
『Ada satu hal yang belum sempat kutanyakan, Gadis Kecil. Kenapa para ksatria itu mengejarmu? Apa alasan mereka begitu ngotot menangkapmu?』
Yang tercekat justru aku. Karena setelah mendengar semua cerita barusan, aku tahu apa yang bisa terjadi.
Jika si maid berbahaya ini tahu bahwa Cronica memegang kunci untuk menghidupkan kembali Sang Raja…
Tiba-tiba otot-ototku menegang. Entah karena kecemasan yang menjalar lewat tali kendali, kudanya meringkik pelan.
Namun Cronica menjawab tanpa sedikit pun ragu:
『Rahasia. Maaf ya, Evelyn, aku belum bisa memberitahumu sekarang.』
Nada bicaranya tanpa gentar—atau mungkin lebih tepatnya, seperti seseorang yang benar-benar yakin tidak akan mati. Entah karena dia sedang membaca isi hati Evelyn, atau karena ia punya alasan lain yang sama sekali tidak kuketahui.
Aku yang tak tahu-menahu hanya bisa menonton sambil menelan ludah dan membiarkan keringat dingin mengalir di sepanjang punggungku.
Namun hawa dingin yang sempat melayang sesaat, langsung ditekan dan dikunci bersama kepalan tangan sang pelayan.
『...Ya sudahlah. Pada akhirnya, siapapun yang mengejarmu nanti akan membuka rahasianya sendiri. Bahkan mungkin itu akan jauh lebih mudah.』
Dengan santai seolah tak terjadi apa-apa, Cronica kembali menyapa dengan ceria.
『Fufu. Kalau begitu, karena semuanya sudah beres, senang bisa bekerja sama denganmu, Evelyn.』
『...Termasuk si Penipu itu juga. Jangan panggil aku dengan nama depanku seenaknya begitu.』
Dalam suasana yang perlahan mengendur, hanya aku sendiri yang merasa tertinggal. Pikiran ini masih sibuk merangkai semua informasi barusan.
Sang Raja yang harusnya abadi, tapi meninggal. Gadis yang disebut sebagai “Doro cancer". Kegelapan misterius yang dipindahkan dari mata kirinya. Segalanya terasa aneh dan menggantung.
Selama ini hanya samar, tapi kini keraguanku mulai menyala.
—Cronica. Sebenarnya, siapa kau?
『Hm? Ada apa, Linus? …Oh, aku tahu. Kamu senang ya, karena sekarang kita tambah satu teman cewek. Astaga, apa yang kamu pikirin dasar mesum!』
『Hoi, tunggu! Jangan asal tuduh! Dan jangan bersikap seperti kau tahu segalanya!』
『Sebagai peringatan saja, kalau kau berani berbuat cabul selama perjalanan, akan langsung kutindak di tempat. Tanpa peringatan.』
『Mana mungkin aku sampai segitunya!』
Dan sebelum suasana jadi terlalu ringan, Evelyn kembali berbicara, seolah mengingat sesuatu.
『...Oh, dan satu hal lagi, Penipu. Ada yang perlu kau ketahui.』
『Apa lagi?』
『Karena aku akan ikut dalam perjalanan ini, semua biaya selama perjalanan termasuk makanan kuda ini... kalaupun aku kirim surat ke kantor untuk minta anggaran, bisa dipastikan mereka tak akan langsung mengabulkannya. Biasa, kekurangan anggaran tahunan.』
『...Terus?』
『Untuk sementara, kita mengandalkan dompetmu. Jadi, silakan bekerja keras mencari uang.』
***
...Setiap kali aku mengingatnya kembali, rasanya ingin langsung membuang jauh-jauh kenangan menyebalkan itu.
Apalagi, jalur jalan lama yang kami lewati—sengaja dipilih Evelyn karena jarang dilalui orang dan cocok untuk memancing para penyerang—kini sangat sepi dan lesu, berbanding terbalik dengan kejayaan era kereta api yang tengah berlangsung. Alhasil, karena seluruh pengeluaran bergantung pada kantong orang lain, yaitu kantongku sendiri, keadaanku makin sengsara.
Begitu urusan membujuk si makhluk berkaki empat selesai dan aku kembali ke perapian, kulihat Cronica duduk santai dengan wajah ceria, membaca travel paper di tangannya. Halaman yang terbuka memuat informasi tentang tujuan kami berikutnya: kota kanal wisata yang cerah dan penuh pesona di wilayah tengah barat—Filadeliyon.
“Mungkin dua atau tiga hari lagi kita sampai, ya... Linus, kali ini aku pengin mampir ke kafe yang lucu dan stylish! Ada dessert dengan krim tebal sama buah-buahan segar yang kelihatannya enak banget. Evelyn, kamu tertarik?”
Maid yang ditanya hanya menjawab dingin.
“Tidak. Aku tak suka makanan manis. Lebih tepatnya, aku justru kagum bagaimana kau bisa memikirkan hal seperti itu, padahal saat ini kau sedang diburu oleh para Ksatria?”
“Justru karena lagi kayak gini. Kalau kita terus hidup dalam ketakutan, pihak yang melarikan diri bakal terus dirugikan. Nggak adil, kan? Jadi kalau harus kabur, mending kabur sambil menikmati hidup. Biar nggak nyesel.”
Entah kenapa, saat dia mengatakannya, Cronica terlihat agak rapuh di mataku. Mungkin cuma perasaanku saja.
Aku mencuci panci kosong yang tadi dibiarkan begitu saja dan menambahkan kayu ke dalam bara api. Saat itulah aku berhenti sejenak dan melirik ke satu arah.
“Hei, Maid-san... Masa kamu tidak bisa bantuin sedikit aja sih?”
Kulirik Evelyn yang duduk tenang di dekat api unggun, seolah menyatu dengan bayangannya sendiri. Dan dia menjawab,
“Tidak mau. Atau lebih tepatnya... aku tak bisa.”
Dia menunduk sedikit, lalu mengaku dengan tenang: bahwa dia sama sekali tidak bisa melakukan pekerjaan rumah tangga.
Barulah saat itu aku mengerti kenapa selama beberapa minggu terakhir semua pekerjaan remeh temeh dibebankan padaku.
“...Copot baju maid-mu sekarang juga. Terus jangan pernah pakai lagi.”
“Lancang sekali. ...Meski ya, aku tidak bisa membantah. Itu memang kenyataannya.”
Setidaknya dia sadar bahwa dirinya gagal sebagai maid. Tapi Evelyn tak tinggal diam. Dia lanjutkan, dengan suara agak kesal,
“Tapi... membiarkan diriku terus diremehkan oleh pria sepertimu ini ternyata cukup menyebalkan. Baiklah, ada satu pekerjaan rumah tangga yang cukup aku kuasai.”
Aku menatap curiga, menunggu kelanjutannya.
Lalu dengan ekspresi datar yang agak sulit dibaca, tapi suaranya terdengar sedikit bangga, dia berkata,
“Selain diajari teknik membunuh, guruku juga mengajariku cara menyeduh teh yang lezat. Untuk kali ini saja, aku tak keberatan memperlihatkannya pada kalian.”
Mendengar itu, Cronica langsung mengusap hidungnya yang memerah karena udara dingin, lalu berkata—
“Boleh aku minta secangkir juga? Teh Aria yang pernah kuminum di ibu kota enak banget. Jadi aku penasaran sama yang ini.”
“Tentu saja. Serahkan padaku.”
Dengan penuh percaya diri, Evelyn mengeluarkan seperangkat teh kesayangannya dari balik bayangan.
Lalu, beberapa menit berlalu. Kami menunggu tanpa harapan berlebih, hingga dua cangkir teh akhirnya tersaji dengan rapi, diseduh dengan tangan yang tampak terbiasa dan penuh kehati-hatian.
“Silakan. Tapi hati-hati agar tidak sampai jatuh terduduk karena kaget.”
Di hadapan kami, uap harum yang lembut mengepul dari permukaan teh dalam cangkir. Aromanya terlihat menjanjikan.
Cronica adalah yang pertama menyeruputnya, meniup pelan untuk mendinginkan, lalu menyentuhkan bibirnya ke pinggiran cangkir.
Dan dalam sekejap, senyum yang semula menghiasi wajahnya menghilang, membatu seperti patung batu pualam.
Melihat itu, perasaan tidak enak langsung menyergapku. Tapi rasa lapar dan lelah membuatku tak kuasa menolak, dan aku pun ikut menyeruput satu cangkir yang kupegang.
“Ugh...!?”
Apa-apaan ini?
Rasanya... mati.
Aromanya, rasanya, semua esensi yang seharusnya menjadikan teh sebagai teh—habis dibantai. Cairan pahit nan hambar ini meluncur di lidah bagai kehampaan padang tandus, menyisakan hanya rasa putus asa.
Kalau ingin menyampaikannya dengan sopan, rasanya seperti teh terkutuk.
Kalau mau terus terang—rasanya sungguh luar biasa busuk.
Dan si maid berbaju hitam putih itu, tanpa ekspresi seperti biasa, malah membusungkan dada dengan bangga.
“Bagaimana rasanya?”
Bagaimana? Pertanyaan macam apa itu? Siapa pun yang bisa menyajikan minuman seperti ini lalu menatap orang lain penuh percaya diri—apa dia masih bisa dianggap manusia?
Tapi kalau aku mengatakan langsung bahwa teh ini rasanya sangat tidak enak... ada kemungkinan besar aku bakal benar-benar dibunuh.
Saat aku masih mencari cara untuk menyampaikan pendapatku dengan selamat, Evelyn mengambil potnya dan menyesap sendiri isi tehnya, lalu berkata—
“Aku sempat khawatir... tapi ternyata keahlianku belum memudar.”
Itu saja sudah cukup untuk memastikan satu hal: maid ini sudah tidak bisa diselamatkan lagi.
Sebagai penawar minimal, aku menenggak air putih yang tersisa di dalam ketel, lalu meraih mantelku dan merebahkan diri. Dalam situasi seperti ini, tidur adalah satu-satunya jalan keluar. Protes dari lambung tak akan sampai ke alam mimpi.
Namun tepat saat kelopak mata terpejam, suara Evelyn terdengar, sama sekali tanpa rasa bersalah.
“Seenaknya mau tidur? Aku belum mendengar komentarmu, tahu.”
“...Luar biasa,”
“Tidak ada satu pun rincian. Tapi yah, mengharapkan lebih dari perbendaharaan katamu memang percuma. Kalau aku sedang mood, mungkin aku akan menyeduhnya lagi nanti.”
Aku menahan diri untuk tidak berkata, ampuni aku, dan menutup mata lebih rapat dari sebelumnya.
“Aku juga mau tidur... Selamat malam, Linus.”
Suara Cronica terdengar lesu. Entah kenapa, malam ini saja, aku merasa kami berdua terikat oleh perasaan senasib.
Untuk waktu yang cukup lama setelah itu, aku hanya bisa membalikkan badan berkali-kali di atas jerami, berusaha menenangkan perut yang masih memberontak.
Pikiranku terus mengerucut ke satu titik: kota wisata yang menjadi tujuan kami berikutnya.
(Sekali saja cukup... asal besar. Aku harus dapat cuan gede di sana... Kalau tidak, bisa-bisa bukan Ksatria atau Evelyn yang membunuhku, tapi kemiskinan itu sendiri.)
Dan soal betapa mematikannya hal itu—aku rasa, dari kami semua di sini, akulah yang paling tahu.
Part 2
Tiga hari kemudian.
Ibu kota provinsi, Filadelyon. Sebuah kota kanal bersejarah sejak zaman monarki. Berkembangnya transportasi kereta api telah meningkatkan volume logistik secara nasional, dan berkah itu turut mendatangkan masa-masa cerah bagi kota ini yang masih mengandalkan pengangkutan sungai sebagai arus utama.
Kanal yang mengalir di tengah kota. Di sisi utara berdiri Jembatan Tua Avignon, sebuah jembatan lengkung tradisional dari batu granit berwarna bunga sakura. Di sisi selatan berdiri Jembatan Besi Raksasa, jembatan gantung bergaya industrial yang dibangun dalam beberapa tahun terakhir. Kedua jembatan ini tidak hanya menopang logistik dalam kota, tetapi juga menjadi destinasi wisata yang menarik.
“Weekly Continental... ah, tidak jadi deh, kasih koran lokal aja.”
Tanpa menunggu lama, aku membeli town paper—koran kota yang sedikit lebih murah—dan sebatang rokok dari penjual koran pinggir jalan yang kulalui. Uangku kini makin menipis, tapi aku tidak peduli. Aku akan mulai menghasilkan sekarang.
Sambil berjalan di trotoar kota yang penuh pemandangan indah, aku membiarkan mataku menyusuri judul-judul utama. ‘KPR Rekomendasi Minggu Ini’, ‘Istri Pengacara Terlibat Kasus Pembunuhan karena Perselingkuhan’, ‘Pencurian Perlengkapan oleh Tentara Pembelot dari Angkatan Darat’—sampai Cronica mengganggu.
“Hei, Linus. Simpan bacaanmu itu nanti saja, kita harus cepat-cepat ke kafe.”
“Jangan terburu-buru... Hadeh, biarkan aku membaca koran ini dengan tenang.”
“Wah, aku cukup terkejut. Jadi kamu bisa membaca, ya?”
Maid berseragam yang berjalan di sebelah Cronica segera melontarkan komentar kasar tanpa ragu.
“Meski begini, aku pernah sekolah, tahu. Waktu umur delapan, aku dikeluarkan setelah tiga hari. Dan dari situ aku belajar satu hal penting: aku suka belajar, tapi benci setengah mati kalau diajari orang lain.”
Sambil bicara, aku menyalakan rokokku. Kedua gadis di sampingku secara terang-terangan menunjukkan wajah tak suka, tapi aku mengabaikannya dan lanjut bicara.
“Lagipula, kalau kalian cuma mau jalan-jalan, pergi saja sendiri. Aku sibuk.”
Karena aku harus mencari uang supaya kalian bisa tetap makan, adalah makna tersembunyi yang sengaja tidak kuucapkan.
Namun Cronica mengerucutkan bibirnya dengan kesal, lalu memprotes.
“Kalau bareng-bareng, pasti lebih seru. Evelyn juga berpikir begitu, kan?”
“Tidak. Asalkan aku bisa mengawasimu, itu sudah cukup. Penipu macam dia hanyalah bonus yang tak penting. Terus terang, aku benar-benar tidak peduli.”
Nada bicara Evelyn terdengar monoton namun mengandung ancaman samar, dan saat ia mengucapkan kata-kata itu, perlahan aroma karat mulai tercium—cukup kuat untuk menenggelamkan asap rokokku sendiri.
“Aku hanya ingin membunuh. Membunuh habis para bangsawan sisa yang menjijikkan itu. Hanya karena alasan itulah aku dulu menjadi Maid Sapu Hitam, dan sekarang menjalani hidup sebagai tentara.”
“Itu termasuk aku juga?”
Tanpa rasa gentar sedikit pun, Cronica menanyakan itu seolah sedang ngobrol santai. Si maid menjawab dengan desahan pelan.
“Kau termasuk generasi yang sejak mulai mengerti dunia sudah langsung dihadapkan pada revolusi, bukan? Kau tidak pernah hidup sebagai seorang bangsawan. Jadi menurutku, kau masih bisa lolos... hampir. Tapi itu bukan berarti aku punya kewajiban untuk bersikap ramah padamu.”
“Hm...” ucap Cronica sambil berputar di tempat. Lalu ia menyatakan dengan nada yang mendadak:
“Yasudah. Kalau begitu, untuk hari ini kita jalan masing-masing aja—ayo, Evelyn.”
Begitu ia mengatakannya, rambut panjangnya yang merah seperti salju melambai beberapa langkah ke depan, dan sosok gadis itu pun menjauh dariku.
Evelyn, tanpa sepatah kata pun, hanya melirik sekilas ke arahku, lalu mengikuti dari belakang.
Aku sempat heran karena perubahan sikap Cronica yang begitu tiba-tiba dan tak terduga, tapi kemudian mata kanannya yang hijau menatapku dari kejauhan.
“Kalau begitu, Linus. Meski demi uang, jangan lakukan hal yang terlalu jahat, ya.”
“...Jangan sok jadi waliku, dasar bocah nyebelin.”
Mengabaikan ucapan sinisku, Cronica menyelipkan rambut panjangnya ke dalam tudung wol dan menambahkan:
“Tapi besok, kita harus minum teh bareng di kafe, ya? Janji... hekciu!”
Dia bersin. Akhir-akhir ini sering, pikirku. Aku tanya apakah dia masuk angin, dan Cronica menjawab sambil memiringkan kepala kecilnya.
“...Masuk angin? Enggak tahu juga, tapi kayaknya bukan. Cuma... hidungku rasanya gatal aja.”
Cara dia mengusap ujung hidungnya yang kemerahan itu, dari sudut pandang luar, tetap saja kelihatan seperti orang yang mulai sakit.
“Yah, terserah deh... Tapi denger ya, kalau kamu sampai demam, aku nggak akan merawatmu.”
—Dan tak lama setelah berpisah dengan mereka berdua, aku sampai di jembatan besi di sisi selatan kanal.
Dari atas jembatan gantung yang ditopang oleh kabel besi tempa, bisa kulihat dengan jelas keramaian kanal yang dilalui oleh puluhan kapal kecil. Mungkin ini memang bagian dari desainnya. Para pria tampak sibuk mengangkut muatan dari atas kapal, atau sebaliknya menaikkan barang ke dalamnya. Petugas inspeksi berlari ke sana kemari sambil menggenggam lembaran dokumen, dan di antara keramaian itu, penjual makanan ringan untuk para buruh yang sedang istirahat juga ikut meramaikan suasana. Keramaian ini benar-benar luar biasa—dan jika kupasang telinga baik-baik, hiruk-pikuk itu bahkan bisa kudengar dari sini.
Tanpa sadar, saat aku menyandarkan siku ke pagar jembatan dan menopang pipiku, sebuah suara jujur keluar dari mulutku—bukan untuk siapa-siapa.
“Nggak Banget...”
Melihat para pekerja yang bekerja keras seperti itu, aku benar-benar tidak sudi menjalani hidup seperti mereka. Hidup sebagai buruh, bekerja dengan jujur dan banting tulang—aku lebih baik mati.
Pada akhirnya, aku ini memang bajingan sejak lahir. Aku cuma bisa hidup dengan menipu orang lain, merebut hasil kerja mereka. Dan penyesalan soal cara hidupku itu, sudah lama kutinggalkan, sejak waktu itu.
Sejak saat aku menghabisi satu-satunya keluarga kandungku—demi uang.
“...Benar juga...”
Tiba-tiba saja, satu pikiran tak jelas terlintas di benakku. Tak tahu dari mana asalnya, tapi begitu saja menyambar lewat kepala.
