Maou Taoshita Ato no Kaerimichi de Prolog

Prolog Maou Taoshita Ato no Kaerimichi de - Jared yang memutuskan untuk keluar Party setelah muak dengan Kerajaan yang penuh kedustaan dan kemunafikan
Ilustrasi Jared Sang Pemanah - Prolog dari Maou Taoshita Ato no Kaerimichi de

Ilustrasi Prolog Maou Taoshita Ato no Kaerimichi de

On The Way Back Form The Hero Volume 1 Prolog

Jared Sang Pemanah

“...Perjalanan kita berakhir sampai di sini.”

Kata-kata tak terduga itu—menggetarkan udara malam yang kering.

Nada suaranya begitu datar, dan Intonasinya tidak menunjukkan sedikit pun emosi.

Seperti biasa, ia berbicara seolah hanya menyampaikan fakta apa adanya.

Namun—

“‘Raja Iblis’ sudah mati. Tugasku telah terpenuhi. Aku akan pergi sekarang.”

Di bawah cahaya bulan yang dingin, terbentang gurun yang sunyi dan tandus sejauh mata memandang, hanya ada batu dan pasir.

Tak ada kehangatan. Tak ada warna.

Pemandangan yang sangat minim akan tanda-tanda kehidupan, bagaikan ‘akhir dunia’ itu sendiri.

Di tengah semua ini, satu kata ‘akhir’ itu menggema dengan bobot yang begitu berat.

“—Jared?”

Menyampaikan hal-hal penting dengan kata-kata paling minimal dan tanpa basa-basi—itulah Jared. Sosok perwujudan rasionalitas, seolah ia menganggap emosinya sendiri hanyalah ‘gangguan’ dalam penyampaian informasi, dan dengan seragam menyingkirkannya.

Begitulah cara mereka berhasil berhubungan baik sejauh ini—mereka berada di tengah-tengah perjalanan yang mempertaruhkan nyawa, dan tidak ada satu pun dari mereka yang memiliki waktu luang untuk menyalahkan sikapnya yang hambar dan dingin.

Itulah sebabnya—

“............”

Semua orang terkejut, seolah dilucuti, dan tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun.

Tentu saja, Jared sendiri tidak menunjukkan tanda-tanda ketidakpuasan terhadap hal itu. Barangkali kata-kata tersebut memang tidak diucapkan dengan harapan akan ada respons.

Atau mungkin—

“Sampai jumpa lagi.”

Mungkin, kata-kata perpisahan yang ia tambahkan sambil memunggungi mereka itu... adalah caranya sendiri untuk berterima kasih kepada rekan-rekan yang telah berjuang bersamanya selama setahun lebih ini.

“...Tunggu, sebentar, tunggu dulu!?”

Yuma tersadar dan berseru.

Rekan-rekan lain masih tertegun.

Meskipun ia spontan berteriak, wajah Yuma, sang pemuda yang dinubuatkan oleh ramalan sebagai ‘Pahlawan yang akan memusnahkan Raja Iblis’ juga dipenuhi ekspresi kebingungan yang pekat.

“Jared, kenapa?”

Jared sang Pemanah.

Ia adalah salah satu dari lima rekan yang dinubuatkan akan ‘berpetualang bersama Sang Pahlawan, mengalahkan Raja Iblis, dan mengembalikan cahaya ke dunia.’

Dan ia adalah pemanah terkuat di antara mereka.

Ia mahir menggunakan apa pun yang disebut busur—busur panjang, busur pendek, ketapel, hingga panah otomatis—seorang pria yang memadukan keahlian sebagai penembak jitu yang mampu menembus titik vital target secara akurat dari jarak yang sulit dipercaya, dengan kecepatan pengintai yang mampu menyerang banyak target dari jarak dekat di tengah kekacauan pertempuran.

Bukan hanya dukungan dari belakang; Jared sendirian bahkan pernah melumpuhkan seluruh unit pasukan Raja Iblis secara sepihak.

Ia tak pernah meraung, berteriak, atau tertawa, hanya bekerja dengan datar seolah melakukan pekerjaan biasa—namun dengan konsentrasi yang mengerikan, ia selalu menembakkan anak panah dan peluru dengan tepat. Sosok itu kerap membuat Yuma, Sang Pahlawan, berpikir, ‘Syukurlah pria ini bukan musuh kami’.

