Victoria of Many Faces Jilid 1 Prolog

Dikhianati rekan sendiri, Victoria memutuskan kabur dari dunia mata-mata. Awal kisah seru dimulai di Prolog ini. Ikuti kisah Victoria di Yomi Novel

Ilustrasi Prolog dari Seri Tefuda ga Oome no Victoria | Yomi Novel
Gambar 1. Prolog

Tefuda ga Oome no Victoria - Rencana yang Matang

Translated byKoyomin

Chloe, agen rahasia kerajaan Hagl. Begitulah aku dikenal di dalam organisasi.

Aku berada di tempat favoritku, tepi tebing yang menghadap laut. Aku membentangkan tikar piknik di tanah dan menaruh batu di tiap sudutnya agar tidak tertiup angin. Aku membuka keranjang piknik. Tepat saat itu, petani tua yang selalu lewat di sini pada jam seperti ini menyapaku dari atas gerobak keretanya.

Aku melambaikan tangan padanya. Pasti sekarang ia akan mengingat keberadaanku di sini.

Aku menggigit sedikit rotiku, menuangkan teh ke dalam cangkir, lalu meletakkannya di atas tikar. Setelah memastikan tidak ada seorang pun di sekitar, aku berbaring tengkurap di tepi tebing, meraih cabang pohon pinus yang tumbuh di bawah sana, dan melilitkannya dengan tali topiku.

Aku menendang sandal yang kupakai dan melemparkannya ke pantai berbatu di bawah tebing. Kemudian aku melepas liontin kesayanganku, mengancingkannya kembali, dan melemparkannya sekuat tenaga ke arah yang sama dengan sandal tadi.

“Cukup sudah.”

Tak ada alasan untuk tetap di sini lebih lama. Aku mengeluarkan sepatu bot dari dalam tas dan memakainya, lalu berbalik dari tebing dan berjalan menuju pegunungan di seberang jalan. Aku tidak akan kembali ke tempat ini lagi.

Aku meninggalkan bukan hanya tempat favoritku di dunia, tapi juga kehidupanku sebagai mata-mata.

Malam itu juga, ruang kendali pusat Pasukan Operasi Khusus kerajaan Hagl dipenuhi kesibukan.

Dan, bisakah kau pergi ke tebing Matool? Periksa juga pantai di bawahnya begitu pagi tiba. Jacob, koordinasikan dengan pasukan keamanan apakah ada informasi baru.”

Chief Lancome memperhatikan kedua pria itu bergegas keluar ruangan, lalu menekan pelipisnya sambil menghela napas. 

“Chloe sering pergi ke tebing Matool, bukan, Lancome?” 

“Benar, Mary. Padahal sudah berkali-kali kuingatkan agar jangan ke sana, karena tidak ada pagar pengamannya.”

Mary menutup mulutnya dengan tangan. 

“Kira-kira, apa yang terjadi padanya?” 

“Dia baik-baik saja. Pasti baik-baik saja. Aku hanya mengirim mereka untuk memastikan.” 

“Waktu dengar kabar kau dan aku menikah, dia cukup terkejut, kau tahu.” 

“Sudahlah, jangan bercanda. Itu tidak benar. Lagi pula, kita masih belum tahu apakah sesuatu memang terjadi pada Chloe.” 

“Ya, tapi ini sudah larut malam, dan dia belum kunjung kembali.”

Jarum jam hampir menunjukkan pukul delapan malam. Tebing itu pasti sudah gelap gulita.

“Jangan khawatir,” kata Lancome. “Pasti ada kesalahpahaman. Chloe itu kuat.”

Ia menyelipkan lengannya di belakang Mary dan menepuknya perlahan untuk menenangkannya—Chloe yang ia kenal adalah wanita tangguh yang tak pernah sekalipun menunjukkan kelemahan. 


Aku berganti transportasi beberapa kali untuk menghindari pengejaran, mengambil jalan memutar, lalu naik sebuah omnibus pribadi jarak jauh.

TN Yomi: omnibus adalah bentuk awal dari bus, yang merupakan kendaraan darat bermotor dirancang untuk mengangkut banyak penumpang dalam jumlah besar di rute dan jadwal tetap, dengan tarif terjangkau.

