Penerjemah : Yomi
BEBERAPA BULAN TELAH BERLALU SEJAK kejadian menjijikkan itu ketika segerombolan serangga dari dunia lain menyerbu—penyebabnya masih menjadi misteri—dan tidak akan lama lagi sebelum ulang tahunku yang keempat tiba.
Aku sempat merasa agak
tertekan, sehingga Ibu dan yang lainnya khawatir padaku, tetapi kini aku merasa
jauh lebih baik—aku telah tumbuh baik jasmani maupun rohani.
Aku akan menyegel lingkaran
pemanggilan itu. Dan aku akan hidup untuk meneliti lingkaran sihir.
Mungkin ada hubungannya
dengan kejadian itu, tapi Ayah terlalu sibuk untuk datang berkunjung selama
sekitar dua bulan. Sekarang setelah beliau akhirnya tiba, aku langsung pergi
untuk menarik perhatiannya.
Ayah tampak agak khawatir
saat mendudukkanku di pangkuannya. Saat itulah ia berkata, "Yulucia, akan
ada pesta teh di ibu kota. Kamu mau ikut?"
“Pesta teh?”
Apa maksudnya pesta teh yang
di sana banyak orang berkumpul untuk mengobrol? Aku mungkin cuma pernah ngobrol
dengan, kira-kira, sepuluh orang seumur hidupku. Intinya, aku memang tipe yang
tertutup.
"Jangan khawatir,
semuanya akan baik-baik saja. Akan ada banyak anak seusiamu di sana, jadi kamu
mungkin bisa mendapatkan teman."
Ayah khawatir kalau aku hanya
bertemu orang dewasa, jadi dia merancang suatu cara untuk mengenalkanku pada
teman-teman potensial.
Apa yang dilakukan anak-anak
normal saat bermain lagi?
Aku cukup khawatir, tapi aku
lebih khawatir pada Ayah. Aku tidak ingin mempermalukannya, jadi kukatakan aku
akan pergi.
Jadi, Ayah dan aku sekarang
berada di dalam kereta yang berderak-derak, beberapa hari setelah perjalanan
kami menuju ibu kota.
“Kamu bisa duduk di
pangkuanku jika kamu mau.”
"Ya!"
Tentu saja, Ayah. Tolong
gendong aku sekuat tenaga, karena aku pengin duduk di pangkuanmu sampai aku
dewasa, lima belas tahun hehe. Aku hanya bercanda.
Ngomong-ngomong, pesta tehnya
akan diadakan lima hari lagi. Totalnya, kami akan butuh seminggu untuk sampai
ke ibu kota dengan kereta ini, meskipun rupanya kereta biasa akan memakan waktu
lebih dari dua minggu. Kenapa jadwal kami begitu padat? Kami sudah berangkat
naik kereta di hari yang dijanjikan.
Entah kenapa, Ibu tetap di
rumah, sayang sekali. Aku ingin jalan-jalan di ibu kota bersama kami bertiga.
Jadi, untuk saat ini, Ibu menyuruh Vio menemani kami. Apakah Fer dan Min akan
baik-baik saja tanpanya di rumah?
Kami pergi terburu-buru hanya
dengan membawa barang-barang yang sangat dibutuhkan. Aku sempat khawatir dengan
apa yang akan kami lakukan, tetapi mereka bilang pakaian dan barang-barang lain
yang aku butuhkan akan disiapkan di sana. Kami cukup kaya, ya?
Aku penasaran apa pekerjaan
ayahku. Tidak ada yang membicarakannya di rumah, dan mereka mungkin akan
menganggapnya aneh jika aku menanyakannya di usiaku. Mungkin tidak apa-apa
bertanya saat aku berumur empat tahun?
Selama perjalanan seminggu
kami ke ibu kota, kami tidak bisa menembus hutan, jadi kami tidak berkemah.
Tentu saja. Ayah bukan tipe orang yang suka tidur di luar.
Sebaliknya, kami melewati
ladang gandum. Setidaknya, kukira itu gandum. Karena di dunia ini ada ikan
makerel polkadot, aku tak tahu pasti, tapi bagaimanapun, kami akan tiba di kota
penginapan saat langit masih cerah. Karena kami meninggalkan rumah tepat setelah
tengah hari, mungkin kami bisa tiba di ibu kota sehari lebih cepat jika kami
berangkat pagi-pagi sekali. Bukannya aku ingin melakukan itu.
Seminggu untuk sampai di
sana, ditambah dua hari di ibu kota, dan seminggu lagi untuk kembali, berarti
perjalanan kami akan memakan waktu total enam belas hari. Ini membuatku
khawatir, karena aku belum pernah jauh dari Ibu lebih dari setengah hari sebelumnya.
