Danganronpa Kirigiri Jilid 1 Bab 1

Danganronpa Kirigiri (ダンガンロンパ霧切) Volume 1 Chapter 1 - Pertemuan di tempat yang ditakdirkan antara Samidare Yui dan Kirigiri Kyoko
Ilustrasi Pertama Bab 1 - Danganronpa Kirigiri Volume 1

Pembunuhan di Observatorium Sirius 1

Aku merasa seolah aku menumpahkan begitu banyak air mata saat tidur.

Mengapa ya, aku menangis?

Apakah karena ada hal yang menyedihkan?

Atau, karena aku melihat mimpi itu?

Aku sungguh tidak tahu alasannya.

Pipi ini basah kuyup oleh air mata.

Saat aku mencoba menyeka wajah, aku merasakan keanehan yang mencolok.

Tangan kananku tidak bisa mencapai wajahku.

Rasa sakit menjalar di pergelangan tangan.

Rangsangan itulah yang membuat kesadaranku sedikit demi sedikit terbangun.

Perlahan-lahan aku mengangkat kepala yang masih terasa linglung, dan melihat ke pergelangan tangan kananku.

Terpasang di sana sebuah gelang yang belum pernah kulihat. Itu adalah gelang hitam yang mengilap dan tampak kokoh. Bahkan ada rantai yang menghiasinya, yang jelas-jelas sulit sekali disebut imut.

Ini sama sekali bukan seleraku.

Yang paling bermasalah adalah rantainya. Ketika aku mencoba menggerakkan lengan kanan, rantai itu menegang dan mencegahku bergerak. Lengan kananku terkunci dalam posisi terentang ke atas kepala.

Mengikuti ujung rantai dengan mata, aku melihat gelang lain, yang terpasang pada kaki ranjang.

Di tengah kesadaran yang terasa seperti diselimuti kabut, akhirnya aku mulai memahami situasi yang kualami.

Aku tidak berada di atas ranjang, melainkan terjerembap di lantai. Rupanya, lengan kananku terikat pada kaki ranjang oleh borgol, membuatku tak bisa bergerak dari tempatku. Hanya lengan kanan yang terkekang, sisanya tampak masih bisa digerakkan.

Aku merangkak mendekati ranjang, dan ketika mencapai titik di mana lengan kananku lumayan leluasa, aku menumpukan kedua tangan ke lantai dan perlahan mengangkat tubuh bagian atas.

Aku merasa pusing.

Sebenarnya, apa yang terjadi?

Mengapa aku bisa tergeletak di tempat seperti ini?

Saat aku mencoba mengingat, ingatan itu dipenuhi oleh bunyi mendesis (noise). aku mencoba fokus dan mencari ingatan sebelum ini.

Yang pertama kali muncul di benak adalah papan nama terkutuk itu.

Kata-kata yang tertulis di sana terlintas kembali dalam pikiranku sejenak.


『Selamat Datang di Observatorium Sirius Pemandangan Terindah』


Papan nama yang tampak mencuat di tengah senja yang samar itu, entah ulah iseng siapa, huruf Kei (景—pemandangan) dicoret dengan cat semprot merah, lalu diubah menjadi huruf Bō (望—keputusasaan).


『Selamat Datang di Observatorium Sirius Keputusasaan』

TN Yomi: Penggunaan kanji 絶景 (Zekkei - Pemandangan Indah) yang diubah menjadi 絶望 (Zetsubo - Keputusasaan)

Ilustrasi Kedua Bab 1 - Danganronpa Kirigiri Volume 1

Ya, tempat ini adalah bangunan yang disebut Observatorium Sirius. Ini adalah observatorium milik pribadi, yang jika dilihat dari atas, keseluruhan bangunannya berbentuk bintang. Masing-masing segitiga sama kaki dari kelima sudut tajam bintang itu adalah ruang kamar tamu berdinding kaca. Sedangkan pusatnya, yang berbentuk segilima teratur, adalah aula berkubah yang konon dulunya digunakan untuk mengamati galaksi.

Rupanya, aku tergeletak di salah satu kamar tamu itu.

Lambat laun ingatanku menjadi lebih jelas.

Tidak apa-apa, aku bisa mengingatnya.

Namaku adalah...

Samidare Yui, 16 tahun.

Seorang detektif.

Kami, lima orang detektif, dipanggil ke Observatorium Sirius karena ada permintaan dari seseorang yang sangat penting. Bagi seorang detektif, permintaan adalah alasan keberadaan mereka. Apalagi jika itu adalah permintaan yang sangat misterius, kami tidak bisa memalingkan muka dari daya tariknya.

Namun, sang klien tidak pernah muncul.

Tak perlu diragukan lagi sekarang. Kami telah tertipu. Kami dikumpulkan di tempat seperti ini oleh seseorang yang merencanakan kejahatan, dan inilah yang terjadi padaku.

Seiring situasi menjadi lebih jelas, rasa takut mulai merayap. Aku tidak tahu siapa pelakunya, tetapi dalam situasi yang aneh ini, kebebasanku benar-benar terenggut. Yang paling membuatku merinding adalah kenyataan bahwa aku dipermainkan saat tak sadarkan diri. Aku harap tidak ada hal aneh yang dilakukan padaku. Setidaknya, tidak adanya rasa sakit atau luka luar adalah sebuah keberuntungan.

Aku membetulkan letak kacamataku yang melorot sambil melihat sekeliling.

Ranselku diletakkan di atas ranjang. Itu berarti, ini pasti kamarku. Jendela masih tertutup oleh tirai. Aku tidak bisa mengintip kondisi di luar, tetapi sepertinya tidak terlalu terang. Apakah ini malam hari, atau karena salju...

Di ujung ruangan, terpasang sebuah teleskop astronomi. Bukan yang kubawa, melainkan yang sudah ada di sini sejak awal. Aku ingat kami tidak bisa mengamati langit berbintang karena salju mulai turun.

Tiba-tiba aku menoleh ke belakang. Pintu masuk tertutup, jadi aku tidak bisa melihat kondisi aula segilima yang berada tepat di luar kamar.

Terlalu sunyi...

Bagaimana dengan yang lain?

Mengapa tidak ada seorang pun yang ribut dalam situasi seperti ini?

Mungkin saja yang lain juga terkunci sepertiku dan tidak bisa bergerak. Atau mungkin mereka masih belum sadar.