Rambut kastanyeku kusembunyikan di balik wig merah menyala yang mencolok, kuoleskan riasan tebal, dan kutambahkan bantalan pada blus hingga penuh. Lalu kugambar sebuah tahi lalat kecil di dekat mulutku sebagai sentuhan akhir. Dengan itu, penyamaran sebagai wanita penggoda yang genit pun sempurna.

Ada lima penumpang di dalam omnibus, termasuk aku. Sisanya semua laki-laki. Setiap ekspresi dan gerak-gerikku memancarkan daya tarik yang seksi, dan beberapa kali kudapati mereka mencuri pandang. Salah satu dari mereka,  seorang pria paruh baya memberanikan diri untuk bicara.

"Mau ke mana, Nona? Sepertinya penting sekali sampai-sampai naik omnibus jarak jauh sepagi ini.”

“Ya, benar. Ibuku sedang sakit, dan aku hendak menjenguknya. Ia tinggal sendirian; jadi aku sangat khawatir.” 

“Hmm, kasihan sekali.”

Kini semua pria memasang telinga dengan saksama.

“Sejujurnya, aku sangat cemas. Tapi percuma saja terlalu memikirkan hal buruk. Aku berusaha untuk tetap positif.” 

Aku mengeluarkan sebuah botol minuman perak dari dalam tas. 

“Itu botol yang bagus. Apa isinya, minuman keras?” 

“Tepat sekali. Aku tau memang masih pagi, tapi perjalanan ini masih panjang. Bagaimana, kalian mau sedikit?” 

Botol perak doff itu berisi minuman khusus yang jauh lebih keras dari calvados biasa. 

“Silakan saja,” 

Kataku sambil memberikan botol itu agar mereka bisa bergiliran menyesapnya, membuat mereka senang bukan main. Saat giliranku tiba, aku hanya menyentuhkan bibir ke mulut botol, pura-pura meneguk.

Tak lama kemudian, beberapa penumpang mulai bergumam riang pada dirinya sendiri, sementara yang lain terdiam total karena sudah terlelap. Dengan begitu, yang akan tersisa dari pertemuan kami hanyalah ingatan samar.

Jika nanti mereka mencoba mengingat, yang terlintas di benak mereka hanyalah riasan tebal, tahi lalat di sudut bibir, rambut merah, dan tentu saja dadaku yang tampak berisi.

Larut malam, aku turun di Thurston dan mulai berjalan. Dari sinilah perjalananku berlanjut menuju kerajaan tetangga, Randall.

Aku berhasil melewati pos perbatasan berkat dokumen identitas palsu yang sudah kupalsukan. Di atas kertas, aku adalah seorang wanita berambut merah bernama Maria. Tentu saja, itu hanyalah nama samaran.

Begitu masuk Randall, aku segera menghindari pandangan orang lain dan melepas wig-ku. Lalu aku menuangkan cairan pembersih untuk menghapus riasan tebal dan tahi lalat buatan di bibirku. Bantalan di blus kulepas dan kusimpan kembali ke dalam tas.

Aku mengecek penampilan sejenak dengan menggunakan cermin kecilku. Begitu keluar dari bayangan, sosok Maria si wanita seksi berambut merah lenyap, berganti menjadi seorang perempuan berambut cokelat kastanye dengan pakaian yang sama.

Setelah tiba dengan selamat di Randall, aku naik kereta kuda pertama dari sekian banyak yang harus kutumpangi. Karena kereta kuda tak beroperasi malam hari, aku terpaksa menginap di hotel. Secara keseluruhan, butuh dua puluh hari bagiku untuk menyeberangi Randall dengan cara ini dan memasuki kerajaan tetangga, Ashbury. 

Aku melewati perbatasan menggunakan dokumen identitas berbeda, atas nama seorang wanita bernama Victoria Sellars.

Victoria Sellars adalah orang sungguhan yang pernah tinggal di Randall, namun ia telah hilang selama sepuluh tahun. Usianya sama denganku, dan penampilannya pun mirip juga, tapi tak ada ciri khas lain yang menonjol. Keluarganya pun sudah tercerai-berai.

Ketika pertama kali membaca laporan orang hilang tentang dirinya, aku hanya berpikir, mungkin suatu hari bisa kupakai, Namun, kala itu aku tidak pernah membayangkan bahwa inilah yang akan terjadi. Secara resmi, akan tampak seolah-olah Victoria Sellars telah meninggalkan negaranya.

