Pembunuhan di Observatorium Sirius 2
Bagian 1
SMA tempatku sekolah adalah sekolah khusus putri dengan sistem terpadu (SMP-SMA) yang memiliki sejarah seratus lima puluh tahun. Sekolah ini dikenal masyarakat sebagai sekolah berasrama yang didirikan oleh yayasan misionaris khusus anak-anak bangsawan, meskipun konon nuansa keagamaannya sudah jauh berkurang dibanding masa lalu. Sekarang, sejarah para misionaris hanya dapat dilihat dari bangunan sekolah lama yang terbuat dari batu bata dan gerejanya.
Pada prinsipnya, kerja paruh waktu dilarang. Namun, jika mengajukan permohonan ke sekolah, sebagian besar akan diizinkan.
Tapi, aku adalah orang pertama sejak sekolah ini didirikan yang mengajukan izin untuk menjadi detektif.
Pada dasarnya, detektif mungkin bisa disebut sebagai sebuah eksistensi atau bakat, bukan sekadar pekerjaan atau jenis profesi. Jadi, apakah ada artinya mengajukan izin detektif ke sekolah? Aku sendiri tidak tahu pasti. Namun, Suster Kepala Sekolah menyambutnya dengan gembira. Mungkin karena bagi Suster, detektif memiliki citra seperti relawan, bukan sekadar eksistensi atau bakat.
Bagaimanapun, aku adalah satu-satunya detektif di SMA ini. Aku juga diizinkan beraktivitas secara formal dengan seragam, dan demi menunjang keaktifan, aku biasanya mengenakan kulot (celana pendek lebar) alih-alih rok. Sepertinya hal ini memicu kebencian di kalangan beberapa kakak kelas, tapi reputasiku di kalangan teman-teman tidak buruk.
Demi memprioritaskan kegiatan detektif, aku tidak mengikuti kegiatan klub. Namun, karena tidak selalu ada pekerjaan detektif, sebagian besar sore hari sepulang sekolah kuhabiskan tidak jauh berbeda dengan anggota klub pulang ke rumah (Kikakubu)—langsung kembali ke asrama.
Aku sudah tinggal di asrama sejak masuk sekolah ini. Kamar one-room kecil berukuran empat setengah tikar dengan dapur, kamar mandi, dan toilet. Inilah kenyataan di sekolah putri bangsawan. Ada teman sekelas yang iri dengan kehidupan asrama, tetapi peraturannya lebih ketat daripada keluarga biasa.
Aku menyadari ada amplop hitam yang dimasukkan ke kotak surat pribadiku di asrama pada musim dingin tahun pertama SMA, yaitu bulan Desember.
Itu adalah amplop hitam pekat berukuran B5, tanpa perangko maupun alamat tujuan. Tapi, karena namaku tercetak dalam warna putih, sudah pasti amplop itu ditujukan untukku. Aku membawanya sambil berjalan masuk ke asrama.
"Ah, Yui, selamat datang kembali!" Aku berpapasan dengan teman yang tinggal di kamar asrama lain di lorong. "Apa itu? Surat cinta lagi?"
"Mana mungkin!"
Aku tersenyum kecut sambil menatap amplop hitam itu. Dari penampilannya, itu sama sekali tidak seperti surat cinta. Kalaupun iya, pengirimnya pasti sangat eksentrik.
Aku pernah dua kali mendapat surat cinta. Yang pertama dari seorang gadis kecil seperti tupai, anggota klub menjahit di kelas sebelah. Tentu saja kutolak. Mau tidak mau aku harus menolaknya. Sesekali aku masih melihatnya mengintip dari balik bangunan sekolah, menatapku dari jauh. Yang kedua, dari seorang gadis yang memberiku surat yang sangat puitis, tetapi karena tidak ada nama pengirimnya, aku tidak tahu siapa dia. Sebagai detektif, aku memilih untuk tidak menyelidikinya lebih lanjut.
Aku masuk ke kamarku, dan tanpa melepas mantel, aku menjatuhkan diri ke tempat tidur. Aku berbaring terlentang, melihat amplop itu menembus cahaya lampu neon, lalu merobek segelnya.
Di dalamnya, terdapat selembar surat dan satu lagi amplop hitam yang ukurannya lebih kecil.
Untuk sementara, aku membuka surat yang pertama.
Surat Permintaan
Kepada Yth. Samidare Yui,
Kami harap Anda dalam keadaan sejahtera di tengah kesibukan menjelang akhir tahun.
Nama saya Ōe Yoshizono, bertindak sebagai perwakilan dari klien tertentu.
Kami mengirimkan surat permintaan ini dengan maksud agar Anda dapat membantu menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi oleh klien saya.
Mohon maaf, kami tidak dapat mengungkapkan identitas klien di sini.
Klien kami meramalkan akan datangnya situasi yang mendesak di 'Observatorium Sirius' miliknya.
Mengenai rincian permintaan, kami berencana untuk memberitahukannya setelah pertemuan di lokasi berikut, dan setelah disetujui oleh klien.
Lokasi Pertemuan: Stasiun Hatesaki
Tanggal & Waktu: 12 Desember, Pukul 3:00 Sore
Sebagai imbalan, kami telah menyiapkan uang muka 1 juta yen, serta 1 juta yen saat berhasil, dan biaya tak terduga lainnya.
Demikian, kami nantikan kehadiran Anda pada hari yang ditentukan.
Hormat kami, Perwakilan Ōe Yoshizono
Meskipun surat ini bertajuk 'Surat Permintaan', aku mendapat kesan aneh yang sulit dipahami dari isinya. Mungkin ini karena nama klien dan rincian permintaannya disembunyikan. Di satu sisi, aku merasakan kebohongan yang terkesan main-main, tetapi di sisi lain, penyampaian berlebihan yang terkesan penting itu terasa begitu nyata.
Sudah sekitar tiga tahun aku menjadi detektif, tetapi ini adalah jenis permintaan pertama yang kutemui. Semakin dipikirkan, isinya semakin tidak masuk akal. Karena itulah, rasa penasaranku tergelitik lebih dari kasus-kasus sebelumnya.
Surat itu menggunakan kertas putih biasa, dan semua teksnya dibuat dengan perangkat lunak pengolah kata. Jika diselidiki, jenis font dan perangkat lunak yang digunakan mungkin bisa diketahui. Bahkan jenis tinta printer dan pabriknya pun seharusnya bisa dilacak. Namun, aku rasa tidak ada gunanya untuk melakukan identifikasi itu.
Aku menyisihkan surat itu, dan mencoba membuka amplop hitam yang satunya lagi.
Di dalamnya, terlipat selembar kertas washi hitam. Di atasnya, berjejer tulisan berwarna putih yang dibuat dengan kuas.
TN Yomi: washi adalah kertas tradisional Jepang yang telah digunakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang sejak zaman dahulu, misalnya pada pintu geser shoji dan lentera
Pesan untuk Detektif
Dengarkan Tangisan Hitam
Lokasi: Observatorium Sirius, 30 juta yen
Senjata pembunuh: Gunting besar, 5 juta yen
Senjata pembunuh: Obat bius, 5 juta yen
Teknik: Pembunuhan Mutilasi 80 juta yen
Total biaya: 120 juta yen
Dari total biaya di atas, detektif berikut dipanggil:
Samidare Yui
"Apa-apaan ini?"
Aku menggumam sendirian sambil membolak-balik kertas surat hitam itu. Semakin tidak masuk akal.
Dilihat dari kata-kata yang tercantum, mungkin ini adalah petunjuk mengenai isi permintaan yang disembunyikan. Apakah ini semacam permainan asosiasi? Apa aku diharapkan sudah bisa menduga permintaannya hanya dari ini? Lagipula, angka yang tertulis di bawah setiap kata itu apa?
Mungkin juga, ini adalah teka-teki untuk menguji kemampuan detektifku.
Tidak diragukan lagi, klien itu mencoba mengujiku. Mengingat ada perwakilan yang menjadi perantara, detektif yang tidak kompeten mungkin akan ditolak di pintu depan tanpa diberi tahu isi permintaan yang sebenarnya.
Sepertinya ada hal besar yang akan terjadi.
Masalahnya, aku hanya punya sedikit waktu hingga tanggal pertemuan.
Lusa adalah hari yang ditentukan.
Meskipun aku bisa izin tidak masuk sekolah jika mengajukan permohonan, apakah aku bisa memecahkan misteri ini sebelum saat itu...
Tidak ada waktu.
Aku melompat dari tempat tidur, bergegas keluar kamar, dan kembali ke gedung sekolah.
Di sekolah, ada Ruang Pemrosesan Informasi tempat siswa bebas menggunakan komputer. Untuk melakukan penelitian, menggunakan internet di sana adalah cara yang paling cepat. Sebagai informasi, aku tidak punya komputer, dan ponselku tidak bisa mengakses internet.
Dari asrama ke gedung sekolah hanya perlu berjalan kaki beberapa menit. Di gedung sekolah, masih ada siswa yang sedang berlatih klub atau yang akan pulang. Aku bergegas menuju ruang pemrosesan informasi, melewati mereka dengan berlari kecil.
Di Ruang Pemrosesan Informasi, beberapa siswa tampak sibuk mengetik di keyboard. Aku melewati mereka dan meminjam salah satu komputer.
Pertama-tama, aku mencoba mencari 'Observatorium Sirius'. Ternyata, identitasnya terungkap dengan mudah.
Observatorium Sirius adalah observatorium pribadi milik seseorang bernama Kiba Ryūichirō. Konon, Tuan Kiba adalah orang kaya baru yang menghasilkan banyak uang dari industri besi selama periode pertumbuhan ekonomi pascaperang. Setelah pensiun dari manajemen di masa tuanya, ia mengorbankan harta pribadinya untuk membangun observatorium pribadi dan menjalani kehidupan mengasingkan diri di sana. Observatorium biasanya identik dengan fasilitas milik universitas atau lembaga penelitian, tetapi ternyata lumrah bagi orang yang tertarik pada observasi benda langit dan bintang untuk membangun observatorium pribadi. Observatorium Sirius pun tampaknya merupakan produk dari hobi semacam itu.
Jadi, mungkinkah klien misterius itu adalah orang bernama Kiba Ryūichirō? Jika ia terlibat dalam industri besi pascaperang, ada kemungkinan besar ia dikenal sebagai tokoh besar di berbagai kalangan. Alasan permintaan ini tidak dapat diumumkan sepertinya ada hubungannya dengan hal tersebut.
Aku terus mencari informasi tentang Kiba Ryūichirō setelah itu, tetapi tidak mendapatkan informasi yang signifikan. Aku juga tidak menemukan catatan bahwa ia pernah terlibat dalam kasus tertentu di masa lalu. Memang, ada batasan pada informasi yang dapat diperoleh dari internet.
Hari itu, aku tidak mendapatkan apa-apa lagi, dan aku kembali ke asrama.
Bagian 2
Keesokan harinya, aku memikirkan permintaan itu sambil mengikuti pelajaran. Meskipun ujian akhir semester sudah dekat, isi pelajaran hampir tidak ada yang masuk ke otakku. Di tengah kelas yang dipenuhi teman-teman, aku merasa terisolasi, seolah berada di dunia lain sendirian.
Saat jam makan siang, aku mencari informasi tentang Tuan Kiba di perpustakaan. Perpustakaan sekolah ini menyimpan koleksi buku yang lebih tua daripada perpustakaan umum mana pun. Namun, waktu istirahat makan siang yang singkat sepertinya tidak cukup untuk menemukan informasi penting. Aku memutuskan untuk kembali setelah pulang sekolah, dan untuk sementara waktu, aku meninggalkan tempat itu.
