Sagishi wa Shoujo to Kamen Shikake no Tabi o Suru Chapter 4 [IDN]

Bab 4 Nowhere in the Sea dari Light Novel Masquerade Confidence~ Sagishi wa Shoujo to Kamen Shikake no Tabi o Suru karya 滝浪 酒利 | Yomi Novel

Penerjemah : Koyomin

Bab 4 — Nowhere in the Sea

Part 1

Sudah satu minggu berlalu sejak keributan itu.

“Aku pulang,” ucapku sambil mengumumkan kedatangan.

“Selamat datang,” sahutnya dari atas ranjang.

Aku memeriksa suhu tubuh Cronica, yang mengenakan piyama putih, lalu menyerahkan anggur obat dan makan malam yang baru kubeli.

“Terima kasih. Tapi terus-terusan diperlakukan seperti orang sakit itu lama-lama membosankan, tahu? Aku sudah nggak batuk, juga nggak merasa kedinginan. Linus, kamu terlalu khawatir.”

Sambil berkata begitu, Cronica menyingkirkan selimutnya dan menggeliat di atas ranjang untuk menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja.

“Aku lebih percaya termometer daripada kata-katamu. Lagian kita juga belum bisa berangkat sekarang, jadi santai saja.”

Aku lalu duduk dan mulai menyantap crab cake dari warung kaki lima yang harganya cuma satu penny.

“Kalau begitu… kira-kira kapan kita bisa berangkat?”

“Kurasa… masih agak lama. Mungkin.”

Menanggapi desakan Cronica dengan jawaban asal, Pandangan mataku kembali tertuju pada peta yang terbentang di meja.

Mungkin sebagai reaksi dari larangan pelayaran yang berlangsung seribu tahun selama masa isolasi, setelah revolusi, banyak jalan raya dibangun menuju kota-kota pelabuhan yang baru dibuat, dan jalur kereta di sana menjadi yang paling padat di seluruh negeri.

Walaupun akses transportasinya sangat baik, jaraknya tetaplah jauh. Diperlukan biaya perjalanan yang cukup besar. Mengandalkan penghasilan normal ku saat ini jelas bukan hal yang realistis.

“Evelyn.”

“Memanggilku, ya?”

Suara bernada kesal meluncur dari bawah ranjang, dan sesosok tubuh meluncur keluar dari bayangan. Di tangannya ada pena dan kertas surat yang belum selesai ditulis, mungkin ia sedang membuat laporan untuk dikirim ke ibu kota.

Setelah memberinya satu tusuk makan malam yang belum kusentuh, aku langsung bertanya pada inti masalah.

“Bagaimana hasil dari pihakmu? Ada kemungkinan kita dapat uang dari militer?”

Tanpa mengucapkan terima kasih, Evelyn mengunyah pelan lalu menjawab tanpa basa-basi.

“Tidak ada kabar sama sekali. Memang aku melaporkan kalau kita menangkap satu orang tawanan, tapi karena hasilnya tidak bisa dibilang sumber informasi yang berguna, tambahan dana paling-paling hanya sebatas uang saku.”

Tawanan yang dimaksud adalah Patricia, gadis yang beberapa hari lalu bertarung melawan Evelyn. Rupanya, gadis yang kabur dari rumah itu baru saja bergabung dengan pasukan Ksatria dan hanya menerima perintah serta upah kecil lewat surat.

Bahkan saat Cronica mengamati dengan mata kirinya, tidak ada tanda-tanda bahwa Patricia sedang berbohong.

“Aku akan tetap mengajukan klaim, tapi sepertinya untuk sementara kita hanya bisa mengandalkan penghasilanmu. Kalau sudah mengerti, tolong tunjukkan sedikit lebih banyak inisiatif, lelaki bergaji tipis.”

Yang ironis, orang yang baru saja berkata begitu adalah seseorang yang tiga hari lalu dipecat dari pekerjaan paruh waktunya sebagai pelayan restoran. Ia sendiri marah besar, bersikeras bahwa dirinya tidak pernah memecahkan piring. Tapi aku memilih diam, masalahnya jelas karena sikapnya yang benar-benar minim keramahan.

…Dan beberapa hari setelahnya, aku juga memilih diam ketika menemukan papan pengumuman di berbagai kafe di kota yang memuat nama dan sketsa wajahnya, disertai tulisan ‘Tidak Menerima untuk Bekerja’ serta peringatan Waspada Teh Pembunuh.

Tepat saat itu, dari balik bayangan Evelyn, muncullah kepala berambut pirang milik orang yang dimaksud.

“Sepertinya kalian sedang kesulitan, ya!”

“Aku tidak memanggilmu.”

Dalam sekejap, Evelyn melancarkan tendangan tumit jatuh dari belakang, yang nyaris menghantam Patricia jika saja dia tidak buru-buru menyelam ke dalam bayangan untuk menghindar. Dari balik punggung seragam maid itu, kepala pirang itu kembali mengintip.

“T-tunggu dulu! Reaksimu ini sudah kelewat tahap kejam, ini langsung ke niat membunuh tercepat, tahu!?”

“Memang itu niatku.”

Rok hitam berkibar, lalu kilatan kaki putih pucat menebas udara. Patricia menghindar lagi dengan tenggelam ke dalam bayangan, lalu muncul kembali.

Setelah mereka berdua memainkan permainan pukul tikus itu selama beberapa saat, akhirnya Patricia muncul dengan tubuh utuh.

“Tch, padahal aku sudah menguras cukup banyak darahmu, tapi ternyata kau masih bisa bergerak.”

“Tidak… aku sudah pusing karena anemia… ini… sudah batas kemampuanku. M-maaf.”

Patricia pun terhuyung-huyung, lalu roboh ke arah ranjang tempat Cronica duduk. Dia meletakkan dagunya di pangkuan gadis itu dan terkapar seperti anjing laut yang terdampar.

“Jangan terlalu usil, Evelyn. Kasihan, lihat saja dia sampai lemas begini.”

Di hadapan Cronica yang membelainya layaknya seekor kucing peliharaan, semangat Evelyn tampaknya sedikit mereda, dan ia menurunkan kaki yang tadi terangkat layaknya sebuah pedang.

“Baiklah, tak masalah. Aku bisa membunuhnya kapan saja, jadi setidaknya akan kudengarkan dulu wasiatnya.”

Didorong seperti itu, Patricia membuka mulutnya, terdengar benar-benar kelelahan.

Katanya, dia sudah tidak berniat lagi mengikuti perintah pasukan Ksatria, dan sebenarnya punya usulan yang cukup membangun.

“Tapi, aku tidak akan memberitahukannya secara cuma-cuma.”

“Kalau begitu, akan kutukar dengan hak untuk bernapas di hadapanku. Cepat katakan.”

“…Sudahlah, Evelyn. Jangan begitu, nanti malah tidak ada kemajuan.”

Aku refleks ikut campur. Patricia pun menatapku dengan tatapan agak basah penuh semangat yang ganjil.

“Ka… kalau begitu, Linus, sebagai gantinya maukah engkau kencan lagi deng—Aduh! Sakit! Sakit, sakit, sakit!!”

“Ah… maaf, tadi refleks. Soalnya kamu tiba-tiba ngomong yang aneh-aneh.”

Cronica melepaskan cubitan di pantat Patricia dan meminta maaf tanpa menunjukkan rasa bersalah sedikitpun.

Akhirnya, Patricia menyerah dan mengungkap inti pembicaraan.

“Kita bisa menyewa kereta kuda sampai ke laut.”

“Kau dengar tidak tadi? Untuk itu kan butuh modal, sedangkan orang bergaji tipis tanpa inisiatif seperti dia—”

Tiba-tiba, Patricia mengeluarkan sebuah paspor berwarna hitam dengan hiasan emas, lalu berkata:

“Kalau soal uang, itu tidak diperlukan.”


Part 2

Keesokan paginya. Sinar matahari yang menembus celah dedaunan memantul di taplak meja yang masih baru. Namun, sebaliknya, entah hanya perasaanku saja atau tidak, ubin di bawah kaki terlihat seperti menghitam seakan-akan hangus terbakar.

Tempat ini adalah teras terbuka sebuah kafe trendi yang menghadap ke kanal. Pada jam-jam di mana para madam dari kalangan kelas atas biasanya berkumpul, orang yang duduk di depanku kali ini bukanlah Cronica ataupun Patricia.

“Pesanan sudah cukup. Kau mau pesan sesuatu, Linus?”

“Kopi saja. …Jadi, apa yang mau kau bicarakan?”

Maid berambut hitam yang sekilas terlihat cantik. Evelyn, entah karena kesalahpahaman atau tidak, mengembalikan menu kepada pelayan yang tampak ketakutan dan menyuruhnya pergi.

Tadi pagi, dia bilang ingin berbicara. Dan sekarang, kami berdua duduk berhadapan di kafe teras yang modis ini. Tapi jelas sekali, suasananya terasa tegang.

Keheningan berlangsung beberapa saat, sampai cangkir kopi diletakkan di depanku, yang akhirnya memecah keheningan.

“Tujuan berikutnya. Gadis kecil itu bilang, kita akan pergi ke laut.”

Itu saja? Saat aku mendorongnya untuk melanjutkan, mata biru esnya sedikit menyempit.

“Untuk apa kalian pergi ke laut?”

“Entahlah. Tanyakan saja langsung padanya.”

“Kau juga tahu, berbicara dengan mata itu sangat merepotkan.”

Aku tidak bisa membantahnya. Pahitnya kenyataan itu kutelan bersama satu tegukan kopi.

“Kalau menurutku, tujuan kalian sebenarnya ada di seberang laut, benarkan?”

Lebih tepatnya, itu tujuan Cronica, bukan aku. Tapi ucapannya tepat sasaran.

“Aku anggap itu pengakuan, jadi akan kulanjutkan. Dari posisiku, aku tidak berniat mengizinkan hal itu. Namun, aku juga tidak berencana langsung menjebloskan gadis kecil itu ke penjara. …Faktanya, setelah kita berhasil menangkap anggota pasukan Ksatria, kegunaannya sudah jelas.”

Jadi, dia ingin memanfaatkannya sedikit lebih lama, begitu kata si prajurit berseragam maid itu.

“Kau yang membujuknya. Buat dia tetap tinggal di dalam negeri. Kalau bisa, aku tidak akan membuat keadaan jadi buruk bagimu.”

“…Aku?”

Sungguh menjengkelkan, tapi sejak pertama kali bertemu, aku selalu saja dibuat repot oleh Cronica. Rasanya sama sekali tidak mungkin aku bisa membujuknya. Setelah kukatakan itu, entah kenapa Evelyn malah menatapku dengan ekspresi seolah tak habis pikir.

“Haa… baiklah. Bagaimanapun juga, kalau dia memang berniat melarikan diri ke seberang laut, aku hanya akan mengambil langkah tegas. Anggap ini peringatan, kalau kau mencoba menghalangi, aku tidak akan memberi ampun, bahkan pada seorang penipu seperti dirimu.”

Aku tak perlu diingatkan begitu. Tujuanku hanya sampai ke laut, lalu mengembalikan ingatan sesuai janji. Nasibnya setelah itu, sejak awal bukan urusanku.

Kopiku sudah berkurang setengah. 

‘Ngomong-ngomong’ ucap Evelyn

“, Linus. Apa kau punya kakak perempuan?”

“…Darimana kau tahu?”

Begitu keluar dari mulutku, aku sadar itu pertanyaan bodoh. Hanya ada satu sumber yang bisa membongkar masa laluku.

“Begitu, ya.” 

Namun, Evelyn hanya bergumam singkat dan kemudian berhenti berbicara.

Kalau memang tidak tertarik, kenapa repot-repot menanyakannya? Saat aku hendak melontarkan protes, pelayan kembali datang, meletakkan sesuatu di atas meja sambil berkata. ‘Maaf menunggu.’

“…Hei, tunggu dulu. Ini apa?”

“Tadi aku ingat pernah melihat gadis kecil itu memakannya, jadi aku memesan ini. Anggap saja traktiranku. Silakan.”

Sambil berkata begitu, Evelyn mengambil sendok besar dan menyendok krim putih segar dan tumpukan buah-buahan yang ditumpuk tinggi di dalam gelas es krim besar, lalu memasukkannya ke mulutnya. Namun, dia segera mengernyitkan wajah, meneguk sisa kopiku yang masih setengah, lalu berkata,

“Seperti yang kuduga, aku tidak suka makanan manis. …Sisanya benar-benar untukmu, jadi jangan sungkan.”

Setelah menghapus sisa krim di bibirnya, Evelyn meninggalkan uang di meja dan menghilang ke dalam bayangan.

…Tak perlu dikatakan lagi, perutku terasa penuh tidak enak setelah sendirian menghabiskannya.


Part 3

Bunyi tapak besi kuda yang teratur berhenti di depan gerbang kota.

Seorang kusir paruh baya melepas topi pemburu, turun dari dudukannya, lalu membungkuk sopan. 

Dengan gerakan anggun yang sudah terbiasa, Patricia menunjukkan paspor hitamnya.

Patricia Ushkeen. Putri tunggal dari keluarga Ushkeen, salah satu dari empat keluarga bangsawan besar di wilayah selatan yang pernah menerima kasih sayang dan perlindungan dari tiga keluarga bangsawan utama.

Meskipun telah berkurang secara signifikan dibandingkan dengan era kerajaan, keluarga asal yang masih memiliki wilayah yang sangat luas tetap termasuk dalam kalangan elit terkaya di negara ini setelah revolusi, demikian menurut pengakuannya sendiri.

“Jadi tentu saja aku punya. VIP Free Pass dari Asosiasi Kereta Kuda Republik… Waktu kabur dari rumah, aku sempat ‘meminjam’ ini dari dompet Ayah.” 

sambil tersenyum puas, bibirnya menunjukkan kesombongan yang tidak disembunyikan.

Aku sedikit terkesan dan berkata:

“Lumayan dapat diandalkan juga, ya. Oh iya, kau tahu nomor rekening keluargamu?”

“Kamu lagi dengerin apa sih, bodoh?”

Begitu kata-kata itu keluar, ujung sepatu boot kecilnya menghantam tulang keringku cukup keras.

Setelah beberapa hari menginap di penginapan murahan, sekarang kami justru menaiki kereta penumpang mewah bahkan kata “super” pun terasa kurang untuk menggambarkannya.