Chloe sang mata-mata tak lagi ada di dunia ini. Aku benar-benar berniat menjalani hidup sebagai Victoria mulai sekarang. Pada dokumen identitas itu, kolom ciri fisik kuisi dengan data diriku sendiri: rambut cokelat, mata cokelat, usia dua puluh tujuh, tinggi 165 sentimeter.

Victoria yang asli memang sedikit lebih pendek dariku, tapi tentu saja aku kini berada di kerajaan lain. Tak seorang pun bisa menebak bahwa dokumen Randall yang kubawa adalah hasil manipulasi.

Maka, aku, Victoria Sellars, telah melewati perbatasan dan langsung masuk ke sebuah restoran.

“Selamat pagi. Mau pesan apa?” 

“Kopi, panekuk, dua sosis, dan telur goreng, tolong. Oh, telurnya dua butir setengah matang.”

“Baik. Silakan duduk di mana saja.”

Setelah memesan, aku memilih meja di sudut, duduk membelakangi dinding, lalu menghela napas panjang. Pada saat itu, semua orang di pekerjaanku yang lama pasti sudah yakin aku jatuh dari tebing atau tak sengaja jatuh..

“Maaf menunggu.”

Pelayan menaruh secangkir kopi panas yang masih mengepul, sosis yang mendesis dengan sedikit gosong di permukaannya, dan setumpuk panekuk hangat dengan sepotong besar mentega di tengah yang mulai meleleh. Telurnya dimasak setengah matang. Pesananku juga dilengkapi kendi kecil berisi penuh sirup maple.

Aku menuangkan seluruh isi kendi ke atas panekuk, lalu mengambil pisau dan garpu, dan mulai melahap sarapan itu dengan rakus. Sudah setahun sejak aku mulai mempersiapkan diri untuk meninggalkan organisasi, dan delapan bulan sejak aku menahan diri dengan pola makan ketat.

Haah, benar-benar lezat. Sekarang aku bisa makan apa pun yang kuinginkan.”

Alasan aku menjaga pola makan seketat itu adalah demi memerankan sosok wanita patah hati yang ditinggalkan. Selama itu, aku terus-menerus menahan lapar. Pernah suatu kali, Lancome begitu khawatir hingga memberiku obat stimulus nafsu makan. Rasa laparnya benar-benar menyiksa, tapi aku bertahan. Dalam delapan bulan, berat badanku turun delapan kilogram.

Namun kini aku akhirnya bisa makan sepuas hati.

Aku menikmati setiap suapan dengan perlahan, menyantap habis porsi besar yang bahkan cukup untuk mengenyangkan seorang pria, lalu berjalan melintasi ibu kota menuju sebuah hotel. Aku harus segera memulihkan kembali kekuatan ototku.

Akhirnya, aku masuk ke sebuah hotel besar di jalan utama dan mendekati meja resepsionis.

“Halo, saya pernah mengirim surat untuk reservasi. Atas nama Victoria Sellars.”

“Ah, ya. Kami memang menunggu Anda, Nona Sellars. Kamar Anda di lantai tiga—suite pojok, sesuai permintaan.”

Untuk sementara waktu, hotel ini akan menjadi markas baruku untuk mempersiapkan kehidupan baru. Ada banyak kartu yang bisa kumainkan di sini, jadi aku akan melangkah perlahan. Aku pun menjatuhkan diri ke atas ranjang dengan plop.

Aku bertanya-tanya, apakah Chief Lancome masih akan terus mencariku? Aku sudah menyeberangi dua kerajaan penuh hingga sampai ke Ashbury; benarkah dia akan memperluas pencarian sejauh ini? Atau justru menyerah sejak awal?

“Sudahlah. Duduk di sini sambil mengkhawatirkannya hanya buang-buang waktu.”

Mulai sekarang, aku ingin menjalani hidup dengan bebas, tanpa terikat siapa pun.

Menurut semua orang, keluarga kerajaan di Ashbury itu teladan; selama banyak generasi mereka tak pernah melancarkan perang ofensif, hanya menggunakan militer untuk bertahan. Perdagangan berjalan sehat, penduduknya beragam, dan tak seorang pun akan curiga bila ada orang asing yang tiba-tiba datang lalu menetap di sini. Itulah alasan aku memilih kerajaan ini sebagai tempat tinggal.