Saat pelajaran sore, aku menyadari bahwa pemandangan dari jendela lebih gelap dari biasanya. Langit terlihat seperti akan turun salju kapan saja. Tekanan rendah musim dingin bertahan di timur, dan udara dingin minus empat puluh derajat bergerak turun dari utara. Pantas saja bibirku terasa kering. Sambil mengoleskan lip balm saat istirahat, aku melihat jadwal besok yang kutulis di buku catatan dengan pandangan kosong. Hari H adalah besok.
Sepulang sekolah, aku akhirnya berhasil mendapatkan informasi yang kucari di perpustakaan. Aku menemukan kata-kata Observatorium Sirius di majalah bulanan untuk penggemar astronomi, di edisi sepuluh tahun yang lalu.
Itu adalah artikel tentang kunjungan ke observatorium pribadi. Tertulis di sana tentang Observatorium Sirius dengan foto, sebanyak empat halaman.
Aku membuat salinan artikel itu dan membawanya kembali ke asrama. Sebagai bahan persiapan, kurasa aku telah mendapatkan sesuatu yang cukup berharga. Terlepas dari apakah itu terkait dengan permintaan itu atau tidak, aku merasa yakin telah memperoleh informasi yang cukup untuk setidaknya lolos dari wawancara.
Malam itu, aku mengepak buku catatan, berbagai dokumen, dan pakaian ganti untuk berjaga-jaga, mempersiapkan diri untuk besok. Persiapanku seharusnya sudah sempurna. Satu-satunya hal yang mengkhawatirkan adalah cuaca yang tampaknya tidak akan bersahabat.
Ramalan cuaca mengatakan bahwa beberapa daerah akan dilanda badai salju mulai besok.
Keesokan harinya, aku izin tidak masuk sekolah dan berangkat menuju Stasiun Hatesaki.
Sesampainya di stasiun, salju sudah mulai berjatuhan dengan perlahan. Di sekeliling terbentang sawah-sawah kering di musim dingin. Karena salju, suasana terasa redup meskipun saat siang hari, dan cahaya remang-remang rumah-rumah terlihat tersebar di kejauhan.
Waktu menunjukkan pukul 2 siang. Meskipun satu jam lebih awal, aku sudah tiba secepat ini karena kereta hanya datang dua kali dalam satu jam, jadi aku sengaja berangkat dari asrama dengan waktu yang lebih luang.
Di stasiun tanpa penjaga itu, hanya dua orang selain aku yang turun.
Aku memutuskan untuk menunggu di ruang tunggu. Di tengah ruangan kecil dengan hanya dua bangku berjejer, sebuah tungku silinder menyala. Aku segera mengambil posisi di depan tungku dan menghangatkan tanganku yang kedinginan.
Tak lama, dua pria yang tadi turun di peron bersamaku, masuk ke ruang tunggu.
Kedua pria itu duduk di bangku dalam diam, lalu mulai memeriksa jam tangan masing-masing dan melihat sekeliling. Tiga orang yang sedang menunggu tanpa kegiatan berkumpul di stasiun yang sepi seolah di ujung dunia ini jelas merupakan situasi yang tidak wajar.
"Um..."
Aku yang pertama membuka suara. Sejujurnya, aku takut. Saat itu, aku hanyalah seorang siswi SMA yang dikelilingi oleh dua pria asing di tempat yang asing.
"Apakah salah satu dari kalian adalah Tuan Ōe Yoshizono-san?"
Aku bertanya dengan ragu. Kedua pria itu bereaksi secara bersamaan, saling bertukar pandang penuh selidik, sebelum akhirnya kembali mengamati diriku.
"Hmm, begitu ya, apa Nona muda juga seorang detektif?"
Pria yang rambutnya disisir rapi dengan belahan tujuh-tiga adalah yang pertama berbicara. Dia mengenakan jas dengan mantel panjang, dan dasi mengilapnya terikat kencang. Penampilannya sangat mirip dengan seorang karyawan kantoran yang kompeten, tetapi tidak ada keunikan sama sekali dalam dirinya. Jika ini adalah distrik perkantoran, sosoknya akan langsung melebur ke latar belakang. Begitulah penampilannya yang biasa.
"Aku juga seorang detektif, dilihat dari penampilanku ini," Dia menunjuk dirinya dengan ibu jari. "Mungkin kau juga, kan?"
Dia bertanya pada pria lain yang duduk di seberangnya.
Pria itu mengenakan kacamata hitam. Gerakan matanya samar-samar terlihat melalui lensa abu-abu tipis. Rambutnya pendek, dan tubuhnya kekar. Di balik trench coat-nya, ia mengenakan tank top hitam, dan dog tag tergantung di lehernya. Dari penampilannya, terpancar aura yang tidak biasa.
Pria berkacamata hitam itu mengangguk tanpa berkata apa-apa.
"Tiga detektif... dan perwakilan itu belum muncul."
Pria berjas itu menyilangkan lengannya dan berbicara dengan nada dramatis.
"A-apa yang terjadi?" Suaraku bergetar karena tegang dan takut. "Bukan cuma aku yang menerima surat permintaan itu?"
"Sepertinya begitu," kata pria berjas itu dengan senyum angkuh. "Masih ada waktu sampai jam yang ditentukan. Entah berapa orang lagi yang akan berkumpul."
Benar... Dipikir-pikir, detektif yang dipanggil belum tentu hanya aku seorang. Surat permintaan itu pun memiliki kalimat yang bisa diterapkan pada siapa saja, asalkan nama diubah. Karena klien ingin menguji detektif, mungkin lebih efisien untuk mengumpulkan banyak orang dan melakukan wawancara sekaligus.
Kedua pria itu mulai mencari cara untuk mengisi waktu.
Pria berjas itu mendengarkan sesuatu melalui earphone sambil membolak-balik buku percakapan bahasa Inggris. Benar-benar cara khas karyawan kantoran untuk mengisi waktu luang.
Di sisi lain, pria berkacamata hitam bermain-main dengan koin asing di ujung jarinya. Terkadang ia tertawa seolah teringat sesuatu.
Aku tidak tahan dengan suasana itu, jadi aku keluar dari ruang tunggu dan memutuskan untuk menunggu di bangku luar.
Napasku menguap menjadi kabut putih di udara dingin. Salju tampaknya semakin deras. Jika aku tidak sesekali membersihkan salju yang menumpuk tipis di rambut, bahu, dan kulotku, aku akan segera berubah menjadi boneka salju.
Sekitar 30 menit berlalu, dan sebuah kereta memasuki peron.
Hanya seorang pria paruh baya yang turun dari kereta dan melewati gerbang. Wajahnya memerah, dan tubuhnya agak gembrot. Mantelnya lusuh, dan rambutnya berantakan. Dilihat dari penampilannya, dia tidak terlihat seperti perwakilan misterius.
Pria paruh baya itu masuk ke ruang tunggu. Dari balik pintu kaca, aku bisa melihat ketiganya sedang berbicara. Tak lama, pria paruh baya itu keluar sendirian dan berjalan ke arahku.
"Hmm, detektif siswi SMA, ya," kata pria paruh baya itu sambil menyeringai. "Kurasa masa-masa paling berharga sebagai seorang gadis tidak seharusnya dihabiskan untuk pekerjaan tanpa imbalan seperti detektif."
Pria itu duduk di sebelahku, menyebarkan aroma alkohol. Mungkinkah dia sudah mabuk di siang hari bolong?
Aku dengan cepat mengambil jarak dan duduk kembali.
"Jangan terlalu waspada."
"Um... Anda juga seorang detektif?"
"Menurutmu aku terlihat seperti apa?"
Pria itu merentangkan kedua tangannya.
Setidaknya bagiku, dia hanya tampak seperti paman mabuk biasa.
"Yah, wajar jika kau meragukanku. Kecerobohan masa muda itu dialami semua orang. Tapi, kekurangan daya observasi, bukankah itu kurang pantas bagi seorang detektif?"
"Daya observasi...?"
"Akan kutunjukkan satu contoh." Pria itu menatapku seolah menjilat dengan matanya. "Kau menghadiri misa sendirian dengan sedih pada Natal tahun lalu, kan? Namun, kau muak dengan nyanyian gereja yang membosankan dan keluar di tengah jalan, membeli banyak kue, lalu memakannya dengan berantakan di kamar asramamu. Sejak awal hingga akhir, itu pasti Natal yang sunyi."
"B-bagaimana Anda tahu itu?!"
Aku tanpa sadar berbicara dengan nada menuntut.
Anehnya, apa yang dia katakan sebagian besar benar. Hanya satu hal yang berbeda: karena saat itu aku tidak punya banyak uang, aku tidak bisa membeli banyak kue, dan hanya makan satu kue cokelat.
"Jangan-jangan Anda mengawasiku dari suatu tempat?"
"Tidak, tidak, inilah yang disebut daya observasi," kata pria itu dengan wajah sok tahu. "Pertama, dari seragammu, jelas kau adalah siswi di sekolah misionaris terkenal. Mudah dibayangkan bahwa misa Natal adalah salah satu kegiatan sekolah. Tapi, kudengar peraturan sekolah belakangan ini sudah agak longgar, jadi kemungkinan besar itu adalah partisipasi bebas, bukan wajib."
"Bagaimana Anda tahu aku berpartisipasi sendirian?"
"Celana pendekmu, itu aslimu milikmu, kan? Mungkin itu untuk kegiatan detektif. Selain itu, meskipun hari ini hari kerja, kau tidak pergi ke sekolah dan memprioritaskan permintaan ini. Jika kau segigih itu dalam kegiatan detektif, pasti kau punya sedikit teman bermain. Apalagi pacar, mustahil kau punya. Terutama di hari istimewa seperti Natal, orang cenderung menghabiskan waktu dengan orang-orang yang memiliki hubungan yang lebih dalam. Kau tidak punya orang dengan hubungan sedalam itu."
—Itu bukan urusanmu.
Meskipun benar.
"Pada dasarnya, nyanyian gereja itu membosankan dan tidak menarik sama sekali. Bagimu, itu pasti sesuatu yang tak tertahankan. Kau pergi membeli kue dengan setengah putus asa. Fakta bahwa kau menyukai makanan manis ditunjukkan oleh permen dan cokelat yang mengintip dari ranselmu."
Pria itu menunjuk ke punggungku. Aku menurunkan ranselku karena terkejut, dan memang, ritsletingnya sedikit terbuka, memperlihatkan beberapa camilan yang kubawa.
Aku tiba-tiba merasa malu dan buru-buru menyembunyikannya.
"Jelas kau tinggal di asrama. Jika kau tinggal bersama keluarga, tidak mungkin ibumu tidak memperhatikan kerutan di kerah itu dan ujung jahitan yang lepas."
Setiap kali dia menunjuk satu hal, aku merasa malu sekaligus merinding. Jika hanya dari informasi sekecil ini dia bisa melihat semua tindakanku, mustahil aku bisa menyembunyikan apa pun.
—Inikah detektif?
Aku terintimidasi oleh kemampuan rekan seprofesi yang baru kutemui ini. Aku merasa sebagai detektif, aku tidak akan bisa menandingi paman mabuk ini sekalipun.
"Apa kau mulai sedikit menghormatiku?" Pria itu mengeluarkan botol wiski kecil dari saku mantelnya dan membuka tutupnya. "Ngomong-ngomong, kau pasti kedinginan menunggu di luar sini. Mau masuk bersama Paman?"
"Ah... tidak, terima kasih. Aku akan menunggu di sini."