Tapi ada hal-hal yang
kunantikan. Malam ini, Ayah bilang dia akan tidur denganku. Hihihihi.
Umumnya, kami hanya melewati
kota-kota besar, jadi kami tidak pernah berhadapan dengan bandit secara acak,
dan kami berhasil sampai ke ibu kota tanpa insiden. Aku punya firasat kami akan
baik-baik saja meskipun bertemu bandit. Lagipula, kami membawa lebih dari
sepuluh penjaga yang tampak seperti ksatria, dan ada seorang pria tua di
rombongan kami yang tampak seperti kepala pelayan dan merupakan pengikut
baruku.
“Terima kasih, Kakek.”
“T-t-t-tidak perlu berterima
kasih padaku, O Hime-sama.”
Hah? Pasti berat sekali
harus melakukan hal seperti itu untuk balita, pikirku
saat kepala pelayan tua itu menangis bahagia atas rasa terima kasihku.
"Hime-sama"?
Apa-apaan ini? Apa kepalanya baik-baik aja? Pekerjaan Kakek pastinya berat banget.
Nanti aku coba memijat bahunya.
Lanjut ke pesta teh. Lebih
tepatnya, acaranya diadakan sehari setelah kami tiba di ibu kota, dan kami
harus naik kereta sekitar setengah jam dari rumah Ayah untuk sampai di sana.
Setibanya kami di ibu kota,
Ayah membawaku ke rumah bangsawan yang menjadi rumahnya saat jauh dari rumah.
Rumah itu sangat luas. Menurut Ayah, perabotannya kurang lengkap karena ia
hanya menggunakannya untuk tidur, tetapi bagiku, dekorasinya kurang lebih sama
dengan rumah bangsawan tempat Ibu dan aku tinggal.
Tentu saja, ada Kakek sebagai
kepala pelayan, para pelayan lainnya, dan maid. Mereka telah menyiapkan
beberapa pakaian untukku dan langsung mulai menjahitnya sesuai ukuranku.
Aku takkan pernah
mengakuinya, tapi tatapan mata berapi-api di mata maid saat mereka mendandaniku
agak menakutkan.
Dan akhirnya, kami tiba di
tempat pesta teh. Apakah tempat seperti ini biasa di ibu kota? Ternyata itu
adalah taman besar yang tampak seluas hutan, tempat kami berganti kereta kecil
dan, setelah beberapa menit di dalamnya, akhirnya kami tiba di tempat pesta
teh.
Ada taman luas yang disulap
menjadi labirin pagar tanaman mawar, tempat beberapa meja dan kursi putih telah
disiapkan. Saat itu, kurang dari sepuluh anak sudah ada di sana, dan aku bisa
melihat banyak sekali koki dan maid yang sedang menyiapkan kue kering, manisan,
dan minuman lainnya hanya untuk segelintir anak ini, semuanya diiringi orkestra
lengkap yang memainkan musik dengan lembut.
Ada apa ini? Ini semacam
acara para bangsawan, ya? Sebenarnya, Ayah itu kerja apa, sih? Apa kita ini
keluarga ningrat? Jangan-jangan aku ini putri dari seorang direktur perusahaan
besar atau semacamnya? Tapi, rasanya Ayah bukan direktur juga, deh. Anak-anak
ini... mungkin anak kliennya atau entah siapa. Kalau bukan, mana mungkin Ayah
membiarkanku repot sendiri dengan jadwal segila ini?
Aku harus berhati-hati. Apa
pun yang kulakukan bisa memengaruhi prospek promosi Ayah di masa depan!
“Eh, Ayah?”
"Kamu gugup? Jangan
khawatir. Lanjutkan saja. Status sosial tidak penting di sini."
Aku bukanlah anak yang tidak
tahu apa-apa sehingga aku akan dengan serius mempercayai seorang pria yang
sangat berpengaruh mengklaim sebuah pesta sebagai pesta yang “santai”!
Baiklah. Aku, Yulucia yang
rendah hati nan anggun, akan memerankan peran sebagai putri terlindungi sebaik
dan semaksimal mungkin!.
“Eh…”
Apa yang terjadi? Area di
sekitarku benar-benar bersih dari tamu.
Ada tiga anak laki-laki dan
lima anak perempuan yang menghadiri pesta teh ini, sejauh menyangkut anak-anak.
