Victoria of Many Faces Jilid 1 Bab 8

Tefuda ga Oome no Victoria Vol 1 Bab 8 - Kini dengan hidup nyaman, Victoria tiba-tiba mengingat luka lama semasa dirinya menjadi mata-mata dari Hagl
Ilustrasi Bab 8 dari Seri Tefuda ga Oome no Victoria | Yomi Novel
Gambar 11. Bab 8

Tefuda ga Oome no Victoria Volume 1 - Luka Victoria

Translated by : Koyomin

Bagian 1

Pasar terbuka diadakan sebulan sekali di alun-alun dekat kastil. Warga yang tidak terdaftar di Kamar Dagang diizinkan membuka lapak kecil dan menjual apa pun yang mereka mau, asalkan membayar biaya partisipasi. Siapa pun bisa menjadi pedagang sehari, selama mampu membayar tarifnya yang tidak seberapa.

Pasar seperti ini bukan hanya ada di ibu kota, tapi juga di kota-kota besar lainnya. Kerajaan Ashbury memang mendorong warganya untuk ikut serta, mereka juga bangga dikenal sebagai kerajaan perdagangan.

Aku membeli tiga kue manis yang tampak lezat, lalu menyerahkannya pada Tuan Muda Clark dan Nonna. Kami memakannya sambil berjalan. Beberapa langkah kemudian, aku melihat Clark menggigit kuenya dengan canggung.

Apakah ini pertama kalinya dia melakukan hal yang “tidak sopan” seperti makan sambil berjalan? Yah, maafkan aku, tapi hidup memang soal mencoba hal-hal baru!

Jumlah lapak mungkin sekitar tujuh puluh atau delapan puluh, mungkin lebih. Suara para pedagang yang menawarkan dagangan mereka bergema di udara, menciptakan suasana yang ramai dan hidup.

Kami bertiga menjelajahi berbagai lapak. Dari penjual roti dan kue, sayur-mayur, buku dan pakaian bekas, mainan serta boneka buatan tangan, toko bunga, aksesori, dan lainnya.

“Lihat, Vicky!”

Nonna menunjuk ke sebuah kios yang menjual kancing berlapis kain. Deretan kancing berbagai ukuran tertata rapi di atas kain hitam, tampak seperti taman bunga mini. Pemandangan yang sangat memesona.

Penjualnya seorang wanita seumuran denganku, mengenakan gaun abu-abu polos yang sederhana tapi elegan. Di bagian depan gaunnya terpasang deretan kancing berlapis kain berwarna merah muda pucat—terlihat sangat modis.


“Cantik sekali.”

“Benar, bukan? Silakan lihat-lihat sesuka Anda,” ujar si wanita.

Nonna dan aku segera berjongkok dengan antusias untuk melihat-lihat kancing yang dipajang.

“Kancing-kancing ini juga sangat manis kalau dijadikan hiasan jepit rambut. Aku rasa warna ini akan cocok sekali untukmu, Nona kecil.”

Wanita itu mengambil sebuah kancing besar berlapis sutra biru tua yang diisi kapas, lalu menempelkannya di sisi kepala Nonna. Ia menatapku sambil bertanya, “Bagaimana menurutmu?”

“Vicky, bolehkah kita membelinya?”

“Tentu. Kamu mau yang mana?”

Nonna menunjuk pada beberapa kancing berwarna biru muda, seperti warna langit di hari musim dingin yang cerah. Kancing itu pasti terlihat manis dijahitkan di gaun putih.

“Saya mau lima kancing biru muda itu. Dan juga lima yang hijau tua.”

“Tentu. Terima kasih banyak.”

Nonna tampak sangat gembira setelah kubelikan kancing-kancing itu hingga ia meloncat-loncat kecil di jalan. Ia benar-benar bahagia.

Tuan Muda Clark mampir ke toko buku bekas dan membeli dua buku. Aku juga melihat-lihat, berpikir ingin membeli sesuatu untuk diriku sendiri.

Lalu aku menemukannya. Sesuatu yang begitu kuinginkan hingga rasanya seperti keajaiban bisa menemukannya secara kebetulan—Rambut. Rambut panjang, hitam, dan indah, diikat dengan tali kulit tipis.

Rambut hitam seindah itu, halus, berkilau, dan lurus—sangat langka, jadi aku langsung membelinya. Anak-anak berkata, “Wow,” dan “Seram sekali!” Tapi rambut ini sempurna untuk dibuat menjadi wig hitam.

Aku pulang dengan hati berdebar gembira. Untuk sementara waktu, aku tak perlu khawatir bekerja hingga larut malam. Pasar terbuka memang tempat terbaik.


Malam itu, aku terbangun karena Nonna mengguncang tubuhku.

“Vicky! Vicky!”

“Hmm? Ya?!”

Aku langsung bangun dari tempat tidur. Apa aku ketiduran? Tidak, ruangan masih gelap gulita. Hmm?

“Kau baik-baik saja?” tanya Nonna.

“Kenapa tidak? Sekarang masih tengah malam.”

