![]() |
| Gambar 8. Bab 5 |
Tefuda ga Oome no Victoria Volume 1 - Insiden di Soiree
Translated by : Koyomin
Bagian 1
“Vicky! Vicky!”
“Hmm? Oh, maaf. Ada apa?”
“Apa yang terjadi ?”
Nonna menatap wajahku dengan penuh rasa khawatir. Saat itu aku sedang mengajarinya menjahit, tetapi pikiranku melayang entah ke mana, membuatku tiba-tiba berhenti.
“Tidak ada apa-apa. Aku baik-baik saja.”
Sejujurnya, meski sudah beberapa hari berlalu sejak pesta dansa itu, aku masih belum bisa melepaskan diri dari perasaan yang tersisa malam itu.
“Sekarang, aku akan menunjukkan cara menjahit dua potongan kain menjadi satu.”
“Baiklah…”
Nonna kembali mengambil kain dan jarum untuk melanjutkan jahitannya, meski raut wajahnya tetap murung. Gadis ini memang begitu peka, pikirku dengan perasaan menyesal.
“Maafkan aku, Nonna. Barusan aku hanya melamun.”
“Vicky, wajahmu tadi mirip seperti Ibu. Dia juga pernah terdiam seperti itu.”
“…Hmm? Maksudnya gimana?”
Aku merasa ini bukan sesuatu yang bisa dianggap sepele, jadi aku mendorong Nonna agar mau bercerita. Ia terdiam sejenak, lalu dengan penuh kesulitan perlahan mulai menceritakan kisah tentang ibunya.
Perlu waktu cukup lama untuk membujuk Nonna agar menceritakan semuanya, tetapi inti ceritanya, ibunya sering pulang larut malam dan tidur hingga siang. Bangun pun susah, seolah tubuhnya sakit, lalu jadi mudah marah dan keluar rumah lagi. Begitulah bagaimana Nonna dibesarkan.
Namun, pada suatu hari, ibunya mulai melamun dan terhanyut dalam pikirannya, sama seperti yang baru saja kulakukan. Dan lama-kelamaan, kebiasaan itu semakin sering dan semakin lama, hingga ia berhenti mengurus pekerjaan rumah sama sekali. Sampai akhirnya, suatu hari ia mengajak Nonna ke alun-alun dan berkata, “Ibu mau belanja sebentar. Tunggu di sini, ya.” Dan setelah itu, ia tak pernah kembali.
Aku tak sanggup menahan perasaan yang muncul; aku memeluk Nonna erat-erat. “Maafkan aku. Aku berjanji tak akan melamun seperti itu lagi. Dan aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Sumpah!”
Nonna menggeleng cepat.
“Bukan itu, Vicky!”
“Apa yang bukan? Aku tak akan membuatmu khawatir lagi, Nonna.”
“Vicky, apa yang sedang kau pikirkan? Ceritakan padaku.”
Tatapan matanya menembusku. Begitu serius sampai aku tahu ia bisa menangkap kebohongan sekecil apa pun.
“Kau ingin tahu, ya? Aku tidak tahu apa yang dipikirkan ibumu waktu itu, tapi aku bisa menceritakan apa yang kupikirkan. Mungkin ini bukan cerita yang menyenangkan bagimu. Kau tetap ingin mendengarnya??”
Nonna mengangguk, matanya terpaku padaku.
“Di pesta di kastel itu ada seorang pria mencurigakan. Sepertinya dia berniat menyakiti seseorang. Kapten berusaha menangkapnya, tapi dia lari. Aku sudah memprediksi ke mana dia akan kabur, jadi aku mendahuluinya untuk menghentikan. Lalu kutumbangkan dia dengan tendangan memutar dan lututku ke perutnya.”
“…Wow. Wow, kau hebat sekali, Vicky!”
Mata Nonna berkilau penuh kekaguman. Padahal, aku selalu mengalahkan orang-orang seperti itu hanya untuk kepentinganku sendiri, hal yang membuatku resah.
“Aku selalu memukul setiap orang jahat yang mendekat, tapi belakangan aku berpikir mungkin aku harus berhenti. Mungkin daripada melawan, aku harus lari. Karena kalau aku bertarung, bisa saja kau ikut terancam.”
Nonna merenung. “Kita tidak bisa melawan orang jahat bersama saja?”
“Hmm. Yah, Aku tidak mau membahayakanmu. Melindungimu jauh lebih penting bagiku daripada mengalahkan orang jahat.”
Nonna terdiam. Ia hanya menatap kain dan jarum di tangannya tanpa berkata apa-apa.
“Nonna? Ada apa?”
“Aku tidak ingin kau menahan diri untukku, Vicky. Itu membuatku merasa tidak enak padamu.”
“Nonna, kau adalah hal terpenting di dunia bagiku. Kau tidak perlu merasa bersalah. Aku hanya ingin kau mengerti itu.”
“Tidak. Aku tidak ingin kau menahan diri!”
Kupikir anak-anak ingin bangga pada apa yang dilakukan orang tua mereka.
Namun aku tak bisa menjadi mata-mata sekaligus melindungi Nonna, dan aku tak berniat terus menangkap penjahat. Saat ini aku hanya butuh waktu untuk memproses emosi dari malam itu.
“Kalau kau menahan diri… kau akan menghilang juga,” kata Nonna padaku.
“Kok bisa? Aku tidak akan menghilang!”
“Kau harus mengalahkan para penjahat! Jangan menahan diri!”
Tiba-tiba Nonna meledak menangis, seolah bendungan jiwanya runtuh. Ia terisak tak terkendali. Ini pertama kalinya aku melihatnya menangis sejak aku membawanya ke dalam perawatanku.
Aku bertanya-tanya apa yang dipikirkan ibunya saat mengalami episode itu sebelum meninggalkan Nonna. Aku tahu aku tak akan ragu memilih Nonna apapun yang terjadi. Tetapi ibunya tidak melakukan hal yang sama. Dan itu bukan salah Nonna.
Kuusap punggung mungilnya dengan lembut. Ia tak pernah meneteskan air mata selama ini. Mungkin ia merasa tak berhak menangis, mengira ia ditinggalkan karena membuat ibunya harus menahan diri.
Ia begitu menyedihkan hingga membuatku hampir menangis juga.
Ketika aku berumur delapan tahun, mereka berkata padaku, “Kau akan bekerja untuk keluarga bangsawan. Berusahalah,” Lalu aku diserahkan pada Lancome. Meski masih anak-anak, aku menerima keadaan sebaik mungkin. Walau sepi, aku tak pernah menyimpan dendam pada orang tuaku.