Aku tidak tahu siapa yang merencanakan semua ini atau apa maunya, tapi aku tidak akan membiarkan mereka bertindak sesuka hati.

Aku harus menghadapinya.

Karena aku adalah seorang detektif.

Untuk itu, pertama-tama aku harus menyelesaikan masalah borgol ini. Selama aku terikat pada kaki ranjang, jangankan berdiri, bergerak saja sulit. Ada lubang kunci di dekat pangkal rantai, tetapi kuncinya tidak terlihat.

Mustahil aku menyeret-nyeret ranjang ini saat berjalan...

Hm?

Kaki ranjang berbentuk silinder, menyangga keempat sudutnya. Borgol itu terpasang pada salah satu kaki.

Tapi ini... jika dipikir baik-baik, bukankah aku bisa menarik borgol itu keluar dari bawah kaki ranjang, asalkan aku bisa mengangkat ranjangnya?

Ini hanya ranjang kayu biasa, ukuran single size. Seharusnya, kekuatanku bisa mengatasinya.

Aku segera mencoba memegang ujung ranjang dan mengangkatnya. Meskipun lengan atasku tidak sekuat itu, aku berhasil mengangkatnya sedikit. Itu sudah cukup. Aku hanya perlu celah di bawah agar borgol yang terpasang pada kaki bisa ditarik keluar.

Mengucapkan, "Satu, dua, tiga," dalam hati, aku mengerahkan tenaga, dan kaki ranjang terangkat beberapa sentimeter.

Dari celah itu, aku menarik borgolnya.

Berhasil! Tak kusangka aku bisa mendapatkan kembali kebebasanku semudah ini.

Apakah orang yang melakukan ini padaku berpikir bahwa wanita tidak akan punya tenaga untuk mengangkat ranjang? Jika benar begitu, aku patut bersyukur atas kecerobohan mereka.

Aku akhirnya bisa berdiri.

Kepala terasa sedikit pening, tetapi tidak apa-apa. Setelah melakukan sedikit peregangan, aku merentangkan tubuh tinggi-tinggi. Tidak masalah. Aku bisa melakukannya.

Sambil membiarkan borgol itu menggantung di lengan kananku, aku perlahan membuka pintu dan mengintip ke Aula Segilima di tengah.

Tidak ada siapa-siapa.

Aku melangkah keluar ke aula, sambil dengan hati-hati mengamati sekitar.

Di tengah aula terdapat meja bundar kayu yang sangat sederhana. Konon, dulunya di sini ada alas bundar dari besi tempat teleskop astronomi raksasa terpasang, tetapi tampaknya sudah dilepas sejak lama. Kini, pemandangannya kosong dan hampa.

Di aula itu tidak ada seorang pun, terasa sangat senyap. Aku melihat jam analog di dinding; menunjukkan pukul lewat dua belas. Melihat kegelapan di luar, pasti sudah tengah malam, sekitar waktu pergantian tanggal.

Ke mana perginya semua orang?

Aku hampir berteriak menanyakan hal itu, tetapi aku berhasil menahan diri.

Apa itu...?

Mengitari meja bundar, aku melihat sepasang kaki kecil.

Sepatu pantofel hitam dan kaus kaki hitam setinggi lutut.

Pada titik itu, aku tahu siapa pemilik kaki itu.

Salah satu detektif yang ikut bersamaku—

Kirigiri Kyōko.

Dia tergeletak begitu saja di lantai, kedua kakinya menjulur ke depan. Sepertinya dia tertelungkup.

Tidak ada tanda-tanda pergerakan.

Aku mengitari meja bundar, mendekatinya, mengikuti kedua kakinya dengan pandangan mata.

Kaki itu tampak begitu rapuh. Lekukan langsing dari betis hingga paha yang pucat menunjukkan betapa belum dewasanya gadis itu. Roknya terhampar dari pinggangnya ke lantai, mempertahankan lipatan yang rapi.

Apakah dia baik-baik saja...?

Saat aku hendak mendekat, tanpa sadar aku menghentikan langkah.

Dia berbaring miring, sisi kanan kepalanya di bawah, menghadap tepat ke arahku. Kepang rambutnya menutupi pipinya, menyembunyikan mulut mungilnya. Matanya tetap terpejam. Rona kulitnya yang dingin, yang sudah tampak sejak kami bertemu, kini terlihat semakin mencolok seolah tanpa kehangatan.

Jangan-jangan... dia meninggal?

Tidak, punggung kecilnya sedikit naik turun.

Hanya pingsan?

Aku tidak bisa memastikan dari kejauhan, tetapi aku ragu-ragu untuk mendekatinya dan memeriksa kondisi hidupnya.

Sebab, tepat di samping tangan kanannya tergeletak sepasang gunting raksasa berlumuran darah.

Mungkinkah itu gunting pangkas? Gunting yang digunakan dengan dua tangan. Bilah yang tebal itu terlihat mampu memotong cabang pohon sekuat apa pun. Biasanya benda ini digunakan untuk memangkas pohon, tapi apa yang harus dipotong sehingga noda darah menempel di sana—

Awalnya aku mengira itu darahnya, tapi tampaknya dia tidak terluka sedikit pun. Bahkan di pakaiannya atau di lantai, tidak terlihat ada bekas aliran darah.

Lalu, darah siapa yang menempel pada gunting itu?

Melihat gunting itu tergeletak di dekat tangannya, mungkinkah dia yang justru menggunakannya sebagai senjata pembunuh?

Aku ragu-ragu mendekatinya karena situasi ini membuatku ketakutan.

Sebenarnya, apa yang terjadi pada Kirigiri Kyōko?

Darah siapa itu?

Aku harus memastikan!

Untuk sementara, aku meninggalkannya di tempat itu dan berpindah di sekitar aula.

Aku menuju kamar tamu terdekat. Pintunya sedikit terbuka.

Aku perlahan mendorong pintu.

Lampu di kamar menyala. Tapi tirai jendela tertutup, aku lagi-lagi tidak tahu keadaan di luar.

Selimut di atas ranjang menggembung menyerupai bentuk tubuh manusia. Seseorang sedang tidur. Pasti salah satu detektif yang ikut bersamaku. Sejauh yang kulihat dari ambang pintu, dia tampak tidur dengan sangat nyenyak.

—Tanpa sedikit pun suara napas.

Aku berjalan mendekati ranjang dengan perasaan takut-takut.

