On The Way Back Form The Hero Volume 1 Chapter 1
Graham Sang Pendeta
Bagian 1
Ia adalah salah satu dari lima orang yang dinubuatkan akan ‘berpetualang bersama Sang Pahlawan, mengalahkan Raja Iblis, dan mengembalikan cahaya ke dunia.’
Jika kamu bertanya kepada rekan-rekannya tentang dirinya, semua orang akan langsung menjawab, ‘Seorang pengguna sihir suci yang ulung,’ dan kemudian, setelah diawali dengan, ‘walaupun tidak sesuai penampilannya,’ mereka akan berkata:
“Dia itu gambaran dari sosok sederhana dan kuat yang bersahaja.”
Tubuhnya tinggi. Bahunya lebar. Tangan dan kakinya juga kekar.
Otot dadanya tebal, terlihat bahkan dari balik jubah longgarnya.
Selain itu... rambut cokelat mudanya dipotong pendek, dan kedua matanya sipit, dan tajam seperti celah.
Meskipun fitur wajahnya memancarkan kecerdasan layaknya seorang pendeta, hal pertama yang terpatri dalam benak siapa pun yang melihatnya adalah aura tubuhnya yang mengintimidasi hanya dengan ia berdiri di sana.
Namun, bertentangan dengan penampilannya, sikapnya sehari-hari dapat diringkas dalam satu kata: lembut.
“Yah, memang pantas sih, namanya juga pendeta yang kerjaannya berkhotbah.”
Ia ramah. Nada bicaranya tenang dan suaranya dalam.
Ia mengambil alih segala urusan negosiasi dengan kota dan desa yang mereka singgahi selama perjalanan, pengadaan pasokan, dan hal-hal lain yang terus mendukung perjalanan mereka. Perilakunya penuh dengan persuasif dan kejujuran, dan sering kali, lawan bicara yang awalnya takut pada penampilannya akan segera terbuka setelah bertukar kata dengannya.
Di sisi lain—
“Kalau hanya adu kekuatan fisik, kurasa aku tidak bisa mengalahkannya.”
Sebagaimana yang dinilai Leona, tubuhnya yang seperti beruang itu tidak hanya penampakan belaka.
Yuma dan yang lain pernah melihat beberapa kali pendeta ini memukulkan tongkatnya ke arah Iblis yang menyerang secara mendadak, membuat mereka tersungkur ke tanah hanya dengan satu pukulan.
Dalam kasus Graham, ia mampu memperkuat tubuhnya yang sudah kokoh dan berotot dengan sihir sucinya sendiri, meningkatkan kekuatannya hingga mencapai tingkat manusia super.
Baik dipukul, ditendang, ditebas, atau dibakar, Graham yang melakukan pertarungan jarak dekat sambil terus merapal sihir penyembuhan tingkat tinggi pada dirinya sendiri memiliki daya tahan yang jauh lebih tinggi daripada pejuang biasa.
“Sang Pendeta Pejuang yang Tak Kenal Lelah.”
—Itulah julukan yang diberikan Bonita padanya.
Bagian 2
Kereta kuda bergerak di sepanjang jalan, mengeluarkan suara gemeretak.
“Jalanan ini benar-benar hancur, ya,” gumam Leona, sambil memegang kendali di kursi kusir.
Selama setahun terakhir perang melawan Iblis, jalan ini hampir tidak terawat... kini, itu hanyalah nama; rumput liar menutupi sebagian besar permukaannya. Kereta kuda seolah-olah sedang membelah lautan hijau, dan kuda-kuda pun terlihat kesulitan melangkah.
“Aku tak pernah menyangka hanya dalam waktu sekitar setahun, bisa jadi seperti ini.”
“Leona asalnya memang dari Ibu Kota Kerajaan, kan?”
Yuma tersenyum kecut sambil duduk di samping Leona, mengamati pemandangan sekeliling.
“Rumput liar memang cepat tumbuh di mana-mana, ya. Perawatan jalanan di wilayah perbatasan biasanya diserahkan kepada desa-desa perintis, tapi—”
Jalanan di wilayah perbatasan, tidak seperti di Ibu Kota Kerajaan, tidak dilapisi batu atau diratakan dengan aspal; jalanan itu hanya dibuat dengan menyingkirkan batu-batu yang mengganggu lalu lintas, lalu dipadatkan.
Tentu saja, jika dibiarkan dalam waktu lama, rumput liar akan tumbuh bebas dan jalanan sering kali tertelan oleh hutan yang terus meluas.
Penduduk desa perintis bahkan lebih sering bertempur melawan rumput liar daripada melawan binatang buas atau bencana alam.
“Yuma berasal dari desa perintis, ya?”
“Ya. Salah satu yang dihancurkan oleh pasukan Raja Iblis di awal,” kata Yuma, sedikit meredupkan ekspresinya.
“Entah bagaimana takdirnya, hanya aku yang selamat.”
“...Bukan hanya takdir. Itu karena kau adalah Pahlawan dari ramalan,” suara Leona terdengar seperti sedang menenangkan Yuma.
“Kau tidak selamat secara kebetulan. Kau ditakdirkan untuk selamat dan dipercayakan dengan misi untuk menyelamatkan dunia. Kau tidak perlu merasa bersalah karenanya.”
“...Ya, mungkin.”
Yuma mengangguk.
Ia sempat mendongak, untuk beberapa saat menatap langit yang mulai diwarnai rona senja—
“Hanya saja... aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentang Jared.”
“Kau masih memikirkan hal itu? Dia punya alasannya sendiri—”
“Tidak, bukan berarti aku punya pikiran buruk tentang dia,” Yuma menggelengkan kepalanya.
“Sungguh, aku sadar kalau aku sama sekali tidak memahami kalian semua.”
“...Yuma...”
“Bahkan tentang Leona, aku hanya tahu kau itu Ksatria Suci dari Ibu Kota Kerajaan, dan tidak tahu apa-apa lagi—”
“...Itu benar juga, sih.”
Di balik helmnya, Leona mengalihkan pandangan birunya dengan canggung. Itu pasti karena ia menyadari fakta bahwa ia sendiri juga tidak mengenal Yuma dengan baik.
Bukan, ini tidak hanya terbatas pada Jared.
Tidak juga terbatas pada Yuma atau Leona.
Sang Pahlawan yang dinubuatkan dan rekan-rekannya berkumpul demi tujuan mengalahkan Raja Iblis.
Mereka berlari tanpa henti, mati-matian mengalahkan musuh demi mencapai tujuan mereka, yaitu membinasakan Raja Iblis.
Mereka tidak punya waktu luang untuk mengalihkan pandangan.
Justru karena itu, setelah semuanya berakhir, Yuma mulai bertanya-tanya.
Sebenarnya, siapa saja orang-orang yang telah menemani perjalananku ini...?
“Jared, Leona, Bonita, Graham, Rauni—sebelum bertemu denganku, mereka semua pasti menjalani hidup di suatu tempat... punya keluarga, orang terkasih, kampung halaman yang berharga...”
Tidak ada seorang pun yang tiba-tiba muncul di sana.
Setiap kehidupan saling terhubung.
Bila ada keberadaan satu orang berarti ada banyak pihak terkait di belakangnya, serangkaian peristiwa tak terhitung yang telah terjadi, dan hasil dari semua itu adalah sosok orang tersebut.
Namun, tidak hanya Yuma saja, manusia biasa juga sering kali tidak menyadari hal itu.
Mereka hanya melihat apa yang ada di depan mata dan merasa seolah sudah mengerti.
Atau, mereka hanya melihat orang lain dari balik ‘label’ yang mudah dipahami—seperti ‘Pahlawan,’ ‘Ksatria Suci,’ ‘Pria,’ ‘Wanita,’ ‘Pemuda,’ atau ‘Orang Tua.’
Itulah mengapa—
“Aku tidak bisa mengungkapkannya dengan baik,” kata Yuma, diselingi helaan napas pendek.
“Jika, seandainya, seseorang hilang dalam perjalanan ini, aku bahkan tidak tahu di mana kerabatnya berada, dan bahkan jika ada peninggalan, aku tidak akan bisa menyampaikannya.”
Bahkan, ia tidak tahu apakah ada kerabat yang masih hidup atau tidak.
Setidaknya, Yuma tidak punya.
“...Memang, ya.”
Leona mengangguk, sedikit memiringkan wajahnya yang rupawan.
“...Meskipun sudah terlambat sekali, ya?” kata Yuma tersenyum kecut.
“Ini bukan lagi perjalanan yang harus terburu-buru. Kalau boleh, dalam perjalanan pulang... aku ingin mendengar semua tentang Leona, Graham, Bonita, dan Rauni. Bagaimana kalian dilahirkan, bagaimana kalian hidup, apa yang kalian pikirkan, apa yang kalian rasakan, dan apa yang kalian rencanakan—hingga kalian bertemu denganku.”
“...Itu...”
“Sungguh, kita tidak pernah membicarakan hal-hal seperti itu sama sekali, kan?”
Yuma mengangkat bahu.
“Kami benar-benar—tenggelam dalam perjuangan dan tidak memikirkan apa-apa lagi. Meskipun begitu, setiap kali kami bertarung, kami selalu serasi seperti hal yang wajar. Aku pikir, ’Memang pantas jadi rekan yang dinubuatkan oleh ramalan, kami pasti punya kecocokan yang baik’... Aku menganggap sepihak saja, tapi itu cuma keangkuhan dariku, atau mungkin aku hanya memanjakan diri pada kalian...”
Yuma memejamkan mata dan berpikir sejenak.
“Aku hanya menunda usaha untuk mengenal kalian semua.”
“............”
