Vicotria of Many Faces Jilid 1 Bab 1

Tefuda ga Oome no Victoria Vol 1 Bab 1 - Pertemuan takdir dengan gadis itu atau awal dari kisah Victoria di Kerajaan Ashbury. Hanya di Yomi Novel
Ilustrasi Bab 1 dari Seri Tefuda ga Oome no Victoria | Yomi Novel
Gambar 2. Bab 1

Tefuda ga Oome no Victoria Volume 1 - Saat Aku Bertemu Gadis Itu

Bagian 1

Translated by : Koyomin

“Yah, sepertinya aku akan jalan-jalan di kota sebentar.”

Memutuskan untuk mengenakan sesuatu yang tidak mencolok, Aku memakai rok panjang biru tua yang nyaman untuk berjalan dan blus gading sederhana. Setelah berpakaian, aku pun meninggalkan kamar hotel.

“Semoga harimu menyenangkan,” sapa resepsionis itu dengan ceria.

Aku keluar dari hotel dan menuju pusat kota tempat pertokoan berada.

Ibu kota Ashbury terbagi secara kasar menjadi empat distrik, utara, selatan, timur, dan barat, dengan kastil di tengahnya. Hotel tempatku menginap berada di distrik selatan, daerah yang ramai dengan banyak toko, pasar, dan kantor. Menurut hasil penelitianku, wilayah ini memiliki populasi imigran terbesar.

Restoran dan kedai makanan di sini menjual hidangan dari berbagai negeri. Berbagai aroma lezat tercium dari sana-sini saat aku berjalan di sepanjang jalan. Padahal aku sudah sarapan terlambat dengan porsi besar, tapi perutku masih sempat berkeroncong sedikit. Aku membeli kue panggang segar dari sebuah toko roti dan memakannya sambil berjalan-jalan menikmati suasana kota.

“Hmm?”

Saat itulah aku melihat seorang gadis kecil tampak gelisah duduk sendirian di bangku alun-alun. Awalnya kukira ia sedang menunggu seseorang, jadi kuperhatikan dari jauh. Namun sepertinya tak ada seorang pun yang datang menjemputnya.

Bagaimana kalau ada orang jahat mencoba menculiknya?

Dia tidak menangis—hanya duduk diam dengan tatapan kosong. Ada sesuatu yang terasa tidak beres tentang ini. Aku tidak bisa hanya berdiri dan terpaku, jadi aku menghampirinya.

“Ada apa? Apa kamu tersesat?” 

“Aku tidak tersesat.” 

“Siapa namamu?”

Nonna.”

“Di mana keluargamu, Nonna?”

“Ibu bilang aku harus menunggu di sini.”

“Kamu tahu, berapa lamanya itu?” 

“Tepat sebelum lonceng berbunyi sepuluh kali.”

Sekarang sudah lewat pukul dua siang. Jika gadis kecil itu benar-benar menunggu ibunya lebih dari empat jam, aku mulai bertanya-tanya apakah ia telah ditinggalkan. Rambutnya agak kusut, kulit dan gaunnya pun tampak sedikit kotor.

“Kamu lapar? Aku bisa belikan makanan. Lalu aku akan menunggu ibumu bersamamu.”

Gadis itu mengangguk, Jadi aku pun meraih tangannya dan membantunya berdiri, lalu kami berjalan menuju deretan kedai makanan. Nonna terlihat sangat haus, Kemudian aku membelikan air yang dicampur dengan sari jeruk yang dikenal sebagai “jus buah” dan dia langsung menghabiskannya dalam sekali teguk.

Aku membelikannya satu lalu memesan dua roti lapis berisi daging panggang dan mentimun. Setelah itu, kami kembali ke bangku.

Begitu Nonna hendak menggigit makanannya, matanya membesar seolah baru teringat sesuatu. “Terima kasih,” ucapnya, sebelum langsung melahap roti dengan rakus.

Aku bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.

Ibunya tak kunjung datang. Nonna tampak cukup sopan, jadi sepertinya ia dibesarkan dengan pengasuhan yang layak. Mungkin ibunya jatuh miskin, atau menemukan kekasih baru yang tak ingin mengurus Nonna.

Aku bertanya tentang ayah Nonna, tapi sepertinya dia tidak punya ayah. 

“Cobalah makan sedikit lebih pelan supaya tak tersedak, oke?”

“Oke.”

“Aku punya botol air lain untukmu. Minumlah itu sambil makan.”

“Oke.”

“Berapa umurmu, Nonna?”

“Enam.”

Aku sendiri baru berusia delapan tahun ketika usaha ayahku bangkrut. Saat itu aku hampir dikirim bekerja sebagai pembantu tinggal-serumah, sebelum akhirnya Lancome menemukanku dan membawaku pergi.

Meskipun begitu, mungkin lebih tepat kalau kukatakan bahwa orang tuaku menjualku padanya. Tapi mereka memang tidak punya pilihan lain, jadi aku tak pernah menaruh dendam. Malah, aku merasa lega karena setidaknya aku bisa membantu keluargaku.


Begitu Nonna selesai menyantap roti lapisnya, matanya mulai terpejam. 

“Kasihan sekali. Kamu pasti sudah menunggu di sini terlalu lama.”

Ia tertidur pulas dengan kepalanya bersandar di pangkuanku. Meski agak kotor, jelas sekali ia gadis kecil yang cantik, berambut pirang dan bermata biru keabu-abuan. Persis tipe anak yang akan jadi incaran tanpa ragu bagi orang-orang berniat jahat.

Aku benar-benar bersyukur bisa menemukannya lebih dulu.

Kami menunggu hingga senja tiba, tapi ibunya tak kunjung datang.

Dia memang sudah ditinggalkan.

Nonna masih terlelap, jadi aku menggendongnya di punggung sambil mencari pos penjagaan. Kemungkinan besar, para penjaga akan mengirimnya ke panti asuhan, tempat ia harus menunggu ibunya. Saat pikiran itu berkelebat, aku melihat seorang pemuda berlari kencang ke arahku.

Sepertinya berbahaya… aku harus menghindar darinya.

Dia memeluk erat sebuah tas yang jelas milik seorang wanita. Itu berarti dia pencopet. Aku sedang menggendong Nonna, tapi tak ada pilihan lain. Jika aku masih seorang mata-mata, aku pasti akan mengabaikannya. Tapi sekarang aku hanyalah warga biasa dengan niat baik. Mungkin aku terlalu terbawa suasana di hari pertamaku sebagai orang bebas, dan akhirnya bereaksi tanpa banyak pertimbangan.