“............”

Jared menghentikan langkahnya, tapi ia tidak menoleh.

Punggungnya, yang selalu memanggul dua tabung panah berisi panah besi dan panah kayu, tampak sama seperti biasanya, sehingga sulit untuk membaca apa pun darinya.

Sejak awal... ia adalah pria yang pendiam, miskin ekspresi, dan sulit ditebak apa yang ada di pikirannya.

Saat ini pun, wajahnya yang tirus, berlekuk tajam, dan tampak tegang itu pasti tidak menunjukkan emosi apa pun. Ia adalah pria yang seolah-olah telah mengorbankan semua emosi manusiawinya—senang, marah, sedih, bahagia, dan kegelisahan—demi mendapatkan konsentrasi menembakkan panah.

“Sekarang, di tempat ini...?”

Pertanyaan Yuma dalam arti tertentu adalah hal yang wajar.

Saat ini, ia dan rekan-rekannya berada di lokasi bekas ‘Kastel Raja Iblis’.

Sekali lagi Yuma mengamati sekelilingnya, yang terlihat hanyalah tanah kelabu yang tandus tanpa sehelai rumput pun, serta beberapa puing yang tersebar di sana-sini, yaitu lubang dan parit.

Mungkin ada yang tidak akan percaya jika dikatakan bahwa benteng ‘Raja Iblis’ berada di tempat ini sampai kemarin—atau bahkan sampai beberapa saat yang lalu.

Kastel Raja Iblis berbeda secara fundamental dari kastel yang dibangun manusia.

Itu adalah bagian dari Raja Iblis, tubuh tambahannya yang diperluas.

Raja Iblis dan para pengikutnya datang dari ‘Dunia Iblis’—suatu tempat yang berbeda dari dunia ini—dan mereka benar-benar menancapkan akar di tanah ini, lalu ‘mengubah’ segalanya.

Raja Iblis mengubah tempat ia berdiam menjadi Dunia Iblis, menjadikannya wilayah kekuasaannya sendiri.

Oleh karena itu, tidak ada ruang untuk negosiasi atau kompromi; mereka hanyalah musuh alami yang tidak memiliki pilihan lain selain dimusnahkan oleh setiap makhluk hidup di dunia ini.

Pada saat yang sama, Raja Iblis juga merupakan ‘pasak’ yang mengikat keberadaan—agar makhluk dari Dunia Iblis dapat tinggal—di dunia ini.

Jika Raja Iblis binasa, makhluk yang berasal dari Dunia Iblis bahkan akan kesulitan untuk bertahan di sisi ini. Bagi para Iblis, berada di dunia ini tampaknya seperti menahan napas sambil menyelam di dalam air.

Itulah mengapa ‘pembunuhan Raja Iblis’ bisa menjadi satu-satunya langkah yang dapat menyelamatkan dunia.

Dan Yuma serta rekan-rekannya baru saja berhasil melakukannya.

Bersamaan dengan kematian Raja Iblis, Kastel Raja Iblis dengan cepat menghilang, dan para Iblis yang melayani di sisinya juga turut lenyap.

Seolah-olah keberadaan mereka hanyalah mimpi buruk.

Yang tersisa hanyalah jejaknya.

Mengapa—para Iblis menyerang dunia ini dengan segenap upaya, mereka tidak tahu.

Yuma dan rekan-rekannya tidak punya waktu untuk memikirkan urusan pihak musuh.

Sang Pahlawan dan teman-temannya hanya berjuang mati-matian demi menyelamatkan dunia.

Dan memang, seperti kata Jared, perjalanan membasmi Raja Iblis oleh Sang Pahlawan dan rekan-rekannya telah berakhir di sini, saat ini.

Namun—

“Akhirnya, kita sudah menyelamatkan dunia dan—”

“Benar. Kita juga harusnya dapat hadiah uang yang besar, lho.”

Sela Bonita, gadis pengintai, menambahkan kata-kata Yuma.

