![]() |
| Gambar 10. Bab 7 |
Tefuda ga Oome no Victoria Volume 1 - Nonna Sendirian di Rumah
Translated by : Koyomin
Bagian 1
Suatu hari, saat Nonna dan aku berjalan pulang sambil bergandengan tangan sepulang kerja, aku memintanya untuk tinggal di rumah sendirian malam itu. Tak heran, wajahnya langsung menunjukkan rasa cemas.
“Vicky, apa aku benar-benar harus tinggal di rumah sendirian?”
“Ya. Kali ini, aku benar-benar tidak bisa membawamu. Aku tidak akan mengubah keputusan itu. Tapi aku akan pulang secepat mungkin.”
Aku belum pernah meninggalkan Nonna sendirian di rumah sebelumnya. Namun seperti yang kukatakan, kali ini aku memang tidak bisa membawanya.
“Anggap saja tinggal di rumah ini sebagai tugas penting yang harus kamu lakukan, Nonna. Aku harus meninggalkanmu sendirian setiap malam untuk sementara waktu. Aku akan pulang secepat mungkin. Percayalah. Kalau terjadi sesuatu, kamu bisa pergi ke rumah utama untuk meminta bantuan.”
Ia tidak menjawab.
Kalau kamu benar-benar merasa tidak sanggup, aku bisa meminta seseorang di rumah utama untuk menjagamu selama aku pergi. Kamu mau bagaimana?”
“…Aku akan menunggumu di rumah.”
“Itu sangat membantu, Nonna. Terima kasih.”
Dalam hati aku meminta maaf padanya, tapi tidak mengatakannya secara langsung. Kalau aku meminta maaf, Nonna akan merasa tidak bisa mengungkapkan perasaannya. Aku ingin ia tetap merasa bebas untuk mengatakan apa yang ia rasakan, karena itu penting bagiku.
Begitu kami tiba di rumah, aku langsung bersiap untuk pergi. Apa pun yang ia tanyakan, aku menolak menjelaskan secara rinci tentang apa yang akan kulakukan. Aku hanya bilang bahwa aku ada urusan penting.
“Aku akan berusaha pulang dalam tiga jam. Paling lama mungkin empat. Kalau kamu lapar, ambil makanan ringan di lemari.”
“Aku ingin makan bersamamu.”
“Aku tahu. Aku juga ingin makan malam bersamamu. Karena itu, aku akan cepat-cepat pulang!”
Aku tidak ingin Nonna sendirian di rumah terlalu lama, jadi aku menyewa seekor kuda untuk dua minggu. Dengan begitu, aku bisa menggunakannya kapan pun aku perlu pergi ke suatu tempat. Jika aku menyukainya, aku bahkan bisa membelinya. Namun kuda itu harus dikembalikan ke tempat penyewaan setiap hari agar aku tidak perlu menjelaskan kepada Lady Yolana apa yang kulakukan dengannya.
“Nona, apakah Anda berpengalaman menunggang kuda?”
“Tentu saja.”
“Pastikan Anda memberinya istirahat sesekali.”
“Tenang saja, aku akan memperlakukannya dengan baik. Aku hanya akan menjenguk ibuku yang sedang sakit, lalu kembali.”
Selanjutnya, aku menyamar sebagai wanita berambut merah dan mengunjungi sebuah pub di ujung gang berliku.
“Kau Hector?”
“Siapa yang menanyakannya?”
“Namaku Kate. Aku dengar kau bisa menyediakan jasa tertentu dengan bayaran.”
“Itu tergantung pada layanannya, dan berapa banyak yang mampu kau bayar.”
Aku mengatakan padanya bahwa aku butuh bantuan untuk melarikan diri bersama seseorang.
“Aku jatuh cinta pada pria yang sudah menikah. Kami berencana kabur bersama, tapi istrinya selalu menunggunya di pintu keluar tempat kerjanya setiap hari. Aku ngeri membayangkan apa yang akan dilakukannya jika tahu. Aku ingin membantu kekasihku melarikan diri di siang hari agar istrinya tidak menyadarinya.”
