Penerjemah : Yomi
APA KAMU INGAT SIAPA AKU, YULUCIA?”
Hari
ini, aku berusia tiga tahun. Pria di depanku berbicara pelan dengan raut wajah
cemas yang bergetar.
Tentu saja aku mengingatnya. Bagaimana mungkin aku lupa?
Pria ini bukan hanya ayahku,
tapi juga begitu tampan dan sempurna, aku takkan pernah bisa melupakannya,
bahkan jika aku mau! Namun, aku hanya bisa bertemu dengannya sekali atau dua
kali setahun. Aku tahu dia khawatir putrinya yang masih kecil telah melupakan
siapa dirinya.
Jangan khawatir, Ayah!
Aku, Yulucia, telah menyadari diriku sebagai devil sejak kejadian ujian sihir
suci itu dan telah berusaha lebih keras dari sebelumnya untuk berpura-pura jadi
manusia, tentunya aku akan berusaha sebaik mungkin untuk menjadi putrimu!
"Ayyah?"
Ah, sayangnya pelafalanku
masih buruk meskipun aku sudah tiga tahun. Meskipun begitu, aku berusaha sebaik
mungkin untuk memanggilnya sambil berjalan tertatih-tatih menghampirinya. Ayah
menatapnya dengan ekspresi terkejut sekaligus gembira.
“Yulucia, apa kamu baru saja
memanggilku ‘Ayah’?”
Hah? Apa aku belum pernah
memanggilnya seperti itu sebelumnya? Oh, kurasa tidak. Maka, dengan tangan
gemetar, pria yang kupanggil "Ayah" untuk pertama kalinya ragu untuk
menyentuhku.
Eh, Ayah? Apa Ayah nggak
kelihatan terlalu takut sama putri Ayah yang baru tiga tahun? Aku tahu sih,
penampilanku kelihatan nggak manusiawi, bahkan seorang devil pun bisa merasa
kecil hati, tahu, gara-gara ketakutan Ayah sendiri.
Tapi aku tak akan patah
semangat! Sebagai demon lemah yang berusaha berbaur dengan masyarakat manusia,
akan lebih baik bagiku untuk mendapatkan perlindungan dari pria hebat seperti
ayahku, jadi aku tahu ini adalah saat yang kritis.
Dan aku bersumpah bahwa ini
tidak ada hubungannya dengan ketertarikanku pada lelaki tua yang tampan!
Lagipula, hari ini adalah
hari ulang tahunku, jadi aku akan membuat Ayah terbiasa denganku.
“Selamat ulang tahun,
Yulucia.”
“Selamat ulang tahun, Yul
Ojou-sama.”
"Teliima aciih."
Ibu memberiku sisir perak
saat pesta. Apakah ini aman untuk digunakan oleh demon? Tapi setelah
kupikir-pikir lagi, aku sadar aku sudah menggunakan peralatan makan perak
setiap hari.
Ketiga maid itu telah
mengumpulkan gaji mereka untuk membelikanku sebuah buku berjudul Grimoire
Pertamaku. Bukankah buku masih mahal di dunia ini...? Kuharap
pengorbanannya tidak terlalu besar. Tapi itu bukan masalah yang akan dihadapi
anak berusia tiga tahun dari keluarga kelas menengah ke bawah, jadi aku
menerimanya dengan senyum bahagia, yang membuat mereka bertiga saling
menggenggam tangan dengan gembira.
Pengasuhku, Torfi, telah
kembali ke keluarganya setelah pekerjaannya selesai, tetapi dia juga ada di
sini hari ini. Dia memberiku sebuah lukisan yang sangat indah untuk digantung
di kamarku. Putranya yang berusia empat tahun, Tony, agak mirip saudara susuku.
Dia juga ada di sini, tetapi langsung tertidur begitu melihatku. Rasanya hampir
seperti pingsan. Aku ragu dia akan datang lagi tahun depan.
Ayahku tampak lelah,
seolah-olah ia baru saja berlari ke sini dari kereta kuda. Ia memberiku boneka
beruang yang lebih besar dariku, boneka kelinci yang lucu, sebuket bunga lili
yang tak bisa kugenggam sepenuhnya, dan banyak sekali kue kering dari toko terkenal
di ibu kota kerajaan!
Manis… Manisan, ya?
Masih ada yang salah dengan
indra perasa aku. Terkadang kue-kue Min terasa enak, terkadang tidak. Dan aku
mulai merasa kue-kue lezat buatan koki itu juga kurang bercita rasa. Namun,
belakangan ini—mungkin aku sudah terbiasa dengan masakannya? Atau ada yang
berubah? Apa pun masalahnya, rasanya memang lebih enak dari sebelumnya,
meskipun mungkin itu karena awalnya aku hanya diberi air garam panas biasa
untuk sup.