Aku bersiap, dan sesaat pria itu melewatiku, langsung kusodorkan kakiku, membuatnya tersungkur dengan keras thud!

Ilustrasi Victoria Bab 1 dari Seri Tefuda ga Oome no Victoria | Yomi Novel
Ilustrasi Victoria menjegal Pencuri

“Aduhh!”

Seorang pria berotot berambut perak yang mengejarnya segera menyusul si pencopet dan menagkapnya dalam waktu singkat.

“Menyerahlah!” teriaknya.

Entah kenapa, pria itu membawa seutas tali tipis yang digunakannya dengan cekatan untuk mengikat tangan pencopet. Lalu ia menoleh padaku.

“Terima kasih atas bantuanmu, nona.” 

“Sudah sewajarnya. Maaf, apakah pria itu akan kamu serahkan pada penjaga? Bolehkah aku ikut?” 

“Hm? Kenapa?” 

“Begini, aku rasa anak perempuan ini mungkin ditinggalkan.”

Tatapan pria berambut perak itu berpindah ke arah Nonna di punggungku. 

“Baik, aku bisa membawamu ke sana.”

Ia tidak menambahkan komentar lain. Tak lama kemudian, seorang wanita tua berpenampilan aristokrat datang terengah-engah, dan Pria itu mengembalikan tas kepadanya. Wanita berambut putih salju itu membungkuk dengan anggun beberapa kali sebelum pergi.

Pria berambut perak itu menyeret pencopet sambil menunjukkan jalan menuju pos penjagaan. Ia memperkenalkan diri sebagai Jeffrey Asher. Dari penampilannya ia tampak berusia awal tiga puluhan dan tubuh berotot yang jelas terlatih. Tingginya sekitar seratus sembilan puluh sentimeter dan beratnya delapan puluh kilogram. Pakaian yang dikenakannya terlihat cukup mahal, menandakan ia hidup berkecukupan. Ia punya mata biru tua, wajah tampan, dan suara yang sangat enak didengar. Aku bisa menduga ia cukup populer di kalangan wanita.


Pos penjagaan itu sendiri berupa bangunan dua lantai di pusat kota. Dua penjaga bersenjata pedang berdiri di depan pintu, dan segera menegakkan tubuh begitu melihat Tuan Asher.

“Aku berhasil menangkap pencopet.”

“Terima kasih, Kapten!”

Kapten? Kalau pria ini anggota penjaga kota, mereka pasti menyebutnya Komandan. Jadi, ia pasti kapten kesatria atau militer. Karena ia memakai pakaian sipil, berarti ini hari liburnya.

“Dan siapa wanita ini?”

“Ia menemukan seorang anak yang sudah ditelantarkan. Bisakah kau membantunya?”

Seorang penjaga membimbingku ke jalur sebelah kiri, sementara Tuan Asher menggiring si pencopet ke arah kanan. Aku menjelaskan bagaimana aku menemukan gadis kecil itu, menunjukkan dokumen identitasku, lalu menandatangani berkas dengan nama Victoria Sellars. Setelah semua urusan selesai, aku mengajukan pertanyaan yang sedari tadi mengganggu pikiranku.

“Bagaimana dengan Nonna malam ini?”

“Dia harus bermalam di sini. Aku akan menghubungi panti asuhan, tapi paling cepat baru besok ada orang yang bisa datang menjemputnya.”

Setelah menunggu ibunya begitu lama tanpa hasil, kini Nonna harus menginap sendirian di pos penjagaan. Itu mengingatkanku pada hari ketika aku dibawa ke fasilitas organisasi mata-mata. Aku ingat menangis sampai tertidur karena takut dan kesepian di kamar asing itu.


“Apakah mungkin aku membawanya ke hotelku malam ini? Aku baru tiba di kerajaan ini, jadi tak ada seorang pun yang bisa menjaminku. Tapi hatiku terasa perih membayangkan meninggalkannya setelah seharian menunggu bersamanya.”

“Tidak ada yang bisa menjamumu? Hmm… Kalau ada orang terpandang yang mau jadi penjaminmu, aku bisa memberikan izin. Tapi tanpa ada yang memverifikasi kalau kau benar tamu di Hotel Fruud seperti yang tertulis di sini, kami tak bisa berbuat apa-apa.”

Itu masuk akal. Mungkin memang tak ada gunanya memaksa. Aku hampir saja menyerah, ketika tiba-tiba sebuah suara terdengar dari belakangku.

“Aku bisa memastikan apakah dia benar tinggal di Hotel Fruud. Toh hari ini liburku. Satu-satunya alasan aku berhasil menangkap pencopet tadi juga karena dia yang menjegalnya.”

“Begitukah? Nona Sellars, terima kasih banyak atas kerja samamu! Dan ya, akan sangat membantu kalau kau bisa mengecek hotel itu, Kapten.”

“Tidak masalah. Anggap saja balasan untuk bantuannya saat penangkapan tadi. Lagi pula, aku tak tega membiarkan gadis kecil ini bermalam sendirian di pos penjagaan yang kotor begini.”

“Tolong jangan sebut kotor,” kata penjaga itu sambil terkekeh pahit. 

Bagaimanapun, ia akhirnya mengizinkanku membawa Nonna ke kamarku untuk malam ini.


“Aku bisa menggendong gadis kecil ini.”

“Terima kasih, aku sangat menghargainya.”

Tuan Asher dengan mudah mengangkat Nonna ke dalam pelukannya, dan kami berdua berbincang sepanjang jalan. Suaranya dalam, dengan nada halus berbalut kelembutan yang bisa kudengar sepanjang hari.

Ia memberitahuku bahwa ia adalah kapten dari Ordo Kedua para kesatria, yang bertugas menjaga ketertiban di ibu kota. Mereka adalah organisasi yang lebih tinggi kedudukannya dibanding para penjaga kota.

“Dari mana asalmu, Nona?”

Randall, kerajaan tetangga.”

“Berapa lama kau berencana tinggal di sini?”

“Seluruh keluargaku meninggal dalam kebakaran rumah, jadi aku datang kemari untuk memulai hidup baru.”

Aku menyampaikan cerita penyamaranku tanpa ragu. Tidak ada salahnya membuat kesan baik pada kapten kesatria. Kunci cerita penyamaran yang bagus adalah menjawab dengan ramah sambil tersenyum, serta menyelipkan sebanyak mungkin kebenaran; itu membuatnya lebih mudah diingat dan mengurangi risiko ketahuan berbohong.

“Bahasamu sangat fasih,” kata Tuan Asher.