Hector mengernyit. “Suruh saja priamu bilang dia nggak enak badan, terus pulang lebih awal..”
“Meski kami bekerja di departemen berbeda, aku, kekasihku, dan istrinya bekerja di tempat yang sama. Dia pasti langsung tahu kami kabur bersama.”
“Ahh, sekarang aku paham masalahmu. Kalian kerja di mana?”
“Di istana.”
“Di istana, ya? Itu bakal bikin harganya naik sedikit.”
“Naik berapa?”
Aku langsung membayarnya sesuai jumlah yang dimintanya.
“Ini semua uang yang kumiliki. Kau yakin bisa melakukannya?”
“Jadi aku cuma perlu menyelundupkannya keluar dari istana, kan? Gampang.”
“Kami ingin meninggalkan ibu kota, jadi bisakah kau membawanya sampai ke gerbang kota?”
“Tentu. Temui aku di sini besok. Tidak—lusa saja. Kita bahas detailnya saat itu.”
“Aku mengerti. Terima kasih.”
Dari sana, aku segera pergi ke penjara bawah tanah istana. Aku menunjukkan dokumen identitas palsu atas nama “Kate” dan berkata, “Pacarku adalah pria yang tertangkap di pesta dansa dengan pisau. Aku datang untuk menjenguknya.”
Aku memohon agar diizinkan bertemu sambil meneteskan air mata.
“Oh, maksudmu Carl? Maaf, nona, tapi aku harus memeriksamu dulu.”
“Aku mengerti. Silakan.”
Meskipun aku sudah siap, pemeriksaan tubuh itu tetap terasa sangat tidak menyenangkan. Penjaga yang berusia sekitar empat puluh tahun itu tidak hanya memeriksa kantong-kantong bajuku, tetapi juga menyelipkan tangannya ke dalam pakaian dalamku. Tatapan mengejek para penjaga lain yang menyaksikan membuatku muak, tapi begitulah cara semua perempuan diperlakukan di setiap negara ketika meminta izin menjenguk tahanan yang menunggu eksekusi.
Penjaga itu menemaniku sampai ke sel terakhir, yang seluruhnya terbuat dari batu.
“Hei! Pacarmu datang!" panggil penjaga itu, dan pria yang berbaring di ranjang sederhana itu pun bangun.
Ini adalah rintangan pertama.
Dibandingkan dengan ini, pemeriksaan tubuh oleh penjaga tadi bukan apa-apa. Aku menatap pria itu tajam, memberi isyarat dengan mataku, “Tolong berpura-puralah bekerja sama.” Semoga dia mengerti maksudku!
Pria itu menatap wajahku, lalu menundukkan kepala dalam-dalam kepada penjaga. “Terima kasih.”
“Aku dengar pacarku akan dieksekusi sebentar lagi. Tuan penjaga, bisakah Anda memberi kami sedikit waktu berdua?”
“Tentu. Aku rasa tidak masalah. Waktu kunjungan dibatasi satu jam. Aku akan kembali menjemputmu saat waktunya habis.”
“Terima kasih!”
Kami berada di ujung deretan sel. Sel tempat pria itu dikurung seluruhnya terbuat dari batu tebal yang kokoh. Pintu besinya berat dan dikunci dengan gembok besar. Dan penjaga tadi sudah memeriksaku dengan sangat teliti.
Mungkin karena semua alasan itu, penjaga merasa cukup aman dan langsung pergi setelah mengizinkanku.
Begitu ia menghilang, pria itu berbisik, “Siapa kau?”
Aku hanya menjawab, “Aku ingin menolongmu, jadi berpura-puralah aku pacarmu. Untuk sekarang, diamlah dulu.”
Aku menatap keluar jendela berjeruji penjara bawah tanah dan menajamkan pendengaran. Aku bisa mendengar langkah sepatu baja para prajurit. Aku menghabiskan seluruh waktu kunjungan itu untuk mendengarkan, menghitung, dan menghafal jeda patroli mereka.
