![]() |
| Gambar 13. Bab 10 |
Tefuda ga Oome no Victoria Volume 1 - Miles
Translated by : Koyomin
Bagian 1
Setiap dua hari, aku akan bangun pagi-pagi sekali untuk berlari.
Sejak mulai membantu di kediaman Tuan Bernard yang pekerjaannya tidak terlalu menuntut fisik, aku merasa staminaku perlahan menurun. Namun setelah mulai berlari lagi, aku baru menyadari bukan hanya ototku yang melemah, tapi juga jantung dan paru-paruku. Hal itu cukup mengejutkanku.
Aku biasanya bangun sebelum fajar, berlari sekitar satu jam, lalu pulang tepat saat matahari terbit. Para pelayan di kediaman Lady Yolana bangun sekitar waktu itu juga, jadi aku harus melompati pagar sebelum mereka mulai beraktivitas agar tidak ketahuan.
Setelah rutin berlari, aku menyadari ada seorang pria berusia sekitar enam puluhan yang tinggal di rumah kecil di belakang kediaman Lady Yolana. Aku agak penasaran dengannya.
Dia memiliki seekor kuda besar dengan surai dan ekor berwarna hitam. Beberapa kali aku melihatnya menunggang kuda itu, dan cara ia menungganginya begitu indah sampai-sampai aku terpaku, seolah dia dan kudanya adalah satu kesatuan.
Pria itu berambut putih pendek dan bertubuh tegap. Aku menduga ia mungkin pernah menjadi prajurit.
Suatu pagi, saat sedang berlari, aku menemukan pria itu sedang beristirahat bersama kudanya di dekat aliran sungai kecil di padang rumput yang biasa kulewati. Aku memperlambat langkah saat memasuki area itu, dan kami saling bertatapan. Rasanya canggung kalau aku tiba-tiba berbalik, jadi aku menyapanya.
“Selamat pagi.”
“Oh, pagi! Kau sedang berlari, ya?”
“Ya benar.”
“Jarang sekali melihat seorang wanita berlari pagi-pagi begini.”
“Kurasa begitu.”
Setelah itu kami berbincang sedikit tentang cuaca, lalu aku menundukkan kepala dan melanjutkan lari. Hal itu terjadi beberapa kali lagi di hari-hari berikutnya. Pria itu tampaknya mulai menantikan obrolan singkat kami dan jujur saja, aku pun begitu.
Suatu hari, ia menanyakan sesuatu selain tentang cuaca. “Kau bekerja apa, kalau boleh tahu?”
“Oh, tidak ada yang istimewa. Aku orang biasa, bekerja untuk menghidupi putriku.”
“Begitu rupanya!” katanya dengan wajah tertarik. Aku berjalan mendekat ke arah kudanya, berbicara lembut pada hewan itu, lalu menepuk lembut hidungnya.
“Kuda Anda indah sekali.”
“Ia sudah tua, sama sepertiku,” kata pria itu sambil tersenyum, kemudian memperkenalkan diri. Namanya Miles Grant, seorang mantan tentara yang telah mengabdi di militer hingga pensiun bersama kuda kesayangannya.
“Anda pasti sudah lama mengabdi untuk kerajaan, bukan?”
“Ah, aku tidak melakukan banyak hal, sebenarnya. Seperti yang kau tahu, kerajaan ini jarang sekali berperang. Jadi waktu luangku cukup banyak. Aku bersyukur bisa mendapatkan pensiun yang cukup untuk menjalani sisa hidupku dengan tenang,” ujar Miles sambil tersenyum, menepuk kudanya. Kuda itu meringkik pelan dan menggesekkan hidungnya pada sang pemilik dengan penuh kasih.
“Aku sangat menyukai kuda. Aku ingin sekali punya kuda sendiri, tapi aku tinggal di pondok kecil di tanah milik nyonyaku. Dia orang yang sangat baik, jadi aku ingin menjadi penyewa yang baik juga.”
Miles menatapku dengan mata biru mudanya yang jernih.
“Aku bisa merawat kudamu, kalau kau mau. Kalau kau ingin punya kuda, berarti kau tahu cara menungganginya, kan?”
“Ya, aku bisa menungganginya. Kakak-kakakku dulu di militer, mereka yang mengajariku. Tapi Apa Anda yakin? Tentu saja aku akan membayar untuk perawatan kudanya.”
“Aku bahkan bisa mencarikan kuda yang cocok untukmu. Kupikir aku sedikit lebih ahli menilai kuda daripada kau. Tapi bagaimana kalau kau tunggangi kudaku dulu sebentar, biar aku tahu sejauh mana kemampuanmu?”
Aku menaiki kuda milik Miles dan menuntunnya berjalan, lalu berlari kecil mengitari padang rumput itu.
“Begitu ya. Kau cukup mahir. Jadi, seperti apa kuda yang kau inginkan?”
“Kuda yang bisa kutunggangi untuk perjalanan jauh.”
“Baiklah.”
Tanpa kusadari, kami akhirnya membicarakan lebih jauh, dan aku pun meminta Miles untuk membelikan seekor kuda untukku. Aku sepakat untuk membayar biaya perawatannya agar kuda itu bisa ia pelihara di tanah miliknya.
Beberapa hari kemudian, Miles sudah menungguku di padang rumput itu bersama dua ekor kuda.
“Miles, apakah kuda itu…?”
“Ya. Ini kudamu. Ia pelari yang tangguh dan sangat cerdas. Harganya juga masih jauh di bawah anggaranmu. Di kandang, mereka memanggilnya Aleg. Cobalah menungganginya.”
Aleg menatapku dengan waspada karena belum mengenalku. Namun begitu aku menaikinya, ia langsung menurut pada perintahku. Aku menuntunnya berjalan perlahan, lalu memacunya sedikit mengitari padang rumput. Ya, dia memang kuda yang bagus.
“Aku menyukainya! Terima kasih banyak.”
“Kalau begitu, aku akan merawatnya baik-baik untukmu.”
“Terima kasih. Aku akan datang menungganginya setiap dua hari sekali.”
“Sekitar waktu fajar?”
“Ya.”
Meskipun aku sudah berjanji untuk membayar jasanya di muka, Miles berkata bahwa ia akan menanggung sebagian besar biayanya sendiri.
“Tapi merawat kuda itu pekerjaan berat. Tolong biarkan aku membayarmu,” kataku bersikeras.
“Ah, aku punya banyak waktu luang. Lagi pula, dengan adanya kuda muda itu, kudaku sendiri pasti akan merasa perlu ikut bersemangat. Itu akan membuatnya senang!” ujarnya sambil tertawa kecil.
Sebenarnya, aku membeli kuda itu untuk keadaan darurat—jika suatu hari aku harus melarikan diri bersama Nonna. Aku tidak bisa mencuri kuda dan kereta milik Lady Yolana..
Aku pulang ke rumah dan menyiapkan sarapan, lalu pergi membangunkan Nonna. Saat kami makan bersama, aku memberitahunya tentang kuda itu.
“Nonna, kau mau belajar menunggang kuda? Tentunya kita akan latihan bersama.”
“Kuda? Aku mau naik kuda sama kamu, Vicky!”
Matanya langsung membesar, dan ia melompat dari kursinya sambil mengunyah roti panggang dengan napas terengah-engah karena bersemangat.
“Aku harus bekerja di siang hari, jadi kita hanya bisa menunggang pagi-pagi sekali.”
“Aku akan bangun! Aku akan bangun pagi buat menunggang!”