Dia yang termuda di antara rekan Sang Pahlawan yang dinubuatkan oleh ramalan—meskipun rambut merahnya dipotong pendek seperti anak laki-laki agar tidak mengganggu aktivitas, dikombinasikan dengan mata bulat besar berwarna amber dan raut wajahnya yang masih menyisakan kebulatan khas anak-anak, membuatnya terlihat sangat menggemaskan.

“Kalau kita kembali ke Ibu Kota Kerajaan, kita ini akan jadi pahlawan, lho!”

“Meskipun jalan pulang pasti lebih mudah daripada saat kita berangkat—”

Graham sang Pendeta, berkata sambil memandang ke area bekas pusat Kastel Raja Iblis.

Ia memiliki tubuh yang besar dan wajah yang kotak. Fitur wajahnya rapi dan ekspresinya terlihat cerdas, tetapi karena postur tubuhnya, bahkan saat ia hanya berdiri diam, ia memiliki kesan berat atau lebih tepatnya, aura yang kuat seperti beruang grizzly yang berdiri di atas kaki belakang.

“...Sebagian besar perjalanan tetaplah gurun yang tak tersentuh hukum. Akan lebih praktis jika kita bergerak bersama-sama.”

“Benar. Tidak mengherankan jika sisa-sisa ras Iblis masih berkeliaran di sana-sini.”

Selanjutnya—Leona sang Ksatria Suci, menambahkan sambil melepas helmnya.

Rambut pirang terangnya diikat ke belakang kepala, mata birunya besar, dan hidungnya mancung, memberikan penampilan anggun yang persis seperti yang disandang gelarnya—keturunan bangsawan yang secara alami menjaga garis darah mereka dengan memilih pria dan wanita cantik.

“Selain itu... jika para Iblis menghilang, ada kemungkinan para penjahat yang merencanakan hal buruk terhadap kota dan desa akan bangkit. Adalah tugas kita juga untuk memusnahkan mereka dalam perjalanan kembali ke Ibu Kota Kerajaan.”

“Kalau pembawa barang berkurang, Beta juga jadi repot nih.”

TN Yomi: karena karakter ini nantinya sering pakai 妾(わらわ / warawa)Beta itu dipakai oleh: perempuan bangsawan atau kerajaan, terutama di periode klasik. Jadi yomi terjemahin ke Beta supaya menjaga suasana. kalau ada saran boleh disampaikan di kolom komentar ya

Rauni sang Penyihir yang juga ras Peri, berkata dengan nada yang agak malas sambil memandang Leona dan Jared.

Ia lebih kecil dan lebih ramping daripada Bonita, dan ketika berdiri di samping Graham yang besar atau Leona yang tinggi, ia terlihat semakin seperti anak kecil, meskipun menurutnya ia adalah anggota tertua dalam kelompok Sang Pahlawan.

Rambut peraknya panjang tanpa gelombang, mata ganda ungu, dan kulit putih seperti porselen... dikombinasikan dengan fitur wajah yang tertata tanpa cela, ia bahkan memberikan kesan seperti kerajinan tangan yang rumit, atau bahkan seperti boneka.

“Seperti yang dirimu lihat, beta itu wanita yang rapuh, oke?”

Sambil berkata demikian, ia berputar di tempat, tanpa memegang apa pun selain tongkat, media untuk mengaktifkan sihirnya. Klaim Rauni tentang ‘dirinya yang rapuh’ sudah menjadi hal biasa, dan barang-barangnya selalu diangkut bergantian oleh tiga orang yang bertubuh besar: Leona, Jared, dan Graham.

Jared sang Pemanah.

Bonita sang Pengintai.

Graham sang Pendeta.

Leona sang Ksatria Suci.

Rauni sang Penyihir.

Kelima orang ini adalah rekan Yuma yang dinubuatkan akan ‘berpetualang bersama Sang Pahlawan, mengalahkan Raja Iblis, dan mengembalikan cahaya ke dunia.’

Mereka adalah rekan seperjuangan yang berbagi ‘petualangan’ selama setahun lebih—perjalanan untuk mengalahkan Raja Iblis, dan berulang kali melewati batas hidup dan mati bersama. Bagi Yuma, mereka adalah orang-orang yang telah berbagi waktu yang intens dan penuh gejolak, sebanding dengan seluruh sisa hidupnya.