Aku menolak dengan tegas.
Pria itu hampir saja menyemburkan wiski yang baru diminumnya.
"Oh... begitu. Ya, sebentar lagi waktunya, menunggumu di sini mungkin lebih baik. Aku akan masuk. Aku tidak bisa melawan usia..."
Pria paruh baya itu terhuyung-huyung kembali ke ruang tunggu, sambil menyeret koper beroda yang tampak berat...
Akhirnya, waktu pertemuan pukul 3 sore pun tiba.
Dari jalan setapak di pematang sawah, aku melihat sebuah mobil van putih menuju ke arah kami. Mobil itu mendekat dengan kecepatan tinggi, seolah membelah pemandangan salju yang abu-abu.
Van itu berhenti di depan stasiun.
Seorang pria berjas biru tua turun dari kursi pengemudi. Pria itu langsung menyadari kehadiranku dan berjalan ke arahku.
"Apakah Anda orang yang menunggu Tuan Ōe?"
Dia bertanya.
"Ya, Anda sendiri?"
"Saya dari perusahaan taksi. Saya mendapat perintah dari Tuan Ōe untuk mengantar kalian semua ke tempat yang ditentukan."
Jadi, aku masih belum bisa bertemu dengan perwakilan itu, ya.
Entah kenapa, aku mulai merasa khawatir dengan masa depan. Cuaca semakin memburuk, dan semua orang yang menemaniku hanyalah paman-paman paruh baya...
"Silakan, masuklah."
Diminta oleh sopir, aku naik ke mobil van. Aku duduk di kursi paling belakang, dan menguasai kursi di sebelahku dengan meletakkan ransel di sana, seolah tidak mengizinkan siapa pun mendekat.
Para pria yang berada di ruang tunggu stasiun juga menyadari keberadaan van itu dan berbondong-bondong datang. Pria berjas masuk lebih dulu, diikuti oleh pria berkacamata hitam.
Kemudian, paman mabuk itu naik. Di luar dugaan, dia tampak tidak mempermasalahkan tempat duduk mana pun dan memilih duduk tepat di belakang kursi pengemudi. Satu kursi di sebelahnya ditempati oleh koper berodanya.
Sopir kembali dan masuk ke kursi pengemudi.
"Mohon maaf, mohon tunggu sebentar lagi sebelum kita berangkat. Apakah di dalam mobil tidak dingin? Mau minuman hangat?"
Sopir mulai membagikan kopi kaleng yang ia bawa di lengan. Karena aku sudah benar-benar kedinginan, aku menerimanya dengan senang hati dan mengepalnya di tangan.
"Apa maksudmu 'tunggu sebentar lagi'?" tanya pria berjas itu. "Cepat berangkat sekarang."
"Karena belum pukul tiga, Tuan."
"Sudah tidak ada siapa-siapa lagi di stasiun, kan?"
"Ada kereta yang tiba pukul 14:58 menit.."
Pria berkacamata hitam itu bergumam dengan suara pelan.
"Pasti sudah tidak ada lagi yang datang. Kalaupun ada, itu sudah terlambat."
"Sudahlah, jangan terburu-buru. Kau mau minum juga?"
Paman mabuk itu menyodorkan botolnya.
"Aku tidak minum alkohol."
Pria berjas itu menepis botol itu, membuka kopi kalengnya, dan mulai meminumnya. Lalu, dia mengeluarkan sebatang rokok dari saku dadanya dan hendak menyalakannya.
"Maaf, Tuan, di dalam mobil ini dilarang merokok."
Kata si sopir.
"Apa katamu?"
Pria berjas itu meninggikan suaranya dengan kesal dan dengan enggan menyimpan kembali rokoknya. Aku memperhatikan para pria dewasa yang ribut itu dari kursi belakang, sambil minum kopi untuk menghangatkan tubuh.
Tepat pada saat itu, sebuah kereta masuk ke peron.
Namun, dari luar stasiun, penumpang yang naik turun tidak terlihat. Kereta yang hanya terdiri dari dua gerbong itu seluruhnya tersembunyi di balik bangunan stasiun.
Tak lama, kereta itu muncul kembali dan melaju pergi ke tengah badai salju.
Apakah ada yang turun?
Tepat ketika jam menunjukkan pukul tiga, terlihat sosok seorang gadis di gerbang tiket.
Dia adalah seorang gadis kecil yang rapuh.
—Siapa dia?
Gadis itu terlihat tembus pandang bagiku. Mungkin karena kulitnya yang putih dan dingin menyatu dengan pemandangan bersalju. Mustahil dia adalah hantu... bukan. Poni yang dipotong rata di atas matanya bergoyang lembut tertiup angin. Goyangan samar itulah yang menjadi bukti bahwa dia memang ada di sana.
Meskipun dia mungkin cocok berdiri di sudut dunia yang sepi dan suram ini, dia terasa sangat salah tempat sebagai detektif yang muncul di hadapan kami.
Begitu melihat van, dia berlari kecil ke arah kami, berhati-hati dengan salju di bawah kakinya. Dia membawa tas hitam di kedua tangannya...
Mungkinkah dia detektif kelima?
Aku tidak percaya.
Alasannya, pakaian yang dia kenakan—blus dengan renda dan blazer hitam—adalah seragam SMP di sekolahku. Warna pita di dadanya menunjukkan bahwa dia adalah siswi tahun pertama.
Dia berdiri di samping van, meregangkan tubuhnya untuk mengintip ke dalam mobil. Rupanya dari luar, bagian dalam tidak terlalu terlihat jelas.
Sopir turun dari van.
"Apakah Anda orang yang menunggu Tuan Ōe?"
Ketika ditanya, dia mengangguk samar.
"Silakan, kami sudah menunggu Anda."
Atas desakan si sopir, dia masuk ke dalam van. Dia tidak menunjukkan keterkejutan sedikit pun dengan keberadaan beberapa penumpang di dalam. Sebaliknya, para pria dewasa itulah yang terperangah melihat kemunculan detektif yang begitu muda.
Aku menyingkirkan ranselku dan mengosongkan tempat duduk untuknya. Dia duduk di sana tanpa berkata apa-apa, memeluk tasnya di atas lutut.
"Baiklah, karena sudah waktunya, kita akan berangkat."
Sopir menjalankan mobil.
Dengan lima detektif di dalamnya, van itu akhirnya mulai menanjak di jalan pegunungan bersalju yang tidak bisa ditarik kembali.
Van itu mendaki jalan pegunungan bersalju di mana bahkan bayangan bangunan pun tidak ada, apalagi sosok manusia.
"Hei, um, kamu," aku memanggilnya dengan suara pelan. "Apa kamu tahu maksud dari naik mobil ini?"
Dia menoleh ke arahku, membuat gerakan kecil seolah sedikit memiringkan kepala.
"Kamu, detektif?"
Dia mengangguk.
"Benarkah? Aku belum pernah dengar ada detektif SMP di sekolah kita..."
"Aku baru masuk sekolah yang sekarang belum lama ini."
Dia berbicara untuk pertama kalinya.
Dia menatapku dengan mata besar, seolah sedang menyelidiki. Kulitnya yang putih, dengan pipi yang sedikit memerah karena dingin, terlihat lucu seperti sedang memakai blush on.
"Oh, begitu, anak pindahan... Tapi, meski begitu, kebetulan yang aneh ya, detektif SMP dari sekolah yang sama mendapat permintaan yang sama..."
"Memang kebetulan yang aneh."
Paman mabuk itu berbalik, hampir saja mencondongkan tubuhnya ke arah kami, dan berkata.
"Jangan ganggu anak kecil, Paman mabuk. Detektif yang sampai berurusan dengan polisi itu memalukan. Kau tidak pantas disebut detektif!" Pria berjas itu menyela. "Sungguh, menyebalkan. Anak kecil, orang mabuk, dan bajingan pendiam... Van observasi manusia macam apa ini? Apa ini acara TV lelucon amatir?"
"Kau banyak bicara, anak muda," Paman mabuk itu tiba-tiba memasang wajah serius. "Meskipun begini, aku ini detektif dengan karier dua puluh lima tahun. Aku mabuk bukan tanpa alasan."
"Oh, kalau begitu, lihat ini dan sadarkan dirimu."
Pria berjas itu menyeringai, lalu menunjukkan kartu berfoto yang terlihat seperti kartu identitas dari saku bagian dalam jasnya.
Amino Eigo, DSC Nomor '367'
"Aku Amino Eigo. Nomor klasifikasi Perpustakaan Detektif adalah '367'—Paman, bagaimana denganmu? Jangan-jangan kau belum terdaftar."
"Hmph."
Paman mabuk itu tertawa mencibir. Setelah itu, ia merogoh-rogoh sakunya seolah mencari sesuatu. Akhirnya, ia menemukan kartu yang dicari dan menunjukkannya kepada Amino.
Inuzuka Kō, DSC Nomor '943'
"N-nomor '943'... Anda... tidak, Anda jangan-jangan... Nomor '9' dengan Kelas '3'? B-benarkah?"
"Aku tidak memalsukannya,"
Kata pria bernama Inuzuka itu sambil menenggak minumannya.
"M-maafkan saya! Saya tidak menyangka Anda adalah orang dengan kelas setinggi itu... Mohon maaf atas semua ketidaksopanan saya!"
Amino tiba-tiba bersikap sangat rendah hati.
Aku merasa seperti baru mengintip dunia orang dewasa yang memalukan.
Meskipun begitu, aku tidak menyangka paman mabuk itu adalah Kelas '3'. Meskipun orang tidak bisa dinilai dari penampilan...
"Apa itu Kelas '3'?"
Gadis di sebelahku bertanya.
"Kamu tidak tahu?"
"Tidak," katanya, sambil menyipitkan mata. "Apakah itu berarti dia hebat?"
"Setidaknya bagi kita para detektif, iya."
Aku mengeluarkan kartu registrasi Perpustakaan Detektif dari dompetku dan menunjukkannya padanya.
Samidare Yui, DSC Nomor '888'
"Kamu juga punya kartu seperti ini, kan?"
"Aku baru mendaftarkannya beberapa waktu lalu."
Dia mengambil buku catatan dari tasnya, dan mencabut kartu yang terselip di dalamnya.
Kirigiri Kyōko, DSC Nomor '919'
"Wah, kamu juga Nomor '9', ya. Siswi SMP dengan Nomor '9' itu... Kamu memilih jalan yang sangat sulit."
Kataku dengan terkejut.
Semua detektif yang terdaftar di Perpustakaan Detektif memiliki kartu bernomor.
Perpustakaan Detektif—tempat file informasi sekitar 65.500 detektif diklasifikasikan dan disimpan di rak. Informasi detektif yang terdaftar dipublikasikan, dan siapa pun dapat membacanya dengan bebas. Jika ada masalah, seseorang hanya perlu pergi ke Perpustakaan Detektif. Di sana terdapat detektif yang dapat mengatasi segala situasi, serta catatan kasus-kasus.
Bagi para detektif, ada keuntungan untuk didapatkan dengan setidaknya terdaftar di Perpustakaan Detektif, yaitu permintaan akan berdatangan. Ini semacam pendaftaran penyaluran kerja.
Namun, dengan filosofi bahwa 'Perpustakaan Detektif adalah basis data dan tidak memiliki ideologi', mereka tidak melakukan tugas-tugas seperti penempatan atau rekomendasi pekerjaan.
Meskipun data yang terbuka menyebabkan anonimitas detektif hilang, karena kasus yang sedang berjalan tidak dipublikasikan, itu bukan kerugian besar. Catatan masa lalu juga disembunyikan dengan benar di bagian yang berkaitan dengan informasi pribadi.