Aku mengintip ke ranjang.

Seorang pria menatap langit-langit dengan mulut sedikit terbuka. Kalau tidak salah, namanya Amino Eigo. Detektif aktif berusia pertengahan tiga puluhan. Dia sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda menyadari kehadiranku, matanya terbuka lebar, benar-benar tertidur lelap.

"Permisi... maaf mengganggu tidurmu."

Aku mencoba memanggilnya. Tidak ada jawaban.

Aku tahu bahwa percuma saja memanggilnya. Sejak pertama kali aku masuk ke kamar ini, sudah tercium bau keputusasaan yang samar.

TN Yomi: 絶望的なにおい (Zetsubō-teki na nioi): Bau yang memancarkan keputusasaan. ku terjemahkan “bau keputusasaan”.

Pria itu tidak bergerak, matanya terbuka.

Berusaha sekuat tenaga untuk menahan diri agar tidak berteriak, aku perlahan mengulurkan tangan. Aku meraih selimut itu, lalu menariknya sedikit demi sedikit...

Saat itulah, kepala pria itu berputar menghadap ke arahku.

Bulu kudukku berdiri, dan aku melompat mundur dari tempatku. Kepala pria itu terguling di bantal, hidungnya terbenam di kasur, lalu berhenti bergerak. Mustahil memutar leher seperti itu tanpa mengubah posisi tubuh, tetapi pria itu sama sekali tidak menggerakkan bagian bawah lehernya. Bahkan, jelas sekali posisi kepala pria itu sangat tidak wajar.

Alasan itu sekarang sudah jelas terlihat setelah selimut disingkap.

Leher pria itu terpotong, kepalanya terpisah dari badan.

Di bawah selimut, terdapat genangan darah. Warna merah pekat itu seolah membakar retina mataku. Aku segera membuang muka, seolah ingin menghilangkan warna itu dari pandanganku, dan bergegas menjauhi tempat itu.

Tubuhku mulai bergetar tanpa kendali. Tiba-tiba aku merasa sangat kedinginan. Apakah suhu udara yang turun? Atau karena aku baru saja menyaksikan mayat yang mengerikan? Meskipun kedinginan, keringat dingin membanjir keluar dari sekujur tubuhku.

Aku terhuyung-huyung ke kamar tamu di sebelahnya.

Sama seperti kamar tadi, pintu itu sedikit terbuka. Dari celah itu, aku bisa melihat sekilas keadaan di dalam. Tampaknya salah satu detektif lain berada di ranjang; selimutnya menggembung.

Aku tidak ingin melihat, aku tidak ingin tahu apa pun.

Tapi aku harus melihat, aku harus tahu.

Jika aku berani menyebut diriku seorang detektif, aku harus menghadapi kenyataan.

Tidak peduli tragedi atau keputusasaan apa pun yang menanti—

Aku melangkah masuk ke kamar dan mendekati ranjang. Sekilas, tidak ada tanda-tanda ruangan telah diobrak-abrik. Sebaliknya, posisi tidur pria yang terlelap di ranjang itu bahkan bisa dibilang bersih, lurus, dan indah.

Dia mengenakan kacamata hitam abu-abu tipis. Namun, aura kematian yang memancar dari wajahnya tidak bisa disembunyikan. Enbi Shita. Detektif muda. Tidak, mantan detektif muda.

Aku menyingkap selimut, dan ternyata lehernya juga sudah terputus.

Namun, bukan hanya itu.

Aku menyadari satu fakta yang sangat aneh.

Kepala yang terlentang di atas bantal itu, tanpa diragukan lagi, adalah kepala pria bernama Enbi. Akan tetapi, tubuh dari leher ke bawah tampaknya adalah milik orang lain. Setahuku, Enbi memiliki tubuh yang berotot dan kekar. Namun, tubuh yang terbaring di dalam selimut itu adalah tubuh paruh baya yang gemuk.

Aku ingat betul sosok tubuh itu.

Itu adalah tubuh salah satu detektif yang ikut bersamaku, pria bernama Inuzuka Kō.

A-apa maksudnya ini?

Segalanya menjadi serba tidak wajar. Begitu banyak informasi yang tidak bisa diterima akal berputar-putar di dalam kepala kecilku.

Aku berlari keluar dari kamar itu, lalu pindah ke kamar di sebelahnya lagi. Kurasa aku sudah tahu apa yang akan kutemukan di sana.

Benar saja, di ranjang itu terbaring mayat Inuzuka Kō.

Namun, patut dipertanyakan apakah ini harus disebut mayat Inuzuka. Ternyata tubuhnya pun milik orang lain. Sepintas, bentuk tubuhnya berbeda dengan Enbi. Kalau begitu, tubuh itu milik Amino yang kulihat pertama kali...?

Begitu. Kepala dan tubuh dipertukarkan secara bergantian.

Aku kembali ke aula dengan sedih, mendekap diri sendiri untuk menghangatkan tubuh yang menggigil kedinginan.

Semua ini gila.

Bagaimana semua ini bisa terjadi?

Dari lima orang yang mengunjungi Observatorium Sirius, tiga di antaranya tewas. Lebih parah lagi. Mereka dibunuh dengan cara dipenggal, dan entah mengapa kepala dan tubuh mereka dipertukarkan lalu dibiarkan begitu saja.

Tidak ada orang lain di Observatorium Sirius selain kami. Juga, sekitar waktu kedatangan kami, badai salju melanda di luar, membuat bangunan ini terisolasi di tengah salju. Aku bisa berasumsi bahwa tidak ada intervensi dari pihak ketiga.

Amino Eigo.

Enbi Shita.

Inuzuka Kō.

Samidare Yui.

Kirigiri Kyōko.

Tiga di antaranya terbunuh, dan dua masih hidup.

Tentu saja aku berani bersumpah bahwa aku tidak membunuh mereka. Meskipun masih ada bagian yang tidak jelas dalam ingatanku, tidak mungkin aku membunuh tiga orang tanpa menyadari apa pun. Lagipula, siapa yang akan memborgol dirinya sendiri? Seseorang pasti telah mengunciku. Mungkin orang itu berencana membunuhku selanjutnya.

Lalu, siapa orang itu?

Berdasarkan metode eliminasi, hanya satu kesimpulan yang mungkin: pelaku adalah satu-satunya yang tersisa.

Jangan-jangan dia—

Aku kembali ke tempatnya.