“Terima kasih.” 

Kami membeli pakaian ganti untuk Nonna di perjalanan, lalu menuju hotel.


“Selamat datang kembali, Nona Sellars.” 

Pria di meja resepsionis menyapaku, dan aku menjelaskan situasi Nonna kepadanya. Tuan Asher tampak akrab juga dengan pria itu.

Ia menggendong Nonna naik ke kamarku dan meletakkannya perlahan di atas ranjang. 

“Aku sangat berterima kasih,” kataku, dan Tuan Asher berdiri tegak kembali.

“Sekali lagi, terima kasih atas bantuanmu saat penangkapan, dan juga karena mau menjaga anak ini. Kalau begitu, semoga malammu menyenangkan.”

Ia berpamitan dengan sikap resmi, lalu pergi. Aku menatapnya sejenak, kemudian mengunci pintu kamarku. Sebagai langkah tambahan, aku menyelipkan kursi di bawah gagang pintu, lalu pergi membersihkan diri.

Aku merasa jauh lebih segar setelah berganti piyama dan berbaring di samping Nonna. Perutku lapar, tapi aku tak bisa meninggalkannya sendirian di kamar, dan memesan layanan kamar terasa agak berlebihan. Jadi aku menahan lapar dan memutuskan tidur saja.

“Selamat malam, Nonna,” bisikku sambil merebahkan diri. Hari pertamaku sebagai Victoria Sellars sungguh penuh kejadian.


Keesokan paginya, aku terbangun oleh suara perutku yang keroncongan. Nonna sudah bangun di sampingku, menatap lurus ke wajahku.

“Pagi, Nona.”

“Selamat pagi, Nonna. Bagaimana kalau kita mandi dulu sebelum sarapan?” 

“Boleh.” 

Kami turun ke pemandian yang terletak di lantai dasar, dan aku membersihkan Nonna dengan sabun yang tersedia. Sambil melakukannya, aku memeriksanya dengan hati-hati, memastikan tidak ada tanda-tanda ia pernah disiksa. Tidak kutemukan apa-apa, hal itu saja sudah membuatku lega.

Aku mengeringkan tubuhnya dengan lembut, lalu membantunya mengenakan gaun sederhana yang kubeli kemarin dalam perjalanan pulang.

Dia sama sekali tidak bertanya apa-apa, pikirku.

Namun saat kami sedang sarapan.

Nonna tiba-tiba bergumam pelan.

“Ibuku di mana?”

“Kurasa ibumu tidak sempat kembali. Apa kau tahu pekerjaan ibumu apa?”

“Aku tidak tahu.”

“Apa yang biasanya kau lakukan kalau ibumu meninggalkanmu sendirian?”

“Aku hanya diam saja.”

“Begitu ya.”

Aku tadinya mengira Nonna hanya anak yang pendiam, tapi mungkin sebenarnya ia dibesarkan untuk menekan emosinya. Aku merasa bahwa ibunya tidak akan datang lagi ke rumah, dan kalaupun kembali, kecil kemungkinan ia mau benar-benar merawat anak yang sudah pernah ia tinggalkan begitu saja. Setidaknya, kalau masuk panti asuhan, Nonna tidak akan kelaparan.


“Kalau kau sedang bersama ibumu, biasanya kau melakukan apa?”

“Aku juga diam saja.”

“Ibumu sering menyuruhmu diam?”

“Ya.”

Ada banyak anak malang seperti dia. Aku tidak boleh bertanya terlalu jauh. Kasihan memang, tapi aku juga bukan orang yang bisa menampungnya, begitu kubujuk diriku sendiri.

Sarapan hotel terdiri dari roti dengan selai dan mentega, susu, sup sayur yang hambar, telur goreng, dan sosis. Nonna memakannya dengan tenang. Aku pun ikut makan dalam diam.


Kami berjalan bergandengan tangan kembali menuju pos penjaga tanpa banyak bicara. Dalam perjalanan, aku membelikannya pita kecil berwarna biru keabu-abuan di sebuah toko pernak-pernik, lalu kuikatkan di rambutnya. Mungkin itu hanya cara untuk meredakan rasa bersalahku, tapi senyum samar yang muncul di wajah Nonna membuatnya terasa sepadan.

“Terima kasih, Nona,” ucapnya tiba-tiba ketika kami sampai di depan pos penjaga.

Aku sempat bimbang apakah harus menyuruhnya jadi anak baik di panti asuhan, tapi jelas ia sudah berusaha keras jadi anak baik. Jadi aku hanya membelai kepalanya.

Masih bergandengan tangan, kami masuk ke pos penjaga dan melihat seorang wanita paruh baya sudah menunggu.

“Ah, kalian akhirnya datang,” katanya. “Saya kepala panti asuhan distrik selatan. Saya dengar Anda menampung anak ini semalam. Terima kasih banyak.” Ia lalu meraih tangan Nonna. “Baiklah, mari pergi,” ujarnya, mulai menarik Nonna pergi.

Nonna melangkah beberapa langkah lalu menoleh padaku. Dan mata itu… mata biru keabu-abuan itu…

Untuk pertama kalinya, tampak bergetar oleh emosi.

“Tunggu! Tolong tunggu,” panggilku.

“Ya? Ada apa?”

“Tidak bisakah aku saja yang merawatnya?”

Jelas sekali ini bukan kali pertama ada yang meminta hal seperti itu, karena kepala panti menjawab dengan lancar. 

“Merawatnya? Saya dengar Anda baru saja tiba di kerajaan ini, dan tinggal di hotel. Anda bahkan tidak punya penjamin, bukan? Maaf sekali, tapi saya sama sekali tak bisa mempercayakan anak ini pada Anda. Bisa saja Anda pura-pura ingin merawatnya, lalu malah menjualnya. Oh, tentu saja, ini bukan perasaan pribadi, hanya aturan yang memang harus saya taati.”

Argumen wanita itu masuk akal. Tapi aku tahu, kalau membiarkan gadis kecil ini pergi, tatapan matanya akan menghantui diriku selamanya.

“Dia punya! Dia punya penjamin!” Suara itu datang dari Tuan Asher, yang rupanya segera menuju pos setelah mendapat kabar dari salah satu penjaga. “Aku akan menjadi penjamin Victoria Sellars”

“Begitu… Kalau Kapten sendiri yang menjaminnya, tentu saya bisa lebih tenang. Baiklah, Nona Sellars. Silakan tanda tangani berkas-berkas yang diperlukan, maka gadis ini akan jadi tanggungan Anda.”