Untuk memastikan apa gerangan intuisi tadi, aku membuka kembali koran yang tadi kubeli, lalu menelusuri judul-judul beritanya.
Dan begitu roda berpikir di kepalaku mulai berputar lagi, serangkaian dugaan pun mulai tersusun layaknya tangga. Aku naik ke menara lonceng imajiner, demi membunyikan dentingan dari botol kaca yang penuh koin tak terlihat.
Tapi...
Tiba-tiba saja, kedua tanganku menggenggam erat koran yang terbuka itu, hingga kertasnya terlipat berkerut.
Masih kurang. Masih ada satu bagian terakhir yang belum kudapatkan. Potongan terakhir yang dibutuhkan untuk menjalankan skema penipuanku ini.
Bagaimana ini? Evelyn jelas bukan kandidat. Tapi Cronica bahkan jauh lebih buruk untuk urusan ini.
Aku berpikir keras. Hampir saja menyerah.
Dan saat itulah, mungkin bisa dibilang sebagai sebuah keajaiban—karena aku tidak melewatkan sosok yang melintas di sudut penglihatanku.
Payung renda itu, aku mengenalnya. Dalam sekejap, pandanganku terpaku.
“Yosh...!”
Dan dengan begitu, aku pun melemparkan koran ke tanah, lalu melangkah pergi—untuk menangkap potongan terakhir yang baru saja jatuh dari langit.
Part 3
“Kalau gitu, ayo kita pergi.”
“Ke mana?”
“Belum kepikiran. Untuk sekarang, kita mulai dari mencari tahu apa yang paling cocok buat dia.”
“…Dia?”
“Ya jelaslah,” jawabku dengan nada yang bahkan menurutku sendiri agak riang.
“Linus.”
Hal yang paling kusukai saat bepergian ada tiga: makanan, pemandangan, dan pakaian.
Setiap pakaian pada dasarnya hanya bisa ditemukan di penjahit kota tempat kita berkunjung. Hanya dari satu jaket saja, kepribadian daerah, tren, dan tangan para perajinnya sudah bisa sangat berbeda.
Itulah sebabnya aku suka pakaian. Karena rasanya seperti mengenakan kenangan dari tempat yang pernah kudatangi.
Tapi kali ini, bukan untuk diriku sendiri.
“Kenapa tiba-tiba ingin memberi hadiah untuk pria itu?”
Bersama Evelyn, aku berjalan menyusuri sudut kota di siang hari dengan latar belakang kanal berkilau warna zamrud.
Menahan rasa canggung, aku menjawabnya sesederhana mungkin.
“Soalnya berkat dia, aku bisa jalan sejauh ini… Memang baru sekarang, tapi aku pengin mengucapkan terima kasih.dan juga, kalau ditanya dia mau apa, dia pasti bilang ‘tidak ada’ atau semacamnya, kan? Jadi—”
Tanpa kuucapkan, ini juga sebagai permintaan maaf atas insiden di ibu kota. Karena keegoisanku yang ingin menolong toko itu, aku telah menyeretnya ke dalam situasi yang sangat berbahaya. Aku tidak punya hak untuk minta maaf secara langsung, apalagi saat kekayaannya kupermainkan sebagai sandera. Jadi ini semata-mata demi kepuasan pribadiku saja.
Namun tetap saja, aku tak ingin membohongi perasaan yang sudah terpatri di dalam hatiku tanpa kusadari.
“Aku bakal milih sesuatu yang benar-benar cocok buat dia. Kamu bantu aku, ya.”
“…Baiklah, tapi jangan terlalu berharap banyak. Aku tak terbiasa dengan urusan seperti ini.”
“Gak apa-apa. Justru yang bikin seru itu karena kita memilihnya bareng teman.”
“Jangan seenaknya menyebutku teman. Bukankah aku sudah bilang, aku tidak punya kewajiban untuk akrab denganmu.”
“Oh, ya? Tapi aku nggak peduli. Mulai sekarang kamu temanku. Selesai.”
Begitu kukatakan, Evelyn yang wajahnya nyaris tak pernah berubah ekspresi, menatapku lebar-lebar seperti baru saja disetrum.
“…Tidak perlu. Dalam hidupku, aku tak butuh teman.”
“Aku butuh. Jadi keputusan final.”
Aku menggenggam tangannya yang sedikit lebih besar dari tanganku, menariknya ke dalam jabat tangan dengan sedikit paksaan.
“Sekali lagi, sebagai teman… senang berteman denganmu, Evelyn.”
Begitu kuucapkan, telapak tangannya yang dingin dan kugenggam sedikit lebih erat itu langsung ditepis dengan kasar. Tapi dari sikapnya, jelas kalau reaksi itu berasal dari rasa canggung.
“Apa sih… Jangan nyengir seperti itu.”
“Hehe, maaf ya. Tapi aku senang banget. Soalnya ini pertama kalinya aku punya teman.”
Mungkin menyadari lirikan kecil dari mata kiriku, Evelyn langsung memalingkan pandangannya ke arah lain.
Tepat ke arah yang sama dengan tatapannya itu, sebuah papan nama toko berbentuk jarum pentul menarik perhatianku.
“Eh, lihat deh! Butik itu kayaknya cocok… ada pakaian pria juga, tuh.”
“Sepertinya begitu. Terserah kamu saja, aku tidak keberatan.”
Menarik tangan si maid yang ogah-ogahan, aku pun masuk ke dalam toko.
Toko itu sempit, dan pakaian-pakaian digantung rapat di gantungan besi seperti sedang dijejalkan. Di tengah ruangan ada semacam ruang kecil tempat barang-barang aksesori dipajang.
Seorang pegawai yang sedang menjahit di balik meja kasir menoleh saat mendengar bunyi lonceng di pintu. Dia menatap kami dengan rasa penasaran. Aku membalas tatapannya dan sekilas membaca permukaan ingatannya.
Tampaknya butik ini dikelola oleh seorang nyonya pemilik yang cukup terkenal di lingkungan sekitar karena keahlian tangannya, namun saat ini sedang keluar. Pegawai perempuan itu seperti muridnya, dan kelihatan lebih ingin fokus mengerjakan tugas yang diberikan gurunya daripada melayani pelanggan.
Aku memberi isyarat agar dia tidak perlu memedulikan kami. Dia pun menunduk sedikit dan kembali tenggelam dalam pekerjaannya. Bagiku ini lebih baik. Mumpung ada kesempatan, aku ingin memilih semuanya sendiri.
“Sepertinya pakaian pria di sini memang tidak banyak, ya.”
“Walaupun begitu, tetap ada sih. Nih, ada jaket sama kemeja. Kayaknya ukuran Linus pas.”
“…Mungkin sebaiknya tidak mengambil bagian itu. Baru saja aku menyadari—si penipu itu tampaknya sudah punya beberapa setel pakaian jalan-jalan yang lumayan bagus.”
Kalau kupikir-pikir lagi, setiap kali tiba di kota, dia memang mengganti bajunya dengan gaya yang cukup rapi. Selama ini aku tidak terlalu memperhatikan, tapi sepertinya pakaiannya memang cukup mewah. Melihat kisaran harga barang-barang di toko ini, sepertinya sulit untuk bisa menyaingi kualitas pakaiannya.
Kalau begitu…
“Mungkin, lebih baik cari sesuatu yang biasanya nggak dia kenakan.”
Begitu berpikir begitu, aku mengalihkan pandangan ke bagian tengah toko, ke tempat aksesori dijual. Di samping sebuah keranjang berisi barang-barang kebutuhan sehari-hari seperti sarung tangan kerja dan celemek, ada rak datar yang tersusun rapi dengan syal dan sapu tangan.
Sekalian saja, aku ambil beberapa dan mulai mencoba memasangkannya ke Evelyn yang berdiri di sebelahku.
“Maaf, bagian mana dari ini yang ‘sekalian’? …Hei, jangan coba-coba memakaikan pita warna pink mencolok itu padaku. Terlalu kekanak-kanakan. Aku tidak suka.”
“Kalau yang ini gimana? Ah, yang ini juga lucu banget.”
“Sudah kubilang jangan yang pink! Dan motif polkadot juga tidak bisa diterima.”
Sebagai kompromi, aku mengambil syal merah polos dan melingkarkannya di lehernya. Evelyn langsung meringis kesal.
“…Kau tidak lupa tujuan awal kita ke sini, kan?”
“Tenang aja, kelihatannya memang main-main, tapi aku benar-benar sedang mencari, kok. Nih, yang ini, gimana menurutmu?”
“Tidak jelek. Menambah kesan mencurigakan.”
“Hehe, iya juga, ya… Ya sudah, aku putuskan, aku ambil yang ini.”
Begitu keputusan dibuat, aku pun segera menghabiskan sisa uang jajanku untuk membelinya.
Yang kupilih adalah topi. Sebuah milky hat berwarna hitam, terbuat dari kain katun.
Memang urutannya terbalik, tapi aku sempatkan mencoba topi itu di depan cermin besar di dalam toko. Seperti yang kuduga, dibanding rambutku yang terang, warna hitam topi itu pasti akan jauh lebih cocok dengan warna rambut Linus yang kecokelatan seperti teh barley.
“Semoga dia senang, ya. Bukan urusanku, sih.”
“Bukan karena aku mengharapkan dia senang, kok.”
Sambil berkata begitu, aku melepaskan topi itu dari kepala dan mendekapnya di dada.
Kira-kira… dia akan menyukai kenangan ini, nggak ya?
Bayangan diriku di cermin tampak mengangkat ujung bibir, seolah sedang dimabuk oleh harapan yang manis.
Part 4
Menjelang sore di tepi kanal, tanpa diduga aku kembali bertemu Patricia—seorang bangsawan wanita yang pernah kukenal di ibu kota. Sambil meminta maaf atas ketidaksopananku waktu itu, aku mengajaknya ke kafe terdekat.
“U-Um, Will… Bagaimana keadaan penyakitmu sekarang?”
“Ah, sudah sembuh total. Kebetulan aku menemukan dokter yang sangat andal. Berkat terapi teh yang rasanya seperti neraka berdasarkan latest medicine—sekarang aku sehat walafiat.”
“Syukurlah! Senang sekali mendengarnya desuwa~!”
Seperti biasa, mudah sekali dibuat luluh. Menyenangkan, memang. Tapi kali ini, dia bukan targetku.
Secara halus, pandanganku beralih ke seberang kanal berair zamrud yang mengalir di samping teras kafe. Di sana berdiri sebuah bangunan yang bisa dibilang memakai “make-up” paling tebal di dunia—alias bank.
Ya. Targetku kali ini adalah bank, lewat modus penipuan pinjaman.
Secara umum, bank dikenal sebagai tempat menyimpan uang. Tapi sebenarnya, mereka juga adalah tukang utang. Bahkan bisa dibilang, itulah bisnis utama mereka mengalirkan pinjaman dan memeras bunga setinggi mungkin, ditambah biaya administrasi yang tak kalah mencekik.
Penipuan pinjaman memanfaatkan kebiasaan buruk itu. Pada dasarnya, tak jauh beda dengan menipu individu: kau hanya perlu meyakinkan mereka bahwa “investasi ini pasti untung, uangnya akan aku kembalikan, jadi tolong beri aku pinjaman sekarang juga.”
Untuk bisa melakukan itu, dibutuhkan beberapa hal: penampilan yang meyakinkan, perusahaan fiktif yang kelihatan sah, dan satu lagi...
Willson menggenggam tangan Patricia, menatapnya dalam-dalam, lalu berkata dengan penuh kesungguhan:
“Sejak saat itu… aku terus mencarimu.”
“Eh… A-Aku… senang sekali… Sebenarnya aku juga… tidak bisa melupakanmu. Tadinya aku hanya mampir ke kota ini karena ada urusan, tapi bisa bertemu lagi seperti ini… rasanya seperti keajaiban…”
“Itulah sebabnya… menikahlah denganku.”
Tiba-tiba, muka Patricia menegang.
Ya. Hal terakhir yang kubutuhkan adalah: seorang istri.
Dalam dunia perbankan, status lajang dewasa nilainya lebih rendah daripada kotoran di jalan. Tak ada bank yang mau memercayakan uang pada pria setengah baya yang hidup sendirian.
Bisa saja aku memalsukan akta nikah, tapi untuk rencana besar kali ini, aku tahu pasti: aku memerlukan pasangan sungguhan. Minimal, seseorang yang bisa kupamerkan langsung di depan mata mereka.
“Saat pertama kali bertemu, aku langsung merasa… ini takdir. Kau adalah satu-satunya pasangan hidup yang kucari selama ini. Jadi, izinkan aku mengulanginya: jika kau percaya pada takdir ini… jadilah istriku—”
“Aku bersedia!!”
Jawaban cepatnya yang memotong ucapanku membuatku tersenyum puas dalam hati. Potongan puzzle yang selama ini hilang akhirnya terpasang sempurna.
Begitulah, setelah resmi bertunangan tanpa hambatan, kami berbincang sebentar lalu meninggalkan kafe. Langkah kami seirama, menyeberangi kanal menuju bank yang sejak tadi menjadi incaranku.
Willson pergi ke bank untuk mengajukan pinjaman demi bisnis miliknya.
Patricia ikut, dengan tujuan berbeda: memastikan rencana pernikahan ini benar-benar berjalan.
Untuk bisa menikah, ia harus lebih dulu berdamai dengan ayahnya yang selama ini bersitegang dengannya, dan memperoleh restu. Restu orang tua adalah syarat mutlak untuk menikah.
Dulu, ia kabur dari rumah karena menolak perjodohan yang diatur sang ayah. Secara logika, kalau ia pulang membawa kabar bahwa ia telah menemukan calon suami pilihannya sendiri, masalah akan selesai dengan mudah.
Tapi dunia bangsawan tak sesederhana itu. Patricia adalah putri dari keluarga bangsawan besar di selatan. Mustahil mereka akan merestui pernikahan dengan pria biasa—apalagi yang terlihat seperti pedagang spekulatif.
Dengan kata lain, masih ada satu langkah tambahan yang harus ditempuh.
“Ano… aku rasa, sekalipun kita membawa uang sebanyak apa pun… Ayah tidak akan langsung setuju.”
“Aku tahu. Karena itu, langkah berikutnya akan sedikit… licik. Kalau kau tak mau, kita hentikan saja. Aku akan datang langsung menemui ayahmu, memberi salam, membiarkan diriku dipukul, lalu datang lagi, dan lagi… sampai akhirnya beliau menyerah memberi restu.”
“Ah! Will yang malang…! Aku tak sanggup melihatmu diperlakukan begitu… Baiklah, kita jalankan saja. Soal kehormatan Ayah atau nama baik keluarga, aku tak peduli!”
Intinya sederhana: membalik pola pikir. Alih-alih meminta restu terlebih dahulu, kami akan menciptakan fakta pernikahan terlebih dahulu.
Secara hukum, pernikahan membutuhkan izin kedua orang tua. Tapi bagaimana jika kami mengaku sudah menikah, lalu menandatangani kontrak penting dengan status sebagai suami-istri?
Secara legal, kontrak itu tidak sah. Tapi yang penting bukan sah atau tidaknya melainkan akibatnya.
Bayangkan jika kami mengajukan pinjaman besar ke bank sebagai pasangan resmi, lalu belakangan terbukti bahwa status itu palsu. Masalahnya tak akan selesai hanya dengan mengembalikan uang pinjaman. Sudah pasti akan ada tuntutan ganti rugi.
Dan kali ini, target kami adalah bank swasta terbesar di seluruh negara bagian. Skandal sebesar itu akan sulit sekali ditutupi. Apalagi, keluarga bangsawan seperti keluarga Patricia lebih mementingkan citra dibanding segalanya.
Panjang kalau dijabarkan, tapi singkatnya begini—jika pernikahan kami tak diakui, keluarga gadis itu akan menderita kerugian besar, dan sang ayah akan dipaksa menyerah. Demi itu, Patricia setuju memalsukan status kami sebagai pasangan sah untuk mengajukan pinjaman besar di bank.
"Will, engkau memang jenius desuwa~! Aku tak sabar melihat wajah Ayah terpelintir oleh rasa malu!"
"Eh, ah… iya. Selama kamu bahagia, itu yang terpenting, Patty."
Tentu saja, mereka tidak benar-benar akan menikah. Ini murni penipuan.
Patricia sendiri tidak tahu bahwa yang akan mereka lakukan adalah penipuan pinjaman, dan ia pun tak menyadari kalau dirinya akan menjadi korban penipuan pernikahan. Dan ia juga tak mungkin bisa menyadarinya.
Trik berbohong nomor empat:
Berbohonglah dengan cara yang memenuhi keinginan orang lain.
Orang yang tertipu selalu punya alasan untuk ingin ditipu. Selama mereka tidak bisa membuang keinginan terhadap tawaran untung besar yang menggiurkan atau keberuntungan yang mustahil, siapa pun bisa menjadi mangsa.
Patricia ingin percaya bahwa keputusannya kabur dari rumah bukanlah kesalahan, bahwa semua itu terjadi agar ia bisa bertemu pasangan takdirnya.
Bagaimana dengan pihak bank? Jawabannya jelas. Pernah aku bilang bahwa bank itu sepupu para penipu. Tapi walau masih keluarga sesama pemakan duit haram, aku akan tunjukkan bahwa penipu sepertiku jauh lebih unggul.
Memasuki gedung megah yang terasa terlalu mewah, Wilson menebarkan senyum ramah pada resepsionis.
"Perkenalkan, saya Willson Blodgett. Dan ini istriku, Patricia. Kami ingin segera berbicara dengan pihak yang menangani pinjaman di bank ini."
Part 5
"Senang bertemu dengan Anda, Blodgett-san… dan juga istri Anda. Saya Nicholas Loan, penanggung jawab dari pihak bank yang akan mendampingi Anda hari ini."
Di ruang tamu yang mewah, pria paruh baya berkacamata tanpa bingkai itu menundukkan kepala dengan sopan.
"Salam kenal, Loan-san. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk kami hari ini."
Aku menahan senyum puas di dalam hati. Tepat seperti yang kuharapkan—besar kemungkinan dia adalah wakil kepala, atau bahkan kepala cabang. Dari awal, targetku memang memancing orang yang punya kuasa untuk langsung menyetujui pinjaman. Tipe seperti ini biasanya akan menandatangani cek di awal, dengan alasan toh keputusan akhir ada di tangan mereka.
Sama seperti di kantor mana pun: makin tinggi jabatan, makin besar kelonggaran yang bisa mereka berikan—atas nama “fleksibilitas”—meski sebenarnya berada di wilayah abu-abu peraturan. Dan tentu saja, kelonggaran semacam itu hanya diberikan kepada nasabah yang meninggalkan kesan kuat.