“Kau berteriak, Vicky.”

“…Aku berteriak apa?”

“Kau bilang, ‘Berhenti!’”

Ah, itu lagi.

“Maaf. Aku hanya bermimpi buruk. Pasti aku membuatmu kaget saat kau mendengarku berteriak.”

“Tidak apa-apa. Mau aku tidur bersamamu malam ini, Vicky?”

“Mau?”

Nonna naik ke tempat tidurku. Kami berdua menarik selimut, tapi aku sudah tidak bisa tidur lagi. Aku menunggu sampai ia tertidur, lalu pelan-pelan bangun.

Aku pergi ke dapur, menyalakan lampu, dan menuang segelas air.

Tubuhku basah oleh keringat dingin, dan pakaian tidurku menempel di kulit lembapku.

Psikiater organisasi pernah mengatakan bahwa aku memiliki mental yang kuat, tapi bahkan aku punya luka batin akibat pekerjaan yang kulakukan. Setiap kali aku menjerit dalam tidur, pasti aku bermimpi tentang satu kejadian tertentu.


Itu terjadi saat aku berusia dua puluh dua tahun dan rekanku, Mary, berusia dua puluh satu. Kami bekerja bersama Hans, yang saat itu baru lima belas tahun. Kami bertiga diberi tugas menyusup ke rumah seorang bangsawan untuk mencuri dokumen yang berisi rincian penipuan yang dilakukan para pejabat penting.

“Mary, kau yang memimpin,” kata Chief Lancome. “Karena ini pertama kalinya kau bertanggung jawab atas misi, aku ingin kau sangat berhati-hati.”

“Baik, Chief.”

Masalah terjadi malam itu. Tepat sebelum misi dimulai, Mary mengubah rencana.

“Hans dan aku akan masuk ke rumah itu, sementara kau berjaga di luar, Chloe. Hans, kau ikut di belakangku.”

“Baik,” kata Hans.

“Tunggu, itu bukan rencananya. Hans seharusnya jadi penjaga di luar,” kataku, dan Mary menatapku dengan tajam.

“Aku pemimpinnya. Lakukan saja seperti yang kukatakan.”

“Tapi ini misi pertama Hans. Dia seharusnya di luar sebagai penjaga.”

“Tidak.”

Suasana di antara aku dan Mary menegang. Hans berkata, “Biar aku yang masuk. Chloe, jangan khawatir. Aku akan baik-baik saja.”

Aku dan Mary memang sering berselisih, dan aku tidak ingin berdebat lagi, jadi dengan terpaksa aku menyetujui perubahan rencana itu.

Tak lama setelah mereka berdua menyusup ke rumah itu, aku mendengar kegaduhan dan teriakan dari dalam mansion. Mary meloncat keluar lewat jendela, dan Hans mengikuti tak lama kemudian.

Seorang pria bertubuh besar mulai mengejar mereka, tapi sepertinya ia sadar tidak akan bisa menyusul—jadi ia melemparkan pedang berat yang menancap tepat di dada Hans. Tubuh Hans terjatuh ke depan, tak bergerak, dengan bilah pedang masih menembus dadanya.

Aku tidak tahu apa yang terjadi di dalam rumah itu. Tapi satu hal pasti. Mary telah meninggalkan Hans, rekan mudanya yang belum berpengalaman, dan melarikan diri terlebih dahulu.

Kami berdua berlari secepat mungkin, naik ke atas kuda, dan menungganginya kembali ke markas. Begitu kami tiba di pusat kendali, Mary tiba-tiba berbicara kepadaku sebelum membuat laporan.

“Chloe, kalau kau punya sesuatu untuk dikatakan, katakan saja.”

“Jangan bicara padaku.”

“Kau selalu bersikap seolah-olah lebih hebat dari orang lain. Itu menjengkelkan! Lancome selalu memberimu misi-misi penting! Dan kau bertingkah seperti mata-mata terbaik hanya karena dia menyukaimu! Aku muak melihatnya!”

Biasanya aku mengabaikan sikapnya yang bermusuhan, tapi kali ini aku berdiri, dan semua orang di ruangan itu menegang.

“Kalau kau punya masalah dengan cara Lancome menjalankan organisasi, sebaiknya kau bicarakan dengannya. Aku bukan orang yang seharusnya kau salahkan. Dan berani sekali kau melampiaskannya padaku, karena yang sebenarnya menjilat Lancome—itu kau, bukan aku. Harusnya kau malu.”

Saat itu juga, Mary melayangkan tinjunya ke arahku.

Bodoh. Orang yang menyerang lebih dulu selalu harus siap menanggung akibatnya.

Aku menghindari pukulannya dan menghantam wajahnya dengan sikuku. Ia pasti akan punya memar besar keesokan harinya, tapi aku tidak peduli. Hans telah ditikam tepat di jantung. Kami bahkan tidak bisa mengambil kembali jasadnya. Dan semua itu salahku dan Mary.