Kirigiri Kyōko masih terbaring di lantai aula.

Lehernya masih menempel. Memenggal lehernya yang ramping pasti jauh lebih mudah daripada memenggal leher pria-pria lain. Namun, dia tidak menjadi korban. Padahal, senjata pembunuh yang sangat cocok tergeletak tepat di samping tangannya...

Semakin dilihat, dia memang tampak seperti gadis yang polos.

Mungkinkah gadis ini yang berkeliling, memotong leher tiga pria berturut-turut?

Hal bodoh macam apa itu... tapi...

Aku mengamatinya sambil menjaga jarak. Dia memang gadis yang manis, tapi wajahnya menimbulkan kesan yang entah mengapa terasa misterius dan penuh teka-teki. Dari cara dia berbicara, aku bisa merasakan kehati-hatiannya untuk tidak menunjukkan isi hatinya. Mungkin itu alasannya, mengapa di usianya yang masih muda ini, dia sudah menjadi seorang detektif.

Saat aku sibuk memikirkan apa yang harus dilakukan, tiba-tiba sesuatu berkilauan di tangan kirinya.

...Kunci?

Aku punya firasat seketika.

Itu kunci borgol!

Jika 'pelaku pembunuhan tiga detektif' = 'orang yang memborgolku', maka kepemilikan kunci borgol olehnya adalah bukti bahwa dia adalah si pembunuh.

Andai saja kunci itu benar-benar kunci borgol ini...

Aku harus memastikannya. Bagaimanapun juga, aku ingin cepat-cepat melepaskan borgol dari lengan kananku.

Aku mendekatinya. Aku mengulurkan tangan pelan-pelan, berusaha agar dia tidak menyadari. Untuk merebut kunci, aku harus menariknya keluar dari genggaman tangannya.

Jari-jarinya tertutup rapat, seperti kuncup bunga putih yang kecil. Aku perlahan membukanya, satu per satu.

Aku menarik kunci dengan hati-hati, lalu menjauh darinya.

Dia masih belum sadar.

Aku segera memasukkan kunci itu ke lubang kunci yang terpasang di pergelangan tanganku. Pas sekali.

Aku memutarnya.

Kunci terbuka, dan borgol pun terlepas.

Perasaan lega datang bersamaan dengan perasaan putus asa yang membanjiri diriku. Benarkah dia pelakunya? Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya, tetapi mungkin dia membunuh pria-pria itu dan memborgolku, lalu pingsan karena kelelahan. Apakah karena batas kemampuan fisiknya, atau mungkin dia mengalami anemia?

Aku mencoba memastikan kembali keaslian kunci itu. Aku memasukkannya ke lubang kunci yang satunya dan memutarnya. Sekali lagi, borgol itu terbuka disertai bunyi klik.

Saat itu, seolah bereaksi terhadap bunyi kunci, Kirigiri yang ada di kakiku bergerak sedikit.

Dia membuka mata!

Aku seketika mundur setengah langkah.

Dia membuka mata sambil berbaring miring, menatap lantai. Tak lama kemudian, dia mengangkat tubuhnya, menggosok mata, dan menatapku dengan wajah kebingungan. Dia tetap dalam posisi duduk yang rentan, tampak linglung.

Kemudian, tiba-tiba, dia melihat gunting yang tergeletak di lantai.

Seketika itu juga, ekspresi polos gadis itu tampak seolah membeku.

Dia mengulurkan tangan kanannya, mencoba meraih gunting itu.

"Jangan bergerak!"

Perintah untuk berhenti.

Namun, tangannya seolah tidak akan berhenti.

Mau tak mau.

Aku menendang lantai dan dengan cepat mendekatinya seperti sedang melompat, lalu aku memasangkan borgol di pergelangan tangan kirinya. Kemudian, aku menarik rantai secara paksa dan memasang borgol yang satunya ke pilar sandaran tangan pada kursi santai terdekat.

Tubuhnya kini terikat pada kursi. Meskipun kursi santai itu adalah kursi tunggal yang tidak terlalu besar, lengan Kirigiri yang kecil tampaknya tidak mampu menarik kursi itu. Tangan kanannya tidak lagi bisa menjangkau gunting itu.

Dia menghentikan gerakan tangannya, menatapku tanpa ekspresi. Namun, aku menyadari ada sedikit emosi menyalahkan yang tersembunyi di matanya.

"Kenapa Onee-sama melakukan ini?"

Kirigiri bertanya dengan nada tenang, tanpa sedikit pun meninggikan suara.

Onee-sama—meskipun memanggilku begitu, tatapannya sama sekali tidak menunjukkan rasa hormat. Wajar saja. Memang aku sendiri yang memintanya memanggilku begitu. Tapi tetap saja, ketika dia mengatakannya dengan wajah polos seperti itu, aku hampir salah mengira dia benar-benar adikku...

Aku menggelengkan kepala, seolah mengusir rasa sentimental yang tiba-tiba kurasakan.

"Kenapa, katamu? Justru aku yang harus bertanya," Aku menendang gunting di lantai, menjauhkannya dari dirinya. "Padahal aku pikir kita sudah menjadi rekan yang baik. Kau yang membunuh ketiga orang itu?"

"Tiga orang...? Membunuh...?"

Dia melebarkan matanya sesaat, lalu menundukkan pandangannya seperti sedang berpikir.

"Begitu... sudah terlambat, ya..."

Dia menunduk sambil tetap terduduk. Entah mengapa dia terlihat sangat patah semangat.

"Jangan berlagak bodoh. Kenapa kau membunuh mereka? Apa yang akan kau lakukan padaku?"

"Tenanglah. Aku bukan pelakunya."

"Bukan pelaku, katamu... tidak mungkin ada pelaku selain dirimu, kan! Tiga dari lima orang sudah terbunuh, sisanya tinggal kau dan aku. Kalau aku bukan pelakunya, berarti kaulah si pembunuh itu."

"Apa buktinya kalau Yui Onee-sama bukan pelakunya?"

"Bukti? Saksinya ada di sini!" Aku menunjuk diriku sendiri. "Aku baru saja pingsan dan tergeletak sampai sekarang. Ketika sadar, tiga orang sudah tewas. Fakta bahwa aku tidak membunuh mereka sama pastinya dengan fakta bahwa aku adalah siswi SMA berumur enam belas tahun, dan seorang perawan berzodiak Virgo!"