Justru karena itu—

“Aku merasa, petualangan kita belum selesai sampai kita semua kembali ke Ibu Kota Kerajaan,” kata Yuma, sedikit merasa malu, kepada punggung Jared.

Diberitahu bahwa ini adalah perpisahan membuat perasaannya tidak karuan.

Seolah-olah perasaan yang ia miliki terhadap rekan-rekannya hanyalah ‘cinta sepihak’ darinya.

Itu berarti bahwa bahkan pemikiran tentang ‘kita telah bekerja keras bersama’ hanyalah kesalahpahaman... Rasanya seolah-olah rasa pencapaian yang Yuma rasakan setelah mengalahkan Raja Iblis dan menyelamatkan dunia saat ini hanyalah sesuatu yang kosong dan hampa, tak lebih sekadar kekeliruan.

Bukan pencapaian besar, melainkan sekadar pekerjaan. Bukan kesuksesan, melainkan sekadar penyelesaian.

Bukan rekan seperjuangan, melainkan sekadar teman perjalanan.

Berpikir seperti itu... menyakitkan. Rasanya sangat menyedihkan.

Yuma merasakannya dengan amat sangat.

Namun—

“...Ah. ‘Petualangan’... Benar. ‘Petualangan’.”

Jared bergerak sedikit.

“Kau mengajakku dalam perjalanan membasmi Raja Iblis dengan menyebutnya begitu, kan?”

“...Jared?”

Yuma memiringkan kepalanya—dan akhirnya Jared menoleh padanya.

“Sejak awal, aku tidak tertarik pada yang namanya ‘petualangan’.”

Kedua matanya masih sunyi seperti permukaan danau, menatap Sang Pahlawan muda dengan pandangan yang amat dingin. 

Seolah memberitahukan bahwa waktu untuk berbagi mimpi yang sama sudah berakhir.

“Aku juga tidak tertarik pada tujuan muluk seperti ‘menyelamatkan dunia’.”

Setelah pengakuan yang terasa sangat terlambat itu—pemanah yang dingin itu menarik keluar sebuah kalung kecil dari balik pakaiannya.

“Aku hanya ingin melindungi istri dan putriku.”

Pada kalung itu terpasang dua lempengan kecil.

Di sana—bersama lambang sederhana yang menunjukkan restu dewa, terukir kata-kata: ‘Suamiku’ dan ‘Ayahku’.

Jimat buatan tangan.

Kemungkinan besar, istri dan putri Jared lah yang mengukirnya sendiri, mendoakan keselamatannya saat ia pergi dalam perjalanan membasmi Raja Iblis. Meskipun bentuk detailnya bervariasi di setiap tempat, jimat semacam ini dapat ditemukan di mana pun manusia tinggal.

“Di dunia yang dihancurkan oleh serbuan Iblis ini, istri dan putriku yang lemah tidak bisa hidup dengan tenang. Aku hanya berjuang untuk melindungi masa depan kedua orang itu.”

“...Kau udah punya istri?”

Bonita membulatkan mata dan bergumam, yang menunjukkan bahwa ini adalah kali pertama ia mendengar kisah pribadi Jared.

Bukan hanya dia. Mungkin yang lain juga sama.

Berkat tujuan mulia ‘membasmi Raja Iblis’ dan pada akhirnya ‘menyelamatkan dunia’, Yuma dan rekan-rekannya mampu menyatukan hati dan berjuang dengan gigih. Sebaliknya, di tengah situasi hidup atau mati, mereka bisa bekerja sama dan berkoordinasi satu sama lain tanpa mengetahui urusan pribadi masing-masing—atau lebih tepatnya, mereka terpaksa melakukannya.

Dan mereka semua memiliki kekuatan yang cukup untuk berjuang sampai akhir dengan cara itu.

Namun...

“Kalau begitu, kau ingin segera kembali kepada istri dan putrimu?”

Graham bertanya sambil tersenyum kecut... mungkin karena ia merasa lucu dengan fakta bahwa Jared, yang begitu dingin dan kaku, ternyata sudah menikah.

“—Tidak. Keduanya sudah meninggal.”

Satu kalimat itu membuat suasana di tempat itu membeku.