“Kita adalah rekan yang telah ‘berpetualang’ bersama. Berat rasanya berpisah tanpa mengetahui apa-apa.”
—Mungkin sudah terlambat untuk Jared.
Yuma menunduk, menambahkan satu kalimat itu.
Sang Ksatria Suci tidak menemukan kata-kata yang tepat, ia hanya memegang kendali tanpa suara.
Saat itu—
“Engkau memanggilku, ya?”
Rauni, sang Penyihir dari ras Peri, tiba-tiba menjulurkan kepalanya dari kotak barang di belakang kereta.
Telinganya yang panjang sangat sensitif, konon mampu menangkap bahkan bisikan samar para roh. Bahkan di jalanan yang bising karena gemeretak ini, telinganya pasti telah mendengarkan setiap detail percakapan Yuma dan Leona.
“Tidak. Aku tidak memanggilmu.”
“Janganlah bicara sedingin itu~.”
Kata Rauni sambil dengan lincah menyelinap di antara Yuma dan Leona. Penyihir bertelinga panjang itu menyisipkan tubuhnya di antara mereka berdua dan menggoyangkan tubuh bagian atasnya dengan riang.
“Pembicaraan apa ini, sampai-sampai engkau mengabaikan beta?”
“Sudah kubilang, hanya obrolan santai,” Yuma tersenyum kecut.
“Kau boleh tidur dengan Boni dan yang lain.”
“Beta sudah tidur cukup, kok.”
Kata Rauni.
“Graham juga sudah bangun, loh~.”
“Benarkah?”
Ketika Yuma menoleh ke belakang, Pendeta Graham yang bertubuh besar itu kebetulan sedang mengangkat tubuhnya dari atas kotak barang.
“Bagaimana kalau aku menggantikanmu memegang kendali, Leona?”
“Tidak. Aku masih kuat—”
“Kamu sudah begadang menjaga api unggun tadi malam, kan? Kurang tidur adalah musuh kesehatan. Tidak lucu kalau kamu jatuh sakit di tengah perjalanan kembali, bukan?”
Kata Graham sambil menjulurkan tubuh ke depan.
“Ngomong-ngomong... bisakah aku bicara sebentar, Yuma?”
“...Aku?”
“Ya. Berdasarkan percakapanmu tadi... aku punya satu permintaan.”
“...Permintaan?”
Yuma memiringkan kepalanya.
Jarang sekali Graham mengatakan hal seperti ini.
Entah karena ia seorang pendeta dan hidup menahan diri, ia hampir tidak pernah mengungkapkan keinginannya sendiri. Ia bersikap keras pada diri sendiri dan lembut pada orang lain... atau lebih tepatnya, ia selalu mengutamakan permintaan orang lain di atas keinginannya sendiri.
“Ini akan sedikit memutar dari jalan menuju Ibu Kota Kerajaan, tapi aku harap kita bisa singgah ke kota asalku.”
“Kampung halaman Graham?”
“Ya. Dengan kereta kuda, kita mungkin akan sampai besok atau lusa.”
Ekspresi Graham saat mengangguk terlihat—entah mengapa, sedikit pahit.
Bagian 3
Kota Wargin terletak di kaki pegunungan yang subur.
Topografinya bergelombang, ladang, dan bangunan dibangun bertingkat mengikuti lereng, menciptakan pemandangan yang unik. Tentu saja, struktur kota ini berlapis dan rumit, menjadikannya semacam benteng yang sulit diserang dari luar.
Oleh karena itu, Kota Wargin mampu bertahan dengan baik bahkan ketika pasukan Raja Iblis menginjak-injak berbagai wilayah Kerajaan. Penduduk kota bekerja sama dengan penduduk di daerah sekitar untuk melindungi tempat tinggal mereka dari Iblis yang masuk.
Namun—
“...Bagaimana?”
“Mereka benar-benar lengah, ya.”
Di sepetak jalanan yang jauh dari pandangan Kota Wargin.
Di tempat yang ditumbuhi rumput liar setinggi pinggang manusia, karena sudah lama tidak dirawat dan tidak ada lagi kereta kuda atau gerobak sapi yang melintas, beberapa pasang mata dengan cahaya mengancam sedang mengamati suasana kota yang telah kembali damai itu.
“Katanya Raja Iblis sudah dibunuh oleh rombongan Pahlawan dari ramalan.”
“Sepertinya〈Bisikan Arwah〉 bertebaran di mana-mana, ya.”
Tentu saja, karena mereka berbicara, pemilik mata itu bukanlah binatang.
Namun, tatapan mereka seperti harimau yang mengincar mangsa—mirip dengan tatapan binatang buas yang sedang memangsa. Tatapan tajam yang memancarkan kelaparan. Ada ketegangan yang menyelimuti tempat itu, seolah mereka akan menerkam sewaktu-waktu jika lengah.
“Para Iblis juga sudah bersembunyi—”
“Entah kabur ke mana.”
Kelompok bersenjata yang mengincar Kota Wargin terdiri dari sekitar dua puluh orang.
Masing-masing membawa pedang, tombak, atau busur, dan mengenakan baju zirah kulit keras yang direbus dengan lilin. Pakaian mereka tidak seragam, dan tingkah laku mereka tidak beradab.
Mereka adalah kelompok perampok gunung—alias penjahat tipikal.
Ketika pasukan Raja Iblis menguasai wilayah perbatasan, mereka juga bekerja sama dengan penduduk Kota Wargin sebagai sesama umat manusia. Iblis adalah monster yang tidak selaras dengan umat manusia. Selama mereka berkerumun dan menyerbu, tidak ada alasan bagi pihak penjahat maupun pihak kota untuk tidak bekerja sama.
Namun, suatu hari para Iblis tiba-tiba menghilang.
Dan keesokan harinya, melalui 〈Bisikan Arwah〉, berita sampai ke Kota Wargin: ‘Raja Iblis telah dibunuh oleh rombongan Pahlawan’ dan ‘Umat manusia telah memenangkan perang melawan Iblis’.
“Persahabatan sudah berakhir.”
“Sekarang giliran kita yang akan menginjak-injak mereka. Benar, Ketua?”
“Ya—”
Orang mengangguk itu—mengejutkannya adalah seorang wanita.
Bahu wanita itu lebar, dan lengannya berotot seperti tali tebal. Karena rambutnya juga pendek, jika bukan karena dadanya yang membesar, ia pasti mudah dikira laki-laki.
Meskipun fitur wajahnya rapi, bekas luka yang membentang dari dahi hingga pipi, melintasi mata kanannya, menciptakan kesan garang seperti binatang buas yang terluka.
“Sepertinya mereka sedang menyiapkan perayaan atau semacamnya.”
“Semuanya akan kita ambil alih bulat-bulat.”
Di sekitar wanita bermata satu itu, sekelompok pria berpenampilan kasar dan liar tertawa.
Mereka berniat menyerbu Kota Wargin yang sedang lengah, dan menginjak-injak kehidupan penduduk—begitulah yang dipikirkan.
“Ketua—”
Seorang pria menoleh ke arah wanita bermata satu, hendak mengatakan sesuatu, tetapi pada saat berikutnya, ia jatuh ke tanah diiringi suara ‘buk’ yang tumpul.
“—Hah.”
Para pria terkejut dan membeku.
Pada saat berikutnya, sebuah kereta kuda beroda dua muncul, seolah mendorong rumput liar ke samping.
Tampaknya pria yang jatuh itu baru saja terkena tandukan dari kuda yang datang dari belakang.
Dan kemudian...
“—Sungguh tak patut~”
Kata seorang wanita yang tampak seperti penyihir dengan telinga panjang dan runcing, dari kursi kusir.
Di sampingnya, ada sosok seperti prajurit yang mengenakan zirah dan memegang kendali.
“K-kalian—!?”
“B-bagaimana bisa?”
Para pria bertanya demikian sebelum sempat melakukan apa pun, karena tidak mungkin mereka tidak menyadari kedatangan ‘orang penting’ sedekat ini—
“Bagaimana apanya? Kalian barusan sedang berbincang, kan?”
Ujar penyihir ras Peri itu, sambil menyeringai lebar.
“Itu sihir roh. Beta hanya meminta roh menjaga agar tak ada suara yang terdengar.”
Sama seperti 〈Bisikan Arwah〉—yang dapat mencegah pelemahan suara dan menyampaikan kata-kata ke jarak yang sangat jauh, sihir itu juga dapat menghilangkan suara di sekitar. Meskipun seringkali hanya kekuatan sihir serangan yang mencolok yang ditekankan, inti dari sihir roh terletak pada tingginya kemampuan aplikasinya.
“—!”
Para pria bersiaga dengan senjata di tangan.
Rencana mereka menyerbu kota telah terdengar. Meskipun itu adalah rencana yang tidak matang dan asal-asalan, mereka tidak bisa membiarkan rombongan kereta kuda ini pergi ke kota.
Jika hanya ada satu prajurit berzirah, mereka bisa mengalahkannya dengan mengepung. Penyihir tidak perlu ditakuti jika ditekan sebelum sempat merapal mantra.
Itu yang mereka pikirkan—
“Beta tidak pernah bilang hanya suara kereta kuda saja, tahu.”
Pada saat Penyihir itu berkata demikian.
Di belakang para pria yang serentak menoleh ke kereta kuda... tiga siluet muncul, masing-masing memegang pedang panjang, tongkat, dan dua belati.
Bagian 4
“Onii-san dan Onee-chan itu suami istri, ya?”
Yuma dan Bonita saling berpandangan ketika ditanya demikian oleh seorang gadis kecil yang memegang seikat bunga.
Ini terjadi tak lama setelah mereka memasuki Kota Wargin.