Aku tidak tahu apa pun
tentang toko terkenal ini, tetapi kue-kue yang dibuat oleh orang asing ini
terasa seperti aspal yang lembut dan manis bagi aku—bukan berarti aku pernah
makan aspal sebelumnya.
Namun, aku tahu semua orang
akan sedih jika aku tidak berusaha sebaik mungkin untuk terlihat menikmatinya,
jadi aku menangis dalam hati sambil menyantap setiap gigitannya.
Setelah pesta ulang tahunku
selesai, ayahku yang sibuk pasti harus kembali ke mana pun ia pergi, jadi aku
berusaha sekuat tenaga untuk menunda keberangkatannya dengan memeluknya
erat-erat sehingga ia punya lebih banyak waktu untuk terbiasa berada di
dekatku.
Ayah belum pernah sekalipun
memelukku, bahkan ragu untuk mengelus kepalaku, jadi aku berjalan
tertatih-tatih ke tempat dia duduk di sofa dan menyentuh pangkuannya.
“Apakah kamu butuh sesuatu,
Yulucia?”
Saat aku menatapnya,
tatapannya melirik sebentar. Sepertinya aku harus mengambil pendekatan yang
lebih proaktif.
"Fadder.
Naik-naik."
"Eh..." Matanya
terbelalak, melirik ke sana kemari mencari seseorang untuk menyelamatkannya,
tetapi Ibu hanya tersenyum hangat dan mengangguk. Ayah tampak bertekad saat
mengangkatku dan mendudukkanku di pangkuannya.
Apakah dia benar-benar butuh
tekad sebesar itu untuk memelukku? Tapi aku tersentuh karena telah diletakkan
di pangkuannya.
Aku merasa dia
memperlakukanku lebih seperti wanita muda daripada putrinya. Aku senang berada
di pangkuannya, tapi entah kenapa, kami berdua terdiam. Meskipun aku senang
duduk di pangkuan pria tampan dengan dada bidangnya di belakangku, dia tampak
bingung bagaimana harus berinteraksi dengan putrinya, mengingat penampilannya
yang aneh.
Tapi tenang aja, Ayah!
Aku, yang telah terbangun sebagai putri-Mu yang hampir mirip manusia, punya
rencana lain.
Aku kucing. Aku akan jadi
kucing. Aku bisa melakukannya karena itu pekerjaan asliku. Aku tidak bertingkah
seperti itu karena aku bertindak berdasarkan insting!
"Yulucia?" Ayah
sedikit gemetar saat aku mengusap hidungku ke dadanya. Tapi aku tak peduli. Aku
mulai menempelkan wajahku ke wajahnya. Ayah dengan hati-hati mulai membelai
rambutku.
Nggak cukup baik, Ayah.
Ibu menepuk kepalaku dengan lebih sayang! Lakukan dengan benar ayah. Maka, aku pun menempelkan kepalaku ke tangannya yang besar.
Hah? Ada aroma yang sangat
harum darinya.
Sensasinya sama manis dan
memabukkannya seperti yang kudapat dari ibuku dan dari Dark Beast di Alam Demon,
jadi aku semakin memeluk ayahku. Saat itulah ia tiba-tiba bertanya, "Kamu
kangen Ayah?"
Rasanya seolah-olah ia sedang
menanyakan pertanyaan itu pada dirinya sendiri. Aku menatapnya dengan heran dan
mendapati ayahku menatap tepat ke mataku dengan raut wajah sedih.
Uh... Apa yang harus
kukatakan? Tiba-tiba aku merasa cemas. Dan wajahku memerah karena sensasi manis
yang memabukkan itu. Aku merasa terlalu malu untuk mempertahankan tatapannya,
jadi akhirnya aku membenamkan wajahku di dada Ayah.
“Mm.”
"Heh heh. Kau manja
sekali. Ya udah, Ayah akan kasih perhatian sebanyak yang kamu mau." Nada
bicara Ayah berubah riang, seolah-olah ia tak pernah merasa takut sama sekali.
Tangannya yang besar membelai tengkuk dan telingaku sambil mengelus rambutku.
Rasanya geli dan membuatku berbalik karena malu, tetapi ia menangkapku dengan
senyum di wajahnya. "Kena kamu."
Perasaan apa ini? Rasanya
seperti saat dia mengelus-elusku. Apakah aku sedang didisiplinkan?
"Mee-ah." Aku
mengeluarkan suara aneh; bahkan aku sendiri tidak tahu apa itu. Aku membenamkan
wajahku di dadanya yang besar, berusaha melepaskan diri dari tangannya yang
besar.