Namun kondisi Nonna berbeda; ia ditinggalkan begitu saja. Tak ada yang tahu betapa dalam bekas luka batinnya.
Aku meraihnya dan kusandarkan di pangkuanku.
Sambil tersedu dan terisak dalam pelukanku, kurasakan betapa kecil dan kurus tubuhnya. Ringannya tubuhnya menunjukkan betapa kurang gizinya masa-masa penting tumbuh kembangnya, dan betapa sering ia berdiam di dalam rumah ketimbang bermain di luar.
Kuseka air matanya lalu memeluknya erat
“Baiklah. Kalau ada penjahat datang, aku akan urus mereka saat diperlukan. Tapi kamu yang terpenting bagiku, Nonna. Itu takkan pernah berubah. Kalau harus lari, aku akan lari. Tapi aku tak akan pernah melepaskanmu.”
Aku bertanya-tanya apakah apa yang aku katakan bisa tersampaikan padanya. Dia tampak kelelahan karena menangis dan ekspresi wajahnya kosong. Akhirnya, nafasnya melambat, dan dia menempelkan wajahnya ke payudara-ku.
“Tenang, Nonna. Semuanya akan baik-baik saja,” bisikku.
Lalu tiba-tiba ia menatap ke atas. “Hei, Vicky. Aku minta tolong.”
“Hmm? Apa itu?”
“Tunjukkan padaku apa yang kau lakukan untuk menaklukkan si penjahat. Aku mau lihat.”
“Di sini? Sekarang?”
““Iya. Aku mau lihat,” ia mengulang.
“Beneran…?”
Pikiran untuk melakukannya membuatku malu setengah mati. Namun aku terlalu lemah menolak gadis kecil cantik yang baru saja menangis. Aku luluh dan memperagakan bagaimana aku menjatuhkan pencuri di taman kastil. Kubuat Nonna berjanji tak akan memberi tahu siapa pun.
“Aku meraih begini, lalu menendangnya begini, dan bam! Begitulah caraku!”
Seandainya ada yang mengintip dari balik jendela, pasti mereka mengira aku kesurupan. Nonna terus bertepuk tangan kegirangan sambil berseru, “Lagi! Lakukan lagi!” Maka kuperagakan tendangan memutar, kugenggam bahunya, kukenakan lutut ke perut, lalu kumatikan dengan tusukan tangan ala karate berulang-ulang.
“Nonna, janji jangan pernah, sekalipun memakai teknik ini pada orang lain kecuali aku mengizinkan. Ukuran tubuhmu masih terlalu kecil sehingga gerakan itu belum efektif dan justru berbahaya. Mengerti?”
“Iya, mengerti!”
“Janji?”
“Aku janji!”
Akhirnya Nonna tampak ceria kembali. Kami berdua mandi, makan malam, lalu tidur bersama. Ia tertidur dalam pelukanku.
Anak-anak memahami lebih banyak hal daripada yang orang dewasa kira. Setidaknya begitu yang aku rasakan saat berumur delapan tahun.
Mulai sekarang, aku akan menceritakan segalanya pada Nonna, pikirku.
Malam itu pun aku tertidur dengan hangatnya tubuh Nonna di sampingku.
Tugas utamaku hari ini adalah memilah buku-buku yang menumpuk di perpustakaan Tuan Bernard.
Belakangan beliau memang jarang menyentuh koleksinya, tetapi sesekali ia tak bisa menemukan satu buku tertentu dan membuat keributan besar karenanya. Aku bilang padanya akan membereskan rak buku, namun ketika ia tidak menjawab, aku ulangi lagi. Tetap saja tanpa respons. Bila Tuan Bernard sudah tenggelam dalam sesuatu, ia sama sekali tidak mendengar keadaan di sekelilingnya.
“Menjauhlah, Nonna. Aku akan menurunkan buku-buku dari rak. Aku tak ingin kamu menghirup debu ini.”
“Aku mau bantu.”
“Hmm… Baiklah, tapi kita persiapkan dirimu dulu.”
Aku mengikatkan kain di rambut Nonna, lalu satu lagi menutupi hidung dan mulutnya dengan masker. Terakhir, kupakaikan celemek di pinggangnya.
Hari itu cerah tanpa angin—cuaca sempurna untuk membersihkan perpustakaan.
“Vicky, ini harus kutaruh di mana?”
“Itu di rak ketiga dari kanan.”
“Kalau buku kecil ini?”
“Kalau ditumpuk di sana, pasti jatuh. Taruh saja di tepi rak.”
Ada delapan lemari buku di perpustakaan, semuanya penuh sesak dengan buku. Butuh waktu lama untuk memilah berdasarkan kategori dan menyusunnya di lorong.
Setiap buku kubersihkan debunya dengan hati-hati, lalu kuusap tiap rak dengan kain basah.
“Baiklah, waktunya mengembalikan buku,” ujarku. Namun ketika keluar ke lorong, kulihat Nonna sudah asyik membaca sebuah buku kecil. “Oh? Kamu menemukan buku yang bagus?”
“Iya. Buku ini menarik.”
Ternyata itu kumpulan dongeng terkenal dari kerajaan ini dan negeri-negeri sekitarnya.
“Hmm, ternyata ada juga buku anak-anak di sini. Tapi, bukankah ada kata-kata yang belum kamu mengerti?”
“Yah, aku menebak-nebak saja artinya.”
Aku teringat pernah melakukan hal serupa ketika pertama kali belajar membaca di fasilitas pelatihan—menebak arti kata-kata sambil terus membaca.
“Kalau gitu, aku akan mulai mengembalikan buku-buku ke rak, ya.?”
“Iya.”
Pertama, Aku menyusun kembali buku-buku yang sudah diturunkan ke rak, mengaturnya berdasarkan nama pengarang, lalu judul. Saat selesai, lenganku pegal, punggung dan pinggang pun ikut terasa nyeri. Nonna masih hanyut dalam bukunya sepanjang waktu itu. Tuan Bernard pun tak kunjung keluar dari ruang kerjanya.
Karena waktu sudah menunjuk jam minum teh, aku memanggil beliau, lalu kami bertiga menikmati teh bersama.
“Oh, Nonna! Jadi kau membaca buku itu, ya?” katanya.
“Maaf, dia mengambilnya tanpa izin. Dia menemukannya saat kami membersihkan perpustakaan.”
Mata Bernard melebar, Ia bangkit dari kursinya, dan langsung menuju perpustakaan. Aku dan Nonna mengikutinya.
Beliau membuka pintu, melangkah ke arah rak, lalu menatap buku-buku yang kini tersusun rapi.
“Aku sudah mengelompokkan sesuai nama pengarang. Tapi kalau Anda ingin diurutkan dengan cara lain, aku bisa menatanya kembali,” kataku.