Dalam beberapa tahun terakhir, bisnis kereta kuda mulai tersaingi oleh kereta api uap. Untuk bertahan hidup, Asosiasi Kereta Kuda mengalihkan fokusnya pada layanan kelas atas untuk kaum kaya. Dengan membayar biaya tahunan dua ribu pound, pelanggan bisa menyewa kereta mewah di hampir semua kota besar di benua ini tanpa batas, semacam sistem langganan.

“Apa ini, kursinya semua kulit asli. Dan ini suspensinya gimana, kok nggak goyang sama sekali?”

“Selera orang kaya baru. Menjengkelkan.”.

“Luas sekali dan pemandangannya indah! Oh, ada layanan minuman juga! Linus, ambilin kakao dong!” 

“Ehem, semuanya. Bukankah sebaiknya kita mengucapkan terima kasih sedikit saja?”

Evelyn mengabaikan Patricia dengan sempurna, sementara Cronica sibuk mengagumi interior kereta. Aku, yang sedikit merasa kasihan, mengucapkan terima kasih singkat yang langsung dibalas Patricia dengan pelukan. Segera saja kutepis, menyebalkan.

Tak lama kemudian, suara cambuk pendek terdengar, dan kereta berkuda dua itu mulai melaju perlahan.

Di sampingku, Patricia duduk gelisah. Evelyn menyilangkan kaki, diam tanpa suara. Sementara gadis berambut merah salju itu, membelakangi aku, menatap rakus ke arah pemandangan di luar jendela.

Perjalanan ini akan segera berakhir.

Cronica bukan bangsawan biasa. Mengapa ia disebut ‘sel kanker’, diburu, dan terlibat dalam kebangkitan sang Raja? Dan apa sebenarnya kegelapan tak terpahami yang ditanamkan ke dalam diriku itu?

Perjalanan akan segera berakhir. Namun, aku masih belum memahami sedikit pun tentang gadis ini.

Pandangan mataku terhenti pada topi yang ia berikan, kini tergeletak di pangkuanku.

…Memang, topi itu tidak cocok denganku. Karena perasaan ini. tidak pantas dimiliki seorang penipu.

Saat itu, Patricia yang duduk di sebelahku, ragu-ragu membuka suara.

“Uh, um… Wi—Linus. Apa Engkau… merasa haus?”

“Hmm? Ah, iya juga. Ambilin sesuatu, ya.”

Aku menunjuk rak minuman di bagian depan kereta. Wajah Patricia langsung berbinar, dan ia kembali dengan sebotol limun yang masih tersegel.

Sepertinya gerak-gerik kami menarik perhatian Evelyn yang duduk di seberang; ia sedikit mengangkat pandangan, lalu…

“Nih, Evelyn. Kau mau kopi, kan?”.

“Terima kasih, gadis kecil… tapi waktu yang terlalu tepat justru membuatku kesal,” 

Sang maid berpakaian hitam-putih itu, dengan ekspresi nyaris tak berubah, menyeruput kopi yang diberikan.

Melihat sikapnya yang seperti itu, Patricia tak bisa menahan diri untuk tidak berkomentar.

“Benar-benar… maid macam apa yang membiarkan orang lain melayaninya. Tapi ya sudah, tak ada yang bisa dilakukan. Lagipula, dari penampilanmu saja sudah jelas kau tak pandai mengurus rumah tangga.”

“Hah? Aku tidak buruk dalam hal itu. Hanya saja, keterampilan dan kelemahanku sangat jelas berbeda.”

“Oh, begitu? Lalu, apa yang engkau kuasai desuno~?”

“Membunuh… dan membuat teh.”

“Dari dua hal yang engkau sebutkan tadi, sudah jelas kan desuwa~… Tapi, hmm, kalau engkau bangga dengan keahlianmu dalam menyeduh teh, aku bisa mencicipinya. Lagipula, daku juga sedang haus.”

“Tunggu. Serius, ini saran tulus, lebih baik jangan…” 

Sebelum Chronica yang berkeringat dingin sempat menyela, Evelyn berdiri dari kursinya dan dengan sedikit bangga mulai mengeluarkan peralatan teh dari dalam bayangan.

“Tak masalah. Mumpung kau masih hidup, aku akan memberi hidangan spesial ini.”

“Entah kenapa setiap kalimatmu terdengar mengancam… tapi baiklah. Mari kita lihat kemampuannya desuwa~.”


Beberapa menit kemudian, Patricia hanya terdiam membatu seperti boneka rusak, masih memegang cawan di atas piring kecil. Evelyn, dengan tenang, mengambil cangkir itu dari tangannya dan menghabiskan isinya sendiri.

“Hmm… rupanya rasanya terlalu nikmat untuk orang sepertimu.”

Melihat maid yang bicara tanpa logika itu, aku teringat percakapan beberapa hari lalu.

Cronica berniat melarikan diri ke luar negeri. Jika aku tidak bisa menghentikannya. Evelyn, sesuai ancamannya tidak akan ragu mengambil langkah keras.

…Lalu apa?

Tetap saja itu bukan urusanku.

Saat uang habis, hubungan pun putus.

Setelah janji ini terpenuhi, apapun yang terjadi pada Cronica bukanlah hal yang akan menimbulkan rasa perih di hatiku.

Bahkan mungkin aku akan merasa lega. Akhirnya aku bisa berpisah dengan ganjalan di dada yang selama ini tak mampu aku urai.

“…”

Dengan helaan napas yang bahkan aku sendiri tak mengerti, aku bersandar pada bingkai jendela, memandang keluar.

Entah sejak kapan, langit telah diselimuti abu-abu. Lalu, tetesan air dingin mulai mengetuk kaca jendela.

Hujan… telah turun.

Roda kereta memercikkan lumpur. Tetesan air mengalir di kaca, memburamkan pandangan. Lembapnya warna abu-abu itu membangkitkan satu kenangan.

Seperti mengingat rumah di kampung, seperti mencari kepastian bahwa aku pernah memiliki tempat di sana.

Aku teringat.

—Hari itu pun, hujan turun.

Hujan deras menghantam kaca seolah sedang menghakimi.

Aku menghembuskan napas panjang, lalu meletakkan pisau berlumuran darah di atas meja.

Dari sprei yang telah merah menyala, menetes suara air hangat yang mengotori lantai.

Lehernya terbelah dalam sayatan dalam, menganga seperti mulut kedua.

Dari sana mengalir kata-kata bisu yang pastinya tak berisi apa pun selain kebencian terhadap pengkhianatan.

Ada panas aneh, ada kehampaan. Dan aku tahu, sesuatu yang tak akan pernah hilang telah terpatri di jiwaku.

Aku telah membunuh. Dengan kedua tanganku sendiri. Satu-satunya keluargaku, Nee-san.

Seorang yang sakit-sakitan dan perlu dirawat. Dia adalah beban. Dan di atas itu semua, sikapnya yang terus memaksakan moral manis-manis itu, seolah dia wali bagiku membuatku muak.

Dia adalah darah dagingku. Dan justru karena itulah, aku tidak pernah bisa memaafkannya, sampai ke dasar hatiku.

Dengan tangan berlumuran darah, aku meraih tabungan dalam botol kaca di atas meja. Di dalamnya, koin-koin berdenting, tercemar merah pekat.

Bunyi itu, yang melekat di gendang telingaku, adalah injil terlarang, berkah yang seharusnya tak diizinkan. Sejak hari itu, hari di mana hidupku terkutuk, aku melangkah di jalan yang tak bisa kembali.

Demi uang, aku akan melakukan apa saja. Biadab tanpa secuil pun nurani. Bahkan mengkhianati kakak yang paling kucintai, dengan cara yang paling busuk… tanpa sedikitpun rasa bersalah.

Sebagai Linus Krüger, seorang penipu.


Part 4

Perjalanan dengan kereta kuda memakan waktu sekitar dua hari penuh. Saat kami tiba di tujuan, hujan sudah lama reda.

Kota-kota pelabuhan di pesisir barat, yang terletak di garis depan perdagangan luar negeri dan pertukaran budaya yang terus berkembang, kini mungkin lebih penting secara politik dan ekonomi dibandingkan wilayah pusat dalam negeri yang menjadi lokasi ibu kota.

Tentu saja, kapal menuju Kekaisaran Uap Elbion yang menjadi tujuan Cronica juga berangkat dari kota-kota pelabuhan seperti itu.

Namun, kami turun dari kereta kuda sebelum sampai ke sana, meninggalkan jalan raya yang sudah tertata rapi.

Menyusuri tanah berumput bercampur pasir, merasakan keberadaan angin laut, kami berjalan menuju pemandangan yang seharusnya terbentang di balik beberapa bukit. Aku pun bertanya pada punggung mungil yang berjalan di depan.

“Oi, pelabuhannya ada di sana.”

“Tidak apa-apa. Aku ingin melihat pantai pasirnya dulu.”

Aku sudah terbiasa dengan sifat gadis ini yang penuh kemauan sendiri. Evelyn, yang berjalan di sampingku, tiba-tiba bergumam pelan.

“Di laut itu… ada apa?”

“Ya air laut, jelas saja. Aku juga baru pertama kali ke sini, kau juga ya?”

Sebagian besar penduduk negeri ini belum pernah melihat laut. Sekali lagi, ini akibat kebijakan isolasi Kerajaan Legatos di masa lalu. Karena wilayah sejauh empat mil dari garis pantai dilarang dimasuki, bahkan setelah revolusi, laut tetap menjadi sesuatu yang jauh dari kehidupan banyak orang.

“Hehehe… Ternyata kalian berdua belum tahu ya. Laut itu sangat luas, dan burung camar akan berkicau di sana. Dan katanya, tren terbaru adalah pasangan kekasih saling berkejar-kejaran di pantai desuno~.”

“...Jangan-jangan kau juga baru pertama kali, ya?”

Di tengah percakapan kami yang sama sekali tidak puitis, gadis itu menoleh dan tersenyum.

“Aku ingin melihat matahari terbenam.”

Dengan pita renda yang mengikat bagian dada blus putihnya, dipadukan rok hitam, dan sepatu bot tali cokelat tua yang ringan menendang pasir, ia berkata seperti sedang bernyanyi,

“Di ujung cakrawala, bola api berwarna rubi menyatu dengan lautan perak. Aku ingin menyaksikannya, lalu mendengarkan suara ombak, merasakan panasnya pasir dengan kaki telanjang, dan setelah itu melompat ke dalam air sepuas-puasnya. Itu adalah mimpiku, yang sebentar lagi akan terwujud. Indah, bukan?”

“…Mungkin saja.”

Akhirnya, laut terlihat ketika matahari yang telah melewati tengah hari mulai condong ke barat.

Dari puncak bukit putih itu, terbentang langit jingga dan hamparan laut biru tua.

Suara ombak yang bergema, hembusan angin asin yang menerpa, semua meresap ke kulit sebagai sebuah kenyataan.

Garis cakrawala yang membentang tanpa batas di kedua ujung pandangan. Memaksa diri ini sadar, suka atau tidak, bahwa dunia ternyata begitu luas.

“Pemandangan yang indah, desuwa~! Ayo, Linus, kejar-kejaran romantis di pantai bersamaku—”

“Baca suasananya sedikit.”

Evelyn menepuk kepala pirang itu dengan bunyi spang, memicu seruan protes.

Mengabaikan keduanya, aku menoleh ke arah Cronica. Lalu—

“? …Cronica, hei!”

Gadis itu sudah tidak lagi memperhatikan kami, berlari kencang menuruni bukit menuju pantai berpasir, menuju ombak yang bergulung, menuju perbatasan laut dan matahari senja yang membentang di hadapan.

Ia melepas tali sepatu botnya, menanggalkan bersama kaus kaki, lalu tanpa ragu melangkah ke air hingga roknya yang terangkat sampai setinggi lutut terbelah oleh ombak, menyusup ke permukaan senja yang berkilau menyilaukan.

Mata manusia tak bisa melihat terlalu jauh atau terlalu dalam, tapi mungkin berbeda baginya.

Ia berdiri diam di tengah ombak, menatap jauh melewati cakrawala, seakan melihat kisah yang tak pernah berakhir.

“…Indah.”

Aku pun turun ke pantai pasir dan memanggil punggung kecil yang bergumam seperti helaan nafas itu.

Kilauan ombak yang berkilauan memantulkan percikan air, saat ujung rambut perak berbalik. Dengan cakrawala yang terbakar merah seperti yang diperkirakan, senyuman yang lebih cerah dari sebelumnya memandangku kembali bagaikan pantulan cermin.

“Terima kasih sudah membawaku sampai ke sini. Berkatmu, perjalananku akhirnya berakhir.”

Aku terkejut sampai menahan napas, karena suara Cronica saat itu bergetar, sesuatu yang belum pernah kudengar darinya.

Bukan ilusi: sepasang mata amethyst itu terbuka lebar, basah oleh kesedihan.

“Jadi… ini yang terakhir. Linus, maukah kau mengabulkan satu permintaanku lagi?”

‘Kumohon’. Dengan nada memohon, gadis itu berkata dengan nada yang jelas.

“Bunuh aku.”

Part 5

“Etto… apa aku salah dengar desuno~?”

“Ini bukan saatnya bercanda, diamlah.”

Dengan helaan nafas, bayangan itu terbuka, dan Patricia terhisap ke dalamnya dengan jeritan pendek.

Ilustrasi Pertama Dari Light Novel Masquerade Confidence

Namun suara dari luar itu sudah tak lagi terlihat atau terdengar. Dengan telinga berdenging hebat, aku hanya bisa berdiri terpaku, pandangan tak terlepas dari mata kiri Cronica, mata amethyst yang basah oleh air laut.

“…A-apa yang kau katakan barusan?”

Tidak mungkin aku salah dengar. Cronica benar-benar berkata padaku:

“Sesuai arti katanya. Di sini, dengan tanganmu sendiri, bunuh aku, Linus.”

Ombak yang datang perlahan membasahi ujung sepatuku.

“Pertanyaan ‘kenapa’ itu sudah tertulis di wajahmu. Wajar saja… Baiklah. Kalau kau ingin tahu, tak masalah. Ini yang terakhir. Akan kuceritakan semuanya, tentang seluruh hidupku.”