“...E-eh, ka-kapan!? Gimana—”

Bonita bertanya demikian karena ia tidak tahu bagaimana Jared mengetahui kematian istri dan anaknya selama dalam perjalanan.

“Penyihir desa memberitahuku lewat 〈Bisikan Arwah〉. Sekitar setengah tahun yang lalu.”

“............”

Bonita dan Yuma saling berpandangan.

“Kalau begitu, setelah mengetahui hal itu—”

Jared tetap bertarung bersama Yuma dan yang lain?

Bahkan setelah kehilangan tujuan awalnya—

“Paruh akhir perjalanan ini hanyalah demi balas dendam untuk istri dan putriku.”

Jared memejamkan matanya saat mengatakan itu.

Apakah ia sedang mengenang dan merindukan sosok istri dan putrinya di masa lalu?

Atau—apakah ia sedang merasa puas setelah mengingat jeritan terakhir ‘Raja Iblis’?

Wajahnya yang minim ekspresi tetap tidak menunjukkan apa-apa—namun,

“Aku juga punya sedikit kewajiban pada kalian—makanya aku ikut sampai sejauh ini.”

Jared kembali membuka kelopak matanya dan menatap Yuma dan yang lain.

“Bagaimanapun juga, perjalananku berakhir saat ‘Raja Iblis’ musnah.”

Maka, tidak ada gunanya lagi ia berada bersama Yuma dan yang lain.

Jared berpamitan karena ia memutuskan demikian.

“T-tapi—”

Jika ia merasakan sedikit pun kewajiban, bukankah seharusnya ia bisa tinggal bersama mereka sampai mereka berparade kemenangan di Ibu Kota Kerajaan...?

Begitulah pikir Yuma.

“Aku hanya merasakan kebencian terhadap Kerajaan. Ketika situasi perang memburuk. Kerajaan tidak melindungi istri dan putriku, mereka menarik pasukan dari kota-kota dan desa-desa terpencil untuk memperkuat pertahanan Ibu Kota.”

“............”

Yuma kehilangan kata-kata.

Memang benar bahwa Kerajaan memusatkan kekuatan militernya di pusat—di sekitar Ibu Kota Kerajaan.

Yuma mendengar bahwa akibatnya, banyak kota dan desa dihancurkan oleh pasukan Iblis, dan ia sendiri telah melihat sekerumunan reruntuhan yang pasti terjadi karena hal itu, berkali-kali selama perjalanan mereka.

Pilihan Kerajaan bukanlah hal yang aneh dalam situasi perang. Yuma selalu meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini adalah hal yang tidak terhindarkan demi menyelamatkan seluruh umat manusia, demi lebih banyak orang—tapi—

(...Tidak. Bukan itu.)

Yuma merasakan nyeri di dadanya.

(Aku... hanya tidak mau tahu, tidak mau memikirkannya.)

Ia mati-matian mengejar tujuan besar. Ia tidak punya waktu luang.

Itu memang benar.

Dan itulah sebabnya Jared juga tetap diam tentang istri dan anaknya sampai saat ini—agar tidak mengganggu pikiran Yuma dan yang lain.

Namun—

“Berparade kemenangan di Ibu Kota Kerajaan dan menerima hadiah? Dipuji sebagai pahlawan?”

Suara Jared masih terdengar datar, tapi apakah Yuma hanya salah dengar ataukah memang ada nada yang tercekat di dalamnya?

“Konyol. Aku muak dengan keduanya. Kalau aku bertatap muka dengan keluarga kerajaan secara sembrono, aku tidak yakin bisa menahan diri untuk tidak menusuk wajah mereka.”

“...Jared...”

Ini adalah pertama kalinya Yuma dan yang lain melihat Jared seekspresif ini.

Apakah pria ini selama ini menemani mereka dengan menenggelamkan perasaan—kemarahan, kesedihan, dan kebencian—di lubuk hatinya?

Mungkin, agar tidak menjatuhkan moral Yuma dan yang lain.

Bahkan pertimbangan—perhatian yang disertai rasa sakit luar biasa—disembunyikan di balik wajahnya yang tanpa ekspresi.

Demi Yuma dan yang lain. Demi menyelamatkan dunia.