Sekali lagi, aku menandatangani dokumen itu dengan nama Victoria Sellars.


Nonna berlari-lari kecil mengitari kolam di alun-alun, sesekali mencelupkan tangannya ke dalam air. Sementara itu, aku dan Tuan Asher duduk di bangku terdekat, mengamatinya sambil bercakap-cakap.

“Aku minta maaf sudah memanggilmu di tengah pekerjaan,” kataku padanya.

“Ah, tidak masalah. Hari ini tugasku tidak terlalu berat. Lagi pula, aku memang punya kewajiban terhadap warga Ashbury. Tapi tetap saja, kenapa kau memutuskan untuk merawatnya? Kau baru bertemu dengannya kemarin, bukan?”

Nonna menoleh ke arah kami. Aku tersenyum dan melambaikan tangan. Wajahnya tetap datar, tapi ia membalas dengan lambaian kecil.

“Aku melihat sesuatu di matanya, seolah-olah berkata, tolong aku! Mungkin hanya imajinasiku. Tapi dulu, ada seorang gadis kecil dengan tatapan yang sama, dan dia mengingatkanku padanya. Tanpa sadar aku sudah menyebut namamu. Terima kasih sudah datang begitu cepat, dan aku sangat menghargai kesediaanmu menjadi penjaminku.”

Setelah hening sejenak, Tuan Asher berkata.

“Sejujurnya, aku merasa bersalah waktu kembali ke penginapanku semalam.”

“Karena apa?”

“Karena aku tahu kau tidak akan meninggalkan gadis itu hanya untuk mencari makan malam. Itu malam pertamamu di negeri asing, dan aku khawatir kau tidur dalam keadaan lapar. Entah kenapa, aku juga merasa kau pasti tidak akan memesan layanan kamar. Aku merasa bersalah karena tidak mentraktirmu makanan enak.”

Aku menatapnya dengan tak percaya. Deskripsinya begitu tepat, seolah-olah ia benar-benar melihatku semalam. Seperti bisa membaca pikiranku. Tidak heran ia bisa menjadi kapten Ordo Kedua para ksatria, yang memang ditugaskan menjaga ketertiban di ibu kota.

“Tak ada alasan bagimu untuk merasa bersalah, Kapten. Memang benar aku tak bisa keluar meninggalkannya, dan aku juga tak tega memesan layanan kamar. Kau sepenuhnya benar.” 

Aku tersenyum padanya, berusaha terlihat ramah.

“Tapi aku tetap merasa bersalah. Maukah kau membiarkanku mentraktirmu makan, malam ini? Anggap saja sebagai tanda terima kasih karena kau sudah membantu menangkap pencopet itu, sekaligus karena kau mau merawat gadis yang ditinggalkan..”

Kesungguhannya begitu tulus hingga aku tak bisa menahan diri untuk terkekeh. 

“Hanya kalau Nonna juga boleh ikut!”

Bagian 2

“Nonna, bagaimana kalau kita cari tempat tinggal untuk kita berdua? Yang ada dapurnya, supaya aku bisa masak untukmu.”

Aku menantikan saat mendengar makanan apa saja yang pernah ia coba, dan mana yang paling ia sukai.

“Memasak untukku?”

“Benar sekali. Aku cukup pandai memasak! Mulai hari ini, kau dan aku adalah keluarga. Dan aku ingin membuat banyak makanan enak untukmu. Oh—dan mulai sekarang kau bisa memanggilku Victoria. Atau Vicky, lebih suka mana.”  

“Vicky.”

“Baiklah, Nonna! Ayo kita cari rumah sewaan hari ini. Lalu malamnya, kita akan makan malam bersama kapten.”

“Baik.” jawab Nonna dengan wajah datarnya yang khas.

Meski aku bisa sangat ekspresif jika dibutuhkan dalam pekerjaanku, dalam kehidupan sehari-hari aku juga sulit menunjukkan emosi. Aku memang dibesarkan untuk menahannya.

“Nonna, ayo kita banyak tersenyum dan tertawa bersama.”

“Tertawa?”

“Iya! Seperti ini!”

Aku meraih dan menggelitik sisi tubuh Nonna. Awalnya ia terkejut, tapi tak lama kemudian ia terpingkal-pingkal tertawa. Untuk pertama kalinya, Nonna benar-benar terlihat seperti gadis kecil berusia enam tahun pada umumnya. Sangat menggemaskan.

“Kau imut banget, Nonna. Kau harus berhati-hati supaya orang jahat tidak membawamu pergi. Aku harus mengajarimu cara melindungi diri.”

“Melindungi diri?”

“Betul. Ada hal-hal yang bisa kau lakukan untuk menjaga keselamatanmu, namanya bela diri. Kalau sesuatu yang menakutkan terjadi, terkadang tidak cukup hanya berteriak atau menangis. Akan bagus kalau kau tahu cara melindungi dirimu sendiri.”

“Baik.”

“Aku akan mengajarimu sedikit demi sedikit. Tapi pertama-tama, kita harus mencari tempat tinggal.”

“Iya!”

Semakin banyak kartu yang kau miliki dalam genggaman, semakin baik—bahkan untuk seorang anak kecil.


Aku dan Nonna berkeliling ke berbagai agen sewa dan berhasil mempersempit pilihan ke dua lokasi potensial, lalu kembali ke hotel. Meski aku sudah bilang ke semua orang, “Dia anak yang sangat pendiam,” banyak yang menolakku dengan alasan aku punya anak. Padahal mereka sendiri dulu juga pernah jadi anak kecil!

Diam-diam aku mengutuk para tuan tanah itu, berharap setiap kali mereka keluar rumah, mereka menginjak kotoran anjing.

“Nonna, nanti malam aku akan pergi melihat dua tempat yang sudah kita pilih. Jadi kalau kau terbangun dan tidak melihatku, jangan khawatir. Tinggal tunggu aku pulang, ya?”

“Aku pengin ikut.”

“Itu sudah larut malam sekali, jadi aku tidak bisa membawa anak kecil bersamaku.”

“……”

Nonna mungkin tidak ingin ditinggal sendirian malam-malam. Tapi berjalan-jalan dengan anak enam tahun di jam itu jelas berbahaya.

“Benarkah aku tidak boleh ikut?” tanya Nonna.

“Di luar sana banyak orang jahat pada malam hari. Aku bisa mengurus mereka dengan baik kalau sendirian, tapi akan sulit melawan mereka kalau kau ada bersamaku.”

“Tapi aku tidak mau sendirian di rumah.”