Seketika, aku merasakan ilusi seolah suara laut yang memenuhi sekeliling mulai menjauh.

“Aku bukan manusia biasa. Tapi aku juga bukan bangsawan. —Aku adalah sel kanker Doro Cancer, pembunuh ‘Raja’ yang abadi. Itulah jati diriku.” 

Bersamaan dengan keterpakuanku, cahaya ungu di matanya bergetar. 

“Mata Kebenaran – Eye of the Providence.”

Lalu, melalui tatapan itu, kembali mengalir deras arus kegelapan, sama seperti waktu itu.

Tak terjangkau akal, tak ada ruang untuk empati. Kegelapan hampa dan tak bermakna menutup kembali pandanganku, namun kali ini, berbeda dari saat di dalam gerbong kereta.

Di kekosongan yang tak mengenal atas-bawah atau timur-barat, terdengar suara Cronica entah dari mana.

『Inilah tempat aku dilahirkan…  inilah tempatnya. Inilah Raja yang abadi itu sendiri.”』

Dalam kegelapan itu, tak terhitung bentuk yang kehilangan wujud bergeliat, seolah tersiksa.

Mereka pernah menjadi manusia. Inilah sisa-sisa memori dan perasaan yang sedang dicerna, jiwa-jiwa yang menghitam, setengah larut, merintih tanpa suara.

Dan melalui ingatan yang dibagikan gadis itu, pemahaman pun datang secara beruntun.

Ini bukan dunia nyata. Tidak menempati ruang sebagai tempat fisik.

‘Raja’ itu, sejak awal, adalah entitas yang tak berada di mana pun di dunia ini.

『Ya, tepat sekali. Dan inilah rahasia keabadian Sang Raja. Sejak awal, ia tidak berada di mana pun. Karena itu, tak seorang pun bisa membunuhnya dan meski seribu tahun berlalu, ia tidak akan mati. Dia adalah makhluk tak berwujud yang bersemayam dalam Regalia, faktor darah bangsawan, dan melalui darah itu, ia terus memangsa jiwa para rakyat jelata yang menjadi korban… Makhluk tak nyata ini adalah Parasit Raja (Parasite Monarch) yang menghuni gen manusia di benua ini.』

Itulah sebabnya, bangsawan adalah ibarat sel. Peran mereka adalah menjadi bagian dari tubuh Raja, sekaligus pelayan yang menyajikan makanan yang diperlukan untuk mempertahankan keberadaan kosong sang penguasa tanpa wujud itu.

Dan makanan itu adalah…

Apa yang sedang kulihat saat ini, jiwa-jiwa yang sedang dicerna.

『Kenangan, emosi, dan seluruh pikiran orang mati… Singkatnya, sama seperti yang kulihat dengan mata kiriku. Yaitu jiwa manusia. —Itulah hakikat peran bangsawan. Terus-menerus menyiksa dan membunuh rakyat jelata, memisahkan jiwa dari raga, lalu mengirimkannya kepada sang penguasa melalui darah mereka. Mereka adalah pelayan tak sadar… budak yang tidak tahu diri.』

Dengan tertegun, aku akhirnya tak punya pilihan selain menerima kebenaran kerajaan Legatos di masa lalu.

Bangsawan adalah manusia yang telah dijangkiti Raja melalui Regalia, Faktor Darah Bangsawan.

Dorongan kekerasan dan sifat kejam yang ditanamkan pada mereka hanyalah untuk memastikan mereka menjalankan peran bawaan itu: penyedia makanan bagi sang penguasa.

『—Dan begitulah aku dilahirkan.』

Bersamaan dengan suara itu, pandanganku mulai lebih dalam terhubung dan menyatu dengan Cronica.

***

Di tengah kaburnya batas antara diriku dan “aku”-nya, aku menyaksikan kelahiran “diriku” itu.

Siluet manusia kehilangan bentuk, tenggelam dalam kehampaan.

Namun serpihan-serpihan samar yang tersisa saling terhubung; penyesalan dan dendam saling melengkapi, membentuk satu kepribadian utuh.

Entah sudah berapa lama waktu berlalu.

Begitu “aku” memperoleh kesadaran diri, perasaan yang menguasai tentu saja hanyalah ketakutan.

Takut, sebegitu takutnya hingga tubuhku bergetar.

Menyadari bahwa aku telah dilahirkan di rahim monster yang memangsaku sendiri, membuatku ingin lenyap… namun naluri untuk bertahan hidup yang terlalu muda ini tak bisa dibungkam.

‘Aku tidak mau mati.’ Entah itu jeritan pribadiku yang bahkan belum punya nama, atau suara dari para korban yang sudah dimangsa, aku tidak tahu.

Yang jelas, aku meronta dan menjerit dengan “tangan dan kaki” yang bahkan tidak berbentuk.

Dan pada akhir dari pergulatan itu, “aku” berhasil menggenggam sebuah keajaiban.

Makanan Raja adalah jiwa rakyat jelata yang sudah mati.

Maka, untuk mengamankannya, ia memiliki organ pemangsa, satu-satunya titik kontak dengan dunia luar.

Itulah sel mata Raja.

Dari Faktor Darah Bangsawan – Regalia, sel ini menangkap jiwa korban yang dilihat bangsawan, lalu menyalurkannya ke perut kegelapan sebagai ‘kerongkongan’ sekaligus organ pemangsa.

Fungsi itulah yang kucuri lalu kugunakan sebagai jalan lahir, untuk mengalir balik ke dunia ini.

Itulah awal mula Cronica.

Itulah sebabnya, “aku” adalah Doro Cancer—sel kanker sekaligus sel mata, mutasi yang membawa kehancuran bagi sang penguasa.

***

"……Ghh!! O-ohh!"

Begitu aku kembali ke kenyataan, perbedaan yang begitu kontras dengan lautan senja yang tenang membuatku tersungkur berlutut.

Kulihat, Evelyn di sampingku juga sepertinya menerima hal yang sama; ia berkata dengan napas terputus, keringat dingin mengalir di wajahnya.

"…Begitu rupanya, gadis kecil. Jadi itu sebabnya kau…"

Sekali lagi, dari tepi ombak yang seolah terpisah bagai dunia seberang, gadis itu menyusun kata-kata ke arah kami.

"Setelah aku memisahkan diri, Raja kehilangan organ pemangsanya. Ia tak bisa lagi mengambil makanan baru, dan jatuh ke dalam keadaan dorman. Selain itu, kerusakan pada tubuh utamanya juga melemahkan (Origin Noble), para bangsawan agung yang merupakan sel langsungnya… Akibatnya, revolusi itu berhasil."

Kebenaran di balik hari revolusi, hari yang mengubah takdir banyak orang, termasuk aku. Kini telah sepenuhnya diungkap dari mulut satu-satunya pelaku langsungnya.

"Kalau sampai sini, kau pasti sudah mengerti. Pada hari revolusi, ada yang mengatakan bahwa ordo ksatria membawa keluar dari ibu kota sisa jasad Raja. Itu sebenarnya adalah aku. Tapi aku melarikan diri dari mereka, karena aku tahu apa yang ingin mereka lakukan padaku… Itulah sebabnya ordo ksatria mengejarku. Karena mata kiriku ini, yang dulu kucuri dari Raja, kini adalah satu-satunya harapan mereka untuk membangkitkannya kembali."

Mendengar itu, Evelyn langsung menunjukkan ekspresi yang begitu mengancam, lalu berteriak kepada gadis itu tanpa ragu.

"Kalau begitu, matilah sekarang juga."

"…Andai sesederhana itu, tentu akan lebih mudah."

Entah sejak kapan ia mendapatkannya, Cronica mengangkat roknya sedikit dan menarik pistol dari sabuk di bagian paha dalamnya, lalu menempelkan moncongnya ke pelipis sendiri.

Tanpa sempat aku berkata ‘tunggu’, suara tembakan menembus kepala kecil itu, dan tubuhnya yang anggun serta mewah ambruk ke laut.

Namun perlahan, dari permukaan air yang merah keruh, gadis itu bangkit kembali.

Dengan rambut berlumuran darah yang menempel di wajahnya, ia tersenyum dengan ekspresi yang tampak terdistorsi seolah-olah terkutuk.

"Aku tidak bisa mati."

Aku teringat. Saat ia tertembus di dalam kereta, saat kehilangan seluruh kakinya di hotel ibu kota… Luka-luka itu, bahkan bagi bangsawan sekalipun, seharusnya sudah cukup untuk membunuhnya.

"Aku pada akhirnya hanyalah sel kanker. Selama tubuh utamanya tidak musnah, aku pun tak akan bisa mati. Dengan kata lain, seperti memakai kalung rantai di leher… sungguh merepotkan."

Kehidupan yang dulu pernah ia genggam erat karena tak ingin mati, lambat laun berubah menjadi siksaan. Musuhnya abadi akan mengejar ke mana pun, sampai kapan pun. 

Dirinya sendiri abadi tak peduli sejauh mana ia melarikan diri, tak akan ada akhir.

Bicara perlahan, tatapannya menyerupai mata seorang pengelana yang letih berjalan, kini menatapku seakan mencari pegangan.

"Jadi… maaf, Linus. Aku sudah membohongimu. Keinginanku untuk pergi ke seberang laut… itu bohong. Aku hanya… sudah terlalu lelah untuk terus melangkah."

Sejak awal, tujuannya adalah mati, demikian pengakuan yang keluar bersama air mata yang terasa kering, seolah sudah tak tersisa kesedihan.

Dan entah sejak kapan, tangan kanannya yang ramping terkulai, menggantungkan buku harian itu.

"Aku… hampir tidak bisa mengingat lagi. Saat pertama kali bertemu denganmu, misalnya."

Suara Cronica yang berderit seperti kayu tua entah kenapa membuat dadaku serasa terkoyak.

Ada banyak hal yang tiba-tiba terasa masuk akal: kebiasaannya menulis setiap kejadian di buku harian, jarinya yang berkali-kali membalik halaman yang sama, sikapnya yang jarang bercerita tentang masa lalunya.

Gadis berambut merah seperti salju senja itu mengaku, ingatannya perlahan menghilang.

"Sejak aku lahir, dan matanya dirampas, Raja tidak lagi bisa memperoleh makanan baru. Tapi tahukah kamu kenapa ia masih abadi? …Saat ia tertidur, ia mencerna pikiranku. Satu-satunya yang masih terhubung dengannya. Menggerogoti ingatan, menghancurkan kenangan, lalu mengubahnya menjadi nutrisi paling minimal yang ia perlukan untuk terus ada."

Perjalanan yang telah dilalui hingga kini, kenangan yang telah terkumpul, semuanya telah terhapus begitu saja, ucap gadis itu.

Namun ia harus terus berjalan; jika berhenti, jika tak lagi menciptakan kenangan perjalanan, saat itulah hidupnya benar-benar akan dilahap sampai lenyap.

"Cronica… kau selama ini…"

Apakah kau menempuh perjalanan itu sendirian?

"Sampai aku bertemu denganmu."

Mata kirinya terpejam rapat sekali, Kemudian, seperti luka yang terbuka kembali, air mata berdarah mengalir dari mata amethyst ungu yang merekah.

Meski dalam keadaan seperti itu, Cronica tetap menampilkan senyum tipis, sambil menyampaikan rasa terima kasihnya.

"Aku sudah tidak mengingatnya sebagai kenangan… tapi berkatmu, sambungan antara diriku dan Raja tubuh utamanya telah rusak. Keabadian yang diberikan padaku juga… sudah jauh melemah."

Darah merah terus mengalir deras dari kepala mungil dan matanya yang retak.

Dengan jemari tipis, ia menadahkan telapak tangan, menampung darahnya sendiri seakan itu adalah berkah, sambil terus tersenyum.

"Tentu saja, aku masih jauh dari bisa mati… tapi sekarang, aku rapuh cukup untuk jatuh sakit seperti masuk angin."

Karena itu, hanya tinggal satu dorongan terakhir.

"Jika dengan tanganmu, aku pasti bisa mati. …Kau sudah menyadarinya, kan, Linus? Bahwa tubuhmu sekarang, bukan lagi tubuh manusia biasa."

Saat itu, di kereta, Raja dipindahkan padaku. Sejak itu, terlalu banyak tanda-tanda yang bisa kuingat: meski berkali-kali terluka parah dan nyaris mati, entah mengapa aku masih hidup sama sepertinya.

"Melalui tatapanku, kau terhubung pada Raja. Tapi kau menolaknya, dan merobek sambungan itu. Meski mengandung elemen Raja seperti diriku, kau berbeda sepenuhnya terpisah, seperti sebuah keajaiban yang berdiri sendiri. Karena itu, pasti…"

Sambungan kata-katanya tersampaikan lewat tatapannya, tanganku mungkin bisa mengintervensi Cronica lebih dalam daripada siapa pun. Tangan ini mungkin bisa memutuskan rantai terakhirnya.

"Terima kasih. Karena kamu seorang pembohong. Hari itu, di detik itu, di saat itu, topengmu berhasil menipu Raja yang tak punya wajah… dan karenanya, perjalananku akhirnya bisa berakhir."

Dengan latar belakang laut senja, gadis merah-salju itu membuka kedua tangannya dengan lega bagaikan sebuah lukisan yang menggambarkan tempat yang bukan dari dunia ini.

…Dengung aneh di telinga tak kunjung reda. Bahkan semakin keras.

"Aku adalah sel kanker, aku tak akan mati selama tubuh utama tidak mati. Sebaliknya, jika aku mati, Raja itu sendiri akan musnah. …Jadi kau tidak perlu ragu."

Jika Raja bangkit kembali, negeri ini akan kembali menjadi kerajaan kegelapan, Regatos. Satu-satunya cara untuk mencegahnya adalah kematian Cronica.

"Aku sangat takut… kehilangan diriku sendiri, menjadi bukan ‘aku’ lagi. …Dan sama besarnya rasa takut itu, aku juga tak ingin ada lagi orang yang mengalami nasib seperti ini. Tidak satu pun."

Itulah disusun dari tak terhitung banyaknya penyesalan dan harapan yang telah larut di perut kehampaan isi hati yang tulus dari Kronika, buku harian tahun-tahun tanpa nama, yang akhirnya ia ungkapkan dengan lirih.

"Lakukanlah."