Saat itulah dia berbisik
dengan nada manis yang memuakkan di telingaku, "Ha ha ha. Yulucia kecilku kayak
anak kucing saja."
“Mee-ah?!”
***
Di Kerajaan Suci Talitelud,
hiduplah seorang pria bernama Forte.
Ia unggul dalam ilmu pedang
dan studinya. Semua orang di sekitarnya memiliki harapan tinggi untuk masa
depannya. Namun, Forte sendiri belum mengembangkan kemampuannya secara optimal.
Forte memiliki seorang kakak
perempuan dan seorang kakak laki-laki. Ketiganya dikenal rukun meskipun berbeda
satu sama lain. Kakak perempuannya berkemauan keras dan baik hati kepada rakyat
jelata. Kakak Laki-lakinya bangga akan betapa dicintainya dia oleh semua orang,
dan bahkan setelah menikah dengan keluarga dari negeri yang jauh, dia
meninggalkan kesan yang kuat pada kakak laki-lakinya. Kakak laki-lakinya berani
namun sensitif. Dia melampaui Forte dalam hal kehebatan bela dirinya dan
memikat banyak orang dengan keberanian dan kasih sayangnya.
Forte menghormati
kakak-kakaknya dari lubuk hatinya, dan mereka pun bangga dan menyayangi adik
mereka yang cerdas dan pintar.
Akan tetapi, kecemerlangan
itu menjadi bumerang bagi Forte.
Keluarga mereka memegang
kekuasaan tertinggi di seluruh kerajaan, dan hanya ada satu pewaris. Forte
yakin bahwa saudaranya yang sangat dihormati cukup layak untuk mewarisi
keluarga mereka dan, karena merasa tugasnya adalah mendukung saudaranya, ia pun
mengabdikan dirinya untuk melanjutkan studinya.
Namun, ada yang percaya bahwa
Forte adalah pewaris yang lebih tepat. Forte sendiri tidak memiliki niat
seperti itu dan dengan demikian menyangkalnya. Namun, ketika ia menyadari bahwa
ia tidak dapat meyakinkan mereka sebaliknya, ia pergi menemui ayahnya untuk
melepaskan nama keluarganya.
Saudaranyalah, dari semua
orang, yang menghentikannya. Saudaranya tahu lebih dari siapa pun betapa
kerasnya Forte bekerja dan menghargai bakatnya. Dari semua anggota keluarga
mereka, ia paling memahami sifat Forte. Saudaranya bersedia menyerahkan kepemimpinan
keluarga mereka jika Forte menginginkannya—Forte cakap dan memiliki reputasi
yang baik—tetapi ia tahu bahwa adiknya tidak memiliki keinginan seperti itu
untuk meneruskan nama keluarga. Ia ingin adiknya bebas menjalani hidup sesuka
hatinya. Namun, karena Forte sangat berbakat, sang kakak justru berharap Forte
tetap di sisinya.
Dihantui oleh pikiran-pikiran
yang saling bertentangan, sang kakak menyusun rencana yang ia tahu tidak akan
disukai adiknya. Bisa dibilang, rencana itu bisa disebut jalan kewajiban. Ia
akan menikahkan adiknya dengan salah satu kerabat jauh mereka yang tidak
memiliki ahli waris laki-laki. Jika adiknya menikah dengan keluarga itu dan
menjadi ahli waris, mereka tetap bisa dekat, meskipun tidak sedekat sekarang.
Dengan begitu, kerja keras adiknya tidak akan sia-sia dan keduanya bisa terus
bekerja untuk menghidupi keluarga, sesuai keinginan mereka. Hal-hal seperti itu
tidak mungkin dilakukan oleh seorang pria yang telah melepaskan nama
keluarganya.
Tidak ada yang salah dengan
rencana ini jika dipikirkan secara normal. Rencana ini bisa mencapai hasil yang
ideal; namun, justru menimbulkan banyak masalah.
Putri dari kerabat jauh
mereka ini terkenal karena serangkaian kisah cintanya, dan kakak laki-laki
Forte merasa bersalah karena menikahkan Forte dengannya. Lagipula, adik
laki-lakinya sudah memiliki seseorang yang sangat ia cintai yang juga
mencintainya: putri dari ibu susu Forte yang cantik dan baik hati.
Tidak akan ada masalah jika
Forte bisa menikahinya sekarang. Semuanya akan baik-baik saja jika ia bisa
diadopsi ke dalam keluarga bangsawan dan menikahinya saat itu juga. Namun,
keluarga wanita itu tidak memiliki kedudukan yang cukup tinggi untuk menjadikan
Forte sebagai pengantin pria. Karena itulah Forte tidak ragu untuk meninggalkan
namanya—itu berarti ia bisa bersama cinta sejatinya.