Kesan itu lahir dari beberapa hal: penampilan, sikap, tutur kata… dan satu elemen tambahan. Itulah alasan aku membutuhkan “istri asli” yang terlihat benar-benar makmur.
Masih duduk tenang di sofa, aku meraih tangan Patricia yang duduk di sebelahku— wajahnya sedikit tegang, sambil menepuknya lembut, sebagian untuk memberi isyarat kerja bagus.
"Maaf kalau tidak sopan, tapi sepertinya kalian berdua tidak mengenakan cincin?"
"Ah, benar. Kami memang belum resmi mendaftarkan pernikahan. Lagi pula, cincin kami terlambat selesai karena saya meminta pengrajin melakukan beberapa penyesuaian."
"Oh, begitu. Mohon maaf," sahut Loan ringan. Lalu, basa-basi pun berakhir dan pembicaraan masuk ke pokok masalah.
Wilson mulai memberikan penjelasan fiktif tentang lahan pertanian ekspor miliknya di wilayah timur.
"…Jadi, alasan saya mengajukan pinjaman adalah untuk membayar pajak usaha tahun depan, semacam dana talangan. Tahun ini penjualan kami luar biasa, mungkin karena pembukaan perdagangan bebas… tapi akibatnya beban pajak melonjak. Hampir semua pendapatan, termasuk yang masih berupa piutang, sudah saya investasikan kembali, jadi saya hanya perlu memastikan tenggat pembayaran pajak bisa terlewati dengan lancar."
Mengajukan pinjaman karena pajak naik akibat keuntungan besar—alasan yang biasa-biasa saja, tapi berdasarkan pengalamanku, ini yang paling manjur. Bank akan melihatku sebagai pengusaha sukses.
"Begitu. Lalu, dari bank di wilayah timur, Anda sudah mendapatkan pinjaman?"
"Ya. Tapi seperti Anda tahu, suku bunga di sini lebih rendah. Jadi saya berharap ke depannya bisa menjalin kerja sama dengan bank di negara bagian ini."
Meski lokasi usaha jauh, meminjam di bank dengan bunga lebih rendah bukan hal aneh.
Sambil memeriksa dokumen fiktif berupa bukti pembayaran dan sertifikat tanah yang kuberikan, Loan mengangguk.
"Terima kasih. Semuanya sudah saya pahami, dan isi dokumennya tidak ada masalah. Karena sepertinya ini mendesak, saya akan langsung memberikan ceknya di sini juga."
Mendengar kata-kata itu, aku membalas dengan rasa terima kasih yang dibalut kepuasan dingin—serta sedikit rasa unggul yang kelam.
Sekali lagi, aku tegaskan: pihak yang tertipu selalu punya alasan untuk ingin tertipu.
Namun, bukan berarti bank akan meminjamkan uang pada siapa saja tanpa pertimbangan matang. Sama saja seperti meminjamkan payung kepada orang yang sudah punya payung—tidak ada gunanya. Tapi memberi pinjaman kepada seseorang yang bahkan tak punya atap justru berisiko besar, karena kemungkinan uang itu tak akan kembali.
Dengan kata lain, mereka selalu menunggu “kekasih ideal” yang bisa memakai uang pinjaman sebagai modal, menghasilkan lebih banyak uang, lalu meminjam lagi, menghasilkan lagi, meminjam lagi… begitu terus tanpa henti.
Dan tugasku hanya satu—memerankan kebenaran yang sebenarnya tidak ada itu, persis seperti yang mereka mau.
"Tapi Nyonya juga luar biasa, ya. Di mana bisa menemukan suami hebat seperti ini?" ucap Loan sambil menulis cek, melemparkan pujian hambar pada Patricia.
Tidak masalah. Dia memang bangsawan asli, jadi tak perlu dibuat-buat. Sambil berpikir begitu, aku menyeruput teh yang sudah dingin, merasa seperti bisa bernapas lega sejenak. Tapi di saat itulah—
"Pi… piyeeeeh… zzz… pi… piiii~!!"
"Nyo—!?!!"
Tiba-tiba, wanita di sebelahku mengeluarkan suara aneh sambil mengisap ingus. Patricia… menangis. Entah kenapa, dia sudah terisak hebat, air matanya bercucuran tanpa henti.
"Ma… maafkan saya… tapi… s-saya… bahagia sekali… terlalu bahagia… Membayangkan kalau akhirnya saya benar-benar bisa menikah dengan Anda…"
Apa-apaan ini tiba-tiba? Hampir saja keluar dari mulutku, tapi kutahan. Aku hanya mengusap-usap punggungnya yang bergetar di sebelahku.
"H-ha… maaf, dia memang sangat mudah menangis. Oh, dan sekadar meluruskan—kami sebenarnya sudah menikah, lho!… Oke, pelan-pelan tarik napas… buang napas… begitu, bisa tenang, kan, Patty?"
"Suu… haaa… suu… haaa… piiii~!!"
Sepertinya gagal. Dalam kecelakaan tak terduga ini, rasanya justru aku yang ingin menangis.
Loan, yang buru-buru menyodorkan sapu tangan, menatap dengan wajah kaku, jelas-jelas kehilangan minat.
Kalau begini terus, pertemuan ini bisa saja batal. Dan mengingat usaha ini hanya karangan belaka, jika urusannya ditunda dan sampai ada pemeriksaan mendalam, tamatlah aku. Artinya, aku harus mendapatkan cek itu di sini dan sekarang. Tapi kemudian—
"Maaf… tapi… bisa menikah dengan orang yang kita cintai… itu sesuatu yang… rasanya tidak mungkin terjadi… dan saya sudah lama percaya begitu…"
"Nyonya…"
Saat itu, nada suara Loan yang tiba-tiba terdengar justru membawa kebingungan yang berbeda nuansanya.
Namun, aku tak punya waktu untuk memikirkannya. Aku hanya terus mengusap punggung “istriku” yang masih terisak.
"Saya… saya benci sekali pada calon suami yang sudah dipilihkan Ayah… sampai akhirnya saya kabur dari rumah. Dan kemudian… saya bertemu dengan pria takdirku, jatuh cinta… jadi saya… saya terlalu bahagia… sampai rasanya tak sanggup menahannya…"
Air mata panas menetes ke lenganku yang memeluk bahunya yang ramping. Curahan perasaannya yang meluap-luap itu bukanlah sesuatu yang bisa dijelaskan dengan logika.
(Dasar bodoh…)
Perasaanku sendiri justru terasa dingin membeku. Dia sedang tertipu. Air mata ini, besok malam mungkin sudah berubah warna. Tapi aku tak merasakan sedikit pun yang namanya rasa bersalah.
Karena, memangnya ada penipu yang punya perasaan seperti itu?
Namun, saat itu, keheningan lembap yang menggantung di ruangan dipatahkan oleh tatapan di balik kacamata Loan, tatapan yang justru memancarkan emosi yang tak kusangka.
"Nyonya… sebenarnya, saya juga punya seorang putri."
"Eh?"
Patricia, yang tadinya menangis, menatapnya dengan raut terkejut. Loan melanjutkan, agak canggung.
"Sudah beberapa tahun lalu. Malu saya akui, saya terlalu sibuk dengan pekerjaan, jarang bisa meluangkan waktu untuknya. Jadi setidaknya, saya berusaha mencarikan pasangan yang baik… tapi dia malah bilang tak mau menikah dengan pria itu, dan kabur bersama pria lain."
Ia menghela napas panjang sebelum meneruskan,
"Sekarang, setahun sekali saja saya menerima sepucuk surat singkat darinya. Waktu itu, saya sama sekali tak mengerti perasaannya… tapi maaf kalau lancang, melihat nyonya sekarang… rasanya saya sedikit mulai paham."
"Be… begitu, ya… tapi, saya… saya yakin putri Anda pasti bahagia,"
Setelah mengucapkannya, Patricia sempat terdiam sejenak, lalu tersenyum jelas di balik air mata.
"Karena dia sudah bertemu takdirnya, dan memilihnya sendiri."
Loan mengangguk, seperti beban yang selama ini menekan dadanya akhirnya terangkat.
Sementara itu, di ruangan yang sama, aku hanya memeluk dada yang terasa dingin membeku, menghela napas lirih tanpa seorang pun yang menyadarinya.
Kenapa orang-orang ini bisa menemukan nilai dalam hal-hal seperti cinta, kasih sayang, sesuatu yang begitu kabur dan tak pasti?
Kata-kata cinta itu ada di mana-mana. Tindakan yang menunjukkan bahwa seseorang itu berharga pun bertebaran di dunia ini. Tapi sumbernya hati itu sendiri berapa banyak yang sungguh-sungguh ada?
Tak ada. Tak bisa disentuh, tak bisa dilihat. “Kebenaran” seperti itu hanyalah ilusi rapuh yang bisa berubah secepat cuaca.
Atau… mungkinkah, di dunia ini hanya ada satu orang—yang dengan mata kirinya itu…
—mampu melihat keberadaannya?
Tiba-tiba, ada rasa aneh yang menggelegak dalam diriku. Marah, gelisah, muak—dan sekaligus bukan ketiganya. Sebuah kegelisahan yang begitu menyentuh inti, sampai sulit kujelaskan.
Dan aku… menekannya sekuat mungkin, menggigit geraham untuk menelannya kembali.
Part 6
Pada akhirnya, aku berhasil mendapatkan pinjaman itu tanpa masalah, lalu meninggalkan bank bersama Patricia.
Di bawah sinar matahari sore yang warnanya sudah memudar, aku mengangkat cek yang baru kudapat sambil tersenyum puas.
Aku mendengar denting koin yang tak terlihat. Hanya aku yang bisa mendengar dentang itu, lonceng berkah yang berdentang untukku.
"Gampang sekali."
"Will? Tadi bilang sesuatu?"
"Ah, bukan apa-apa. Oh iya, terima kasih untuk hari ini. Kamu benar-benar banyak membantuku."
"T-tidak… justru aku yang harus minta maaf. Sampai melakukan hal memalukan seperti itu…"
"Tapi berkat itu, mereka jadi menurunkan kewaspadaan. Hasilnya lumayan, kan."
Aku menyelipkan cek itu ke saku dalam jas, lalu kami berjalan berdampingan. Angin musim gugur yang dingin berhembus, membuat rambut pirangnya yang keemasan tergerai tertiup.
Aku, dengan gerakan yang seolah kebetulan, menyentuh jarinya, lalu menggenggam tangannya dengan perlahan.
"Hari ini kamu sudah berusaha keras. Aku antar sampai hotel."
Setelah menangis sehebat itu, riasannya pasti sudah luntur habis. Mengajaknya kencan sekarang akan terdengar sangat tidak peka, sesuatu yang bukan sifat Wilson.
"…T-terima kasih."
Sepertinya ia menangkap maksud perhatian itu, karena Patricia mengangguk kecil dengan wajah yang merona.
Kami sampai di depan hotel dengan pilar-pilar bergaya kuil dan pintu masuk marmer yang megah. Saat berpisah di sana.
"Maaf sudah membuatmu mendengarkan cerita yang membosankan begitu lama. Akan kubalas besok."
"S-seharusnya aku yang minta maaf… sudah memperlihatkan sisi memalukan seperti itu… Engkau tidak jadi ilfeel, kan?"
"Sama sekali tidak. Sudah berkali-kali kukatakan, lupakan saja itu."
Aku tersenyum, lalu berjanji akan menjemputnya di sini besok. Setelah itu, kepada sepasang mata indah yang berkilau lembap, Wilson hanya menempelkan sebuah kecupan ringan di pipinya, lalu berpamitan.
Dia seorang gentleman. Dan aku memutuskan, sebaiknya permainan ini dibuat sedikit lebih lama lagi.
Begitu keluar dari hotel, aku melepaskan topeng dari wajahku—lalu membuangnya ke udara sore yang mulai menguar aroma senja.
Begitu sampai di kota, aku mulai berjalan menuju penginapan murah tempatku sudah check-in.
"Nah… apa yang akan kulakukan, ya?"
Memikirkan tentang besok saja sudah membuatku nyaris tak bisa menahan tawa. Sepertinya memang sudah takdir wanita itu untuk diperas habis-habisan olehku. Dengan pikiran itu, aku melangkah sambil bersenandung kecil.
"~Ara?"
Sebuah suara yang kukenal.
Dan di depanku, seseorang berdiri, membuat langkahku otomatis terhenti.
"Kebetulan banget. Linus… atau mending aku panggil Will?"
Berdiri di bawah naungan pohon jalanan, seperti peri yang tersesat, ada seorang gadis yang sudah kuduga akan muncul. Di kepalanya entah kenapa bertengger sebuah topi hitam yang belum pernah kulihat sebelumnya.
"…Apa maumu? Bukannya kau biasanya bareng si maid tukang pukul itu?"
"Tadi, iya. Tapi kayaknya akan butuh waktu agak lama, jadi kusuruh dia pulang dulu.
──karena aku akan mendidikmu habis ini."
Nada dingin itu seperti tamparan di pipiku. Sepasang mata setengah terpejamnya menatapku seperti sedang mengadili.
"Aku sudah bilang, jangan lakukan hal kejam. Wanita yang kau rayu di ibu kota itu… mau kamu apa kan?"
"Kau pasti bisa menebak. Lagipula, apa-apaan itu… topi jelek begitu."
"…Heh."
Butiran keringat dingin mulai merayap di pipiku. Sial, aku sadar terlalu terlambat kalau kata-kata barusan menyentuh titik rawannya.
"Chotto~. Berlututlah disana sebentar. ──Berlutut."
Sebelum sempat menyesal, perintah yang dikirim lewat tatapannya sudah memaksa lututku menekuk.
Cronica melangkah mendekat, lalu meraih pipiku, jarak di antara kami hampir tanpa celah.
Rambut merah-darahnya menjuntai bagaikan tirai, dan mata kirinya yang ungu pekat mulai menyelami hatiku… ingatanku… jiwaku.
"Hmm. Jadi, mau nikah lagi. Dan kayaknya kamu menikmatinya sekali, ya? Dasar bodoh."
"Tutup mulutmu. Siapa yang selama ini mencari uang buat membiayai hidupmu, hah?"
"Itu cuma alasan murahan. Lagi pula, itu nggak perlu. …Karena untuk biaya perjalanan saja, aku bisa langsung ambil dari rekeningmu yang tersimpan di ingatanku──"
"Diam."
Refleks, tenggorokanku bergerak. Perasaan menolak, mirip rasa terpaksa karena kewajiban terlontar dengan nada tegas.
Uang itu adalah hasil yang “aku” kumpulkan dengan menipu orang lain, untuk itulah aku menjadi seorang penipu.
Itu sama sekali berbeda artinya dengan uang yang selama ini kuhasilkan di perjalanan, baik dengan atau tanpa keinginan, demi ongkos jalan.
Itulah landasan keberadaanku, satu keping pun tak akan kuberikan pada siapa pun. Jika sampai terpakai, “aku” bukan lagi aku... Tidak, tunggu.
Apa selama ini aku jadi penipu hanya untuk menimbun uang yang bahkan tak pernah berniat kugunakan?
Ya, benar. Seharusnya memang begitu. Tidak ada yang keliru di sana. Lalu kenapa keringat dingin ini tak juga berhenti?
Rasanya seperti tak sengaja tersandung dan memecahkan harta paling berharga, rasa takut kehilangan yang takkan bisa diganti, seakan siap membelah dadaku...
Aku buru-buru mematikan semua pikiranku.
Lalu, dalam keadaan kosong, aku hanya terpaku menatap mata Cronica. Di balik tirai rambut merah saljunya, kami saling melemparkan keheningan yang tegang bersama helaan napas.
Untungnya, dia tampaknya tidak menyadari sejauh mana pikiranku nyaris runtuh.
Namun, itu bukan berarti dia memaafkanku. Justru karena itulah, dengan Mata sihir ungunya, gadis itu menjatuhkan vonis.
“Untuk sementara, selama kita di kota ini...”
Vonis yang bagi seorang penipu sepertiku setara dengan hukuman mati.
“Bekerjalah dengan jujur buat dapat uang dan terutama, jangan menggoda cewek. Paham?”
Part 7
Barangkali inilah yang disebut karma.
“Oi, kau anak baru disana! Ngapain lelet begitu? Kalau nggak capai target angkut, nggak ada gaji buatmu!”
“Ma… maaf…!”
Kalau memang begitu, maka dunia yang membiarkan hal semacam ini terjadi adalah dunia sialan.
Di dermaga tepi kanal, pekerjaan salah satu buruh kota ini adalah menurunkan muatan dari kapal barang yang datang dari hulu, atau sebaliknya, memuat barang ke kapal yang akan berangkat.
Meski sudah musim gugur, kerja fisik di bawah teriknya siang yang cerah ini terasa seratus kali lebih berat dari yang kubayangkan. Atau tepatnya… rasanya mau mati.
Kakiku goyah. Sambil menopang leher, aku memanggul sebuah tong di bahu; riak cairan di dalamnya menghantam kepalaku dengan berat yang memusingkan. Sebagian besar muatan adalah tong minuman keras—tepatnya, tong bir. Bir dari pabrik di hulu yang airnya jernih, dibawa melalui kanal untuk disebarkan ke kota-kota hilir.
Bir itu masih terus berfermentasi di dalam tong.
Setiap kali mengangkut tong yang menggelembung penuh tekanan gas, rasanya seperti lenganku dan bahuku tergerus sedikit demi sedikit.
“Hei! Kenapa lemes begitu, bocah! Kau juga kan suka bir!? Masa bawa barang yang kau suka aja udah ngos-ngosan? Aneh kan, hah!?”
Dalam waktu yang sama aku cuma mampu mengangkut satu tong sekali jalan, si mandor sudah dua kali bolak-balik sambil memanggul satu tong di tiap bahu. Suaranya menggelegar, entah itu logika terbalik atau justru masuk akal, aku tak lagi mampu menilai. Mungkin bersama keringat, kemampuan berpikirku juga ikut mengalir pergi.
“Tolong… setidaknya air—khh, gubhh!?”
Begitu aku mulai mengeluh, tengkukku langsung dicekal keras, lalu byur! kepalaku dibenamkan ke permukaan kanal.
“Nih! Minum sepuasmu, dasar kurus kerempeng!”
Aku baru bisa kembali melihat cahaya matahari tepat ketika nyaris mati lemas.
“Waduh, nyaris aja. Jangan mati dulu, besok kita masih kerja. Hari ini kuampuni, tapi kalau besok-besok kau masih nggak becus… kau tahu sendiri akibatnya, kan? …Hah!? Jawab!!”
Sayangnya, aku cuma mampu batuk-batuk, berusaha mengeluarkan air yang masuk ke saluran napas. Kenapa aku bisa mengalami ini? Harusnya sekarang aku sudah sedang menguras lebih banyak uang dari si wanita tolol itu. Bahkan lamunan kecil itu pun harus buyar ketika tendangan di perut memaksaku kembali ke kenyataan.