Suara Evelyn yang dingin mendorong punggungku yang membeku. Terdesak oleh dorongan itu, aku melangkah, satu langkah ke pasir pantai yang basah.

Dua langkah, tiga langkah. 

Jarak itu terasa anehnya jauh, dan meski berjalan, aku masih belum mengerti.

Linus Kruger, si penipu, akan melakukan apa saja demi uang. Jika perlu, ia akan menipu, memperdaya, merampas. Bahkan membunuh kakak kandungnya sendiri. Orang busuk seperti itu, mengapa sekarang justru ragu?

Aku sama sekali tak mengerti. Dan tanpa sadar, aku sudah berdiri tepat di hadapan gadis itu.

"…Bagaimana dengan uangku?"

"Jangan khawatir. Kalau aku mati, ingatanmu akan kembali dengan sendirinya."

Membelakangi sinar merah keemasan senja, Cronica membuka kedua tangannya, seolah menyambutku. Percikan ombak dingin menerpa dadaku. Jantungku berdetak sakit nyaring, begitu mendesak seakan akan merobek tubuhku dari dalam.

"Aku senang… bisa melakukan perjalanan bersamamu…"

Menuju leher putih di hadapanku, perlahan, aku mengulurkan kedua tanganku.

"Terima kasih, karena sudah menolongku. …Makan bersama denganmu makanannya enak sekali. Diberi pakaian indah membuatku malu, tapi sebenarnya aku sangat bahagia."

Ujung jariku meraih leher ramping itu, seperti memetik setangkai bunga.

"Waktu itu, maafkan aku. Tapi topi itu, memang sangat cocok untukmu… Terima kasih sudah menerimanya."

Gadis itu menatapku dari bawah, lalu tersenyum malu-malu, seolah kelopaknya merekah.

Mata kiri berwarna ungu kebiruan itu menyampaikan kenangan dari waktu yang telah kita lalui bersama sesuatu yang tak tergantikan.

Mata yang berembun itu memohon dengan begitu tulus: biarkan aku mati sambil memeluk semua ini dalam wujud yang tetap nyata.

Aku, seakan memutuskan sesuatu, menambah kekuatan di jemariku.

Ibu jariku menekan, menutup saluran napas, menghentikan suara dan tarikan napas Cronica.

"────ka… ah…"

Dari telapak tangan mungilnya, buku harian jatuh ke laut, menimbulkan suara berat saat menyentuh air.

Telingaku dipenuhi dering yang bengkok, teriakan koin yang terdistorsi, tak henti bergema di kepalaku.

Seakan diancam oleh peringatan tanpa kata yang bergema di benakku, aku terus mencekik leher rapuh itu.

──Jangan dengarkan apa pun lagi. Jangan lihat apa pun lagi. Cepat bunuh dia. Mata kirinya itu tetap memantulkan seluruh ingatan dan isi hatiku seperti biasa.

──Kalau tidak, kau akan menyadarinya, akan melihat kebenarannya.

Yang berdiri di sana memanglah seorang penipu. Seseorang yang demi uang tak merasa malu atau menyesal sebuah kebobrokan tak bermoral berbentuk manusia.

Namun, mengapa… di mata kanan gadis itu, aku terlihat sedang menangis?

"──A… a…"

Saat itu juga, di dalam diriku sendiri, terdengar bunyi retakan mematikan, lalu semuanya runtuh.

Lalu aku melihatnya, menemukannya. Di dalam ingatanku yang terpantul di kristal ungu itu, di balik topeng penipu yang selalu kukenakan.

Kebenaran tentang pria bernama Linus Kruger… yang selama ini selalu kuhindari untuk menatapnya langsung.


Part 6

Hari itu, tidak hujan.

Aku menaiki tangga. Meski dadaku dipenuhi kegelisahan, langkahku berat, seolah ragu untuk sampai di tujuan. Setelah tiga hari, aku akhirnya berniat pulang ke kamar bobrok itu.

Aku tidak merasa telah berbuat salah. Namun aku sadar… aku telah berkata terlalu kasar. Aku harus bicara lagi dengan Nee-san. Ya… aku harus melakukannya.

Dengan pikiran itu, aku memutar kenop pintu. Pintu reyot yang tak terpasang baik itu berdecit, seperti menegurku.

Di dalam kamar… tak ada siapa pun. Dan di saat itu, aku akhirnya mengerti.

『…? Nee-san, ini aku. …──!! Nee-san!!』

Orang yang tak bisa hidup tanpa ditopang oleh yang lain… ternyata adalah aku.

Tempat tidur kosong. Ruangan yang memang tak banyak barang itu tak menunjukkan tanda-tanda dirusak. Namun di atas meja, ada toples kaca berisi tabungan kakak, dan selembar surat.


『Kepada Linus.

Saat kau membaca ini, mungkin aku sudah berada di tempat di mana kita takkan pernah bertemu lagi. Menurutku… itu yang terbaik.

Maaf. Ada banyak hal yang ingin kutulis, tapi jika terlalu panjang, aku takut rasa berat di hati ini akan menahanku, jadi akan kutulis yang paling penting saja.

Aku… adalah kakak yang terburuk.

Meski alasan kau melakukan hal-hal buruk itu pada dasarnya semua berawal dari salahku, aku malah memarahimu tanpa mendengar penjelasan. Aku benar-benar minta maaf.

Tapi… itu tidak mengubah kenyataan bahwa yang kau lakukan adalah salah. Aku berharap… kau bisa menyadari kesalahan itu secepat mungkin.

Karena itu, aku memilih untuk menghilang dari hadapanmu. Tapi jangan bersedih. Tidak apa-apa.

Selama ini aku tak pernah bilang, tapi ternyata tenggorokanku sudah tak bisa sembuh. Aku ingin sekali berdiri di panggung bersamamu suatu hari nanti, tapi biarlah itu tetap menjadi mimpi.

Baiklah, jaga dirimu. Mulai sekarang, hiduplah dengan bebas, sesukamu.

Dari kakakmu.

P.S. Terima kasih untuk segalanya. Aku mencintaimu. Aku sangat menyayangimu.』


Surat dengan goresan tinta yang bergetar itu hancur lebur di dalam genggaman tanganku.

『Jangan… bercanda… Jangan bercanda, Neee-sann…!!』

Lalu, berminggu-minggu berikutnya aku berlari ke segala penjuru, mencari kakakku dengan sekuat tenaga. 

Untungnya… ada satu petunjuk.

Uang di dalam toples kaca itu.

Dalam ingatan terakhirku sebelum hari itu, jumlahnya tak seberapa. Namun dalam semalam jumlahnya menjadi lebih dari dua kali lipat. Itu berarti… itu adalah uang muka.

Dan tepat sebulan setelahnya, aku berhasil melacak rumah bordil tempat kakak menjual dirinya sendiri.

『Oyy. Tempat apa ini? Di mana kakakku?』

Seorang wanita yang mengaku mengenalnya kubayar untuk menunjukkan jalan.

Namun yang ia tunjukkan bukanlah sebuah bangunan, melainkan sebidang tanah kosong luas di tengah kota.

Sejak kerusuhan Revolusi, paving di tempat itu terkelupas, menyisakan tanah hitam terbuka, penuh bekas galian di sana-sini.

Wanita itu berhenti, lalu menunjuk tanah itu dengan acuh tak acuh.

『Mungkin… sekitar situ.』

『…A-apa, maksudmu?』

Mengabaikan firasat buruk yang menusuk tulang belakangku, aku bertanya lagi.

Ia menjawab dengan nada malas:

『Kami menguburnya. Minggu lalu, di sekitar sini.』

『──』

『Semuanya begitu. Kalau mati entah karena sakit, luka dipukul pelanggan, atau mabuk berlebihan, ya dikubur saja. Tempat ini cukup luas, tanahnya lunak. Kakakmu… minggu lalu dia batuk darah, jatuh, dan tak pernah bangun lagi. Jadi… aku yang menguburnya.』

Tubuhku ambruk di atas tanah dingin, seperti benang yang putus. Makna hidupku… hilang begitu saja, lenyap bersama tanah yang kupijak. Lebih cepat daripada air mata, teriakan itu lepas dari tenggorokanku:

『A… a… aa, o… OOOOOAAAAAAHHH!!』

Hatiku berderit, retak, lalu hancur berkeping-keping. Ini salahku. Semua salahku.

Karena aku mengucapkan kata-kata itu… karena aku benar-benar mengatakannya.

Hiduplah sehat dan bebas?

Mustahil.

Meskipun itu adalah keinginan terakhir kakak… 

Aku takkan sanggup. Tak mungkin aku bisa hidup tanpa kakakku. Tak mungkin aku bisa menjalani hidup sambil memikul kata-kata yang tak sempat kusampaikan, perasaan yang tak pernah kuceritakan. Bagi “aku” yang seperti ini, itu mustahil.

Karena itu, ──Orang pertama yang kutipu adalah diriku sendiri.

Kuciptakan kenangan palsu… lalu kupakai sebagai topeng.

Karena aku adalah bajingan yang mau melakukan apa saja demi uang, maka… membunuh saudara yang paling kucintai dengan tanganku sendiri pun tak akan membuatku merasa apa-apa.

Takkan membuatku bersedih. Itu yang harus kupercayai… agar bisa terus bertahan.

Itulah… awal mula dari sosok bernama Linus Krüger, sang penipu.


Part 7

“A… a… AAAHHH!!”

Teriakan itu, yang meledak dari tenggorokanku yang terbuka lebar, bersambung langsung dengan jeritan di hari itu.

Seperti mendorong keras-keras, aku melepaskan genggamanku dari leher ramping yang tadi kukekang.

Lalu, secara refleks, tanganku beralih ke wajahku sendiri.

Aku berusaha mati-matian menekan topeng yang tak pernah ada di sana. Namun kini, tak ada lagi yang bisa menahan. Massa tak kasatmata itu mengalir keluar di sela-sela jariku seperti butiran pasir dan menghentikannya adalah hal yang mustahil.

Karena aku sudah mengingatnya kembali. Siapa sebenarnya yang telah aku tipu selama ini.

Ya… aku telah berbohong.

Telah menipu.

Bukan siapa pun, melainkan diriku sendiri, lebih dari siapa pun.

Aku telah meyakinkan diriku bahwa aku adalah bajingan paling rendah yang akan membunuh kakaknya sendiri demi uang, bahwa aku tak akan merasa sedih.

Aku menutupi rasa sakit itu dengan kenangan palsu, menutup telingaku dengan bunyi koin yang tak pernah ada.

“Aku… aku… AA… AAAHHH!”

“Linus… Kau…”

Di pantulan amethyst matanya yang terbuka lebar, tergambar lelaki malang yang akhirnya menanggalkan topengnya, sosok “aku” yang lemah dan menyedihkan, yang selama ini paling ingin kulupakan dan kuhapus dari dunia.

“…Aku tak bisa… membunuhmu… Aku sudah tak peduli lagi soal uang.”

Tanpa perhitungan, tanpa rasa malu, tanpa memikirkan penilaian orang, tenggorokanku bergetar diiringi isak.

Topeng yang melindungi hati telanjang ini sudah tiada; kini yang ada hanyalah seorang pria yang begitu tolol, begitu rapuh, dan bukan siapa-siapa—mengeluarkan isi hatinya begitu saja.

Seluruh tumpukan uang yang kukumpulkan selama ini hanyalah alasan untuk membutakan diriku dari masa lalu.

Dan kini, ketika alasan itu telah hilang, di tanganku tak tersisa satu pun alasan untuk membunuhnya.

“Meski begitu! …Kumohon, lakukanlah apa saja… Aku sudah tak mau hidup lagi.”

Nada memohon yang terdengar seperti tuduhan itu mendapat jawaban yang terdengar seperti alasan yang memalukan:

“…Aku tak bisa.”

“Kenapa!?”

Karena…

“Aku… senang… melakukan perjalanan bersamamu.”

Tanpa disaring oleh satu pun pikiran, kata-kata itu sudah terucap sebelum kusadari. Cronica kali ini benar-benar terdiam.

“Jangan… —tinggalkan aku sendirian lagi.”

Pengakuan tulus yang serak itu membuat wajah gadis yang kini telah menembus semua lapis diriku, berkerut dalam campuran ekspresi—seperti jengkel, seperti marah, namun juga penuh warna yang kacau.

“Bodoh! Bodoh… bodoh bodoh, bodoh besar! Kamu itu penipu, kan!? Kenapa… kenapa, padahal ini yang terakhir! Ini… ini saat semuanya berakhir!”

Ia mengayun langkah menghantam ombak, maju dengan penuh amarah, lalu kedua tinjunya berkali-kali memukul dadaku.

“Bahkan satu kebohongan pun… tidak mau kau pertahankan sampai akhir!?”

Tinju itu ringan, kecil. Namun perih yang terkandung di dalamnya menusuk hatiku lebih dalam dari rasa sakit di tubuh.

“Maaf. Salahku… tapi, kumohon. Tolonglah.”

Jangan pernah bilang kau ingin mati lagi. Kalau itu syaratnya, aku akan melakukan apa saja. Mendengar semua kemauanmu, apa pun itu. Jadi—

“—!? Tiarap!!”

Sekejap, Cronica menatapku dari bawah, lalu secepat refleks menarik kerah bajuku.

Tubuhku yang terkejut mudah sekali tertekuk, dan sebelum wajahku membentur permukaan asin air laut—

Sesuatu dari belakang membelah angin, menyambar, dan menyentuh panas di belakang kepalaku.

“…!”

Segera aku mengangkat wajah dari air asin, menoleh, dan melihatnya.

Berdiri di pasir pantai, menatap ke arah kami dengan niat membunuh yang terbuka lebar, adalah sosok bunga hitam-putih tunggal—

Evelyn Havelhaval.


Part 8

Kalau kupikir-pikir, mungkin saja dia sudah bersiap untuk situasi seperti ini sejak awal.

"Aku rasa kau mengerti apa yang ingin kukatakan."

Selama perjalanan singkat ini, maid itu selalu menjaga jarak dengan kami.

"Linus, kalau kau tidak bisa membunuhnya, aku yang akan melakukannya. Dari ceritamu barusan, meski itu bukan kemauanmu, kalau aku menggunakan tubuh yang sudah tidak bisa bergerak itu, secara tidak langsung aku juga bisa melukai atau membunuh gadis kecil itu, bukan? Bagaimana menurutmu? Oh, dan tidak perlu menjawab. Aku akan memastikannya sekarang."