Saat ini, kota kecil itu dipenuhi suasana yang anehnya bersemangat.
Kebanyakan wajah orang yang berlalu lalang tersenyum, dan mereka sering melihat orang-orang bergerak sibuk membawa barang ke sana kemari, seolah sedang mempersiapkan semacam festival.
Gadis kecil ini pun mungkin sedang memegang karangan bunga untuk persiapan sesuatu.
“Ah, tidak, kami—”
“Eh, ketahuan, yaaa?”
Bonita tertawa sambil melilitkan lengannya erat-erat ke lengan Yuma. Selain itu, ia juga bergelayut ke seluruh tubuh Yuma, sehingga sensasi dadanya terasa di sekitar lengan Yuma, membuat Yuma hanya bisa merasa canggung.
(I-ini... sangat lembut...!?)
Biasanya, Bonita mengenakan pelindung dada kulit keras di balik jubah bahu bernuansa hitam, sehingga dadanya tidak terlalu menonjol. Itulah mengapa ini terasa lebih mengejutkan.
Ya. Saat ini, Bonita, dan juga Yuma, tidak mengenakan baju perang. Mereka hanya membawa pedang pendek untuk membela diri, tapi perlengkapan sekadar itu justru standar bagi siapa pun yang bepergian di wilayah perbatasan, jadi mereka tidak menarik perhatian.
“Tung—Boni?”
“Kami baru aja nikah beberapa waktu lalu.”
“Oh, begitu, yaa!”
Gadis kecil itu langsung tersenyum cerah, lalu menarik dua bunga dari karangan bunganya dan menyerahkannya kepada Yuma dan Bonita.
“Semoga Onii-san dan Onee-chan mendapat kabar baik tahun depan.”
“Tahun depan?”
Yuma memiringkan kepalanya, dan gadis kecil itu mengangguk-angguk.
“Tahun depan. Semoga ada kabar baik yang datang sekitar tahun depan.”
“...Kabar...?”
“Ah, ah, benar, benar!”
Bonita melepaskan diri dari lengan Yuma, berlutut di depan gadis kecil itu, menyamakan tinggi matanya. Sambil mengelus kepala gadis kecil itu—
“Onee-chan bakal seneng banget kalau diberi anak lucu seperti kamu.”
“Ehehe,” gadis kecil itu tersenyum manis dengan malu-malu.
Bonita berdiri dan kembali bergelayut di lengan Yuma sambil berbisik—
“Sepuluh bulan sepuluh hari. Kebanyakan akan jatuh tempo tahun depan, kan. Itu tuh ucapan selamat buat pasangan yang baru menikah di sini, kurasa.”
“Eh? A, a, a-a-a-a-a?”
Yuma berseru dengan pipi memerah, tetapi karena tinju Bonita menhujam keras pinggangnya di balik lengan, ia terpaksa menutup mulutnya.
“B-besok, di desa kami juga akan ada upacara pernikahan lho!” kata gadis kecil itu, menatap Yuma dan Bonita dengan gembira seolah itu adalah acaranya sendiri.
“Onii-san dan Onee-chan, tolong restui juga, ya!”
“Ah, ya. Tentu.”
“Tentu saja!” kata Bonita—
“Jadi, yang kalian siapkan ini, itu untuk pernikahan itu?”
“Ya!” Gadis kecil itu mengangguk.
“Karena Raja Iblis udah dibunuh, upacara pernikahan yang udah lama tertunda pun akhirnya akan diadakan!”
“Oh, gitu! Bener juga, ya!”
Bonita dengan cekatan mengikuti alur bicara gadis kecil itu.
Ini adalah keterampilan dasar sebagai Pengintai. Karena pekerjaannya yang terkadang harus menyusup ke wilayah musuh, Bonita sangat cepat berpikir—ia memiliki penilaian yang sangat baik, dan lebih jauh lagi, ia sangat pandai mengarang kebohongan secara spontan sesuai situasi di sekitarnya.
Kebohongan bahwa ia dan Yuma adalah pasangan baru menikah juga merupakan bagian dari itu.
Nyatanya—
“Kami juga mengalami hal yang sama!”
“Oh, gitu, ya!”
Gadis kecil itu dan Bonita sudah tampak akrab.
“Benar-benar berkat Rombongan Pahlawan, ya!”
“Ya!”
“Kalau gitu, yang mengurus persiapan pernikahan, itu Pendeta, ya?”
“Betul. Tuan Brindle.”
“Bisakah kami bertemu sebentar dengan Pendeta itu? Kami nikah secara sederhana, jadi kami itu belum dapat kata-kata restu dari Pendeta.”
“Oh, gitu ya, kasihan sekali!”
Gadis kecil itu membulatkan mata, menganggap kebohongan Bonita sebagai kebenaran.
Dan kemudian—
“Tuan Brindle—!”
Ia tiba-tiba melambaikan tangan di tempat.
“—Eh?”
Sementara Yuma membelalakkan matanya—menanggapi panggilan gadis kecil itu, seorang pria besar dengan rambut yang dipotong pendek, mendekat sambil memanggul kayu.
“Ada apa, Michel?”
Pria yang bertanya itu—jika dilihat lebih dekat, rambut dan janggut di sekitar mulutnya sudah putih semua. Karena ia sedang melakukan pekerjaan berat dan postur tubuhnya, ia tidak terlihat terlalu tua, namun.
“Onii-san dan Onee-chan ini baru aja menikah, katanya.”
“Oh, oh. Begitu rupanya. Semoga tahun depan membawa kebaikan bagi kalian—”
“Tapi mereka belum mendapat restu dari Pendeta.”
“Apa? Itu tidak baik. Itu tidak baik sekali.”
Pria itu—Pendeta yang bernama Brindle—mengangguk berkali-kali.
Setiap kali ia mengangguk, kayu yang dipanggul di bahunya ikut bergerak ke atas dan ke bawah, sehingga Yuma dan Bonita harus menghindar agar kepala mereka tidak terpukul, namun selain itu.
“Maafkan saya terlambat memperkenalkan diri. Saya Alan Brindle, seorang pendeta.”
“Um...”
“Dia Yugo Ryan, dan saya Brenda Ryan!”
Saat Yuma bingung harus memperkenalkan diri sebagai apa, Bonita segera memperkenalkan mereka dengan nama palsu yang spontan ia ciptakan.
(Ngomong-ngomong, kita bahkan tidak tahu nama belakang masing-masing.)
Nama apa pun tidak masalah selama bisa dipanggil saat bertarung.
Selain itu—karena sisa-sisa sistem perbudakan di masa lalu, tidak sedikit orang yang tidak memiliki nama belakang atau enggan menyebutkannya, sehingga ada kecenderungan di kalangan rakyat jelata untuk menganggap tidak sopan jika terlalu menanyakan nama belakang.
Jadi—mungkin saja ‘Ryan’ yang disebutkan Bonita adalah nama belakang aslinya.
“Jika berkenan, bagaimana kalau kita menggunakan tempat upacara pernikahan Cliff dan Helen—ah, mereka adalah pasangan yang akan menikah besok—”
“Eh, bolehkah!?”
“Ti-tidak, tidak, tidak, jangan! Itu terlalu berlebihan!”
Yuma buru-buru menghentikan Bonita yang hendak menyambut tawaran Alan dengan senyum.
Tujuan awal mereka hanyalah menyembunyikan identitas sebagai rombongan Pahlawan dan datang untuk menyampaikan ‘peringatan’ di kota ini. Jika mereka menerima restu resmi pendeta ‘sebagai pasangan baru menikah’ dalam kondisi berbohong seperti ini, Yuma merasa tidak akan bisa tidur nyenyak karena rasa bersalah.
“Upacara pernikahan ini melibatkan seluruh kota, bahkan Pendeta pun ikut melakukan pekerjaan berat, kan? Apakah Cliff dan Helen ini orang yang spesial—”
“Ah, tidak, tidak sama sekali,” Alan menggelengkan kepala sambil tersenyum.
“Awalnya... semua orang ingin menghilangkan suasana suram dari pertempuran melawan Iblis. Kebetulan saja, ini menjadi perayaan besar dengan dalih pernikahan Cliff dan Helen.”
“Ah... oh, b-begitu, ya.”
Pada masa perang total melawan Iblis, tentu saja tidak ada waktu luang untuk mengadakan pernikahan.
Namun, ketika manusia menghabiskan hari-hari mereka untuk melawan Iblis yang terus menyerang, hati manusia pasti menjadi keras. Terutama bagi orang-orang yang bukan tentara profesional sejak awal.
Itulah mengapa, kini perang telah usai, mereka ingin mencari alasan untuk mengadakan perayaan.
“Padahal kami bilang mau nungguin Tuan Graham kembali,” tiba-tiba gadis kecil bernama Michel itu menyebut nama itu.
“—Eh? Graham?”
Saat Yuma tanpa sengaja berseru, tinju Bonita kembali mencubit pinggangnya.
“Oh. Anda mengenalnya?”
“Y-ya, nama-nama Rombongan Pahlawan sering disebut dalam 〈Bisikan Arwah〉—” kata Bonita sambil memaksakan senyum.
Selama perang melawan Iblis, Kerajaan sering menggunakan sihir untuk mempromosikan ‘Rombongan Pahlawan dari Ramalan yang akan mengakhiri perang’ demi memberi harapan kepada rakyat. Yuma dan yang lain juga diminta untuk melaporkan situasi mereka secara berkala sebagai bahan propaganda.
Tentu saja, agar Iblis tidak mengetahui detail kegiatan mereka, rupa dan lokasi mereka saat ini tidak diberitahukan.