"Aku ngomong, dengar nggak, hah! Dasar ceking! Jawab juga nggak becus—"
"Lebih baik cukupkan sampai di situ."
Tiba-tiba, suara bentakan dan kekerasan itu mendadak berhenti. Lalu terdengar suara klik lidah pendek, disusul langkah kaki yang menjauh.
"Kau nggak apa-apa?"
"...Iya, berkat kau aku selamat. Siapa kau?"
Aku menerima uluran telapak tangan tebal itu tanpa ragu dan berdiri.
Berdiri di hadapanku adalah pria besar berambut abu-abu, mengenakan kemeja linen lusuh khas buruh, dengan otot-otot seakan siap merobek kainnya kapan saja. Wajahnya kaku dan terkesan kaku, menatapku dari atas.
Pantas saja mandor tadi langsung kabur.
Begitu memastikan aku sudah berdiri tegak, dia perlahan melepaskan genggamannya, lalu memperkenalkan diri.
"Yohan. Sama seperti kamu, aku juga orang baru."
──Beberapa saat kemudian, entah siapa yang memulai lebih dulu, kami pun saling berbagi cerita.
Dari ceritanya, Yohan ternyata mantan anggota angkatan darat. Meski bertubuh kekar, dia dulunya adalah letnan di unit logistik yang bertugas di garis belakang. Saat aku mengutarakan rasa heranku, dia hanya menjawab.
"Aku jago menghitung pembukuan, makanya aku ditempatkan di sana. Militer nggak cuma menilai otot."
Mengatakannya sambil memanggul empat tong sekaligus, rasanya tak ada yang lebih meyakinkan dari itu.
"Kalau begitu... kenapa sekarang memilih mengandalkan otot? Ketahuan korupsi, ya?"
Dia menggeleng dengan leher tebalnya, menjawab singkat bahwa alasannya pribadi.
"Aku sudah keluar dari militer. Sekarang, karena suatu urusan, aku sedang melakukan perjalanan. Kerja harian ini cuma buat ongkos jalan."
"Kalau gitu, kita sama saja."
"Begitukah?"
Suara rendahnya bertanya balik, dan aku hanya bisa mengangguk lemah.
Part 8
"Berapa lama lagi kamu mau terus merajuk tanpa arti seperti ini?"
Di teras kafe yang menghadap ke kanal di siang hari, Evelyn menyibakkan rambut hitamnya dari bahu sambil menyeruput kopi yang sudah tak lagi panas, lalu bertanya padaku.
Sudah satu jam aku memaksanya duduk di sini, mendengarkan keluh kesahku soal si brengsek kemarin. Bahkan tanpa menatap wajahnya pun aku tahu, dia sudah sangat muak mendengarnya.
Di bawah naungan sinar matahari yang tersaring melalui daun pohon bodhi, angin sepoi-sepoi berusaha menenangkan rambutku. Tapi, badai di dalam dadaku sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda akan reda.
Mataku tak lepas dari parfait di atas meja yang sudah setengah habis. Di dalam gelas sundae yang berat itu, segunung krim kocok berpadu dengan potongan persik dan apel yang disusun indah menjulang. Kini, krim yang mencair membentuk genangan putih, menelan beberapa potong buah ke dasarnya.
Rasanya sungguh lezat, tapi untuk dimakan sendirian... porsinya jelas terlalu banyak.
Evelyn memang tidak suka makanan manis. Itu sebabnya—
"Beneran bodoh... padahal aku mau memakannya berdua."
Aku menyendok dari kolam putih itu, membiarkan manis yang sudah agak hambar mengisi mulut. Saat itulah Evelyn berkata.
"Tapi aku tidak begitu mengerti. Toh dia cuma penipu yang mau menikah demi uang. Dengan posisimu, apa perlu sampai segitunya marah padanya?"
"Memang sih... tapi itu saja bukan alasan."
Pandanganku beralih pada topi yang belum sempat aku berikan, tergantung di sandaran kursi. Aku tahu betul, ini hanya soal aku yang terlalu berharap, lalu merasa dikhianati, dan melampiaskan amarah secara nyaris impulsif.
Andai saja waktu itu aku bisa sedikit lebih tenang... Pikiranku yang getir itu kutepis dengan kata-kata.
"Tapi anak itu sesekali harus coba kerja jujur sampai keringetan. Dia terlalu sinis memandang dunia."
"Kalimatmu terdengar seperti wali... atau kakak perempuan."
Ucapan Evelyn membuatku tersadar pada kata-kata yang baru saja keluar dari mulutku.
"Ya juga. ...Mungkin aku memang pengin jadi penggantinya."
Perasaan yang terlampau besar yang kupendam terhadap Linus... mungkin memang termasuk jenis itu. Tidak bisa membiarkannya. Tidak mau membiarkannya. Barangkali jiwaku sedang mencari sesuatu yang tak pernah kumiliki seorang saudara kandung.
"...Jangan-jangan, laki-laki itu punya kakak perempuan?"
"? Iya, memang."
Dari tatapan matanya, aku pernah melihat sekelebat ingatan Linus. Namun, tak pernah sekalipun aku bisa membaca apa yang sedang terjadi dengan kakaknya sekarang. Seolah dia tidak ingin hal itu diketahui, selalu segera memalingkan pandang begitu aku mencoba melihat.
Pasti ada luka di sana. Aku tak berniat menerobosnya dengan kasar. Tapi, rasa ingin tahuku tetap ada.
Di depanku, terdengar bunyi cling—cangkir kopi yang setengah habis diletakkan kembali di atas tatakannya. Diiringi nada dingin dari bunyi porselen itu, Evelyn berbisik,
"Kebetulan juga, rupanya. Aku juga punya adik laki-laki. —Hanya saja, aku membunuhnya."
Keheningan turun. Angin sepoi yang tak tahu waktu, lewat ragu-ragu di atas meja.
Aku tidak mengatakan apa-apa. Karena aku sudah tahu. Saat pertama kali bertemu, aku sudah melihatnya—api hitam yang mendidih di balik mata beku Evelyn.
Dengan mata kiri yang terpejam, aku hanya mengangguk pelan sambil berkata, "Begitu." Dan pembicaraan pun berakhir di situ.
Beberapa saat aku larut membereskan sisa parfait, sementara Evelyn diam saja, menatap kanal.
"Ngomong-ngomong, gadis, kau sudah memikirkan soal bayarannya?"
"...Ah."
“Aku sudah menduga hal seperti itu,” ucapnya sambil menghela napas dengan nada tertahan.
"Ya sudah. Aku catat saja di rekening kantor. Pengeluaran sekecil ini tak akan jadi masalah."
Dari balik lengan bajunya, Evelyn mengeluarkan cek kosong, menulis sesuatu, lalu menyodorkannya padaku.
"Pergilah tanyakan, apakah ini bisa dipakai membayar. Kalau tidak, tanyakan saja apakah mereka butuh tambahan satu orang pencuci piring."
—Setelah gadis yang membawa cek itu meninggalkan kursi, beberapa saat berlalu. Tinggal sendirian, Evelyn menyilangkan tangan di depan cangkir kosongnya, membiarkan pandangan menerawang pada pemandangan di seberang.
Saat ia mulai berpikir untuk memesan secangkir kopi lagi—
"Semuanya."
"Hah?"
Dari bangku di belakang, terdengar jelas suara pelayan yang kebingungan.
"Semua kue, pai, dan camilan di kafe ini, sebanyak yang bisa dibuat dari bahan yang tersedia. Cepat, bawa kemari."
"Ta-tapi, Pelanggan… maaf, sepertinya Anda tidak akan sanggup menghabiskan—"
"Engkau tidak melihat?"
Ketika maid hitam-putih melirik ke belakang, seorang wanita berambut pirang yang duduk di kursi itu memancarkan semangat yang begitu menggetarkan hingga membuat si pelayan bingung.
"Engkau tidak melihat luka di hatiku ini, ditinggalkan begitu saja oleh tunangan? Kini hati gadisku sedang begitu putus asa hingga sanggup melahap seluruh langit dan bumi! Paham?"
Yang mendorong si pelayan untuk buru-buru kembali ke dalam bukanlah pengertian—melainkan tekanan mental murni.
Ketika wanita pirang itu menoleh, Evelyn yang menyaksikan seluruh adegan tak bisa menahan diri untuk bertanya. Meski penyamarannya nyaris sempurna, Evelyn tahu itu bukan pertama kalinya melihatnya. Dan ia tahu, wanita bangsawan berambut pirang itu hanyalah penyamaran si penipu waktu lalu.
"Apa sebenarnya yang sedang kau lakukan?"
"Hah! Ja-jangan salah paham! Ini murni aksi makan membabi-buta demi menyembuhkan hati gadis yang terluka, bukan berarti aku melanggar sumpah dietku— …Eh? Maaf, Engkau ini siapa desuno~?"
"Ini aku."
"…Aku tidak merasa punya kenalan maid bermata tajam sepertimu, apalagi yang mulutnya terlihat seburuk ini."
"Apa? Jadi itu yang ada di kepalamu? Kubunuh juga kau. …Dan satu lagi, aku tidak mau dengar omongan seperti itu dari pria yang entah kenapa merasa perlu nyamar jadi wanita. Tolong simpan… kelainanmu itu jauh dari pandanganku, oke?"
"Ny-nyamar…!? Sungguh lancang! Aku ini seorang lady sejati sejak lahir desuwa~!"
"Uwa, (langsung mundur). Kalau aktingmu sudah sampai level ini, rasanya malah horor. Dan kau, nyebut diri lady? Tolong pikir ulang. Mumpung sempat, aku kasih tahu: beberapa hari ini aku sadar kau ngorok keras, dan … kakimu itu bau."
"—(terdiam total)"
Saat itulah, langkah kecil terdengar mendekat, lalu suara Cronica menyela,
"Maaf lama, Evelyn. Makasih, soal bayarannya aman kok—…tunggu, orang itu—"
"…Kau…"
Mata biru-kehijauan wanita pirang itu bertemu dengan ungu kristal bersalju milik Cronica. Dalam sekejap, Cronica mengerti. Ia tahu siapa sebenarnya wanita bangsawan pirang yang selama ini terkait dengan Linus, dan apa identitas aslinya.
Sekilas lirikan cepatnya langsung menyampaikan seluruh kebenaran pada maid hitam-putih itu.
"…Ah, begitu rupanya. Benar-benar mata yang praktis."
Pemahaman situasi dan aksi Evelyn terjadi nyaris bersamaan.
"Sepertinya yang salah paham tadi aku. Atas ketidaksopanan sebelumnya, aku minta maaf sebesar-besarnya. —Sebagai gantinya, mati kau."
Kursi yang ia duduki terjungkal dalam sekejap. Sebuah tendangan melesat seperti bilah pisau—namun hanya membelah udara.
Wanita bangsawan berambut emas itu sudah berdiri entah sejak kapan, menghindar cepat, lalu berkata rendah:
"…Apa-apaan itu."
"Hmm, lumayan juga. Meski kelihatannya bodoh, refleksmu ternyata lumayan."
"Si-siapa yang bodoh desuno~!? T-tidak, tunggu—lebih penting, mata kirimu barusan… Gadis itu jangan-jangan—Doro Cancer!?"
"…Patricia Ushkeen. Tak kusangka, ternyata benar-benar dari ksatria."
"Eh? Apa aku sudah menyebutkan nama? …Ah, ya, memang engkau punya kemampuan seperti itu."
‘Baiklah,’ ujar Patricia sambil sedikit mengangkat ujung rok panjangnya dengan gerakan anggun.
"Bagaimanapun, ini pertemuan yang… merepotkan desuwa~. Kalau kita bertemu di sini, mungkin ini memang takdir. Awalnya aku tak berniat mencari masalah, tapi tugas tetaplah tugas. Jadi, bersikaplah manis… dan menyerahlah."
Itu adalah deklarasi perang yang disampaikan dengan anggukan anggun nan kaku.
Jawaban Cronica justru santai.
"Maaf, sayang sekali, tapi itu mustahil."
"—Umpan yang bagus, Gadis. Kalau begitu, demi keamanan, kau masuk saja."
Dan sosok Chronica itu, seperti sebelumnya, lenyap tanpa gema—seolah ditelan dasar sumur.
Penyimpanan materi ke dalam ranah bayangan. Setelah memindahkan “umpan” yang sudah tak dibutuhkan, Evelyn berdiri dengan senyum seekor predator.
Sebaliknya, Patricia menatap tajam bayangan tempat sang gadis menghilang, lalu berkata dingin,
“Engkau, sebenarnya siapa desuno~? Menurut informasi, Cancer Cell itu seharusnya bersama seorang pria penipu.”
“Hah… jangan terlalu banyak bertanya. Untuk seseorang yang sebentar lagi akan merangkak di tanah, kepalamu terlalu tinggi.”
Para pengunjung kafe kini hanya bisa mengamati dari kejauhan, tak ada yang berani mendekat. Udara dipenuhi ketegangan mencekam, seperti tekanan fisik yang memisahkan teras kafe ini dari kedamaian sore semula.
Tanpa sepatah kata pun, kedua pihak yang saling berhadapan itu mencapai kesepakatan tak terucap:
Salah satu dari mereka akan mati di sini.
Yang bergerak lebih dulu adalah Evelyn, meski tubuhnya sendiri tak bergeser sejengkal pun.
Bayang-bayang dari pepohonan, meja, dan kursi yang memanjang tajam di bawah cahaya sore, tiba-tiba berdiri dan menegang, lalu meluncur seperti rentetan tombak ke arah Patricia.
Tanpa bau, tanpa suara. Serangan mendadak dari bayangan—mustahil terdeteksi. Namun…
“Hmm… bisa dibilang, ini justru pas juga.”
Deretan bayangan yang meluncur hendak menusuknya terbakar habis dari ujungnya, lenyap dalam sekejap.
“Perubahan rencana. Bukan pesta makan gila-gilaan lagi… tapi pelampiasan amarah.”
Di belakang gaun mantel biru muda itu, udara beriak seperti fatamorgana, jelas hanyalah serpihan dari panas dan cahaya yang memancar dari tubuhnya. Daun-daun yang jatuh menjadi arang, ujung taplak meja mulai hangus terbakar.
Lalu, pita biru yang mengikat rambut pirangnya terlepas dan terbakar, seolah menjadi isyarat.
Patricia, yang menuntut dirinya untuk senantiasa bersikap sebagai seorang lady, biasanya menahan seluruh kemampuan fisiknya dan juga panas membara yang mengalir di dalam darahnya. Namun, pada detik ini, ia melepaskannya sepenuhnya.
“Ngomong-ngomong… aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Patricia. Anggota ‘sementara’ Ordo Ksatria, salah satu dari Empat Adipati Besar Selatan—Patricia Ushkeen.”
…Sambil mengalihkan hembusan gelombang panas yang menyentuh pipinya, Evelyn tetap diam, berpikir.
Pikirannya tentu tertuju pada faktor regalia darah bangsawan yang dimiliki lawannya. Kemungkinan besar, kemampuan itu mengendalikan panas; aliran panas tak kasat mata yang menyelimuti tubuhnya mampu mendeteksi sekaligus membakar habis apa pun yang mendekat.
Dari tingkat kendali dan daya keluaran yang terasa, tak diragukan lagi itu adalah regalia tingkat kelas pertama yang sangat kuat.
Sementara Evelyn masih diam, mencari celah untuk serangan berikutnya, si wanita berambut emas itu berkata dengan nada penuh keyakinan…
“Kalau seseorang sudah memperkenalkan diri, sepatutnya kau membalas dengan menyebutkan namamu. Jadi, silakan sebutkan. Tak perlu merasa malu. Bahkan seorang maid desa rendahan seperti dirimu pun masih punya hak untuk menyebutkan namanya sendiri.”
Si berambut emas dan bermata biru itu menyilangkan tangan, tersenyum penuh keangkuhan. Sebaliknya, tatapan dingin pekat bak bulu gagak hanya menjawab singkat:
“Tidak ada.”
“…Apa?”
“Aku bilang, orang sepertimu tak layak tahu namaku.”
Sejenak, Patricia menatapnya dengan wajah datar, lalu bahunya bergetar kecil.
“Fufu… menarik sekali desuwa~, kau ini. — Akan kubunuh sampai tak bersisa.”
“Itu justru kalimatku.”
Ledakan pun meletus, menghancurkan kafe teras yang damai di siang hari itu.
“Jadi, kita kalah, ya.”
“…Kita tidak kalah. Hanya mundur sementara.”
Beberapa menit kemudian, di atas atap sebuah bangunan di tengah kota, Evelyn menepis ujung poni yang hangus dengan wajah kesal.
“Jalang itu… jelas-jelas kemampuan kita saling bertolak belakang. Menyebalkan sekali, punya regalia darah bangsawan yang merepotkan seperti itu.”
Regalia Evelyn, yang memanfaatkan bayangan sebagai medianya, memang rapuh terhadap cahaya dan panas tinggi. Pertarungan tadi nyaris sepihak, memaksanya mundur. Dengan amarah yang belum padam, ia menendang sudut dinding batu hingga retak.
Di tepi atap, dengan punggung menghadap sinar matahari, Cronica berkata:
“Jadi, balas dendamnya malam ini?”
Tak menjawab langsung, Evelyn bergumam seperti berbicara pada diri sendiri:
“Kau akan kuantar ke penginapan. Setelah itu, aku harus bicara dengan kepolisian kota dan pasukan negara bagian.”
“Baiklah. Kalau bisa, pulanglah sebelum makan malam.”
“Aku tak bisa menjamin itu, tapi satu hal bisa kujanjikan.”
Evelyn menatap tajam ke arah matahari yang mulai condong ke barat, lalu mengacungkan jari tengahnya dengan penuh tekad.
“Wanita itu… pasti akan kubunuh.”
“…Kalau nggak kamu tangkap hidup-hidup, kayaknya kita nggak bakal dapat jawabannya.”
Part 9
Tepat saat matahari tenggelam di barat, suara terompet penanda akhir jam kerja bercampur dengan sorak-sorai para buruh.
Aku sendiri, meski memeras sisa tenaga, bahkan suara sekecil dengungan nyamuk pun tak sanggup keluar.
Tapi tetap saja aku berjalan. Bersandar di bahu Johan, aku terus melangkah. Harus melangkah.
Demi menerima upahku.
“Baiklah, Semuanya, kerja bagus hari ini. Seperti biasa, gelas pertama gratis, traktiran dari pemilik bar. Setelah itu, silakan habiskan upah yang baru kalian terima.”