Sebelum sempat berpikir, aku langsung menyelipkan tangan ke rok Cronica yang basah. Dengan cepat aku menarik pistol dari sabuk di bagian paha dalamnya. Untung saja pistol itu tipe perkusi, jadi meski agak basah, tetap bisa ditembakkan.

Namun, Evelyn hanya mendengus sinis sambil menatap ujung pistol yang kuarahkan padanya, tanpa mengubah ekspresinya sedikit pun.

"Kau pikir dengan mainan seperti itu, kau bisa memberikan perlawanan berarti padaku?"

Bersama rasa iba yang terdengar seperti nada mencibir, dari bawah maid apron putihnya mulai muncul bilah-bilah hitam yang terbentuk secara tiga dimensi.

"Berhenti, Evelyn! Kalian berdua, kumohon—"

"Percuma, Cronica. Apa kau pikir dia akan berhenti hanya karena kata-kata?"

"Itu tergantung padamu."

Tak kusangka, Evelyn menunjukkan sedikit celah untuk bernegosiasi.

"Gadis kecil, kau tidak bisa dibiarkan hidup. Itulah tanggung jawabku sebagai pelaksana kekerasan negara. Tapi, penipu... seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, aku tidak peduli apakah kau hidup atau mati."

Dengan suara sedingin es, dia menodongkan timbangan hidup dan mati itu padaku.

"Bunuh dia. Akan kubiarkan kau pergi."

Tak perlu ditanya siapa harus membunuh siapa. Maka, ini bahkan belum layak disebut negosiasi gagal sejak sebelum dimulai.

Tanpa sepatah kata pun, aku menggenggam pistol di satu tangan, lalu berjalan menembus ombak kecil dan naik ke pasir pantai.

Rencananya begini: Pertama, entah bagaimana caranya, aku harus mendekat. Kedua, kalau bisa sampai jarak dekat, aku akan menembakkan seluruh peluru, lalu memukul, menendang, mencekik. Pokoknya terus menyerang sampai dia mati.

Setelah memikirkan rencana itu dengan serius, aku malah tak sengaja terkekeh aneh. Tidak, ini jelas mustahil. Bahkan bocah ingusan pun bisa memikirkan rencana yang lebih baik dari ini. Misalnya... kabur.

Jadi jelas, ini sudah tak lain hanyalah bentuk keputusasaan. Bersamaan dengan runtuhnya topengku, hilang pula seluruh arti dan nilai hidupku sebagai seorang penipu.

Yang tersisa padaku sekarang hanyalah penyesalan di hari itu—penyesalan yang akhirnya kuingat kembali. 

Karena itulah, kali ini, jika harus membunuh orang yang penting bagiku dengan tanganku sendiri...

"Tunggu Linus!!"

Teriakan nyaring Cronica mendorongku untuk menunduk dan berjongkok di tempat, seperti pelari yang bersiap melesat saat peluit dibunyikan.

Itu membuat waktu serangan dan segala gerak-gerikku jadi terbaca jelas. Dari luar, ini pasti terlihat seperti tindakan bunuh diri. Tapi Evelyn bukan satu-satunya hal yang kusembunyikan di balik punggung Cronica.

"!!"

Matahari senja. Siluetnya membakar pandangan Evelyn yang berdiri di depanku. Jika itu bisa membuatnya menutup mata walau hanya sedetik, itu sudah cukup.

Telapak sepatuku yang basah menginjak dan menendang ombak surut. Dengan sisa tenagaku, aku berlari menembus jarak hanya belasan kaki itu.

Helaian rambut hitamnya yang bergoyang tertiup angin laut sudah begitu dekat. Tepat sebelum aku menarik pelatuk ke arah wajahnya—

"Ya. Maaf, tapi ini jelas mustahil."

Tanpa suara, tanpa bayangan, sesuatu menghantam wajahku. Tak berhenti di situ, pukulan berikutnya menghajar tenggorokan, perut, lalu kakiku secara beruntun. Tak berdaya, tubuhku terhempas dan tenggelam di pasir pantai.

Dengan darah mengalir dari hidung yang patah, aku menatap ke atas. Evelyn menepis tinjunya lalu memandangku dari atas dengan wajah bosan.

"Kau tidak tahu? Senjataku bukan hanya Regalia, Blood Factor dari darah bangsawan. Lebih tepatnya, seni bela diri adalah main weapon-ku."

Pukulan tangan kosong secepat itu bahkan sebelum aku sadar apa yang sebenarnya terjadi, semua sudah terlambat. Tidak, kemungkinan besar aku sudah kalah sejak awal.

Rambutku ditarik, wajah yang berlumur darah dan pasir dipaksa terangkat. Sepasang mata buas itu menatapku dengan ketenangan dingin seorang pemburu. Lalu leherku, bersama seluruh tubuhku, diarahkan ke belakang.

Dalam pandangan yang terbalik, aku bertemu tatap dengan gadis yang berjongkok lemas di tepi laut.

Sepasang mata bengkak karena menangis menatapku, sambil memeluk erat topi yang tadi terjatuh.

"Akan kukatakan sekali lagi. Bunuh dia, maka akan kubiarkan kamu hidup. Lalu kembalilah menjadi penipu. Bermain menjadi pahlawan murahan seperti ini... tidak cocok untukmu."

Cakar yang menempel di leherku menekan makin dalam, rasa sakit itu menusuk seperti ultimatum terakhir.

Ketegangan yang melewati batas itu membuat sekeliling jadi sunyi luar biasa. Sunyi yang kejam, seperti hari ketika kau tiba-tiba diberi cuti panjang tanpa alasan hening yang siap menutup lembar hidupku.

Namun—

"Dasar payah. Tidak bisakah kau mengucapkan kalimat yang sedikit lebih bagus?"

"Sampai akhir pun kau masih bersikukuh, ya... Yah, meski kita tak lama kenal, itu memang gayamu."

Mengabaikan aura kematian yang begitu dekat, aku memusatkan kesadaranku pada pistol yang masih kugenggam.

"Kalau begitu, selamat tinggal —orang bodoh."

Situasi mulai bergerak. Semua yang ada padaku akan mencapai akhirnya. Dan pada detik itu—

"Eye of the Providence, Third Eye."

Panas seperti besi cair menusuk retina, tanpa ampun meresap hingga ke sumsum tulangku.

Lalu, entah kenapa, ingatan yang seharusnya tak kumiliki mengalir jernih, menuntun gerak tubuhku.

"! A-apa...!?"

Dengan siku yang menghantam ke belakang, aku memutar pergelangan tangan Evelyn yang mencengkeram leherku, memaksanya melepas. Lalu ujung kakiku yang menginjak pasir menendang dagunya seperti kaki kuda, dan dengan gerakan salto ke depan, aku lolos dari cengkeramannya.

Saat kusadari, aku sudah berdiri dan menatap Evelyn yang kini telentang menatap langit.

Aku tertegun, terheran pada gerakanku sendiri yang melesat secepat kilat. Namun ini berbeda dari sebelumnya, bukan sekadar bergerak tanpa paham apa yang terjadi. Ada keyakinan seperti pengalaman bertahun-tahun yang membimbing tangan dan kakiku menuju tingkat seorang ahli.

"Ti... tidak mungkin..."

"Apa-apaan itu!!"

Evelyn melompat bangun. Tinju yang menyerangku tanpa jeda itu, entah bagaimana, berhasil kuantisipasi.

Aku menepis pukulan pertamanya, menghindari serangan kedua, lalu membalas tendangannya dengan tendanganku sendiri. Kami saling bertukar pukulan dan tendangan belasan kali, menciptakan pertarungan tangan kosong secepat kilat tanpa menyisakan bayangan.

Entah siapa yang memulai, aku dan sang maid itu sama-sama menjauh, seperti dua penari yang berpapasan lalu berpisah.

Noble Cross. Sebuah istilah asing bergema di kepalaku. Dengan kata lain...

"Trik apa itu? Baru saja kau bahkan tak bisa melihat gerakanku, dan sekarang, dalam sekejap, kau sudah menguasainya...!?"

Mungkin karena kebanggaan pribadi, Evelyn menggertakan giginya, Tapi orang yang menjawab bukanlah aku.  

"Aku memindahkannya padanya. Teknik dan pengalamanmu."

Ucap Cronica, yang melangkah di pasir sambil menimbulkan bunyi percikan air.

“Transfer jiwa dan roh... Ini adalah senjata rahasia ku. Memindahkan jiwa seseorang ke orang lain.”

Dengan tatapan nyaris membunuh, Cronica berdiri pelan di depanku.

Di antara lengannya yang bersilang, topi hitam yang dipeluknya tampak tertekan.

"Jangan salah paham."

Dengan nada seperti menasihati, dia melanjutkan bahwa kekuatan yang diberikannya hanyalah untuk keluar dari situasi ini sementara.

"Aku tidak memberimu cara untuk bertarung... Kalau kau mencoba menghadapi dia hanya karena sekarang kemampuan kalian setara, kau pasti mati."

"Memang."

Aku pun tahu. Tanpa Regalia, perbedaan kemampuan biologis antara dia dan aku masih terpaut sejauh langit dan bumi. Tapi—

"Kalau ada yang kurang, aku akan menutupinya dengan improvisasi. Menutup-nutupi itu memang keahlianku."

Sambil meyakinkan diri dengan sikap sok percaya diri, aku mengepalkan tinju dan kembali menghadap maid bergaun hitam-putih itu.

Cronica langsung terlihat panik dan menegurku dengan nada marah.

"Bodoh! Tidak! Aku bilang kamu akan mati! ... Jadi, sudahlah. Mau kamu lakukan apa pun, di sini semuanya akan berakhir. Harus diakhiri sekarang juga."

"Diam."

Dengan satu kalimat itu, aku membuatnya terdiam. Kepada Cronica yang melotot padaku, aku menghela napas panjang dari dasar hati.

"Aku mulai muak. Jangan kira aku akan selalu nurut saja setiap kali kau menyuruh ini-itu. Mulai sekarang, biarkan aku melakukan segalanya sesuka hatiku."

"A-ap...! Ta-tapi, barusan kamu bilang akan nurut apa saja yang aku—"

"Aku tidak bilang. Hanya terpikir saja. ...Dan sekarang aku sudah berubah pikiran."

"K-kamu...! Dasar laki-laki! Selalu bilang begini lalu begitu...!"

Wajahnya memerah karena marah, tapi seketika nada suaranya melemah, seperti memohon sambil meraih dadaku.

"Evelyn itu serius. Dia akan membunuhmu tanpa ampun, tanpa sisa kebenaran yang bisa kau pegang."

"Ya."

"Dan meski kamu menang, nasibku tidak akan berubah."

"Mungkin saja."

"Memang. Aku dari awal bukan manusia, bukan juga bangsawan. Aku hanyalah kumpulan kenangan, wujud semu yang tak pernah ada, kanker yang hanya hidup sementara... Bahkan kenangan perjalananku bersamamu bisa saja sewaktu-waktu dikonsumsi oleh Sang Raja, menghapus egoku bersamaan dengannya."

"..."

"Jadi semua ini hanya perlawanan sia-sia. Tapi... kenapa—"

Mengapa kamu mau mempertaruhkan nyawamu? Begitulah yang matanya tanyakan. Setelah hening beberapa saat, aku menjawab.

"Aku selalu bilang tidak menyesali kehilangan Nee-san. Dan untuk bisa mempercayai kebohongan itu, aku mengorbankan seluruh hidupku. ...Tapi pada akhirnya, sejak langkah pertamaku, semua sudah salah. Karena semakin aku mencoba percaya kalau aku tidak menyesal, semakin itu membuktikan kalau aku memang menyesal."

Cinta, kasih sayang, nilai dari hati manusia semua itu tidak punya wujud nyata. Selama ini aku terus menutupinya dengan logika seperti itu.

Dan seperti yang sudah kuduga, di mata kiri Cronica, ada sesuatu yang tak terlihat tapi tetap tergambar jelas.

Pada titik ini, aku hanya bisa mengakuinya. Setelah bertahun-tahun menipu, memanipulasi, dan menghindari kenyataan, akhirnya aku harus menerima satu-satunya kebenaran yang tak bisa kupungkiri.

"Aku ingin terus melakukan perjalanan bersamamu."

"……っ!"

Dengan hati-hati, aku mengambil topi dari dada Cronica, lalu menaruhnya di kepalaku seperti sedang mengucap sumpah.

"Makanya aku sudah memustuskan. Kalau hidup terus dikejar-kejar sudah terlalu berat buatmu… kalau kau tidak sanggup lagi melakukan perjalanan sambil terus kehilangan kenangan, ya sudah."

Aku berhenti sejenak, sengaja menciptakan jeda. Semata-mata agar kata-kata ini terukir lebih dalam pada diriku sendiri.

"Aku yang akan mengalahkan pasukan ksatria itu, dan Raja itu. Lalu aku akan mengembalikan ingatanmu… juga mengatasi kutukanmu yang tidak bisa mati itu."

Sekejap, dua pasang keterkejutan selain milikku itu tumpang tindih di udara.

"Gimana caranya? Aku juga tidak tahu. Kalau dibilang mustahil, mungkin iya. Tapi siapa peduli. Aku ingin melakukan itu. Jadi aku bakal lakuin semaunya."

Tanpa kata-kata, hanya dengan tatapan, aku menyampaikan perasaanku yang murni itu pada mata kirinya yang memerah dan berembun.

"…Ah, ngomong-ngomong, kenapa cuma aku yang dipaksa bicara banyak begini?

Cronica, sebenarnya… bagaimana perasaanmu?"

"Eh…"

"Kau sendiri maunya apa? Kalau kita berhenti di sini… apa kau benar-benar bisa bilang tanpa sedikit pun dusta dan penyesalan?"

Mungkin pertanyaan itu terlalu licik untuk gadis di depanku. Soalnya, apa yang ingin kudengar darinya pasti sudah terlalu jelas.

"Yang… yang seperti itu… Aku…"

Cronica mundur selangkah, seperti dilanda kebimbangan. Butiran air mata jatuh dari sela rambut merah salju yang berguncang. Setelah berulang kali terhenti, akhirnya emosi yang selama ini ia tekan tumpah keluar, diiringi suara yang nyaris pecah.