“Pahlawan itu hebat, ya,” kata Michel dengan wajah berseri-seri.
“Di Lembah Colborn, dia ngalahin seratus monster sendirian, kan?”
“Ah, bukan...”
Yuma tersenyum samar.
Memang benar ia sempat terpisah dari rekan-rekannya di Lembah Colborn dan harus bertarung sendirian melawan pasukan Iblis. Namun, Yuma sendiri tidak menghitung berapa banyak Iblis yang ia tebas dalam keadaan kalut saat itu.
Angka ‘seratus musuh’ itu hanyalah angka yang dikarang oleh Penyihir Rauni, yang malas menghitung detailnya, lalu dikirim ke pihak Kerajaan yang meminta materi propaganda melalui 〈Bisikan Arwah〉.
Pada kenyataannya, mungkin ada setidaknya dua kali lipat dari angka itu... tetapi rasanya aneh untuk mengoreksi, jadi ia membiarkannya.
(Aku juga tidak mau dianggap seperti monster.)
Ia pernah dilihat dari dekat oleh penduduk desa saat sedang bertarung.
Para penduduk desa yang seharusnya ia tolong malah tersungkur di tanah dan memohon ‘jangan bunuh kami’ padanya, setelah melihatnya berlumuran darah Iblis. Pertarungan Yuma begitu dahsyat dan mendominasi sehingga mereka mengira mereka juga akan terbunuh dalam amarah pertempuran itu.
Bagaimanapun juga—
“Salah satu dari lima pengikut Sang Pahlawan yang dinubuatkan—sayangnya adalah anak angkat saya. Saya mengambil dan membesarkan anak dari sahabat saya yang sudah meninggal. Helen, yang akan menikah besok, juga anak angkat, dan dia serta Graham adalah adik-kakak.”
“Itu...”
Kisah masa lalu Graham tiba-tiba terkuak dari sumber yang tak terduga.
“Cliff adalah teman masa kecil dia dan Helen. Graham pernah berjanji bahwa dialah yang akan memimpin upacara pernikahan mereka dan memberikan restu.”
“............”
Bahkan Bonita pun tampaknya menyadari sesuatu, dan saling pandang dengan Yuma.
Graham lah yang meminta mereka singgah di Kota Wargin.
Namun, setibanya di sana, ia enggan menginjakkan kaki ke dalam kota, entah mengapa.
Itulah mengapa, setelah membereskan para perampok atau penjahat yang mereka temukan di dekat kota, hanya Yuma dan Bonita yang masuk ke dalam kota dengan menyamar sebagai pengelana.
(Dia kembali bukan untuk menepati janji...?)
“Tetapi putra saya tidak menunjukkan tanda-tanda akan kembali, dan bahkan kami tidak tahu apakah ia selamat dari pembasmian Raja Iblis atau tidak...”
“Tenang saja, dia—ugh.”
Yuma mengerang karena pinggangnya kembali dipukul.
Entah Alan menyadari itu atau tidak, ia tersenyum kecut—
“...Meskipun dari 〈Bisikan Arwah〉 tidak ada detail apa pun. Karena semua orang di kota mendesak agar pernikahan segera digelar. Karena akan dirayakan oleh seluruh kota, pasangan itu juga tampaknya sulit untuk menolaknya.” Jelas Alan.
“Itu... pasti mengkhawatirkan, mengenai putra Anda.”
Ketika Yuma berkata demikian, Alan dan gadis kecil bernama Michel sama-sama menggelengkan kepala.
“Tuan Graham pasti selamat.”
“Keunggulannya adalah ketangguhannya yang tidak akan mati meskipun dibunuh. Mungkin ia hanya mendahului ke Ibu Kota Kerajaan untuk melaporkan keberhasilan pembasmian Raja Iblis,” kata Alan, yang masih tampak tenang sambil memanggul kayu.
Ucapannya terdengar sangat meyakinkan. Meskipun tidak ada hubungan darah, ada kalanya anak akan tumbuh dengan dipengaruhi lebih kuat oleh orang tua angkatnya daripada orang tua kandungnya.
Bagaimanapun—
“Um. Kami mengerti soal rencana pernikahan itu.”
Yuma dan Bonita saling pandang sebelum Yuma menyampaikan alasan utama mereka memasuki Kota Wargin.
“Saya merasa tidak enak karena memotong suasana perayaan ini, tapi—”
“...Hm?”
“Sebelum sampai ke sini... saya melihat sekelompok orang bersenjata, entah itu perampok gunung atau penjahat. Mereka mungkin mengincar kelengahan kalian karena Iblis sudah tidak ada—jadi, mohon.”
Mohon berhati-hati—Yuma hendak mengatakan itu, tetapi.
“Oh. Anda maksud kelompok Monica, ya.” Alan berkata dengan santai.
“—Hah?”
“Mereka hanyalah bocah nakal di kota ini yang membentuk geng. Awalnya mereka suka mencuri, berkelahi di mana-mana, dan selalu dicap buruk. Tetapi ketika pasukan Iblis menyerang, mereka semua bersatu dan berjuang bersama. Mereka adalah rekan seperjuangan.”
“............”
“Ngomong-ngomong, saya tidak melihat mereka selama beberapa hari ini. Mereka adalah orang-orang yang lebih suka membuat onar daripada makan dan minum. Mungkin mereka kabur karena tidak mau disuruh membantu persiapan pernikahan.”
“...Hah.”
Bahkan, dari nada bicara dan ekspresi Alan saat membicarakan ‘kelompok Monica’ itu, tersirat rasa gemas bercampur kasih sayang.
“Jika kalian bertemu lagi dengan mereka di luar kota, maukah kalian sampaikan agar mereka setidaknya datang ke pesta setelah upacara pernikahan?”
“...Baiklah.”
Dengan perasaan yang agak antiklimaks, Yuma hanya menjawab demikian.
Bagian 5
“—Kau, Graham, kan!”
Ketika Yuma dan Boni kembali ke kereta kuda yang mereka parkir di luar Kota Wargin.
Wanita yang merupakan satu-satunya perempuan di antara para perampok atau penjahat yang ditangkap... sedang menerjang Pendeta Graham. Meskipun diikat erat dengan tali seperti pria-pria lainnya, ia tampak seperti akan merobeknya dan menerkam kapan saja.
Terlebih lagi—
“...Ada apa dengan situasi ini?” tanya Bonita sambil mengerutkan kening.
“Selamat datang kembali. Graham baru saja menyembuhkan luka-luka mereka,” kata Leona, yang berdiri agak jauh.
“Ya, itu aku mengerti. Tapi kenapa Graham memakai helm?”
Seperti yang Yuma tunjukkan.
Entah mengapa, Pendeta Graham mengenakan helm di kepalanya, dan penutup wajahnya diturunkan.
Karena yang ia kenakan adalah jubah pendeta, hal itu terasa sangat janggal—seperti tubuh sapi disambung dengan kepala kuda, sangat tidak serasi.
“............”
“Jangan membelakangi! Hadapkan mukamu ke sini!”
Wanita itu—yang kemungkinan adalah Monica yang disebutkan Alan—berteriak lagi pada Graham (berhelm) yang tampak canggung dan menoleh ke arah lain.
“Apa yang kau lakukan! Kalau sudah kembali, tunjukkan mukamu ke kota dengan jantan, dong! Tapi kau—”
Sampai di sana.
“...Begitu.”
Monica menyeringai seperti binatang buas, menunjukkan giginya.
“Kau datang untuk merebut, kan?”
“............”
Tubuh besar Graham tersentak hebat.
Pendeta yang bisa diandalkan layaknya prajurit tangguh, yang tidak gentar di hadapan pasukan Iblis—tersentak.
“Benar, kan? Kau datang untuk merebut pengantin wanita, kan?”
“............”
“Pasti! Pasti begitu! Makanya kau nggak bisa menunjukkan wajahmu, karena kau nggak bisa melakukan perbuatan melanggar hukum itu!”
Monica berteriak, entah mengapa, dengan nada yang anehnya gembira.
“BUKAN urusAN SIAPA-siA-PA,”
Sebuah dialog yang datar dan kaku lolos dari balik topeng helmnya.
“AKU, BUkAN, GRAHAM.”
“...Menahan emosi terlalu lama, membuat Graham kedengaran kayak golem batu hidup. Menghibur sekali, sungguh menghibur~.”
Rauni tertawa sambil duduk di atas tumpukan barang di kereta kuda.
“Meskipun hanya melihat ini, sudah setimpal kita singgah di kota ini.”
“...Selera humor yang buruk,” Leona menghela napas.
“...Ngomong-ngomong, kalian saling kenal?”
Yuma bertanya kepada salah satu pria yang terikat dan tergeletak di kakinya, dan pria itu mengangguk dengan senyum samar.
“Kalau begitu, benar, wanita itu pasti Monica,” kata Bonita sambil melipat tangan.
“—Hah? Kenapa kau tahu namaku... Ah, tunggu, apa kau mendengarnya dari Graham?”
Monica, yang tampaknya memiliki pendengaran tajam, menoleh ke arah Yuma dan Bonita.
“Bukan. Kami mendengarnya dari Pendeta di kota, Alan Brindle.”
Saat Bonita menjawab, Graham kembali tersentak.
Yuma bertanya-tanya apa yang dipikirkan Graham—
“Kota kelihatannya sibuk sekali menyiapkan pernikahan orang bernama Cliff dan Helen. Kalian kenal mereka?”
Pertanyaan Yuma itu ditujukan pada Monica, ataukah pada Graham?
“............”
Graham tampak berpikir sejenak.