“Oke. Mulai besok pagi, kita akan menunggang setiap dua hari sekali.”
“Siap!”
“Oh, satu hal lagi—jangan beri tahu siapa pun di rumah utama tentang kuda kita dulu, ya.”
“Kenapa?”
“Karena sampai kau benar-benar mahir menunggang, mereka mungkin akan bilang, ‘Berhenti, itu terlalu berbahaya!’”
“Oh, aku mengerti. Seperti waktu aku bilang suka memanjat pohon, ya.”
Tentu saja dia menceritakan soal itu pada mereka…
“Mereka mungkin akan khawatir sebelum tahu kau pandai menunggang.”
“Oke. Boleh aku cerita setelah aku jago menunggang?”
“Tentu, setelah aku bilang boleh.”
“Siap!”
Sepanjang hari itu, Nonna tampak sangat bersemangat saat kami berada di rumah Tuan Bernard. Dia benar-benar menantikan pelajaran menunggangnya. Aku sempat memeriksanya untuk memastikan dia tidak membocorkan rahasia itu, dan kulihat dia berbisik pada Tuan Bernard, “Tebak! Tebak! Aku punya rahasia!” lalu berlari pergi. Ia tampak begitu misterius.
Tuan Bernard sedang sibuk dengan penelitiannya, jadi aku menutup pintunya pelan-pelan dan meminta Nonna melakukan salah satu tugas favoritnya di depanku—memoles peralatan perak. Aku duduk di meja dapur bersamanya, mengerjakan terjemahan. Nonna menatapku sambil menggosok sendok, garpu, dan pisau. Begitu mata kami bertemu, dia tertawa kecil, seperti “Mwe-hee-hee!”
“Kau benar-benar tak sabar, ya? Kalau begitu malam ini kita mandi lebih awal dan tidur cepat, ya.”
“Oke! Vicky, kuda itu suka makan apa sih?”
“Kuda suka makan rumput seperti halnya kita yang makan roti atau daging. Dan untuk camilan, mereka suka apel dan wortel.”
“Waaaah! Hei, Vicky, ayo beli apel dan wortel sepulang nanti!”
“Tentu. Ayo lakukan itu.”
Aku tak bisa menahan tawa kecil saat mendengar dia berkata, “Waaaah!”
Ketika Nonna duduk diam tanpa menendang atau melakukan salto, dia tampak seperti putri bangsawan kecil. Dia sangat bersemangat dan lucu. Belum lagi dia memiliki bakat seni bela diri dan pertempuran.
Malam itu, setelah makan malam, kami cepat-cepat mandi, menggosok gigi, lalu berbaring di tempat tidur. Aku pun ikut menantikan hari esok.
Bagian 2
Hari berikutnya aku libur kerja, jadi aku mengajak Nonna mengunjungi rumah Miles. Ia sedang berada di halaman.
“Oh! Itu putrimu?”
“Ya, benar.”
Nonna sama sekali tidak memperhatikan percakapan kami. Matanya terpaku pada Aleg. Ia terkikik pelan, “Mwe-hee-hee!” dan bahkan cara jalannya tampak ringan, tanda betapa semangatnya dia.
Miles menghampiri Nonna dan berbicara padanya. “Bagaimana menurutmu? Kudanya besar, kan?”
“Iya! Sangat besar! Dan cantik!”
“Tidak takut?”
“Tidak sama sekali! Aku mau naik!”
“Itu jawaban yang bagus!” kata Miles sambil tersenyum, lalu menjelaskan dasar-dasar keselamatan berkuda kepada Nonna—jangan menoleh ke belakang, jangan membuat kuda terkejut dengan berteriak, ikuti gerakan kuda, dan tetap tenang.
Nonna dan aku lalu naik ke punggung Aleg. Kami berdua mengenakan celana berkuda yang telah kubuat sendiri, serta sepatu yang mirip dengan sepatu bot berkuda.
Aku menempatkan Nonna di depanku, lalu kami berjalan perlahan di atas Aleg. Aleg adalah kuda yang cerdas. ia bergerak lebih hati-hati dengan Nonna di punggungnya daripada saat aku menunggang sendirian. Miles benar-benar pandai menilai watak kuda.
“Boleh aku ikut menunggang bersama kalian?” tanya Miles.
“Boleh sekali! Aku akan senang kalau kau bisa menunjukkan tempat-tempat favoritmu di sekitar sini.”
Dan pada akhirnya kami bertiga berkuda bersama — Miles menunggang kuda kesayangannya di samping.
“Omong-omong, Miles, apa nama kudamu?”
“Night. Di ketentaraan dulu, mereka memanggilnya Nightmare.”
“Nightmare! Apakah dia mendapat nama itu di medan perang?”
“Sewaktu masih muda, aku pernah menungganginya dalam lomba balap melawan teman-teman dan kuda mereka. Mereka memberinya nama itu setelahnya.”
Pasti Miles dan Night adalah pasangan yang tangguh kalau sampai dijuluki begitu. Aku jadi berharap bisa melihat mereka saat masih muda.
Setelah itu, kami menunggang santai menuju distrik utara ibu kota. Di sanalah toko-toko pertukangan, penggergajian kayu, toko mebel, bengkel tenun, dan sebagainya berada. Setelah melewati kawasan itu, kami turun ke lereng yang landai hingga jalan berubah menjadi hutan. Ini pertama kalinya aku datang ke sana, dan meskipun kami berjalan lambat, kami memutuskan untuk beristirahat sejenak.
“Sepertinya sudah waktunya,” kata Miles.
Aku penasaran apa maksudnya. Ia turun dari Night di dekat deretan pohon kastanye.
Nonna dan aku ikut turun dari Aleg, dan kedua kuda itu dibiarkan merumput bebas y.
Tanahnya dipenuhi duri-duri kastanye terbuka, dan buahnya besar sekali, bahkan untuk ukuran kastanye pegunungan.
“Aku mau kumpulkan kastanye. Kalian bebas melakukan apa saja.”
“Aku juga mau kumpulkan kastanye!” seruku.
Miles dan aku menginjak duri-duri kastanye dengan sepatu bot untuk memecahnya dan mengambil biji di dalamnya.
“Ini!” katanya sambil melemparkan sebuah kantong kain ke arahku. Ia juga membawa satu untuk dirinya sendiri.
Kami berdua pun sibuk mengumpulkan kastanye selama hampir satu jam, sementara Nonna memperhatikan Aleg dan Night dari dekat. Kedua kuda itu menundukkan lehernya dan mengendus pelan ke arah Nonna.
“Jangan sentuh kudanya tanpa izin,” aku memperingatkan.
“Oke!”
Akhirnya, kedua kantong kami penuh sampai hampir meledak, jadi kami naik ke punggung kuda lagi. Kami berjalan perlahan, tapi karena Aleg masih muda, ia beberapa kali menoleh ke arahku dan meringkik pelan.
“Kelihatannya dia ingin berlari. Mau kubawa putrimu dulu??”
“Nonna, bisakah kau naik di kuda Paman Miles sebentar?”
“Apaa? Tapi aku mau naik sama Vicky waktu kudanya lari!”
“Itu pertama kalinya kau menunggang kuda. Kau belum bisa menunggang Aleg saat dia berlari kencang. Kau harus terbiasa dulu.”
Nonna mengangguk, meski dengan enggan. Miles merentangkan tangan, mengambil Nonna dariku, lalu mendudukkannya di depan dirinya di atas kuda, menahannya dengan satu lengan yang kuat.