"Penyesalan itu… jelas ada!"

Tangisnya pecah. Wajah yang selalu dihiasi senyum itu runtuh, panas, dan penuh gejolak.

"Melakukan perjalanan bersamamu itu menyenangkan…! Pemandangan, makanan, baju yang kupakai, hal-hal sepele semuanya… selama bersama, semuanya terasa begitu bersinar, begitu hidup!"

Padahal seharusnya semua ini berakhir. Padahal ia sendiri pernah ingin mengakhirinya.

"Aku tidak mau lupa lagi, tak mau menghapus lagi… tapi… tapi… aku… masih mau terus berjalan…"

Padahal ia tak sanggup lagi menahan rasa sakit karena kehilangan demi kehilangan, namun tetap… ia memilih melangkah.

Entah sejak kapan, mata kirinya menatapku dengan tatapan seolah menuduh, seolah berkata bahwa aku telah membuatnya merasakan hal ini.

"Kalau bersamamu, meski aku akan melupakan segalanya di sepanjang jalan, aku ingin terus melakukan perjalanan sampai ke mana pun!"

Sungguh, lelaki macam apa aku ini? Betapa pengecut. Betapa keji. Membuatnya sampai mengatakan hal seperti itu, tatapan yang menudingku, membuatku menahan gejolak di dada dan perlahan mengusap kepala gadis itu.

"Terima kasih. …Sekarang sudah cukup. Selanjutnya serahkan padaku."

Saat itu juga, tawa nyaring yang tiba-tiba pecah memutus momen antara aku dan Cronica.

Aku menoleh. Di pantai berpasir, sepuluh langkah dari tempatku berdiri, Evelyn menampakkan taringnya sambil tertawa seolah terheran-heran.

"Benar-benar komedi, kalian ini. Drama kelas tiga yang bahkan tak layak ditonton."

Seperti sebelumnya, niat membunuhnya yang menusuk hidung sama sekali tak goyah. Namun nada suaranya kali ini membawa sedikit rasa lega yang aneh.

"Seorang penipu bermulut manis, melindungi gadis kecil yang nyaris tak punya daya, lalu menantang pasukan ksatria, bahkan Raja dan berharap menang… Lelucon yang begitu menggelikan sampai membuatku ingin membunuh kalian seketika."

Lalu ia menggeleng pelan, senyumnya menghilang, dan dengan nada tajam seperti ujung bilah yang menusuk, ia berkata:

"Tapi, kalau memang kau serius mengatakannya, buktikan di sini sekarang, kalahkan aku, dan tunjukkan bahwa yang mustahil bisa menjadi nyata."

Jari-jarinya pelan merapikan headdress di atas rambut hitamnya, dan tinju yang ia genggam menyampaikan ancamannya.

"Aku adalah Black Broom Maid. Satu bilah pedang yang berlumur darah, yang akan menyapu bersih sampah-sampah yang tersisa di negeri ini. Kalau kau berani menghalangiku, aku takkan ragu. Linus Kruger… aku akan mengeksekusimu."

Angin laut yang tadinya bergerak tiba-tiba mereda. Tepat di sampingku, aku bisa merasakan Cronica terengah menahan napas.

"…Kumohon—jangan mati."

"Ya, akan kuusahakan… jadi, tunggulah."

Untuk menenangkannya, aku menepuk bahunya dengan santai sebisa mungkin.

Lalu, dengan sengaja aku melemparkan pistol yang masih kugenggam—bunyi kering ketika jatuh di pasir menggema, menjadi pengganti lonceng perang.

Sesaat setelah itu—

Dalam sekejap, gadis itu membuka mata kirinya, mendorongku menjauh seolah ingin melindungiku,

Dan tombak bayangan yang datang menembus udara… menancap menembus tubuh Cronica.


Part 9

"──Cronica!!"

"Bagaimanapun, dia tidak akan mati, bukan? Jadi biarkan saja."

Tombak bayangan yang tadinya mengincarku namun meleset itu menembus perut gadis tersebut, lalu mengubah lintasan dan menancapkannya pada tebing curam tempatnya berlari turun tadi membuat tubuh rampingnya terpasung layaknya hukuman salib.

Kini aku mengerti dengan jelas maksud dari tindakan itu.

Orang yang abadi tak bisa dijadikan sandera. Karena itu, dia hanya mengikatnya agar tidak kabur. Tapi alasan dia tidak menyimpannya ke dalam bayangannya sendiri hanyalah karena dia enggan menanggung beban ekstra meski beratnya hanya sedikit.

"Kalau tidak, kaulah yang akan mati... yah, memang aku akan membunuhmu sekarang."

Mulai sekarang, dia akan menyerangku tanpa sedikit pun menahan diri, demi menghancurkanku sepenuhnya.

"Mari, penipu. Kali ini aku akan menari bersungguh-sungguh untukmu."

Aku memaksakan diri untuk memulihkan posisi. Suara pasir yang terinjak terdengar ganda. Aku dan Evelyn, melangkah bersamaan. Langkah yang sama, irama yang sama, menorehkan ritme seirama di pasir pantai.

Lalu, di momen kami berpapasan. baik lintasan pukulan yang kami lepaskan maupun rangkaian serangan setelahnya aku yakin kami sudah saling mengetahui semuanya.

Tiga serangan beruntun, pukulan, sikut, dan pukulan balik, terjalin tanpa cela. Sambil menangkis itu, kami saling melepaskan tendangan melingkar di tempat. Tebasan kaki yang mendapat dorongan putaran itu, bagaimanapun, tidak memberiku keunggulan meski bobot tubuhku lebih berat.

"Ugh!!"

Berat. Tekanan ini besar. Perbedaan kemampuan fisik murni menjadi jelas. Refleks kami setara berkat ingatan yang ditransfer, tapi hal ini memang sulit diatasi. Ditambah lagi—

"Jangan bilang kau mengira aku akan bertarung satu lawan satu secara terhormat."

Dari luar bidang pandangku, bilah-bilah bayangan menyambar. Aku menghindar di detik terakhir. Serangan lanjutan diarahkan saat posisiku goyah yang masih bisa kutangkis dengan susah payah. Bilah berikutnya pun hanya bisa kuelak dengan membiarkan sebagian dagingku teriris demi menghindari serangan mematikan.

Begitulah, akhirnya pertarungan gelombang pertama usai. Tarikan benang bernama inersia membuat jarak kami kembali terbuka.

Kembali berdiri saling berhadapan dengan jarak sepuluh langkah, penampilan kami kontras.

Aku terengah-engah, darah terus mengucur dari luka sobek dan sayatan di tangan dan kaki. Sementara dia berdiri tanpa sedikit pun napas tersengal, bahkan tanpa goresan kecil di tubuhnya.

Satu ronde saja sudah begini. Kalau lanjut lagi, aku mungkin akan mati. Namun, anehnya, tidak ada rasa putus asa. Mungkin aku sudah terbiasa. Kalau kupikir lagi, sejak bertemu Cronica, aku memang terus-menerus berada dalam situasi genting seperti ini.

Evelyn menyipitkan mata, melangkah maju dengan sedikit rasa kesal. Aku pun merespons dengan satu langkah. Lalu dua, tiga langkah. Saling tarik ulur tempo, saling menguji jarak tanpa menyentuh, sambil mendekat ke titik penentuan hidup-mati.

Jadi, pikirkan seperti biasanya. Setiap saat, aku selalu bisa bertahan dengan cara itu.

Kemampuan teknik kami setara. Namun, perbedaan kemampuan fisik dan keberadaan Regalia tidak bisa diubah.

Kalau begitu, mulai dari sana.

Apa yang aku miliki?

Seperti halnya Evelyn memiliki Regalia, aku pun punya sesuatu yang dia tidak punya, sesuatu yang berasal dari hidupku, ciri khas yang hanya kumiliki, dan harus ku manfaatkan sepenuhnya.

Bersamaan dengan kilatan ide, tepat sebelum jarak kami bertemu, ujung jariku bergerak ke sana.

Aku menempelkan topeng tak terlihat di wajahku.

Itu bukan teknik Evelyn, melainkan gerakan yang sudah begitu lekat di tanganku. Aku, yang sungguh-sungguh berada di sini, yang tidak pernah berhenti walau sedetik pun, telah menumbuhkan, menajamkan, dan mengasah kemampuan ini.

““—ッ!!””

Tinju dan tendangan bertubrukan di jarak sangat dekat. Seperti biasa, aku dipaksa mengorbankan darah dan nyawa secara sepihak. Namun di balik itu, kesadaranku semakin dalam, menggali ingatan yang tertulis di dalam jiwa yang telah kutransfer.

Untuk memahami seluruh diri Evelyn.

Dan—

Pemandangan pertama yang kulihat adalah wajah seorang adik laki-laki yang tak kukenal.

***

Evelyn Havelhavar memiliki seorang adik laki-laki kembar. 

Namanya Isaac Havelhavar. Berbanding terbalik dengan sang kakak, Isaac adalah anak yang ceria dan cerdas. Meski sifat mereka bertolak belakang, hubungan kakak beradik itu sangat baik. Aku yakin kami saling mencintai sebagai keluarga, dan saling dicintai pula.

Ayah kami adalah kepala sebuah keluarga bangsawan. Ibu kami hanyalah seorang pelayan di rumah itu.

Karena itu, aku dan adikku yang lahir kembar adalah anak hasil perselingkuhan.

Pada prinsipnya, satu Regalia faktor darah kebangsawanan hanya dapat diwariskan kepada satu orang saja. Jika hanya ayah atau ibu yang berasal dari keturunan bangsawan, maka dari anak-anak yang lahir, hanya satu yang berhak menjadi bangsawan.

Namun, dalam kasus yang sangat jarang terjadi, faktor darah yang diwariskan dari salah satu orang tua bisa muncul secara bersamaan pada anak kembar dan dibagi di antara mereka.

Itulah yang disebut Gemini Blood, sebuah kasus langka secara genetis.

Hal itu baru terungkap ketika aku dan Isaac berusia empat belas tahun, saat kami berdua membangkitkan faktor itu pada waktu yang sama.

Sekejap saja, perselingkuhan ibu terbongkar. Dia dibantai tepat di depan mata kami.

Karena sejak lahir kami tidak pernah mendapat pendidikan sebagai bangsawan, dan karena kami terlahir dari rahim seorang rakyat jelata sekaligus selir, kami bukan hanya kehilangan hak atas nama keluarga, tapi bahkan tidak diakui sebagai manusia.

Kakak beradik malang itu dipaksa untuk mengembalikan Regalia yang telah kami “rampas” secara hina.

Dengan kata lain, mereka ingin agar seorang bayi yang baru lahir mewarisi dua faktor darah yang kami miliki sekaligus.

Karena Gemini Blood berasal dari satu Regalia yang terpecah menjadi dua, mutasi yang tidak stabil itu hampir selalu berhenti pada satu generasi saja. Saat diwariskan ke generasi berikutnya, besar kemungkinan kekuatan genetik akan mengembalikannya menjadi satu bentuk semula.

Tak butuh waktu lama, aku dan Isaac dijebloskan ke dalam sel isolasi, lalu dipaksa menjalani perbuatan gila dan terlarang.

Darahku diambil, tubuhku diikat erat. Sementara itu, Isaac disiksa dan dicekoki obat hingga kehilangan akal sehatnya.

Sakit… sesak sekali, Kak…

Desahan penuh penderitaan itu jatuh di atas dadaku yang telanjang.

Di hadapanku, Isaac dengan kedua matanya yang telah dicungkil dan kedua tangannya yang telah dipenggal menjatuhkan tubuhnya ke atasku.

Pemandangan adikku yang telah berubah sedemikian rupa itulah… yang menembus hatiku lebih tajam daripada rasa sakit apa pun.

Dorongan pekat dan kelam itu meraung keras di dasar dadaku, seperti tangisan bayi yang baru lahir. Pada saat itu, kebencian yang membuncah telah melampaui kasih sayangku kepada satu-satunya adik yang paling kucintai.

—Maafkan aku.

Tanpa sadar, dengan sisa tenaga terakhirku, aku telah menerkam leher adikku.

—Kubunuh… Aku pasti akan membunuh semuanya.

Aku mengisap darah keluarga yang mengalir keluar, meneguknya habis, memulihkan tenagaku, lalu membantai semua orang di rumah itu—termasuk ayah kandungku.

Dan di tengah lautan darah yang memenuhi pintu masuk, sambil memeluk kepala adikku yang terpenggal, seseorang datang menjemputku.

"Berdirilah, Ojou-san. Sekarang kamu tampak seperti binatang. Mari kuajarkan etika membunuh, mulai dari awal."

Saat itu juga, aku mendapatkan guruku dan menjadi Black Broom Maid.

Semata-mata untuk membunuh.

Para bangsawan, Regalia darah bangsawan, kerajaan, dan segala sesuatu yang menyeret aku dan adikku ke dalam nasib yang menjijikkan ini akan kubinasakan tanpa tersisa. Itulah satu-satunya tujuan hidupku.

Rasa darah anak itu tak pernah hilang dari lidahku. Kehangatan hidup yang kutelan menempel di tenggorokan, membuatku haus tanpa henti.

Maka kubunuh. Bagaimanapun, kubunuh. Ya, sampai segalanya musnah tidak, bahkan setelah itu pun aku takkan berhenti.

Karena di dalam darah yang mengalir di tubuh ini, suara adikku orang pertama yang kubunuh, yang paling kucintai—masih menjerit: sakit… perih… dan segalanya terasa begitu membencikan.

Itulah sebabnya, aku akan terus… sampai tangisnya berhenti.

***

"Aku sudah berjanji... untuk terus membunuh."

"Apa...!?"

Aku sendiri yang menerjang ke arah ujung tombak bayangan yang hendak menembus wajahku. Tepat di saat ujung itu hendak melubangi kepalaku, aku memaksakan reaksi di batas kemampuan, mencuri jarak setipis kertas. Darah memercik di pandanganku ketika pelipisku terkoyak.

Dari pengorbanan itu, aku hanya mendapatkan satu kesempatan.

Namun, satu kesempatan itu menjadi pukulan telak. Mengincar tenggorokan yang untuk sesaat memperlihatkan celah, aku menggigitnya.