Upah harian para buruh dibagikan di sebuah bar dekat kanal. Sembilan dari sepuluh, pasti mandor dan pemilik bar bersekongkol. Begitu meneguk seteguk bir berbusa yang diberikan bersama upah recehan itu, sisanya tinggal meluncur bebas ke bawah tanpa rem.
Aku sendiri, menjadikan gelas pertama itu sebagai pengganti makan malam, lalu segera membalikkan badan meninggalkan keramaian. Kelelahan yang sudah lewat batas membuat perutku tak sanggup menerima apa pun lagi.
Tapi, seperti yang sudah kuduga—
“Hoi, hoi. Mau kabur sendirian, pendatang baru?”
Begitu berdiri di pintu keluar, sebuah tangan menepuk bahuku dari belakang. Saat menoleh, kulihat seorang lelaki dengan kumis yang belepotan busa bir, menyapa dengan sok akrab yang menyebalkan. Dia rekan kerja yang tadi siang berada di lokasi yang sama denganku.
Deretan giginya yang jelek, seperti masih menyisakan sarapan dua hari lalu, menyeringai sambil menunjuk ke arah dalam bar.
“Masa sih mau pulang tanpa ikut main sama senior-senior? Dikit nyebelin, ya kan?”
“Ajakan judi, maksudnya?”
“Lah, ngerti juga ternyata. Iya, benar… mumpung semua lagi pegang uang, ya kita pakai itu buat sedikit bersenang-senang. Lagian kalau lagi hoki, bisa lumayan tuh untungnya.”
“Haa… ya, tapi… istriku ngelarang, sih.”
Katanya sih, harus cari uang dengan cara yang benar. Baru saja aku bilang begitu, tiba-tiba lengan kekar bau keringat itu melingkari leherku.
“Hoi. Nggak gitu caranya, bro. Jangan bawa-bawa urusan rumah di sini. Semua orang di sini nggak mau, bahkan nggak mau ingat, sama istri dan anak mereka di rumah.”
“Maaf.”
“Hehe, gitu dong. Kalau udah ngerti… ya udah, ikut kan?”
“Ya… kalau cuma sebentar, nggak apa-apalah, ya.”
Dalam hati, aku menyeringai puas. Yah, mau bagaimana lagi? Kan mereka sendiri yang ngajak.
Meja yang kutuju ternyata sudah ada tamu tak terduga.
“...Linus ya?”
“Johan. Kau…”
Tubuh bagian atasnya yang luar biasa kekar berdiri telanjang, tampak melongo tak berdaya. Sepertinya ini memang tradisi tetap—menjadikan pendatang baru sebagai target. Dia jelas sudah kena duluan, dan upahnya disikat habis bersama seluruh pakaiannya.
Bagus. Sekalian saja aku lunasi utang siang tadi.
“Hati-hati. Mereka curang”.
“Kelihatan, kok,”.
Tak perlu sampai dibisiki begitu. Di meja ada tiga orang selain aku, plus dua orang berdiri menonton. Semuanya menatapku dengan pandangan meremehkan. Tapi kalau sampai terlihat jelas begitu, ya kelasnya cuma kelas tiga.
Aturannya dijelaskan singkat, lalu kartu dibagikan. Permainannya standar tukar kartu, lalu adu angka atau jenis kartu yang paling kuat. Tidak ada yang spesial.
Cara mereka berbuat curang pun murahan, saling memberi kode lewat kedipan mata atau isyarat aneh seperti mengendus, lalu menyelundupkan kartu di bawah meja. Sudah jelas ini bukan pertama kalinya mereka melakukannya. Gerakannya cukup terlatih, tapi… ya, cuma segitu saja.
Tak ada kreativitas, tak ada trik baru, bahkan tak ada usaha untuk berkembang. Dan dengan kemampuan rongsokan seperti itu, mereka pikir bisa merampas hasil yang kubayar dengan tenaga dan nyawaku?
Entah sejak kapan pelipisku mulai berdenyut panas. Bukan karena bir yang cuma segelas itu. Ini murni kemarahan yang mengalir di tubuh letihku.
“Raise”
Singkatnya, yang akan kulakukan sekarang hanyalah… melampiaskan kekesalan.
“…A-apa- mustahil…”
Melihat wajah-wajah bego mereka melongo lebar, sedikit rasa jengkelku terhapus.
Beberapa ronde kemudian, di depanku sudah menumpuk lembaran uang kertas kusut hasil rampasan.
Tak ada yang istimewa. Aku hanya membalas trik mereka di bawah meja… dengan kecepatan dan timing yang tepat dan terang-terangan di atas meja.
“D-dia… dia curang!”
Salah satu dari mereka berteriak begitu. Tapi teriakan itu cuma membuktikan satu hal kebodohannya sendiri.
“Telat ngomong. Kalimat itu tuh buat diucapin kalau kau punya buktinya pas permainan masih jalan. Lagian, kalian juga kan asyik ngoprek kartu di bawah meja tadi. Apa kalian pikir cuma kalian yang boleh curang?”
Mengabaikan ocehan mereka yang cuma kedengaran seperti kalah tak mau ngaku, aku langsung menyelipkan uang hasil menang itu ke saku. Tapi—
“Oi, anak baru! K-kau… kau pikir bisa pulang selamat, hah?!”
Dalam sekejap, para berandalan di seluruh bar mengepungku. Di dunia judi, ada satu pantangan terbesar—lebih besar dari rugi besar sekalipun: menang terlalu besar. Apalagi kalau kau menang di wilayah mereka, sudah pasti ceritanya bakal “dihilangkan”.
Itulah sebabnya aku biasanya tak pernah ikut taruhan. Bukan soal uang atau trik, tapi karena aku tak punya modal kekuatan fisik untuk menghadapinya.
Tapi… untuk malam ini saja, sepertinya itu bukan masalah.
“Jadi, semua yang mereka ambil sudah aku balikin… plus bunganya. Jadi, kau mau bantu, Letnan?”
“Siap.”
Sekejap, suasana meledak. Soalnya, pria berotot kekar yang sedari tadi diam seperti pajangan di sudut ruangan kini bangkit, merapikan bajunya, dan krak-krak membunyikan buku-buku jarinya.
***
──Isi perutku yang cuma terisi segelas bir tadi, sekarang sudah berpindah ke jalan belakang bar, keluar semua.
Sambil menghapus sisa di mulut dan mencoba menenangkan napas, aku masih heran—ternyata aku sanggup juga berlari sejauh itu.
“Haa… haa… sial… aku nggak bakal bisa kerja di sana lagi.”
“Tapi kau sudah cukup banyak dapat uang, kan?”
Aku mengangguk lemah. Setelah itu, keributan di bar tentu saja berujung pada adu jotos, bukan obrolan santai, karena semua orang sudah teler.
Yang bikin benar-benar kaget adalah cara Johan bertarung. Satu tendangan darinya bisa membuat dua, tiga orang terpental sekaligus, dan meja kayu utuh dirobeknya seolah roti empuk. Dari siang aku sudah tahu dia tangguh, tapi ini… ini melewati batas “tangguh” sampai membuat bulu kuduk berdiri.
“Pokoknya… terima kasih. Kau menyelamatkanku.”
Baru saja aku bilang begitu, aku teringat gaji Johan yang sudah digasak habis oleh mereka.
Aku keluarkan beberapa lembar uang, bahkan kutambah sedikit. Tapi dia perlahan menggeleng.
“Tidak usah. Baik ucapan terima kasih, maupun uang… aku tak lagi berhak menerimanya darimu.”
“…Apa maksudmu?”
Angin malam yang hangat menyapu pipiku. Cahaya bulan yang redup menyoroti wajah kami berdua.
Plang. Di atas lembaran uang yang ia sodorkan kembali, jatuhlah sesuatu yang kecil, ringan, seperti pecahan.
Apa itu? Begitu aku refleks menajamkan mata untuk melihat—
Seketika, rasa ngeri yang tak terlukiskan menjalar di sepanjang tulang punggungku.
“Masih ingat ini?”
Paru-paruku yang membeku seolah berhenti bernapas. Suara rendahnya yang seperti memastikan kebenaran itu bahkan tak memberiku ruang untuk menjawab.
Benda logam kecil yang berkilau redup. Bentuknya penyok, seakan diremukkan oleh genggaman yang luar biasa kuat—dahulu, itu adalah cincin pernikahan.
Aku mengenali ukiran yang sudah bengkok itu. Aku tahu betul. Dulu, sampai beberapa bulan lalu, cincin itu ada di jariku. Lebih tepatnya—bukan di jariku. Yang mengenakan cincin itu di jari manis sambil mengucap janji cinta yang tulus… bukan aku, melainkan Arthur Tickborne, lelaki yang sebenarnya tidak pernah ada di dunia ini.
Dan sekarang, dengan mata merah mendidih menatapku dari atas, lelaki ini berkata—
“Warna rambut dan matamu, ciri-ciri fisikmu… persis seperti yang ditulis adikku dalam suratnya. Ditambah sikapmu di bar tadi. Dan sekarang… aku yakin. Akhirnya kutemukan kau. Aku bahkan sudah tahu nama aslimu… Linus Kruger.”
Dari lambungku yang kosong, rasa takut dan mual bercampur jadi satu, mendorong naik ke tenggorokan.
“Namaku Johan. Johannes Lorelei.”
Sebagai seorang bajingan… sebagai penipu… aku langsung paham. Johan ini—
“Kakak dari mempelai wanita yang kau tipu… Elza.”
Inilah balasan dari masa lalu yang selama ini coba kuabaikan.
Part 10
『Kepada Kakak Tercinta, Saat ini aku ingin mati.』
Hanya sebulan yang lalu, aku menerima surat dari adik perempuanku di kampung halaman. Isinya penuh dengan kebahagiaan, seperti menuangkan semua sukacita dunia dalam deretan kata, karena dia akan menikah dengan pria yang dicintainya.
Namun kini, dalam surat yang baru tiba, tertulis bahwa sang mempelai pria telah menipunya, merampas harta dan kesuciannya. Isinya seperti menumpahkan segala keputusasaan yang ada di dunia ini.
Tanpa sadar, di barak tempatnya bertugas, Johan menggenggam kertas surat itu hingga remuk.
Sejak kecil, kepada orang tua, guru, dan atasan dia selalu hidup mengikuti aturan. Karena dia percaya: jika hidup dijalani dengan serius, rajin, menaati aturan, dan berusaha keras, masyarakat pasti akan memberinya imbalan yang setimpal.
Dengan begitu—tidak, hanya dengan cara itu dirinya yang canggung ini bisa mendapatkan balasan yang cukup untuk menafkahi kebahagiaan keluarga dan adik perempuannya. Dia selalu percaya pada hal itu. Sampai saat ini.
“Penipu… katanya…?”
Nama aslinya pun tidak diketahui. Dalam surat itu, tertulis bahwa pria itu telah menghilang.
Dia harus dihukum. Dengan tanganku sendiri, aku akan mematahkan lehernya.
Amarah yang tak pernah dia rasakan sebelumnya membakar habis akal sehat dan rasa hormatnya pada aturan. Dalam sekejap, semua aturan yang mengikatnya lenyap begitu saja.
Hari itu juga, seorang perwira muda teladan membelot dan melarikan diri.
…Namun, tentu saja, segalanya tidak berjalan semulus itu.
Sudah lebih dari sebulan sejak ia membelot, tapi petunjuk tentang penipu itu sama sekali tidak ditemukan. Johan berjalan sendirian, tanpa arah. Orang biasa mungkin akan menenangkan diri dan menyesali tindakannya, tapi bahkan akal sehat untuk menyesal pun sudah lama dia bakar habis.
“Elza… El…za…”
Sambil terus menyebut nama adik perempuannya yang paling dia cintai, dia berjalan tanpa tujuan. Upaya tragis namun sia-sia itu seharusnya tidak akan pernah membuahkan hasil.
Sampai sebuah keajaiban turun.
『Jarang-jarang ya, kamu ini orang yang lagi main mati di jalan atau gimana?』
Tanpa diduga, langkah kakinya membawanya ke bank gelap terpencil, tempat terakhir yang dikunjungi si penipu itu.
Di sana, dia menemukan akta kepemilikan rumah tempat penipu itu hidup bersama adiknya, dan sebuah cincin yang telah kehilangan makna cintanya.
Tanpa ragu, dia memukuli pemilik toko yang melawan dengan senapan hingga setengah mati, memaksa semua informasi keluar darinya.
Ciri fisik, tingkah laku, kemana dia pergi… tidak banyak yang bisa didapatkan, tapi itu tidak masalah.
Dia yakin langkah kakinya mengarah tepat ke tujuan. Karena itu, meski butuh waktu selama apapun, dia akan mempertaruhkan sisa hidupnya untuk menemukan dan membunuh pria itu.
Sampai saat itu tiba, dia tidak punya muka untuk bertemu adik yang malang itu.
Setelah kembali menguatkan sumpahnya, kira-kira sebulan lebih kemudian, di kota kanal Philadélion—
Keajaiban kedua akhirnya turun di hadapan pria yang telah keluar dari rel kehidupannya.
Part 11
Berlari. Berlari.
Di lorong belakang yang hanya diterangi cahaya bulan yang redup, aku berlari lurus tanpa menoleh sedikit pun. Tenagaku sudah habis sejak tadi, tapi ada satu alasan yang membuatku tetap memaksa tubuh ini untuk menjauh sejauh mungkin dari ancaman yang mendekat.
“Hah… sial… brengsek… argh!”
Mungkin aku sebenarnya sudah menyadarinya. Aku masih ingat jelas isi percakapan antara Arthur dan Elsa, termasuk saat dia menyebut bahwa kakaknya yang terpaut cukup jauh usia sedang berada di militer.
Tapi kenapa aku dikejar? Segala urusan, termasuk mengurus uang dan barang rampasan, sudah kutangani dengan sempurna saat kabur di malam hari.
Karena itu, aku pikir mustahil dia bisa membuntutiku. Aku menolak menghubungkan kemungkinan itu dengan kenyataan, sekarang aku malah berakhir tanpa jalan keluar, dikejar oleh otot-otot penuh niat membunuh.
“—!!”
Tiba-tiba, pandanganku terbuka lebar ke kiri dan kanan. Cermin yang memantulkan cahaya bulan di langit malam adalah aliran besar air yang mengalir tenang, aku sudah sampai di jalan tepi kanal.
Aku menempelkan punggung ke sudut bangunan yang kutembus, lalu mengintip kembali ke lorong belakang. Tapi sosok Johan sudah tak ada, dan entah sejak kapan suara langkahnya pun hilang. Apa mungkin aku berhasil kabur?
Aku menarik napas, mencoba menenangkan diri sambil menoleh ke sekitar. Dan pada saat itulah—
Sebuah dentuman mengerikan mengguncang gendang telingaku dan membuat permukaan air bergetar bersamaan.
Di gudang besar tepat di sebelahku, pintu kayu besar yang terkunci palang hancur berantakan dari dalam.
Lalu, dengan langkah perlahan, menapaki pecahan kayu dan potongan besi bertekan paku, sang malaikat maut muncul di bawah sinar bulan.
“…Maafkan aku, Elza.”
Aku terdiam, tak mampu berkata apa-apa. Uap putih membubung seperti amarah yang meledak. Suara turbin berputar menusuk telinga. Di punggungnya, terpasang Steam Engine—mesin uap dari baja.
Tenaga yang dihasilkan mengalir melalui poros engkol, lalu tersambung ke dua senapan Gatling di masing-masing lengannya yang tebal, berputar berderit oleh gaya inersia.
Mendadak, ingatan tentang halaman berita di koran lokal yang kubaca kemarin melintas di kepalaku.
『Di ketentaraan, telah terjadi pencurian perlengkapan oleh seorang prajurit yang membelot… Saat ini penyelidikan sedang dilakukan secara intensif. Di antara perlengkapan militer yang hilang, termasuk senjata model baru yang dilengkapi Steam Engine Buff Motor (※bahasa asli) yang dibeli pemerintah dari Kekaisaran Uap Elbion, dan dikhawatirkan akan jatuh ke tangan kelompok anti-revolusi.』
“Tidak… tidak mungkin…”
Itu seharusnya adalah senjata yang biasa ditarik dengan kuda, dipasang oleh beberapa orang di posisi pertahanan, lalu digunakan untuk menghadapi pasukan musuh yang besar.
Tidak mungkin, bahkan dalam kesalahan terbesar sekalipun, senjata itu dipasang oleh satu orang, apalagi hanya untuk menargetkan seorang penjahat sepertiku.
Senjata itu adalah Steam Gatling Cannon buatan Kekaisaran Uap—senjata berat bertenaga uap.
Kekuatan mematikannya begitu besar hingga mampu memusnahkan satu batalion penuh yang bersenjata lengkap. Dan kini, pada detik ini, ujung kekerasan yang terlalu berkembang itu, tanpa salah tafsir sedikit pun, sedang membidik tepat di antara kedua alisku.
“Seharusnya… aku yang melindunginya. Adikku… seharusnya aku yang melindunginya…”
Keringat dingin mengalir seperti air terjun dari lututku yang bergetar, menetes deras ke bawah.
Apakah itu penyesalan atau ratapan? Bisikan Johan terdengar seperti jeritan roda gigi yang rusak menjelang kehancuran.
“Maafkan aku, Elza. Nii-san… tidak bisa… tidak melakukan… apa pun untukmu.”
Di ujung kedua lengannya, senapan mesin raksasa itu mulai berputar perlahan namun mantap.
Putaran persiapan untuk melakukan tembakan sapuan. Begitu aku menyadarinya, barulah naluri bertahan hidupku kembali menggerakkan kaki.
“Karena itu… setidaknya… aku akan membunuhnya. Aku pasti akan membunuh orang ini.”
Dan dengan raungan bertubi-tubi dari bubuk mesiu dan timah panas yang meledak, dimulailah kisah balas dendamnya… dan perjalanan nekatku.
Part 12
Malam itu, pada waktu yang sama.
Di atas jembatan baja besar yang sepi, membentang di atas kanal, dua perempuan berdiri saling berhadapan.
“Ada urusan apa kau di sini desuno~, anjing kalah?”
“Hah? Aku tidak kalah, aku hanya mundur.”
“Ah, itu artinya kurang lebih sama saja, kan?”
Patricia tersenyum mengejek, seolah bosan menghadapi maid bodoh yang masih berani menantangnya lagi.
“Di mana Cancer Cell itu? Kalau mau mengaku, aku bisa membiarkanmu kabur sekali lagi.”
“Hah, itu bukan lelucon yang lucu. Siapa bilang aku akan kabur?”
“…Barusan engkau sendiri yang mengatakannya?”
“Aku lupa. Aku punya prinsip untuk tidak menoleh ke masa lalu.”
“Itu bukan alasan untuk buru-buru mati. …Kuperingatkan saja, mempertaruhkan nyawa tidak akan memberimu peluang menang. Karena Factor-mu itu punya kecocokan terburuk dengan milikku.”