Aku menendang sisi Aleg dengan ringan, dan dia langsung menerjang maju seolah-olah mengatakan, “Sudah waktunya!” Aku menyesuaikan gerak tubuhku mengikuti ritme Aleg, tubuh kami seirama. Dikatakan bahwa ketika kuda dan penunggangnya benar-benar menyatu, mereka bisa saling membaca pikiran. Sudah lama sekali aku tidak merasakan hal itu.
Setelah beberapa lama, aku bisa merasakan Aleg mulai tenang, jadi perlahan-lahan aku menurunkan kecepatannya hingga berhenti di samping Miles dan Nonna, yang menonton dari jauh.
“Keren banget, Vicky!”
“Kau penunggang yang hebat. Aku jadi makin hormat padamu,” kata Miles.
“Terima kasih. Yah, bagaimana kalau kita pulang sekarang?”
Kami mengambil rute sisi gunung di bagian utara, lalu melewati distrik barat untuk menghindari keramaian di selatan, dan akhirnya kembali ke distrik timur, melewati depan istana. Setelah memberi Aleg minum dan menyikat bulunya, aku menepuk lehernya lembut sebagai ucapan terima kasih atas perjalanan yang baik, lalu berpamitan pada Miles. Kemudian kami berjalan di sekitar properti Miles untuk kembali ke perkebunan Lady Yolana.
“Vicky, sebenarnya kita bisa saja memanjat tembok Miles untuk langsung sampai ke rumah Lady Yolana, kan? Aku tadi lihat atapnya.”
“Kita memang bisa, tapi itu bukan sesuatu yang boleh dilakukan sesering itu. Kita harus berjalan kalau tidak benar-benar perlu, oke?”
“Tapi kita boleh memanjat kalau darurat, kan.”
“Hanya kalau nyawamu benar-benar terancam. Dengan kata lain, jangan lompat-lompat tembok sembarangan. Mari kalan kaki saja.”
“Oke!”
Kami kembali ke pondok. Aku duduk dan mulai mengupas kulit kastanye dengan pisau kecil. Nonna ingin melakukannya juga, tapi aku bilang dia masih terlalu kecil untuk memegang pisau. Aku mengupas sekitar delapan puluh persen bagian luar kastanye, lalu menyerahkannya pada Nonna untuk mengeluarkan isi bijinya dari kulit dalam. Jumlahnya sangat banyak, jadi begitu kami selesai, bahuku terasa kaku sekali.
aku membereskan beberapa pekerjaan rumah yang menumpuk, lalu membuat sup kental dari daging perut babi dan kastanye. aku menaruh sebagian ke dalam mangkuk dan memutuskan untuk membawanya ke rumah Miles. Nonna bilang dia ingin tinggal di rumah sendirian kali ini.
“Selamat malam. Aku memasak makan malam dari kastanye yang kita kumpulkan hari ini, jadi aku ingin berbagi.”
“Oh! Menarik juga. Aku cuma tahu cara merebus atau memanggang kastanye!”
“Aku membuatnya jadi sup bersama daging babi. Rasanya mungkin agak berat, tapi pas sekali kalau disantap sambil minum sedikit alkohol.”
Miles berjalan perlahan ke arah ruang depan, lalu menyelipkan tangannya ke saku. Tiba-tiba, ia berbalik dan melempar sesuatu ke arahku.
Aku segera menghindar dan bersiap untuk serangan berikutnya.
“Maaf, aku hanya mengetesmu Itu cuma mainan kayu. Jangan khawatir. Kamu bilang kamu rakyat biasa, dan mungkin kamu bisa menipu orang lain, tapi tidak denganku.”
“Aku kan sudah bilang, aku punya kakak di militer yang mengajariku menunggang kuda, ingat?”
Aku meletakkan mangkuk sup dengan hati-hati di atas meja kecil dekat pintu masuk, tempat Miles biasa menaruh kuncinya.
“Sungguh, dan sekarang kamu hampir saja menghancurkan hadiah yang kubawa ini!”
“Oh, makanannya selamat, kan? Yah, Aku tahu kamu bisa menghindar sambil tetap melindungi mangkuk itu.”
Aku melirik benda yang tadi dilemparnya. Itu seekor burung kecil dari kayu, diukir dengan tangan.
“Aku tak menyangka kamu akan bercanda seperti itu, Miles!”
“Kau pikir kau bisa menyembunyikan kemampuanmu, tapi kau tak bisa menekannya sepenuhnya. Kau bahkan membiarkan aku menggendong anakmu hari ini, jadi aku tahu kau mempercayaiku. Tapi itu tindakan yang ceroboh.”
Miles memberi isyarat agar aku duduk, lalu berbalik untuk menyiapkan teh. Dan kau bilang itu sambil membelakangiku?
“Yang membuatku curiga bukan kemampuan menungganganmu. Kau cukup mahir—jangan salah paham. Tapi setiap kali aku mencoba berpindah ke titik butamu, kau selalu, tanpa sadar, menggeser posisi agar aku tetap dalam pandanganmu. Itu kebiasaan lama, bukan.”
Begitu.
“Jadi? Sekarang kau mau apa denganku?” tanyaku.
“Tidak apa-apa. Tapi setelah kulihat kau bersama putrimu, yang sama sekali tak mirip denganmu, aku jadi yakin. Gadis kecil itu bukan anak kandungmu, kan?”
“Tidak, dia bukan anak kandungku. Ibunya meninggalkannya ketika aku menemukannya.”
“Mengadopsi anak seperti itu cukup nekat.”
“Aku tidak menyesal sedikit pun. Berkat dia, aku akhirnya bisa menjalani hidup yang normal.”
Miles menyerahkan secangkir teh kepadaku. “Maaf untuk yang tadi. Kau ini orang yang menarik.”
“Biar kujelaskan sekali lagi: aku ini rakyat biasa yang hanya membesarkan putrinya.”
“Tentu, tentu. Kita anggap saja begitu. Tapi aku ingin memberitahumu sesuatu. Kalau suatu hari kau butuh bantuan, datanglah padaku. Setidaknya aku bisa menahan musuhmu untuk sementara.”
“Tapi kenapa?”
“Karena kau seorang wanita dengan masa lalu, yang kini hidup di antara orang-orang biasa sambil membesarkan anak. Aku tak akan menanyakan alasannya. Tapi sebagai lelaki tua yang tak punya banyak kesibukan, izinkan aku membantu kalau bisa.”
Aku menanggapinya dengan senyum ringan, seperti yang dulu diajarkan di buku pedoman organisasi.
“Orang biasa tidak punya musu,” kataku. “Selama kau merawat kudaku dengan baik, itu sudah lebih dari cukup bagiku.”
Miles mencelupkan jarinya ke dalam sup yang kubawa dan mencicipinya. “Hmm, enak juga.”
“Terima kasih. Dan terima kasih juga untuk tehnya.” Aku hendak menutup pintu, tapi berbalik sejenak. “Dan terima kasih atas nasihatmu.”
“Sama-sama. Mulai sekarang, berhati-hatilah kalau berurusan dengan orang yang tampaknya terlatih.”
Bagian 3
Hari ini adalah hari pelajaran bahasa.
Nonna sedang menyombongkan diri kepada Tuan Muda Clark. “Aku tahu sebuah toko yang menjual pai apel yang super lezat,” katanya. Aku mendengar percakapan mereka saat memeriksa ejaan di buku catatan mereka.
“Benarkah seenak itu?”
“Iya. Pai apelnya enak sekali. Kulitnya renyah, dan di dalamnya banyak potongan apel.”