"Kalau begitu, aku juga akan menggunakan diriku sebagai saksi dan mengklaim tak bersalah."

"Tidak, kasusmu tidak sesederhana itu. Kau memegang gunting yang tampaknya senjata pembunuhan, dan kau memegang kunci borgol yang terpasang di lenganku. Bukti fisik-nya lengkap. Apa pembelaanmu mengenai hal-hal ini?"

Aku melipat tangan dan menatapnya dari atas.

Dia masih menjulurkan kaki, duduk tertekuk di samping kursi, menatapku dari bawah. Baik secara posisi maupun logika, jelas aku yang lebih unggul.

"Gunting itu baru saja menarik perhatianku. Soal kunci borgol... aku sama sekali tidak ingat memilikinya."

"Kau memegang kunci itu di tanganmu, lho!"

"Seseorang yang menaruhnya di genggamanku," 

Kirigiri menggelengkan kepalanya perlahan. 

"Sepertinya, saat aku tak sadar, seseorang mengatur situasi ini."

"Seseorang, siapa maksudmu...?"

"Entahlah? Mungkin salah satu detektif yang datang ke sini bersama kita, atau mungkin Yui Onee-sama sendiri."

"Sudah kubilang aku bukan pelakunya! Aku ini korban!"

"Kalau boleh aku berpendapat, justru Yui Onee-sama yang tiba-tiba menyerangku terlihat seperti si pelaku," 

Dia mengangkat borgol di tangan kirinya, memamerkannya.

"Aku tidak menyerangmu! Aku terpaksa melakukannya untuk membela diri. Lagipula, kau mau mengambil gunting itu, kan?"

"Jika ada gunting berlumuran darah tergeletak di lantai, bukankah wajar jika seseorang ingin mengambilnya dan memeriksanya?"

"Itu tidak normal! Aku tidak akan melakukan hal seperti itu!"

"Sebagai detektif?"

Dia memiringkan kepala, bertanya sambil menatapku dari bawah.

Aku kesulitan menjawab, dan menggigit bibirku.

"Mugh..."

"Ada orang yang dibunuh, kan? Kalau begitu, seharusnya kau lebih-lebih lagi harus memeriksa senjata pembunuhnya. Apakah luka pada korban sesuai dengan bentuk senjatanya? Apakah senjata itu bisa ditangani oleh siapa saja? Apakah ada kejanggalan? Bagaimana dengan berat dan panjangnya? Dan banyak hal lainnya..."

"Aku tahu, aku tahu itu semua!" Aku menyela, dengan sedikit keras kepala. "Tapi tidak baik mencoba menyentuhnya dengan tangan kosong, Nona Detektif. Nanti sidik jari tambahan akan menempel, kan?"

"...Benar, aku ceroboh. Aku sedikit linglung karena baru bangun tidur. Maafkan aku."

Dia meminta maaf dengan tulus.

"Atau, jangan-jangan gunting itu sudah penuh dengan sidik jarimu. Bisa juga kau mencoba menyentuhnya lagi untuk menutupi jejakmu."

"Mungkin juga bisa diartikan seperti itu," Dia menyipitkan mata, menatap gunting itu. "Apa sudah pasti senjata pembunuhnya adalah gunting ini?"

"Sepertinya begitu. Bentuknya cocok untuk memenggal leher dengan cepat."

"Memenggal leher...?"

"Ya, leher ketiga orang itu tidak tersambung dengan tubuh mereka... hei, bukankah kau yang melakukannya? Meskipun lenganmu kecil, gunting pangkas yang kokoh itu pasti memungkinkanmu untuk memotong leher dengan cepat."

Dia tidak bereaksi terhadap kata-kataku dan tetap diam sejenak.

Aku pikir dia akan menunjukkan ekspresi kecewa atau kesedihan mendalam karena dicurigai, tetapi mata gadis itu tetap tenang seperti biasanya.

Sebaliknya—

"Sepertinya ada hal yang sangat tidak masuk akal sedang terjadi."

Matanya bersinar begitu jernih dan tanpa noda, sampai bisa disebut polos.

"Yah, aku sama sekali tidak bisa memahaminya," balasku dengan tajam. "Bagaimana mungkin gadis sepertimu bisa menjadi pembunuh berantai yang abnormal..."

"Aku ulangi, aku bukan pelakunya. Apa Yui Onee-sama masih tidak mengerti?"

"Kalau begitu, siapa pelakunya? Yang lain sudah mati, lho. Mustahil mereka berpura-pura mati, karena leher mereka semua terpenggal. Atau, jangan-jangan kau masih menganggapku pelakunya?"

"Tidak," Dia menjawab tanpa ragu. "Meskipun aku berkata begitu tadi, aku rasa Yui Onee-sama bukan pelakunya."

Itu tidak terduga.

Dalam situasi ini, seharusnya tidak ada pembelaan yang lebih efektif selain menudingku sebagai pembunuh. Mungkinkah ada motif tersembunyi di balik usahanya untuk sengaja mengecualikan aku dari daftar tersangka?

"Kenapa kau berpikir begitu?"

"Coba ingat kembali saat sebelum kita kehilangan kesadaran. Kurasa itu sekitar pukul delapan. Kita semua berkumpul di aula ini, membicarakan apa yang harus kita lakukan dengan makan malam."

Benar...

Kami semua kehilangan arah karena permintaan palsu itu. Di luar gelap, dan kami tidak bisa pulang karena badai salju. Kami sedang duduk mengelilingi meja bundar, mendiskusikan apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Saat itu, tanpa peringatan apa pun, seseorang pertama kali tumbang. Kalau tidak salah, itu Amino. Dia tiba-tiba ambruk, terbaring di lantai.

Kemudian, dari suatu tempat, asap putih mulai menyembur keluar. Seseorang berteriak, "Kebakaran!" Tetapi tidak ada tanda-tanda api, dan aku juga tidak merasakan panas. Saat kami panik dan bingung harus berbuat apa, aku sadar bahwa aku juga sudah kehilangan kesadaran. Aku sama sekali tidak tahu apa yang terjadi.

"Asap itulah pelakunya,"

Kirigiri menunjuk ke bawah meja bundar.

Tergeletak di sana, ada sesuatu seperti kaleng aluminium kecil.

"Apa ini?" Aku merangkak di bawah meja bundar dan menariknya keluar. "Kelihatannya seperti kaleng jus... tapi tidak ada lubang minumnya."