Mereka semua lebih tua dariku, tapi kukira usia mereka berkisar antara lima dan
delapan tahun. Setidaknya, aku yakin tidak ada yang lebih tua dari sepuluh
tahun. Anak-anak laki-laki itu berkumpul dan mengobrol, jadi aku memutuskan
untuk menghampiri anak-anak perempuan. Namun, begitu mereka menyadari
kehadiranku, mereka semua langsung menegang.
Gadis berambut hitam—yang
paling cantik di antara kami—membuka mulutnya lebar-lebar sampai-sampai
membuatku khawatir padanya.
Kamu baik-baik saja? Jangan
melongo terus begitu, bisa-bisa dimasuki lalat. Kasihan juga sih, padahal
wajahnya cantik.
Sekarang aku membuat
orang-orang takut padaku. Entah kenapa, para elemental dan Sigt juga takut
padaku. Apa aku benar-benar terlihat seseram itu? Padahal, kalau dipikir-pikir,
aku sendiri juga takut pada boneka-boneka Barat yang lembut itu ketika aku melihatnya
di tengah malam, jadi bukannya aku tidak mengerti perasaan itu.
Kalau aku ngomong sekarang,
apa ini berarti aku belum membaca situasi? Tapi, karena aku sudah sedekat ini
dengan mereka, mungkin akan lebih tidak sopan kalau aku diam saja.
Sebagai kompromi yang terbaik
yang dapat kulakukan, kuputuskan untuk memasang senyum "manusiawi"
terbaikku agar tidak membuat mereka takut, mencubit ujung gaun hijau terangku,
dan menyapa mereka.
"Oooooh!"
Suara-suara keras bergema datang entah dari mana, membuat semua gadis, termasuk
aku, tersentak.
Apa itu tadi? tanyaku sambil melihat ke arah suara itu.
Di gazebo yang agak jauh,
semua orang tua berkumpul dan memperhatikan kami seolah-olah ini adalah hari
orang tua di sekolah atau semacamnya.
Oh, Ayah juga ada di sana.
Aku melambaikan tangan kecil, dan saat itulah aku melihat seorang pria
berpakaian rapi berusia lima puluhan dan seorang wanita cantik seusianya duduk
di kursi terbaik, memekik kegirangan sambil menonton kami melalui sesuatu yang
tampak seperti teropong opera.
Apa-apaan ini? Aku jadi
agak takut sekarang.
Aku memutuskan untuk
berpura-pura tidak melihat apa-apa dan dengan canggung berjalan menuju meja
yang kosong. Aku sungguh bersyukur bisa berjalan sampai ke sana.
Aku mendesah pelan ketika
akhirnya tenang. "Fiuh." Aku pasti juga merasa gugup. Saat aku mulai
tenang, aku bisa mendengar semua suara di sekitar.
Saat itulah beberapa maid
mulai menumpuk teh dan camilan di mejaku. Mereka tidak hanya membawanya—rasanya
kayak menumpuk segunung camilan di atas meja!
"Terima kasih—"
“”"Dengan senang
hati!"”” Ketiga maid itu menegakkan tubuh, tumit mereka mengetuk-ngetuk
seolah berdiri tegak. Seolah-olah kegugupanku menular ke mereka.
Maaf banget. Kalian boleh
makan kue ini kalau mau, kan? Hah? Nggak bisa? Fer-ku langsung menghabiskan
semuanya kalau aku bagi-bagi sama dia.
Teh berwarna kemerahan tua
ini sepertinya mahal. Namun, karena indra perasa aku tidak normal, rasanya kayak
air panas yang pahit dan lebih sulit ditelan daripada air panas biasa. Rasanya
sungguh hambar.
Akhirnya aku memberanikan
diri untuk melihat sekeliling. Anak-anak sudah berhenti bicara satu sama lain
dan sekarang hanya menatapku. Tolong berhenti. Suasana di sini begitu berat
sekarang, lebih mirip lumpur.
Saat itulah aku mendengar
suara yang lucu.
“Eh, maaf?”
Aku mendongak dengan heran
dan mendapati seorang gadis yang mungkin seusia denganku atau sedikit lebih tua
tengah menatapku dengan ekspresi gugup.
"Ya?" Ketika aku
menyadari ia sedang berbicara padaku, aku berbicara perlahan agar tidak
terkesan memaksa. Rasanya seperti mencoba menjepit semut dengan jari-jariku
tanpa menghancurkannya.
Gadis ini tampak sangat
gugup. Dia begitu kecil dan imut, pastinya butuh keberanian yang luar biasa
untuk berbicara dengan makhluk tak manusiawi sepertiku. Karena itulah aku tak
bisa berkata apa-apa lagi. Demi menghormati keberaniannya, aku harus
bermain-main dengan mangsaku—seolah-olah aku sedang menunggu dengan santainya
seekor demon.