Data-data ini akan diklasifikasikan dengan metode klasifikasi unik Perpustakaan Detektif dan dialokasikan sebagai dokumen di rak tertentu.
Inilah yang disebut DSC (Detective Shelf Classification—Klasifikasi Rak Detektif), dan itu menjadi nomor klasifikasi detektif.
DSC diwakili oleh tiga digit angka.
Angka pertama adalah Divisi Primer, yang menunjukkan bidang keahlian detektif. Contohnya '3' pada '367' milik Amino. Ini berarti dia mahir dalam kasus kejahatan ekonomi—seperti penggelapan atau penyalahgunaan jabatan.
Nomor '9' milik Inuzuka dan Kirigiri menunjukkan keahlian dalam kasus pembunuhan, yang bisa dikatakan sebagai bidang unggulan bagi detektif. Namun, konon banyak detektif yang gagal dan gugur di bidang ini. Dikatakan pula bahwa nomor inilah yang paling banyak menghasilkan detektif yang gugur dalam tugas.
Selanjutnya, angka di tengah adalah Divisi Sekunder. Ini menunjukkan bidang keahlian yang lebih spesifik, turunan dari Divisi Primer. Dalam kasus Amino, '6' menunjukkan bahwa ia mahir menangani mata-mata industri. Dilihat dari penampilannya, mungkin ia juga mahir bertindak sebagai mata-mata industri itu sendiri.
Kemudian—
"Angka terakhir menunjukkan Peringkat detektif itu. Awalnya, semua orang mulai dari Peringkat '9'. Karena kamu juga baru mendaftar, kamu mendapat '9', ya. Seiring pengakuan atas prestasimu sebagai detektif, angka ini akan berkurang sedikit demi sedikit. Peringkat '3' itu tidak mudah dicapai, jadi paman itu, meskipun terlihat begitu, adalah detektif yang luar biasa. Ngomong-ngomong, peringkat tertinggi adalah '0' (nol). Nol adalah bukti bahwa seseorang adalah Master di bidang itu."
Detektif yang memiliki angka nol dalam nomor klasifikasinya dihormati oleh rekan seprofesi. Mereka disebut sebagai Zero-mochi atau Zero-Class.
Selain itu, jika mereka terus mengumpulkan prestasi dari Peringkat '0', angka tengahnya akan menjadi '0', yang menunjukkan genre 'Komprehensif' (Menyeluruh). Ini disebut Double Zero-Class, dan dapat dikatakan bahwa mereka berada di posisi puncak sebagai detektif—yang disebut Detektif Agung (Meitantei).
Dari situ, jika Divisi Primer—angka pertama—juga menjadi '0' yang menunjukkan 'Komprehensif', itu akan disebut Triple Zero-Class, dan mereka akan dikenang sebagai eksistensi legendaris.
Sejarah Perpustakaan Detektif baru sekitar lima belas tahun, tetapi konon hanya empat detektif di masa lalu yang berhasil mendapatkan nomor '000'.
"Jadi, jika aku menjadi Zero-Class, aku akan diakui sebagai detektif?"
Kirigiri Kyōko bertanya.
Matanya terlihat murni—seperti mata anak kecil yang baru saja menemukan lokasi harta karun.
"Ya, begitulah... tapi, biar kukatakan, itu bukan hal yang mudah, lho. Sebenarnya aku sudah jadi detektif sejak usia yang hampir sama denganmu, tapi setelah tiga tahun, aku baru mencapai ini."
"Coba tunjukkan kartu itu padaku sebentar!" Amino secara paksa mengambil kartuku. "Apa... S-siswi SMA dengan Peringkat '8'... Y-yah, tetap saja tidak bisa melebihi aku. Kasihan sekali kamu, detektif siswi SMA."
Amino tampak terguncang.
"Bagaimana dengan pria kacamata hitam itu? Kamu punya kartunya, kan?"
Inuzuka bertanya pada pria berkacamata hitam.
Dia tanpa kata-kata mengeluarkannya dari saku dan menunjukkannya.
Enbi Shīta, DSC Nomor '245'
"A-apa... Peringkat '5'... Peringkatnya di atasku..."
Amino gemetar.
Meskipun angka Peringkat memang merupakan indikator kemampuan detektif, aku rasa terlalu berlebihan jika menjadi sekacau dirinya.
"Jadi, semuanya sudah punya kartu, ya,"
Enbi bergumam pelan.
"Tidak aneh jika pihak klien memilih detektif yang terdaftar di Perpustakaan Detektif untuk mengajukan permintaan," kata Inuzuka dengan ucapan yang agak tidak jelas (mabuk). "Hanya saja, jika aku berada di pihak klien, aku akan mengumpulkan Zero-Class sebanyak mungkin..."
"Memang benar. Namun, mungkin mereka sengaja ingin mengumpulkan berbagai kelas."
Kata Amino. Dia tampaknya sudah sepenuhnya bersikap merendah terhadap Inuzuka. Mungkin daya adaptasinya tinggi karena terbiasa berhadapan dengan mata-mata industri.
"Hmm... kemungkinan itu ada, ya. Keahlian setiap orang juga berbeda-beda. Apalagi, orang terhormat yang akan kita temui ini tampaknya cukup eksentrik."
"Eh, Anda tahu siapa kliennya?"
"Tentu saja. Detektif sekaliberku, klien anonim pun akan segera terungkap,"
"Memangnya siapa?"
"Kiba Ryūichirō. Dia adalah tokoh besar yang cukup dikenal di dunia bawah tanah. Tempat yang akan kita tuju ini adalah observatorium pribadi yang dibangun oleh orang terhormat itu. Benar begitu, Pak Sopir?"
Inuzuka berseru ke arah kursi pengemudi.
Namun, sopir itu tidak menjawab. Mungkinkah dia dilarang menjawab pertanyaan?
"Di surat permintaan tertulis Observatorium Sirius," kata Amino. "Tempat macam apa itu? Mungkinkah Inuzuka-san mengetahuinya..."
"Kau datang tanpa menyelidiki hal seperti itu, anak muda? Mau bagaimana lagi, biar aku yang memberitahumu."
Inuzuka berbicara dengan ekspresi yang tidak keberatan sama sekali. Dia juga tampak sepenuhnya termakan oleh pujian Amino.
"Observatorium Sirius itu berbentuk seperti pentagram jika dilihat dari atas. Bagian pusatnya yang berbentuk segi lima beraturan itu tampaknya adalah kubah observasi tempat teleskop disimpan."
Rincian yang mulai diceritakan Inuzuka dengan bangga itu sudah kuselidiki juga. Karena aku saja bisa dengan mudah menemukan artikel majalah astronomi, mungkin detektif lain hanya berpura-pura tidak tahu dan mendengarkan.
"Pada dasarnya, Sirius adalah bintang paling terang di rasi Canis Major (Bintang Anjing Besar), dan dikenal sebagai salah satu dari Tiga Bintang Musim Dingin. Bintang ini, faktanya—"
"Faktanya?"
Amino mengikuti alur pembicaraan.
"Terlihat satu, tapi sebenarnya dua—bintang yang dikenal sebagai Bintang Kembar."
"A-apa?!"
"Yang lebih terang disebut Sirius A, dan yang lebih kecil disebut Sirius B. Sirius B tidak terdeteksi hingga teleskop berkembang, karena terhalang oleh cahaya Sirius A."
"Fakta bahwa observatorium itu dinamai Sirius... mungkinkah bangunannya juga memiliki struktur kembar?"
"Kau menyadarinya dengan baik, Amino-kun. Benar, Observatorium Sirius meniru bintang itu, terdiri dari dua bangunan berbentuk bintang, besar dan kecil. Sirius A yang besar adalah bangunan utama, dan Sirius B yang kecil adalah bangunan terpisah yang berfungsi sebagai pintu masuk. Bahkan dari struktur bangunan yang aneh ini, terlihat bahwa pemiliknya adalah orang yang sangat tidak biasa."
"Luar biasa, benar-benar Kelas '3'! Saya tidak menyangka Anda sudah menyelidiki sedalam ini sebelumnya."
"Tentu saja, tentu saja."
Inuzuka tertawa puas.
Ceramah berharganya berlanjut setelah itu. Karena sebagian besar isinya adalah hal yang sudah tertulis di majalah astronomi, aku hanya mengabaikannya sambil memandangi pemandangan bersalju yang putih di luar jendela.
Sudah lebih dari satu jam sejak van berangkat. Salju di luar telah bertambah deras, dan hutan di sekeliling menjadi putih. Di jalan setapak yang sempit, lengkungan ranting-ranting bersalju menutupi bagian atas kami.
Tiba-tiba, van itu berhenti di tempat yang tidak ada apa-apa.
"Hei, Sopir, ada apa?"
"Kita sudah sampai,"
Sopir itu menoleh dan berkata.
Aku mengintip ke luar jendela. Di sekitar jalan yang dikelilingi pepohonan, tidak terlihat satu pun bangunan.
"Apa maksudmu? Hentikan lelucon ini!"
Amino meninggikan suaranya.
"Maksudmu kita harus berjalan dari sini?"
Enbi bertanya dengan suara rendah.
"Ya, Ōe-sama memberi tahu saya demikian. Saya dijadwalkan untuk kembali setelah menurunkan Anda semua di sini."
"Tidak masuk akal diturunkan di tempat seperti ini. Inuzuka-sensei juga terlihat kesulitan, kan?" Amino meninggikan nada suaranya. "Baiklah, kalau begitu aku yang akan membayar. Antar kami sampai ke Observatorium Sirius. Cepat, hidupkan kembali argo meternya."
"Saya tidak dapat menerima permintaan seperti itu."
"Maksudmu menolak penumpang? Oh, oh, kau dari perusahaan taksi mana? Inuzuka-sensei, apa yang harus kita lakukan pada orang ini? Saya bisa saja memberinya pelajaran tentang akibat menghina detektif..."
"Tenanglah, anak muda. Klien tampaknya tidak ingin ada orang selain detektif yang mendekat. Menerima niat lawan seperti itu juga merupakan tugas detektif."
Inuzuka tersenyum puas, mengambil barang bawaannya, dan membuka pintu van. Dia menginjakkan kaki pertama di atas salju yang putih bersih.
"Kau beruntung nyawamu selamat,"
Amino mencaci ke arah sopir sambil turun dari van.
Selanjutnya, Enbi turun dari van tanpa sepatah kata pun. Dia memperbaiki letak kacamata hitamnya yang sedikit bergeser sambil menyandang tas boston kecil di bahu.
"Ayo, kita juga harus turun."
Aku mendesak Kirigiri.
Kirigiri mengambil tasnya dan berdiri.
Saat turun dari tangga, Kirigiri mengintip ke kursi pengemudi dan bertanya,
"Instruksi apa yang kau terima dari Ōe Yoshizono?"
"Instruksi apa... maksud Anda?"
Sopir balik bertanya.
"Kau bertemu langsung dengannya?"
"Tidak, saya hanya menerima instruksi melalui telepon. Saya tidak bertemu langsung. Van ini juga sudah disiapkan sesuai spesifikasi."
"Seperti apa suaranya?"
"Seperti apa... Sulit untuk dijelaskan... Saya hanya menilai itu suara laki-laki biasa."
"Begitu,"
Kirigiri berkata dengan datar, dan turun dari van seolah tidak terjadi apa-apa.
Apa maksud dari percakapan barusan? Apakah dia ingin tahu identitas perwakilan itu? Bagaimanapun, sopir itu tampaknya hanya dipekerjakan dan diperintah.