Kakak laki-laki Forte
menyadari hal ini dan hal itu membuatnya resah. Namun, ia sudah berunding
dengan kerabat jauh mereka, dan mereka telah mencapai tahap di mana ikatan
kewajiban tak dapat diputus.
Ia berpikir adik laki-lakinya
pasti membencinya. Dan wanita yang mencintai adik laki-lakinya pasti hancur.
Namun, sang kakak takut mengubur kerja keras dan bakat Forte, jadi ia mengambil
tindakan koersif untuk menyatukan Forte dan keluarga lain ini.
Setelah menikah dengan
keluarga kerabat jauhnya, Forte mengandung dua anak, sesuai kewajibannya.
Awalnya, ia mempertimbangkan untuk mengadopsi anak dari keluarga lain, tetapi
istrinya, yang kebetulan juga teman masa kecilnya, tidak menerima pilihan itu.
Meskipun ia tidak
menginginkan pernikahan ini, Forte berusaha mencintai istri dan kedua putrinya.
Namun, istrinya, yang dua tahun lebih tua darinya, egois dan memetingak diri
sendiri, sementara putri-putrinya memiliki kepribadian yang keras kepala.
Karena cara istrinya meremehkannya, putri-putrinya tidak menghormatinya dan
hanya menuruti ibu mereka.
Harus menanggung ini, Forte
bertanya-tanya apakah dia bisa benar-benar mencintai mereka…
Istrinya dijuluki "mawar
kaum bangsawan" dan putri-putri mereka mewarisi kecantikannya. Yang lain
mengaku iri padanya, tetapi Forte tidak mengerti alasannya. Lagipula, ia tak
pernah merasa mereka mencintainya.
Namun Forte mengerti bahwa
saudaranya telah menjodohkan ini untuk dirinya. Ia sungguh senang bisa bekerja
demi saudaranya dan ayahnya. Kerja kerasnya membuahkan hasil, dan ia telah
diberi posisi di mana ia dapat memanfaatkan sepenuhnya semua keterampilan yang
telah ia peroleh. Dengan demikian, ia merasa puas.
Namun, kecemasan yang
menumpuk di hati Forte mulai membebaninya, membuatnya semakin lelah dari hari
ke hari.
Kakak laki-lakinya juga
merasa sangat bersalah atas cobaan ini, karena ialah yang memaksa Forte ke
dalam situasi ini. Maka, ia memberi tahu Forte bahwa ada tempat di mana ia bisa
menemukan kedamaian dan relaksasi—tempat yang akan menyelamatkan korban lainnya
dalam situasi ini juga.
Mengingat betapa lelahnya
Forte menjalani hidup, ia merasa ragu bahkan saat bepergian ke sana. Itu adalah
sebuah perkebunan kecil di tengah hutan, terletak di sudut tanah yang diwarisi
Forte setelah menikah dengan keluarga ini. Di sana, ia menemukan putri dari ibu
susunya, yang masih belum menyerah pada cinta mereka.
Poligami bukanlah hal yang
umum di kerajaan suci Talitelud, tetapi Forte kini berada dalam posisi yang
tepat untuk menginginkan istri kedua. Ia takut istrinya yang banyak menuntut
akan melampiaskan amarahnya pada cintanya, jadi ia menahan diri untuk tidak
mendekati kekasihnya hingga saat itu.
Namun, setelah bertemu
dengannya lagi, ia tak kuasa menahan rasa cintanya yang meluap-luap. Mereka pun
semakin terikat, dan para dewa menganugerahi mereka seorang malaikat yang
menawan.
Putri kesayangannya telah
lahir dalam keaadan mati, namun ajaibnya ia bernapas kembali. Kini ia tumbuh
begitu sehat sehingga Kamu tak akan percaya betapa dekatnya ia dengan kematian.
Namun, putrinya yang manis
itu begitu murni sehingga dia ragu untuk menyentuhnya.
Ia bertanya-tanya, apakah
orang seperti dirinya pantas menyentuh anak seperti itu. Mungkinkah pria
seperti dirinya, yang telah jatuh ke pelukan perempuan lain karena diabaikan
keluarganya, diizinkan bertindak seperti ayah bagi putri secantik itu? Karena ketakutan
seperti itu, ia ragu untuk bertemu putrinya meskipun ia mencintainya sepenuh
hati, sepenuhnya menyibukkan diri dengan pekerjaannya sebagai cara untuk
melarikan diri.
Dan kemudian, di hari ulang
tahun putrinya yang kedua, Forte terguncang melihat putrinya untuk pertama
kalinya setelah setahun. Terakhir kali ia melihatnya, putrinya masih bayi
mungil yang manis, tetapi dalam setahun penuh, ia telah tumbuh luar biasa cantik
untuk ukuran anak berusia dua tahun.