“...Alan Brindle adalah ayah angkat kami, dan Cliff serta Helen adalah... bisa dibilang, teman masa kecilku,” katanya sambil melepas helmnya.
Hal itu sendiri tidak terlalu mengejutkan Yuma maupun Bonita, tetapi.
“Cih—Siapa juga yang nganggep kakek sialan itu sebagai ayah?”
Ucapan Monica membuat mereka terkejut.
Itu berarti—
“Jangan-jangan, dia itu—”
“Ya.” Graham menghela napas dan menjawab pertanyaan Yuma.
“Monica itu adikku. Begitu juga Helen. Kami semua adalah anak angkat Tuan Brindle, tapi Monica sudah lima tahun lalu kabur dari gereja—”
“............”
Tampaknya Monica yang kali ini merasa canggung, dan ia memalingkan wajahnya ke arah lain.
Saat ia bergerak—rambutnya bergoyang, dan telinga runcing yang tidak sepanjang Rauni terlihat.
“Punya adik perempuan dari ras setengah dwarf, Betapa ganjil susunan keluargamu. Hehe, andaikan aja ibumu seorang iblis, mungkin baru terasa seimbang~.”
“Jangan bercanda, kepala angin!”
Monica menyeringai tajam dan menerjang Rauni.
Sebagai informasi... 'Kepala Angin' adalah ejekan khas ras Kurcaci terhadap ras Peri, yang mendapat restu dari roh angin dan dapat berlari ringan di antara pepohonan—dengan maksud, ‘seolah kepala mereka juga kosong’.
Bagaimanapun—
(Ah, makanya Tuan Alan tidak berbicara terlalu buruk tentang Monica...)
Nada bicara dan ekspresi Alan saat membicarakan mereka memancarkan semacam kasih sayang karena Monica juga adalah putrinya.
Atau mungkin baginya—mengingat ekspresi kebapakan yang ia tunjukkan pada Michel, semua pemuda yang tinggal di Kota Wargin adalah seperti anaknya sendiri.
“Graham. Aku tidak bermaksud ikut campur, tapi.”
Yuma melirik Monica—yang menatap Rauni di atas kereta kuda dengan tatapan seolah ingin membunuh—lalu bertanya kepada pendeta yang telah banyak membantunya selama setahun ini.
“Kenapa kau ingin kembali ke kota ini, sekarang?”
“............”
Graham tampak mencari kata-kata dalam dirinya.
“Aku sendiri... tidak begitu mengerti,” katanya, menampilkan senyum kecut yang agak sedih.
Bagian 6
Graham Brindle adalah anak angkat Alan Brindle.
Awalnya, Graham adalah anak tunggal dari pasangan yang merupakan teman Pendeta Alan. Mereka meninggal dalam tanah longsor mendadak, tetapi sebelum meninggal, mereka telah berpesan bahwa jika terjadi sesuatu, mereka menitipkan putra mereka.
“Kedengarannya seperti permintaan yang egois,” komentar Leona.
Namun—
“...Di wilayah perbatasan, di mana jangkauan kebijakan negara, terutama kesejahteraan, tidak merata, hal ini tidak aneh,”
Kata Graham, sambil mereka semua berkumpul di sekitar api unggun di samping kereta.
Di sekitar api unggun berkumpul Yuma dan rekan-rekannya, dan agak jauh, orang-orang yang dipimpin Monica tergeletak diikat.
Monica sendiri diletakkan di belakang Graham, tetapi ia dengan keras kepala membelakangi api unggun, seolah menolak untuk mendengarkan pembicaraan.
“Ya. Benar,” Yuma mengangguk, karena ia juga pernah melihat kasus serupa di desa perintis di perbatasan tempat ia tinggal.
Bukan hal yang aneh bagi tokoh gereja yang berakar di daerah itu untuk mengambil dan membesarkan anak-anak yang kehilangan perlindungan orang tua karena kecelakaan atau hilangnya orang tua.
Nyatanya, Alan membesarkan dua anak tanpa orang tua selain Graham.
Helen dan—Monica Brindle.
Monica memiliki orang tua dari ras Kurcaci dan ras Manusia, dan karena memiliki ciri khas kedua ras tersebut, ia tidak cocok di kedua masyarakat itu, hingga orang tuanya menghilang dan ia ditinggalkan sendirian.
“Monica. Dan juga Helen, mereka adalah keluargaku.”
“...Itu berarti,” kata Bonita sambil mengerutkan kening.
“Orang yang akan menikah itu adik Graham, kan? Kami dengar, Graham berjanji akan mengurus upacara pernikahan mereka. Setelah perang usai, kau tahu mereka akhirnya menikah, jadi kau kembali untuk menghadiri dan memberi selamat?”
“............”
Namun, Graham menggelengkan kepalanya.
Ekspresi yang sangat muram terukir di wajahnya yang tegas.
“Memang seharusnya begitu~” tutur Rauni seraya mengaduk api unggun dengan ranting panjang.
“Andaikan benar demikian adanya, dia pasti sudah mengumumkan kepulangannya setelah membasmi Raja Iblis melalui 〈Bisikan Arwah〉 atau apa pun. Tak mungkinlah ia sengaja menutupi kepulangannya, kan~”
“Lalu kenapa?”
“Aku tidak punya hak itu,” Graham melanjutkan dengan helaan napas pendek.
“Ada anak laki-laki seorang pemburu yang tinggal di dekat gereja. Namanya Cliff.”
“Maksudmu yang akan menikahi Helen—”
“Ya. Sejak kecil, Cliff sering bermain dengan kami, kakak-beradik.”
Itu—pasti menjadi kenangan yang ia rindukan. Senyum lembut sekilas terlintas di wajahnya yang penuh dengan kepedihan.
“Dia benar-benar... sangat baik pada kami semua. Dia orang yang baik.”
“...Cih,” suara sinis itu datang dari Monica, yang tergeletak di belakang Graham. Meskipun membelakangi, rupanya ia mendengarkan.
“Cliff baik pada kita semua, itu hanya dalih agar dia bisa bertemu Helen, kan.”
“...Memang ada pemikiran seperti itu.” Graham tersenyum kecut menanggapi ucapan ‘adiknya’.
“Itu adalah ajaran Ayah—Alan Brindle. Sekalipun hatinya baik, jika ia bertindak jahat dan bersandiwara sebagai orang jahat, maka ia tetaplah orang jahat. Begitu pula sebaliknya.”
“Itu—”
“Hati manusia sulit dipahami. Terkadang oleh orang itu sendiri. Baik ada perhitungan atau tidak. Itulah sebabnya kita harus selalu berbuat baik... dikatakan bahwa bahkan kemunafikan pun bisa menjadi kebaikan sejati jika terus dilakukan.”
“...Itu,” Bonita memasang ekspresi yang agak rumit.
Yuma tidak mengerti apa maksudnya—
“Fakta bahwa ia berbuat baik kepada anak-anak gereja adalah kebenaran,” kata Graham.
“Cliff adalah anak yang baik. Aku yakin itu. Jadi, ketika ia berkata kepadaku, ‘Aku suka Helen,’ aku mendukungnya.”
Ia melanjutkan—dan mengambil sepotong ranting kering yang tertumpuk di kakinya.
Krak, bunyi itu terdengar saat ranting yang cukup tebal itu patah.
“Aku tidak punya pilihan selain mendukungnya.”
“............”
“Meskipun hanya anak angkat, aku adalah ‘kakak’ Helen.”
Graham melemparkan ranting yang sudah patah itu ke dalam api unggun dengan gerakan yang sangat kasar.
Seolah-olah ia sedang membuang—sesuatu—dengan paksa.
“Apalagi, sejak aku cukup dewasa untuk mengerti, aku sudah memutuskan untuk mengikuti jejak ayah dan menjadi Pendeta. Ayah juga sangat memperhatikanku, mengajariku sihir suci selain doktrin, agar aku bisa membantu semua orang.”
Alan tidak memaksakan ajaran gereja kepada anak-anak angkatnya.
Tepatnya, ia tidak mengajarkan mereka untuk menjadi penganut yang taat, atau menjadi pendeta.
Iman harus muncul secara spontan dari dalam diri, bukan dipaksakan oleh orang tua, katanya. Justru karena itu, ia pasti sangat menyayangi Graham, yang berinisiatif untuk menjadi pendeta dan melanjutkan pekerjaannya.
Namun—
“Alasan pendeta mengambil anak yatim adalah karena doktrin melarang pernikahan. Tidak. Mungkin sebaliknya, karena para pendeta sering mengambil dan membesarkan anak yatim, maka pernikahan dilarang agar tidak terjadi diskriminasi dengan anak kandung.”
“...Itu tidak masuk akal,” kata Yuma.
“Terlepas mana yang lebih dulu, memang begitulah adanya. Semua orang berpikir begitu. Aku juga berpikir begitu. Tapi aku malah—”
Bibir Graham menunjukkan kerutan yang tampak menyakitkan.
Saat Yuma menyadari bahwa itu adalah senyum mencela diri, ‘Pendeta Pejuang yang Tak Kenal Lelah’ itu menggelengkan kepalanya berkali-kali sebelum berkata.
“Aku memiliki rasa cinta, tidak, nafsu rendah yang tak tertahankan, kepada Helen.”
Bagian 7
Lantai papan berderit.
Seolah-olah menentang apa yang akan terjadi selanjutnya.
“............”
Cahaya bulan yang masuk dari jendela membentuk bayangan panjang di lantai dan di dinding.
Kamar Helen ada di sebelah.
Jarak antara dua pintu itu hanya tiga langkah bagi langkah kaki Graham.
Namun, setiap langkah terasa begitu samar. Jauh sekali, tapi juga terasa dekat, perasaannya benar-benar kacau. Papan lantai yang berderit di setiap langkah semakin menekankan kebingungan itu.