Aku menjadi orang terakhir yang turun dari van.
Setelah menurunkan kelima detektif, van itu tanpa belas kasih berbalik di jalan bersalju. Meninggalkan jejak ban, van itu segera menghilang di tengah salju. Kami benar-benar ditinggalkan di tengah pegunungan.
"Jika kita tidak sampai ke Observatorium Sirius sebelum matahari terbenam, kita akan mendapat masalah besar,"
Inuzuka berkata sambil merentangkan kedua tangannya, seolah menangkap salju.
Enbi adalah yang pertama berjalan. Dia sempat kehilangan keseimbangan sesaat seolah kakinya terperangkap di salju, tetapi segera pulih.
"Cukup dalam, hati-hati."
Dia menoleh ke belakang dan berkata seolah memberi peringatan.
Dilihat dari perawakan dan kepribadiannya, dia tampak menjadi orang yang paling bisa diandalkan. Nomor klasifikasinya '245' menunjukkan 'Kejahatan Negara/Teror, Peringkat 5'. Artinya, dia adalah detektif garda depan yang berhadapan langsung dengan teroris. Sikapnya yang pendiam dan suram mungkin berasal dari latar belakangnya. Cara berjalannya yang pincang juga bisa jadi disebabkan oleh luka lama dari medan pertempuran yang pernah ia hadapi.
"Pokoknya... ini jalan setapak, mari kita jalan saja duluan."
Ketika aku berkata begitu, Inuzuka dan Amino melirik sekilas ke arahku, seolah berkata mereka sudah tahu, lalu mengikuti Enbi.
"Ayo, Kirigiri-chan."
Kataku, seolah mendorong punggungnya yang berdiri mematung di tengah salju.
Kirigiri menoleh ke belakang, mengernyitkan kerutan halus di dahinya yang terlihat kekanak-kanakan.
"Mungkin kita harus kembali dari sini."
"Hah? Kembali setelah sampai sejauh ini? Berjalan kaki?"
"Aku mendengar langkah kaki."
"Langkah kaki?"
Karena salju, lingkungan terasa sunyi. Namun, aku tidak mendengar langkah kaki siapa pun. Aku memiringkan kepalaku dan menatapnya.
Dia memasang wajah yang semakin sulit, seolah frustrasi karena tidak dipahami, dan melihat ke punggung para pria yang sudah mulai berjalan.
"Aku tidak bisa meninggalkan mereka, ya..."
Kirigiri bergumam begitu, dan mulai berjalan.
"Ah, tunggu sebentar!"
Aku buru-buru menyusulnya.
Jika aku sedikit saja mengalihkan pandangan darinya, aku mungkin akan kehilangannya di tengah salju. Aku segera menyusulnya dan berbalik ke arahnya.
"Apa yang kamu katakan tadi?"
"Apa kau tidak penasaran?"
Kirigiri berkata sambil menatap lurus ke depan.
"Tentang apa?"
"Surat permintaan yang aneh itu."
"Itu... memang banyak hal yang membuat penasaran, tapi..."
"Apa orang bernama Ōe Yoshizono itu benar-benar ada?"
"Hah?"
Aku memiringkan kepala.
"Ōe Yoshizono... jika dibaca dengan sedikit variasi... ŌE U-N."
"Jangan-jangan... U. N. Owen? Ah, tidak, itu pasti hanya perasaanku saja, kan?"
Nama itu muncul dalam novel misteri klasik terkenal, And Then There Were None. Itu adalah kisah tentang sepuluh orang yang dibunuh satu per satu di sebuah pulau terpencil, dan mereka semua menerima surat undangan dari seseorang bernama U. N. Owen. Nama itu juga merupakan plesetan dari kata 'unknown'.
"Andai saja perwakilan itu adalah U. N. Owen, apa yang akan dia lakukan? Jangan-jangan dia berencana mereplikasi And Then There Were None? Kalau dia sengaja menulis nama yang penuh petunjuk seperti itu di surat permintaan, bagaimana kalau rencananya terungkap sebelum dia melakukan apa-apa?"
"Sepertinya belum ada yang menyadarinya,"
Kirigiri menunjuk para pria yang berjalan di depan.
"Tidak... sepertinya itu hanya asumsi kita saja, kan?"
"Semoga saja begitu."
Kirigiri berkata sambil membuat gerakan seperti mengangkat bahu.
Apakah dia sudah mencium sesuatu?
Tentang identitas asli dari permintaan aneh ini.
"Untuk saat ini, mari kita ikuti mereka. Kalau kita tertinggal di pegunungan bersalju seperti ini, kita bisa mati kedinginan bahkan sebelum menerima permintaan itu."
Ketika aku berkata begitu, Kirigiri mengangguk dan mengikutiku. Dengan langkah kecilnya, dia berusaha keras untuk menyusulku. Aku berjalan perlahan agar dia bisa mengikutiku.
"Hei, ngomong-ngomong, kamu," aku mengajak Kirigiri bicara. "Kenapa kamu memutuskan menjadi detektif? Menjadi detektif di usia SMP, pasti ada alasan tertentu, kan?"
"...Aku tidak pernah memutuskan untuk menjadi itu."
"Eh?"
"Aku terlahir sebagai detektif."
"Hehe, apa-apaan itu. Mau bergaya hard-boiled?"
TN Yomi: ハードボイルド (Hādo boirudo) Gaya hard-boiled, genre fiksi kriminal yang bercirikan tokoh detektif yang tangguh dan sinis.
Aku mengatakannya dengan nada bercanda. Untuk kasusnya, mungkin lebih tepat disebut Cute-boiled daripada Hard-boiled.
Namun, wajahnya serius dan dia sama sekali tidak tertawa. Sepertinya dia sungguh-sungguh.
"Jangan-jangan bisnis keluargamu adalah detektif?"
"Ya."
Kirigiri menjawab singkat, sambil membuat gerakan seperti membersihkan salju yang menumpuk di kepalanya.
"Wah, jadi kamu yang akan meneruskan profesi detektif itu."
"Benar."
Kali ini, tersembunyi nada bangga dalam suaranya.
"Kamu tidak keberatan?"
Dia menatapku dengan wajah bertanya-tanya, 'Apa maksudmu?'.
"Meskipun itu bisnis keluarga, kenapa harus detektif? Ada banyak pilihan lain di dunia ini, kan? Idola, perawat, tukang roti... Detektif itu bahkan dibilang pekerjaan yang tidak cocok untuk wanita sejak dulu."
"Aku tidak pernah memikirkannya berdasarkan suka atau tidak suka," jawab Kirigiri tanpa ekspresi. "Bagiku, menjadi detektif sama dengan hidup."
"Kedengarannya seperti tekanan yang sangat besar... Apakah itu yang diajarkan padamu?"
"Ya."
Kirigiri mengiyakan dengan ringan. Ekspresinya menunjukkan bahwa dia bahkan tidak pernah mempertanyakan hal itu.
Pada mata yang begitu murni, aku justru melihat kerapuhan. Dia pasti anak dari keluarga yang tidak bisa kubayangkan.
Kirigiri sesekali melirik ke arahku, seolah ingin menanyakan sesuatu.
"Ada apa?"
Ketika aku mendesaknya, dia segera memalingkan pandangannya dan membuka mulut.
"...Bagaimana denganmu?"
"Hm? Maksudmu kenapa aku jadi detektif? Tentu saja... karena aku ingin menjadi Pahlawan Keadilan... kurasa. Menyelamatkan orang yang mencari pertolongan! Bukankah itu esensi dari seorang detektif?"
Dia tidak menunjukkan reaksi khusus terhadap nada bicaraku yang penuh semangat. Sebaliknya, dia menatapku seolah aku adalah makhluk hidup yang aneh.
"Kenapa wajahmu begitu? Aku serius, lho."
"Hmm... begitu."
"Kenapa kamu tidak peduli setelah bertanya sendiri? Lagipula, kamu kan adik kelas di sekolah yang sama, bagaimana kalau bersikap lebih seperti adik kelas? Aku tidak memintamu menggunakan bahasa formal, tapi setidaknya tunjukkan sikap yang lebih baik pada seniormu..."
"Contohnya?"
"Begini..." Tiba-tiba aku punya ide. "Karena perbedaan tingkatan kita tiga tahun, mungkin lebih cocok dipanggil kakak, daripada senpai. Jadi... bagaimana kalau kamu memanggilku Onee-chan saat memanggilku?"
"Onee-sama?"
"T-tidak, tidak perlu seformal itu. Bukan 'sama', tapi 'chan'. 'Onee-sama' itu agak memalukan, kan?"
"Yui Onee-sama."
"J-jangan! Itu memalukan! Kurasa kita ganti saja panggilannya."
"Panggilan apa pun tidak penting," kata Kirigiri sambil menghela napas. "Lebih baik kita cepat pergi. Kita akan ditinggalkan. Yui Onee-sama."
"Kamu sengaja melakukannya, kan!"
Aku refleks menutup wajahku dan meringis. Jika begini terus, ini bisa menjadi sejarah kelam di masa depan. Aku bisa disalahpahami oleh masyarakat luas.
Kirigiri berjalan lebih dulu sendirian.
Aku bergegas mengikutinya sambil protes.
Tiba-tiba, aku melihat para pria di ujung jalan berhenti, seolah sedang memikirkan sesuatu.
Aku dan Kirigiri berjalan cepat untuk menyusul mereka.
Di depan mereka, terpasang papan nama besar.
'SELAMAT DATANG DI OBSERVATORIUM SIRIUS KEPUTUSASAAN'
Entah ulah siapa, tapi kata 'Pemandangan Indah (Zekkei)' telah diganti menjadi 'Keputusasaan (Zetsubō)' dengan cat semprot merah. Saat itu, kami anehnya tidak peduli dengan petunjuk yang menyeramkan itu. Sebab, yang lebih penting bagi kami adalah fakta bahwa Observatorium Sirius sudah dekat.
Papan nama itu menunjukkan sebuah panah, dan memang ada jalan setapak yang sempit ke arah itu.
"Tanda panah ini jangan-jangan juga ulah iseng?"
Amino berkata sambil melipat tangan.
"Aku tidak berpikir tujuannya adalah membuat kita tersesat," Inuzuka tetap tenang. "Bahkan jika ini jebakan, kita tidak akan kesulitan mencari kehangatan. Ada banyak alkohol!"
Sambil berkata begitu, dia menepuk koper berodanya.
"Bagaimana dengan yang masih di bawah umur?"
"Kita bisa mencari kehangatan dengan kehangatan tubuh manusia."
Inuzuka tersenyum cabul.
Aku tidak bisa sepenuhnya menghormati Inuzuka, yang menyandang angka Kelas '3'. Mungkin ini karena stereotipku bahwa Detektif Agung haruslah seorang pria terhormat yang bersih dan jujur. Bagaimanapun, dia hanyalah Kelas '3'. Detektif dengan angka '2' atau '1' pasti orang-orang yang lebih hebat. Apalagi jika itu Zero-Class, mereka pasti terlihat seperti manusia dari dunia lain...
Dengan Enbi di depan, para pria itu mulai menyusuri jalan.
Jika kita benar-benar mencapai senja di jalan ini, kita semua mungkin akan binasa. Jalan bersalju di hutan semakin gelap, dan angin bertiup semakin kencang. Selain kami yang berjalan terhuyung-huyung, tidak ada tanda-tanda pergerakan lain.
Para pria itu tidak memperlambat langkah mereka untuk menyesuaikan diri dengan aku dan Kirigiri, dan mereka berjalan semakin jauh di depan. Kami terpaksa berjalan mengikuti bayangan dan jejak kaki mereka di tengah kegelapan yang tipis.