Hmm. tidak mengherankan, mengingat ia jelas terlalu sering ditinggal sendirian. Mungkin ia takut kalau aku juga akan meninggalkannya.

“Baiklah kalau begitu. Tapi kau harus berjanji padaku, kalau aku menyuruhmu diam, kau tidak akan bersuara, apa pun yang terjadi.”

“Oke.”

“Dan kalau aku suruh lari, jangan khawatirkan aku. Lari saja secepat mungkin dan sembunyi.”

“Aku bisa lakukan itu”

“Dan jika aku bilang berteriak, teriaklah sekeras-kerasnya.”

“Aku juga bisa itu..”

“Dan kalau aku bilang jangan bergerak, jangan gerakkan otot sedikit pun.”

“Oke.”

Aku tidak tega menyuruh Nonna tetap di sini sendirian setelah melihat tatapan putus asanya. Selain itu, aku khawatir ia akan begitu cemas sampai-sampai meninggalkan kamar. Setelah kupikir-pikir, aku bisa menghadapi apa pun yang terjadi, bahkan jika dia ikut bersamaku. Lagi pula, aku sudah pernah melarikan diri sambil melindungi orang-orang yang ketakutan dan tidak bisa bergerak. Dalam skenario terburuk, aku bisa menggendong Nonna di bahuku dan kabur.

Kini, aku sadar betul bahwa orang biasa jarang benar-benar bertemu dengan orang yang berniat jahat, aku kini termasuk dalam kategori orang biasa itu.

“Baiklah. Mari kita tidur siang dulu yang panjang sebelum pergi makan malam bersama kapten.”

“Oke!”

Malam itu, kami berdua tidur berhadapan sementara aku menepuk punggung Nonna. Ia tertidur dengan sangat cepat. Aku pun bangkit pelan-pelan dan mulai berlatih. Tubuhku agak melemah karena diet ketat dan kurang olahraga demi persiapan meninggalkan organisasi.

Setelah latihan kekuatan otot, aku mandi cepat untuk membersihkan keringat, lalu memakai riasan tipis dan mengenakan gaun yang kubeli saat bepergian di Randall. Aku kemudian membangunkan Nonna. Ia bangun tanpa rengekan sedikit pun, sesuatu yang tidak biasa bagi seorang anak. Tapi kalau dipikir lagi, mungkin ia memang dibesarkan di lingkungan yang tidak pernah mengizinkannya bersikap seperti anak kecil.


Butuh beberapa menit sebelum Nonna benar-benar terbangun.

“Kau cantik sekali, Vicky.”

“Makasih. Ayo, sekarang giliranmu ganti baju.”

Aku membantunya mengenakan gaun yang kami beli sepulang dari pos penjaga dan menyisir rambutnya. Ya, dia memang sangat menggemaskan. Dia mengambil pita biru miliknya. Pita itu ia lipat dengan hati-hati kemarin dan diletakkan di atas meja rias.

“Mau pakai ini?”

“Iya. Aku belum pernah punya pita sebelumnya.”

“……”

Nada bahagia dalam suaranya justru membuat kalimat itu terdengar semakin menyedihkan. Aku melilitkan pita biru itu di rambut pirangnya yang lembut, lalu mengikatnya menjadi sebuah pita di atas kepalanya. Dia terlihat seperti boneka kecil 

“Kapten itu beruntung sekali bisa makan malam dengan gadis cantik seperti ini! Apa makanan favoritmu, Nonna?”

“Roti Gulung.”

“…Baiklah. Nanti kita cari makanan lain yang juga kau suka. Kita bisa makan macam-macam makanan enak setiap hari. Aku yang akan memasaknya untukmu.”

“Aku juga mau masak.”

“Tentu! Aku akan mengajarimu. Aku akan ajarkan semua yang aku tahu, Nonna.”

“Makasih.”

“Sama-sama. Kita akan bersenang-senang tinggal bersama nanti..”

Ternyata tidak buruk sama sekali; punya seorang anak jauh lebih menyenangkan daripada yang kubayangkan.

Saat itu, terdengar ketukan di pintu.

“Ya, siapa itu?”

“Ini aku, Jeffrey Asher.”

“Selalu ingat, jangan langsung buka pintu kalau ada yang mengetuk, meskipun kau sudah menunggu seseorang. Kalau ada lubang intip, gunakan itu. Kalau tidak ada, tanyakan dulu siapa dia dan pastikan kau mengenali suaranya. Jangan pernah lupa itu, ya?”

“Baik.”

Aku membuka pintu dan melihat Tuan Asher berdiri di sana, mengenakan setelan berwarna biru navy yang begitu gelap hingga hampir terlihat hitam. Ia lebih tinggi satu kepala dariku. Ya, jelas saja dia populer di kalangan wanita, pikirku sekali lagi. Aku tidak tahu apakah dia sudah menikah atau masih lajang. Tapi sekarang aku punya Nonna untuk kujaga, jadi sepertinya itu bukan lagi urusanku.

“Selamat malam, Kapten.”

“Wah, kalian berdua terlihat cantik sekali! Aku rasa kita akan menikmati makan malam yang menyenangkan.”

Aku menggandeng tangan Nonna, dan kami bertiga berjalan menuju restoran. Tuan Asher melangkah sedikit lebih pelan agar kami bisa mengikutinya. Ia memang pria yang penuh perhatian.

Nonna tampak lebih bersemangat melangkah. Aku sendiri juga menantikan makan malam ini.

Bagian 3

Tuan Asher membawa kami ke sebuah restoran bernama Ivy, dan sesuai namanya, dinding luarnya dipenuhi sulur-sulur ivy yang menjalar.

Semua orang di sana tampaknya mengenalnya; jelas bahwa kapten ksatria ini dihormati sekaligus dikagumi oleh masyarakat ibu kota. Namun ada satu hal yang mengganggu pikiranku. baik pria yang mengantar kami masuk maupun seorang wanita yang tampaknya supervisor ruang makan sempat menunjukkan keterkejutan sejenak ketika melihat Nonna dan aku bersamanya.

“Sepertinya semua orang di sini mengenalmu, ya? Apa tidak apa-apa kamu membawa kami ke mari?” Tanyaku ke Aster.

“Hmm? Tidak masalah sama sekali. Aku ini bujangan santai. Aku tidak keberatan siapa pun melihat kita keluar bersama.”

“Oh, begitu. Syukurlah. Kalau ada seseorang yang menyukaimu, aku tidak mau jadi sasaran kecemburuan.”

“Tak ada orang seperti itu.”

Oh, pasti ada. Banyak sekali, aku yakin itu.