Mary memegangi wajahnya dan mengerang. Aku mencondongkan tubuh ke depan dan berbisik di telinganya, “Pemimpin terburuk adalah orang yang sok penting tapi meninggalkan rekan-rekannya untuk mati saat keadaan memburuk.”

Mary mengeluarkan suara geram dan berusaha menyerangku lagi, tapi para pria menahannya.

“Kau terlalu mudah terpancing emosi. Itulah kenapa kau tidak pernah mendapat misi besar. Dan kalau aku jadi atasan, aku pun tak akan pernah mempercayakan misi penting pada orang yang tak bisa mengendalikan emosinya sepertimu. Kenapa kau mengubah rencana di detik terakhir? Kenapa kau meninggalkan Hans dan lari? Sebelum kau melampiaskan kemarahan atas kegagalanmu padaku, lebih baik kau berlutut dan minta maaf pada Hans! Tapi sebanyak apa pun kau meminta maaf, dia tidak akan kembali!”

Seandainya Mary tetap berpegang pada rencana awal, Hans pasti masih hidup. Seandainya aku tidak menuruti Mary dan tetap memaksa agar Hans berjaga di luar, ia pasti masih hidup. Tapi kematian itu final. Sebanyak apa pun penyesalan atau permintaan maaf, seseorang yang sudah mati tidak bisa dihidupkan kembali. Semua potensi, seluruh masa depannya lenyap karena aku dan Mary.


Aku rasa malam ini aku tak akan bisa tidur lagi, jadi aku memutuskan untuk bekerja saja. Aku akan membuat wig dari rambut hitam panjang yang kubeli di pasar terbuka tempo hari. Beberapa agen biasanya membeli wig mereka, tapi aku lebih suka membuatnya sendiri.

Aku tetap membiarkan rambut itu terikat rapi saat mencucinya. lalu mengeringkannya dengan hati-hati. Setelah kering, aku mengambil beberapa helai rambut sekaligus dan menenunnya dengan kait rajut yang sangat halus. Aku membuat jaring rambut yang pas dengan bentuk kepalaku, lalu mulai menenun helai-helai rambut itu untuk membentuk wig. Pekerjaan ini memakan waktu dan tenaga, tapi aku tidak keberatan.

Saat aku semakin tenggelam dalam pekerjaanku, perasaanku perlahan menjadi tenang. Kenangan-kenangan yang jarang muncul ke permukaan mulai bermunculan dalam pikiranku.

Malam ini aku teringat Hans. Senyumannya, betapa gembiranya dia setiap kali makan daging. Bagaimana dia pernah naksir pada rekan seumuran. Bagaimana dia sering membanggakan adik perempuannya yang cantik. Dan bagaimana dia sering berkata ingin segera mendapat kenaikan pangkat.

Mengingat Hans adalah caraku menebus dosaku atas hidupnya yang berakhir di usia lima belas tahun dan juga caraku mengingatkan diri sendiri.

Aku dibesarkan oleh pemerintah untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan ilegal, dan itulah sumber penghidupanku. Tapi bahkan aku pun punya hal-hal yang ingin kulindungi. Aku ingin menghindari kematian sebisa mungkin. Aku sudah terlalu sering menyaksikan betapa mutlaknya kematian itu.

Setelah misi selesai, kau harus melupakannya. Penyesalan hanyalah racun, tidak lebih,” kata Lancome padaku dulu. Saat itu, aku merasa bersyukur mendengarnya.

Tapi tidak sekarang. Jika aku melupakan kematian Hans, rasanya seperti aku kehilangan bagian terpenting dari kemanusiaanku.

Bagian 2

Nonna menginap di kediaman utama bersama Susan malam ini, jadi aku bisa bersantai dan menikmati minuman dengan tenang.

“Halo, selamat datang.”

“Seperti biasa.”

“Minuman keras? Segera datang.” Zaharo membawakanku segelas alkohol berwarna amber yang kuat, lalu duduk di seberangku.

“Jarang-jarang kau duduk bersama pelangganmu.”

“Aku khawatir padamu sejak kau menanyakan di mana bisa menemukan Hector.”

“Dia tidak tahu siapa aku. Jangan khawatir.”

“Jangan melakukan hal yang gegabah. Aku akan sedih kalau kau berhenti datang ke sini.” Aku bisa melihat kekhawatiran tulus di mata gelapnya. Aku menundukkan kepala sedikit padanya.

“Terima kasih, Zaharo.”

Malam ini adalah pertama kalinya aku berlama-lama di kedainya.

Kebetulan tidak banyak pelanggan malam itu, jadi kami pindah ke bar agar bisa minum dan mengobrol lebih bebas.

Zaharo berdiri di balik meja bar, sementara aku duduk di kursi tinggi. Ia menatap gelasku dan bergumam pelan, “Hector sedang mencari seorang wanita berambut merah. Rambut merah, mata cokelat, ada tahi lalat di dekat mulutnya, tubuh ramping.”

“Begitu, ya?”

“Hati-hati.”

“Maksudmu apa?”

Dia tersenyum miring dan menuangkan kembali isi gelasku hingga penuh.