Dengan ekspresi seakan lelah menghadapi kebodohan lawan, sang wanita bangsawan mengangkat kedua bahunya yang berbalut rambut pirang.
“Factor darah bangsawan yang mengendalikan bayangan. Namun pada akhirnya, itu hanyalah hasil dari tempat yang tak tersentuh cahaya. Seperti namanya, ia lemah terhadap cahaya dan panas. Artinya, kemampuanku, White Flare, adalah musuh alami bagimu.”
Patricia mengucapkannya dengan penuh percaya diri. Tapi Evelyn sama sekali mengabaikan ucapannya, lalu bertanya pelan.
“Sebelum aku membunuhmu, ada satu hal yang ingin kutanyakan.”
“Apa itu? Sebelum aku membalas dan menghabisimu, Diriku bisa menjawabnya.”
“Mengapa kau mau menjadi pion penyerang bagi Ordo Ksatria? Padahal setelah revolusi, kau tetap hidup santai tanpa kekurangan apa pun. Kenapa sekarang tiba-tiba ingin melawan pemerintah?”
Patricia menjawab tanpa berpikir panjang, seolah yang ditanyakan adalah hal yang sama sekali tidak penting.
“Tidak ada alasan lain selain kewajiban. Bagi aku, misi Ordo Kesatria hanyalah sesuatu yang kulakukan demi formalitas. Aku hanya memanfaatkan mereka demi jalan cintaku, yang lebih penting daripada apa pun.”
Sekali lagi, sang wanita bangsawan menegakkan dada dan menegaskan ucapannya. Evelyn, maid berbalut hitam dan putih itu, menatapnya dengan nada jengkel.
“Baiklah, sekarang aku paham betapa bodohnya dirimu itu. Jadi, biar aku beri tahu—apa pun alasannya, ikut serta dalam kegiatan organisasi anti-pemerintah adalah kejahatan berat. Begitu juga dengan penggunaan Factor tanpa izin. Artinya, di bawah hukum negara ini, kau hanya selangkah lagi menuju tiang eksekusi.”
“Aku tak peduli.”
Jawaban itu meluncur cepat, menembus jarak di antara mereka bagaikan denting lonceng perak.
“Itu tidak penting. Apa pun dosa atau hukuman, tak ada yang sebanding dengan api yang membara di dadaku ini. Daku akan segera menyelesaikan pekerjaanku, lalu sekali lagi… mencari dan menemui orang itu. Kalau engkau berani menghalangi, maid rendahan sepertimu akan kubuat jadi abu di tepi perapian.”
Tanpa memberi celah, ajakan untuk menyerah itu ditendang mentah-mentah. Yang dibalas justru adalah pernyataan perang yang nyaris seperti ancaman.
Namun Evelyn hanya tersenyum tipis, seperti seekor predator yang baru saja dilepaskan ke medan buruannya.
“...Aku tidak suka wajahmu itu. Sekarang aku semakin ingin menghajarmu.”
“Kebetulan sekali. Aku pun begitu.”
Dan bersamaan dengan sinar bulan yang menembus celah awan, di antara keduanya seakan bergema gong perang tanpa suara.
Serangan pertama datang dari Evelyn. Seragam maid hitam-putih itu lenyap ke dalam kegelapan malam di bawah sinar bulan, lebih cepat dari kedipan mata.
Namun, berkat jaring deteksi panas yang segera ia sebarkan Thermal Radar Patricia berhasil menangkap jejak perpindahan instan dari arah belakangnya. Ia berbalik seketika dan melepaskan pukulan balik… yang ternyata menghantam udara kosong.
Sesaat kemudian, sebuah tendangan dari arah lain menghantam tepat di sisi wajahnya.
Bagaikan peluru, Patricia terpental jauh, membentur rangka baja di seberang jalur jembatan.
Serangan hit-and-run. Sekali lagi Evelyn menghilang ke sisi gelap malam.
“Kau tahu posisiku, tapi tidak akan bisa mengejarku. ‘Shadow Taker’-ku semakin cepat, berat, dan kuat seiring pekatnya bayangan. Alasan aku kabur siang tadi… hanya untuk menunggu malam.”
Patricia bangkit dengan gerakan garang, dan yang ia lihat adalah bayangan yang berloncatan dari tempat gelap ke gelap lainnya.
“Masih banyak yang ingin kutanyakan… tapi sisanya akan kutanya sambil membunuhmu.”
Suara itu bergema entah dari mana, meninggalkan hanya sisa ujung kata-katanya. Sementara itu, bayangan yang berlari semakin menambah kecepatannya, hingga akhirnya keluar dari jangkauan deteksi panas Patricia…
“Jangan remehkan aku. White Flare, perluas area panas.”
Ledakan panas dan cahaya dilepaskan. Di atas kepala Patricia, sebuah sumber cahaya dan panas lahir — meniru matahari.
Cahaya putih seterang siang hari menyapu bersih kegelapan di atas jembatan besi. Kekuatan panas dan cahaya itu begitu besar, sampai-sampai dapat membakar retina penduduk di kedua tepi kanal yang dengan malang terbangun. Malam bulan itu pun direnggut secara paksa, tercabik dari langit.
“Terserah, mau tetap bersembunyi atau keluar sekarang. Bagaimanapun juga, Engkau akan kubakar sampai tak bersisa… seperti cacing tanah. …Dosa menendang wajahku itu terlampau berat, tahu?”
Dalam sekejap, malam itu berubah menjadi siang. Dari tepi luar area panas, sebuah bayangan hitam melesat keluar, berusaha kabur dari teriknya cahaya, sekilas melintas di ujung pandangan mata zamrud Patricia.
“Di situ kau desuwa~— area panas, fokus!”
Sekejap kemudian, panas yang terlampau besar dikompresi secara ekstrem, memicu ledakan dahsyat yang menggelegar. Gelombang ledak memecah permukaan jalan, memutus beberapa kabel penyangga jembatan besi, hingga air kanal di bawahnya memercik tinggi.
Lalu, dari pusaran api ledakan itu, sebuah tendangan terjun menghantam tepat di pelipis Patricia.
“Gahhh!!!??!?”
Benturan yang sanggup menghancurkan kepala manusia ratusan kali lipat itu melemparkan Patricia dari atas jembatan besi, bagaikan tembakan meriam, terhantam jauh ke arah hulu kanal, nyaris satu mil jauhnya.
Tempat ia jatuh adalah di bawah jembatan batu tua Avignon, peninggalan zaman yang sudah tertinggal.
Dengan punggung diterpa dingin cahaya bulan, Evelyn mendarat di atas lengkungan jembatan, ditopang pilar-pilar berlumut, memandang ke bawah pada semburan air dengan tatapan sedingin es.
Penampilannya kini jauh berbeda dari biasanya. Seluruh tubuhnya dibalut kegelapan hitam pekat yang seolah terbuat dari lapisan demi lapisan malam itu sendiri. Bayangan dua dimensi di bawah kakinya, tipis tanpa ketebalan, terserap masuk ke tubuh, menjadi lapisan sihir yang terus memperkuatnya.
“Begitu… jadi itu rahasianya.”
Permukaan air meledak, dan Patricia muncul kembali di atas jembatan batu, air yang membasahi tubuhnya menguap dalam sekejap. Di bawah kabut uap yang mengepul, setetes darah panas mengalir turun dari wajahnya yang sempurna.
“Jadi, kau menumpuk bayangan berlapis-lapis untuk menahan panas dan cahaya seranganku… sambil memompa kemampuan fisikmu sampai batasnya. Dan setiap energi yang terpakai, langsung kau isi ulang dari kegelapan malam di sekitarmu. Begitu, kan?”
Berdiri berjarak beberapa langkah, Patricia melemparkan senyum pada lawannya.
“Untuk maid rendahan, gaun perangmu cukup mengesankan. Aku akui itu.”
“Mendapat pujian darimu? Sama sekali bukan kehormatan bagiku. Dan kau juga… cepatlah berganti pakaian.”
Sambil memberi isyarat dengan tangannya, Evelyn yang terbungkus gelap malam seperti sengaja memancing lawan.
“Pertarungan jarak jauh hanyalah pemanasan. Bagi kami yang mengenakan darah sendiri… pertarungan sesungguhnya dimulai dari sana.”
“Benar sekali. Kekuatan Regalia, faktor darah bangsawan akan melemah semakin jauh dari sumbernya: detak jantung. Jadi, apa metode bertarung paling efisien? Jawabannya jelas.”
Patricia mengangguk, sepenuhnya setuju. Di jarak inilah, malam ini akan ditentukan pemenangnya.
““Karena itu, kemampuan sejati kami adalah—””
Dengan suara bertumpuk, keduanya menyatakan dengan tegas:
““Tak ada yang menandingi pertarungan jarak dekat, full contact!””
Begitu kata itu terucap, panas destruktif mengalir dalam tubuh Patricia. Darahnya mendidih, memecahkan pembuluh darah, menyembur keluar lalu menyala saat bersentuhan dengan udara, membentuk busur api emas yang menyelimuti dirinya dengan kilau mewah.
Dulu, para bangsawan yang saling membenci melampiaskan dendamnya melalui olahraga perang pengganti dengan rakyat jelata sebagai pion. Yang mati hanyalah orang biasa, darah bangsawan tak pernah tumpah, dan tak ada alasan untuk itu.
Namun, jika nyawa sendiri pun dipertaruhkan demi menuntut kematian lawan… maka, apa yang akan mereka lakukan?
“Shall we dance?”
“Yes, of course.”
[TL Note: dari raw nya bahasa inggris ye]
Bayangan dan cahaya. Keduanya berdiri dalam posisi siap, tanpa sedikit pun ketegangan berlebih. Anggun seperti angsa di tepi danau sunyi, kaki mereka terbuka dengan elegan, lengan terulur lembut. Tanpa perlu bicara, jarak di antara mereka pun diatur dengan sempurna.
Hembusan angin malam yang dingin membuat permukaan kanal beriak halus.
Itu menjadi aba-aba. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah… langkah-langkah yang mereka rajut tak cepat, tak pula lambat. Bunyi hentakan sepatu hanyalah untuk menembus celah kesadaran lawan, menyelip di sela tarikan napas dan entah bagaimana, iramanya selaras sepenuhnya.
Dua hentakan terakhir berbunyi bersamaan. Tubuh mereka berpapasan seolah saling merengkuh dan tepat di detik itu, dalam jarak dan waktu yang tumpang tindih, mereka bertabrakan.
“—!!”
Hook kanan dilancarkan secara simetris, sama-sama ditepis dengan tangan kiri lawan; tendangan memutar saling beradu, dan pantulan tenaganya digunakan keduanya untuk melanjutkan serangan berikutnya—dalam sekejap, belasan pukulan dan tendangan bertukar di sela gerakan mereka.
Hanya gema udara yang pecah setelahnya yang tertinggal di tempat itu, sementara keduanya sudah kembali berhadapan, kini dengan posisi kiri dan kanan yang saling bertukar.
Pertarungan Tari Istana—Noble Cross.
Berasal dari pesta dansa yang dahulu diadakan kalangan bangsawan demi bersosialisasi.
Seperti halnya perselisihan sehari-hari yang berkembang menjadi adu mulut, lalu debat panas yang berujung duel mematikan—maka tak terelakkan jika tarian pun, di panggung itu, berevolusi menjadi pertarungan.
Dari jarak jauh, kedua pihak melangkah mendekat, lalu dalam sekejap saat berpapasan, bertukar pukulan telanjang tangan yang ditujukan untuk membunuh—itulah Etiket Jarak Dekat Berkecepatan Tinggi (High Velocity Close-Range Etiquette), seni duel super-sekejap dengan jarak nyaris menempel.
Ciri khasnya: semakin seimbang kemampuan kedua petarung, semakin sengit pula tarik-menarik nyawa yang terjadi—
“Kh…!”
“Ghhk!”
Enam belas serangan beruntun, pukulan, sikut, dan bahkan bilah bayangan menembus pertahanan, mengoyak sisi tubuh Patricia.
Sebagai balasan, tebasan tangan terbuka yang panas membara, sang counter pemutus daging dan tulang, membakar dalam-dalam sisi wajah kanan Evelyn.
Darah memercik, terhempas di udara. Keduanya berpapasan, kembali saling menatap, lalu ditarik seakan oleh magnet untuk kembali mendekat.
Dalam momen tumpang tindih itu, dua nyawa mengasah ujung pedang mereka satu sama lain.
Di tengahnya, dentuman kaki yang mampu memecahkan jembatan batu, dan gelombang kejut dari tinju yang terayun, tanpa sengaja berpadu menjadi satu melodi.
—Ritme pertarungan tari itu indah dalam keselarasan.
Sebuah bentuk duel kuno, di mana seluruh teknik dan darah dicurahkan, dan segala sesuatu dipertaruhkan di ujung detik.
Dan di sana, kilau darah dan nyawa yang memercik, lebih dahsyat daripada sinar bulan, menerangi kanal malam itu dengan kegemilangan yang mengerikan.
Part 13
Dengan masih mengenakan piyama sutra, aku tidak kunjung tertidur.
Mengandalkan cahaya bulan yang samar sebagai ganti lilin lemak hewan yang menyengat baunya, aku membalik-balik halaman buku harian di tanganku.
Sambil mengunyah kembali kenangan-kenangan masa lalu, pikiranku tetap terikat pada masa kini, terus saja berputar pada dua orang yang tidak ada di sini.
Linus belum pulang. Begitu pula Evelyn.
Makanan malam di atas meja sudah lama dingin, seakan menyerah menunggu.
“Ya… memang sudah kuduga bakal begini…”
Mungkin sekarang Evelyn sedang berada entah dimana, menyelesaikan urusannya dengan wanita bangsawan itu—Si Patricia dari Ksatria.
Terus terang, aku tak terlalu khawatir. Saat malam tiba, faktor darah Evelyn dapat bekerja sepenuhnya, dan walau lawannya cukup kuat, aku rasa mustahil maid itu kalah.
Alasannya kutemukan di mata mereka.
Di balik tatapan dingin Evelyn, tersembunyi kehancuran pekat yang bisa saja meluluhlantakkan dirinya sendiri, bergolak seperti lava hitam. Panas itu… jauh lebih dalam, lebih gelap, dan lebih dahsyat daripada cinta membara milik Patricia.
Karena itu, yang paling mengusik pikiranku justru orang satunya lagi—si penipu itu.
"…Benar-benar, ke mana saja dia keluyuran…"
Dia kan laki-laki. Setelah kerja fisik yang berat, mungkin dia menenggak minuman sampai mabuk, lalu tidur di lorong belakang entah di mana. Atau… mungkin dia memang tidak mau bertemu denganku.
Tanpa sengaja, jariku lepas dari halaman buku harian.
Tanganku, yang terhimpit di dada, menggenggam erat, seakan mencoba meredam denyut nyeri yang menusuk di sana.
Sekarang, aku cukup menyesalinya, aku memang sudah kelewatan waktu itu. Aku pun tahu amarah ini tak sepenuhnya tepat sasaran.
Tapi entah kenapa, jika sudah menyangkut dia, aku tak bisa tetap tenang. Dorongan kekanak-kanakan yang memalukan kadang menguasai diriku.
Perih sekaligus gatal di hati ini… rasanya menyakitkan, namun juga memilukan. Perasaan yang baru pertama kali kurasakan ini membingungkanku—anehnya, aku tak merasa ingin menolaknya.
Dan ada satu hal lagi yang belum kupahami. Aku masih belum bisa melihat dasar hatinya.
Kenapa dia menjadi seorang penipu?
Setiap kali mata kami bertemu, aku sudah berkali-kali mencoba mengintip ke dalamnya—tapi selalu, inti itu terkunci rapat oleh tak terhitung banyaknya topeng, kehidupan yang bukan miliknya, yang menutupi semuanya.
Ya. Karena itulah aku tertarik… dan ingin melakukan perjalanan bersamanya. Itu adalah awal segalanya.
Sambil menelusuri halaman hari itu dengan ujung jariku, aku menghidupkan kembali di dalam hati waktu saat aku bertemu dengannya.
…Namun, sekarang, aku hampir tak bisa mengingatnya lagi.
Ingatanku rapuh, hancur lebih mudah daripada permen gula. Bahkan suara dan wajahnya, yang seharusnya sudah kucatat dan kupatrikan dalam kata-kata, kini terasa jauh.
Refleks, pandanganku beralih ke barang-barang yang berserakan di ranjang sebelah, ke peta yang telah ditandai rute tersisa menuju laut.
Jarak yang tinggal… hanya sedikit lagi.
Apakah kami akan sempat?
Dan yang lebih penting—akankah ada penyesalan yang tersisa? Saat aku mencoba menghitungnya satu per satu… pandanganku pertama-tama tertumbuk pada topi di ranjangku.
Topi yang tak pernah sempat kuberikan padanya.
“…Bodoh.”
Sebenarnya, siapa yang bodoh? Dia… atau aku? Namun untuk sekarang, aku singkirkan pertanyaan itu.
Ketika dia pulang nanti, aku akan meminta maaf. Dan aku akan menghapus setidaknya satu penyesalan.
Begitu aku memutuskan itu—Tiba-tiba, pandanganku berguncang.
Perasaan seperti kepalaku terangkat dari tubuh menyerangku, dan sebelum sadar, aku sudah jatuh dari ranjang.
Saat aku berusaha meraih buku harian dan bangkit, aku menyadari bahwa bahkan itu pun sulit kulakukan—napasku terasa amat sesak.
Papan lantai yang menempel di pipi terasa sangat dingin. Atau… mungkinkah tubuhku yang menjadi panas?
Apa ini?
Saat aku kebingungan menghadapi sensasi aneh yang tak bisa kujelaskan, sebuah suara dari ingatan kemarin bergema.
“Kau masuk angin?” —begitu dia menanyaiku saat itu.
Namun, hingga saat ini aku tak pernah tahu. Karena bagi seorang “sel kanker” sepertiku, itu adalah hal yang tak ada sangkut-pautnya.
Tapi sekarang… rupanya berbeda.
Maka, ini jelas pertanda baik dan aku yakin akan hal itu. Namun rasa panas yang mencengkeram dari dalam tubuh ini adalah pengalaman pertama bagiku. Aku tak tahu harus bagaimana menghadapinya.
Yang pasti, setiap kali batuk, dadaku terasa sangat perih dan hatiku dicekam rasa sepi.
“Li…nus…”
Ketika kurasakan hangatnya setetes air yang mengalir dari mata kananku, aku baru sadar, aku tengah memanggil namanya.
Part 14
Mungkin… beginilah yang disebut “karma”.
Kalau memang begitu, dunia di mana hal seperti ini bisa terjadi jelas sudah keterlaluan.
“U—OOOooooooohh!!?”