Gadis itu melihat sekeliling
dengan gelisah sebelum mengumpulkan keberaniannya untuk berkata, “Um, uh,
apakah kamu…ingin menemaniku memetik bunga di sana?”
Oh, aku paham sekarang.
Pantas saja dia kelihatan gelisah. ternyata dia cuma butuh ke toilet. Ya ampun,
tentu saja aku akan menemanimu. Pergi ke toilet rame-rame itu kan semacam
'tradisi suci' bagi anak perempuan. Lagipula, aku sudah pensiun dari pispot
bayi sejak setahun lalu, jadi ini jelas bukan wilayah asing bagiku!
"Oke. Ayo pergi."
"Aku senang sekali kamu
bilang ya." Dia pasti sudah mencapai batasnya, dilihat dari senyumnya saat
menggenggam tanganku yang terulur. Dia sungguh manis dengan rambut pirang
lembut seperti ibuku dan mata birunya. Dia juga punya wajah seperti boneka,
tapi dengan cara yang berbeda dariku.
"Ini dia."
"Ah!"
Aku praktis menggeser tubuh
kecilku dari kursi, menggunakan tangan gadis itu untuk menopangku agar tidak
jatuh.
"Terima kasih."
"Bukan apa-apa!"
Dia menggelengkan kepalanya ke depan dan ke belakang, membuat rambutnya hampir
lurus. Dia sengaja memegang tanganku sambil mulai berjalan. Mungkin dia
berusaha bersikap seperti anak besar karena aku anak terkecil di sini. Atau mungkin
dia membantuku karena dia tahu aku lemah, ringkih, dan ceroboh? Tapi sebaiknya
dia tidak menawarkan diri untuk menggendongku, karena itu akan berbahaya bagi
kami berdua.
"Nama saya Ciel—Shelly!
Bolehkah Saya bertanya siapa namamu?"
Kenapa dia bicara begitu
formal padaku? Apa Shelly gadis baik dari keluarga dengan garis keturunan yang
luar biasa? Mungkin dia memang bangsawan. Aku ingin bertanya siapa nama
keluarganya, tapi saat itulah aku sadar aku bahkan tidak tahu nama lengkapku sendiri!
"Aku Yulucia. Tidak
perlu terlalu sopan."
Bahkan aku kesulitan
berbicara dengan normal karena gadis yang lebih tua dariku ini berbicara begitu
formal. Kita kan anak-anak, jadi sebaiknya kita bicara seperti anak-anak, pikirku.
Ketika dia menyadari
maksudku, mata Shelly mulai berbinar. "Oh! Itu membuat saya sangat
bahagia, Yulucia-sama!"
Hentikan bersikap formal
seperti itu.
Bagaimana pun, kami berdua
berpegangan tangan hingga tiba di tujuan.
“Lihat, Yulucia-sama. Banyak
sekali bunga-bunga cantik di sini.”
“...em benar.”
Lalu kami benar-benar memetik
bunga. Tentu saja, aku sudah menduganya. Gadis bangsawan tidak pergi ke kamar
mandi rame-rame kayak anak SMP.
Taman bunga itu hanya
setengah menit dari meja. Ada berbagai macam bunga warna-warni yang tumbuh liar
di sini. Anehkah taman bunga seperti ini dibiarkan begitu saja di taman seperti
ini? Untuk orang bisa sepertiku, aku bisa merasakan kepribadian pemiliknya dan
aku menyukainya. Ada juga mawar di sini, tetapi maid-nya menghalangi dengan
kuat agar tidak terluka.
“Ayo membuat mahkota bunga,
Yulucia-sama!”
Dia tampak bersemangat
sekarang. Apa yang terjadi dengan kegugupannya?
“Kamu bisa memanggilku ‘Yul’
saja. Gak perlu memanggilku ‘sama.’”
"Oke, Yul-sama! Dan
jangan ragu untuk memanggil saya 'Shelly' saja!"
Dengarkan perkataanku!
Ugh. Dia semakin putus asa.
Aku tahu apa pun yang kukatakan, itu akan sia-sia. Hanya ada orang-orang aneh
yang serius dalam hidupku—kecuali Ayah dan Ibu—jadi aku mulai terbiasa. Dan
dengan orang-orang aneh yang serius, maksudku bukan mereka berpikir serius dan
aneh—maksudku mereka aneh meskipun mereka menganggapnya serius.
"Oke, Shelly. Pakai bunga
ini kah?"
“Ya desuwa~, Yul-sama.