Aku memutuskan untuk memesan makanan untuk pertama kalinya. “Ada makanan?”

“Ada dua pilihan: sandwich daging babi rebus dengan mentimun, atau sup sayur dengan keju. Mau yang mana?”

“Hmm, aku tidak bisa memilih. Aku ambil dua-duanya saja.”

“Baik, segera disiapkan.”

Zaharo menyiapkan makanannya dengan cepat, dan kedua hidangan itu benar-benar lezat.

“Kau bisa memasak juga rupanya. Hebat,” kataku.

“Aku dibesarkan tanpa ibu, jadi aku harus belajar memasak sendiri. Selama masakannya sederhana, aku bisa membuatnya. Lebih murah daripada beli.”

“Begitu, ya,” jawabku sambil meneguk minumanku. Ia menatapku dengan ekspresi heran.

“Biasanya di bagian ini kau akan menceritakan tentang masa kecilmu.”

“Aku meninggalkan orang tuaku sejak kecil untuk bekerja. Jadi tidak banyak yang bisa diceritakan soal masa kecilku.”

“…Oh.”

Begitu aku mulai makan, empat pelanggan lain memesan hidangan yang sama. Memang, minum membuat orang lapar, terutama kalau melihat orang lain sedang menikmati makanan.

Akhirnya, para pelanggan itu pulang satu per satu, dan hanya aku yang tersisa.

“Lain kali kalau kau butuh meminta tolong pada Hector, sebaiknya lewat aku saja. Dia sedang mencarimu. Katanya, ‘Kalau kau kenal perempuan sehebat itu, kenapa tidak bilang padaku? Aku bakal mengajaknya bergabung.’”

“Huh.”

Aksi pelarian dari penjara itu terjadi setelah aku meminta Zaharo mencari Hector, jadi sudah pasti Hector curiga bahwa aku yang berada di balik semua itu.

“Kau tidak akan menjual aku, kan?” tanyaku.

“Kau datang lagi ke mari karena kau tahu aku tidak akan melakukannya kan.”

“Itu benar.” Jujur saja, aku sempat sedikit meragukannya karena ikatan persahabatan di antara para pria tak bisa diremehkan.

Pelanggan-pelanggan yang tadi di bar jelas orang sipil biasa, jadi kini aku mempercayainya. Salah satu alasan aku bertahan lebih lama malam ini memang untuk memastikan apakah Zaharo bisa dipercaya—apakah dia akan menjualku pada Hector atau tidak.

Aku tetap di sana sampai lewat tengah malam sambil minum. Ketika akhirnya aku hendak pulang, Zaharo berkata akan mengantarku.

“Semua pelanggan lain sudah pulang, dan kau sudah minum cukup banyak malam ini.”

“Aku tidak mau kau tahu di mana aku tinggal.”

“Apa, kau masih belum percaya padaku?”

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku melangkah beberapa langkah, lalu berhenti. “Aku sangat percaya padamu, Zaharo. Tapi percaya sepenuhnya pada orang lain… tidak pernah membawaku ke tempat yang baik.”

“Aku paham. Kalau begitu, biar aku antar sampai dekat saja?”

Dia menjaga jarak yang sopan sambil berjalan di belakangku. Menurutku tidak masalah—di distrik timur ada begitu banyak rumah. Kami berjalan dalam diam. Begitu melewati perbatasan antara distrik selatan dan timur, aku berhenti dan menoleh padanya. “Sampai sini saja.”

“Sampai sini? Kau tinggal di distrik timur? Jangan-jangan kau seorang bangsawan!”

“Tentu saja tidak. Baiklah, selamat malam.”

“Ya. Hati-hati di jalan.”

Aku melompat melewati pagar dan tiba di pondokku. Aku menyalakan beberapa lilin, lalu mendekatkan nyalanya ke lantai untuk memeriksa jejak kaki. Bedak bayi yang kutaburkan belum terinjak. Tidak ada yang tampak mencurigakan. Ini adalah ritual malamku agar bisa tidur dengan tenang.

Aku mengunci pintu, berganti pakaian tidur, mencuci muka, lalu berbaring di tempat tidur.

Aku bertanya-tanya bagaimana keadaan kakak beradik itu sekarang—meski aku sudah bertekad untuk tidak terlibat lagi dengan mereka, dan apa pun yang terjadi pada mereka bukan urusanku lagi.

Bagian 3

Perdana Menteri mengunjungi kamar sang raja.

“Paduka. Maaf mengganggu begitu larut malam, tetapi kami baru saja menerima pesan dari orang kita di Randall.”

“Dan?”

“Victoria Sellars adalah orang yang benar-benar ada, dan usia, penampilan luar, serta ciri-cirinya sebagian besar cocok dengan wanita yang dimaksud.”

“Sebagian besar?”

Perdana Menteri menatap dokumen yang disertakan dalam laporan itu. “Dia seorang rakyat biasa. Ayahnya seorang tukang kayu, ibunya penjual di pasar. Dia menghilang saat berusia tujuh belas tahun, dan keberadaannya tidak diketahui selama sepuluh tahun. Dalam waktu itu, tampaknya dia tumbuh sedikit lebih tinggi. Orang tuanya bercerai setelah kepergiannya, dan lokasi mereka saat ini tidak diketahui. Dia masuk ke kerajaan kita dari Randall, persis seperti yang dia katakan.”