Suara berputar dari laras berganda, mirip raungan binatang buas, disusul deru hujan timah yang menghantam keras, menjadi bukti bahwa dinding bata gudang tempatku bersembunyi sedang terkikis habis.
Di hadapan maut yang kian mendekat, aku nyaris terhuyung-huyung berhasil menjatuhkan diri ke salah satu gudang di tepi sungai.
Kegelapan di tempat persembunyian itu dipenuhi aroma kayu yang sedikit beralkohol—bau yang sudah terlalu sering kucium siang tadi.
Sekejap kemudian aku sadar: ini gudang penyimpanan bir.
Tepat saat itu, suara runtuhnya sesuatu yang keras bergema, dan rentetan tembakan menyapu masuk ke dalam gudang.
Mengikuti naluri, aku merapat seperti tikus ke balik salah satu tong bir terdekat.
“Tunjukkan dirimu. Aku tahu kau masih hidup.”
Bau mesiu mulai memenuhi udara. Suara langkah yang menginjak pecahan mortar dan bata yang baru saja dihancurkan, diiringi suara Johan, bagai vonis mati dari malaikat pencabut nyawa.
“Keluar! Tunjukkan dirimu! Akan kubunuh kau! Linus… Krügerrrrrr!!”
Aku meringkuk di balik tumpukan tong, sementara teriakan itu disusul raungan mematikan dari senapan mesin.
Getaran hantaman peluru merambat di punggungku. Sebuah peluru bahkan menembus tong bir dan tembus hanya beberapa senti dari wajahku.
Di sela bau mesiu, tercium aroma pahit yang menusuk hidung. Suara bir yang memancar dari tong-tong di sekeliling memberitahuku satu hal: perlindungan di sekitarku sedang berangsur-angsur berubah jadi ruang kosong.
Sial. Apa yang harus kulakukan? Pikir. Tenang. Bagaimana caranya… bagaimana aku bisa bertahan hidup?
Di tengah rasa takut yang membuat gigi bergemeletuk, aku memaksa diri menarik napas dalam-dalam, mencoba menyalakan kembali kejernihan di kepalaku.
Entah sudah berapa lama berlangsung—rentetan tembakan itu akhirnya terhenti, walau hanya sesaat. Keringat dingin dan ketakutan membuat tangan kakiku seolah terpaku di tempat.
Dengan hati-hati aku mengangkat kepala. Sekilas kulihat uap putih mulai melayang di udara gudang. Yang terdengar hanyalah raungan turbin, seakan menjadi penerjemah amarah Johan.
Tenaga yang dihasilkan dialirkan lewat poros engkol, memberi daya tembak mengerikan pada dua pucuk gatling di tangannya. Kecepatan tembaknya… dalam hitungan detik saja cukup untuk menggiling tubuh manusia menjadi daging cincang siap jual di toko daging.
Tak ada pilihan lain selain membeli waktu.
Dengan tekad itu, aku berteriak dari balik tumpukan tong:
“Johan! Kumohon, tenanglah! Aku mengaku, menipu adikmu memang salah. Aku minta maaf, dan aku akan kembalikan uangnya! Untuk keperawanannya… itu aku tak bisa mengembalikan, tapi—”
“Mati!!.”
Meriam berputar itu kembali meraung melengking, membabat gudang tanpa ampun. Tong-tong bir dari kayu oak yang seharusnya kokoh meledak satu demi satu, seperti semangka yang dihantam godam.
Aku menekan kepala dengan kedua tangan, meluruskan kaki sambil menindihnya, lalu menelungkup di genangan bir, mencoba menyatu dengan lantai seperti karpet. Itu semua demi mengurangi area tubuh yang bisa terkena peluru. Harapan untuk perlindungan dari tong-tong itu sudah tak ada lagi.
Sebuah peluru pantul hampir mengenai pahaku dan tepat saat aku sadar, reruntuhan tong yang roboh menimpa punggungku, membuatku mengerang seperti katak.
Tapi aku harus bertahan. Aku harus membiarkannya menembak lebih lama lagi.
Setelah sekali lagi melewati ilusi waktu yang terasa abadi, paduan suara kematian itu tiba-tiba terhenti. Lalu, suara klik lidah yang pendek.
‘Tepat seperti yang kuduga, dasar bodoh,’ aku mencibir dalam hati. Terlalu terbakar emosi, dia menembak berlebihan.
Aku perlahan bangkit, melihat asap putih tebal memenuhi gudang. Uap sisa yang tak dimanfaatkan ulang mesin sudah cukup menyesaki ruangan.
Udara malam yang lembap dan fakta bahwa ini ruang tertutup membuat Johan kini pasti tak bisa melihat jarinya sendiri—ibarat tersesat di kabut pekat.
Tentu saja efek kabut ini takkan bertahan lama. Uap itu akan lepas keluar lewat lubang di dinding yang ia buat tadi. Paling lama, belasan detik.
Jadi, satu-satunya hal yang harus kulakukan sekarang adalah—tidak lari.
Untungnya, saat keributan di bar tadi, tanpa sadar aku sempat mengutil sebuah pistol dari salah satu berandalan.
Aku arahkan moncongnya ke sumber raungan turbin, lalu menarik pelatuk.
Empat tembakan spontan itu rupanya cukup membawa keberuntungan. Kuduga, pelurunya mengenai rotor kompresi—bagian yang dilalui uap panas sebelum diubah menjadi tenaga.
Kalau tidak, takkan ada ledakan yang mengguncang gendang telingaku dan semburan panas yang menampar wajahku.
Ledakan uap yang tak terduga itu bahkan merobohkan dinding dalam gudang. Sinar bulan yang dingin menembus masuk, memantul di lautan bir yang menenggelamkan bangkai meriam yang hangus.
Yang mengejutkan, di tengahnya Johan masih berdiri dengan tubuh utuh—meski ototnya gosong dan compang-camping.
Aku menodongkan pistol yang masih menyisakan satu peluru tepat ke arahnya, lalu berkata:
"Sepertinya keadaan sudah berbalik. …Tapi kalau dipikir-pikir, senjata yang bisa meledak cuma gara-gara peluru itu kebangetan sih. Kau membawa senjata cacat, ya."
Aku tak berharap dia akan menjawab. Tapi entah bagaimana, gendang telinganya rupanya masih berfungsi.
"Aku koreksi. Ini meledak karena aku membawanya dari pos meriam lapis baja tetap. Kelemahan di bagian tenaga itu seharusnya tak jadi masalah. Dan satu hal lagi… keadaan ini, tidak berubah sedikit pun."
"Ap…!? yang benar saja—!!"
Begitu ia menyatakan itu dengan bibir gosongnya, Johan langsung menerjangku dengan kecepatan buas. Aku refleks menembak ke arah kakinya. Semburan merah yang terlalu mencolok bertebaran di kegelapan—kena sasaran. Tapi dia tak berhenti.
Suara klik kosong dari pelatuk yang kehabisan peluru terdengar tepat sebelum hentakan luar biasa menghantam perutku. Punggungku terbanting ke tumpukan tong. Aku tetap menggenggam pistol, tapi percuma.
"Ugh… ka—kau… sungguh… ma—"
"Itu bukan masalah. Aku bisa berhenti jadi ‘manusia’ kapan saja… asalkan aku bisa membunuhmu."
Jari-jari tebal itu mencekik leherku. Namun yang lebih buruk, itu bukan untuk membuatku pingsan perlahan, tapi untuk menahan kepalaku agar tinju besi itu bisa menghantam wajahku. Sekejap, kesadaranku terpental ke ambang maut.
"Tak perlu alasan. Aku akan memukulmu sampai kau tak bergerak. Lalu kumasukkan ke dalam tong dan kulempar ke kanal depan. Setelah itu… semua akan ‘hilang terbawa arus’."
Pukulan. Pukulan. Tendangan lutut. Lagi, pukulan, pukulan, pukulan. Badai kekerasan tanpa sebutir pun belas kasihan dan justru karena itu, setiap hantaman menjejalkan amarah dan penyesalan yang begitu nyata ke inti diriku.
"Ga… haa…"
Penglihatanku kabur. Nafas tersendat oleh gigi patah dan darah yang mengalir deras. Dalam pandangan yang terdistorsi oleh kekurangan oksigen, entah kenapa, hanya wajah Johan yang terlihat jelas—rahang terkatup rapat, penuh amarah.
Tak diragukan lagi, dia benar-benar murka. Hanya karena adik perempuannya disakiti, ia menanggalkan rasio dan logika begitu saja.
Dan aku… aku mengerti itu. Sejelas aku memahami diriku sendiri. Karena "aku" juga pernah begitu.
Dari jauh di dalam ingatan, suara koin bergemerincing nyaring. Nēsan, ore wa anata ■■■■ koto ni ■■■■ nakute,dakara sagi-shi ■■■■■ tta noda.
Retakan yang tajam merambat di dalam diriku. Itu luka yang jauh lebih mematikan daripada semua lebam di tubuh—celah yang menghantam inti keberadaan “diriku” sebagai seorang penipu.
…Ah,sebenarnya kenapa aku bisa mengalami hal seperti ini? Aku paham, Ini akibat dari perbuatanku sendiri. Tapi ada satu hal lagi yang menuntunku pada takdir ini, membawa langkahku sampai di sini—mata kirinya… dan gadis itu.
Entah kenapa, sebelum menerima segala konsekuensi yang mengikat antara kami, aku merasa masih ada sesuatu yang belum sempat aku katakan padanya.
Dari hati yang retak, hal itu jatuh begitu saja.
Kemarin yang terasa seperti masa lalu yang amat jauh, aku mengingatnya. Saat itu, mata gadis yang menatapku entah kenapa dipenuhi air mata—
Aku belum sekalipun meminta maaf pada Cronica.
Bersamaan dengan itu, sesuatu dalam diriku seperti terlepas. Dorongan seperti aliran listrik menggantikan oksigen di seluruh tubuhku, membuatku menggerakkan otot sekali saja. Aku menghantamkan gagang pistol yang sudah kehabisan peluru dengan gerakan mirip pukulan balik ke tong tepat di samping wajahku.
Terdengar suara pecah yang tumpul, lalu hasil yang kuinginkan langsung terlihat.
Bir itu—bahkan di dalam tong, masih berfermentasi.
Tekanan gas yang terlepas. Cairan yang menyembur dengan kuat menghantam wajah Johan. Selain karena serangan mendadak, semburan itu juga bercampur dengan endapan seperti hop dan zat penjernih. Sensasi licin dan asing itu pasti akan secara refleks membuat siapa pun berusaha menghindar, menciptakan celah.
Sesuai perkiraanku, genggaman tangannya di leherku sedikit mengendur. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu—aku menghantam dada Johan sekuat tenaga untuk melepaskan diri, lalu meluncur di lantai, mengambil jarak darinya.
"Ba… bajingan…!"
Tubuh besar yang berlutut itu mengerang menahan rasa sakit. Dari paha yang sebelumnya tertembus peluru, darah terus mengalir tanpa henti. Mungkin untuk waktu singkat tadi, dia bisa menutupi rasa sakit itu dengan amarah, tapi sepertinya sekarang sudah sampai batasnya. Namun—
"Mana mungkin aku menyerah."
"Berhenti saja. Aku sudah memberimu peringatan."
Johan berusaha berdiri dengan bertumpu pada tumpukan tong, tapi tiba-tiba ekspresinya berubah drastis. Dia menyadarinya—bahwa keseimbangan tumpukan tong yang menjulang itu sudah hampir runtuh. Penyebab utamanya adalah tembakan membabi buta Gatling yang mengenai bagian tengah hingga bawahnya. Ditambah lagi dengan ledakan sebelumnya dan pukulan keras yang dia layangkan padaku…
Aku hanya mengangkat bahu sekali, lalu langsung menubruk tong di sebelahku sekuat tenaga.
"Gu… ooooaaaghhh!!!?"
Bagaikan bendungan yang jebol, tumpukan tong minuman itu mulai runtuh, saling menimpa. Membelakangi Johan yang terseret dalam longsoran itu, aku berlari sekuat tenaga keluar dari gudang.
Gelombang robohan itu menjalar berantai dalam sekejap, diikuti banjir besar busa dan pecahan kayu yang langsung mengalir keluar.
Selamat dari maut tepat pada detik terakhir, aku berdiri terhuyung-huyung di jalan yang kini dipenuhi pecahan kayu basah.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu, lalu merogoh saku. Di bawah cahaya bulan, aku mengeluarkan cincin pernikahan yang sudah penyok.
Dengan satu helaan napas panjang, aku melempar benda yang sudah kehilangan maknanya itu ke kanal, lalu mulai melangkah pergi.
Entah kenapa, aku jadi ingin menatap langit malam. Sambil mendongak, aku bergumam seperti sedang mengeluh.
"Memang benar… Kerja jujur pun, ujung-ujungnya nggak ada gunanya."
Part 15
Dan pada saat yang sama. Satu pertarungan lain juga hampir berakhir.
Sejak bentrokan pertama, sekitar belasan menit telah berlalu. Dua orang yang saling berhadapan itu masih menjaga jarak sekitar sepuluh langkah, namun medan tempur mereka telah bergeser—dari Jembatan Batu Tua Avignon ke tepi sisi sungai, di kawasan pergudangan.
Setiap kali mereka saling berpapasan lalu berbenturan, kemudian kembali berhadapan setelah jeda singkat untuk mengatur pernapasan, keduanya melakukan penyesuaian posisi yang paling menguntungkan. Perpindahan lokasi itu adalah hasil dari serangkaian langkah tersebut.
"Kau cukup hebat juga…"
"Begitu pula denganmu"
Keduanya sama-sama babak belur. Evelyn, yang sisi kanan wajahnya terkoyak dalam, telah kehilangan hampir seluruh penutup malam akibat berkali-kali terkena ledakan gelombang panas dari jarak dekat. Tubuhnya penuh luka bakar parah.
Di sisi lain, kedua lengan dan kaki Patricia pun berada dalam kondisi yang mengerikan untuk dilihat langsung. Betisnya yang berlumuran darah sampai menampakkan tulang bergetar halus, dan langkah tari perangnya—yang menjadi kunci gaya bertarungnya—sudah goyah.
Namun, yang mereka hembuskan bukanlah erangan kesakitan, melainkan semangat tempur yang membara. Mereka sama-sama tahu bahwa bentrokan berikutnya akan menjadi penentuan akhir. Kesadaran itu mengalir bersama darah dan keringat yang menuruni pipi mereka.
Tepat pada momen itu—
"Eh?" "Eh?"
Dengan langkah terhuyung-huyung, menyeret kaki, seorang pria muncul dari arah gang.
***
…Saat merangkak keluar dari gang itu, aku merasakan aura aneh menekan dari kedua sisi.
Pertama, aku menoleh ke kanan. Di sana berdiri seseorang dengan bau darah hangus yang pekat, mengenakan seragam maid.
"Evelyn…? Kau… luka macam apa itu—"
"!! Bahaya! Linus!"
Evelyn melotot dan melontarkan peringatan tajam bak anak panah. Tepat setelah itu—
"Will!!"
"Ugh!? Ap… kau…!"
Tubuhku terdorong oleh benturan sekuat berat badan seseorang dari belakang. Refleks, aku menoleh, dan mataku membesar. Aku mengenali wanita berambut pirang dan bermata biru yang tiba-tiba memelukku itu.
“Tak kusangka! Datang di saat seperti ini! Dari sudut pandang seorang Duelist mungkin ini benar-benar waktu yang tak tahu aturan, tapi dari sudut pandang seorang gadis, sama sekali tidak masalah! Benar, itu benar! Engkau memanglah orang yang ditakdirkan untukku!”
“T-tunggu…! Panas! Entah kenapa badanmu panas sekali!”
“Ah, maaf…”
Entah mengapa, wanita itu, Patricia yang tadi memancarkan cahaya seperti terbakar, langsung meredup setelah berkata begitu. Lalu, ia menatap wajahku dari bawah sambil memiringkan kepala, lalu mengernyitkan alis.
“Hm? Aree?… kalau dilihat baik-baik, sepertinya kamu orang lain, ya? Memang mirip, tapi Will-ku itu… bagaimana ya, lebih manis, lebih tampan… pokoknya, bukan tipe tampan yang kelihatan berkepribadian buruk sepertimu desuwa~. Dan… Engkau bau alkohol sekali. Tolong menjauh sedikit? Kalau tidak, pemabuk mesum sepertimu akan aku panggang sampai gosong.”
“Kau yang tadi tiba-tiba memelukku kan!?”
Suhu tubuh yang luar biasa panas itu menjauh. Bersamaan dengan itu, terdengar suara batuk kecil yang dingin dari belakang.
“…Sebenarnya, ini semua apa maksudnya?”
***
“──Jadi, aku… ditipu selama ini.”
“Sepertinya begitu. Aku sudah mengira kau wanita bodoh, tapi ternyata lebih dari yang kukira.”
Dari luar, pasti ini pemandangan yang aneh: dua wanita yang tampaknya baru saja saling bunuh beberapa menit lalu, kini duduk di tepi sungai bertebing batu—dengan aku di tengah—sambil menurunkan tubuh ke posisi duduk.
Dengan kepala tertunduk, Patricia menggigit sapu tangan sutra entah dari mana ia keluarkan, menatapku penuh dendam, sambil menangis lebih keras dari saat pertama kali aku bertemu dengannya.
“~~Ini terlalu kejam desuwa~…!! Aku pikir dia jodohku… Dan yang lebih parahnya lagi, ternyata dia ini kaki tangan si Doro Cancer itu, penipu pulaaaaa…!!”
“Aku juga tak menyangka kau itu dari pasukan ksatria. Jadi kabur dari rumah karena nggak mau ikut perjodohan yang diatur orang tua itu bohong, ya?”
“Tidak sepenuhnya bohong…”
Sambil sesenggukan, Patricia mulai menceritakan apa yang sudah terjadi.
“Aku memang kabur dari rumah, dan alasannya itu benar. Tapi… ayahku memblokir rekeningku. Mungkin dia pikir aku akan pulang karena itu, tapi aku… tidak mau kalah, bagaimanapun caranya.”
Patricia pun mengaku bahwa itulah alasan ia masuk ke pasukan ksatria dan menerima misi demi mendapatkan bayaran, agar bisa terus kabur dari rumah.
“Dasar… konyol sekali. Hanya demi alasan seperti itu…”
Evelyn sudah melewati tahap marah; kini nada suaranya lebih pada rasa muak.
Sementara itu, Patricia melempar saputangan yang kini penuh ingus, lalu menggenggam lengan kiriku dan mulai mengeluarkan ingus keras-keras.
“Oi, hei! Ihh, menjijikkan! Tolong, hentikan!”
“Diamlah desuwa~! Kembalikan hati gadisku yang hancur ini!!”