Kita tekuk batangnya seperti ini dan…” [TL Note: ini ada akhiran desuwa~ nya
tapi ku bingung tempatin nya dimana]
Aku sudah agak menyerah.
Mungkin ini memang karena kepribadian gadis ini atau semacamnya. Bagaimanapun,
dia adalah teman pertamaku dan mungkin juga seorang bangsawan. Dia pasti sedang
stres berat atau semacamnya. Selebihnya, dia gadis yang baik nan perhatian, dan
aku tidak punya banyak keluhan.
Aku sadar betul bahwa aku
sedang membohongi diri sendiri.
Untuk saat ini, aku mulai
membuat mahkota bunga. Kegiatan ini sangat cocok untuk anak perempuan, jadi ini
kegiatan yang sempurna untuk aku coba. Ketidakmampuan aku mulai terlihat saat
mengerjakannya, tetapi Shelly selalu membantu aku memperbaikinya.
Mengapa tubuhku begitu kurang
terampil?
Meskipun begitu, Shelly
sangat baik dan menyenangkan. Dia gadis yang sangat baik. Setiap kali aku
kesulitan, dia akan menggenggam tangan aku sambil tersenyum.
Saat itulah kami mendengar
suara seseorang berjalan di rerumputan di belakang kami. Aku mendongak dan
melihat tiga anak laki-laki mendekat.
“Apa mereka temanmu, Shelly?”
“Tidak, eh…”
Entah kenapa, Shelly jadi
diam saja. Mungkin mereka cuma kenalan, bukan teman? Masuk akal juga; dengan
asumsi Shelly setahun lebih tua dariku, anak-anak laki-laki ini kelihatannya
sekitar tiga tahun lebih tua. Dari ekspresinya, aku menduga anak-anak laki-laki
ini menakutkan, punya kedudukan tinggi, atau mungkin memang bodoh. Pokoknya,
mereka membuat Shelly yang menawan ketakutan, dan itu pasti berarti mereka cuma
boneka besar berwajah bodoh.
Aku tak kuasa menahan diri
untuk tidak melirik kesal ke arah anak-anak itu. Mereka langsung berhenti—atau
setidaknya, hampir semuanya. Yang di depan adalah satu-satunya yang terus
berjalan ke arah kami.
Oya Apa yang kita punya di
sini? Aku terkesan dia bisa menahan tatapanku yang nggak manusiawi ini. Sebagai
hadiah, akan kuizinkan dia memakai mahkota bungaku yang aneh dan bentuknya
nggak jelas itu.
"Kamu Yulucia?"
tanya anak laki-laki berambut pirang kemerahan itu dengan nada angkuh. Siapa
anak ini?
"Ya?"
“Aku mendengar tentangmu dari
Paman.”
"Pamanmu?" Siapa
dia? Aku tak tahu, jadi aku berbalik untuk bertanya pada Shelly, tetapi anak
laki-laki itu memegang bahuku.
“Hei, jangan berani-berani
mengalihkan pandangan dariku.”
"Ah—" Aku mendongak
dan mendapati wajah lelaki itu tepat di depanku. Dia memang tampan. Namun, dia
anak nakal. Laki-laki yang tidak menghormati perempuan itu jahat. Kurasa aku
hanya bisa menyukai laki-laki yang tenang, tampan, dan lebih tua yang
mengagumiku. Laki-laki kekanak-kanakan seperti dia tidak bisa diterima.
Aku menatapnya dengan
menantang. Sesaat ia tampak takut, tetapi kemudian wajahnya memerah karena
marah saat ia balas melotot.
Mana mungkin aku takut
cuma karena ditatap anak kecil. Oh, aku punya ide bagus ini. aku bikin lelucon
kecil yang lumayan seru, lalu kuletakkan mahkota bungaku yang sudah lusuh itu
di atas kepalanya.
“Apa yang kau—?!”
Anak laki-laki itu terdiam.
Aku tersenyum penuh kemenangan padanya. Mahkota yang begitu sederhana sangat
cocok untuk raja istana ini.
“Kenapa, kau—!”
"Hmm?"
Anak laki-laki itu gemetar
karena marah, wajahnya merah padam. Aku memiringkan kepala seolah berkata,
"Aku nggak mengerti apa pun." Mungkin karena gengsi, tetapi dia
berpaling dariku tanpa menyentuhku sedikit pun, aku gadis kecil.
"Hei, ayo pergi,"
perintahnya pada dua anak laki-laki lainnya yang masih terpaku karena terkejut,
lalu membelakangiku.