“Begitu. Terima kasih atas kerja kerasmu.”

Perdana Menteri pun mohon diri. Raja membunyikan lonceng kecil, dan seorang maid masuk.

“Bawakan aku minuman.”

Maid itu menunduk diam-diam dan segera pergi mengambil sebotol anggur. Ia menuangkannya ke dalam gelas untuk sang raja, lalu menghilang kembali ke ruang sebelah.

“Begitu, jadi dia memang nyata. Tapi apa yang dia lakukan selama sepuluh tahun itu?”

Sejauh yang diketahuinya, usia tujuh belas tahun terlalu terlambat untuk dilatih menjadi mata-mata atau pembunuh, apalagi bagi seseorang yang seumur hidupnya dibesarkan sebagai rakyat biasa.

Sulit sekali untuk melatih seseorang setelah mereka dewasa penuh, terutama wanita. Dan dari segi kondisi mental, baik pria maupun wanita harus dibentuk sejak kecil untuk bersumpah menyerahkan hidup mereka kepada organisasi dan pemerintahan; jika tidak, mereka akan menjadi tidak stabil secara mental dan tidak layak bertugas seiring berjalannya waktu.

“Jadi wanita yang Jeffrey jatuh hati padanya itu ternyata tidak bersalah. Syukurlah.”


Keesokan paginya, sang raja memanggil Pangeran Cedric.

“Bagaimana luka-lukamu?”

“Rasanya hampir tidak sakit lagi. Maaf sudah membuat ayah khawatir.”

“Claudia sangat cemas padamu. Jangan membuat ibumu khawatir seperti itu lagi.”

“Baik, Ayah. Ngomong-ngomong, apakah Ayah sudah selesai menyelidiki wanita yang dibawa Jeffrey ke soiree itu?”

Raja menatap wajah Cedric, penasaran bagaimana putranya bisa tahu soal itu.

“Mengapa kau menanyakannya?”

“Jeffrey jatuh cinta padanya, dan itu hal yang sangat langka baginya. Aku jadi penasaran seperti apa wanita itu.”

“Ayah sudah menyelidikinya, dan dia bersih. Hanya rakyat biasa dari Randall.”

“Begitu. Baiklah, kalau begitu, Saya pamit undur diri.”

“Cedric.”

“Ya, Ayah?”

“Biarkan Conrad yang mengurus Jeffrey. Jangan lakukan hal-hal yang tidak perlu.”

“Baik, Ayah.”


Cedric diam-diam keluar dari kamar ayahnya dan bergumam pelan, “‘Rakyat biasa,’ katanya. Omong kosong. Aku ingin tahu seperti apa ‘rakyat biasa’ menurut penyelidik Ayah!”

Dia berjalan ke sudut taman yang sepi—tempat yang biasa dia datangi ketika ingin berpikir.

Cedric sangat berbakat dalam hal fisik dan sejak kecil telah dipuji karena kemampuannya dalam ilmu pedang, berkuda, dan bela diri. Meski ia seorang pangeran, ia sulit percaya bahwa semua pujian itu hanya basa-basi dari para pengajarnya.

Beberapa gurunya bahkan tidak pernah menahan diri saat melatihnya, meski ia berdarah bangsawan. Dan ada Jeffrey—yang juga pernah memujinya.

Jadi dia menganggap dirinya cukup kuat. Namun, dia sama sekali tak berdaya di hadapan seorang wanita ramping berusia akhir dua puluhan. Ia belum pernah menghadapi seseorang seperti itu seumur hidupnya—dan pengalaman itu benar-benar membuka matanya.

Dia ingin meminta maaf pada wanita itu… dan sekaligus meminta agar ia mau melatihnya dalam seni bela diri.

Namun Jeffrey pasti tidak akan setuju. Pria itu marah besar ketika tahu kalau saudaranya memerintahkan seseorang untuk mengikuti wanita itu. Bahkan Conrad pun terkejut melihat betapa kerasnya reaksi Jeffrey…

“Ya, aku hanya perlu meminta maaf. Aku akan mengatakan bahwa aku yang salah. Aku terlalu penasaran padanya dan meremehkannya hanya karena dia seorang wanita. Pertama-tama, aku akan memberi tahu Jeffrey bahwa aku ingin minta maaf padanya.”

Namun ketika ia menyampaikan maksudnya, Jeffrey Asher menatapnya dengan mata sedingin es, “Aku tahu apa yang kau lakukan, Yang Mulia. Victoria sangat berarti bagiku, dan kuharap kau menjauhinya. Aku sendiri yang akan menyampaikan permintaan maafmu padanya. Oh, satu hal lagi—aku akan memberimu pelatihan pedang yang layak. Tak perlu menahan diri. Kita mulai sekarang.”