Aku memastikan bahwa kunci di pintu jeruji mudah dibuka, lalu cepat-cepat membukanya dan menutupnya lagi.
Melihat hal itu, pria itu tampak terkejut. Aku berkata, “Jangan berpikir untuk kabur lewat pintu ini. Prajurit akan melihatmu dan langsung membunuhmu.”
Aku mengucapkan terima kasih kepada para penjaga dan meninggalkan istana. Aku menunggang kuda kembali ke tempat penyewaan dan mengembalikannya.
Sekarang aku harus cepat pulang. Aku bergegas membeli roti, daging, dan buah di pasar, lalu berlari kecil menuju pondok.
“Aku pulang!”
“Selamat datang!”
Aku meletakkan belanjaan di meja dan langsung memeluk Nonna.
“Terima kasih sudah menjaga rumah selama aku pergi, Nonna.”
“Aku baik-baik saja sendirian. Vicky, kamu berkeringat ya?”
“Iya. Aku terlalu bersemangat ingin cepat bertemu denganmu, jadi aku berlari sepanjang jalan pulang!”
Mata Nonna menyipit, seolah sedang menatap sesuatu yang sangat terang.
“Vicky, kamu tidak perlu berlari. Aku akan selalu di sini menunggumu.”
“Aww, oke. Terima kasih. Kamu anak yang baik, Nonna. Dan kamu juga sangat kuat.”
Malam itu kami makan malam sederhana, tapi rasanya sangat lezat.
Ini adalah hari kedua Nonna tinggal di rumah sendirian.
Malam itu, aku pergi mengunjungi pria di penjara itu lagi. Setelah penjaga pergi dan kami berdua saja, Aku langsung mulai memotong jeruji jendela. Karena letaknya sangat tinggi, aku harus menumpang di bahunya untuk mencapainya sebelum bekerja. Aku melapisi mata gergaji dengan kulit tebal untuk meredam suara saat bekerja. Itu memang lebih sulit, tetapi jika aku tidak melakukannya, suara gesekannya akan terdengar jelas dan bergema di seluruh penjara bawah tanah.
Aku menggunakan alat yang disebut gergaji kawat, yang dirancang khusus untuk memotong logam. Cara menggunakannya adalah dengan memasukkan jari ke dalam lubang di kedua ujungnya. Aku menyembunyikannya di tempat rahasia agar bisa masuk ke sini, bersama dengan alat-alat pembuka kunci milikku.
Ketika aku mempertimbangkan lamanya jam kunjung dan frekuensi patroli di luar, aku menyadari bahwa aku hanya bisa melihat paling banyak satu palang per hari. Kenyataannya, Aku hanya bisa memotong bagian atas atau bawah satu palang per hari. Totalnya ada lima palang. Aku sempat berpikir untuk mencari tahu tanggal dan waktu pasti eksekusinya, tetapi itu akan memakan waktu lebih lama, dan karena para pelayan kastil biasanya sangat jeli dan serius dalam pekerjaannya, hal itu mungkin akan menimbulkan kecurigaan yang tidak perlu.
Saat aku menggunakan gergaji kawat, aku bertanya kepada pria itu di mana saudara perempuannya berada.
“Dia di rumah. Aku sangat khawatir dia bisa makan tanpaku. Dia tidak bisa keluar di tempat umum lagi. Dia sakit jiwa.”
Begitu. Aku hanya bisa berharap adiknya masih hidup dan sehat.
Aku menyelipkan potongan-potongan kecil kulit hitam ke dalam jeruji besi yang telah dipotong untuk menahannya. Sekilas, tak seorang pun akan menyangka besi itu telah terpotong.
“Kenapa kau membantu orang asing? Apa adikku yang memintamu melakukan ini?” tanya pria itu berulang kali. Saat itu aku sedang menyamar, ditambah lagi hari sudah gelap di luar pada malam pesta dansa itu, ketika aku membuatnya pingsan, jadi dia tidak mengenaliku.
“Aku melakukan ini untuk diriku sendiri. Jangan khawatir," hanya itu yang kukatakan. Semakin sedikit pria itu tahu, semakin baik.