Nada bicara Tuan Aster terdengar santai, tapi aku penasaran apakah ia berkata jujur. Sulit mengabaikan pesona dewasa yang ia pancarkan, terlebih dengan kemeja hitamnya yang sedikit terbuka.

Seorang pria yang tampaknya kepala pelayan datang untuk mencatat pesanan kami. ku membiarkan Mr. Asher yang memilihkan makanan untukku dan Nonna. Tak lama kemudian, makanan pembuka disajikan bersama anggur putih untuk kami berdua, serta segelas jus buah untuk Nonna, dan Kami bertiga bersulang. Nonna tampak menggemaskan saat meneguk minumannya.

Makanan pembuka terdiri dari scampi panggang di tusukan logam yang dibaluri minyak zaitun, serta canapé kecil yang terbuat dari roti tipis berlapis mentega herbal, dihiasi ham premium dan taburan herba cincang.

Scampi itu manis dan lezat. Nonna jelas menyukainya, sebab ia melahapnya tanpa ragu. Saat aku memperhatikannya, aku menyadari Tuan Asher sedang menatapku.

“Ada apa?” tanyaku.

“Tidak, aku hanya berpikir kau sepertinya benar-benar menyayangi anak-anak.” 

“Aku tidak yakin soal itu. Aku hanya benar-benar menyayanginya.”

Segala sesuatu yang ia lakukan begitu rapi, dari cara duduknya hingga cara makan. Ia pasti mendapat didikan yang baik.

“Aku harus menunggu sampai selesai bekerja untuk mengajakmu makan malam. Semoga Nonna tidak terlalu mengantuk.”

“Tadi aku tidur siang,” kata Nonna. “Setelah ini, kami akan mencari tempat tinggal.”

A-Astaga, aku lupa memperingatkannya untuk tidak membocorkan itu! Sesuai dugaanku, Tuan. Asher menaikkan alis..

“Maksudmu, kalian sedang mencari tempat sewa? Setelah makan malam? Tidak aman membawa anak kecil keluar malam-malam.”

“Aku tahu, tapi kalau aku menandatangani kontrak tanpa memeriksa tempat itu di malam hari, aku mungkin akan menyesalinya.”

“Kalau begitu, biarkan aku ikut. Terlalu berbahaya untuk seorang wanita dan anak kecil berjalan sendirian malam hari.”

Aku sudah menduga dia akan berkata begitu. Lagipula dia kapten Ordo Kedua. Tapi kalau ia ikut, aku tak akan bisa menempelkan telinga ke dinding atau pintu untuk mendengar keadaan sekitar unit yang sedang kuperiksa.

“Aku tahu ini mungkin merepotkan, tapi tolong izinkan aku mengawal kalian. Sebagai penjamin, sudah jadi tanggung jawabku memastikan keselamatanmu.”

“Itu sama sekali tidak merepotkan. Justru membuatku lega,” jawabku sambil tersenyum ramah.

Makan malam berjalan lancar. Nonna tidak tahu cara memakan daging dari tulangnya, jadi aku memotongkannya menjadi potongan kecil, lalu menyeka sisa sup dari mulutnya. Rasanya hangat di hati.

“Daging apa ini?” tanyanya. 

“Daging domba panggang dengan herba.” 

“Hmm.”

Dia tampak menyukainya. Aku harus memasak itu untuknya nanti kalau kami sudah pindah ke tempat baru.

Setelah perut kenyang, kami meninggalkan restoran dan berjalan santai sejenak. Jam berdentang sembilan ketika kami sampai di pilihan pertama tempat sewa. Setibanya di gedung. Tuan Asher segera memeriksa keadaan sekitar.

“Yang mana?” tanyanya.

“Yang pojok di lantai dua,” kataku sambil menunjuk jendela yang gelap.

Sebenarnya aku agak ragu memberi tahu orang yang baru kukenal di mana aku akan tinggal. Tapi mungkin aku terlalu waspada; tidak semua wanita bersikap sepertiku. Dan jujur saja, sangat kecil kemungkinan Tuan Asher tiba-tiba menyerbu kamar kami dan membunuh kami—lagi pula, bahkan kalau dia mencoba, aku ini mantan mata-mata.

Akan bodoh jika terus-menerus menaruh curiga pada setiap gerak-gerik Tuan Aster. Dia bukan agen atau pembunuh bayaran, dan mengingat betapa sedikit jumlah orang seperti itu dibandingkan populasi umum, faktanya aku sudah pernah bertemu mereka saja rasanya seperti sebuah keajaiban.

Aku jadi teringat ucapan seorang psikolog organisasi dulu, dia berkata sambil terkekeh, “Chloe, menurutku satu-satunya alasan kau bisa bertahan hidup sampai usia sembilan belas tanpa menghancurkan dirimu sendiri hanyalah karena keberanianmu yang nekat itu.”


Aku memeriksa kedua lokasi.

Di tempat pertama, aku berdiri di depan pintu dan dengan hati-hati mendengarkan keadaan lingkungan sekitar. Seorang wanita di lantai bawah sedang menjerit-jerit histeris pada seseorang, yang membuat Nonna ketakutan. Aku langsung coret tempat itu dari daftar.

Apartemen kedua dipenuhi sampah di tangga dan jelas tampak kumuh, jadi terpaksa aku coret juga.

“Terima kasih banyak untuk malam ini. Makanannya enak sekali. Aku benar-benar berterima kasih kamu sudah mengajak kami makan” kataku pada Tuan Asher.

“Aku tak bisa merekomendasikan salah satu kamar itu untukmu.”

“Aku setuju. Aku harus terus mencari lagi.”

Nonna sudah agak lelah, jadi Tuan Asher menggendongnya sambil berjalan. Rupanya ia berniat mengantar kami sampai kembali ke hotel.

“Kapten, biar aku saja yang menggendongnya pulang. Kamu sudah mentraktir kami makan malam, lalu menemaniku melihat tempat sewa. Aku tak mungkin terus merepotkanmu. Terima kasih banyak atas semua yang kamu lakukan hari ini,” kataku tegas. 

Tapi Tuan Asher hanya melirikku dengan ekspresi yang seolah berkata, “Kau tidak serius, kan,” dan tetap melangkah tanpa memedulikanku.

Huh? Tepat saat itu, ia berbicara, masih menatap lurus ke depan.

“Kau baru saja datang dari Randall. Aku tidak tahu bagaimana keadaan di sana, tapi di kerajaan ini, berbahaya bagi seorang wanita dengan anak kecil berjalan sendirian malam-malam. Biar aku antar kalian pulang.”

Begitu, ya.