Dan begitulah Cedric akhirnya terseret dalam duel latihan dengan Jeffrey. Berapa kali pun ia terjatuh ke tanah, Jeffrey akan berteriak, “Belum selesai!” “Sekali lagi!” atau “Hanya segitu kemampuanmu?!” dan terus menyerangnya tanpa henti, hingga Cedric tak lagi sanggup berdiri.

Pada akhirnya, Jeffrey berhasil memojokkannya dan menjatuhkannya ke tanah latihan dengan ujung pedangnya.

Cedric meludahkan pasir dari mulutnya dan menggerutu lemah, “Aku tahu aku tidak seharusnya memberitahumu, Jeffrey.” Ia lalu terbaring telentang dan menutup matanya.

Bagian 4

Aku mendengar suara derit roda kereta berhenti di depan kediaman Lady Eva.

“Tamu?” tanyaku sambil menatap keluar jendela. Sebuah kereta hitam berhenti di depan, dihiasi dengan lambang griffin berwarna emas. Itu—lambang keluarga kerajaan Ashbury!

“Sepertinya kamu akan kedatangan tamu yang sangat penting, Tuan muda Clark,” kataku. Kami bertiga pun berjalan menuju ruang depan.

Seorang pelayan membuka pintu, menyingkapkan sosok pria muda bertubuh ramping dengan rambut pirang keemasan.

Itu dia.

Meskipun warna rambutnya berbeda sekarang, aku mengenali cara berjalannya. Ia adalah pangeran kedua. Ia melangkah santai ke arahku dan berkata, “Oh! Halo, Nona Sellars. Sudah lama tidak bertemu.”

Sudah lama, memang! pikirku sambil tertawa kering dalam hati.

Pangeran Cedric menyapaku dengan suara yang begitu ceria, tak terlihat sedikit pun rasa canggung meski aku pernah mematahkan tulang rusuknya. Karena ucapan seperti “Senang bertemu Anda’ maupun ‘Senang melihat Anda lagi’ terasa tidak pantas, aku hanya menundukkan kepala tanpa berkata apa-apa.

“Aku mendengar dari Lady Janda Countess Haynes bahwa kau ada di sini. Bolehkah aku berbicara sebentar?”

“Tentu saja, Yang Mulia.”

“Oh, Lady Anderson—aku hanya datang untuk berbincang sebentar. Tak perlu menyiapkan teh; aku akan segera pulang. Bolehkah aku berbicara dengan Nona Sellars secara pribadi?”

Ilustrasi Tefuda ga Oome no Victoria Jilid 1 Bab 8 - Victoria bertemu dengan Pangeran Kedua
Ilustrasi Jilid 1 Bab 8 - Victoria Bertemu Pangeran

“Tentu, Yang Mulia.”

Lady Eva, lalu mengantarkan kami ke ruang tamu kecil. Para kesatria pengawal pangeran sempat memeriksa ruangan sebentar sebelum mundur. Tuan Muda Clark sempat mengintip dari pintu, tapi Nonna langsung menarik tangannya menjauh. Namun sebelum pergi, gadis kecil itu sempat menatap tajam ke arah sang pangeran. Kini giliran Tuan Muda Clark yang menariknya kembali.

Kenapa dia menatap pangeran seperti itu?

“Aku datang ke sini hari ini untuk meminta maaf padamu. Tak heran kau bereaksi seperti itu. Bila seorang wanita didekati dengan cara seperti yang kulakukan, wajar bila ia merasa terancam.”

Aku tidak yakin apa maksud sebenarnya dari ucapannya, jadi aku hanya diam menunggu ia melanjutkan.

“Sejujurnya, aku sudah penasaran padamu sejak tahu bahwa kaulah orang yang menjatuhkan pria itu pingsan di soiree.”

“Maaf, tapi itu bukan aku.”

“Ha-ha-ha. Begitu, ya. Tapi kau cukup tangguh saat menghadapi aku waktu itu.”

“Kapten Ordo Kedua para ksatria bilang padaku kalau Anda terluka karena jatuh.”

Pangeran Cedric tersenyum kikuk. “Jangan goda aku seperti itu, kumohon. Aku sungguh datang ke sini untuk meminta maaf dengan tulus. Aku benar-benar menyesal. Tolong terimalah permintaan maafku.” Ia menundukkan kepala dalam-dalam, kedua tangannya terlipat di atas pangkuan.

“Yang Mulia, tolong jangan begitu. Saya hanya rakyat biasa dari negeri lain. Mohon angkat wajah Anda.”

“Jadi kau memaafkanku?”

“Ya, Tentu saja.”

“Syukurlah! Jeffrey bahkan tidak mengizinkanku mendekatimu. Tolong jangan beri tahu dia kalau aku datang ke sini hari ini. Aku hanya merasa tak tenang sebelum meminta maaf secara langsung padamu.”

Kapten memang benar; pangeran itu bukan orang jahat. Syukurlah aku tidak sampai mematahkan tangan dan kakinya waktu itu. Lagipula, selama dia tidak berbuat apa-apa padaku, aku sama sekali tidak punya alasan untuk membencinya.