Apakah putrinya benar-benar
manusia? Bukankah ia sebenarnya malaikat yang dikirim para dewa?
Ia terkejut karena memikirkan
putrinya sendiri—membuatnya semakin ragu untuk menyentuhnya. Namun, ketika ia
memejamkan mata, ia melihat wajah putri kesayangannya dan ibunya. Ia berasumsi
bahwa dengan menjauhkan diri karena takut, putrinya akan melupakannya dan
menatapnya dengan tatapan dingin seperti yang dilakukan istri dan
putri-putrinya. Ia begitu takut, hatinya serasa di ambang kehancuran karena
cemas.
Pada ulang tahun putrinya
yang ketiga, Forte berbicara kepada putrinya dengan cemas. Putri kecilnya
bahkan memanggil Forte "Ayah", seperti yang biasa diucapkan anak-anak
kecil. Meskipun Forte mengira putrinya akan melupakannya, ia tetap mengingatnya.
Meski begitu, ia sudah lama
pergi sehingga ia tak tahu bagaimana cara berinteraksi dengannya. Saat itulah
ia berinisiatif sendiri dan memohon padanya untuk memeluknya. Saat itulah,
ketika ia begitu menggemaskan, Forte menyadari betapa bodohnya ia.
Putrinya merindukannya.
Menyadari betapa sedihnya putrinya karena tak bisa bertemu dengannya, Forte tak
kuasa menahan rasa cintanya pada putrinya.
Tapi mengapa ia menjauhi
putrinya hanya karena ia begitu cantik? Mengapa ia membuat putrinya yang polos
dan manis begitu sedih hanya karena ia merasa tak berhak mencintainya?
Forte kemudian bersumpah
kepada para dewa dalam hatinya: Aku akan mencintai mereka berdua. Aku akan
mengabdikan hidupku untuk mereka, tak peduli siapa pun yang harus kujadikan
musuh di dunia ini.
Dan aku tidak akan memaksa
putriku untuk menikah dengan siapa pun.
***
Ada seorang gadis bernama
Selina di Akademi Seni Sihir.
Dia berusia dua puluh tahun
ini dan berharap orang-orang berhenti memanggilnya gadis karena itu sangat
memalukan. Sayangnya, para dosen dan staf mulai memanggilnya "gadis"
karena kulitnya yang seperti bayi sejak kuliah di sana, jadi dia menyerah untuk
mengoreksi mereka. Lebih baik dia menikah lalu mengundurkan diri dari
pekerjaannya, tetapi dia belum menemukan pasangan yang cocok.
Jabatan resmi Selina adalah
resepsionis di kampus Akademi Seni Sihir di ibu kota. Sebagai mahasiswa, ia
mengambil jurusan pemanggilan dan menyukai penelitiannya, sehingga Selina
memutuskan untuk memperpanjang studinya di akademi. Saat ia akhirnya lulus, semua
tempat kerja yang ingin mempekerjakannya tiba-tiba menarik tawaran mereka
karena insiden pemanggilan demon.
Terlebih lagi, Selina adalah
orang biasa, jadi ia tidak memiliki koneksi yang bisa membantunya mencari
pekerjaan yang berhubungan dengan ilmu sihir. Profesor pemanggilan di akademi
merasa kasihan padanya dan, mengingat bakatnya dalam menggambar lingkaran sihir
yang sangat presisi, merekomendasikannya untuk dipekerjakan sebagai asisten
pengajar. Namun, ia justru berakhir sebagai resepsionis karena ia sangat mudah
bergaul.
Selina tidak terlalu kecewa
dengan pekerjaannya saat ini. Di waktu luangnya, ia bisa memuaskan keinginannya
untuk mempelajari lingkaran sihir dengan membantu profesor, dan pekerjaannya
sebagai resepsionis membutuhkan pengetahuan khusus, sehingga ia disukai oleh
para tamu dan menerima bonus khusus untuk gajinya.
Karena sifatnya yang supel,
ia bahkan pernah dilamar oleh keluarga terpandang; namun, ia menolak karena
calon pasangannya sudah berusia lebih dari empat puluh tahun. Namun, bahkan
jika suatu hari nanti ia menemukan seseorang yang cocok untuk dinikahi, Selina
yakin ia akan tetap melanjutkan pekerjaannya untuk waktu yang lebih lama.
Selina sangat menyukai
hal-hal lucu. Ia senang melihat anak-anak yang bersekolah di akademi, dan ia
merasa sangat senang ketika melihat banyak balita lucu yang datang untuk
mengikuti ujian bakat sihir mereka setiap tahun.