Aku meninggalkan penjara bawah tanah sedikit lebih awal dan mengunci pintu di belakangku.
“Terima kasih. Aku akan datang lagi besok," panggilku pada para penjaga.
“Kalau begitu, aku harus menggeledahmu lagi besok," kata penjaga itu. Penjaga lainnya terkekeh mesum. Silakan tertawa saja sepuasnya.
Begitu aku meninggalkan istana, aku pergi ke sebuah toko yang menjual kereta.
Aku membeli kereta dan memasang kudaku pada tali penariknya. Kuda sewaan itu tidak hanya jinak, tetapi juga cerdas. Ia sangat patuh dan menarik kereta dengan baik.
Aku menungganginya hingga ke gerbang luar di wilayah selatan untuk mencari sebuah rumah pertanian.
“Permisi! Selamat siang!” seruku, dan seorang wanita gemuk keluar untuk menyambutku. “Aku akan membayarmu, tapi bisakah kau menjaga keretaku beberapa hari? Aku akan kembali membawa kudanya nanti. Aku akan menambahkan biaya tambahan untuk menutupi biaya perawatan kudanya, dan aku bisa membayar uang muka.”
“Kenapa kamu harus meninggalkan kereta di sini?” tanya istri petani itu dengan curiga.
“Saudaraku ingin menikah, tapi ayah kami tidak merestui tunangannya. Dia berharap bisa meninggalkan ibu kota agar ayah kami tidak memaksanya pulang. Mereka berencana menempuh perjalanan jauh agar tidak tertangkap. Kupikir setidaknya aku bisa memberi mereka kereta sebagai hadiah pernikahan.”
Setelah aku menjelaskannya sambil berpura-pura menangis, sang istri mengangguk. "Baiklah, aku mengerti. Aku akan mengurusnya. Aku akan memastikan kudanya dirawat dengan baik. Jangan khawatir sedikit pun.”
“Terima kasih banyak! Kakakku akan tiba beberapa hari lagi. Tunangan kakakku akan datang lebih dulu, jadi tolong biarkan dia menunggu di gudang untuk saudaraku.”
“Tidak masalah. Aku turut prihatin mendengar ayahmu begitu keras kepala.”
“Terima kasih, Madam! Aku akan berhutang budi padamu seumur hidup!!”
“Aw, yah. Bukan masalah besar."
Aku kembali ke kota, mengembalikan kuda, dan bergegas pulang.
“Aku pulang!”
“Selamat datang, Vicky!”
“Mari makan malam? Kita makan apa yang ada di rak.”
Nonna tampak lega karena aku sudah pulang.
Malam itu, aku menunggu sampai Nonna tertidur pulas lalu meninggalkan rumah. Aku berlari secepat yang kubisa. Aku mengunjungi rumah yang diberitahukan pria itu dan mengetuk pintu.
Dari dalam terdengar suara wanita muda yang ketakutan.
“Siapa itu? Mau apa kau datang pada jam begini?”
“Shh. Aku bawa pesan dari kakakmu.”
Syukurlah, saudara perempuannya masih hidup.
Dia membuka pintu, dan aku menyampaikan pesannya serta menjelaskan maksud kedatanganku. Aku minta dia mengulanginya untuk memastikan dia paham.
“Mengerti? Jangan beritahu siapa pun isi kertas itu.”
“Tentu. Tapi siapa namamu?”
“Kate.”
“Kate, kenapa kau melakukan semua ini untuk kami? Apa Maria dan yang lain yang menyuruhmu?”
“Siapa mereka?”
“Sang marquess melakukan hal yang sama pada mereka sebelumnya. Aku dengar setelahnya dia juga menyerang Maria, Luna, dan Eliza. Jadi kau tidak ada hubungan dengan mereka?”
“Tidak ada.”
Wajahnya tampak curiga.
“Semua ini bakal sia-sia kalau badanmu lemah. Aku tahu kau tak mau keluar rumah, tapi kau harus makan sesuatu. Punya uang?”