Tiba-tiba, Kirigiri menunjuk ke depan.
"Lihat, Yui Onee-sama. Ada cahaya."
Melihat ke arah yang ditunjuk, di balik tirai badai salju, tampak cahaya bangunan yang menyala dengan samar.
Tunggu dulu...
"Kamu, panggilan itu..."
Kirigiri mengabaikanku dan berjalan lebih dulu.
—Sudahlah.
Bangunan itu terletak di lokasi yang sedikit lebih tinggi dan terbuka, mewarnai pemandangan putih di sekitarnya dengan cahaya hangat yang kemerahan. Mungkin cahaya lampu itu memancar dari dalam ruangan yang berdinding kaca. Layak disebut sebagai bintang di bumi, memancarkan cahaya bintang paling terang di celah kegelapan. Namun, mungkin karena terlihat melalui badai salju, seluruh pemandangan itu terdistorsi seperti fatamorgana atau ilusi.
Kami akhirnya berhasil mencapai Observatorium Sirius.
Bagian 3
Observatorium Sirius—seperti yang dijelaskan Inuzuka, atau lebih tepatnya, berdasarkan dokumen yang kukumpulkan—terdiri dari bangunan kembar berbentuk bintang. Namun, dari sudut pandang kami, kami tidak tahu apakah itu berbentuk bintang. Itu hanya terlihat seperti bangunan yang datar.
Bangunan yang lebih kecil menyambut kami lebih dulu. Inilah Blok B, meniru Sirius B. Bolehkah disebut sebagai pintu masuk tunggal yang terpisah? Dindingnya sepenuhnya terbuat dari kaca, sehingga pemandangan di dalamnya terlihat jelas. Di belakang Blok B ini, kami bisa melihat Blok A yang menjadi bangunan utama bersinar.
Kami bergegas masuk ke Blok B, seolah melarikan diri dari badai salju. Pintu otomatis di pintu masuk terbuka seolah menyambut kami.
Kami akhirnya berhasil masuk ke tempat yang bisa melindungi kami dari badai salju. Aku mengelus dadaku yang benar-benar kedinginan.
Tepat di depan pintu masuk, terdapat tangga menuju lantai bawah tanah. Pintu di ujung tangga itulah yang merupakan pintu masuk utama yang sebenarnya.
"Namun, strukturnya merepotkan sekali," Amino mencibir sambil merapikan rambutnya yang berantakan. "Untuk pergi ke gedung utama, kita harus melewati terowongan bawah tanah ini sekali, kan?"
"Katanya, mereka tidak membuat pintu masuk di bangunan utama agar bisa membuat ruangan observasi di segala arah."
Aku berkata, mengingat-ingat dokumen yang kubaca.
"Meskipun begitu... tidak ada seorang pun yang keluar."
Inuzuka menuruni tangga ke bawah tanah dan berdiri di depan pintu masuk utama yang besar dengan dua daun pintu. Ada interkom di dinding samping.
Inuzuka menekan tombol itu dengan kasar.
Namun, tidak ada respons.
"Lampu masih menyala, jadi kurasa tidak mungkin tidak ada siapa-siapa..."
Inuzuka memiringkan kepala.
"Mungkin mereka sedang pergi karena ada urusan mendadak?"
"Tidak ada jejak kaki di sekitar pintu masuk, kan? Tidak ada seorang pun yang masuk atau keluar selama beberapa jam terakhir."
"Ah, benar juga,"
Kata Amino dengan nada kagum.
"Selain Kiba-shi, kenapa perwakilannya juga tidak ada?"
Inuzuka meraih pintu.
"Hmm? Terbuka."
Pintu terbuka tanpa suara.
"Tidak ada tanda-tanda kehadiran," Enbi mengintip dengan hati-hati ke balik pintu dan berkata. "Kalian tunggu di sini."
Enbi dengan cepat menyelinap ke balik pintu, lalu berseru, "Clear." Mengikuti isyarat yang berlebihan itu, kami pun masuk.
"Tidak ada yang menyambut. Benar-benar klien yang sulit dipahami,"
Amino berkata dengan nada kesal.
Dari sana, ada terowongan bawah tanah sepanjang sekitar dua puluh meter. Tidak ada kesan lembab seperti yang dibayangkan dari kata 'terowongan bawah tanah', dan lampu-lampu tersembunyi yang diletakkan setiap beberapa meter membuat kami teringat pada lorong bioskop.
Di ujung terowongan, terdapat pintu dua daun pintu yang sama seperti sebelumnya. Pintu itu tidak memiliki lubang kunci, dan terbuka dengan mudah saat ditarik.
Akhirnya, kami sampai di gedung utama.
Kali ini, kami tiba di tangga yang menuju ke atas tanah. Cahaya yang luar biasa terang memancar turun dari atas tangga. Kami menaiki tangga bersama-sama dengan penuh kewaspadaan.
"Hoo, jadi ini Observatorium Sirius,"
Inuzuka berseru kagum.
Hal pertama yang menarik perhatian kami adalah langit-langit berbentuk kubah.
Bagian dalamnya seluruhnya bercermin.
Artinya, kami berada di bawah cermin cekung berbentuk setengah bola yang menutupi kepala kami. Cahaya dari lampu diperkuat oleh cermin ini.
"Apa ini? Rasanya seperti dilemparkan ke dalam alat eksperimen yang aneh."
Amino bergumam.
"Ini mengingatkanku pada 'Neraka Cermin' milik Ranpo. Meskipun di sana situasinya adalah seluruh permukaan bola itu cermin..." Inuzuka menyeringai. "Apa kau tahu bahwa cermin cekung adalah salah satu alat yang sangat diperlukan untuk observasi benda langit? Kebanyakan teleskop dengan apertur besar menggunakan cermin cekung."
Sosok kami yang melar dan meliuk tercermin di langit-langit. Dunia yang terpantul di cermin cekung tidak hanya terbalik dari kiri ke kanan, tetapi juga terbalik dari atas ke bawah. Dan dari dunia cermin yang terdistorsi itu, wajahku yang mengerikan tampak menatap ke bawah. Itu bukan hal yang nyaman sama sekali.
"Cermin benar-benar misterius. Dunia yang mirip namun tidak sama dengan dunia yang kita kenal sedang menganga menunggu di sana. Sungguh, memasang cermin bahkan di langit-langit, Tuan Kiba Ryūichirō itu benar-benar terobsesi dan romantis, ya."
Inuzuka tampaknya sangat terkesan.
Namun, menurut dokumen yang kubaca, cermin cekung di langit-langit hanyalah panel aluminium yang dipasang di bagian dalam kubah untuk meningkatkan retensi panas dan efek pencahayaan. Karena alasan struktural, aula utama tidak memiliki jendela. Itulah mengapa diperlukan perangkat penguat cahaya. Tidak jelas apakah pemilik gedung ini memiliki kekaguman terhadap cermin atau tidak.
Setelah menaiki tangga sepenuhnya, kami akhirnya bisa melihat seluruh aula.
Aula itu berbentuk segi lima beraturan. Pintu-pintu yang ditempatkan di tengah setiap sisi mengarah ke kamar-kamar tamu. Ada total lima pintu, yang berarti lima segitiga yang membentuk sudut lancip bintang terbagi menjadi lima kamar tamu.
Di tengah aula, terdapat satu meja bundar besar. Di sampingnya, ada satu kursi berlengan kecil.
Kursi berlengan itu terutama untuk satu orang. Detektif yang memecahkan kasus di tempat tanpa harus pergi ke lokasi disebut Detektif Kursi Berlengan. Kursi di depan kami juga memiliki bantalan tebal di sandaran dan dudukan, ditopang oleh kaki kayu, cukup nyaman bagi seorang detektif hebat untuk bersantai dan merenung.
Hanya itu yang ada di aula.
Teleskop yang seharusnya menjadi fokus utama tidak terlihat.
"Lho...? Di foto, ada teleskop besar dipasang di sini, tapi..."
Aku berkata sambil melipat tangan.
"1 tahun 3 bulan lalu, Kiba Ryūichirō dikenakan pajak tambahan karena penggelapan pajak..." Enbi tiba-tiba membuka mulut. "Seluruh teleskop itu disita karena penyitaan untuk tunggakan pajak. Hanya benda yang ada di sini yang dicabut dengan bersih. Itu tipikal cara kerja birokrasi. Para pejabat selalu begitu. Mereka tidak peduli dengan situasi di lapangan..."
"B-bagaimana Anda tahu hal seperti itu?"
Aku bertanya dengan terkejut.
"Itu hal yang bisa diketahui jika diselidiki," jawabnya dengan tenang. "Ngomong-ngomong, dua bulan setelah itu, seluruh bangunan ini dijual. Pembelinya adalah perusahaan venture IT tertentu. Namun, perusahaan itu tampaknya adalah perusahaan cangkang untuk perusahaan lain. Aku tidak bisa mengungkap apa yang tersembunyi di baliknya."
TN Yomi: Perusahaan cangkang adalah badan hukum yang hanya ada di atas kertas, tidak memiliki operasi bisnis aktif, karyawan, atau aset fisik yang signifikan, tetapi sering digunakan untuk menyimpan aset, menyembunyikan identitas pemilik, atau memfasilitasi transaksi keuangan secara anonim
"Kenapa kau diam saja selama ini?"
Amino menyerang.
"Informasi adalah komoditas, kan? Apa ada orang bodoh yang membagikan komoditas secara gratis?"
Mendengar suara berat Enbi, Amino sepertinya tidak punya pilihan selain diam.
"Jika apa yang dikatakan Enbi-kun benar, berarti Tuan Kiba Ryūichirō sudah melepaskan bangunan ini."
Wajah Inuzuka menjadi muram.
"Maksudmu orang bernama Kiba itu tidak ada hubungannya...Kalau begitu... siapa sebenarnya kliennya?"
Amino berkata dengan ekspresi kebingungan.
Tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan itu.
"Y-yah, untuk saat ini, kita tidak punya pilihan selain menunggu perwakilan bernama Ōe itu muncul. Mengingat mereka bersikap sangat tertutup begini, mungkin ini adalah permintaan dari tokoh yang sangat penting."
Kata Amino.
Kami saling bertatapan, lalu pandangan kami mengembara entah ke mana. Kecurigaan dan kecemasan kecil yang kami simpan di dada kini tampak mulai berderit dan membesar...
"Jika pemiliknya tidak ada, aku akan izin untuk melakukan eksplorasi, meskipun itu tidak sopan."
Inuzuka tampaknya belum menyerah. Mungkin memang begitulah kelas '3'. Dia membuka salah satu pintu terdekat dan mengintip ke dalam ruangan.
"Bagaimana kalau kita juga memeriksa sekeliling? Hei, Kirigiri-chan."
Aku memanggil Kirigiri.
"Akan lebih cepat jika kita berpisah dan menyelidikinya."
Dia menjawab dengan tenang, lalu pindah ke bagian belakang aula sendirian. Aku sempat berpikir kami sudah mulai membangun rasa solidaritas, tapi ternyata tidak demikian. Aku merasa seperti baru saja dinasihati oleh anak yang lebih muda.
Aku yang merasa sedih, mengintip ke salah satu kamar secara acak.
Itu adalah kamar tamu yang persis sama seperti yang dimuat di artikel wawancara. Kamar itu sendiri berbentuk segitiga, tapi karena ada lemari di sisi kanan dan toilet serta kamar mandi di sisi kiri, bentuk sebenarnya bisa dibilang seperti home plate yang memanjang ke belakang. Tempat tidur berada di samping lemari, dan di seberangnya ada meja rias dan kulkas kecil.