Sebenarnya, apa sih tujuan
dia datang ke mari? Aku sedang menatap punggungnya
ketika dia tiba-tiba berhenti dan berbalik lagi.
"Aku Rick! Pesta ulang
tahunku besok lusa. Yulucia, kamu harus datang!"
"Hah? Hei!"
Setelah mengucapkan
pernyataan keras itu, Rick lari sebelum aku bisa menghentikannya.
Tunggu, apa? Apa yang dia
omongin barusan? Aku pulang lusa, kan? Besok aku dan Ayah bakal jalan-jalan di
ibu kota, beli oleh-oleh buat semua orang di rumah. Lalu aku akan pulang dengan
senyum lebar di wajah, duduk manis di pangkuan Ayah sepanjang perjalanan.
“Yul-sama?”
Ulang tahun? Lusa? Sekalipun
itu akhirnya, menjauhkanku dari Ibu, walau sehari saja, adalah dosa besar! Aku
tak akan memaafkan bahkan dewa pun atas pelanggaran seperti itu!
“Yul-sama!”
"Hah? Oh, maaf,
Shelly."
Dia pasti khawatir karena aku
sedang asyik bermonolog dalam hati. Dia menggelengkan kepala.
"Tidak perlu minta maaf!
Anda baik-baik saja?"
"Ya. Kamu baik
sekali."
"Te-terima kasih sudah
bilang begitu!" Lucu sekali dia mengatakannya dengan wajah memerah dan
malu-malu. Seandainya saja dia bisa mendengarkan dengan lebih baik.
Aku tidak tahu siapa Rick,
tapi kalau dia anak rentenir atau orang menakutkan lainnya, maka kami mungkin
akan mendapat masalah besar kalau aku tidak pergi ke pesta ini.
Lagipula, pria dan wanita
yang sama tadi berisik sekali dari tempat mereka duduk di area orang tua!
***
Di Kerajaan Suci Talitelud,
mereka yang berpangkat count atau lebih tinggi dianggap sebagai bangsawan
tinggi. Mereka akan menggunakan viscount dan bangsawan rendah untuk mengelola
tanah mereka yang luas.
Dahulu, semua bangsawan akan
menambahkan "d'" di awal nama keluarga mereka untuk menunjukkan
kepemilikan tanah. Namun, di bawah sistem yang berlaku beberapa ratus tahun
yang lalu, kaum bangsawan atas kini menggunakan "la" untuk membedakan
diri dari kaum bangsawan menengah dan bawah.
Karena kerajaan ini bermula
di Tanah Suci Versenia, hanya keluarga kerajaan yang diizinkan menambahkan
"von" dan "Versenia" pada nama mereka sebagai bukti bahwa
tanah tersebut telah dianugerahkan kepada mereka oleh sang dewi sendiri.
Ciellindo la Oralens.
Shelly adalah anak ketiga
Count Oralens dan anak perempuan tertua. Usianya baru menginjak lima tahun
sebulan yang lalu, di tengah musim panas. Hari ini, ayahnya memanggilnya ke
ruang kerjanya.
“Terima kasih sudah datang,
Ciellindo.”
“Tentu saja, Ayah!”
Sesuai adat Talitelud, hanya
perempuan lain dan pasangannya yang boleh memanggil seorang wanita bangsawan
dengan nama panggilannya. Oleh karena itu, ayah Ciellindo tidak memanggilnya
Shelly. Beberapa anak kecil saling memanggil dengan nama panggilan mereka
meskipun berbeda jenis kelamin. Namun, setelah mereka berusia lebih dari
sepuluh tahun, seorang pria hanya akan memanggil seorang wanita dengan nama
panggilannya jika mereka sangat dekat, misalnya jika mereka sudah bertunangan.
Count Oralens tersenyum pada
putrinya yang agak impulsif namun cerdas, lalu berlutut agar sejajar dengannya.
"Kau akan segera menghadiri pesta teh pertamamu, lima hari lagi."
"Oh?"
Tradisi lain di kerajaan
adalah para wanita bangsawan menghadiri pesta minum teh, tempat mereka
bersosialisasi dan bertukar informasi. Karena anak-anak kecil belum memahami
pentingnya acara semacam itu, mereka tidak diizinkan untuk hadir. Ada
kesepakatan tak tertulis bahwa anak-anak harus berusia lima tahun ke atas.
Namun, bahkan pada usia lima tahun, anak-anak masih bisa kurang berprestasi di
pesta minum teh, itulah sebabnya para wanita bangsawan menghadiri pesta minum
teh pertama mereka di tempat-tempat yang relatif familiar, seperti rumah
keluarga ibu mereka.