"Itu pasti perangkat asap buatan. Seseorang pasti menggulingkannya di bawah meja bundar. Untungnya, sepertinya itu bukan gas air mata atau gas bius. Namun, asap putihnya sangat pekat, sehingga benar-benar menutupi pandangan."

Aku segera kehilangan kesadaran, jadi aku tidak tahu persis apa yang terjadi setelah itu.

"Memangnya apa yang terjadi?"

"Entahlah, aku juga tidak tahu pasti. Tapi karena semua orang mulai tumbang satu per satu, aku spontan pura-pura pingsan di tempat." Kata Kirigiri.

"Pura-pura? Apa maksudmu pura-pura? Hanya kau yang tidak kenapa-kenapa?"

"Ya. Asapnya sendiri tidak berbahaya. Aku rasa, mereka semua tumbang bukan karena asap putih itu, melainkan ada penyebab lain. Faktanya, orang pertama tumbang sebelum asap itu muncul. Mungkinkah pada waktu tertentu, kita semua diberi obat tidur? Apa kau punya petunjuk?"

"Hmm... obat tidur ya,"

Terlepas dari yang lain, setidaknya aku tidak memasukkan apa pun ke mulutku sejak tiba di Observatorium Sirius. Mustahil aku diberi obat.

Namun, jika kuingat-ingat lagi, sebelum pingsan, aku memang merasakan seperti sedang mabuk. Tadinya kukira hanya karena kondisi badan kurang fit...

"Meskipun begitu, mengapa hanya kau yang bisa menghindari bahaya?"

"Mungkin karena aku selalu berlatih," jawabnya dengan nada datar. "Aku pandai mendeteksi bahaya. Tapi yang kudeteksi saat itu hanyalah 'firasat buruk' atau 'perasaan aneh', dan sering kali aku baru bisa menjelaskannya secara logis setelah mengingat kembali. Kakek-ku menyebutnya 'mendengar langkah kaki Malaikat Maut'."

Konon, matematikawan ulung sering menemukan teorema tanpa melewati semua langkah perhitungan di tengahnya. Cerita tentang betapa sulitnya pembuktian di kemudian hari juga sering kudengar. Jangan-jangan, dia ini memang jenius jenis itu?

Tidak. Sampai saat ini, alasan kita kehilangan kesadaran belum jelas. Jadi, bisa jadi ini hanyalah ocehan Kirigiri. Atau, jika dia memang pelakunya, wajar saja dia bisa menghindari bahaya...

Tunggu dulu, latihan, katanya...?

"Jelas sekali bahwa dengan tumbangnya semua orang satu per satu, sebuah rencana kejahatan mengerikan telah dimulai," lanjut Kirigiri. "Aku berpura-pura jatuh untuk melihat apa yang akan dilakukan oleh si pelaku. Tapi saat itu, aku kembali mendengar langkah kaki Malaikat Maut."

"Apa yang terjadi?"

"Langkah kaki itu adalah langkah kaki si pelaku. Sepertinya si pelaku memiliki sifat yang sangat berhati-hati. Dia mendekatiku dan menyodorkan suatu cairan aneh untuk kuhirup. Itu bukan Kloroform atau Eter. Sepertinya juga bukan obat tidur... mungkinkah semacam narkotika sintetis? Aku menahan napas sebisa mungkin saat sapu tangan itu dikenakan padaku, tetapi pada akhirnya, aku tetap kehilangan kesadaran..."

Ternyata dia juga dibius?

Hm, tunggu sebentar?

Gunting, mayat terpotong, obat bius yang membuat pingsan...

Aku merasa ada keterkaitan dengan serangkaian elemen ini.

Tidak... aku tahu elemen-elemen ini.

Jangan-jangan... itu tidak mungkin terjadi.

Bagaimanapun, sekarang aku harus mendengarkan cerita Kirigiri sampai selesai. Mungkin aku salah menduga.

"Apa si pelaku tahu kau hanya berpura-pura pingsan?"

"Tidak, kurasa tidak. Mungkin dia berkeliling dan menyodorkan sapu tangan itu kepada semua orang. Tujuannya untuk memastikan semua orang pingsan."

"Lalu?"

"Di tengah kesadaranku yang kabur, aku tetap mencoba melawan,"

Saat bercerita dengan datar, Kirigiri sengaja jeda lama hanya pada bagian ini. Seolah dia ingin memamerkan hasil usahanya dengan bangga.

"...Jadi?"

"Aku menggenggam tangan si pelaku."

"Menggenggam?" Aku bertanya, agak terperangah. "Hanya itu?"

"Ya. Sayangnya aku tidak bisa mencakar atau menggigitnya, tetapi aku berhasil menyentuh tangan si pelaku. Saat pandangan tertutup oleh asap putih, sentuhan itu menjadi satu-satunya petunjuk tentang si pelaku."

Kirigiri berkata sambil menatap ujung jari-jarinya sendiri.

"Bagaimana rasanya sentuhan itu?"

"Itu adalah tangan seorang pria."

"Benarkah? Apa itu pasti?"

"Tangannya tidak memiliki ciri khas, tetapi sudah pasti itu tangan pria. Tidak ada bagian tubuh lain yang perbedaan jenis kelaminnya lebih mudah terungkap selain tangan dan jari-jari."

"Hmm... jujur saja, bagaimana? Apa kau pernah menggenggam tangan pria sebelumnya?"

Saat aku bertanya, dia tampak terkejut dan membeku.

Keheningan yang panjang—

Setelah itu, dia melanjutkan penjelasannya dengan wajah seolah tidak ada apa-apa.

"Aku memang belum pernah membunuh orang, tapi aku sudah belajar tentang rasanya ketika seseorang membunuh. Ini sama saja. Kau mengerti, kan? Nah, aku lanjutkan ceritanya..."

"Tunggu, logika itu aneh. Ah, jangan-jangan kau juga belum pernah bergandengan tangan dengan laki-laki..."

Ketika aku mengatakannya dengan nada menggoda, dia kembali terdiam.

Kali ini, dia benar-benar marah, ya. Dia memalingkan muka, seolah menolak melanjutkan percakapan.

Mungkin aku sudah keterlaluan mengganggunya. Meskipun ucapan dan perilakunya terkesan dingin, reaksinya mengejutkan lugu, jadi aku jadi ingin terus menggodanya.