“Ahh, kedengarannya enak sekali! Aku suka pai apel. Andai saja aku bisa memakannya setiap hari.”
“Mau pergi bareng lain kali?”
“Serius? Kau yakin?”
“Tentu. Aku dan Vicky bisa menjemputmu.”
“Aku tak sabar menunggu.”
Tunggu dulu!
Percakapan mereka begitu menggemaskan sampai tanganku bergetar saat memeriksa tugas karena menahan tawa.
“Tuan Muda Clark, apakah kamu ingin pergi bersama kami makan pai apel?” tanyaku.
“Tentu, Ms. Sellars! Aku sangat ingin!”
“Baiklah. Setelah aku menyelesaikan pekerjaanku di rumah Tuan Bernard besok sore, aku dan Nonna akan datang menjemputmu.”
“Tidak perlu, aku bisa pergi sendiri ke rumah Paman Besar. Akan lebih cepat begitu!”
Tuan Bernard telah pulih sepenuhnya dan kini sudah kembali ke rumahnya.
Keesokan harinya, kami bertiga mengunjungi toko roti di kawasan selatan yaitu tempat yang pernah Zaharo tunjukkan kepada Nonna dan aku sebelumnya. Di konter, Master Clark dan Nonna masing-masing membeli pai apel, sementara aku membeli sepotong besar kue mentega. Kami bertiga juga memesan teh.
“Nona Sellars, pai apel ini benar-benar lezat! Ayah dan Ibu tidak terlalu suka makanan manis, jadi juru masak kami jarang membuatnya.”
“Begitu? Nah, makin bagus alasan untuk menikmatinya.”
Tuan Muda menggigit pai dengan wajah berbinar, dan entah kenapa Nonna tampak puas sekali. Ekspresi seorang gadis cantik saat sedang menyombongkan diri memang sesuatu yang lain.
Saat kami menikmati makanan kami, aku melihat seorang wanita berusia sekitar lima puluhan masuk ke toko roti itu. Dari pakaian dan caranya berbicara, aku bisa tahu bahwa dia pelayan keluarga bangsawan. Ia sedang berdebat dengan salah satu pegawai di bagian belakang.
“Maaf, Nyonya. Tapi pai apel sudah habis untuk hari ini.”
“Bahkan sepotong pun tidak ada?”
“Tidak ada, maaf sekali.”
“Haah… Lalu apa yang harus saya lakukan sekarang?”
Ups. Mungkin itu karena aku baru saja membeli satu pai apel utuh untuk dibawa pulang ke keluarga Tuan Muda Clark. Wanita itu tampak kesulitan. Aku bisa membelikan sesuatu yang lain untuk keluarga Anderson, jadi mungkin sebaiknya aku memberikannya saja padanya. Aku menoleh dan berbicara padanya.
“Permisi, saya baru saja membeli satu pai apel utuh untuk dijadikan hadiah. Apakah Anda ingin mengambilnya saja?”
“Anda yakin?”
“Ya, saya bisa datang lagi dan membeli yang lain lain waktu.”
Wanita itu berterima kasih padaku dengan sungguh-sungguh. Ia menerima pai apel itu dengan hati-hati, memeluknya erat, dan beberapa kali membungkuk sebelum pergi.
“Apakah kamu begitu menyukai pai apel sampai membeli satu utuh, Nona Sellars?” tanya Tuan Muda Clark.
“Aku memang suka pai apel, tapi yang itu sebenarnya untuk Nona Eva dan sang earl. Tapi kalau mereka tidak terlalu suka makanan manis, sepertinya aku akan membelikan yang lain saja. Banyak makanan enak lain di sini.”
Begitulah akhirnya.
Hari itu, aku menempatkan Tuan Muda Clark, yang sangat puas, ke dalam kereta keluarga Anderson dan melepasnya pulang. Setelah itu, Nonna dan aku berjalan pulang bersama.
Kami mandi dan membersihkan diri menggunakan sabun mewah yang diberikan oleh Lady Yolana.
Setelahnya, Nonna dan aku tidur bersebelahan. Aku sangat menyukai tidur bersama dengannya.
Meskipun sekarang dia sudah berusia enam tahun dan bisa tidur sendiri, aku ingin menebus semua kesepian yang ia rasakan di masa kecilnya. Biasanya aku menunggu sampai Nonna tertidur, lalu membaca buku, mengerjakan terjemahan untuk Tuan Bernard, atau berlatih.
Minggu berikutnya…
"Katakan, Victoria. Kudengar kamu mengenal maid Baron Hanson?” tanya Lady Eva.
“Hanson…? Tidak, sepertinya saya tidak mengenalnya.”
“Begini, aku mengenal Baron Hanson lewat pekerjaan suamiku. Hari ini, istrinya, sang baroness, datang membawa daun teh langka, dan maid-nya mengenali Clark! Katanya, kamu memberinya satu pai apel utuh.”
“Oh! Sekarang saya tahu siapa yang Anda maksud. Minggu lalu, kami berada di toko roti di kawasan selatan ketika saya bertemu wanita itu. Pai apel di sana sudah habis, dan saya baru saja membeli yang terakhir, jadi saya memberikan itu padanya.”
Lady Eva mengangguk dengan semangat. Aku kira pembicaraan itu sudah selesai, tapi ternyata belum.
Tiga hari kemudian, Baron dan Baroness Hanson datang ke kediaman keluarga Anderson bersama maid mereka. Lalu Lady Eva memanggil Nonna dan aku.
“Victoria, Baron Hanson ingin menyampaikan sesuatu kepada kalian berdua.”
Sungguh heboh hanya karena sepotong pai apel! Pikirku. Tapi firasatku tidak enak.
Nonna dan aku masuk ke ruang tamu keluarga Anderson. Seorang wanita yang tampak sangat anggun bangkit dari duduknya dan menatap Nonna. Mereka berdua sama-sama berambut pirang. Wanita itu menutup mulutnya dengan tangan dan matanya mulai berkaca-kaca.
Apa? Jangan bilang mereka orang tua Nonna?
Ada sesuatu dari penampilan mereka yang memang mengingatkanku pada Nonna.
“Senang bertemu dengan Anda.” Nonna dan aku menyapa mereka. Pria di sebelahnya juga tampak sangat terharu.
“Victoria, silakan duduk. Ini Baron dan Baroness Hanson. Tuan Baron, ini Victoria, dan gadis kecil ini bernama Nonna.”
Begitu kami duduk, keduanya menatap Nonna tanpa berkedip.
“Ketika maid kami bercerita, saya tidak percaya. Tapi dia benar-benar terlihat persis seperti putri kami!” seru sang baron.
“Saya tahu. Benar-benar mirip!” sahut sang baroness.
“Permisi, tapi apa maksud semua ini?” tanyaku.
Baroness mengusap matanya dengan saputangan dan menjelaskan, “Putri kami meninggal karena sakit saat berusia tiga tahun. Jika dia masih hidup, dia pasti akan terlihat seperti gadis ini.”
“Dan karena itu, Victoria,” kata Lady Eva, “Baron dan Baroness Hanson ingin mengadopsi Nonna.”
“……”
Firasat burukku terbukti benar.
“Maaf, tapi saya tidak berniat menyerahkan Nonna.”
“Tolong pikirkan baik-baik, Victoria,” kata sang baron. “Saya dengar Anda belum menikah dan membesarkan anak ini sendirian. Kami memiliki cukup harta untuk mengadopsinya. Dan kelak, ketika Nonna dewasa, kami bisa mencarikannya bangsawan untuk dinikahi agar nama keluarga kami tetap berlanjut. Bukankah ini kesempatan terbaik baginya?”