Ciellindo mengira pesta teh
pertamanya akan diselenggarakan bulan depan oleh bibinya, yang telah menikah
dengan keluarga Viscount Bley. Mengapa acaranya diundur hingga lima hari dari
sekarang? Ciellindo muda kemudian menyadari bahwa inilah yang membuat ibunya
begitu panik sejak ayahnya pulang—gaun yang mereka pesan untuknya masih belum
selesai.
"Hmm? Apa rencana Bibi
berubah?" tanyanya.
"Tidak, dia tidak akan
menjadi tuan rumah. Aku menerima permintaan dari seorang teman. Tiba-tiba saja,
tapi mereka mengadakan pesta teh khusus untuk anak-anak di Istana Keil."
“Istana Keil?!”
Bahkan Ciellindo pernah
mendengar tentang Istana Keil. Itu adalah vila milik keluarga kerajaan, dan
bahkan ibunya belum pernah melangkah lebih dari beberapa langkah ke dalamnya.
Ciellindo adalah putri dari
keluarga bangsawan. Ia baru saja memulai pendidikannya dengan mempertimbangkan
potensinya untuk menikah dengan keluarga kerajaan, sehingga ia memahami
pentingnya menghadiri pesta teh di Istana Keil.
Jika ini pesta teh khusus
anak-anak, pasti bukan hanya anak perempuan yang hadir. Anak laki-laki
kemungkinan besar juga akan hadir—setidaknya satu atau dua orang akan diajak
ikut.
Ia mendengar bahwa keluarga
kerajaan Talitelud terdiri dari putra mahkota dan kedua putranya. Menurut
ibunya, keduanya belum bertunangan, meskipun pangeran yang lebih muda, yang
berusia tujuh tahun, telah bertunangan hingga setengah tahun yang lalu. Pertunangan
yang kini dibatalkan ini telah diatur karena alasan politik, menjadikannya
orang pertama yang bertunangan bahkan sebelum kakak laki-lakinya.
Pangeran yang lebih tua lima
tahun lebih tua dari Ciellindo, sehingga ia tidak dipertimbangkan untuk menjadi
tunangannya karena usia mereka. Namun, ia mengenal kedua anak laki-laki itu dan
lebih menyukai sang kakak, yang lebih mirip ibunya, daripada adik bungsunya,
yang mirip ayahnya. Karena ini adalah pesta teh untuk anak-anak, pangeran yang
lebih tua mungkin tidak akan hadir karena ia akan berusia sepuluh tahun akhir
tahun ini, tetapi ada kemungkinan besar pangeran yang lebih muda akan hadir.
Ciellindo memucat saat dia
bertanya-tanya apakah pesta teh ini untuk memilih tunangan barunya.
"Tidak perlu gugup.
Karena pesta teh ini ditujukan untuk anak-anak, tidak ada yang akan menilai
etiketmu. Kamu hanya perlu bersantai dan bersenang-senang."
“B-baiklah…”
Ciellindo yakin dia akan
menjadi yang termuda karena usianya baru lima tahun. Dan karena pesta teh
diadakan di Istana Keil, itu berarti semua orang tidak hanya lebih tua, tetapi
juga dari kalangan bangsawan atas. Mengingat ini adalah pesta teh pertamanya,
apa yang bisa dibicarakan Ciellindo dengan mereka?
Ia dipenuhi kecemasan yang
begitu besar hingga hampir menangis. Ayahnya pun tampak agak khawatir ketika
memutuskan untuk membahas permintaannya untuk putri kesayangannya.
"Ingat teman yang
kusebutkan? Yang mengajakmu ikut pesta teh ini?"
"Ya?"
“Putrinya juga diminta hadir
tanpa pemberitahuan sebelumnya. Kudengar dia sangat lemah dan jarang punya
kesempatan keluar. Dia sekitar setahun lebih muda darimu.”
“Astaga!”
Gadis itu sakit parah saat
lahir dan bahkan belum berusia empat tahun. Mengetahui bahwa usianya hampir
sama dengan Ciellindo, teman ayahnya bertanya kepada Count apakah putri mereka
boleh bertemu dan berteman di pesta itu.
Ciellindo masih ragu, tetapi
mendengar kabar bahwa seorang gadis yang lebih muda darinya akan hadir membuat
hatinya dipenuhi naluri protektif, karena ia selalu merindukan seorang adik
perempuan. Keinginan itu lebih kuat daripada rasa takutnya untuk pergi ke
pesta.
"Aku bisa, Ayah! Aku,
Ciellindo, akan berteman dengan gadis ini!"