"Maaf, maaf. Aku menyelipkan komentar tidak penting," Aku meminta maaf. "Kau pasti pernah menggenggam tangan ayahmu, kan? Sebagai syarat logis, itu sudah cukup. Nah, lanjutkan ceritanya."

"Aku sudah lupa."

"Eh?"

"Kubilang, aku sudah lupa rasanya sentuhan tangan Ayah."

Kirigiri menyipitkan mata, lalu melakukan gerakan seolah menyisir poni dengan tangan kanannya. Itu tampak sebagai gerakan paling emosional yang pernah kulihat darinya.

"B-begitu. Baiklah."

Aku berkata seolah mengiyakan. Rumit sekali. Dia pun tampaknya memiliki masalahnya sendiri yang rumit, tetapi jika terus digali, pembicaraan tidak akan maju.

"Intinya yang ingin kau katakan adalah... karena orang yang membuatmu pingsan adalah pria, maka secara logis Samidare Yui tidak mungkin menjadi pelakunya, benarkah?"

Kirigiri mengangguk, masih memalingkan muka.

Di antara detektif yang mengunjungi Observatorium Sirius, hanya aku dan Kirigiri Kyōko yang perempuan. Jika klaimnya benar, aku dapat dikecualikan dari daftar pelaku.

"Tapi sudah kubilang dari awal, kan," kataku sambil menghela napas. "Fakta bahwa aku bukan pelakunya adalah kebenaran yang sudah jelas bagiku. Tanpa perlu dibuktikan, ya."

"Tidak, bagiku itu belum bisa disebut bukti yang sempurna,"

"Apa maksudmu? Apa kau bilang kau tidak bisa membuktikannya kecuali kau benar-benar menyentuh tanganku?"

Ketika aku bertanya, Kirigiri menunduk seolah sedang mencari kata-kata, lalu hanya memutar matanya ke arahku, mengangguk kecil.

"...Tangan."

Dia berkata dengan ragu, mengulurkan tangan kanannya, meminta tanganku.

Rupanya dia serius.

Apakah ini jebakan?

Jika dia memang pelakunya, semua kesaksiannya sejauh ini mungkin hanyalah kebohongan untuk membuatku mendekat. Mungkin dia menyembunyikan semacam senjata dan mencoba memancingku ke dalam jangkauan serangnya.

Kirigiri Kyōko—Aku masih belum mengenalnya dengan baik. Kami baru saja bertemu, dan yang kudapat selama periode singkat ini hanyalah kesan misterius dan kemungkinan adanya latar belakang keluarga yang rumit. Meskipun dia mengklaim aku tidak bersalah, aku belum bisa memercayainya.

"Baiklah, ini jabat tangan perdamaian," Namun, aku masih tidak mendekatinya. "Tapi jabat tangan yang sebenarnya, akan kita lakukan nanti setelah semuanya terpecahkan dan kita berdua selamat."

"Apa maksudnya?"

"Duduk di kursi dulu,"

Aku memerintahkannya.

Dia yang tadinya terus terduduk di samping kursi, kini menurut dan duduk di kursi santai itu.

"Nah, ulurkan tangan kananmu."

Dia mengulurkan tangannya, sesuai perintahku.

Aku mendekatinya dengan hati-hati, lalu meraih tangan kecilnya. Tangan yang seperti karya seni dari kaca itu terasa seperti akan hancur jika aku sedikit saja mengerahkan tenaga, jadi aku menggenggamnya dengan kuat agar tidak lepas.

Tangan kirinya terkunci oleh borgol. Dengan memegang tangan kanannya seperti ini, tidak ada risiko dia akan menyerang.

Kami saling bertukar pandang, sambil terus berpegangan tangan layaknya sedang dalam jabat tangan yang penuh penyelidikan.

"Bagaimana? Apa kau sudah melihat kebenarannya? Tapi, kita bahas itu nanti. Sebagai detektif, aku juga akan mencari kebenaranku sendiri."

"Apa yang akan kamu lakukan?"

"Pertama-tama, kurasa kita perlu memeriksa ulang seluruh bangunan ini," Kami berbicara sambil tetap bergandengan tangan. "Aku masih mencurigaimu. Jika kau juga seorang detektif, kau pasti bisa memahami alasanku, bukan? Tapi, ini masih tahap mencurigai... Ada satu syarat penting yang belum terpenuhi untuk menudingmu sebagai pelaku. Yaitu, mencari kemungkinan adanya pelaku luar. Apakah ada orang lain yang keluar masuk selain kita berlima tamu di sini?"

"Onee-sama belum memeriksanya?"

"...E-eh, ya, aku kan baru bangun tidur," Aku jadi salah tingkah karena komentarnya. "Kejahatan yang dilakukan oleh tamu tak diundang keenam... Jika itu bisa dibuktikan, aku akan membebaskanmu."

"Kita harus segera memeriksanya. Sebelum salju menghapus semua bukti. Terutama di luar jendela dan luar pintu depan. Apakah ada jejak seseorang yang keluar masuk?"

"Aku akan memeriksanya."

"Jika ada tamu tak diundang, orang itu pasti seorang pria. Dan kemungkinan, dia masih bersembunyi di dalam bangunan ini."

Wajah Kirigiri tampak sedikit cemas.

"Ya, aku akan memastikannya. Aku sendirian, ya. Maaf, tapi aku akan membiarkanmu tetap dalam posisi ini. Aku juga akan mengikat tangan kananmu."

Jika dia adalah pelakunya, berarti dia juga yang menyiapkan borgol. Dalam kasus itu, ada kemungkinan dia menyembunyikan kunci cadangan. Dia mungkin membuka borgolnya setelah aku pergi. Oleh karena itu, aku perlu mengunci kedua tangannya.

"Aku tidak bermaksud buruk."

"Aku mengerti. Justru aku akan bermasalah jika Onee-sama tidak berpikir sejauh ini," kata Kirigiri dengan ekspresi dingin.

Namun... meskipun aku ingin mengikatnya, aku tidak membawa borgol cadangan, tali, atau benda apa pun yang bisa digunakan untuk mengikat tangannya.

"Pita rambutku."

"...Boleh?"

"Jika itu demi membuktikan aku tidak bersalah."

Dia mengangguk.

Aku melepaskan salah satu pita yang mengikat kedua kepangannya.