“Apa yang harus kulakukan untuk mencari nafkah…?”

Lancome merekrutku saat aku masih muda, aku berusia delapan tahun kala itu. Pada usia lima belas, aku melaksanakan misi pertamaku, lalu bekerja tanpa henti hingga umur dua puluh tujuh. Selama waktu itu, Lancome sendiri naik pangkat sampai menjadi chief.

Setiap bulan, aku membeli barang-barang kecil untuk keluargaku dan meminta Lancome mengirimkannya bersama sejumlah uang. Ia selalu memeriksa agar tak ada surat tersembunyi di dalam paket, lalu meneruskannya ke rumah orang tuaku.

Salah satu aturannya adalah aku tak boleh berhubungan langsung dengan keluargaku.

Hanya dengan membayangkan kegembiraan orang tuaku dan adikku, Emily, saat menerima paket-paket itu, aku mampu bertahan menjalani pekerjaanku. Walau tak bisa menghubungi mereka, setidaknya Lancome akan memberitahuku bila ada kabar kematian. Aku memastikan hal itu berkali-kali padanya.

“Tak kusangka mereka semua sudah tiada…”

Aku menyayangi Lancome layaknya kakak sendiri sekaligus menghormatinya sebagai atasan. Namun ia menyembunyikan kabar kematian keluargaku dariku selama dua tahun penuh.

Aku baru mengetahui kebenaran itu setahun lalu.

Setelah menyelesaikan sebuah misi, untuk pertama kalinya dalam delapan belas tahun, aku memutuskan mengunjungi kota kelahiranku. Setidaknya aku ingin melihat sekilas rumah keluargaku—tidak, keluargaku sendiri—meski hanya dari jauh. Aku menyamar dan mendatangi rumah itu, tapi yang kulihat hanyalah sebidang tanah kosong.

Aku terkejut. Setelah melakukan penyelidikan, kutemukan bahwa rumah itu terbakar habis dua tahun sebelumnya. Pejabat distrik seharusnya segera melaporkan peristiwa itu kepada bangsawan yang tercatat sebagai majikanku. Lalu bangsawan itu, sesuai aturan, wajib memberi tahu organisasi tentang kematian keluargaku. Mustahil Lancome tidak tahu. Aku sendiri pernah menyaksikan mata-mata lain diberi kabar ketika anggota keluarga mereka meninggal.

Jadi begitu rupanya.

Dia tahu betapa berharganya keluargaku bagiku. Aku sudah mengatakannya berkali-kali sepanjang delapan belas tahun bekerja di bawahnya.

Setelah itu, aku tetap bekerja seolah tak terjadi apa-apa, tetap menyerahkan paket kepada Lancome setiap kali gajian agar ia mengirimkannya ke rumah orang tuaku, persis seperti biasanya. Namun suatu malam, aku memutuskan mengikutinya sepulang kerja. Ternyata dia tidak membawa paket itu ke kantor pos di ibu kota.

Dia sama sekali tidak menyadari aku membuntutinya. Jujur saja, aku kecewa melihat betapa keterampilannya telah merosot.

Akhirnya, ia masuk ke sebuah kompleks apartemen mewah dengan penjaga berseragam rapi di luar; Tempat itu jelas bukan asrama para pejabat tinggi tinggal. Tak lama kemudian, kulihat tirai jendela lantai tiga disibakkan dan jendelanya terbuka. Lancome sedang membiarkan udara segar masuk..

Di situlah dia.

Aku menunggu sampai ia keluar gedung. Begitu malam cukup gelap, aku memanjat ke lantai tiga dari teras lantai dua, menggunakan tonjolan kecil di dinding sebagai pijakan. Pertama, aku menyelinap masuk ke apartemen lain yang tampak gelap gulita, lalu bergerak menuju apartemen miliknya.

Menggunakan alat-alat milikku untuk membuka kunci dan masuk ke dalam. Di sana, di sudut ruangan, terdapat tumpukan dua puluh lima paket yang telah kuberikan padanya.


Begitu melihat paket-paket itu, amarahku hampir meledak, Namun aku segera menahan diri.