“Tidak perlu. Ini sudah baik. Sempurna, malah! Pasti cukup merepotkan, mengingat betapa banyaknya buku di sini..”
“Tidak sama sekali. Aku justru senang melakukan pekerjaan seperti ini.”
Tuan Bernard mengangguk sambil bergumam, “Hmm, hmm.” Setelah berjalan memeriksa tiap rak, kami kembali ke ruang tamu, Lalu ia berkata pada Nonna, “Kau suka buku itu, Nonna?”
“Iya, sangat menarik.”
“Begitu, ya. Kau boleh membaca buku apa pun di perpustakaanku kapan saja.”
“Wah! Aku boleh baca semuanya?”
“Tentu saja. Buku sejarah itu sangat menarik. Rasanya seperti bisa bercakap dengan orang-orang dari masa lampau.”
“Hmm…” Nonna menyesap tehnya yang manis sambil mendengarkan Tuan Bernard dengan penuh perhatian.
Aku senang Nonna mulai menunjukkan minat yang begitu besar terhadap buku, tetapi aku memang punya aturan untuk tidak membeli buku sendiri. Buku sulit dibawa jika harus berpindah tempat, jadi bila terjadi keadaan darurat, aku harus meninggalkan semuanya. Dan aku benci meninggalkan barang-barang. Karena itu, selama ini aku hanya meminjam buku dari penyewa buku dan membiarkannya membaca buku-buku pinjaman itu.
“Buku anak-anak Anda cukup banyak ya, Tuan Bernard,” kataku.
“Yah, Buku sejarah untuk anak-anak itu sendiri sebenarnya sudah langka. Dan isinya pun cukup berbobot. Meski begitu, luar biasa melihat seorang anak membaca. Aku sendiri tidak memiliki anak, tetapi mungkin seandainya aku punya, aku sudah memiliki cucu saat ini. Melihat Nonna rasanya seperti melihat sekilas kehidupan yang seharusnya bisa aku jalani.”
Kata-katanya benar-benar mengena di hatiku.
“Saya juga merasa begitu. Rasanya ini kehidupan yang akan kuinginkan jika saya punya anak sendiri.”
Tuan Bernard menatapku seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia memilih diam. Aku menduga ia ingin bertanya tentang sang kapten, tetapi tidak ada gunanya membicarakan itu atau kapten padaku, dan aku bersyukur ia menahan diri.
Malam itu, di tempat tidur, Nonna menoleh padaku dan berkata, “Vicky, buku itu menyenangkan, ya?”
“Iya. Aku akan mengajakmu ke tempat penyewa buku kapan pun kau ingin meminjam banyak buku.”
“Baik!”
Setelah ia tertidur, aku menarik selimut menutupinya lagi dan menatap wajahnya yang sedang tidur. Aku membayangkan bagaimana wajah anak-anakku sendiri seandainya aku memiliki mereka.
“Untuk punya anak sendiri, harus ada seorang ayah lebih dulu,” gumamku sambil tertawa kering.
Menginginkan hal-hal yang tak mungkin hanya akan membuatku sedih. Aku sudah memiliki Nonna, dan seharusnya itu cukup bagiku. Saat ini, kebahagiaanku adalah membesarkannya hingga dewasa.
Keesokan harinya, sang kapten datang ke kediaman Tuan Bernard dan mengundang kami makan bersamanya.
“Vicky, maukah kau dan Nonna ikut makan di luar bersamaku?”
“Sebenarnya, ada sesuatu yang perlu kubicarakan denganmu. Bisakah kamu datang makan malam ke rumahku saja? Ini hal yang tidak ingin kudengar orang lain.”
“Begitu ya. Baiklah, aku akan datang.”
Kapten datang tepat waktu pada hari yang telah ditentukan, mengenakan pakaian sipil. Sepertinya ia baru saja selesai mandi, karena rambut peraknya yang pendek berkilau seakan terbuat dari benang perak yang dipintal.
“Masuklah, masuk,” kataku. “Harus dimakan selagi masih panas!”
“Bau masakannya sangat harum. Aku sudah menantikannya sejak tadi.”
Nonna menuntun kapten masuk ke ruang makan, lalu ia duduk di kursi tepat berhadapan denganku.
Aku menuangkan sup putih panas yang mengepul ke dalam mangkuk-mangkuk, menaruhnya di atas meja, lalu duduk. Disana ada juga sekeranjang roti yang baru dipanggang, ditemani sepiring mentega dan pâté. Kapten menyesap supnya, lalu menutup mata.
“Mm, pas sekali rasanya!”
“Kamu menyukainya?”
“Ya, sangat suka. Ini sup asparagus, bukan?”
“Benar, aku menemukan asparagus putih di pasar. Kerajaan ini memang kaya akan hasil bumi.”
“Aku senang mendengar kau betah di sini.”
Aku menunggu sampai kami selesai menyantap sup, lalu bangkit dari tempat dudukku dan mengenakan sarung tangan oven yang telah aku buat untuk mengeluarkan hidangan dari oven. Waktunya tepat sekali. Di bawah keju yang menggelegak itu ada daging asap, wortel, brokoli, dan labu.
Kapten memakan hidangan panas itu dengan tenang, sementara aku meniup bagianku agar tidak melukai lidah. Keju meleleh dengan kerak renyah yang harum, sayurannya lembut dan manis, berpadu dengan rasa gurih saus putih serta keju. Nonna juga ikut meniup makanannya agar dingin lebih cepat.
“Jadi, apa yang ingin kau bicarakan denganku, Victoria?” tanya kapten.
“Baiklah, Sejak pesta malam itu, ada seorang pria yang selalu mengintai dan mengikutiku diam-diam. Itu membuatku resah dan takut, jadi aku berniat melapor pada penjaga kota agar ia ditangkap. Tapi aku pikir sebaiknya memberitahumu dulu.”
Kapten merenungkan hal ini sambil makan dan menyesap anggur, lalu menatap lurus ke arahku.
“Aku belum mendengar soal ini, tapi kurasa orang itu mungkin disewa oleh putra mahkota. Aku terkejut kau bisa menyadari ada yang membuntutimu.”
“Aku tahu pun hanya kebetulan. Aku melihat bayangannya di jendela toko saat lewat. Sejak itu, aku jadi lebih waspada dan menyadari ia mengikutiku beberapa kali. Tapi menurutmu ini ulah putra mahkota? Apakah dia menyelidiki setiap wanita muda yang datang, mengingat dia sangat memperhatikanmu?" Aku bertanya, meskipun aku ragu itu benar.