Hampir separuh dari dua sisi sama kaki segitiga itu dilapisi kaca, yang dirancang sebagai jendela observasi. Namun, ketika aku membuka tirai dan mengintip ke luar, yang terlihat hanyalah hutan gelap dengan salju putih yang beterbangan. Meskipun saat siang hari, atau bahkan jika salju tidak turun, pemandangannya mungkin tidak akan bagus. Jendela ini mungkin bukan untuk melihat ke tanah. Itu untuk melihat langit berbintang.
Di bagian paling belakang ruangan, dekat dengan ujung segitiga sama kaki, sebuah teleskop terpasang. Berbeda dengan yang raksasa yang konon disita, ini adalah teleskop yang masih bisa dimiliki secara pribadi. Meskipun begitu, ukurannya lebih besar dan lebih tebal dari teleskop yang umum dibayangkan. Mungkin ini yang disebut apertur besar. Harganya pasti mahal.
Setelah membuka tirai, aku mencoba mengintip lensa mata. Tapi yang terlihat hanyalah kegelapan yang samar, dan tentu saja tidak ada bintang.
Aku sedikit memaksakan diri mengubah arah teleskop, mengarahkannya ke dalam ruangan. Saat diintip, pemandangan aula di seberang dari pintu yang terbuka terlihat sebagai gambar yang sangat buram.
"Kau sudah mulai berbuat iseng, ya?"
Seekor monster raksasa muncul di dalam lensa.
Aku mengeluarkan pekikan singkat dan menjauhkan mata dari teleskop.
Di pintu masuk ruangan, Inuzuka berdiri.
"Jangan berteriak seperti itu, nanti ada yang salah paham!"
Inuzuka berkata dengan panik. Benar saja, tak lama setelah itu, Amino segera bergegas masuk ke kamar.
"Ada apa?"
"Tidak, sayangnya tidak ada apa-apa," Inuzuka menyentuh dahinya, menunjukkan isyarat kelelahan. "Struktur semua kamar sepertinya sama. Ini tempat yang bagus untuk observasi benda langit."
"Sungguh, kalau saja cuacanya tidak begini, aku pasti sudah menemukan satu bintang baru!"
Amino berkata sambil mendecakkan lidah.
"Meskipun begitu, ini teleskop yang bagus. Apertur 200 mm buatan Jerman. Ini adalah teleskop reflektor Newtonian. Lihat, di ujung tabung tidak ada lensa, kan? Bagian dalamnya berongga, dan cermin cekung terlihat di belakang."
"Berbeda dengan teleskop biasa, ada lubang intip di samping tabung, ya. Saya juga mencoba mengintip di kamar lain tadi, dan Blok B terlihat samar-samar."
Amino berbicara dengan gembira dan mengikuti pembicaraan Inuzuka.
"Ya, ya, teleskop 'biasa' yang kau maksud itu adalah teleskop refraktor yang sering kita lihat secara umum. Itu tipe yang menggunakan lensa untuk membentuk gambar di dalam tabung teleskop. Bagi pemula, tipe itu jauh lebih mudah digunakan. Karena posisi bintang dan arah untuk mengintip lensa berada dalam garis lurus."
Inuzuka, dengan nada mabuknya, mulai melantur menjelaskan pengetahuan mendalamnya tentang teleskop.
Aku kehilangan minat pada teleskop dan mengintip ke dalam lemari dan kamar mandi. Tidak ada yang aneh.
"Di sisi lain, tipe teleskop reflektor ini dapat disediakan dengan biaya murah dan apertur besar. Itu karena ia menggunakan cermin cekung, bukan lensa. Untuk memantulkan bayangan yang dipantulkan cermin secara horizontal menggunakan cermin kecil di dalamnya, lensa mata diletakkan di samping tabung teleskop. Ini adalah penemuan Newton itu."
"Tapi Inuzuka-sensei, Anda juga berpengetahuan luas tentang observasi benda langit ya..."
"Karena aku dulu anggota klub astronomi saat masih mahasiswa. Hahaha."
Berarti itu pengetahuan dari lebih dari dua puluh tahun yang lalu.
Sambil mengabaikan percakapan mereka, aku membuka kulkas. Isinya dingin, dan terdapat air mineral, botol soda, dan dua kaleng bir.
Aku memeriksa tanggal kedaluwarsa air mineral. Masih lama. Bisa dibilang baru-baru ini diganti.
Aku meninggalkan Inuzuka dan yang lainnya, lalu keluar ruangan.
Di aula, Enbi berdiri sambil melipat tangan dan menyandarkan pinggulnya ke meja bundar.
"Apa ada sesuatu?"
Aku bertanya.
"Tidak... tidak ada."
"Aku juga sudah memeriksa kamar di sana, tapi tidak ada apa-apa. Tidak ada pesan rahasia misterius, atau buku yang halamannya hilang... tidak ada di mana pun."
"Kita dipanggil bukan untuk perburuan harta karun..."
Enbi berkata sambil menghela napas.
Saat itu, Inuzuka dan Amino kembali.
"Kami sudah membuka semua seprai, mengintip teleskop, dan menyalakan shower, tapi tidak ada yang aneh. Tentu saja, sosok klien misterius itu sepertinya tidak ada di mana pun."
Setelah itu, Kirigiri keluar dari kamar lain. Dia hanya menggelengkan kepala.
"Hmm, tidak ada apa-apa, ya..."
"Bagaimana, Inuzuka-sensei? Jelas kita tidak bisa pulang dengan berjalan kaki di tengah salju ini. Ponsel... seperti yang diduga tidak ada sinyal, dan sepertinya di sini juga tidak ada telepon. Kita tidak bisa memanggil bantuan."
"Tidak, tidak, masih terlalu dini untuk memutuskan pergi dari sini. Bukankah perwakilan itu mungkin akan datang?"
Inuzuka berkata dengan ekspresi yang santai seperti biasa.
"Mungkinkah perwakilan itu akan muncul...?"
Amino tampaknya mulai ragu.
Mungkinkah ada semacam konspirasi kriminal dalam pengumpulan kami di tempat ini?
Mungkinkah ini semacam jebakan...?
"Bukankah sudah waktunya kita lupakan saja tentang surat permintaan itu?"
Enbi bergumam pelan.
"Benar, aku setuju dengan pendapat Enbi-kun," kata Inuzuka. "Namun, membuat kita berpikir begitu mungkin justru tujuan klien. Mungkin wawancaranya sudah dimulai. Ini adalah ujian kesabaran. Untuk lulus ujian, bukankah kita harus bertindak setia pada surat permintaan?"
"Kalau begitu, baguslah..."
Amino bergumam dengan nada serius.
"Bagaimanapun, kita sudah tidak bisa kembali. Kita harus siap untuk bermalam di sini. Kebetulan sekali ada lima kamar yang pas untuk kita."
"Anda berniat tidur di tempat yang tidak jelas seperti ini?"
"Kalau begitu, kau boleh pulang sendiri, Amino-kun. Kurasa tidak ada yang akan keberatan jika pesaing berkurang." Inuzuka melintasi aula dengan senyum percaya diri. "Aku akan mengambil kamar yang ini."
Inuzuka memutuskan kamarnya sendiri, lalu masuk dan menutup pintu.
Melihat itu, Enbi tanpa berkata apa-apa masuk ke kamar terdekat dan menutup pintu.
"Gila," Amino membanting tas dokumen tipisnya ke atas meja. "Kalau tahu bakal begini, aku seharusnya membawa persiapan lebih. Barangkali aku hanya punya barang ini. Tidak ada pakaian ganti."
Aku dan Kirigiri hanya bisa menatapnya dengan pandangan iba.
"Jangan-jangan kalian berdua juga akan tetap di sini?"
"Mau bagaimana lagi... Setidaknya sampai fajar menyingsing, rasanya mustahil untuk pulang dengan berjalan kaki." Kataku.
"Hei, bagaimana kalau kita bertiga bekerja sama dan pergi mencari rumah penduduk terdekat? Aku punya firasat buruk tentang permintaan ini. Jika kita keluar bertiga, kita mungkin bisa meminta bantuan seseorang. Tidakkah kau berpikir kita harus meninggalkan tempat ini secepatnya?"
"Firasat buruk memang ada, tapi itu lebih baik daripada keluar. Jika kita berjalan di tengah badai salju malam ini, kita pasti akan mati kedinginan."
"Kau akan menyesal. Kita tidak akan tahu mana yang lebih baik... sampai hasilnya keluar."
Amino berkata dengan nada putus asa, lalu menyambar tasnya dan masuk ke kamar yang tersisa. Suara pintu yang ditutup dengan kasar bergema di aula.
"Situasinya jadi makin serius, ya,"
Aku berbicara kepada Kirigiri.
Dia, masih menatap dinding aula dengan wajah pucat dan mata yang tidak bisa dibaca apa yang sedang dipikirkannya.
"Kamu baik-baik saja?"
"Ya."
"Apa kamu membawa pakaian ganti?"
"Pakaian yang sama pun tidak masalah selama seminggu."
"Yah, kupikir sebaiknya itu dijadikan masalah, sih..."
Aku membawa satu set pakaian ganti, mengantisipasi hal ini. Ketika aku melihat foto Observatorium Sirius di artikel majalah, aku berpikir mungkin kami harus menginap di sini sebagai bagian dari proses wawancara. Sejauh ini, dugaanku benar.
Mungkinkah, seperti kata Inuzuka, inti dari wawancara ini adalah ujian kesabaran?
"Kamu mau pakai kamar yang mana? Kalau takut, kamu boleh tidur bersamaku."
Ketika aku bertanya, Kirigiri tampak ragu, membandingkan dua pintu yang tersisa, lalu menunjuk salah satunya.
"Wah, kebetulan! Aku juga mau kamar itu. Berarti kita harus pakai bersama, dong."
Saat aku berkata begitu, Kirigiri mengernyit dan menatapku.
"Bohong, bohong, cuma bercanda! Aku bakal ambil kamar yang tersisa."
Kirigiri membalikkan punggungnya padaku tanpa bicara, dan masuk ke kamar. Apa dia marah?
Aku memasuki kamar kelima yang tersisa.
Seprai tempat tidur sudah terlepas, dan pintu kamar mandi terbuka lebar. Mungkin Inuzuka atau Amino meninggalkannya begitu saja setelah memeriksa kamar. Aku menghela napas, merapikan tempat tidur, dan melemparkan ranselku di atasnya.
Aku memeriksa luar jendela, tetapi tetap saja hanya ada kegelapan putih di sana.
Kapan salju ini akan berhenti? Jangan-jangan... jika badai salju bertambah parah besok pagi, ini mungkin tidak akan selesai hanya dalam satu atau dua malam.
Aku tiba-tiba penasaran dan memeriksa kulkas.
Di dalamnya, masih tersusun jus dan bir.
Tidak ada makanan.
Fakta itu tiba-tiba terasa seperti masalah yang sangat besar.
Kemungkinan besar, tidak ada stok makanan yang disimpan di mana pun di gedung ini. Jika badai salju membuat kami terdampar di sini selama berhari-hari, bukankah kami akan kelaparan?
Aku memeriksa isi ranselku. Ada sebatang cokelat dan sekantong permen. Ini adalah camilan yang kubawa.
Berapa hari kami bisa bertahan hanya dengan air dan ini...
Mungkinkah situasi kami jauh lebih buruk dari yang kami bayangkan.