“Iya,” jawabnya sambil melirik ke sana-sini. Itu berarti dia tidak punya.
“Ini tidak banyak, tapi pakai untuk beli makanan. Kau harus makan, tidur, dan mulai menggerakkan tubuhmu lagi. Mengerti? Kami tak boleh membiarkanmu menahan kakakmu sampai ketahuan.”
Sang saudari mengangguk. Aku meninggalkan rumahnya dan berlari pulang. Aku harus segera memalsukan surat identitas untuk dia dan kakaknya.
Pada hari ketiga, begitu penjaga pergi, aku membuka kunci pintu lalu masuk dan naik ke pundak pria itu. Aku mulai memotong jeruji besi. Pekerjaan itu kulanjutkan selama beberapa hari berikutnya.
Ketika hanya tersisa dua batang jeruji lagi untuk dipotong, aku kembali menemui Hector.
“Aku ingin memastikan hari dan waktunya. Aku ingin semuanya dilakukan pada hari ini, jam segini,” kataku.
“Kau sudah mau tentukan harinya? Itu bakal nambah biaya.”
“Apa?! Kau terus saja menaikkan harga! Ya sudah, terserah. Tapi ini semua uang yang tersisa padaku!”
“Baik, itu cukup. Aku akan kirim orang untuk menjemput pacarmu tiga hari lagi pada waktu itu, lalu mereka akan membawanya ke gerbang di wilayah selatan, oke?”
“Ya, benar.”
Saat itu aku sedang memotong jeruji terakhir.
Tanganku gemetar karena beberapa hari bekerja dalam posisi yang canggung. Aku mengabaikan rasa sakit di lenganku dan terus memotong. Pria itu berbicara dari bawah, saat aku masih duduk di pundaknya.
“Hei, Kate, kenapa kau menolongku? Apa adikku benar-benar aman?”
“Adikmu selamat. Seperti yang sudah kukatakan, aku menolongmu untuk kepentinganku sendiri. Aku takkan menjelaskan lebih jauh. Oke, semuanya sudah terpotong. Sekarang aku bisa pulang. Turunkan aku.”
Aku sudah jauh lebih cepat dalam memotong jeruji besi.
Satu-satunya hal yang tersisa untuk kami lakukan adalah melarikan diri.
Pada awal kunjungan berikutnya, aku melepas potongan kulit yang menutupi jeruji, lalu mencabut batang-batang besi itu. Aku membantu pria itu memanjat keluar lewat jendela, kemudian ikut keluar sendiri. Jendelanya panjang secara horizontal tetapi pendek secara vertikal. Untungnya, pria itu telah kehilangan berat badan selama dipenjara, jadi ia bisa keluar dengan mudah.
Aku mengambil tas berisi pakaian ganti yang sebelumnya kusembunyikan di semak-semak, dan kami berdua berganti pakaian. Kami tersenyum dan berbincang ringan sambil berjalan santai di dekat para prajurit yang berpatroli, lalu naik ke kereta pedagang yang sudah menunggu di tempat parkir kereta.
Di dalam kereta terdapat kotak-kotak kosong yang biasanya digunakan untuk mengangkut seragam prajurit dan pelayan. Kami masing-masing bersembunyi di dalam salah satu kotak itu.
Kusir yang dikirim oleh Hector tampaknya mengira ia hanya membantu sepasang kekasih yang hendak kabur. Ia mengobrol santai dengan penjaga gerbang saat melewati pintu kota, seolah-olah semuanya berjalan normal.
Lebih dari satu jam telah berlalu sejak awal kunjungan. Saat itu, pelarian dari penjara mungkin sudah diketahui, tetapi kereta pedagang itu sudah mencapai gerbang luar di wilayah selatan ibu kota.
Kami turun dari kereta, dan aku menuntun pria itu menuju rumah pertanian tempat kuda dan keretaku menunggu.
“Bicara dengan istri petani di sana. Jangan lupa berpura-puralah bahwa adik perempuanmu adalah tunanganmu. Dia seharusnya menunggu di lumbung.”