Kelucuan adalah keadilan dan
kebenaran.
Selina mendengar ini saat
bereksperimen dengan lingkaran sihir. Ia terhubung ke dunia yang lebih tinggi
secara kebetulan. Kata-kata itu diucapkan dalam bahasa yang tak ia kenal,
tetapi Selina memahaminya dari jiwanya, yang telah bangkit dan menerimanya sebagai
wahyu.
Bukan berarti itu penting
atau apa pun.
Suatu hari, Selina yang agak
eksentrik diundang oleh mentor pemanggilnya untuk pergi ke kampus mereka di
Toure dan bertindak sebagai resepsionis pada hari ujian bakat sihir mereka,
karena mereka kekurangan staf. Di sana, seorang wanita yang pastinya berkedudukan
tinggi muncul untuk ujian bersama maid-nya. Wanita cantik ini berambut pirang
lembut, dan maid-nya juga sangat cantik. Namun, saat Selina menyadari bahwa
gadis yang dipapah salah satu maid itu nyata, ia terkejut.
Awalnya dia mengira gadis itu
adalah boneka—bahwa maid, sebagai candaan, telah membawa boneka sungguhan
dengan rambut terbuat dari benang emas dan mengenakan salah satu gaun berenda
yang disukai para bangsawan.
Jarang sekali ada orang tua
di antara orang kaya yang memperlakukan anak-anak mereka seperti hewan
peliharaan dan menghiasi mereka seperti aksesori. Mengira orang-orang ini
seperti itu, Selina pun patah hati.
Namun, saat gadis itu menoleh
ke arah Selina, begitu terkejutnya dia hingga dia pikir jantungnya akan
berhenti berdetak.
Apa dia boneka? Tidak, tak mungkin. Dia tampak seperti boneka dengan penampilannya
yang luar biasa sempurna, tetapi boneka tanpa cacat, seolah-olah dibuat oleh
dewa atau demon, sama sekali tidak ada. Akan sangat tidak elok jika mendandani
gadis seperti itu dengan pakaian anak-anak biasa. Bagi Selina, itu akan menjadi
penghinaan terhadap keyakinannya.
Pada saat itu, Selina melihat
seorang dewi di mata emas gadis itu.
Melihat Selina menegang, mata
gadis itu yang sedikit terkulai—satu-satunya tanda kemanusiaannya—menjadi basah
oleh air mata. Akhirnya, Selina mampu memahami bahwa ia memang manusia.
Anak emas itu memiliki bakat
dalam pemanggilan dan sihir suci, jadi Selina yakin bahwa jika gadis ini
berasal dari keluarga bangsawan terkemuka seperti yang diyakininya, dia tidak
akan bersekolah di sini, melainkan di kampus utama mereka di ibu kota.
Selina tak bisa menahan diri
untuk tidak menantikan pendaftaran gadis kecil ini. Jika ia mahir dalam
pemanggilan, maka ada kemungkinan Selina bisa bekerja dengannya jika ia meminta
izin kepada profesor. Ia mengepalkan tangannya dengan penuh tekad sambil mencari
nama gadis kecil itu.
Klik.
“Eek!” Selina terlonjak dan
mendongak mendengar suara langkah kaki.
Selina begitu memikirkan
gadis emas itu sehingga ia terus-menerus teralihkan di tempat kerja, dan setiap
beberapa hari sekali, ia harus lembur untuk menyelesaikan semua dokumen yang
menumpuk. Tiba-tiba, ia sendirian. Satu-satunya cahaya di kantor akademi adalah
cahaya sihir yang dihidupkan Selina. Tentu saja, mungkin masih ada beberapa
dosen dan mahasiswa di sini, tetapi mereka sepertinya tidak akan datang ke
kantor pada jam segini.
Masih ada petugas keamanan di
sekitar, tetapi dia satu-satunya orang di ruangan ini dan terus tiba-tiba
merasa tegang karena sebuah kenangan yang terus muncul di kepalanya.
Suara langkah kaki itu
semakin dekat dan seorang wanita cantik mengenakan gaun sederhana namun
berpotongan anggun melangkah memasuki ruangan, sepatu hak tingginya berbunyi
klik di lantai.
“Ya ampun, aku gak sadar
masih ada orang di sini.”
“Nona Kepala Wakil Sekolah?!”
Wanita itu menatap Selina
yang terkejut dengan senyuman yang tenang namun buas.
Wakil kepala tampak muda
terlepas dari jabatannya—orang mungkin mengira usianya pertengahan dua puluhan,
tetapi Selina tahu usianya akhir tiga puluhan. Rambutnya merah menyala nan
mewah dan bibirnya merah menyala berkilau. Ada kilauan tajam di mata birunya
yang membuat orang ingin berpaling. Wajahnya tajam, namun kecantikannya sungguh
glamor.