Aku ingin memintamu sebuah bantuan,” kata sang pangeran membuka percakapan. “Maukah kau melatihku bela diri? Aku janji akan memberimu bayaran yang sangat layak.”

“Maaf, tapi tidak.”

“Cepat sekali menolaknya? Kenapa? Bukankah kau sudah memaafkanku?”

Mungkin aku harus menjelaskannya secara gamblang padanya sekarang.

“Kalau ada orang tahu aku melatihmu bela diri, mereka pasti mulai tertarik padaku. Dan kalau orang tahu bahwa seorang wanita berusia dua puluhan melatihmu, mereka akan berkata, ‘Aku ingin lihat seperti apa dia!’ dan tiba-tiba semua orang akan muncul dari berbagai arah. Sekarang aku hanya ingin fokus pada pekerjaanku dan membesarkan anakku. Aku tidak punya waktu untuk hal lain.”

“Aku janji akan memastikan tak ada yang tahu. Hanya satu jam seminggu saja. Tolong.”

Dia benar-benar terobsesi dengan pelatihan.

“Bukankah seseorang dengan posisimu sebaiknya memiliki orang kuat di sisimu, daripada terus mengasah kemampuanmu sendiri?”

“Kalau begitu, maukah kau berada di sisiku?”

“Tentu saja. tidak.”

“Tuh kan?”

Aku tak kuasa menahan tawa. “Tuh kan” memang!

Aku terus menolak sang pangeran sampai akhirnya ia berkata dengan senyum cerah, “Baiklah. Aku akan datang lagi kalau nanti kupikir kau sudah berubah pikiran!” lalu pergi begitu saja. Benar-benar keras kepala, pikirku. Aku belum pernah bertemu seseorang yang begitu bersemangat berlatih seperti dia.

Lady Eva langsung membombardirku dengan pertanyaan tentang kunjungan sang pangeran, tapi aku menjawab dengan samar, “Oh, dia hanya ingin membicarakan soal sang kapten,” lalu Nonna dan aku pun pulang. Itu tidak sepenuhnya bohong. Aku mengatakan hal yang sama kepada Lady Yolana. Tentu saja, aku tidak bisa menceritakan yang sebenarnya.


Setelah makan malam, terdengar ketukan di pintu. Aku bertanya-tanya siapa malam-malam begini, tapi kemudian terdengar suara kapten.

“Ini aku, Jeffrey.”

“Vicky! Jeff datang!” seru Nonna dengan wajah berbinar. Ia berlari ke pintu dan segera membukanya. Di sana berdiri sang kapten dengan seragamnya. Aku selalu berpikir dia tampak jauh lebih tampan saat mengenakannya.

“Selamat malam, Kapten.”

“Victoria, aku dengar dari anggota pengawal istana bahwa Pangeran Cedric datang mengunjungimu. Benarkah itu?”

Sudah ketahuan juga rupanya, Yang Mulia, pikirku sambil tertawa dalam hati.

“Ya, benar. Dia memintaku untuk melatihnya seni bela diri.”

“Dan apa yang kau katakan?”

“Aku menolak.”

“Aku sudah bilang padanya supaya tidak mendekatimu! Besok aku akan benar-benar memberinya pelajaran. Aku sudah mengenalnya sejak dia berusia tiga tahun, dan dia memang keras kepala luar biasa. Sekarang dia sudah dua puluh tahun; seharusnya bisa belajar dari pengalaman. Tapi karena dia hanya tertarik pada pelatihan, semua orang akhirnya membiarkannya saja.”

Aku diam-diam menyiapkan satu pot teh dan memotong kue mentega isi kenari yang kubuat kemarin. Aku menaruh potongan kue di piring dan menyajikannya di meja. Karena baru sehari, kuenya masih lembap dan rasanya bahkan lebih enak daripada kemarin..

“Victoria?”

“Kau adalah salah satu ksatria raja. Aku tidak bisa memintamu melakukan hal seperti itu demi aku.”

“Tetap saja…”

Jika kapten terus berusaha menjauhkan pangeran dariku, cepat atau lambat itu bisa menimbulkan masalah baginya dan bagi keluarganya. Aku tidak ingin hal itu terjadi. Bagaimana kalau nanti karena itu dia menjauhiku? Hanya membayangkannya saja sudah membuat dadaku terasa sesak.

“Ada batas sejauh apa aku bisa memintamu melakukan sesuatu untukku, Kapten Aku akan sangat hancur kalau suatu saat terjadi sesuatu yang buruk karena aku meminta bantuanmu, lalu kau menjauh dariku. Aku akan terus menolak sang pangeran, jadi tolong jangan khawatir.”

Kapten berdiri dari kursinya. Ia melangkah mendekat dan menatap wajahku dengan ekspresi cemas. “Aku tidak akan pernah menjauh darimu.”

“Aku bisa mengurus urusanku sendiri. Kau sudah banyak membantuku, tapi aku bisa menanganinya. Jadi sungguh, kau tidak perlu khawatir.”