Karena dia adalah rekan Sang Pahlawan yang dipilih oleh ramalan—begitu pikirnya.

“Kalian pergilah berparade kemenangan dan dapatkan hadiahnya. Kalian sudah melakukan hal yang pantas untuk itu.”

Sambil berkata demikian, Jared meninggalkan Yuma dan yang lain di tempat itu, dan mulai berjalan sendirian.

“Wajar jika kalian menginginkan itu, dan wajar jika kalian merasa senang dan bangga karena telah mencapai hal hebat. Aku tidak bermaksud menyalahkan. Tapi aku—tidak mau. Sama sekali tidak.”

“Jared—”

Yuma sempat mengulurkan tangan sejenak.

Namun, punggung pemanah itu, tanpa kata-kata maupun isyarat, dengan tegas menolak untuk ditahan.

Tujuan besar yang harus dipenuhi, membasmi Raja Iblis, kini sudah berakhir.

Maka, tidak ada lagi alasan bagi Jared untuk menjadi salah satu dari lima rekan Sang Pahlawan yang tertulis dalam ramalan.

Kini ia hanyalah seorang pemanah, hanya seorang pemburu, dan hanya seorang pria yang kehilangan istri dan putrinya.

“Aku—”

Apakah ia harus mengucapkan belasungkawa atas kematian istri dan anaknya yang hilang? Atau ucapan selamat jalan kepada rekan yang berjuang bersama?

Ia ingin mengucapkan sepatah kata perpisahan setidaknya—

“............”

Namun, Yuma tidak bisa menemukan kata-kata yang pantas untuk diucapkan kepada pemanah yang sedang pergi itu.

Bahkan satu kata ‘Terima kasih atas segalanya’ terdengar seperti kemunafikan yang terlalu manis.

Mungkin Bonita, Graham, Leona, dan Rauni merasakan hal yang sama. Semua orang hanya diam, menyaksikan punggung Jared menjauh.

Bujukan. Belas kasih. Dorongan. Bahkan permintaan maaf.

Semua itu... sudah terlambat.

“Aku...”

Ia tidak tahu apa-apa. Ia tidak pernah tahu.

Perjalanan bersama selama setahun. Berkali-kali menghadapi hidup dan mati bersama.

Mereka seharusnya melihat hal yang sama, mendengar hal yang sama, dan memikirkan hal yang sama.

Justru karena itu, mereka seharusnya bisa menyelesaikan perjalanan sulit, petualangan yang mempertaruhkan nyawa ini.

Pada kenyataannya, ia tidak memahami apa-apa.

Ia hanya merasa sudah tahu.

Sungguh kesombongan yang luar biasa. Sungguh kemalasan yang luar biasa.

“...Yuma.”

Tiba-tiba ia mendengar suara memanggil, dan ia menoleh.

Leona menghampiri Yuma dan meletakkan tangan di bahunya, seolah ingin memberi semangat.

“Jared benar. Dia... dia juga, sebelum menjadi rekan kita, pasti hanyalah pria biasa seperti di mana-mana. Pria biasa yang, untuk sementara waktu, memerankan ‘rekan Sang Pahlawan’, dan kini kembali menjadi pria biasa. Hanya itu.”

Tidak ada baik atau buruk dalam hal itu.

Seharusnya itu hanyalah hal yang wajar, dan hal yang alami.

“...Benar, ya.”

Yuma menyimpan kesedihan karena kehilangan seorang rekan jauh di dalam hatinya dan memaksakan seulas senyum.

“Memang benar. Itu benar. Aku menyadari... bahwa aku tak tahu apa-apa tentang rekan-rekanku—yang menemaniku dalam perjalanan hidup dan mati ini.”

Sambil memendam perasaan samar, entah itu penyesalan atau kecemasan, Sang Pahlawan yang dipilih oleh ramalan itu hanya bisa menyaksikan punggung pemanah itu yang semakin mengecil.

About the author

Koyomin
Yomi Novel adalah blog fan translation yang menerjemahkan web novel (WN) dan light novel (LN) Jepang pilihan ke dalam Bahasa Indonesia. Nikmati kisah fantasi, romansa, hingga dark story dengan terjemahan berkualitas dan update rutin.

Gabung dalam percakapan