Aku duduk di tepi tempat tidur dan memegang kepala sejenak. Mungkin karena berjalan di tengah salju tanpa payung, kesadaranku terasa sedikit kabur. Demam dalam situasi ini bukanlah hal yang bisa dianggap enteng.
Aku berbaring di tempat tidur dan menatap langit-langit.
Aku mengeluarkan ponsel dari saku dan memeriksanya.
Tidak ada sinyal.
Aku menerima tulisan itu dengan sangat alami. Tidak mungkin ponsel bisa digunakan ketika detektif dikumpulkan di sebuah bangunan yang terisolasi oleh salju.
Surat permintaan misterius... apa sebenarnya itu?
Siapa dan untuk tujuan apa yang telah memanggil kami ke sini?
Semakin aku memikirkannya... kesadaranku semakin kabur.
Aku memutuskan untuk pindah ke aula untuk menjernihkan pikiran.
Di aula, Kirigiri berdiri sendirian menghadap dinding.
"Oh, sedang apa disitu?"
Ketika aku bertanya, dia menoleh dan memasang wajah seolah ingin mengatakan sesuatu. Di dinding di depannya, ada kabinet tertanam yang tutupnya terbuka.
"Oh, kamu menemukan sesuatu?"
Di bagian dalam kabinet, terdapat rangkaian sakelar aneh. Tulisan yang tampaknya merupakan instruksi pengoperasian pada panel semuanya dalam bahasa asing. Mungkin bahasa Jerman. Di antara semua itu, ada satu sakelar tombol yang mencolok. Garis peringatan hitam dan kuning mengelilingi sakelar itu dalam bentuk persegi, seolah mendesak untuk berhati-hati.
"J-jangan-jangan ini... tombol penghancuran diri...?"
"Itu sakelar untuk membuka dan menutup kubah di langit-langit," kata Kirigiri dengan nada terheran. "Cara menggerakkan teleskop juga tertulis di sana."
"Kamu bisa membaca Bahasa Jerman?"
"Tidak, aku hanya tahu sedikit. Aku pernah ke Jerman beberapa kali."
Sungguh luar biasa. Padahal aku saja kesulitan dengan ujian Bahasa Inggris.
"Coba kita tekan, yuk?"
"Ah!"
Aku menekan sakelar itu bahkan sebelum mendapat persetujuan dari Kirigiri.
Tiba-tiba terdengar suara mesin berputar dari suatu tempat. Saat aku mendongak, celah terbentuk di bagian cermin cekung. Itu terlihat seperti retakan pada cermin. Celah itu memperlihatkan bukan dunia cermin sama sekali, melainkan... langit malam yang kelabu pekat.
Seketika, salju berembus masuk. Salju yang menumpuk di atap juga jatuh dengan suara 'bruk'.
Udara yang menusuk tulang menyelimuti kami.
"Wah, dingin!"
Aku buru-buru menekan sakelar. Namun, gerakan kubah itu tidak berhenti.
"T-tunggu, bagaimana cara mengembalikannya?"
"Angkat sakelar tuas di sana, lalu tekan tombolnya sekali lagi."
Aku melakukan sesuai instruksinya, dan kubah itu perlahan menutup. Tidak sampai satu menit sampai kubah itu tertutup sepenuhnya. Setelah menyisakan salju yang berjatuhan tipis, kubah itu benar-benar tertutup.
"Hei, suara apa tadi?"
Amino mengintip dari celah pintu dengan ekspresi ketakutan.
"Langit-langitnya terbuka,"
"Langit-langit?"
Amino keluar dari kamarnya dan mendongak ke langit-langit. Dia melirikku dengan wajah seolah aku baru saja mengatakan hal yang bodoh.
"Oh, kalian semua, sudah berkumpul di sini, ya."
Inuzuka juga keluar saat itu.
"Inuzuka-sensei, apa ada sesuatu?"
"Tidak, hanya saja aku tidak terbiasa hanya duduk diam. Aku berpikir bagaimana kalau kita menyelidiki gedung ini sedikit lebih detail..."
"Tadi kan sudah diperiksa dengan cukup teliti!"
"Kali ini, mari kita periksa dengan asumsi ada pintu atau lorong rahasia."
"Kurasa tidak mungkin ada yang seperti itu."
"Baru saja, anak-anak ini menemukan sakelar untuk menggerakkan langit-langit, kan? Lagipula, pikirkan ini. Meskipun tidak ada jejak siapa pun yang keluar masuk, lampu bangunan tetap menyala, dan pintu masuk bahkan terbuka. Aku tidak bisa tidak merasakan adanya keberadaan seseorang di dalam."
Memang ada benarnya ucapan Inuzuka. Aku mengangguk, setuju.
"Kali ini, kita akan memeriksa dengan teliti, semuanya. Namun, kita akan bagi menjadi dua tim. Jika semua bersama, akan tercipta celah."
Enbi, yang sedang beristirahat di kamar, dipanggil ke aula. Saat keluar dari kamar, entah mengapa ia terhuyung dan hampir jatuh. Ia memegang kepalanya sambil menyandarkan tubuhnya ke meja bundar.
"Apa Anda baik-baik saja?"
Saat aku bertanya, ia mengangguk tanpa kata.
Pembagian tim segera dilakukan.
Aku menyatakan diri untuk berpasangan dengan Kirigiri. Dia adalah adik kelasku, imut, aku juga menghormatinya sebagai detektif, dan yang terpenting, dia memiliki kerapuhan yang membuatku tidak bisa mengabaikannya. Kirigiri juga tidak keberatan berpasangan denganku.
"Baiklah, kalau begitu kami tim paman akan bertiga..."
Tepat ketika Inuzuka hendak melanjutkan, Amino buru-buru menyela.
"Saya akan beraksi dengan mereka. Lagipula, akan lebih baik jika ada orang dewasa yang mendampingi, kan?"
Amino mendekatiku.
"Baiklah, kalau begitu aku serahkan tim itu padamu. Kami di sini, aku dan Enbi-kun, yang akan beraksi."
Kami berpisah di aula dan mulai melakukan penyelidikan masing-masing.
"Ayo, mari kita pergi, kalian semua."
Amino bertindak sebagai pemimpin dan berjalan di depan.
Kami menyeberangi terowongan bawah tanah dan pindah ke Blok B.
Blok B yang berfungsi sebagai pintu masuk hanya memiliki tangga yang terhubung ke terowongan bawah tanah, dan sama sekali tidak ada ornamen. Karena hampir seluruh permukaannya terbuat dari kaca, tidak mungkin memasang sakelar di dalam dinding.
"Baiklah, aku serahkan pemeriksaan ini pada kalian. Beri tahu aku kalau sudah selesai."
Amino menyandarkan pinggangnya ke pegangan tangan tangga, mengeluarkan rokok dan korek api dari saku jasnya, dan mulai merokok.
Oh, jadi dia berpasangan dengan kami hanya untuk membolos. Orang dewasa itu licik.
Meskipun aku ingin mengatakan banyak hal, aku mengabaikannya dan memeriksa kembali pintu otomatis di pintu masuk.
Ada sisa jejak kami keluar masuk di salju luar. Itu pun sudah mulai tertutup salju. Tidak ada jejak baru yang menunjukkan adanya orang lain yang masuk setelah kami.
Karena tidak ada lagi tempat untuk diperiksa di Blok B, kami memutuskan untuk segera kembali melalui terowongan bawah tanah.
"Sebaiknya kita kunci pintu masuknya, ya?"
Aku meminta persetujuan dari 'pemimpin' kami. Namun, karena Amino tampak tidak peduli, aku memutuskan untuk mengunci pintu atas inisiatif sendiri.
Kirigiri bergerak perlahan sambil mengetuk dinding dan lantai. Aku mengikutinya dan mulai menyelidiki terowongan bawah tanah.
Tanpa ada respons apa pun, kami tiba di depan pintu masuk Blok A.
Kirigiri berdiri dari lantai, membersihkan ujung roknya, dan menggelengkan kepala dengan hampa.
"Tidak mungkin ada ruangan rahasia," kata Amino sambil mematikan rokok di asbak saku. "Krisis yang kurasakan bukanlah hal seperti itu... bagaimana mengatakannya ya, lebih seperti..."
Amino bergumam sambil menaiki tangga yang terhubung ke gedung utama.
Dia tiba-tiba berhenti di tengah tangga, dan menatap langit-langit dengan kebingungan.
"Sial, aku merasa pusing..."
Ketika kami kembali ke aula, Inuzuka dan Enbi masih menjelajahi kamar tamu. Dan kamar yang mereka periksa adalah kamarku.
"Wah, kenapa kalian masuk tanpa izin?!"
Meskipun aku buru-buru menegur, mereka mengabaikanku dengan ekspresi tidak peduli dan memeriksa kolong tempat tidur serta kamar mandi.
"Tenang saja, tidak ada yang mengobrak-abrik barang bawaanmu,"
Setelah mencari-cari di dalam kamar sebentar, mereka keluar.
"Memang tidak ada apa-apa. Secara struktur, jika ada jalan rahasia, itu pasti di bawah lantai, tapi tidak ada tempat yang mencurigakan."
Inuzuka menyimpulkan.
Kami berkumpul mengelilingi meja bundar, masing-masing dengan ekspresi lelah, bingung harus mulai dari mana. Yang ingin keluar dari mulut hanyalah pertanyaan, tetapi semua orang tahu bahwa tidak ada yang bisa menjawab di sini.
"Sepertinya... tidak pernah ada permintaan sejak awal," Enbi mulai bicara. "Kita sepenuhnya jatuh ke dalam jebakan musuh. Mereka memilih detektif secara acak dari Perpustakaan Detektif, menulis surat permintaan yang meyakinkan, dan mengumpulkan kita di rumah kosong ini. Pasti ada pelaku iseng yang melakukan ini."
"Jebakan, ya..."
Inuzuka berkata dengan wajah tampak berpikir keras. Dia terlihat anehnya pucat.
"Jika perwakilan tidak muncul sampai fajar, aku akan pulang."
Enbi berkata sambil membuka satu tangan.
"Benar juga... tapi kita tidak tahu berapa hari badai salju ini akan berlangsung. Mungkin akan seperti ini selama seminggu. Kalau begitu, bagaimana dengan makanan? Sejauh yang kita periksa, tidak ada persediaan makanan di sini."
"Bahkan makan malam pun... tidak terjamin, ya..."
Enbi menopang tubuhnya dengan meletakkan kedua tangan di meja bundar.
Melihat jam analog, waktu menunjukkan lewat pukul delapan. Ini biasanya adalah waktu kami bersantai setelah makan malam di asrama.
"Untuk saat ini, mungkin kita harus mengistirahatkan tubuh kita..."
Inuzuka berjalan sempoyongan menjauhi meja bundar.
Detik berikutnya, terdengar suara sesuatu terjatuh.
Aku berbalik, dan Amino yang tadi ada di sana sudah menghilang.
Saat aku mengitari meja bundar, Amino terbaring telungkup di lantai.
Apa yang terjadi...?
Sesuatu yang mengerikan sedang terjadi.
Meskipun ini situasi darurat, aku tidak bisa menggerakkan tubuhku. Aku tidak bisa memikirkan apa yang harus kulakukan. Pikiranku seolah diselimuti lapisan tebal seperti selaput.
Saat aku berdiam diri, pandanganku pun mulai diselimuti lapisan.
Tidak—itu adalah asap.
"Kebakaran!"
Seseorang berteriak.
Kebakaran?
Aku harus lari, aku harus lari.
Namun, tubuhku terasa berat, dan kesadaranku terputus. Aku merasa diriku ditelan oleh asap putih, dan tubuhku pun ikut meleleh menjadi putih…