Kubuka semua paket itu satu per satu dan mengambil kembali uang yang kusembunyikan di dalamnya, tak menyisakan satu koin pun. Bahkan, aku ikut mencuri peralatan makan perak di dapur dan tempat lilin emasnya. Aku ingin membuat Lancome berpikir apartemennya dirampok maling. Dalam perjalanan pulang, semua barang miliknya yang kubawa lantas kubuang ke sungai.

Aku keliru tentangnya. Dia memang tepat seperti tipe orang yang bisa merangkak naik dalam hierarki organisasi mata-mata.

Sejak hari itu, aku melanjutkan hidup seperti biasa.

Setiap bulan, aku tetap meminta Lancome mengirimkan paket untuk keluargaku sehari setelah aku menerima gaji. Secara lahiriah, aku hidup seperti dulu, tapi hatiku sudah berubah. Keluargaku sudah tidak ada lagi di dunia ini, dan aku tak lagi mempercayai Lancome.

Di sela-sela misi, aku mulai menyelidikinya dan menemukan bahwa ia berniat menikahi salah satu rekan kerjaku. Informasi itu kupastikan bisa kugunakan demi keuntunganku.

“Pria ideal bagiku itu seseorang seperti chief.”

Aku sama sekali tak punya ketertarikan romantis pada Lancome, tapi aku mulai menyebar isyarat pada rekan-rekan lain seolah aku jatuh hati padanya. Suatu saat nanti, ia pasti harus mengumumkan pernikahannya. Semua itu bagian dari rencana panjangku agar orang-orang percaya aku akan begitu terkejut mendengar kabar itu sampai-sampai memilih mengakhiri hidupku sendiri.

Aku mulai membatasi asupan makanan sejak hari Lancome dan Mary mengumumkan pernikahan mereka. Dua bulan kemudian, orang-orang sudah memperhatikan betapa pucat dan kurusnya aku.

Ketika ada yang bertanya alasannya, aku akan memasang wajah sedih, menggigit bibir, lalu menjawab, “Bukan apa-apa…” dengan mata berkaca-kaca. Tatapan penuh iba pun selalu kudapatkan, kecuali dari Mary, yang harus bersusah payah menyembunyikan raut kemenangan di wajahnya.


Lalu, mengapa aku sampai sejauh itu untuk membelot dari organisasi?

Karena aku terlalu ahli dalam pekerjaanku.

Selama bertahun-tahun, aku adalah mata-mata terbaik di Hagl. Jika aku benar-benar menyatakan ingin berhenti, jelas tak seorang pun akan dengan mudah berkata, “Baiklah, silakan.”

Aku sudah merencanakan masa depanku. Aku tidak akan menikah. Aku akan terus bekerja sampai usia empat puluhan, lalu mengabdikan sisa hidupku untuk melatih generasi penerus. Bahkan Lancome sendiri pernah merekomendasikan jalan itu untukku.

Tapi setelah kehilangan orang tuaku dan Emily, aku tak lagi punya keinginan atau kewajiban untuk mengorbankan hidup demi organisasi. Aku tak peduli lagi dengan pengakuan dari Lancome.

Namun selama merencanakan penghilanganku, ada satu bagian dari diriku yang diam-diam menunggu Lancome berkata, “Sebenarnya ada sesuatu yang harus kukatakan padamu, Chloe…” hingga pagi terakhir sebelum aku pergi.

Tapi dia tak pernah memberitahuku bahwa keluargaku telah tiada. Dan kini sudah tiga tahun berlalu sejak kebakaran itu. dia punya banyak kesempatan untuk mengakui kebenaran, namun tidak pernah melakukannya.

Bagi Lancome, aku bukan adik perempuan, bukan pula bawahan yang berharga. Aku hanyalah bidak yang bisa ia mainkan sesuka hati. Sosok yang selama ini kupikir dia adalah hanyalah khayalan konyol belaka, begitu konyolnya hingga kini aku nyaris tertawa getir mengingatnya.

About the author

Koyomin
Yomi Novel adalah blog fan translation yang menerjemahkan web novel (WN) dan light novel (LN) Jepang pilihan ke dalam Bahasa Indonesia. Nikmati kisah fantasi, romansa, hingga dark story dengan terjemahan berkualitas dan update rutin.

Gabung dalam percakapan