Begitu. Jadi ini semua soal status dan uang.
“Vicky, apa yang mereka bicarakan?”
“Baron dan baroness ingin kamu menjadi putri mereka, Nonna.”
“Apa? Tidak mau.”
Baroness segera menyela. “Anak berusia enam tahun belum mengerti pentingnya pembicaraan ini, Victoria. Tentu saja dia akan memilih bersama orang yang sudah ia kenal. Tapi Anda harus memikirkan kebahagiaannya di masa depan. Kalau sesuatu terjadi pada Anda, dia bisa saja berakhir di jalanan!”
Benar, jika aku terlalu sakit atau cedera untuk bekerja, kami memang akan kesulitan.
Aku terdiam, dan sang baron tiba-tiba mengajukan usulan berani. “Nonna, bagaimana kalau kamu tinggal di rumah kami selama seminggu untuk mencoba? Mungkin kamu belum tahu bagaimana rasanya hidup sebagai bangsawan, jadi pendapatmu bisa berubah setelah mencobanya sendiri!”
“Benar sekali! Aku bisa membuatkanmu gaun. Aku juga akan membelikan banyak perhiasan yang cocok dengan matamu yang cantik. Kita bisa menonton pertunjukan teater, menghias kamarmu, dan mendapatkan apa pun yang kamu inginkan!”
Apakah dia pikir bisa menyuap anak kecil dengan janji kemewahan? Nonna-ku tidak akan tergoda oleh bujuk rayu semurah itu.
Mengingat kepribadian Lady Eva dan status kedua keluarga, aku sempat berharap beliau akan menolak tegas usulan adopsi itu. Namun, entah kenapa, nada suaranya terdengar lembut.
“Baron Hanson, Nonna adalah gadis kecil yang sangat aktif. Saya rasa akan sulit mendidiknya menjadi seorang bangsawati yang patuh pada tata krama.”
“Tidak, tidak, Duchess Anderson. Serahkan itu pada kami. Saya yakin dia akan berubah pikiran setelah tinggal di rumah kami selama seminggu.”
Akulah yang membesarkan Nonna, tapi tak seorang pun meminta pendapatku. Aku memutuskan untuk menolak mereka dengan tegas, sekali untuk selamanya.
“Seperti yang sudah saya katakan, say—”
“Berapa hari aku harus tinggal di sana? Tujuh? Atau enam?” sela Nonna, membuatku terdiam.
Wajah baron dan baroness langsung berseri.
“Enam malam. Atau tujuh, kalau kamu mau. Kamu anak yang cerdas sekali!” kata sang baron.
“Aku senang sekali, Nonna.”
Aku terkejut melihat ekspresi puas di wajah Nonna.
Aku ingin berkata, “Kenapa? Kupikir semuanya berjalan baik antara kita. Kita senang hidup bersama, bukan?”
“Nonna, kenapa…?”
“Kalau aku tinggal enam malam dan aku tidak suka, kita bisa menolak mereka selamanya, kan?”
“Tentu saja. Kamu bisa datang ke rumah kami malam ini dan langsung menginap.”
“Oke.”
Tunggu, Malam ini?!
“Tolong tunggu sebentar, Tuan Hanson. Nonna tidak membawa pakaian ganti.”
“Victoria, dia tidak perlu membawa pakaian,” kata baroness. “Kami akan memberinya semua yang ia butuhkan. Saya akan membelikannya semua gaun yang ia mau. Mimpimu akan jadi kenyataan, Nonna!”
“Benar. Kita bisa mampir berbelanja dalam perjalanan pulang,” tambah sang baron.
Dan begitu saja, mereka membawa Nonna pergi, seolah-olah menculiknya dariku untuk selamanya. Aku hanya bisa berdiri terpaku, menyaksikan Nonna melambai tanpa ekspresi dari dalam kereta. Lalu ia menghilang.
“Nona. Sellars! Kenapa Nonna naik ke kereta itu?!”
“Tuan Muda Clark… sejujurnya, aku sendiri tidak tahu.”
“Huh? Nona Sellars?”
“Maaf… aku harus pulang.”
Aku berjalan pulang dengan perasaan amat tertekan. Setelah melewati gerbang menuju kediaman Lady Yolana, aku melangkah lesu di sepanjang jalan setapak. Saat melewati Lady Yolana yang sedang merawat taman bunganya, ia memanggilku.
“Oh, Victoria! Di mana Nonna?”
“Dia tinggal seminggu di rumah seorang baron.”
Lady Yolana segera menyadari nada muramku, dan wajahnya tampak cemas.
“Apa yang terjadi?”
Aku menceritakan dengan jujur semua yang telah terjadi.
“Jadi, kalau Nonna menyukai kehidupan bangsawan, mereka berencana mengadopsinya.” “Dan Nonna setuju dengan ini?”
“Sepertinya begitu.”
“Hmm, begitu. Kau bilang nama baronnya Hanson? Ah, ya… sekarang aku ingat. Kurasa mereka berniat menjadikan Nonna pengganti putri mereka yang sudah meninggal.”
“Tampaknya memang begitu. Jika Anda berkenan, Lady Yolana, saya sedang sangat bingung sekarang dan ingin berbaring sebentar.”
Aku berusaha sekuat mungkin agar tidak menundukkan kepala saat berjalan menuju pondokku. Dari belakang, kudengar Lady Yolana berkata lembut memberi penguatan.
“Ini tidak akan berjalan baik bagi mereka. Aku yakin. Percayalah, Nonna akan menolak dan kembali pulang.”
Langit senja perlahan berubah gelap.
Aku duduk terpaku di kursi, tak tahu harus berbuat apa, hingga ruangan menjadi gelap gulita. Aku bahkan tak sanggup berdiri..
Tak pernah terbayang Nonna akan begitu mudah setuju untuk pergi dariku. Kukira dia akan menolak seketika. Aku selalu mengira dia akan bersamaku selamanya. Hampir saja aku menangis saat teringat cara bicaranya yang blak-blakan dan senyum kecilnya setiap kali ia melakukan salto atau jungkir balik dengan mudah.
Duduk sendirian di ruangan kosong ini membuatnya terasa dingin, seolah-olah kehidupan telah tersedot keluar. Sekilas aku teringat, sebelum meninggalkan organisasi, aku selalu dikelilingi orang. Dan sejak tiba di kerajaan ini, Nonna selalu ada di sisiku. Aku akhirnya merasakan hidup normal, namun kini tampaknya aku akan kembali hidup seorang diri.
Tiba-tiba terdengar dug, dug, dug! Keras, seseorang sedang mengetuk pintu.
“Victoria! Kau di dalam?”
Itu suara sang kapten.
Astaga, aku tak ingin dia melihatku seperti ini, pikirku, jadi aku tidak menjawab.
“Aku tahu kau di dalam, Victoria. Jika kau tidak buka, aku akan dobrak pintunya!”
Tolong jangan. Biayanya pasti mahal untuk memperbaikinya.
TN Koyomin : njir malah mikirin biaya, kukira bakal apa gitu
“Tidak dikunci,” jawabku.
Pintu terbuka, dan kapten melangkah masuk. Ia berdiri sejenak dalam kegelapan, lalu menyalakan lampu minyak di meja kecil dekat pintu.
“Ruangan ini gelap sekali, dan aku khawatir. Lady Yolana mengirim kabar padaku. Aku berlari ke sini karena cemas. Katanya Nonna pergi ke rumah bangsawan?”