Aku menggali alam bawah sadarnya, menjadikan rasa sakit dan ratapan yang muncul sebagai pemicu kebangkitan. Sebuah serangan buas, lahir dari tekad yang bahkan lebih "dirinya" daripada dirinya sendiri, menghunjam dalam-dalam ke lehernya.

"Agh... i-ini...!"

Saat kami berpapasan, Evelyn menggeram penuh kebencian, membalut arteri yang telah terkoyak oleh gigitan dengan bayangan.

Bagiku, itu bukan masalah. Kebencian, amarah—segala pendorong batin—bisa kuperankan lebih kuat, lebih dahsyat, lebih berlebihan daripada pemilik aslinya. Pada titik dan momen itu saja, aku bisa melampaui yang asli.

Aku sudah lama memerankan kebenaran yang tidak pernah ada. Sudah lama memakai wajah seseorang yang tak pernah hadir.

Karena itu sekarang, topeng si bodoh yang terbuat dari kata-kata dusta berhasil menginjak bayangannya.

"Ha... haha... Luar biasa. Sampai-sampai kalah oleh diriku sendiri..."

Dengan tubuh goyah dan pandangan kabur, Evelyn menekan luka dalamnya sambil berbisik.

Darah yang mengalir deras mengotori pasir di kaki sang maid. Sumber Regalia, faktor darah bangsawan, adalah darah si pemiliknya. Mulai dari sini, penurunan keluaran faktor itu dan kemampuan fisiknya tak mungkin dihindari.

Aku mengembalikan rahangku yang hampir terlepas karena benturan, meludahkan daging yang terselip di gigi. Lalu aku kembali menyelam ke alam bawah sadar orang lain. Saat ini adalah peluang untuk mengakhirinya sekaligus.

Bisa. Bisa menang. Begitulah pandanganku, namun—

"...Tapi, berkatmu, aku akhirnya sadar. Di mana anak itu berada. Selama ini"

Darah segar yang membasahi wajahnya yang cerah membuatku terkejut dan hancur.

Bukan, aku tidak menciptakan peluang kemenangan.

Aku telah melangkahi sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilangkahi.

“Terima kasih. Penipu, Linus Kruger.”

Sesuatu yang pekat mulai merembes keluar dari belakang Evelyn. Itu adalah bentuk kebencian yang terus mendidih, seolah-olah mencerminkan kegelapan yang baru saja dia alami.

“Sebagai balasannya, aku akan membunuhmu.”

Itu adalah faktor darah bangsawan Regalia dari adiknya—Isaac Havelhaval—yang mengalir dalam dirinya saat menggigit dan merobek tenggorokan separuh jiwanya, dan menghisap daging dan darahnya.

Pukulan yang secara artifisial mereproduksi trauma masa lalu pasti telah membangunkannya.

Dalam bayangan kembar yang serupa yang sebelumnya menyatu dengan bayangan dirinya sendiri, pada saat ini, Evelyn menyadarinya... Tidak, aku yang membuatnya menyadarinya.

“〈Shadow taker〉Persona Drive”

Bayangan lain yang muncul dari gaun pelayan yang penuh luka, bangkit seperti pedang sihir.

Bayangan itu tidak hitam.

Proyeksi masa lalu yang berlumuran darah memiliki warna yang sama.

Bayangan pedang yang terjalin dengan bayangan pedang hitam pekat, berdiri tegak dengan tulisan merah tua ‘Another Blooded’.

Dan, inkarnasi kebencian yang mengendalikan bayangan kembar yang tak termaafkan, kini telah selesai terbentuk di sini.


Part 10

Rasa ngeri berkarat darah melesat di sepanjang tulang punggungku, lebih cepat dari angin. Kepadatan niat membunuh yang begitu tinggi membuat udara terdistorsi, membelokkan cahaya, dan memadamkan suara debur ombak. Dari seluruh tubuh sang pelayan, berkobar fatamorgana merah kehitaman yang terasa seperti hendak membinasakan segalanya.

Hembusan angin maut itu menepis topi dari kepalaku, menjatuhkannya di belakang dengan bunyi gesekan pasir yang ringan.

"Kau yang bersalah di sini, Linus."

Bayangan merah darah melintas di pasir senja, secepat kilat. Ledakan gelombang kejut menyusul, menampar pipiku.

"Kau yang membuatku mengingat anak itu."

Cakar bayangan itu merobek pantai, meninggalkan retakan lurus bagaikan celah tanah terbuka.

Tiba-tiba, tangan dan kakiku mulai gemetar. Harus lari. Kesempatan menang yang tadi kugenggam telah lenyap entah ke mana.

Evelyn kini jauh lebih cepat, bukan lagi dirinya yang tadi.

Namun entah mengapa, naluri bertahan hidup yang menjerit gila-gilaan tak sanggup menggerakkan kakiku.

Kali ini, pisau bayangan kembar miliknya mengarah tepat padaku, membelah udara—

Saat itu juga, dari perutku, rasa mual panas membuncah.

"—!?"

Tanpa sempat menahan, gumpalan panas membara melesak lewat tenggorokan, meluncur keluar dari mulutku.

Itu adalah potongan daging dan darah yang tadi kugigit, bersama sebagian bayangan Evelyn yang tanpa kusadari ikut masuk ke tubuhku saat itu. Dari gumpalan hitam yang ku muntahkan di depanku, terdengar sebuah suara:

"White Flare, perluas wilayah panas."

Tiba-tiba memancar ledakan cahaya dan panas. Kedua pisau bayangan yang menerjang dipantulkan, dan di atas pasir yang hangus, mendaratlah seorang wanita bangsawan dengan rambut emas bergelombang berkilau.

"Hampir saja. Tapi sekarang, Engkau sudah bisa tenang."

Suara nyaring yang benar-benar tak sesuai tempatnya membuat aku dan Evelyn kembali memperlihatkan ekspresi yang sama.

Benar juga, aku bahkan sudah lupa kalau dia ada di sini.

"Demi mengorbankan diri pada cinta ini, aku, Patricia Ushkeen, hadir di sini! ...Tapi, astaga, apa-apaan si maid sinis itu? Baru sebentar tidak melihatnya, karakternya sudah memburuk begini?"

"Banyak yang terjadi, dan ya, kurang lebih begitu. Jadi, maaf, bisa bantu aku, Patty?"

"Dengan senang hati. Engkau belum menepati janji untuk kencan ulang denganku.”

"Aku tidak pernah membuat janji itu. ...Tapi baiklah, kalau kita selamat, akan kuantar kau ke mana pun, Ojou-sama."

"Yoshh!! Itu janji! Engkau dengar kan, maid sinis!? Kalau aku menang melawanmu, kami kencan desuwa~! Sekarang aku sama sekali tidak merasa akan kalah, jadi siap-siap saja!"

Ilustrasi Kedua Dari Light Novel Masquerade Confidence

“……Sedikit saja, bisakah kau bertindak dan berbicara sesuai dengan situasi?”

Mengabaikan tatapan setengah terbelalak yang penuh rasa jengkel dari Evelyn, Patricia melangkah mendekat ke sisiku. 

Ujung jari putih nan hangatnya yang lembut mulai menyapu pelan lengan yang penuh luka.

"Dari dalam bayangan pun, aku masih bisa mendengar sebagian besar percakapannya... Jadi demi Doro Cancer itu, Engkau sampai terluka seperti ini, ya."

Ia menoleh, menunjuk ke arah Cronica yang terikat di pasir tak jauh dari sana—tatapannya terlihat sendu, namun lebih dari itu, ada senyum bahagia yang tulus.

"Ternyata, engkau memang pembohong... Bukan orang jahat sama sekali."

Senyum itu terasa jauh lebih menyilaukan daripada kapan pun sejak pertama kali aku bertemu dengannya.

Lalu tiba-tiba, kerah bajuku ditarik, tubuhku ditarik mendekat, dan bibirku direnggut.

Beberapa detik yang panas dan lembut berlalu sebelum sang wanita berambut emas itu melepaskanku perlahan.

"...Anggap saja itu sebagai uang muka. Sisanya akan aku ambil nanti, sampai tuntas."

Setelah itu, Patricia menunduk, pipinya memerah padam—tapi tak lama kemudian ia kembali menegakkan kepala.

"T-tidak, tunggu. Rasanya sayang kalau cuma sekali. Satu kali lagi! One more, Linus! K-kali ini harus lebih bergairah, lebih... dalam..."

"Lanjutkan di alam baka saja."

Suara tajam itu membuat kami berdua menoleh bersamaan. Di sana, Evelyn hanya mengangkat bahu. Tinju yang ia genggam seperti menghancurkan sisa belas kasihan terakhirnya, melesat di udara dengan aura mematikan yang tanpa ragu.

"Sudah, cepat kemari, dasar orang-orang tolol. Biar kututup kisah ini sekaligus."

Aku dan Patricia saling bertukar pandang sekali, lalu mengangguk.

"Dia datang. Siap?"

"Siap. Matahari hampir tenggelam. Begitu malam tiba, maid itu pasti akan mengeluarkan dress armor-nya. Jadi sebelum itu—"

Aku dan Patricia bersiap bersamaan, saling menyelaraskan ritme lewat punggung yang saling bersandar.

"Ayo kita bunyikan lonceng tengah malam di kepalanya!!"

Kebetulan sekali, saat itu cahaya merah senja yang perlahan tenggelam di balik cakrawala masih menyisakan waktu kira-kira satu lagu lagi.


Part 11

Dengan teriakan lantang Patricia sebagai aba-aba, aku melangkah di atas pasir bersama punggung yang saling bersandar.

Matahari senja, yang mungkin saja menjadi yang terakhir dalam hidupku, perlahan tenggelam di garis cakrawala, seolah terpatri kuat di pandangan.

Namun detik berikutnya, laut merah menyala yang menyakitkan mata itu tiba-tiba berubah warna—menjadi ungu seperti amethyst.

Waktu... berhenti.

“—Hah?”

Sadar-sadar, aku sudah duduk di sebuah kursi, memandang dari atas dunia yang membeku di sekeliling.

“Tadi aku sedang melihat laut, lalu kepikiran… mungkin bisa kupakai seperti pantulan, seperti yang pernah kamu lakukan dulu… ternyata berhasil juga. Sykurlah”

Udara santai yang tiba-tiba mengalun membuatku merasa sedikit tertinggal.

“Tempat ini kubuat secara spontan. Aku memaksa menyambungkan kesadaran kita lewat tatapan, lalu memperpanjangnya… yah, anggap saja ini waktu istirahat singkat.”

Gadis di hadapanku meletakkan secangkir teh panas di meja, tersenyum tipis.

“Mau coba secangkir? Aku yakin kamu belum pernah mencicipinya… Teh Aria. Kurasakan dari ingatanku, jadi mungkin rasanya agak hambar sekarang.”

Aku menyesapnya seperti yang ia tawarkan—dan langsung tersedak.

“Puh! Kau! Ini…”

“Ahaha… kena juga. Itu tehnya Evelyn.”

Refleks, aku melempar cangkir itu. Saat menoleh penuh protes, di hadapan gadis itu entah sejak kapan sudah ada gelas sundae penuh krim dan buah segar.

“Nih, pengganti rasa. Aaa…”

Manisnya yang segar memenuhi mulutku. Cronica tersenyum puas, lalu menundukkan pandangan, berkata pelan:

“…Maafkan aku.”

“Apa-apaan, tiba-tiba begitu?”

“Aku… selama ini salah paham padamu. Kupikir kamu itu pembohong besar, orang jahat… tapi entah kenapa aku berharap kamu akan menyelamatkanku.”

Ternyata tidak begitu. Aku bisa merasakan maksud yang tak terucap itu, mungkin karena waktu ini adalah hasil dari hati kami berdua.

“Kamu memang matre, keras kepala… tapi aslinya, kamu anak laki-laki yang lebih kesepian dari siapa pun. Sama sepertiku, manusia biasa yang tak sanggup sendirian.”

Entah sejak kapan, meja di antara kami lenyap. Tak ada lagi jarak yang memisahkan.

Tangan kanannya melingkari punggungku sambil berkata “maafkan aku” sekali lagi, dan sentuhan itu terasa begitu lembut—hangat yang kupikir sudah hilang dari hidupku sejak hari itu.

“Jadi… karena aku akhirnya bisa menyentuh dirimu yang sebenarnya—”

Aku tahu alasannya ia ragu melanjutkan kalimat itu: ia takut.

Maka kali ini, aku sendiri yang melingkarkan tangan di punggung mungilnya, memeluknya erat.

“Li… Linus…”

Kami saling menatap, dan tanpa sadar hati kami saling terikat.

Sebuah janji, untuk melanjutkan perjalanan.


Part 12

──Setelah sekejap kegelapan, seluruh waktu kembali menggelinding menuruni lereng, tak terhentikan, menuju akhir yang tak lagi memberi ruang untuk mundur—penuh ketegasan, tanpa belas kasihan.

Hembusan ledakan dan tebasan senjata. Pantai yang berulang kali diukir oleh sisa-sisa pertempuran sengit itu sudah lama berubah menjadi tanah hangus.

Di titik benturan yang mematikan itu, tiga orang serentak maju ke dalam jarak serang.

“Ooooaaaah!!”

Dengan tipu muslihat pencuri—yang merampas teknik dan mencuri hati—sosok tiruan Doppelgänger yang memiliki kemampuan reproduksi bahkan melampaui aslinya, kembali mengincar celah mematikan.

“Haaaahhh!!”

Sang wanita berselimut api, menghias tubuhnya dengan seluruh panas yang ia simpan, menerjang lurus ke depan sambil membakar bayangan lawan.

Pada saat keduanya berpapasan, terbentuklah formasi dua lawan satu, mengapit Evelyn dari kiri dan kanan.

Dihujani kekerasan mematikan dari dua sisi, maid yang berlumuran darah itu hanya mendesis:

“—Lemah.”

Senyum berdarahnya yang mengerikan menyambut serangan keduanya sekaligus.

Kemampuan tiruan yang melampaui aslinya? Seakan berkata, lalu apa?, tubuhnya yang telah melampaui batas mengoyak udara, taringnya terhunus.Hanya dengan gelombang kejut dari pukulan lurus secepat suara, si penipu itu terlempar, dada remuk.

“—Linus!!”

“Apa kau masih punya waktu… untuk mengkhawatirkan orang lain?”