Namun, dia bukan tipe Selina,
karena dia menghargai kelucuan.
“Terima kasih atas kerja
kerasmu di jam selarut ini. Bolehkah aku minta bantuanmu?”
"Eh, ya? Ada perlu
apa?" Selina tak berani menolaknya, meskipun ia sudah lembur—meski ia
merasa aneh.
Nona Wakil kepala sekolah
adalah posisi kehormatan yang dirotasi di antara anggota dewan direksi. Wanita
ini hanya mengunjungi sekolah beberapa kali dalam setahun. Selina tidak tahu
apa yang bisa ia lakukan sendirian di akademi pada jam selarut ini.
Selina tak bisa
menyembunyikan kebingungannya, jadi wakil kepala sekolah tersenyum
menenangkannya. "Tidak terlalu sulit. Aku ingin tahu apakah Kamu bisa
memberi aku daftar nama anak-anak yang lulus ujian bakat sihir dalam beberapa
tahun terakhir—tiga tahun terakhir, kalau memungkinkan."
"Oke." Kenapa juga
dia ingin melihat hal seperti itu? Selina bertanya-tanya.
Seolah-olah wanita itu telah
membaca pikirannya, dia kemudian dengan ramah menjelaskan, “Aku ingin tahu
berapa banyak anak yang mungkin kita miliki untuk menghidupi kerajaan di masa
depan.”
"Tentu saja! Saya akan
segera mengambilkannya untuk anda!" Selina merasakan ada maksud
tersembunyi di balik senyum itu, lalu ia segera mengeluarkan daftar anak-anak
yang sudah beberapa kali ia intip.
"Terima kasih. Bisakah
Kamu menunggu di sini sebentar?" Ia mulai membolak-balik halaman seolah
mencari sesuatu; ia tidak sedang membacanya. Tangannya berhenti, dan setelah
memeriksa halaman tersebut, ia segera menutup mesin kasir dan mengembalikannya
kepada Selina. "Terima kasih. Maaf merepotkan Kamu. Ngomong-ngomong, tidak
baik bagi wanita muda sepertimu sendirian di sini selarut ini. Jika Kamu masih
ada pekerjaan, sebaiknya Kamu datang pagi-pagi sekali untuk
menyelesaikannya."
Selina menegakkan tubuhnya
dan memberikan respons kaku, hampir seperti prajurit. "Baik, Nyonya.
Maaf!"
Wakil kepala tersenyum tipis
saat dia menghilang kembali ke lorong gelap, cahaya Sihir bergoyang di ujung
tongkat sihirnya.
Selina berdiri tegap dalam
diam hingga langkah kaki wanita itu tak terdengar lagi. Ia lalu terduduk di
kursinya dan bergumam lelah, "Kurasa aku harus pulang saja
sekarang..."
***
Wakil kepala sekolah Akademi
Seni Sihir di ibu kota bernama Albertine. Ia tidak memiliki status sosial yang
memungkinkannya untuk berbicara secara teratur dengan rakyat jelata, dan
biasanya ia akan ditemani oleh beberapa pelayan ke mana pun ia pergi. Namun,
malam ini, ia telah memerintahkan para pengawal dan pelayannya untuk
bersembunyi dan tetap bersiaga di taman akademi. Ia tidak tahu siapa yang
mungkin mengawasinya; ia tidak mampu untuk terlihat mencolok dengan membawa
rombongan besar. Jika gadis juru tulis itu bertingkah aneh, ia mungkin harus
menghilang tiba-tiba.
Dia tidak memercayai siapa
pun kecuali mereka yang berada dalam lingkaran terdekatnya.
“Zumana,” gumam Albertine
sambil mendesah saat berjalan melewati aula.
Seorang lelaki ramping
berusia awal dua puluhan muncul dan menundukkan kepalanya dengan hormat
padanya.
“Apa anak-anak sudah tidur?”
"Ya. Putri-putrimu sedih
karena anda dan suami anda belum pulang. Tapi, mereka akhirnya tertidur
beberapa saat yang lalu."
"Begitu," gumamnya,
hanya mendesah seolah berkata, "Jadi, dia belum pulang."
Dia bahkan tidak menyadari
kata-kata itu keluar dari bibirnya, tetapi Zumana bisa merasakan kemarahan
wanita itu yang tak terbendung dan menundukkan pandangannya sedikit.
"Kemarilah,"
perintahnya.
"Baik, Nyonya."
Albertine bahkan tidak
menoleh ke belakang saat ia mulai berjalan lagi. Zumana, yang tampak seperti
seorang kepala pelayan, membungkuk dalam diam dan mengikutinya.