“Vicky, apakah kau marah pada sesuatu?”

“Aku tidak marah pada siapa pun. Jangan khawatir, Nonna.”

Aku berusaha bicara lembut, tapi justru itu membuat Nonna semakin takut, matanya mulai berkaca-kaca.

Aku tersenyum dan mengelus kepalanya untuk menenangkannya. Kapten lalu merangkul Nonna dengan satu tangan dan merangkulku dengan tangan satunya, menarik kami berdua ke dalam pelukannya.

“Baiklah, aku mengerti. Jadi hentikan senyum sedih itu. Bisakah kau memberitahuku apa yang sebenarnya kau takuti, Victoria?”

Aku tidak menjawab. Aku hanya menenangkan Nonna yang mulai menangis, lalu menggendongnya ke kamar tidur dan menyelimutinya hingga tertidur. Kapten menungguku sampai aku kembali.

“Aku tidak bisa memberitahumu apa yang kutakuti, Kapten. Maaf.”

“Aku mengerti. Aku tahu kau punya hal-hal sendiri yang harus kau pikirkan. Maaf kalau aku terlalu memaksakan perasaanku.”

“Tidak, akulah yang seharusnya minta maaf. Mau minum anggur bersamaku?”

“Tentu, dengan senang hati.”

Anggur merah terasa sangat pas dipadukan dengan kue mentega kenari.

Kami duduk berdampingan, diam-diam menikmati anggur dan kue itu. Kenari yang aku sangrai terasa renyah saat dikunyah. Rasanya mengingatkanku pada kue kenari yang dulu sering dibuat ibuku. Aku hanya hidup bersamanya selama delapan tahun, jadi wajah dan suaranya sudah agak kabur di ingatanku. Tapi rasa kue buatannya… masih begitu jelas.

TN Yomi: sangrai adalah sebuah teknik memasak dengan cara memanaskan bahan makanan di atas api langsung, tanpa menggunakan minyak atau air, dengan tujuan untuk mematangkan, mengeringkan, dan mengeluarkan aroma serta cita rasa khasnya.


“Dulu, tunanganku tidak pernah datang padaku untuk hal-hal penting,” kata sang kapten pelan. “Mungkin keinginanku untuk melindungi orang-orang yang dekat denganku memang terlalu kuat.”

“Kau... kau punya tunangan? Apakah kau yakin harus berada di sini?”

“Ia sudah tiada. Ia mengakhiri hidupnya sendiri sepuluh tahun yang lalu. Aku tidak bisa menyelamatkannya.”

“Oh… begitu… Aku tidak tahu kau pernah mengalami hal seperti itu.”

Pasti sangat menyakitkan bagi seseorang seperti dia, yang selalu merasa bertanggung jawab untuk melindungi orang lain. Sekarang aku mengerti kenapa selama sepuluh tahun ini ia tidak pernah pergi berkencan dengan siapa pun.

“Maaf, aku membuatmu mengingat sesuatu yang menyakitkan.”

“Itu semua sudah berlalu. Tidak ada alasan bagimu untuk khawatir.”

Aku ingin mengganti topik. Aku harus menggantinya.

“Seseorang pernah berkata padaku kalau aku tidak tahu bagaimana berbicara seperti orang normal. Mungkin memang banyak hal yang tidak aku pahami,” aku akui.

“Siapa yang mengatakan itu padamu?”

“Seseorang yang tidak kau kenal. Pemilik sebuah pub yang sering aku datangi.”

Ia tampak terkejut. “Kau pergi ke pub?”

“Ya, hanya ketika Nonna sedang menginap di rumah utama. Mungkin ini terdengar aneh, tapi aku pergi ke sana kalau aku ingin sendirian… di antara orang-orang.”

Hening sejenak menyelimuti kami, membuatku canggung, jadi aku terus bicara tanpa henti.

“Boleh aku ikut ke pub itu bersamamu suatu waktu?” tanyanya.

“Aku hanya mampir sebentar untuk minum lalu langsung pulang. Aku lebih suka pergi ke tempat lain bersamamu.”

Zaharo tahu terlalu banyak tentang diriku, jadi aku tidak ingin ia bertemu dengan kapten.

“Kalau kau mau berlatih bela diri, kau bisa sparing denganku. Aku lebih kuat dari sang pangeran.”

“Tidak mungkin.”

“Kenapa tidak?”

“Soalnya kalau aku sparing, rambutku jadi berantakan dan aku berkeringat. Aku pasti kelihatan mengerikan. Aku tidak mau kau melihatku seperti itu.”

“Jadi maksudmu, aku ini orang yang ingin kau tampilkan sisi terbaikmu?”

“……”

Jawab sendiri saja pertanyaan itu, Kapten.

About the author

Koyomin
Yomi Novel adalah blog fan translation yang menerjemahkan web novel (WN) dan light novel (LN) Jepang pilihan ke dalam Bahasa Indonesia. Nikmati kisah fantasi, romansa, hingga dark story dengan terjemahan berkualitas dan update rutin.

Gabung dalam percakapan