“............”
Napasnya terasa berat.
Ia berbaring di tempat tidur, tetapi tidak bisa tidur. Frustrasi karena tidak bisa tidur membuatnya semakin tidak mengantuk. Akhirnya, ia didorong oleh impuls untuk keluar dari kamar.
“Helen...”
Dia adalah ‘adik perempuan’ yang tumbuh bersamanya.
Helen sangat dekat dengan Graham, sang ‘kakak’.
Graham pun menyayanginya.
Sama seperti Monica, ‘adik perempuan’ mereka yang lain yang berselisih dengan Alan dan segera meninggalkan gereja, Graham juga mencintai Helen. Ia akan segera memberikan nasihat jika terjadi sesuatu, dan jika Helen melakukan kenakalan yang akan membuatnya dimarahi oleh ayah angkat mereka, Alan, Graham akan mengelabui dengan mengaku bahwa ia yang melakukannya.
Ketika masih kecil, Helen pernah berkata, ‘Kalau sudah besar, aku akan menikah dengan Kakak Graham’.
Mereka adalah kakak beradik yang akrab.
Bisa juga dikatakan, terlalu akrab.
“...Aku... harus...”
Kemarin, teman masa kecilnya, Cliff, menyatakan cinta kepada Helen—dan Helen menerimanya.
Keduanya adalah orang yang serius dan tulus.
Hubungan mereka tidak akan hanya sesaat, dan tidak lama lagi keduanya akan menjadi suami istri. Terlebih lagi, di mata Graham, Cliff adalah pria yang jujur dan baik hati, juga memiliki keterampilan sebagai pemburu. Dia adalah pria ideal untuk Helen.
Jadi, ia pikir dirinya bisa—seharusnya bisa—memberi restu dari lubuk hatinya untuk hubungan mereka.
Namun, saat ini ia baru menyadari.
Bahwa ia... juga mencintai Helen sebagai seorang wanita.
Aku tidak ingin menyerahkannya kepada Cliff.
Ia tidak mau membayangkan Helen menjadi istri Cliff—menjadi istri pria selain dirinya. Pikiran bahwa Helen mencintai pria selain dirinya adalah pengkhianatan yang kejam terhadap kasih sayang yang telah ia curahkan. Pikiran seperti itu bahkan melintas di benaknya.
“............”
Jadi ini adalah... pembalasan atas pengkhianatan.
Tindakannya ini punya pembenaran.
Graham merasa takut pada dirinya sendiri yang berpikir demikian di sudut otaknya.
Sambil ketakutan, ia berjalan tiga langkah dan berdiri di depan pintu kamar Helen.
“Helen—”
Kamar Graham dan kamar Helen memiliki tata letak yang sama dan tidak terlalu besar.
Tempat tidur berada di dekat jendela di depan pintu. Begitu masuk, ia hanya perlu dua langkah untuk sampai ke sana.
Setelah itu—
“............”
Ia diam-diam membuka pintu.
Sesuai bayangan di benaknya, Helen sedang tidur di bagian belakang kamar, tepat di depan pintu.
Ia bisa merasakan selangkangannya memanas. Ia ingin menindihnya sesuai dengan nafsu yang membara, merobek pakaiannya, dan melahap tubuhnya. Keinginan buas semacam itu perlahan merembes dari lubuk hatinya.
Sampai sejauh ini, tidak ada lagi alasan.
Graham menahan napasnya yang berat, menelan ludah, dan mengulurkan tangan kanannya ke arah ‘adiknya’ yang sedang tidur di tempat tidur—
“............!?”
Itu terjadi tiba-tiba.
Punggung tangan kanannya yang terulur—terasa panas.
Tidak. Ia terbakar. Terlihat seperti terbakar.
Rasa sakitnya hanya sesaat.
Tetapi api pucat yang muncul itu mengukir sebuah lambang aneh namun rumit di punggung tangan kanan Graham, lalu segera menghilang.
“Ugh............?”
Graham terhuyung-huyung, lebih karena fenomena aneh itu daripada rasa sakitnya.
Ia mundur selangkah, keluar dari kamar Helen, dan menutup pintu dengan seluruh tubuhnya.
“...Kakak?”
Mungkin terbangun karena suara pintu ditutup—suara Helen yang mengantuk terdengar dari balik pintu.
Namun, Graham tidak punya waktu untuk menanggapi adiknya.
“............Ini............!”
Ia bersandar pada pintu kamar Helen dan terduduk di lantai.
Ketika ia melihat lagi punggung tangan kanannya... sebuah lambang seperti desain yang asing, namun menyerupai simbol yang sangat ia kenal sebagai penghuni gereja, terukir di sana.
Rasa sakitnya sudah hilang.
Tapi—
“Ini............”
“Kakak? Graham, ada apa, Kak?”
Merasa ada sesuatu yang tidak beres, Helen memanggilnya dari balik pintu.
Mendengarkan suara adiknya yang terkasih di punggungnya, namun Graham—
“............Ini,”
Haruskah ia tertawa? Haruskah ia menangis?
Bahkan itu pun ia tidak tahu.
Sebuah keajaiban—Stigmata—muncul seolah mengincar saat ia hendak menyerang adiknya.
Apakah ini adalah larangan untuk menyentuh adiknya? Atau hukuman atas nafsu jahat yang ia miliki?
Meskipun ia menggosoknya dengan tangan kiri berkali-kali, lambang itu tidak hilang.
Dan kemudian—
“...Aku............!”
Dua hari kemudian, Graham mengetahui bahwa bekas cap yang tampak seperti cap yang diberikan pada kriminal itu, adalah bukti dari ‘rekan Sang Pahlawan yang dinubuatkan’.
Bagian 8
“—Padahal aku ini kakaknya, padahal aku seorang pendeta,”
Graham berkata demikian, jelas menunjukkan senyum mencela diri.
“Tapi justru hampir melakukan perbuatan yang tak terampuni, perbuatan kotor. Aku benar-benar bejat.”
“............”
Mengelilingi api unggun—bukan hanya Yuma dan rekan-rekannya, bahkan Monica dan kawanannya terdiam.
‘Sang Pahlawan dan rekan-rekannya yang dinubuatkan’ adalah pahlawan yang menyelamatkan dunia. Tidak ada seorang pun yang tahu harus berkata apa atas pengakuan yang terlambat dari sosok seperti itu.
Akhirnya—
“Lalu, apa yang kau lakukan, Graham?”
Yuma bertanya, tidak tahan dengan beratnya keheningan. Ia sadar tindakannya mungkin mengorek luka di hati Graham, tetapi ia tidak bisa menahan diri untuk bertanya, dan Graham mungkin memang menunggu untuk ditanya.
Namun—
“...Orang bodoh ini”
Monica-lah yang meneruskan bicaranya, sambil membelakangi api unggun.
“Dia kabur. Dengan dalih bergabung dengan ‘Rombongan Pahlawan’.”
“...Eh?”
Hanya Yuma yang mengeluarkan suara terkejut.
Yang lain mungkin sudah menduga.
“Itu adalah cara yang pengecut dan hina,” kata Graham mencela diri sendiri.
“Jika aku benar-benar mencintai Helen dari lubuk hati, jika aku sangat menginginkannya sehingga tidak peduli dikutuk oleh seluruh dunia, aku seharusnya menyerangnya lagi saat itu juga.”
“Tapi itu—”
“Tapi aku tidak melakukannya.”
Setelah helaan napas panjang, Graham menggelengkan kepalanya sedikit.
“Perasaanku terhadap Helen ternyata hanya sebatas itu. Mungkin itu hanya nafsu posesif yang egois, dan sebenarnya bukan cinta atau asmara sama sekali.”
“............”
“Menghadapi diriku yang begitu buruk ini terasa menyakitkan. Jadi, aku mengambil kesempatan ini.”
Sambil berkata demikian, Graham melepas sarung tangannya dan menunjukkan ‘Stigmata’ di punggung tangan kanannya.
“...Membuat Stigmata ini, yang menghentikanku, sebagai alasan.”
Lambang yang terlihat seperti semacam cap itu, jika dilihat lebih dekat, bukanlah bekas luka, melainkan tato yang terukir di kulit.
Itu adalah bukti dari ‘rekan Sang Pahlawan’ yang dinubuatkan.
“Aku kabur dari hadapan Helen, dan juga Cliff. Monica benar.”
“Graham...”
“Tujuan besar untuk menyelamatkan dunia... saat itu terasa menarik bagiku.”
Tidak ada pilihan.
Ia tidak memilih sendiri. Ia juga tidak seharusnya bisa memilih.
Sebab, jika dunia tidak diselamatkan, yang ada hanyalah kehancuran.
“Jadi, ada pembenaran bahwa aku terpaksa kabur tanpa menyentuh wanita yang kucintai. Aku tidak perlu melihat wanita yang kucintai menikah dengan pria lain. Aku tidak perlu menghadapi diriku yang hina karena hampir menyentuh adikku, karena sekarang bukan waktunya—alasan-alasan seperti itu bisa diciptakan.”
Tawa ejekan yang rendah memecah keheningan di atas api unggun.
Itu keluar dari mulut Graham.
“Betapa hinanya diriku. Betapa buruknya diriku. Tapi sampai Raja Iblis dikalahkan, aku mati-matian berjuang sehingga tidak punya waktu untuk memikirkan hal-hal seperti itu. Jadi... perjalanan membasmi Raja Iblis, sungguh, sangat mudah.”
“............”
Baik Yuma dan rekan-rekannya maupun Monica dan kawanannya tidak mengucapkan kata-kata menyalahkan kepada Graham.