Sekejap kemudian, pedang bayangan merah darah yang lebih pekat dari darah itu dengan mudah membelah panas membara yang dipancarkan Patricia.

Cahaya dan panas seharusnya menjadi kelemahan bayangan—Namun bagi bayangan merah ini, itu bukanlah masalah.

Pisau darah, yang membakar dan menghanguskan apa pun yang disentuhnya, direbus oleh kebencian yang tak pernah surut.

Ia mencabik-cabik cahaya dan panas yang semestinya memusnahkannya, lalu bersama pedang bayangan hitam, menghujani rambut pirang itu dengan serangan berlipat ganda.

Salah satu tebasan menembus mantel panas Patricia, menyayat bahu dan dagingnya.

Dalam sekejap, ia meledakkan panas tubuhnya, mendorong dirinya mundur ke belakang, nyaris menghindari luka mematikan.

Linus pun bangkit dari tepi ombak, darah mengalir dari bibir, menggenggam tinju dengan erat.

“Tidak ada gunanya kalian berdua.”

Beberapa kali bentrokan yang terulang akhirnya mulai menunjukkan kemana arah pertempuran akan berakhir.

Tanpa nada merendahkan, Evelyn menyatakan perbedaan kemampuan yang mutlak.

Saat ini, Evelyn telah melampaui batas seorang bangsawan. Dari satu tubuhnya mengalir dua garis keturunan terlarang—Darah Kembar, penguatan ekstrem yang melampaui nalar manusia.

Namun, harga yang harus dibayar adalah—

“Gahhh—!!”

Mendadak, mulut yang tertutup oleh tangan di balik gaun pelayan itu terbuka, memuntahkan darah pekat kehitaman bercampur potongan organ dalam yang meleleh.

Keluaran Factor yang meluap-luap untuk satu tubuh manusia, kini sedang menghancurkan tubuhnya dari dalam.

"Evelyn, kau..."

Menangkap arah akhir dari nasib itu, gumam Linus, dan Evelyn menanggapinya dengan nada getir sambil terbatuk.

"...Makanya, kau tidak punya waktu untuk khawatir soal orang lain."

Patricia, yang juga menekan luka dalam di bahunya, ikut bicara.

"Meskipun Engkau berhasil mengalahkan kami... setelah itu pun, Engkau juga akan mati."

"Itu masalah, ya?"

Jawaban langsung. Evelyn mengucapkannya seolah itu hal yang sudah jelas. Seolah sama sekali tidak ada urusan—selain sumpah untuk membunuh pada hari itu.

Tak peduli di mana akhir dari dirinya, dia tak berniat berhenti.

Karena di dalam darah kotor yang mengalir di tubuhnya ini, adiknya, Isaac, sedang menangis.

Adik kandung yang paling dia cintai, yang pernah dia rampas segalanya dengan tangannya sendiri, kini sedang berteriak.

Sakit... sakit sekali... pedih... Kenapa, Kakak? Kenapa aku harus mengalami ini? 

Kenapa Kakak membunuhku?

Bangsa bangsawan, Regalia, dan juga Kakak—aku benci semuanya di dunia ini. Aku tak bisa memaafkannya. Karena itu, hancurkan semuanya dan matilah bersamaku.

Karena dia tidak tahu cara meredam dendam yang mendidih dan menghancurkan itu.

Sekarang, setelah mengetahui bahwa kebencian yang selama ini menggerakkan dirinya bukanlah miliknya seorang, Evelyn menerima sepenuhnya dorongan untuk menghancurkan tubuhnya sendiri, layaknya penebusan dosa.

"Ya... betul. Baiklah, kali ini kita mati bersama, Isaac. Sampai saat itu tiba, ayo kita bunuh satu saja lebih banyak sampah yang tersisa. Lalu, kita yang sama sekali sudah tak bisa diperbaiki, menghilang tanpa jejak."

…Dan sekali lagi, percikan darah melayang, daging beterbangan, serpihan-serpihan nyawa yang saling berbenturan pun berserakan.

Setiap kali tinju kami saling menghantam, entah kenapa aku bisa merasakan isi hati Evelyn saat ini.

Mungkin itu karena ingatan yang ditransfer padaku ikut beresonansi—aku tak tahu pasti. Namun yang jelas, trauma tentang adik laki-laki yang pernah ia bunuh di masa lalu telah membentuk dirinya yang sekarang dan menjadi penggeraknya.

Saat itulah, tusukan telapak tangannya berhasil menembus pertahananku, mencabik dalam-dalam bagian pinggangku.

Tanpa memberi waktu bernapas, lenganku yang kiri dipatahkan. Pukulan berikutnya menghantam kembali tulang rusuk yang sudah retak, paru-paru yang robek pun menyemburkan darah.

Namun, meski begitu—

Dengan kaki yang entah masih bisa bergerak, aku lolos dari rentetan serangannya. Satu kali lagi kami beradu, dan aku selamat… untuk sementara.

Aku bahkan sudah tak tahu lagi bagaimana aku masih hidup.

Berdiri di sini tak akan membawaku pada hasil yang baik. Yang ada hanya tubuhku yang akan terus terkikis, semakin parah, semakin mematikan, oleh kekerasan berikutnya.

—Namun, meski begitu…

Aku bisa mendengar suara koin itu.

Satu demi satu, dentingannya terdengar pelan, seolah memantul dari hari-hari yang jauh, dari masa yang begitu kurindukan.

“Ah… iya, begitu…”

Dulu sekali, di masa yang sangat jauh… bukan hanya Nee-san yang menabung harapan di dalam botol kaca itu.

Aku juga, sedikit demi sedikit, menambahkan koin ke dalamnya, menitipkan mimpi pada suara kecil itu.


『Hei, Linus. Ngomong-ngomong, kamu pengin sesuatu nggak?』 

『Sesuatu? Maksudmu apa, Nee-san?』

『Mimpiku itu. Membangun kembali teater adalah mimpiku. Tapi ini uang tabungan kita berdua, jadi kamu juga berhak memutuskan mau dipakai untuk apa… Ah, tapi kalau terlalu luar biasa, seberapa banyak botol pun nggak akan cukup.』

『…Bukan, sebenarnya nggak sebesar itu sih.』

『Ah! Jadi memang ada, kan! Ayo, ceritain ke Onee-chan, mau nggak?』

『Nggak mau.』

『Kenapaaa!?』

Karena malu, aku hanya diam dan memalingkan wajah. Tapi sekarang, aku bisa mengatakannya, Kak.

Mimpiku adalah suatu hari nanti bisa memberimu kebahagiaan.

Suatu hari, aku ingin mengajakmu naik kereta dan menunjukkan berbagai pemandangan indah.

Suatu hari, aku ingin menjamu kamu dengan masakan yang lezat.

Suatu hari, aku ingin memberimu pakaian yang benar-benar mewah.

Nee-san, ya… aku selalu, selalu ingin hidup demi melihat senyummu.


Dari sudut pandang mataku, aku melihat Patricia yang terpental kini berlutut.

"Selesai."

Bagaikan bendungan jebol, semua shadow blades yang selama ini dia tahan untukku melesat menyerang.

Tapi ini belum berakhir. Aku belum bisa mati.

Nee-san sudah tiada. Maka setidaknya, untuk dia itu, masih banyak yang ingin kuhadiahkan.

Pikir, aku. Apa yang kubutuhkan agar bisa bertahan hidup? Apa yang harus kulakukan untuk melewati situasi ini?

Kenangan dan pengalaman Evelyn yang ditransfer padaku… semua itu sudah tidak cukup untuk menang.

Karena itu, jariku memilih satu-satunya hal yang mungkin kulakukan.

Aku menciptakan sebuah topeng tak kasatmata dan mengenakannya.

Dengan potongan-potongan ingatan yang kuambil darinya, aku menyusun ulang kehidupan sang adik, dan aku memerankannya sepenuh hati.


Biar kuberitahu rahasia untuk berbohong.


"Kak."


Ceritakan saja kebenaran.


"Tak sekalipun aku pernah membencimu. Aku juga… selalu, selalu mencintaimu."


"──Ah…!"


Langkahnya terhenti. Serangannya melemah. Sesaat saja, kebencian Evelyn membeku.

Aku tak tahu apa yang dibangkitkan oleh topeng milik adikku, Isaac, di dalam dirinya.

Namun hasilnya adalah terciptanya kesempatan terakhir dan bukan hanya aku yang melihatnya.

"White Flare — Penciptaan Neraka Cinta!!"

Itu adalah serangan dengan daya hancur tertinggi milik Patricia. Meski tubuhnya sudah melewati batas luka parah, sorot matanya tetap tak terguncang, menatapku lurus sejak ia berlutut tadi.

Kedua lengannya memadatkan cahaya putih panas. Seperti mengubah nyawanya, juga seluruh perasaannya, menjadi bahan bakar untuk inti panas nuklir itu—lalu seketika meledak, menghantam Evelyn yang refleks menoleh.

"Rasakan ini!"

Pelepasan energi itu mungkin telah menembus batas yang bisa dijelaskan oleh fisika dunia saat ini.

Sesaat sebelum pandanganku diliputi putih, kulihat kawanan bayangan membentuk perisai berlapis-lapis.

Sejurus kemudian, gelombang panas dan hentakan ledakan—terlambat satu detik—menghancurkan segalanya di dunia ini.

Hembusan panas yang menggelegar seperti langkah kaki raksasa menghantam tubuhku, melemparkanku ke permukaan laut yang mendidih.

Dengan paru-paru yang sudah menyerah untuk bernapas, aku memaksa diri merangkak keluar dari air.

Air laut di tubuhku menguap seketika, menyisakan kristal garam yang menempel di wajah bersama rasa perih luka bakar.

Dan di atas tanah yang kini berubah menjadi kaca cair akibat panas neraka itu, Evelyn masih berdiri.

Semua telah terhempas dan di pundaknya bayangan pun lenyap.

Patricia, akhirnya kehabisan tenaga, tergeletak telungkup tak bergerak.

Aku mengepalkan tinju yang sudah hampir remuk, dan kain seragam maid yang hangus itu ikut merespons genggamanku.

Entah siapa yang memulai, kami berdua menampilkan senyum yang lebih mirip tawa getir.

"…Mari kita akhiri ini."

Dengan langkah gontai dan tak pasti, kami saling mendekat, seakan tubuh kami tertarik satu sama lain.

Kami berdua ibarat pelita yang nyalanya hampir padam—artinya, siapa yang lebih dulu memadamkan nyawa lawan, dialah pemenangnya.

Namun, ketika aku melangkah empat kali, lututku tiba-tiba melemas.

Tubuhku kehilangan penopang, lalu ambruk.

"Selamat tinggal."

Tanpa membuang kesempatan, tinju sang maid yang maju selangkah terakhir itu meluncur mendekat.

Dalam jarak sedekat ini, tak mungkin aku bisa menghindar. Kekuatan untuk menepis pun sudah tak tersisa.

Dengan kata lain, pemenangnya sudah dipastikan.

"Evelyn… yang kalah itu, kau."

Dan saat itu juga, suara tembakan bergema dari samping.

Evelyn menatap dengan mata terbelalak penuh keterkejutan, memegangi perutnya yang tertembus peluru, lalu menoleh. Di ujung pandangannya—

"Kemenangan… milik kami."

Tangan kiri gadis itu yang menekan pinggangnya yang terkoyak berlumuran darah bergetar hebat. 

Namun tangan satunya tetap mantap mengarahkan moncong pistol yang masih mengepulkan asap.

Serangan terakhir Patricia juga menghancurkan bayangan tombak yang menahan Chronica itu hingga lenyap tanpa sisa.

Tapi mengapa pistol itu bisa kembali ke tangannya?

“…Jangan-jangan, waktu itu…?”

Di awal pertempuran, ia pura-pura membuang pistolnya—padahal yang ia lempar hanyalah gumpalan pasir yang sejak tadi digenggam erat.

Pistol yang asli sudah ia kembalikan pada Cronica secara diam-diam ketika menepuk bahunya.

Sejujurnya, semua ini hanya kebetulan. Tidak ada prediksi, tidak ada rencana yang pasti.

Namun aku percaya pada Cronica. Karena itulah aku menyerahkan padanya sebuah langkah yang bahkan belum tentu bisa ia manfaatkan untuk bertahan hidup.

“…Maaf, Evelyn. Tapi…”

"Yang tertipu itu… salah sendiri."

Peluru yang memutuskan kemenangan menghantam tubuh Evelyn dua kali, tiga kali, menembus dadanya.

Meski begitu, dia masih berusaha merentangkan leher, ingin menancapkan giginya ke leherku.

“…Sial… la…”

Akhirnya, tirai pertarungan pun tertutup. Di kejauhan, matahari senja di cakrawala perlahan padam, menghilang sepenuhnya.

Di bekas pantai yang telah porak-poranda, Evelyn terbaring dengan rambut hitam sehitam bulu burung basah terurai di sekelilingnya.

"…Bunuh aku. Kalau tidak, kau pasti akan menyesal."

"Sepertinya begitu. Tapi yang memutuskan bukan aku."

Dengan ujung kaki yang berjinjit, ia menaruh milky hat hitam di kepalaku.

Cronica kembali berdiri di sampingku. Di tangannya masih ada pistol, hanya tersisa satu peluru. Namun—

"…Kalau aku membunuh teman, aku juga pasti akan menyesal. Jadi aku memilih untuk tidak membunuh."

Kali ini, moncong pistol yang sudah selesai menjalankan tugas itu jatuh ke pasir.

Sang maid yang masih terbaring menatapnya, lalu tersenyum seolah semua beban telah terlepas.

"Ingat kata-kata itu. …Aku akan memburu kalian. Lalu, entah di ujung bumi atau di ujung laut, aku akan mengepung kalian… dan memastikan kalian menyesal."

Menanggapi ancaman itu, Cronica memeluk kembali buku harian yang ia pungut, lalu menjawab dengan polos:

"Baiklah. Aku juga menantikan saat kita bertemu lagi."

"Kalau begitu, sampai jumpa… Terima kasih untuk waktunya, meski sebentar."

Lalu kami meninggalkan dia yang untuk sementara sempat menjadi rekan kami dan melangkah di atas pasir.

Sesaat, aku merasakan ada senyum getir yang terarah ke punggungku. Tapi itu pasti hanya perasaanku saja.

Gabung dalam percakapan