“Terima kasih banyak atas segalanya. Aku takkan pernah melupakan kebaikanmu!”
“Tidak, kau harus melupakanku. Ini sedikit uang untuk biaya penginapan di perjalanan dan untuk hidup barumu. Simpan di beberapa tempat terpisah dalam jumlah kecil agar kalau dicuri, tidak semuanya hilang sekaligus.”
“Kate…”
“Jangan menangis. Ayo pergi. Nikmati hidupmu. Dan rawatlah kudanya baik-baik.”
Aku mendorong pria itu agar segera pergi dan menatapnya dari kejauhan. Aku melihat dari jauh saat kakak-beradik itu, kini berpakaian seperti petani, mengendarai kereta keluar melalui gerbang luar.
Sepuluh hari Nonna tinggal sendirian akhirnya berakhir.
“Aku mulai menyukai kuda itu, dan aku ingin membelinya,” kataku kepada pemilik tempat penyewaan, lalu mengisi dokumen pembeliannya.
Aku berbelanja sebentar, lalu buru-buru pulang.
“Aku pulang!”
“Vicky! Aku lapar sekali!”
“Aku juga! Aku beli daging di jalan pulang. Bagaimana kalau kita panggang dengan mentega?”
“Yay! Daging!”
Aku lega karena semuanya berjalan lancar dan akhirnya selesai.
Bagian 2
Aku sedang merapikan bahan dari beberapa buku Haglia lama yang kuterima dari Tuan Bernard.
“Vicky, aku buat teh!”
“Terima kasih. Yuk, kita istirahat dulu.”
Kakak beradik itu kini memiliki nama dan identitas baru berkat surat identitas palsu yang kubuat untuk mereka. Aku sudah menginstruksikan agar mereka bepergian dengan kereta di siang hari dan menginap di penginapan setiap malam, perlahan menuju perbatasan. Apa yang terjadi setelah itu bukan urusanku lagi—dan aku sama sekali tak berniat terlibat lebih jauh.
Aku sangat mengantuk. Selama beberapa hari terakhir aku begadang untuk membuat surat-surat itu, jadi aku hanya tidur satu atau dua jam setiap malam.
Sambil mendengarkan Nonna yang terus berceloteh entah apa, aku tertidur di sofa panjang. Saat terbangun beberapa waktu kemudian, ada selimut menutupi tubuhku.
Sementara itu, para penjaga kastil kebingungan.
Selama beberapa hari terakhir, seorang wanita bertubuh ramping dengan rambut merah selalu datang menjenguk pria yang dijatuhi hukuman mati. Setiap kali, ia meminta agar diizinkan sendirian bersama kekasihnya, lalu keluar dengan mata berkaca-kaca setelah waktu kunjungannya berakhir.
Karena si pria akan segera dieksekusi, wanita itu hanya diizinkan berbicara dengannya dari luar sel yang terkunci. Artinya, para penjaga hanya melihatnya saat ia datang dan pergi. Sel sang pria berada di ujung lorong buntu, jadi mereka tak khawatir dia akan melarikan diri—untuk keluar, ia harus melewati para penjaga. Selain itu, prajurit juga berpatroli di sekitar penjara bawah tanah.
Namun, sehari sebelumnya, wanita itu tidak kembali setelah waktu kunjungan selesai. Seorang penjaga akhirnya memeriksa mereka… dan menemukan bahwa si wanita dan tahanan itu telah menghilang. Pintu sel masih terkunci rapat, tapi semua jeruji jendela telah digergaji hingga terlepas.
Kastil pun gempar, dan semua gerbang segera ditutup. Para penjaga menggeledah setiap sudut halaman kastil, tapi mereka tak menemukan apa pun. Setelah itu, Ordo Ksatria Kedua dan pasukan keamanan memperluas pencarian ke seluruh ibu kota. Namun sejauh ini, tidak ada seorang pun yang melihat keberadaan tahanan yang melarikan diri ataupun wanita berambut merah itu.