“Baiklah, kalau kamu bersikeras. Terima kasih banyak.”

“Kau terlalu kaku.”

“Benarkah?”

“Ya. Meski begitu, aku harus memuji kemampuanmu berbicara bahasa Ashburian. Fasih sekali.”

“Aku senang mempelajari berbagai bahasa di waktu luang.”

“Semoga ini tidak terdengar seperti mengorek, tapi pekerjaan apa yang kau lakukan di Randall dulu?”

Aku memberinya senyum jujur. “Macam-macam. Mungkin kalau kita bertemu lagi, aku bisa ceritakan lebih banyak.”

“Aku menantikannya.”

“Baiklah.”

Kami tiba di hotel, dan seperti sebelumnya, Mr. Asher menggendong Nonna sampai depan kamarku. Kali ini, aku menerimanya langsung di pintu dan berpamitan di sana.

“Aku benar-benar menikmati malam bersamamu, Kapten.”

“Aku juga. Selamat malam.”

“Selamat malam.”

Ia berbalik dan berjalan pergi, melambaikan tangan. Aku membawa Nonna masuk dan membaringkannya di tempat tidur, mengganti bajunya dengan piyama, lalu menyelimuti tubuh mungilnya.

Setelah itu, aku berlutut di lantai untuk memeriksa apakah ada jejak kaki. Seperti kebiasaanku, sebelum pergi tadi aku sudah menaburkan lapisan tipis bedak bayi di lantai.

Tidak ada jejak kaki. Tidak ada tanda-tanda ada orang yang membuka laci. Yah wajar, tentu saja.

Aku buru-buru turun ke lantai satu untuk mandi membersihkan diri. Aku memutuskan besok akan mulai mencari pekerjaan. Kalau sudah dapat penghasilan, aku bisa lebih leluasa mencari tempat tinggal di sekitar sini.

Aku berlari kembali ke lantai atas dan melihat Nonna masih tertidur lelap.

“Aku rasa kita akan menjalani kehidupan yang indah bersama,” bisikku pelan padanya. Bibirnya melengkung sedikit dalam tidur, seakan tersenyum. Aku ingin ia bermimpi indah, dan aku ingin ia punya masa kecil yang bahagia.


Adik perempuanku, Emily, masih balita ketika aku meninggalkan rumah. Sambil mengurus Nonna, aku bertanya-tanya, apakah aku akan bisa merawat adikku seperti ini seandainya aku tetap tinggal bersama keluarga.

Dan seandainya aku tetap di rumah alih-alih pergi saat umur delapan tahun, apakah orang tuaku akan merawatku seperti ini? Merawat Nonna hampir membuatku merasa seperti mendapatkan kembali masa kecil yang telah kulewatkan.

Hanya dalam dua hari, aku sudah benar-benar dekat dengan Nonna.

“Hal pertama yang harus dilakukan adalah—aku harus mencari pekerjaan..”

Aku punya cukup uang untuk bertahan hidup tanpa bekerja, tapi aku ingin punya penghasilan. Idealnya, aku akan mengambil pekerjaan penerjemahan yang bisa kulakukan dari rumah. Akan lebih mudah dipercaya orang jika aku warga negara yang baik dan tekun dalam pekerjaanku. Aku berbaring di samping Nonna dan memejamkan mata.

Bagian 4

Jeffrey Asher menyesap minumannya sambil menikmati cahaya senja di malam yang indah. Ruang tamunya yang luas bersih dan sepenuhnya dihiasi barang-barang antik karya para pengrajin ahli..

Dia berada di kediaman utama keluarganya, yang diawasi oleh saudaranya, kepala rumah tangga, Earl Asher.

Meskipun tempat tinggalnya biasa merupakan asrama yang disediakan untuk kapten para ksatria, dia mengunjungi keluarganya seminggu sekali karena khawatir akan kesehatan ibunya yang sedang sakit.

“Oh, kau sudah kembali?” kata Edward, kakak laki-laki Jeffrey.

“Ya. Kau masih bekerja?”

Edward memiliki rambut perak, sama seperti dirinya—kedua saudara kandung ini mewarisinya dari mendiang ayah mereka. Edward berusia empat puluh tahun, delapan tahun lebih tua dari Jeffrey, dan cenderung cerewet terhadap adiknya, yang membuat Jeffrey sangat kesal. Seberapa sering Jeffrey mengatakan kepada Edward bahwa ia sudah berusia tiga puluh dua tahun dan tidak perlu diurus, Edward tetap tidak mau mendengarkan.

“Kudengar kau pergi ke kota dengan berdandan rapi," komentar Edward. "Itu agak aneh. Kau bersama seorang gadis, kan?”

“Apa kau datang jauh-jauh ke sini hanya untuk menanyakan hal itu padaku?”

“Ah, jangan manyun begitu. Aku senang untukmu. Sudah berapa lama sejak terakhir kali kau pergi kencan, sih?”

Jeffrey menghela napas, bertanya-tanya berapa kali lagi ia harus mengulang hal yang sama. 

“Kakak, bisakah kau berhenti memperlakukanku seperti aku ini korban tragis?”

“Baiklah, baiklah. Aku berhenti.” Edward mengangkat kedua tangannya sebagai tanda menyerah. “Jadi? Menyenangkan?”

“Menyenangkan. Aku makan malam dengan seorang wanita asing yang baru datang ke kerajaan ini, bersama gadis kecil berusia enam tahun yang ia rawat.”

“……”

“Kau sudah punya ahli waris, jadi sebaiknya kau khawatirkan dia saja. Jangan khawatirkanku. Bagaimanapun, aku mau tidur. Besok aku harus bangun pagi.” Jeffrey pun menuju kamarnya.

Victoria Sellars memang rakyat biasa, tapi caranya berbicara cerdas, dan gerak-geriknya anggun. Ditambah lagi, ia wanita dengan keberanian yang luar biasa.

Setiap wanita di ibu kota, entah mereka tahu atau tidak bahwa ia kapten ksatria, selalu menatapnya dengan penuh godaan begitu melihatnya. Itu sudah terjadi sejak ia masih muda, sehingga ia terbiasa menolak mereka hanya dengan sebuah senyuman.

Itulah mengapa segala sesuatu tentang Victoria terasa begitu menyegarkan; ia tidak berusaha bergantung padanya, tidak menatapnya seperti seonggok daging, dan langsung mau merawat seorang anak terlantar begitu pindah ke negeri asing.

Ia hanya meminta Jeffrey menjadi penjaminnya karena terpojok keadaan, dan bahkan saat itu pun terlihat jelas ia cukup enggan melakukannya.