“Tidak, aku rasa bukan begitu. Sebenarnya… ada seseorang yang melumpuhkan pencuri di taman malam pesta itu. Mereka menduga pelakunya adalah kau. Itu mungkin alasan pangeran ingin menyelidikimu.”
“Aku? Melumpuhkan seorang pria? Kenapa mereka mengira seperti itu?”
Pada saat ini, Aku merasa Nonna tidak boleh mendengar kelanjutan pembicaraan ini, Aku melirik kapten, lalu menatap Nonna. Ia segera menangkap maksudku, dan ikut menoleh ke arah Nonna yang sedang lahap menyantap makanannya.
“Nonna, setelah makan kita sikat gigi lalu tidur, ya?” kataku.
“Baiklah.”
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi bila Nonna tiba-tiba mendemonstrasikan tendangan memutar, lutut ke perut, dan tebasan karate. Karena itu, lebih baik segera menidurkannya.
Kapten menyimak percakapan kecil itu dalam diam, wajahnya menegang sambil menyesap anggur.
Akhirnya, Nonna mulai menguap di meja makan. Aku cepat-cepat menyikat giginya, membawanya ke kamar tidur, mengganti pakaiannya dengan piyama, lalu menyelimutinya rapat. Setelah itu, aku keluar dan menutup pintu dengan tenang.
Aku baru saja mengambil gelas baru dan hendak membuka sebotol anggur lagi untuk kami, tetapi kapten meraih botol itu dariku. Dengan gerakan terampil, ia membuka sumbatnya dan menuangkan anggur ke dalam gelas kami.
“Sejujurnya, salah satu penjaga melihat seorang wanita berlari menjauh dari pria tak sadarkan diri di taman malam itu. Ia bersaksi bahwa gaunnya berwarna biru muda atau ungu muda.”
Apa? Padahal malam itu sangat gelap! Rupanya, ada orang lain yang memiliki penglihatan malam setajam diriku. Aku menegur diri sendiri dalam hati.
“Aku berada di sudut aula. Sangat merepotkan harus diikuti hanya karena sesuatu yang bukan perbuatanku. Kalau pangeran tetap bersikeras membuntutiku, maka…”
Kapten menyela ucapanku sebelum sempat kuselesaikan. “Aku akan bertanggung jawab dan meminta pangeran menghentikan pengawasan itu. Jadi, tolong jangan tiba-tiba menghilang atau semacamnya.”
“Apa maksudmu, ‘menghilang’?” ulangku, dan kapten sedikit tersentak.
“Aku tidak tahu. Hanya saja, aku merasa suatu hari kau akan lenyap begitu saja.”
“Aku tidak akan melakukan itu. Kamu terlalu banyak berpikir.”
Dia memang orang yang luar biasa tajam perasaannya.
Jujur saja, aku kaget mendengar perkataannya, karena pada saat itu juga aku sempat berpikir, Kalau keluarga kerajaan mulai menaruh perhatian padaku, mungkin lebih baik pindah ke negara lain…
Setelah itu, aku mengalihkan pembicaraan ke hal-hal sepele. Aku mengajukan beberapa pertanyaan dan lebih banyak mendengarkan. Kapten membuatku tertawa dengan kisah-kisah konyol tentang berbagai kesalahan bawahannya. Malam pun terus bergulir, hingga akhirnya ia berdiri.
“Bolehkah aku berkunjung lagi?”
“Tentu saja.”
Saat kami berdiri di pintu masuk, sang kapten merangkul ku dan memelukku dengan lembut. Pelukan itu berlangsung sedikit lebih lama dari yang diharapkan untuk pelukan perpisahan biasa. Aku hanya berdiri diam dan tidak membalas pelukannya. Setelah dia melepaskan aku, sambil tersenyum padanya aku berkata, “Selamat malam,” lalu mengantarnya pergi..
Aku kembali ke dapur, berdiri di depan wastafel, mencuci piring dengan air hangat sambil tenggelam dalam lamunan.
Sejak aku mulai bekerja sebagai agen pada usia lima belas tahun, hanya ada satu orang yang kupercaya. Dan satu-satunya alasan aku berada di sini sekarang adalah karena orang itu telah menginjak-injak kepercayaanku.
Memercayai seseorang berarti kau juga harus siap menghadapi pengkhianatan mereka yang tak terelakkan. Dengan begitu, jika mereka benar-benar berbalik melawanmu, memutuskan hubungan tidak akan terasa menyakitkan. Kau bisa saja tertawa dan berkata, “Sudah kuduga.”
Itulah yang kuucapkan pada diriku sendiri sebelum akhirnya tertidur malam itu.
Keesokan harinya, tak ada lagi yang membuntutiku.
Sepertinya kapten benar-benar sudah berbicara dengan pangeran.
Beberapa hari kemudian, aku mendapat hari libur dari pekerjaan di rumah Tuan Bernard.
Aku ingin keluar bersama Nonna untuk menenangkan pikiran. Dalam skenario terburuk sekalipun, kami bisa tinggal di mana saja. Terus-menerus takut akan sesuatu yang belum tentu terjadi hanya akan membuang-buang tenaga.
“Nonna, bagaimana kalau kita membeli pita baru untukmu? Sayang sekali kalau kau hanya punya yang biru saja.”
“Tapi aku suka yang ini.”
“Karena rambutmu pirang, kurasa pita merah tua akan sangat cocok juga. Warnanya seperti anggur. Kita bisa sekalian membeli sepasang sepatu dengan warna yang sama.”
Lady Yolana sempat membuat keributan dan menyarankan agar kami naik keretanya, tetapi aku hanya tersenyum dan menjawab bahwa aku ingin berjalan kaki sekalian berolahraga. Maka berangkatlah aku dan Nonna menuju kawasan selatan kota.
Kami masuk ke sebuah toko kecil dan melihat-lihat pita dengan berbagai warna serta motif. Nonna tetap ingin pita biru, jadi aku membelikannya satu dengan warna biru yang sedikit lebih gelap dari yang ia miliki, ditambah satu lagi berwarna merah anggur.
“Kau juga harus beli satu, Vicky.”
“Aku? Hmm, baiklah. Bagaimana kalau kita membeli pita kembar?”
Nonna mendongak padaku dengan senyum yang begitu mempesona.
Membelikan hadiah untuk orang yang kau sayangi ternyata ikut memenuhi hatimu dengan kebahagiaan, pikirku sambil menggenggam tangan Nonna. Kalau dipikir-pikir, aku selalu merasa bahagia saat membeli hadiah untuk keluargaku dulu.
Malam ini, Nonna akan menginap di rumah Susan, Maid utama di kediaman besar. Karena itu, aku sudah berencana pergi lagi ke bar itu.