“T-tidak perlu berlebihan oke.”
Dan kemudian, pada hari pesta
teh, Ciellindo bertemu dengan seorang malaikat.
Dia memiliki rambut keemasan
yang berkilau bak matahari.
Wajahnya tampak seperti wajah
malaikat—buatan tangan dewa.
Tak seorang pun siap
menyambutnya, dan semua orang di pesta itu benar-benar lupa bernapas saat
mereka terkagum-kagum. Tak seorang pun bisa bergerak atau mengalihkan pandangan
dari sosok halus itu saat ia membungkuk dengan anggun. Kerumunan itu pun ingat untuk
bernapas, dan para musisi serta maid pun ingat bahwa mereka punya pekerjaan
yang harus diselesaikan.
Potret malaikat itu dengan
mata yang sedikit menunduk sungguh indah untuk dilihat. Bahkan para maid dari
keluarga bangsawan berpangkat rendah pun tak mampu pulih sepenuhnya dan
bergerak dengan keanggunan seorang prajurit yang tak tergoyahkan saat mereka
mempersembahkan manisan dan teh kepada sang malaikat.
Para gadis muda yang
menghadiri pesta teh hanya bisa menghela napas sambil menatapnya, tak mampu
berbuat apa-apa. Namun, Ciellindo-lah yang menyadari betapa kesepiannya
bidadari itu meskipun ada tumpukan manisan di atas meja, dan itu menyakitkan
hatinya. Bagaimanapun, secantik apa pun bidadari itu, ia bukanlah bidadari
sungguhan; ia hanyalah gadis biasa yang lebih muda dari Ciellindo.
Malaikat itu pasti putri
teman ayahnya. Setelah memutuskan ingin melindunginya, Ciellindo meninggalkan
kerumunan wanita dan memutuskan untuk berbicara dengan gadis itu. "Eh,
maaf?"
Saat berbicara dengannya, ia
menyadari bahwa gadis itu sangat cerdas untuk usianya. Dan dari caranya
mengucapkan terima kasih kepada para pelayan, Ciellindo tahu bahwa gadis itu
baik kepada orang-orang kelas bawah. Ekspresi wajahnya berubah begitu cepat sehingga
kesan bahwa ia adalah boneka langsung lenyap. Ciellindo pun menyadari bahwa
gadis itu cukup menawan.
Nama bidadari itu Yulucia.
Ciellindo langsung jatuh hati padanya. Biasanya butuh waktu baginya untuk bisa
akrab dengan orang lain, jadi ini yang pertama. Ia tak kuasa menahan tawa
membayangkan betapa ia seperti dikutuk oleh devil, seperti dalam dongeng.
Saat mereka asyik bermain
bersama, beberapa anak laki-laki yang sedang menghadiri pesta teh menghampiri
mereka. Ciellindo tidak mengenal kedua anak laki-laki di belakang, tetapi ia
pernah bertemu dengan anak laki-laki yang memimpin mereka. Ia waspada terhadap
anak laki-laki itu.
Ciellindo mundur, tak ingin
berurusan dengannya. Namun, Yulucia tak menunjukkan rasa takut dan dengan
tenang menghadapi anak laki-laki yang lebih tua. Entah baik atau buruk, ia
menghadapi anak laki-laki yang sangat mirip ayahnya—tidak terampil berbicara dengan
perempuan. Meskipun sikapnya gaduh, ia menatapnya dengan mata emasnya yang
indah dan berhasil menghindarinya hanya dengan memberinya mahkota bunga
buatannya.
Bertanya-tanya apakah ini
adalah cara orang-orang dengan darah yang mulia (dari sudut pandang
Ciellindo) berperilaku, Ciellindo secara bersamaan sangat tersentuh namun
entah bagaimana sangat cemburu saat keduanya saling menatap.
Yulucia begitu cantik dan
rupawan. Ciellindo secara impulsif percaya bahwa ia dilahirkan untuk melindungi
Yulucia dari para lelaki.
Sebagai putri seorang
bangsawan, Ciellindo yakin keluarganya juga telah menerima undangan ke pesta
anak laki-laki itu. Karena anak laki-laki itu sulit diatur secara politik, sang
bangsawan bermaksud hanya mengirim kakak-kakak laki-lakinya ke pestanya, tetapi
sekembalinya ke istana, mereka mengumumkan bahwa Ciellindo juga akan hadir.
Ibunya terhuyung-huyung, diliputi rasa pusing karena ia tidak menyiapkan gaun
yang pantas untuknya.
“Aku akan membasmi setiap serangga menjijikkan yang berani mendekati Yul-sama!”