Itu mungkin karena semua orang tahu bahwa yang menyalahkan dirinya adalah dirinya sendiri.
“Aku minta maaf, Yuma. Aku hanyalah manusia rendahan sebatas itu.”
Graham mengangkat bahu.
“Aku tidak pantas untuk menyelamatkan dunia. Entah bagaimana kesalahan terjadi, aku mendapat kehormatan untuk membantu pencapaian besarmu... tapi yang ada dalam diriku bukanlah rasa misi yang luhur, melainkan hanya keinginan pengecut untuk merasa lega sejenak.”
“............”
Mereka semua diam, hanya mendengarkan suara api unggun yang berderak, menunggu kelanjutan cerita Graham.
Kali ini, bahkan Monica pun tetap diam.
Akhirnya—
“...Tadi, Yuma bertanya mengapa aku kembali,”
Graham berkata sambil terus mengaduk api unggun dengan ranting kayu.
“Setelah berbicara dengan kalian semua, kurasa aku akhirnya mengerti. Ya. Ruang pengakuan di gereja adalah mekanisme yang sangat bagus. Dengan mengucapkan dan mengungkapkannya, sesuatu yang tadinya samar bisa menjadi sesuatu yang bisa ditangani secara sadar.”
Nada bicaranya sekarang terdengar tenang, seolah sedang membicarakan orang lain.
Justru karena tidak jelas, sulit untuk dihadapi.
Justru karena tidak tahu identitas musuh, sulit untuk menemukan cara melawannya.
Oleh karena itu—
“Jika aku tidak menyaksikan pernikahan Helen dan Cliff, aku akan selamanya menjadi orang yang hanya melarikan diri. Seandainya aku tak mengakhiri semua perasaan jahat dan tindakan pengecut yang pernah kulakukan, entah dengan menebus kesalahan atau menerimanya—baru aku bisa melangkah maju.”
Sambil berbicara, Graham mengeluarkan salah satu batu yang terbakar dari api unggun.
“Setelah itu, aku akan kembali menjadi pria biasa.”
Berujar tanpa ragu, Graham menekankan punggung tangannya—tempat Stigmata terukir—ke batu itu tanpa ragu.
Suara dan bau daging yang terbakar tercium—
“Graham!?”
Yuma dan Bonita terkejut dan sedikit bangkit, tapi Leona dan Rauni, yang mungkin menyadari apa yang akan ia lakukan, bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda ingin menghentikan.
“Sejak awal, aku tidak punya kualifikasi untuk menjadi pendeta hebat seperti Ayah, karena aku jahat dan pengecut. Aku bahkan bukan lagi ‘rekan Sang Pahlawan’ sejak lama, hanya seorang pria biasa. Aku akan membuang segalanya, dan memulai kembali dari sana. Itulah mengapa aku kembali, untuk menguatkan tekad itu.”
Itu adalah hukuman sekaligus keselamatan yang Graham berikan pada dirinya sendiri.
“............”
Ketika Yuma dan yang lain terdiam, sebaliknya, beberapa bayangan manusia muncul mengelilingi mereka.
“—!”
Tanpa sempat Yuma dan yang lain terkejut kapan itu terjadi, rekan-rekan Monica yang seharusnya terikat, duduk mengelilingi Graham dan satu per satu menepuk bahunya.
“Ayo kita minum malam ini. Ya, Aniki.”
“A-Aniki?” Graham bingung dengan panggilan ‘Aniki’ yang tiba-tiba itu.
“Kakak perempuan kami adalah kakak, jadi kau juga sama seperti kakak kami,” kata para pria sambil melepaskan ikatan Monica.
“Tunggu, bagaimana caranya, tali—”
Di sudut pandangan Yuma yang bertanya dengan curiga, Rauni terlihat mengayunkan tongkatnya dengan ringan.
“—Rauni.”
Leona berkata dengan nada tercengang, karena ia menyadari Penyihir ras Peri itu diam-diam merapal sihir serangan yang disebut 〈Belati Arwah〉 untuk memotong tali para pria.
Itu pasti dilakukan setelah ia menyadari bahwa para pria, setelah mendengar seluruh cerita, sudah kehilangan niat untuk memusuhi Graham.
“Tapi seorang pendeta tidak boleh minum alkohol—”
“Dirimu sudah bukan lagi pendeta maupun apa pun. Kini hanyalah Graham semata, kan~?” ujar Rauni dengan nakal.
“Benar, juga. Kau emang bilang gitu,” Bonita tertawa dan mengangguk.
“Aku juga mendengarnya. Dan Graham yang aku kenal adalah pria yang memegang kata-katanya,” Leona juga mengangguk dengan ekspresi serius.
“Benar. Graham yang aku kenal adalah orang yang seperti itu. Meskipun butuh waktu, meskipun harus berhenti berkali-kali, dia adalah orang yang bisa bertanggung jawab atas kata-kata dan tindakannya,”
Terakhir, Yuma berkata demikian sambil menepuk bahu Graham.
Bagian 9
Upacara pernikahan Cliff dan Helen berjalan lancar.
“—Semoga tahun depan membawa kebaikan, membawa kabar baik bagi kalian berdua.”
Bersamaan dengan kata penutup, sorak sorai memenuhi lapangan.
Tampaknya mereka memang mengundang orang dari kota-kota terdekat, dan lapangan itu penuh sesak dengan orang-orang yang berpartisipasi dalam pesta setelah upacara.
“Terima kasih. Terima kasih.”
Cliff dan Helen, mengenakan pakaian pernikahan, berjalan mengelelilingi lapangan, terus menerus mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang memberikan ucapan selamat.
Wajah keduanya dihiasi senyum gembira yang cerah, tanpa ada sedikit pun awan mendung. Setidaknya begitulah tampaknya.
Jadi—
“Selamat untuk kalian berdua,” Yuma berkata dengan tulus dari hati saat keduanya mendekati meja mereka.
“Terima kasih. Um, Anda ini—” Helen, yang rambut cokelat mudanya dikepang dan dihiasi mahkota bunga, memiringkan kepalanya. Itu mungkin karena ia tidak mengenali wajah lima orang di meja itu, kecuali satu orang.
“Maaf, Kak Monica. Siapakah mereka?”
“Ah...” Monica mengalihkan pandatan dengan canggung.
“Di luar kota, ya. Kami sedang berpatroli mengawasi sisa-sisa Iblis, lalu bertemu dengan para pengelana ini. Dua orang di sana katanya baru menikah, dan mereka ingin ikut merayakan Helen dan Cliff—”
“Oh, begitu rupanya,” Cliff, pemuda berambut hitam cepak dengan aura jujur dan sederhana, tersenyum ke arah Yuma dan Bonita, yang sengaja bergelayut erat di lengan Yuma untuk menunjukkan sandiwara pasangan baru menikah.
“Semoga tahun depan membawa kabar baik bagi kalian juga.”
“Terima kasih,” balas Yuma.
“Um. Bolehkah saya bertanya satu hal?”
“Ya. Apa saja,” jawab Helen.
Yuma memilih kata-katanya dengan hati-hati.
“Apa pendapat Anda tentang kakak Anda?”
“...Maksud Anda Kakak Graham?”
Setelah mengucapkan itu—Helen tersenyum cerah, seperti bunga besar yang mekar.
“Dia adalah kakak yang saya banggakan!”
Ia menjawab dengan segera—lalu menoleh ke arah altar yang digunakan untuk upacara pernikahan.
Di sana, Graham, yang mengenakan jubah putih sebagai pengurus upacara, bersama Alan, ayah angkatnya yang juga berjubah, sedang membereskan sisa-sisa acara.
Ketika ia menyadari pandangan Helen dan Yuma tertuju padanya, ia sedikit tersenyum kecut dan mengangkat satu tangan.
“Kakak adalah pahlawan yang melakukan perjalanan bersama Sang Pahlawan dan menyelamatkan dunia!”
“...Sepertinya begitu,” Yuma mengangguk dengan senyum samar.
Sebab, di sini ia adalah suami Bonita, bukan Sang Pahlawan—begitulah yang terjadi.
“Ditambah lagi, ia bergegas kembali untuk memberkati pernikahan kami sesuai janji! Bukankah itu luar biasa? Sangat luar biasa, kan?”
Helen berkata dengan antusias.
Ia benar-benar menghormati dan bangga pada Graham.
“Sungguh, kau dan Kakak Ipar Monica, sejak dulu selalu memikirkan Graham saja,” Cliff, sang pengantin pria, menggelengkan kepala sambil tersenyum kecut.
“Jujur, aku cemburu.”
“Si-siapa yang—” Monica terkejut dan memerah, tetapi Helen melanjutkan dengan senyum yang sama.
“Jika ada satu hal yang tidak bisa saya maafkan dari Kakak Graham, itu adalah ia berpura-pura tidak menyadari perasaan Kakak Monica.”
“—Oi!?”
Monica menendang kursi dan berdiri, terkejut.
“Helen, kau, jangan bicara sembarangan—”
“—Monica. Tenanglah setidaknya hari ini saja.”
Tepat saat itu—Graham, yang turun dari altar dan menghampiri Yuma dan rekan-rekannya, berkata demikian.
Meskipun ia tampaknya tidak mendengar kata-kata Helen sebelumnya—
“Kau ini, sejak dulu selalu membuatku khawatir...”
“Berisik! Jangan bertingkah seperti kakak di saat seperti ini! Aku udah lama diusir dari Ayah sialan itu!”
Monica berteriak, lalu berjalan dengan langkah marah menuju meja panjang tempat hidangan diletakkan.