Bagian 2
Zaharo adalah pemilik kedai kecil bernama The Black Thrush.
Dia seorang pria berusia empat puluh tahun dengan rambut hitam, mata gelap, dan berjanggut. Ada pesona bad boy dalam dirinya yang cukup digemari para wanita.
Belakangan ini, seorang wanita tertentu sering datang ke kedainya. Saat pertama kali muncul, ia menenggak dua gelas minuman keras lalu langsung pergi. Kunjungan kedua, ia menikmati minumannya dengan tenang. Malam ini adalah kunjungan ketiganya, dan ia memesan jenis minuman baru. Zaharo senang karena tampaknya ia mulai menyukai tempat ini..
Namun, ada seorang pemuda yang terus mengganggunya sejak tadi. Anak itu adalah pelanggan baru. Zaharo tak suka tipe pria seperti itu mengacaukan bisnisnya, apalagi mengganggu kenyamanan pelanggan wanitanya.
“Maaf, tapi kau mengganggu nona ini,” ujar Zaharo sopan; Namun si pemuda mengabaikannya dan tak mau mundur. Ia tetap bersikeras merayu wanita itu. Zaharo sudah hampir mengusirnya ketika sang wanita meletakkan uang di meja, berdiri, lalu keluar dari kedai. Pemuda itu buru-buru meletakkan uangnya dan segera mengejarnya.
Ini berbahaya, pikir Zaharo sambil cepat-cepat meninggalkan kedai. Mereka pergi ke kanan atau ke kiri? Ia menoleh ke jalanan gelap dan mendapati si pemuda berlari kembali ke arahnya dari arah kanan. Rupanya ia kehilangan jejak si wanita.
Begitu melihat Zaharo, wajah pemuda itu berubah canggung, lalu ia pun pergi.
Syukurlah… setidaknya nona itu selamat, Zaharo merasa lega. Namun ketika ia hendak kembali masuk, langkahnya terhenti. Tiba-tiba terdengar suara kucing melengking dari belakang.
“Kucing berantem?”
Padahal bukan musim kawin, tetapi suara desis dan pekikan itu terdengar jelas.
“Wah, ada yang benar-benar marah.”
Baru kemudian ia sadar suara itu datang dari atas. Saat mendongak, ia melihat pelanggan wanitanya berdiri di atas atap toko sebelah! Ia berjongkok rendah, kedua tangannya bertumpu pada lutut, seolah berusaha menyembunyikan diri. Hanya matanya yang menatap lurus ke arahnya.
![]() |
| Ilustrasi Jilid 1 Bab 5 Bagian 1 - Victoria menaiki atap |
Seekor kucing hitam berdiri berhadapan dengan wanita itu, punggungnya melengkung, bulu-bulunya berdiri, dan ekornya menebal seperti kemoceng. Ia mendesis marah, sementara wanita itu berusaha menenangkannya.
“Oh!”
Begitu mata mereka bertemu, wanita itu mengeluarkan suara kaget lalu berdiri. Sambil menahan roknya, ia melompat ringan dari atap dan mendarat tepat di depan Zaharo. Dengan jari telunjuk menempel di bibir, ia tersenyum malu, kemudian berbalik dan berlari ke dalam kegelapan malam.
Zaharo hanya bisa terpaku dengan mulut ternganga saat melihatnya pergi. Kucing hitam itu tampak puas, berjalan di sepanjang atap, lalu menghilang. Rupanya, wanita itu telah mengusik wilayah kekuasaan sang kucing.
“Ha-ha-ha!” Zaharo terkekeh kecil sebelum kembali masuk ke kedainya.
Gerakan wanita itu begitu lembut dan luwes, seolah seekor kucing yang menjelma menjadi manusia. Tatapan kikuknya saat ketahuan pun terlihat menggemaskan, seperti anak kecil yang tertangkap basah sedang berbuat nakal.
Setelah kembali ke dalam, Zaharo merenungkan kejadian itu.
Dia tidak tahu siapa pemuda itu, tetapi jika dia adalah seorang preman jalanan, Zaharo harus melakukan sesuatu. Dia tidak bisa membiarkan ini terus berlanjut.
Keesokan siangnya, Zaharo pergi ke sebuah kedai minum di gang belakang, tempat yang tak akan didatangi orang-orang terhormat. Di sana sudah ramai pria yang meneguk minuman keras meski hari masih awal. Zaharo menembus kerumunan itu dan menuju kursi paling belakang, tempat duduk bos preman setempat.
“Yoo, Zaharo. Lama tak jumpa.”
“Hector, kau punya anak muda dengan mata biru muda dan rambut cokelat ikal? Ada tahi lalat di sisi kanan lehernya.”
Pria bernama Hector itu mengisap rokoknya sambil berpikir. “Mungkin iya, mungkin tidak. Siapa yang tahu?”
“Ia mengganggu salah satu pelanggan terbaikku. Kalau terus ikut campur dengan bisnisku, kupikir aku sendiri yang akan menanganinya. Tapi aku merasa perlu memberi tahu dulu kalau-kalau dia anak buahmu.”
Hector mengangkat tangan memberi isyarat pada pemilik kedai. Segelas cairan berwarna kuning kecokelatan diletakkan di depan Zaharo.
“Pelanggan terbaikmu itu seorang wanita?”
“Pelanggan terbaik tetap pelanggan terbaik. Tidak peduli laki-laki atau perempuan.”
“Hmph, begitu rupanya. Tenang saja. Aku takkan membiarkan siapa pun merusak usaha yang sah. Kau dan aku, kita sepemahaman, bukan?”
Zaharo meraih gelas itu, berdiri, lalu menenggaknya dalam sekali teguk.
“Terima kasih. Mengurus sampah terlalu merepotkan. Itu saja dariku.”
“Kau sebaiknya mampir lebih sering.”
“Aku sudah keluar dari kelompokmu. Hutangku sudah lunas.”
Zaharo meninggalkan uang untuk minumannya dan keluar dari kedai. Semua mata mengawasinya sampai ia mencapai pintu, tapi ia pura-pura tak peduli. Ia tetap waspada, berjaga-jaga kalau ada yang berniat menyerangnya, namun ternyata kekhawatirannya tidak terbukti.
“Mungkin dia tidak akan kembali.” Dan bukan karena pria menjengkelkan itu, melainkan karena Zaharo pernah melihatnya di atap. Bahkan mereka belum sempat bercakap-cakap, jadi memikirkan kemungkinan wanita itu tak pernah datang lagi membuatnya sedikit murung.