Dia juga hampir tak percaya ketika Victoria menjegal pencopet itu.

Bagaimana jika pemuda itu bangkit dan menyerangnya? Tubuh Victoria terlalu mungil untuk melawan pria dewasa, apalagi sambil menggendong seorang anak.

Itu terasa sangat sembrono.

Namun ketika ia melihat Victoria menghadapi pencopet yang berlari ke arahnya dengan percaya diri, serta Nonna yang berada di punggungnya, Jeffrey sadar ia salah menilai dan berpikir, Oh, rupanya dia benar-benar petarung.

Meski tubuhnya ramping, seleranya makan sehat dan kuat, sesuatu yang jauh lebih menarik baginya dibandingkan para gadis bangsawan yang pura-pura menjaga citra dengan makan dalam porsi kecil.

Fakta bahwa Victoria berencana melihat apartemen larut malam juga mengejutkannya. Saat Nonna tanpa sengaja membocorkan hal itu, Victoria tampak terguncang. Ia memang tidak menunjukkannya di wajah, tetapi bertahun-tahun bergaul dengan rakyat membuat Jeffrey mampu membaca gerakan halus matanya yang mengisyaratkan kegelisahan.

Dia terpesona olehnya.

Meski menyegarkan melihat seorang wanita begitu mandiri, itu juga membuatnya khawatir. Ia ingin menawarkan bantuan, setidaknya sampai Victoria menetap.

Namun, itu pasti akan dianggap mengganggu olehnya.

Senyum pahit muncul di wajah Jeffrey ketika ia berpikir bahwa sebaiknya ia berhenti berniat membantunya. Jelas Victoria tidak menginginkannya. Dan dilihat dari hotel tempat ia menginap, sepertinya ia tidak sedang kesulitan keuangan. Ia memutuskan hanya akan membantu jika Victoria yang memintanya, dalam kapasitasnya sebagai penjamin. Itu akan menjadi terakhir kalinya ia menawarkan diri. Situasi ini saja sudah cukup untuk membangkitkan kenangan pahit dari masa lalu.


Keesokan paginya, ketika Jeffrey tiba di markas ksatria yang letaknya berada di dalam kawasan kediaman keluarga Asher, Jeffrey menyadari semua orang menatapnya dengan sorot mata aneh yang berkilat-kilat. Ada apa ini? pikirnya sambil berjalan kembali ke kamarnya. Di sana, ia disambut sekretarisnya, seorang wanita berusia empat puluhan, yang menatapnya dengan cara yang sama seperti kakaknya semalam.

“Ada apa?”

“Tidak ada apa-apa,” jawabnya dengan senyum hangat. 

Baru saat makan siang di kafetaria, Jeffrey akhirnya mengerti maksud dari semua tatapan itu.

“Kapten! Kami melihatmu! Semalam kau benar-benar bersenang-senang, ya?” kata Bob, salah satu ksatria muda. Jeffrey curiga dialah sumber semua kegaduhan ini, lalu memanggil Bob mendekat.

“Kau pasti punya banyak waktu luang kalau masih sempat bergosip begitu. Datanglah ke lapangan latihan jam satu. Sudah lama aku tidak memberimu pelatihan menyeluruh.”

“Apaaaa?”

Reaksi Bob begitu menyedihkan sampai-sampai Jeffrey hampir tertawa, meski ia tetap berusaha mempertahankan wajah tegasnya.


Tiga minggu berlalu sejak makan malam Jeffrey bersama Victoria dan Nonna. Ia tetap berpegang pada keputusannya untuk tidak menawarkan bantuan, tapi hari itu, ia mendatangi hotel tempat Victoria menginap, dalam kapasitasnya sebagai penjamin.

“Apakah Nona Victoria Sellars masih tinggal di sini?” tanyanya. Resepsionis menyerahkan sepucuk surat.

Namanya tertulis di amplop dengan tulisan tangan indah nan feminin. Ia segera membukanya.


Kepada Kapten Jeffrey Asher, Komandan Ksatria Ordo Kedua

 

Sudah lama tidak bertemu.

Terima kasih banyak karena telah bersedia menjadi penjaminku sehingga saya bisa merawat Nonna. Restoran tempatmu mengajak kami makan malam sungguh indah.

Saat pertama kali pindah ke sini, saya merasa cukup kesepian, tetapi Anda memberi saya begitu banyak dorongan semangat. Saya sungguh berterima kasih atas semua yang telah Anda lakukan.

Nonna dan saya baik-baik saja. Saya berhasil mendapatkan pekerjaan dan juga tempat tinggal. Mohon maaf karena pindah tanpa sempat memberi tahu sebelumnya.

Saya mendengar bahwa di kerajaan ini, seseorang yang mengasuh anak yatim harus melapor setiap bulan kepada penjaminnya. Saya akan terus mengirimkan surat setiap bulan ke barak ksatria.


Sampai jumpa,

Victoria Sellars


Nada surat itu begitu formal dan kaku sampai-sampai Jeffrey tertawa kecil. Tapi ia senang mengetahui mereka baik-baik saja. Menurutnya, Victoria tidak pernah terlihat kesepian, tapi mungkin saja ia hanya menutupinya dengan sopan santun. Ia yakin cepat atau lambat mereka pasti akan berpapasan lagi. Kalau pun tidak, ia akan tetap menerima surat darinya setiap bulan.

Alamat barunya juga tertulis dalam surat; itu berada di distrik timur ibu kota, kawasan tempat para bangsawan tinggal. Bahkan, letaknya tidak terlalu jauh dari kediaman keluarganya sendiri. Ia sempat bertanya-tanya apakah Victoria mendapat pekerjaan sebagai staf yang tinggal di rumah salah satu bangsawan.

“Aku harus menyempatkan diri untuk menjenguk mereka,” gumamnya, tapi kenyataannya ia terlalu sibuk dengan berbagai urusan.

Peraturan memang mengharuskan siapa pun yang mengasuh anak yatim melapor tiap bulan pada penjaminnya, dan penjamin wajib memeriksa langsung kondisi tempat tinggal anak tersebut untuk memastikan laporan itu benar.

Batas waktu pemeriksaan itu sebentar lagi akan tiba.

About the author

Koyomin
Yomi Novel adalah blog fan translation yang menerjemahkan web novel (WN) dan light novel (LN) Jepang pilihan ke dalam Bahasa Indonesia. Nikmati kisah fantasi, romansa, hingga dark story dengan terjemahan berkualitas dan update rutin.

Gabung dalam percakapan