“Aku kira karena dia masih anak-anak, dia akan selalu bersamaku. Padahal aku tak punya hak untuk menentukan hidupnya.”
“Victoria.” Kapten mendekat dan meletakkan tangannya di bahuku. “Aku rasa Nonna pergi dengan mereka karena dia punya rencana.”
“Ya, aku juga berpikir begitu. Dia anak yang cerdas. Tapi dari sudut pandang orang luar, ini memang pilihan terbaik baginya. Menjadi anak angkat keluarga bangsawan berarti jaminan status, keamanan, dan kebahagiaan, sesuatu yang tak bisa kuberikan sebagai seorang asing yang membesarkannya sendirian.”
Tangan di bahuku bergerak sedikit.
“Jangan bicara seperti itu tentang dirimu sendiri. Kau perempuan yang luar biasa, kuat, dan mandiri. Aku yakin Nonna akan kembali padamu. Aku sungguh percaya itu.”
“Tapi dia mungkin akan lebih bahagia jika tidak kembali, dan itulah yang menyakitkan.”
“Victoria… Nonna bisa memutuskan sendiri apa yang membuatnya bahagia. Mengnal perilakunya, dia akan baik-baik saja. Dia akan memilihmu dan pulang.”
Suara kapten yang tenang dan dalam bergema di hatiku. Tangannya terasa besar dan hangat di bahuku, dan entah bagaimana, aku merasakan secercah kekuatan muncul dari dalam diriku.
Andai saja Nonna dan aku bisa hidup bersama lagi, pikirku, membayangkan semua hal yang akan kulakukan untuknya.
“Kau benar,” kataku. “Kupikir aku akan menjahitkan kancing di bajunya sebagai kejutan saat dia pulang.”
“Benar. Menggerakkan tanganmu akan membantu mengalihkan pikiran.”
Aku berdiri perlahan dan menundukkan kepala pada kapten. “Terima kasih banyak. Aku sudah lebih baik sekarang. Aku akan menyiapkan makan malam. Apakah kau sudah makan?”
“Belum. Aku berencana makan, lalu dapat pesan dari Lady Yolana.”
“Kalau begitu, aku akan masak untuk kita berdua.”
Aku memotong sayuran yang ada untuk membuat sup, lalu membumbui daging babi dan memasaknya. Biasanya aku tidak menggunakan banyak rempah, tapi malam ini, karena hanya ada orang dewasa, aku menambah sedikit rasa pedas. Terakhir, aku mengiris roti sisa kemarin yang agak keras.
“Hanya ini yang ada.”
“Sudah lebih dari cukup. Terlihat lezat.”
Apakah Nonna benar-benar akan pulang?
Bagaimanapun juga, kapten benar. Meskipun baru berusia enam tahun, Nonna berhak menentukan apa yang membuatnya bahagia. Hidup yang dipaksakan oleh orang lain memang menyiksa, tapi jika menjalani hidup yang kau pilih sendiri, kau bisa melewati masa sulit. Dan Nonna anak yang kuat dan cerdas.
“Aku yakin Nonna akan pulang, tapi kalau kau tidak tahan, jangan ragu untuk bertindak. Kau bisa pergi ke rumah baron itu dan menjemputnya kembali. Jika kau tidak ingin pergi sendiri, aku akan menemanimu.”
Aku memikirkannya sejenak, lalu menggeleng.
“Aku ingin mendahulukan perasaannya, jadi aku akan menunggu.”
“Baiklah. Kalau kau berubah pikiran, beri tahu aku. Aku akan ikut.”
Setelah makan malam, kapten masih tampak khawatir padaku, tapi ia hanya berkata, “Sebaiknya kau tidur lebih awal malam ini,” lalu pulang.
Keesokan paginya, aku bangun setelah menghabiskan malam tanpa Nonna.
“Aku bisa melakukan hal-hal yang tak bisa kulakukan kalau Nonna ada.”
Aku berusaha mengubah suasana hati. Aku menunggangi Aleg sekencang mungkin dan makan makanan sederhana yang menekankan nutrisi daripada rasa. Saat ada waktu luang, aku mengerjakan wig hitamku. Hampir selesai.
Sore itu, setelah bekerja, aku mengunjungi rumah Miles. Ada sesuatu yang ingin kucoba.
“Hmm? Ada apa datang ke mari?”
“Aku ingin latihan bertarung denganmu, Miles.”
“Tentu. Mau pakai apa?”
“Aku bawa pedang pendek yang tajinya tumpul, untuk latihan.”
“Kalau begitu, aku akan pakai pedang latihku.”
Pedang Miles terlihat cukup berat untuk mematahkan tulang seseorang jika mengenai sasaran dengan tepat. Kami baru saja saling menyapa, tapi kami sudah bersiap untuk berlatih bertarung. Aku bisa merasakan dia sangat bersemangat.
“Datanglah kapan saja,” kata Miles.
“Aku datang.”
Aku berlari ke arahnya dan melompat ke depan tepat di depannya saat dia memegang pedang latihannya dalam posisi siap. Aku berputar dan menendang bagian belakang bahu kirinya..
Dia mengembalikan postur tubuhnya, lalu berbalik dan mengayunkan pedangnya ke arahku dengan suara swish! Aku berhasil menghindar pada detik terakhir dan menggenggam pedang pendekku. Aku menghindar dari ayunannya berulang kali, lalu menebas sisi tubuhnya dengan pedang pendekku. Dalam sekejap, aku melompat ke leher Miles yang sedikit terbuka dari belakang, melingkarkan lengan kiriku di sekitarnya, dan menekan sisi pedangku dengan kuat ke dahinya..
“Di sana, aku mencongkel kedua matamu,” kataku.
“Argh, kau berhasil! Siap untuk ronde berikutnya?”
“Sebanyak yang kau mau.”
Kami berlatih bertarung selama lima menit lagi dengan intensitas tinggi. Meskipun usianya sudah tua, Miles masih memiliki keterampilan yang luar biasa. Aku tidak akan punya kesempatan melawan dia jika dia masih dalam kondisi prima. Saat kami berdua terengah-engah dan keringat menetes ke mata kami, dia memecah keheningan.
“Apa yang terjadi dengan anak itu?”
“Dia tinggal di rumah lain.”
Dia menyerangku sebelum aku selesai berbicara. Aku menangkisnya dengan pedang pendekku. Aku salah langkah! Tangan kananku berdenyut sakit.
Aku menangkis bilahnya dengan dorongan dan menendang cepat ke pinggul kanannya—sisi dominannya.
“Oof!” Dia mengerang.
“Sebenarnya aku mengincar selangkanganmu,” kataku, terengah-engah.
“Mengincar selangkangan orang tua bisa jadi serangan fatal!”
“Oh, jadi sekarang kau pakai kartu orang tua.” Itu sangat lucu, aku sampai tertawa.
“Tunggu sebentar!”
“Tidak ada waktu untuk menunggu dalam pertempuran.”
“Aku tidak bisa berhenti tertawa!”
“Ah jadi kau akhirnya ceria.”
“Ya.”
“Bagaimana kalau minum teh?”
“Tentu!”
Miles tidak menanyai apa pun. Setelah aku selesai minum teh, ia berkata, “Kau bisa datang lagi kapan saja. Aku benar-benar menikmati pertarungan tadi.” Ia mengantarku pulang dengan senyum.
Aku merasa sekitar 80 persen lebih baik. Dan aku sudah memastikan hal yang menjadi tujuanku datang ke sana.