Namun, beberapa saat kemudian, dia melihat wanita itu di kawasan perbelanjaan. Wanita itu membawa tas penuh sayuran yang disampirkan di bahunya dan bergandengan tangan dengan seorang gadis kecil saat mereka berjalan bersama.
“Nona?” serunya refleks. Wanita itu menoleh dan tampak mengenalinya seketika.
“Oh! Anda pemilik kedai. Halo. Sedang berbelanja juga?”
“Ya, benar. Anda juga, bukan, huh?”
“Tepat sekali.”
“Saya berharap Anda mau datang lagi suatu saat nanti,” ucap Zaharo.
Wanita itu terlihat ragu harus menjawab apa, jadi Zaharo menunjuk ke depan. “Kalau ada waktu, bagaimana kalau kita mampir makan yang manis-manis? Biar saya yang traktir.”
“Apa pendapatmu, Nonna?” tanya sang wanita pada gadis kecil di sisinya.
“Tentu.”
“Kalau begitu, baiklah,” ujar wanita itu sambil tersenyum. “Itu ide yang bagus.”
“Oh ya, perkenalkan—nama saya Zaharo,” katanya ketika mereka berjalan bersama.
Wanita itu berjalan sedikit di belakangnya, di sisi kiri. “Anda bisa memanggil saya Vicky,” ujarnya ramah.
Mereka bertiga lalu pergi ke sebuah toko kue kecil yang tenang, dengan beberapa meja di dalamnya. Tempat itu salah satu favorit Zaharo, karena ia memang penggemar makanan manis.
“Semua yang ada di sini enak,” dia berkata sambil menyerahkan menu pada Vicky.
Vicky memesan teh dan kue kering, gadis kecil itu memilih pai apel dan jus buah, sedangkan Zaharo memesan kue kastanye berlapis sirup beserta teh.
“Kue kering ini renyah sekali, enak,” ujar Vicky.
“Vicky, pai apelnya juga enak banget!”
“Benar, bukan? Mau coba sedikit punyaku?” tanya Zaharo pada gadis kecil itu.
“Tentu! Mm, lezat!”
Vicky tersenyum melihat gadis kecil itu mencicipi kue Zaharo. Keduanya tidak tampak mirip seperti ibu dan anak, dan usia mereka juga terlalu jauh untuk disebut kakak-beradik. Meski begitu, Zaharo berusaha untuk tidak terlalu mencampuri urusan pribadi orang lain.
Mereka bertiga larut menikmati hidangan manis masing-masing untuk beberapa waktu. Lalu Zaharo berkata, “Saya rasa pria itu tidak akan muncul lagi.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Untuk berjaga-jaga, saya sempat memeriksa pada orang yang mengawasi wilayah ini. Ternyata, pria itu hanyalah salah satu anak buah sang bos. Saya sudah bilang padanya, sebaiknya dia tidak ikut campur bisnis saya, atau akan ada akibatnya.”
“Tapi bukankah itu bisa mengundang balasan?”
“Tidak, bosnya itu kenalan lama saya.”
“Saya benar-benar minta maaf sudah merepotkan.”
“Tidak merepotkan sama sekali. Apa Anda akan datang lagi?”
“Ya, meskipun saya tidak bisa tinggal terlalu lama.”
“Itu sudah lebih dari cukup.”
Vicky menghabiskan tehnya lalu menatap Zaharo tepat di mata. “Apa Anda tidak ingin menanyakan sesuatu pada saya?”
“Memangnya kamu ingin aku bertanya?” Zaharo menanggalkan nada formal dan dinginnya, lalu berbicara lebih jujur.
“Tidak.”
“Kalau begitu, saya tidak akan bertanya. Saya ini pemilik kedai, dan Anda adalah pelanggan berharga saya. Itu saja sudah cukup. Tapi yang lebih penting…” Sudut bibir Zaharo mulai bergetar, lalu ia tak kuasa menahan tawa. Vicky pun tampaknya teringat kejadian itu, karena wajahnya langsung memerah padam. “Saya belum pernah melihat kucing semarah itu pada seseorang. Itu mendesis karena Anda menghalangi wilayahnya! Ha-ha-ha!”
“Y-yah, saya juga sama sekali tidak menduganya! Pfft …”
Vicky ikut terkekeh. Karena mereka berada di dalam kafe, keduanya menahan perut sambil berusaha mengekang tawa, namun tak berhasil. Air mata sampai mengalir di pipi mereka. Gadis kecil itu bertanya, “Ada apa sih?”—dan itu justru membuat keduanya kembali tergelak keras. Setelah beberapa tarikan napas panjang, barulah mereka bisa mereda, meski dengan susah payah.
“Saya bahkan tidak ingat kapan terakhir kali tertawa sebegitu keras,” kata Vicky sambil mengusap otot perutnya. Sepertinya ia sampai merasa sakit karena terlalu banyak tertawa.
Setelah itu, mereka pun berpisah. Sejak hari itu, Vicky menjadi pelanggan tetap di kedai Zaharo. Ia datang kira-kira sekali seminggu, hanya untuk menenggak dua atau tiga gelas minuman sebelum pergi.
Pemuda itu tak pernah muncul lagi. Zaharo menduga Hector pasti sudah memberinya peringatan keras.
Bagian 3
Aku selesai menerjemahkan dokumen-dokumen yang diminta Tuan Bernard dan menyerahkannya, lalu masuk ke dapur untuk membuat beberapa sandwich sebagai makan siang.
Nonna duduk di meja, mengelap gelas hingga berkilau. Ia tampak menikmati pekerjaan berulang semacam itu. Ia menoleh padaku dan bertanya, “Vicky, apa kau berteman dengan pria berjanggut yang kita lihat tempo hari?”
“Hmm, tidak juga. Aku baru saja bertemu dengannya. Kau juga ingin teman, ya?”
“Tidak, aku tidak membutuhkannya. Aku lebih suka berlatih bersamamu.”
“Ya ampun!” Aku mendekat dan merendahkan suaraku. “Bagaimana kalau kita segera berlatih melompat dari tempat tinggi?”
“Ya!” Nonna langsung bersemangat.
“Kau cantik, jadi kau juga harus kuat.”
“Aku cantik?”
“Tentu, kau sangat cantik. Dan itu berbahaya sekali bila gadis cantik lemah.”
“Hmm…”
Dulu aku pernah menyamar dalam sebuah organisasi perdagangan manusia. Setiap gadis kecil yang diculik dan dikurung di bawah tanah sampai akhirnya dijual—semuanya berwajah cantik. Para pedagang manusia tidak pernah menargetkan anak bangsawan karena mereka selalu dijaga ketat. Mereka mengincar gadis-gadis cantik dari kalangan biasa.