Suatu malam, dua minggu setelah pelarian dari penjara, kapten datang ke rumahku dan berkata, “Aku membawakanmu beberapa manisan dari toko roti yang sedang populer.”
Aku membuat teh, dan kami bertiga pun menikmati kue yang dibelinya. Di atas lapisan krimnya terdapat banyak potongan kastanye yang dilapisi sirup. Rasanya begitu mewah dan lezat hingga aku tak bisa menahan senyum. Nonna hampir saja menjilat sisa krim di piringnya, tapi aku segera menegurnya. Ia menatapku dengan mata terbelalak.
“Lakukan itu setelah kamu bawa piringnya ke dapur, jauh dari tamu,” kataku dengan wajah serius, dan kapten serta Nonna pun tertawa keras.
“Hmm, enak sekali! Kapten, Kamu kelihatan lelah,” kata Nonna.
“Memang enak, kan? Dan ya, aku memang lelah. Pria dari pesta dansa itu kabur dari penjara. Sepertinya dia dibantu seseorang.”
“Apa…?”
“Istana benar-benar kacau sekarang. Seorang tahanan berhasil melarikan diri dari penjara bawah tanah kastil — ini jadi skandal besar. Para ksatria dan aku sudah menyisir seluruh kota selama dua minggu.” Wajahnya tampak jelas dipenuhi keletihan.
“Aku bisa lihat betapa lelahnya dirimu. Jadi, apa yang terjadi dengan pria itu?”
“Sepertinya dia bersembunyi entah di mana. Kami sudah memeriksa rumah adiknya, tapi dia juga menghilang. Dia meninggalkan surat yang berbunyi, ‘Aku telah masuk biara jauh dari sini dan akan berdoa bagi saudaraku yang telah dipanggil ke surga.’”
“Begitu, ya,” jawabku sambil menyesap tehnya perlahan.
Nonna tampaknya sama sekali tidak tertarik dengan pembicaraan kami. Ia menyelesaikan kuenya, membawa piringnya ke dapur, lalu mulai membaca buku di sofa. Dan, tentu saja, ia sempat menjilat piringnya bersih sebelum menaruhnya di wastafel.
Aku menuangkan teh lagi untuk kapten dan diriku.
“Kebanyakan orang berpikir pelarian itu akan tertangkap cepat atau lambat. Kami sudah mengirim pesan kilat ke keempat gerbang ibu kota. Bahkan kalau pun mereka langsung pergi ke gerbang setelah kabur, waktunya tak akan cukup.”
“Begitu.”
Aku menyesap tehnya lagi dan memakan suapan terakhir kuenya.
“Kalau dia bersembunyi di dalam kota, kemungkinan besar dia ada di daerah kumuh. Tapi karena dia bukan penjahat berpengalaman, cepat atau lambat dia pasti akan tertangkap oleh seseorang yang mengincar hadiah buruan. Aku memang merasa kasihan padanya, mengingat apa yang terjadi pada adiknya, tapi… begitulah hidup.”
“Benar.”
Wajah sang kapten menjadi muram, dan tampak seolah ia akan segera pamit. Aku merasa bersalah, tanpa sadar aku meraih lengannya dan berkata lembut. “Kapten, bisakah kau mengambil cuti dan pergi bersama kami ke Cadiz? Tidak harus sekarang. Aku dengar saat titik balik matahari musim panas, mereka melayarkan perahu-perahu kayu kecil dengan lilin di atasnya ke laut.”
Ekspresinya sedikit melunak. “Aku terkejut kau tahu tentang itu. Ya, konon roh orang-orang yang telah meninggal akan kembali ke dunia ini selama lilin-lilin itu menyala.”
“Mereka hanya datang berkunjung sebentar, bukan? Aku ingin roh keluargaku datang berkunjung. Ada banyak hal yang ingin kukatakan pada mereka.”
Dia merengkuh kepalaku dengan lembut ke dadanya. “Baiklah. Suatu hari nanti kita pergi ke sana. Kita akan melayarkan perahu-perahu kecil itu di malam hari. Ini janji. Apa pun yang terjadi, aku akan mengambil cuti agar kita bisa melakukannya.”