Patricia terus saja menangis, tak mau berhenti. Sambil menenangkannya, mungkin karena aku memang sudah lelah, aku tanpa sadar berbicara dengan nada menasihati dan itu sungguh keluar dari hati.
“…Tak ada yang namanya takdir. Yang ada cuma dirimu sendiri yang sok berharap terlalu tinggi.”
Kenapa, sih, manusia selalu berharap tanpa menggerakkan tangannya sendiri?
“Entah itu uang, laki-laki, atau kehormatan… berhentilah menyerahkan apa yang kau inginkan pada yang namanya takdir atau kebetulan. Kalau mau menemukan pasangan ideal, manfaatkan dulu koneksi orang tuamu atau apa pun yang ada. Kalau cuma berandai-andai menunggu keajaiban turun, ujung-ujungnya cuma akan terjebak dengan pria brengsek.”
Aku mengabaikan ekspresi wajah Evelyn yang seolah-olah berkata, “Masa kau yang bilang begitu?” Aku sadar akan hal itu.
“…Meski begitu, aku tetap…” gumam Patricia
Lalu bangkit dengan langkah gontai, mengambil jarak beberapa langkah dariku.
Rambut emasnya kembali menyala, panasnya membuat udara bergetar.
“Baiklah. Aku sudah bangkit. …Ayo kita lanjutkan.”
“Ya. Mari kita mulai. Tapi lawanmu… dia.”
“Kenapa jadi aku!? Kau mau bunuh aku, ya!?”
“Tidak. Aku hanya sudah bosan, ehm maksudku lelah meladeni wanita bodoh ini. Lagi pula, secara alur, menonjokmu sepertinya akan membuatnya puas. Jadi kalau tak mau mati, hindarilah dengan sekuat tenaga. Ia akan datang.”
Bersamaan dengan peringatan yang diucapkan tanpa semangat itu, langkah secepat kilat menghantam jalanan, memecahkan permukaan batu. Tumit yang membara jatuh menghantam nyaris memecahkan dahiku.
Atau setidaknya begitu kupikir… sampai di detik terakhir, lintasan tumit itu berubah hampir 90 derajat, melesat tepat di sampingku, lalu menancap dalam di tepi jalan dekat sungai.
Batu-batu yang meleleh jatuh ke permukaan air, menimbulkan bunyi letupan uap yang keras.
Aku tak bisa menggerakkan punggungku yang entah sudah berapa kali membeku hari ini.
“…Tidak bisa desu~”
Lalu ia merosot mendekat, seperti memelukku.
“Aku tidak bisa membunuhmu. Aku kalah… Meskipun kau seorang penipu, aku tetap… menyukaimu. Itulah sebabnya… aku tidak mau melepaskan takdir ini…”
Air matanya membuatku tanpa sadar mundur selangkah. Bukan karena tersentuh. Aku tahu sejak awal, pria yang ia sukai itu tidak pernah ada. Dan tetap saja, ia bisa mengucapkannya seperti itu. Yang kurasakan saat itu bukan simpati, melainkan ketakutan terhadap sesuatu yang melampaui kebodohan.
“Jadi… sekali lagi, kencanlah denganku. Kali ini… aku ingin mengenal dirimu yang sebenarnya.”
Diriku yang sebenarnya. Kata itu menghantam inti hatiku seperti pukulan tiba-tiba.
“…a! Aku ini penipu”.
“Aku tahu. Tapi… entah kenapa, perasaanku mengatakan kau bukan orang jahat. Tentu saja… mempermainkan hati gadis sepertiku adalah dosa besar. Tapi… hmm… aku memutuskan memberimu kesempatan untuk… memperbaiki diri!”
Bukan begitu. Ia tidak tahu dan tak mungkin tahu bahwa aku adalah penipu yang mau melakukan apa saja demi uang, bahkan menghabisi kerabat yang paling kucintai.
“Jadi… aku akan memberimu satu kesempatan lagi.”
Patricia mendekatkan wajahnya. Bibirnya perlahan mendekat, sampai hampir bersentuhan—
“Baik, celah ditemukan.”
“Gah!”
Sebuah tangan menebas tajam dari belakang, menghantam leher putih itu. Patricia langsung pingsan, lalu tubuhnya ditelan ke dalam bayangan hitam—persis seperti yang pernah terjadi pada Chronica.
“Maaf. Tadi terlalu memalukan untuk ditonton, jadi tanganku refleks bergerak.” ucap Evelyn datar, lalu ia menunjuk ke langit timur yang mulai memucat.
“Setidaknya, aku akan berterima kasih. Kau jauh lebih berguna dari yang kuduga, penipu. …Sekarang pulanglah. Gadis itu… pasti sedang menunggumu.”
Part 16
Masih ada interogasi terhadap Patricia yang sudah ditangkap. Begitulah kata Evelyn sebelum kami berpisah. Sekitar belasan menit kemudian, tepat ketika aku sampai di puncak tangga penginapan, seluruh tubuhku akhirnya menjerit kesakitan seperti dalam sakaratul maut.
Aku membuka pintu sambil setengah terjatuh, lalu meraba-raba untuk menyalakan lilin.
Di sanalah aku menemukan rambut merah-bersalju milik Chronica, tergeletak lebar di lantai.
“—! Hei! Sial, sadarlah! Chronica!”
Gadis itu pingsan di samping tempat tidur. Panik, aku bergegas memeriksa kondisinya.
Nadinya masih ada. Tapi tubuhnya demam tinggi. Aku harus memanggil dokter, walau harus membangunkannya di tengah malam.
Saat aku berpikir begitu dan berbalik menuju pintu, tepat ketika tanganku menyentuh kenop—papan kayu pintu itu dihantam dari luar, menghantamku tepat di dada.
Aku terjatuh terlentang, bagian belakang kepalaku menghantam keras lantai. Menggerutu kesakitan, aku menyingkirkan potongan pintu yang baru saja menimpaku, lalu menatap ke arah pintu masuk.
“…Ini… bercanda, kan.”
Di balik cahaya temaram lilin, tampak sosok penuh luka dengan otot-otot menonjol dan mata kami bertemu. Jari tebal itu menjentikkan sesuatu ke arah dadaku.
“Barang yang kau lupakan. Kali ini, pegang erat… jangan sampai terlepas lagi, bahkan sampai ke neraka.”
Cincin kawin penyok yang sebelumnya kubuang meluncur di atas kemeja compang-campingku, lalu jatuh ke lantai, bergemerincing pelan.
Tak ada yang namanya takdir. Karena itu, ini pasti keniscayaan.
Kematian. Keyakinan dingin itu jatuh begitu saja ke dalam perut kosongku. Kalau tidak mau mati, satu-satunya pilihan adalah melarikan diri sekali lagi, meninggalkan gadis yang terbaring di belakangku.
“…Ini yang terburuk.”
Namun entah kenapa, sebelum kusadari, aku malah sudah menghantamkan tinjuku ke arah Johan yang berdiri menghadang.
Dan tentu saja, seperti yang sudah diduga… tidak ada mukjizat yang terjadi.
Pria itu menatap ke bawah pada si penipu yang sudah tak sadarkan diri, tanpa sedikit pun keraguan di matanya.
“Cukup sampai di situ.”
Namun tepat sebelum serangannya, suara jernih yang menggema disertai tatapan ungu menghentikan gerakan tubuh Johan, membelenggunya di tempat.
“!? I-Ini… apa!? Ini…!?”
“Begitu ya… Adikmu telah ditipu olehnya.”
Dalam arah pandangan Johan, gadis berambut merah-bersalju itu berdiri dengan langkah terhuyung-huyung, terengah-engah menahan sakit, lalu berjalan menuju Linus yang pingsan. Ia menatap tajam ke arah pria raksasa yang ukurannya berlipat-lipat dari tubuhnya sendiri.
“Pasti sangat berat, dan menyakitkan, kan. Karena itu, kau berhak memukulnya sesukamu, melampiaskan kemarahanmu. Tapi… lebih dari itu, aku takkan mengizinkan.”
Johan berpikir, mungkin gadis ini adalah seorang bangsawan yang mewarisi Regalia, gen darah mulia—pasangan si penipu itu. Sudah pasti, gadis ini pun sedang ditipu. Dengan satu-satunya kebebasan yang tersisa, yakni suaranya, Johan bertanya serius:
“Dia itu penipu. Bajingan yang mempermainkan orang demi mengisi perutnya sendiri. Kau tahu itu—?”
“Ya. Aku tahu betul.”
Berbeda dari yang ia duga, gadis itu mengangguk mantap. Lalu, sambil sesekali batuk, ia mengucapkan kata demi kata:
“Selain itu, dia keras kepala, tukang rayu, sama sekali nggak perhatian, bahkan nggak sadar kalau orang memberinya hadiah, mata duitan yang payah… tapi meski begitu, dia tetaplah orang yang sangat berarti bagiku, penyelamat ku…”
Di situ, seolah mencapai batas kekuatannya, gadis itu jatuh menimpa tubuh si penipu. Lengan Linus mungkin tanpa sadar bergerak untuk menahan punggung mungil itu.
Bersamaan dengan itu, belenggu tak kasatmata yang menahan tubuh Johan pun terlepas.
Namun ia tidak bergerak. Sebagai gantinya, ia hanya berdiri menatap dua sosok yang saling bertumpuk itu.
Entah berapa lama ia berada dalam posisi itu. Genggaman erat di tinjunya perlahan mengendur, terlepas dalam diam.
Part 17
Aku kembali bermimpi.
Bukan mimpi yang bisa kuputar ulang atau ingin kuhidupkan lagi, melainkan mimpi dari masa itu.
Suatu pagi. Saat aku terbangun, kakakku batuk parah sambil memuntahkan darah. Hidupku berubah total sekali lagi. Sejak hari itu, demi kakak yang jatuh sakit, aku ingin setidaknya memberinya makanan yang layak, dan kalau bisa, obat.
Dan untuk itu, tentu saja, dibutuhkan uang.
『…………』
Hari itu aku pergi ke kota, bukan untuk mencari kerja kotor dengan upah receh seperti biasanya. Kerongkonganku kering oleh rasa cemas dan tegang, namun anehnya, tak ada keraguan sedikit pun. Hanya tekad yang membara di hatiku—bahwa aku harus melakukannya.
Aku mengincar dompet para prajurit revolusi yang sedang mabuk setelah berpesta. Di kepalaku, aku membayangkan gang belakang tempatku akan beraksi. Lalu aku menarik napas… dan menghembuskannya.
Itulah langkah pertamaku menjadi seorang penjahat kecil.
…Sejak aku mulai mencuri, pendapatanku perlahan stabil.
Sedikit demi sedikit, kondisi kakak pun mulai membaik. Awalnya, penyakit itu hanya memanfaatkan tubuhnya yang sudah kelelahan. Dengan istirahat, gizi, dan obat, tubuhnya perlahan pulih. Namun—
『Linus… katakan yang sebenarnya.』
『Maksudnya apa?』
Dari ranjang reyotnya, ia mencondongkan tubuh, memanggilku dengan suara serak. Saat itu juga, aku merasakan tusukan pasti di dadaku, pertanda bahwa saat ini akhirnya tiba.
『Jangan mengelak. Aku juga sudah lama sadar. Dengan pekerjaan yang bisa kau dapat, tak mungkin bisa membeli makanan dan obat seperti ini.』
『…Nee-san juga tahu, kan? Tanganku ini cekatan, jadi—』
『Linus. Lihat aku… lihat.』
Saat aku menoleh, tatapannya tajam seperti seorang ibu yang menegur anaknya, menembus lurus ke mataku. Sejak dulu, kakak ini selalu bisa membongkar kebohonganku, tapi tak pernah rasanya membuatku merasa sesesak ini.
Bersamaan dengan itu, panas mendidih di dadaku. Mungkin itu adalah sisa-sisa rasa ingin memberontak yang seharusnya tertuju pada ibu yang sudah tiada.
『Kalau kau melakukan hal yang hina, hentikan sekarang juga. Bersihkan dirimu dari itu.』
Kakak berkata pelan namun tegas.
『Mencuri dari orang lain itu salah bukan hanya karena itu perbuatan yang menyakiti seseorang. Dengarkan baik-baik, Linus. Merampas milik orang lain. Berarti, lebih dari apa pun, kau merampas dari dirimu sendiri kemampuan untuk mempercayai orang lain. …Dan pada akhirnya, kau tidak akan dicintai oleh siapa pun, dan kau pun tak akan bisa mencintai siapa pun.』
Nada suaranya seperti sedang menasihati, pasti itu demi kebaikanku. Namun di baliknya, ada perasaan meremehkan yang jelas terasa.
Sekejap kemudian, bara perlawanan yang membara di dadaku menyala begitu kuat hingga sulit kutahan. Kepalaku berkunang-kunang diterjang amarah yang mengguncang otak, sementara tatapanku menusuk kakak yang ada tepat di depanku.
Aku ingin ia mengerti.
Kakak… meski begitu, semua ini kulakukan demi dirimu. Aku tak menuntut ucapan terima kasih, tak apa jika kau memarahiku, bahkan memukulku sekalipun. Tapi setidaknya, kumohon… pahami itu. Karena jika tidak, aku… tak yakin akan sanggup menahannya.
『Tolong. Jangan gunakan bakatmu untuk hal seperti ini. Kalau suatu hari kau berdiri di atas panggung—』
『──Diam!!』
Saat sadar, kendali diriku sudah terhempas jauh entah ke mana.
『Nee-san… selalu begitu! Sok dari atas, bicara soal mimpi dan harapan, memaksakan ide-ide yang takkan pernah terwujud!!』
Ekspresi terkejut di wajah kakak sesaat mencekik kerongkonganku… namun aku sudah tak bisa berhenti.
『Sebelum ceramahiku, coba rasakan dulu bagaimana rasanya menghasilkan uang sendiri! Kau itu cuma orang sakit yang tak bisa melakukan apa pun… jadi jangan sok mengaturku!!』
Aku mengucapkannya. Aku benar-benar mengucapkannya. Dan dengan dorongan itu, aku langsung berlari keluar dari kamar—
***
Cahaya matahari pagi yang menusuk wajah membuatku terbangun.
Aku bangkit dari tempat tidur, padahal aku sama sekali tak ingat pernah berbaring di sini. Saat melihat ke tubuhku, terasa nyeri dan aneh di seluruh badan, dan aku baru sadar ada perban yang terikat erat… perban yang jelas-jelas bukan aku yang membalutnya.
"Sudah sadar, ya."
"Uooh!!"
Refleks, aku langsung bersiap siaga. Namun Johan hanya menatapku dari atas tanpa ekspresi.
Saat aku masih curiga karena dia tidak langsung menyerang, pandanganku menangkap sosok Chronica yang tertidur di ranjang sebelah.
"Hei kau, menjauh dari dia… ah, aduh sakit!!"
"Jangan memaksakan diri. Tiga luka tembak, lima tulang patah termasuk di bagian kepala, luka sayatan dan memar di seluruh tubuh. Selain itu organ dalammu juga terluka. Ajaibnya kau masih sadar. Bergeraklah perlahan, dan tetap istirahat."
"Semua itu… gara-gara kau, kan."
Itu adalah tuduhan yang wajar dariku, tapi dia mengabaikannya dan melanjutkan bicara.
"Keadaan gadis itu… demamnya tinggi, tapi hanya flu biasa. Rawatlah dia baik-baik."
Sambil mengatakan itu, dia memberiku kain basah dan ember berisi air.
"…Kenapai."
"Jangan salah sangka, aku sama sekali tidak memaafkanmu."
Dengan punggung menghadapku, Johan menjawab dengan nada tegas.
"Aku tidak akan pernah memaafkanmu seumur hidup. Tapi demi gadis itu, nyawamu kubiarkan. Jadi cepat hentikan hidup kotormu dan buat dia bahagia. …Dan, uang ini akan kuambil sebagai ganti rugi. Yang ini, akan kukembalikan ke bank."
Entah sejak kapan, hasil penipuan pinjaman dan keuntungan dari bar sudah sepenuhnya ada di tangannya.
"Eh, tunggu, setidaknya sisakan separuh—"
Tapi aku tak sempat menghentikannya. Pintu tertutup di depan mataku yang kosong melompong, dan langkah kakinya menjauh.
Seluruh tenaga seperti lepas dari tubuhku, dan dari mulutku keluar desahan panjang seakan ruh ikut terbang pergi.
Yah, tak ada pilihan lain. Anggap saja masih hidup ini sudah untung.
Dengan gerakan lamban seperti mesin kehabisan oli, aku turun dari ranjang. Saat sedang memeras kain di atas ember, kelopak mata Chronica sedikit terbuka.
"…Orang itu, di mana?"
"Dia sudah pulang."
Aku menyentuh dahinya yang berkeringat. Demamnya memang sudah agak turun, tapi panasnya masih ada. Aku mengusap keringat di wajah dan lehernya, lalu berkata padanya untuk mengurus sisanya sendiri. Ember berisi air kutaruh di atas kabinet di samping tempat tidur.
"Aku keluar sebentar. Mau aku belikan apa?"
"Sekarang sih, nggak usah. Tapi… bentar. Nih."
Dari atas ranjang, Chronica mengangkat sebuah topi milky hitam yang terbuat dari kain katun. Aku langsung teringat, ini pasti topi yang dikenakan gadis itu waktu itu.
"Ini… bukan punyamu?"
"Tentu saja bukan… topi jelek seperti ini."
Dari bibirnya yang sedikit manyun itu, aku akhirnya mengerti alasan kenapa dia dulu begitu marah.
"…Maaf."
Setelah berputar-putar begitu lama, akhirnya kata itu jatuh dari mulutku.
Chronica tersenyum seperti biasa, lalu melambai memanggilku mendekat ke sisi ranjang.
"Sini, biar ku pakaikan."
Kakiku mengikuti perintah itu tanpa melawan. Aku menundukkan kepala, dan terasa sentuhan ringan saat topi itu diletakkan di kepalaku.
"Bagus kok. Cocok untukmu."
"Makasih, deh."
***
—Suara pintu tertutup membuatku menghela napas dan kembali merebahkan diri di ranjang.
Pipiku terasa panas, pasti karena demam yang belum turun. Bibirku terangkat membentuk senyum, mungkin karena kepuasan berhasil memberikannya sesuatu dengan baik. Ya, pasti itu alasannya.
Tiba-tiba, aku merasakan benda keras di saku baju tidurku.
Yang kuambil adalah sebuah cincin perak aneh yang bentuknya penyok tak beraturan.
Aku teringat kata-kata yang disamarkan oleh suara pintu saat dia pergi.
『Terima kasih.』
Sambil menatap cincin yang bengkok itu di bawah sinar matahari pagi dari jendela, aku tanpa sadar berbisik,
"…Dasar keras kepala."