Sudah gelap saat kami pulang hari itu. Nonna dan aku berlatih memanjat tembok batu milik sebuah rumah kosong dekat rumah kami. Tingginya sejajar dengan bahuku. Karena terbuat dari batu dan permukaannya kasar serta tidak rata, tempat itu cocok untuk latihan.
“Lompat tinggi dan letakkan tangan di puncak tembok, lalu dorong ke atas dengan lengan dan ujung jari kaki, seperti ini!”
Aku menunjukkan, melompat dan berdiri di atas tembok. Mata Nonna membelalak. Aku melompat turun dan membuatnya mencoba. Aku memegangi pinggangnya untuk membantu saat ia belajar.
“Tidak, Jangan pakai lengan. Pakai otot perutmu.”
“Nngh! Uff!”
Ia sudah sangat dekat, tetapi belum berhasil mencapai puncak tembok dalam satu loncatan. Tidak mengherankan, karena pemula tidak selalu langsung sukses.
“Kalau kita latihan tiap hari, dalam sekejap kau bisa. Nanti kau bisa memanjat tembok yang lebih tinggi dari ini! Setelah menguasai teknik ini, melarikan diri akan jadi lebih mudah.”
“Kau hebat sekali, Vicky.”
“Terima kasih. Bukankah lebih menyenangkan bisa banyak hal daripada tidak bisa apa-apa?”
“Iya!”
Setelah kami beberapa kali berlatih, aku menoleh ke Nonna dan berbisik, “Nonna, pulang duluan ya? Ada orang mencurigakan di sana, jadi aku harus pergi mengusirnya.”
“Orang jahat?”
“Aku belum tahu. Lari secepat mungkin dan kunci pintunya. Bisa, kan?”
Nonna mengangguk, kukelus punggungnya, lalu ia berlari pulang. Ia tidak menoleh sedikit pun, persis seperti yang sudah kuajarkan. Lady Yolana mempekerjakan dua pria tangguh untuk menjaga kediamannya, jadi Nonna akan aman setelah sampai di sana.
Aku berpaling dan memanggil ke arah pohon dekat situ. “Mau apa kau?”
Seorang pemuda berambut hitam muncul dari semak. Ia mengikatkan syal menutup bagian bawah wajahnya. “Oh, kau tahu aku ada di sini?”
Dia bukan profesional. Orang yang terbiasa membunuh memancarkan aura berbeda.
Aku mengambil sebatang dahan yang jatuh ke tanah dan memanjat ke puncak tembok. Mataku tetap pada pria itu saat kukerakkan dahan itu di lutut untuk menguji kekuatannya. Lumayan. Dahannya tidak terlalu kuat, tapi cukup untuk satu pukulan cepat.
“Siapa kau?”
“Menurutmu siapa?” Aku bertanya.
“Aku ingin bicara. Turun ke sini.”
“Tidak. Pergi saja. Kalau tidak, aku akan menyerangmu.”
“Ooh, aku gemetar ketakutan! Seperti kukatakan, aku cuma mau bicara.” Ia mengangkat kedua tangannya, pura-pura menyerah, tapi tetap tidak pergi.
“Pergi dari sini.”
Pria itu melangkah mendekat dan melompat naik ke puncak tembok.
Aku tak berkewajiban menunggu sampai dia bertindak. Begitu kakinya menapaki tembok, aku menyiapkan dahan dan melangkah maju. Dia cepat mundur dan memberi jarak. Hmm, ternyata dia punya sedikit kemampuan.
“Aku sebenarnya cuma ingin bicara, tapi mengingat kita sudah di sini, tunjukkan saja apa yang kau punya. Ak—”
Sebelum ucapannya selesai, aku mengayunkan dahan ke bawah dengan sudut tertentu, lalu dengan cepat menyapu ke atas, mengarah ke wajahnya. Dia menghindar namun kehilangan keseimbangan. Bertarung di permukaan miring memang butuh latihan.
“Ap—? Oof!”
Saat ia oleng, aku menghantamkan dahan ke sisi kanannya dengan keras. Dahan itu patah; Semoga saja, aku berhasil mematahkan satu atau dua tulang rusuk. Pria itu mendarat dengan cekatan, kembali ke tanah, tetapi wajahnya meringis kesakitan.
Aku mendarat di sampingnya dan berpura-pura meninju wajahnya, lalu menendang keras di sisi kanannya dengan kaki kiriku, tepat di tempat aku memukulnya dengan dahan. Dilanjutkan dengan menendang perutnya menggunakan kaki kanan. Dia terhuyung mundur, mengerang kesakitan. Jika aku benar-benar meninju wajahnya, dia mungkin akan mencengkeram lenganku. Pukulanku cepat, tetapi kekurangannya adalah pukulannya juga ringan.
“Karena kau datang padaku dengan pisau, kau tidak bisa protes kalau aku juga menggunakannya, kan?” kataku.
Aku menyadari dia membawa pisau di sakunya ketika dia menghadapku di dinding. Aku mengambil pisau lipatku sendiri dari tempat tersembunyi di pinggulku, memegangnya menyamping, dan membuka bilahnya.
“Tunggu! Kuharap kau percaya, aku tak mau ribut. Maafkan aku. Aku tak tahu kau sekuat ini! Pisau itu untuk perlindungan. Aku tak berniat memakainya!”
“Pergilah. Akan kutunjukkan padamu apa yang terjadi jika kau menyerangku dengan pisau.”
“Aku minta maaf! Benar-benar minta maaf!”
“Kalau begitu, enyahlah dari hadapanku. Lain kali, aku akan mematahkan tangan dan kakimu.” Aku mengambil sikap menyerang, masih menggenggam pisau. Setelah mendengar ancamanku, dia melarikan diri.
![]() |
| Ilustrasi Jilid 1 Bab 5 Bagian 2 - Victoria Bertarung |
Siapa pria itu??
Dia bukan amatir total, tapi jelas tak berpengalaman di medan tempur nyata.
Kabar buruknya dia tahu di mana aku tinggal. Mulai sekarang, aku harus selalu mengawasi Nonna. Aku perlu memeriksa barang-barangku sekali lagi kalau-kalau kami harus meninggalkan negara ini dengan tergesa-gesa.
Malam itu aku tidur di lantai, bersandar tegak pada ranjang, siap siaga bila terjadi serangan. Insiden mendadak itu mengguncang rutinitasku dan mengirimkan gelombang kejut ke hatiku, menunjukkan bahwa aku jelas telah lengah.
Keesokan harinya, aku meminta kapten datang ke kediaman Tuan Bernard. Saat istirahat makan siang, aku meminta Tuan Bernard menghibur Nonna dengan cerita masa kecilnya.