Dengan pita itu, aku mengikat lengan kanannya ke sandaran tangan kursi santai.

Dengan demikian, kedua lengannya kini sudah terikat pada kursi.

"Mulai sekarang, aku akan memeriksa setiap ruangan satu per satu. Jika ada tamu tak diundang di suatu tempat, dia mungkin berpindah kamar untuk bersembunyi agar tidak terlihat olehku. Tapi karena kau berada di aula tengah, tindakannya akan terlihat jelas."

"Jadi, aku yang akan menjadi pengawas?"

"Benar sekali. Tapi dengan kedua tangan terikat, keberadaan tamu tak diundang itu akan sangat berbahaya bagimu. Ingat, dia adalah pembunuh berantai yang mengerikan. Jika dia muncul, teriaklah sekuat tenaga. Aku akan segera menolongmu."

"Onee-sama akan menolongku?"

"Jika keberadaan tamu tak diundang itu terungkap, ketidakbersalahanmu akan terbukti. Aku akan melindungimu dengan segenap kemampuanku."

"Begitu... tapi kurasa saat itu sudah terlambat," Kirigiri masih bersikap seolah itu adalah urusan orang lain. "Tapi aku harus katakan ini: menurutku, meskipun ada tamu tak diundang, itu tidak serta-merta membuktikan aku tidak bersalah secara logis. Alasannya bersembunyi belum tentu berhubungan dengan kasus pembunuhan ini, dan bahkan..."

"Sudahlah, itu tidak penting lagi," kataku, menyela-nya. "Dalam situasi seperti ini, jika ada seseorang yang bersembunyi, yang terbaik adalah menendangnya saja."

"...Benar juga."

Dia menanggapi dengan lugas.

"Aku rasa tidak mungkin ada orang yang keluar masuk bangunan terpencil ini di tengah badai salju begini, tapi... kalau begitu, aku akan mulai memeriksa."

Aku menjauhi Kirigiri dan mulai memasuki kamar-kamar terdekat satu per satu untuk memeriksanya. Aku membuka tirai, memeriksa kunci jendela, dan melihat kondisi salju di luar.

Aku dengan cepat memeriksa semua jendela di semua kamar. Hasilnya, diketahui bahwa semua jendela di setiap kamar terkunci dari dalam. Selain itu, tidak ada kejanggalan pada salju di sekitar jendela.

Di setiap kamar, tidak ada 'jendela ketiga' seperti ventilasi pendingin udara atau lubang pembuangan. Artinya, mustahil mengunci jendela dari luar dengan menggunakan tali.

Selanjutnya, aku memeriksa pintu depan. Pintu masuk utama tetap terkunci, dan setelah memeriksa salju di luar, tidak ditemukan jejak siapa pun yang keluar masuk.

Kesimpulannya, aku tidak menemukan bukti adanya orang yang keluar masuk bangunan ini. Selain itu, aku juga tidak menemukan keberadaan penyintas selain aku dan Kirigiri, yaitu si tamu tak diundang.

Di aula, Kirigiri masih terikat di kursi, menunggu kepulanganku.

"Sayangnya, sepertinya memang tidak ada siapa pun di sini selain aku dan kau."

"Tidak ada jejak di salju luar?"

"Ya. Salju pasti akan dengan cepat menghapus jejak, tapi jika seseorang berjalan, pasti akan ada cekungan yang tersisa. Aku tidak menemukan area yang tidak wajar seperti itu di mana pun."

Dengan ini, kasus pembunuhan ini menjadi semakin tidak terpecahkan.

Atau, mungkinkah ini justru membuatnya menjadi lebih sederhana?

Observatorium Sirius ini bisa diibaratkan sebagai botol yang tersegel. Selama botol itu tertutup rapat, isi padat di dalamnya tidak akan bertambah atau berkurang. Artinya, jika ada tiga mayat dan dua orang selamat, maka salah satu dari yang selamat pasti adalah pelakunya.

Oleh karena itu, pelakunya adalah Kirigiri Kyōko.

Sementara itu, gadis yang bersangkutan menatapku dengan mata penuh harapan.

Kasihan memang, tetapi aku belum bisa melepaskan ikatannya.

Secara nalar, tidak diragukan lagi bahwa dia adalah pelakunya. Namun, aku sendiri belum sepenuhnya yakin dengan jawaban itu. Mungkinkah gadis seperti dia sanggup membunuh tiga pria dewasa dan menyusun mayat mereka di ranjang?

"Aku benar-benar tidak mengerti apa-apa lagi... Sebenarnya kasus apa ini?" Aku tanpa sadar mengeluh. "Mulai dari bangunan aneh ini, surat permintaan aneh itu... Tapi akhirnya aku menyadari satu hal. Kejadian yang tertulis dalam surat hitam itu bukanlah kasus yang rencananya akan diserahkan kepada kita, melainkan kasus yang akan melibatkan diri kita sendiri."

"...Yui Onee-sama," sela Kirigiri. "Apa maksudnya?"

"Eh? Surat permintaan itu. Ada surat hitam yang datang bersama surat permintaan, kan? Di surat itu tertulis tentang tempat ini dan senjata pembunuhan, bukan?"

"...Tolong tunjukkan surat hitam itu padaku."

"Baiklah?"

Aku meninggalkan Kirigiri di kursi, kembali ke kamarku sebentar, dan mengobrak-abrik ranselku. Aku mengeluarkan surat hitam itu dan kembali ke aula.

"Buka, dan tunjukkan padaku."

Aku tanpa sadar menuruti permintaan Kirigiri yang terdengar mendesak. Dari amplop hitam, aku mengeluarkan lembaran kertas washi hitam yang terlipat. Di atasnya, tertulis tulisan kuas berwarna putih.

Begitu melihatnya, wajah Kirigiri semakin pucat, seolah kehabisan darah.

"Yui Onee-sama... Ini bukan sekadar kasus pembunuhan biasa."

"Apa? Ada apa?"

"Ini sepertinya... sebuah game."

Ilustrasi Ketiga Bab 1 - Danganronpa Kirigiri Volume 1

About the author

Koyomin
Yomi Novel adalah blog fan translation yang menerjemahkan web novel (WN) dan light novel (LN) Jepang pilihan ke dalam Bahasa Indonesia. Nikmati kisah fantasi, romansa, hingga dark story dengan terjemahan berkualitas dan update rutin.

Gabung dalam percakapan