Mengantarkan kepergian mereka dengan senyum kecut, Yuma kembali menatap Helen dan Cliff.
“Maaf, saya menanyakan hal yang tidak sopan. Semoga kalian bahagia,” katanya, seolah menutup pembicaraan, dan menundukkan kepala.
Setelah itu—pasangan baru itu dipanggil oleh orang lain dan secara alami meninggalkan meja.
“Apa yang kalian bicarakan dengan Helen dan yang lain?” Graham bertanya, yang tampaknya tidak mendengar percakapan tadi.
“Katanya kau ini kakak yang dibanggakan,” Bonita berkata sambil tertawa, lalu menambahkan dengan senyum yang sedikit nakal.
“Tapi sikapmu yang pura-pura tak tahu perasaan orang lain itu nggak baik.”
“...Perasaan orang lain?” Graham memiringkan kepalanya.
Rupanya, dia tidak pura-pura tidak tahu, tetapi memang benar-benar tidak mengerti.
“...Atau lebih tepatnya, bocah ini hanya bebal urusan hati. Pemalu, sungguh penakut~,” kata Rauni, sambil meminum sake perayaan seperti air.
Meskipun ia pasti sudah minum banyak semalam, ia sama sekali tidak terlihat mabuk. Menurutnya, ‘Beta mendapat berkah dari roh arak’, tapi Yuma dan yang lain tidak tahu apakah roh yang begitu nyaman itu benar-benar ada.
“...Maksudnya apa?” Yuma bertanya kepada Rauni dengan suara berbisik.
Graham sendiri tampak tersinggung, memiringkan kepalanya dan menatap penyihir ras Peri itu.
“Bagi bocah polos sepertimu, tentu sukar dimengerti, bukan~?” Rauni berkata dengan senyum jahil.
“Barangkali ia sendiri pun belum memahami perasaannya sendiri dengan benar~.”
“Perasaannya sendiri—?”
Itu adalah hal yang Graham sendiri katakan semalam.
“Memangnya dirimu pikir... ‘Pendeta Pejuang Tak Kenal Lelah’ yang amat serius dan teliti ini akan membuat perbedaan dalam kasih sayang yang ia curahkan kepada kedua adiknya~?”
“...Eh?”
“Dia itu pria yang bahkan ingat hitungan kali ia merapal sihir penyembuhan pada kita semua, dan berusaha keras untuk tidak membuat perbedaan~?”
“............”
Yuma melihat ke arah Graham.
Dia—mungkin karena terkejut mendengar hal yang tidak terduga—berulang kali mengedipkan matanya yang sipit dengan bingung.
“Dan perasaan orang ini ‘berubah’ menjadi hubungan pria dan wanita, sejauh yang Beta dengar, itu dipicu oleh pernyataan cinta dari pengantin pria itu, kan~?”
Rauni menunjuk ke arah Cliff, yang sedang berbicara dengan tamu di meja lain.
“Itu artinya—”
Manusia berpikir melalui kata-kata.
Jika mereka mengucapkan ‘Aku mencintaimu’, mereka akan cenderung percaya bahwa memang begitulah adanya.
Seolah-olah itu adalah semacam mantra.
(Ada ungkapan ‘mencintai cinta’...)
Bukan perasaan cinta yang muncul secara alami dari hati.
Melainkan merindukan dan menginginkan konsep yang pertama kali ia ketahui sebagai kata-kata.
Cinta dan kasih sayang itu tampaknya luar biasa—
Karena belum pernah mengalaminya, imajinasi di hati membengkak sendiri.
(Terutama karena Graham adalah seorang pendeta—)
Graham telah meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia ‘mencintai’ adik-adiknya ‘sebagai seorang kakak’, dan ia menekan keinginannya sebagai seorang pendeta.
Mungkinkah ia tidak bisa membedakan antara perasaannya sendiri, dorongan seksual yang wajar bagi seorang pemuda, dan perasaan yang ditujukan orang lain kepadanya...?
(Tapi ketika ia menyaksikan sendiri Helen dan Cliff... menjadi sepasang kekasih...)
Kebingungan semakin menjadi-jadi.
Selain itu, Monica, adiknya yang lain, sudah lama meninggalkan mereka.
Perasaan kehilangan dan kesepian karena adik yang tersisa juga akan meninggalkannya, karena ia masih muda, bercampur aduk dengan dorongan seksual yang berlebihan—
“Lagian, mengapa juga orang ini berusaha nyembunyiin wajahnya di depan Monica—”
“Ah, tidak, Rauni, tolong jangan lanjutkan lagi,”
Graham, yang menutupi wajahnya dengan telapak tangan kanan dan menunduk, mengangkat tangan kirinya seolah meminta dihentikan.
Terlihat telinganya yang tidak biasa memerah.
“Sudah, sudah, aku mengerti,”
“Begitukah, Ngomong-ngomong, bagaimana kondisi tanganmu?”
“Eh... ya. Tidak apa-apa. Tidak sakit sama sekali.”
Sambil berkata demikian, Graham melepaskan tangan kanannya dari wajah yang memerah dan menatap punggung tangannya sendiri.
Sebagai hasil dari penggunaan sihir penyembuhan, sudah tidak ada bekas luka di sana—tetapi sebagai gantinya, lambang yang menjadikannya ‘rekan Sang Pahlawan’ juga telah lenyap tak berbekas.
“Kalau gitu, seperti yang engkau bilang tadi, mungkin lebih baik menjadi orang lain saja~?” Rauni tersenyum jahil—
“Hentikan. Aku merasa mual hanya membayangkannya,” kata Bonita sambil menutup mulut.
Tadi malam... setelah Graham membakar sendiri Stigmatanya hingga hilang.
Dia sempat berkata bahwa dia memutuskan untuk mengubah wajah dan namanya agar bisa mengawasi kota, ayah angkatnya, teman masa kecil, dan ‘keluarga’ lainnya.
Sudah terlambat baginya untuk memperkenalkan diri, jadi—katanya.
Awalnya, Graham sendiri bermaksud membakar topeng helm Leona di api unggun dan mengenakannya untuk menutupi wajahnya, dan kemudian membakar wajahnya sendiri. Namun, karena pemiliknya tidak setuju, dan Rauni menyarankan ‘akan lebih baik kalau apinya lebih besar’ dan mencoba membakar wajah Graham dengan sihir arwah, situasinya menjadi rumit.
Bahkan bau saat Stigmata dibakar pun sudah membuat Bonita muntah.
Jika wajah manusia utuh dibakar, entah apa yang akan terjadi, meskipun Graham bisa menahannya.
Singkat cerita, ‘transformasi’ Graham itu dihentikan mati-matian oleh Bonita, dan dengan panik Leona dan Yuma ikut campur. Rauni sendiri, entah karena tidak benar-benar berniat membakar wajah rekannya, segera menghentikan sihirnya.
“Itu juga termasuk ‘melarikan diri’,” kata Graham dengan ekspresi serius.
“Aku hanya bisa melangkah maju setelah menghadapi kembali apa yang pernah aku hindari. Jika melihat Helen dan Cliff yang harmonis ‘sebagai seorang kakak’ masih menyakitkan... maka itulah hukuman bagiku, dan bertahan menjalaninya adalah penebusanku.”
“...Menyakitkan?”
Ketika Yuma bertanya, Graham berpikir sejenak.
“Tidak. Anehnya, tidak terlalu. Seperti kata Rauni, mungkin hanya aku sendiri yang salah paham tentang banyak hal.”
“Begitu. Syukurlah.”
“Dengan mengungkapkan semuanya kepada kalian... dan juga,”
Graham tiba-tiba menoleh ke arah Monica, yang sedang minum agak jauh.
“Dengan teguran keras dari Monica, entah bagaimana, mataku terbuka, ya. Aku senang kembali sebagai Graham. Aku benar-benar berpikir begitu.”
Ia berkata demikian dengan senyum lembut di wajahnya yang sekeras batu.
Dan kemudian—
“...Pahlawan Yuma.”
Ia tiba-tiba menurunkan alisnya dan menatap pemuda yang telah menemaninya dalam perjalanan mengalahkan ‘Raja Iblis’.
“Maaf. Aku berniat pergi ke Ibu Kota Kerajaan bersamamu, tapi... aku akan tetap di sini.”
“Aku mengerti. Meskipun sedih, kupikir Graham harus berada di sisi keluarganya.”
Yuma memaksakan senyum dan mengangguk.
Perasaan sedihnya itu tulus, tapi ia merasa tidak seharusnya ia memaksa Graham, yang akhirnya kembali menjadi dirinya yang sebenarnya, untuk ikut dalam ‘pawai kemenangan Rombongan Pahlawan’.
“Nah—”
Leona, yang tadinya diam, bangkit dari kursinya dan melihat ke arah hidangan yang sedang dibagikan di tengah lapangan.
Hidangan-hidangan itu, yang dibawa oleh seluruh kota bersama dengan berbagai minuman—termasuk sayuran liar dan daging rusa asap yang dibawa oleh kelompok Monica—menumpuk di atas meja, dan sepertinya tidak akan habis dalam waktu singkat.
“Minum alkohol tanpa makan juga akan membuat mabuk berat.”
“Ah, ah, aku ngincer ayam panggang herbal itu!” Bonita juga berdiri.
“Padahal semalam engkau muntah sebegitu parahnya, kenapa juga nafsu makanmu tinggi sekali~?”
“Jangan nyamain bau daging manusia terbakar dengan makanan!”
Rauni tertawa jahil, Bonita memukul meja, dan terpicu oleh itu, Yuma, Graham, dan Leona pun tertawa.
Suara mereka—perlahan larut dalam keriuhan gembira pesta itu.