Satu-satunya suara yang
terdengar hanyalah bunyi klik sepatu hak tingginya, dan satu-satunya penerangan
berasal dari cahaya magis saat mereka menyusuri lorong-lorong gelap. Mereka
tiba di sebuah pintu yang cahaya redupnya memancar dari celah-celahnya.
"Profesor Gaspard?
Apakah Anda ada di dalam?" Albertine berbicara di pintu dengan suara yang
tidak keras maupun pelan.
Sesaat kemudian, seorang pria
tua membukanya. "Wah, kalau bukan Nyonya Albertine. Selamat datang."
Profesor Gaspard menyapa mantan muridnya yang cerdas dan kini menjadi bosnya
dengan senyum ramah. "Silakan masuk. Jangan pedulikan kekacauan ini."
"Terima kasih.
Sepertinya anda sedang meneliti sesuatu yang baru?"
Ruangan itu tak banyak
berubah sejak Albertine menjadi muridnya. Menyadari lingkaran pemanggilan baru
yang belum pernah dilihatnya, ia terkekeh mengingat julukan Albertine:
"Penggemar Riset".
"Ha ha ha. Begini, tahun
lalu, ketika aku pergi untuk membantu ujian bakat sihir, salah satu anak yang
kami uji ternyata cukup kuat. Aku sedang berusaha membuat lingkaran sihir yang
cukup kuat untuk menahan kekuatannya. Kuharap itu selesai sebelum dia diterima
di akademi."
"Benarkah? Anak siapa
itu?"
“Aku tidak yakin, tapi yang
pasti keluarga mereka memiliki status yang sama dengan keluargamu.”
“Benarkah?” Mata Albertine
sedikit menyipit saat dia mengingat apa yang dia baca di kasir sebelumnya.
“Ayo duduk. Aku akan
menuangkan secangkir teh untukmu.”
"Terima kasih, tapi
tidak perlu. Saya tidak bisa tinggal lama, meskipun saya berharap bisa. Saya
hanya ingin tahu bagaimana perkembangan penelitian tentang lingkaran
pemanggilan yang saya tanyakan pada anda."
"Sudah hampir selesai.
Lingkaran sihir ini akan jauh lebih efisien jika aku memasukkan persamaan sihir
ini untuk menahan penggunaan oleh seseorang dengan kekuatan sihir yang kuat.
Namun, daya ikatnya melemah ketika menyerap sihir yang kuat, jadi kurasa itu
akan menjadi masalah."
Albertine telah meminta
Profesor Gaspard untuk meneliti jenis lingkaran pemanggilan khusus untuknya. Ia
menginginkan jenis lingkaran pemanggilan baru di mana pengguna dapat memanggil
makhluk kuat yang menyerupai dirinya, alih-alih demon, elemen, atau peri acak.
Permintaan itu menarik minat
sang profesor. Ketika seseorang memanggil elemen api di hari yang berbeda,
mereka tidak memanggil elemen yang sama persis setiap kali, melainkan elemen
yang memiliki tingkat kekuatan berbeda tergantung pada lamanya ia hidup.
Diketahui bahwa jika seorang
pemanggil menyukai dan "merasuki" suatu elemental, elemental tersebut
dapat berkembang dan menjadi lebih cerdas dan kuat. Namun, hampir tidak ada
pemanggil atau elemental yang dapat mencapai tingkat afinitas ini. Jika seorang
pemanggil dapat secara sengaja memanggil elemental yang sama lebih dari sekali,
maka seharusnya mereka dapat meningkatkan peringkat mereka sendiri.
Namun…
“Makhluk seperti apa yang
ingin kau gunakan lingkaran itu?”
Suasana ruangan tiba-tiba
berubah ketika Profesor Gaspard bertemu pandang dengan Albertine. Albertine
hanya tersenyum padanya. "Saya hanya menikmati penelitian tentang ilmu
sihir," katanya. "Lagipula, suami saya tersayang begitu sibuk
membersihkan nama-nama para pemanggil sejak kejadian mengerikan itu. Saya
berharap bisa melakukan sesuatu yang bisa membantunya."
"Ah, begitu. Aku selalu
terkesan dengan perhatianmu." Gaspard tersenyum mendengar jawaban
teladannya dan mengeluarkan lingkaran sihir uji yang telah disiapkannya.
"Ini lingkarannya. Hati-hati saat bereksperimen dengannya."
"Terima kasih. Saya akan
berhati-hati." Setelah mendapatkan apa yang dicarinya, Albertine tersenyum
tulus dan mendesah pelan. "Kalau begitu, Profesor, saya permisi dulu. Saya
berjanji akan membalas budi pada anda."