Setelah itu, aku tenggelam dalam pekerjaan selama beberapa hari. Tuan Muda Clark tampak murung, dan kadang ia menatapku dengan ekspresi sangat gelisah.
“Tuan Muda Clark, aku tahu apa yang ingin kamu katakan, tapi aku berusaha menghormati keinginan Nonna.”
“Aku tidak akan pernah membiarkannya pergi.” Ia sama sekali tidak bisa menerima keputusanku.
Aku berolahraga setiap pagi, melanjutkan rutinitas lari dan menunggang kuda. Masih banyak hal yang bisa kulakukan; aku hanya perlu mencarinya.
Kini wig hitamku sudah selesai, aku memutuskan untuk memotongnya hingga sebahu. Aku mengikat rambut itu menjadi beberapa bagian lalu memotongnya. Karena potongannya cukup pendek, masih banyak sisa rambut, jadi aku memutuskan untuk membuat wig anak-anak juga. Panjangnya hanya cukup untuk potongan rambut anak laki-laki, tapi aku pikir Nonna akan terlihat cocok jika suatu saat perlu menyamar sebagai anak laki-laki berambut hitam.
Enam hari telah berlalu. Keesokan harinya, Nonna akan mengambil keputusannya.
Malam itu, aku terkejut terbangun oleh suatu bunyi. Aku ulurkan tangan dan mengambil belati dari kantong kain yang kuikatkan di belakang tempat tidur.
Aku merayap keluar dari tempat tidur dan berdiri diam di samping pintu depan.
Pegangan pintu berputar perlahan dari luar, tapi pintu itu terkunci, tentu saja. Aku mendengarkan dengan seksama dan terdengar langkah kaki bergerak dari pintu depan menuju jendela dapur. Aku berpikir sejenak lalu berlari ke kamar tidurku dan melompat keluar jendela. Aku berencana menusuk orang itu dari belakang begitu mereka memanjat jendela dapurku, jadi aku mengelilingi rumah batu bata itu sambil memegang pisau lipatku..
Aku berbelok dua kali, dan di sana dia. Nonna sedang berjuang membuka jendela dapur, hanya mengandalkan cahaya bulan. Ia mengenakan gaun tidur putih bersih yang penuh rumbai, dan selop putih mewah dari sutra.
“Apa yang kau lakukan?” tanyaku.
“Eek! Kau membuatku kaget!”
“Kau yang membuatku kaget, menyelinap keluar malam-malam. Ayo masuk.”
“Ya, Vicky.”
Kami masuk, aku menyalakan lampu, lalu mengelap kakiku yang kotor. Nonna melepas gaun tidur berbordir itu di ruang depan.
“Renda ini gatal dan ganggu. Aku benci ini.”
“Aku tak percaya kau jalan-jalan sendirian di malam hari pakai itu. Kalau orang jahat menyerangmu, bagaimana? Kenapa kau melakukan itu?”
Nonna berkata, “Tunggu!” lalu bergegas ke kamar dan kembali dengan gaun flanel biru muda kesukaannya.
“Begini,” katanya sambil menarik gaun flanel lembut itu lewat kepalanya. Ia mengancingkan bajunya dan menjelaskan, “Mereka mengunciku di kamarku hari ini. Mereka memanggilku Dolores. Mereka menyuruhku memanggil mereka Ibu dan Ayah. Aku tidak suka itu. Aku bukan Dolores, dan mereka bukan orang tuaku.”
Aku sedikit merasa kasihan pada baron dan baroness, tapi sebenarnya aku sudah menduga hal itu akan terjadi.
“Lalu bagaimana caramu keluar dari rumah itu kalau mereka menguncimu?”
“Aku bergelantungan di ambang jendela lantai dua, lalu melepaskan tangan. Aku langsung berguling begitu mendarat, persis seperti yang kau ajarkan! Dan aku melakukannya dengan sangat bagus!”
Aku ingin tertawa lepas melihat senyum kemenangan di wajahnya. Aku telah mengajarinya untuk melakukan itu hanya dalam situasi darurat. Tapi dia jelas berusaha keras mencari alasan.
“Aku dikunci, jadi itu keadaan darurat. Mereka memaksa aku menggantikan anak mereka yang sudah meninggal, dan itu juga keadaan darurat!”
Aku tertawa kecil. Aku menghangatkan susu dan menambahkan sedikit madu, lalu memberikannya pada Nonna. Ia meniup susu itu agar agak dingin, kemudian mulai meminumnya pelan-pelan.
“Jadi kau tahu mereka mencoba menjadikanmu pengganti anak mereka. Menurutku memang kejam menguncimu di kamar. Tapi terus terang, aku rasa seharusnya kau tak setuju dari awal.”
“Yah, Lady Eva sedang kesulitan. Kalau Lady Eva merasa gelisah, dia suka memelintir saputangannya dengan sangat kencang. Dan Aku melihatnya melakukannya waktu itu. Makanya aku mau pergi. Mereka bilang kalau aku pergi dan ternyata tidak suka, kami bisa menolak.”
Hmm, jadi Nonna juga memperhatikan kalau Lady Eva waktu itu sedang tertekan.
“Apakah kau pernah melihatnya begitu sebelumnya?”
“Pernah. Waktu aku menendang lutut Tuan Muda Clark, Lady Eva masuk ke ruangan dan memelintir saputangannya.”
Tunggu sebentar. Dia menendang lutut Tuan Muda Clark?!
“Tunggu dulu. Kau bilang kau menendang Tuan Muda Clark?”
“Benar! Karena dia bilang, ‘Tunjukkan caramu melakukannya!’ Tapi tenang saja, Vicky. Aku tidak bilang padanya bagaimana kau melakukan tendangan melingkar dan pukulan karatemu, dan aku juga tidak menunjukkannya!”
Astaga, apa saja yang kau lakukan selama jauh dariku, Nonna?
![]() |
| Ilustrasi Jilid 1 Bab 10 - Nonna menceritakan pengalamannya |
Keesokan paginya, sebelum aku membawa Nonna ke kediaman Baron Hanson, kami mampir dulu ke rumah keluarga Anderson untuk meminta maaf kepada Lady Eva.
“Tadi malam, Nonna diam-diam keluar dari rumah baron dan pulang ke rumah. Aku yakin mereka sedang khawatir padanya, jadi aku berniat mengantarnya ke rumah baron untuk meminta maaf. Aku hanya ingin datang kemari dulu untuk memberi tahu,” kataku sambil membungkuk. Nonna pun ikut membungkuk. Namun, Lady Eva menggeleng pelan.
“Tidak, aku rasa kau tidak perlu ke sana. Aku sendiri yang akan menghubungi mereka. Aku sudah membuat banyak masalah untukmu dan Nonna karena aku tidak sanggup menolak mereka atas namamu,” katanya, lalu berbisik sesuatu ke telinga maid-nya. Sang Maid mengangguk dan segera berlari keluar ruangan.
“Empat tahun lalu, terjadi wabah flu di ibu kota, dan semua orang yang terinfeksi mengalami demam tinggi,” kata Lady Eva. “Clark tertular flu itu dan panasnya tidak turun selama lima hari. Untungnya ia selamat, tapi banyak anak-anak dan orang tua yang meninggal saat itu.”
Setiap beberapa tahun sekali memang ada wabah penyakit berat. Bertahan hidup tergantung pada kekuatan fisik, jadi kematian mereka yang lemah sulit dihindari.