Kapten itu tampak sedikit lebih ceria, lalu pulang.
Aku memastikan Nonna masih membaca, kemudian menyembunyikan wig merahku di dalam bantal dan menjahitnya rapat-rapat.
Maafkan aku, aku meminta dalam hati pada semua orang yang sedang bersungguh-sungguh mencari tahanan pelarian itu—termasuk sang kapten. Aku tidak akan meminta pengampunan. Aku yakin suatu hari nanti, aku akan menerima hukumanku sendiri.
Bagian 3
Sepasang kakak beradik berusia dua puluhan tiba di sebuah kota di perbatasan selatan Ashbury.
Mereka hidup rukun, bekerja bersama, dan menjalani kehidupan sederhana. Kepada penduduk desa, mereka berkata bahwa mereka pindah setelah orang tua mereka meninggal dan berasal dari sebuah kota jauh di timur. Kepala desa memberi mereka sebuah rumah kosong untuk ditempati.
Keduanya menggarap lahan terbengkalai bersama. Penduduk desa sangat ramah dan memperlakukan mereka dengan baik.
Suatu malam, saat mereka berdiri di dapur, sang adik berkata, “Hidup seperti ini rasanya seperti mimpi. Dulu aku begitu hancur saat tahu kau dijatuhi hukuman mati karena mencoba membalas dendam untukku, aku sempat ingin mengakhiri hidupku waktu itu.”
“Aku minta maaf sudah membuatmu khawatir.”
“Tidak apa-apa. Seperti yang dikatakan Kate, lebih baik kita berusaha keras untuk hidup bahagia daripada membalas dendam.”
Saudari itu mengeluarkan surat-surat identitas mereka dari laci dan meletakkannya di atas meja. Mereka menatap dokumen-dokumen itu dengan seksama.
Dokumen-dokumen itu tak bisa dibedakan dari yang asli. Tekstur kertasnya, pola latar yang rumit, huruf-huruf tercetak—semuanya sempurna.
“Ini terlihat benar-benar otentik,” kata kakak laki-laki.
“Aku heran apa dia dulu pernah bekerja di kantor yang membuat surat identitas atau semacamnya.”
“Aku tidak tahu,” jawabnya.
“Hatiku sakit karena kita tidak sempat berterima kasih padanya.”
“Dia bilang itu akan merepotkan dirinya kalau kita mencoba menghubunginya, jadi tidak ada yang bisa kita lakukan. Tapi aku juga ingin bisa mengucapkan terima kasih padanya.”
“Satu-satunya yang dia katakan hanyalah, ‘Aku melakukan ini untuk diriku sendiri,’ tapi apa maksudnya? Lalu dia bilang, ‘Kalian berdua hidup bahagia sudah cukup untukku.’”
Kakak beradik itu tak punya petunjuk mengapa wanita berambut merah itu menolong mereka. Mereka masih menyisakan sepertiga dari uang yang diberikan wanita itu untuk memulai hidup baru.
Sang adik sangat bersyukur karena kakaknya tidak dieksekusi, dan karena ia tidak menjadi seorang pembunuh.
Setelah Nonna pergi tidur, aku menyemir sepatuku dengan hati-hati. Gergaji kawat itu terselip rapi di dalam tumit salah satu sepatu. Geriginya sudah sangat tumpul. Haruskah aku mengasahnya? Yah, kurasa aku tidak akan pernah lagi perlu memotong jeruji besi.
Setelah kuselesaikan semirannya, aku menaruh sepatu itu di rak sepatu dekat pintu masuk. Aku juga pernah menyembunyikan seperangkat alat pembuka kunci kecil di dalam solnya. Sekarang solnya sudah disegel dengan lem. Alat pembuka kunciku disimpan di tempat lain.
Jika ada yang tahu apa yang kulakukan, mereka mungkin akan menyebutku munafik. Aku siap menghadapi kritik itu, betapapun pedasnya.