“Seperti yang sudah kukatakan, suamiku adalah menteri urusan luar negeri. Entah bagaimana, beredar rumor bahwa kami memiliki obat dari luar negeri yang bisa menyembuhkan flu. Memang benar kami pernah mendapat obat bagus untuk luka bakar dan sempat memberikannya pada yang membutuhkan. Mungkin dari sanalah kesalahpahaman itu muncul. Meski kami terus menyangkal punya obat untuk flu, rumor itu tetap menyebar. Saat itulah Baron Hanson datang ke rumah kami. Ia percaya pada rumor itu dan memohon sambil menangis agar kami memberinya obat untuk menyelamatkan putrinya. Ia bahkan berkata akan memberikan semua uangnya. Aku sudah mencoba menjelaskan bahwa Clark sembuh tanpa bantuan obat apa pun, tapi ia tak mau mendengar.”
Ah, begitu rupanya.
Keluarga Hanson rupanya masih menyimpan dendam karena kejadian itu, dan Lady Eva masih merasa bersalah. Itulah sebabnya ia tidak tega menolak permintaan mereka untuk mengadopsi Nonna secara langsung.
“Lady Eva, Anda dan keluarga sama sekali tidak bersalah atas apa yang terjadi.”
“Secara logis, aku setuju. Tapi mereka bukan orang yang berpikir logis. Itulah yang membuat keadaan ini rumit. Mungkin jauh di lubuk hati mereka tahu kami memang tidak punya obat itu. Bagaimanapun, kejadian itu tak ada hubungannya dengan kalian berdua. Aku menyesal sudah menyeretmu ke dalam urusan antara keluargaku dan keluarga Hanson. Aku minta maaf.”
Akhirnya, kami langsung pergi ke rumah Tuan Bernard.
“Eva memang memperlakukanku dengan baik, tapi rasanya menyenangkan bisa kembali ke rumah sendiri,” katanya.
“Saya juga senang melihat Anda sehat, Tuan Bernard.”
Nonna menyerahkan bunga kecil berwarna kuning yang dipetiknya di pinggir jalan. “Ini untuk Tuan Bernard!”
“Ooh! Ini pertama kalinya aku menerima bunga dari gadis secantik ini!”
Aku kembali teringat pada baron dan baroness itu.
Meski Nonna dan aku baru hidup bersama beberapa bulan, bayangan kehilangan dirinya saja sudah terasa menyakitkan. Aku tak bisa membayangkan betapa perihnya hati keluarga Hanson saat kehilangan putri mereka yang baru berusia tiga tahun. Aku hanya merasakan sebagian kecil dari rasa itu.
Sesampainya di rumah, aku memasak daging di atas kompor, membersihkan debu, lalu mengilapkan jendela. Hanya membayangkan Nonna tak lagi ada di dunia ini sudah membuat air mata hampir menetes. Tak lama kemudian, aku menerima pesan dari Lady Eva: Semuanya sudah beres. Tak perlu khawatir lagi.
Keesokan harinya, kami menerima surat dan beberapa paket dari keluarga Hanson.
Kami telah memutuskan untuk kembali ke barony dan fokus pada pemerintahan di sana. Terima kasih telah membuat kami merasa seolah-olah Dolores telah kembali, meskipun hanya sebentar.
—William Hanson
Di dalam berbagai kotak itu terdapat gaun-gaun mahal, sepatu, perhiasan, pakaian dalam, baju tidur, sandal rumah, dan tas tangan. Nonna tidak terlalu tertarik pada semua itu, tetapi dadaku terasa sesak saat memandanginya.
Keluarga Hanson memang sudah keterlaluan karena mengurung Nonna di kamarnya, tapi aku bertanya-tanya bagaimana perasaan mereka ketika tahu Nonna melarikan diri dan tak berniat kembali, lalu melepaskan semua barang itu. Mungkin mereka akhirnya sadar bahwa tak ada pengganti untuk putri mereka, dan bahwa gadis kecil itu tak akan pernah kembali.
Kemudian terlintas satu pikiran: apakah orang tuaku juga merasa sedih setelah melepaskanku ketika aku berusia delapan tahun? Tentu saja aku tak bisa lagi menanyakannya, tapi andai saja bisa. Jika mereka masih hidup, akankah mereka berkata, “Tentu saja kami sedih”? Setelah sekian lama, aku ingin sekali mendengar kata-kata itu, meski tahu bahwa itu sudah tak ada artinya.
Aku memberi tahu Lady Yolana dan kapten bahwa Nonna telah kembali, dan bahwa baron beserta keluarganya sudah pulang ke wilayah mereka. Dengan begitu, insiden itu pun berakhir.
Malam itu, Nonna dan aku makan malam dengan tenang.
Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Kapten datang berkunjung.
“Oh, Victoria. Aku membawa kabar untukmu.”
“Ada apa?”
“Lady Eva meminta saran dari kakakku tentang insiden yang melibatkan Nonna. Kakakku pergi menemui Baron Hanson dan memberinya peringatan, mengatakan, ‘Sampai kedua belah pihak sepakat dan dokumennya resmi diselesaikan, wali sah Nonna tetap Victoria.’ Ia juga menambahkan bahwa aku adalah penjaminnya.”
“Earl Asher berbicara kepada mereka atas namaku?”
“Ya. Kakakku memang mengenal sang baron.”
Aku yakin Baron Hanson pasti sangat terkejut ketika sang earl datang sendiri.
“Aku mendengar kalau baroness sempat tidak stabil secara mental setelah kematian putri mereka. Pernah suatu kali, dia menyeret seorang gadis rakyat berambut pirang ke rumah mereka dan berkata, ‘Aku menemukan putri kita yang hilang.’”
“Oh, Tuhan…”
“Sepertinya keluarga gadis itu dan para pelayan disuruh diam karena hal itu bisa mencoreng reputasi baron. Aku tidak tahu dari mana kakakku mendengar ini, tapi dia yang memberitahuku. Baik aku maupun Lady Eva sama sekali tidak tahu sebelumnya.”
Aku memang memperhatikan bahwa sang baroness tampak sangat emosional, tapi tak pernah terbayang hal seperti itu terjadi.
“Kakakku khawatir dan berkata, ‘Kalau Nonna memang sangat mirip dengan anak mereka, baroness mungkin tidak akan membiarkannya pergi meskipun dia ingin pulang.’”
“Kapten, aku ingin berterima kasih langsung pada Earl Asher suatu hari nanti.”
“Tak perlu. Kakakku justru berterima kasih padamu karena sudah banyak membantu Paman Bernard. Tapi kalau kau benar-benar ingin berterima kasih, dia sangat suka camilan yang cocok disantap dengan minuman keras. Aku bisa mengantarkannya untukmu.”
Malam itu, sang kapten pulang dengan senyum di wajahnya.
“Nonna, apakah keluarga Hanson melakukan hal yang menakutkan padamu saat kau tinggal bersama mereka?”
“Tidak. Tapi aku tidak suka saat sendirian dengan nyonya baron. Karena dia terus memanggilku Dolores. Dan aku takut waktu dia berkata, ‘Akhirnya keluarga kita kembali bersama,’ lalu menangis keras-keras.”
Betapa tragisnya.
“Tapi sekarang aku sudah tidak terganggu lagi.”
“Kau anak yang kuat. Dan sangat baik hati.”
“Vicky.”
“Ya?”
“Bolehkan kita tinggal bersama Jeff?”
Mungkin ide itu muncul karena ia hampir menjadi bagian dari keluarga orang lain. Aku tidak tahu harus menjawab apa, jadi aku hanya mengusap kepalanya.
Andai saja bisa. Tapi itu tidak mungkin, Pikirku.