“Apa yang ingin kau bicarakan padaku, Victoria?”
“Kemarin ada pria aneh di dekat rumahku. Aku sudah beberapa kali menyuruhnya pergi, tapi dia mengabaikanku dan mencoba mendekat. Dia menyembunyikan sebilah pisau cukup besar, tapi aku berhasil menakutinya dengan dahan pohon. Aku sedikit berlatih menggunakan pedang. Aku masih terus diikuti, jadi kupikir akan meninggalkan ibu kota. Karena kau penjaminku, kupikir sebaiknya kuberitahu lebih dulu.”
Matanya berkeliling gelisah.
“Kemarin, kau bilang? Syukurlah kau tidak terluka, Victoria. Seperti apa rupa pria itu?”
“Rambut hitam, mata biru, tampan. Usianya sekitar dua puluhan, tinggi kira-kira seratus delapan puluh sentimeter, bertubuh ramping. Setengah wajahnya ditutupi syal.”
“Kalau begitu pasti dia memakai wig…”
“Apa? Kau mengenal orangnya?”
“Pangeran kedua kemarin keluar dengan penyamaran, tanpa satu pun pengawal. Itu sendiri sudah masalah besar, tapi dia kembali dengan dua tulang rusuk patah. Kesatria Ordo Pertama sangat murka karena ada yang menyerangnya.”
Apa-apaan ini?
“Pangeran terus mengatakan kalau dia jatuh.”
“Jadi begitu…”
Pria itu seorang pangeran?
Kalau yang menyerangnya bukan aku, bisa saja dia sudah mati dan dikubur tanpa ada yang tahu. Aku yakin dia sama sekali tidak sadar betapa besar bahaya yang dia hadapi.
“Aku melatih Pangeran Cedric dalam ilmu pedang, dan dia cukup kuat.”
Kapten menatapku. Aku menatap balik. Dia yang lebih dulu mengalihkan pandangan.
“Apa kau akan menangkapku, Kapten?”
Tergantung jawabannya, aku akan segera membawa Nonna dan bersembunyi. Tapi itu harus ditunda, karena kapten sedang duduk tepat di depanku. Dia seorang pria terampil dan berotot, dan yang lebih penting, dia penjaminku—apa yang harus kulakukan dengannya?
“Aku tidak berniat menangkapmu. Aku akan memberitahu pangeran agar tidak lagi mendekatimu dengan cara kasar. Tapi aku yakin kau masih akan merasa cemas. Mau tinggal di kediaman keluargaku untuk sementara? Di sana selalu ada banyak orang kapan pun waktunya, dan saudaraku jauh lebih berpengaruh untuk memprotes keras kepada keluarga kerajaan daripada aku.”
“Biar kupikirkan dulu.”
Kapten itu mengangguk tanpa suara, lalu pergi.
Terlepas dari jawabanku, aku sama sekali tidak berniat tinggal di rumah keluarganya. Aku tidak ingin menyeret keluarganya ke dalam urusanku sendiri.
Dalam situasi darurat seperti ini, Tuan Bernard dan Nyonya Yolana langsung terlintas di pikiranku. Bayangan harus meninggalkan negeri ini dan memutus hubungan dengan mereka membuat hatiku begitu sakit hingga aku hampir menangis. Aku juga pasti akan merasa sedih jika tidak bisa bertemu dengan kapten lagi.
Saat itu aku menyadari, entah sejak kapan, aku telah terikat secara emosional dengan orang-orang ini.
Dalam perjalanan pulang bersama Nonna, aku singgah di kantor pos distrik selatan. Balasan dari surat yang kukirim sehari setelah pesta dansa ke luar negeri sudah tiba untukku.
Surat itu berasal dari seseorang yang dulu kupakai secara pribadi saat masih menjadi agen; organisasi tidak pernah tahu tentang dirinya.
Sekilas, surat itu terlihat biasa saja, hanya membicarakan cuaca akhir-akhir ini, pertumbuhan anaknya, dan hal-hal sepele lainnya. Namun setelah kugunakan sandi yang kuselipkan dalam surat permintaan sebelumnya, isi sebenarnya pun terungkap.
“Perempuan…masih…berstatus…abu…luar…negeri…”
“Victoria yang asli masih hilang dan secara resmi tercatat telah pergi ke luar negeri menuju Ashbury.”
Kalau begitu, aku belum perlu kabur, kan? Hmm, Hmm, sebaiknya kutitipkan penyelidikan lain juga. Demi kewaspadaan penuh, aku memutuskan meminta bantuan penulis surat itu untuk hal lain. Aku pulang dan menulis lagi sebuah surat yang tampak biasa saja.
Pesanku selesai kutulis, lalu kumasukkan ke dalam sebuah kotak kecil bersama boneka yang sudah kuselipi bayaran.
Bagian 4
Pangeran Cedric mengerang pelan saat dokter memeriksanya.
“Kalau banyak beristirahat, tulangmu akan sembuh sendiri. Dan saat kubilang istirahat, aku sungguh-sungguh.” Dokter tua itu membungkuk, lalu pamit.
Bernapas saja sakit, berbicara sakit, bergerak pun sakit. Inilah pertama kalinya ia mengalami patah tulang, dan sekarang ia mengerti kenapa semua orang bilang itu menyakitkan.
Sehari sebelumnya ia menyelinap kembali ke rumah sakit, tapi sayangnya bertemu dengan kakaknya. Hanya butuh beberapa menit percakapan sampai putra mahkota menyadari ia terluka. Cedric tahu seharusnya ia berkata jujur, jadi saat menjelaskan bagaimana ia terluka, kakaknya murka.
“Aku sudah berjanji pada Jeff!” kata Conrad. “Aku bilang padanya aku akan membiarkan dia mengurus wanita itu dan aku tidak akan ikut campur! Karena itu aku perintahkan orang kita berhenti mengawasinya. Tapi karena perbuatanmu, Jeff akan mengira aku melanggar janjiku padanya!!”
Conrad benar, jadi yang bisa Cedric lakukan hanyalah menunduk. “Maafkan aku.”
“Katakan pada semua orang kalau kau terluka karena terjatuh. Dan saat waktunya tepat, aku ingin kau meminta maaf pada wanita itu.”
“Baiklah. Aku minta maaf.”
Saat akhirnya sendirian, Cedric membuka laci dan mengeluarkan liontin emas tipis. Ia membukanya, menatap gambar mantan tunangannya, Beatrice, yang tersenyum samar.
“Kau begitu kuat, Yang Mulia.”
Beatrice selalu memuji kekuatannya. Cedric terpesona oleh kecantikannya dan melamarnya, tetapi tak lama kemudian ia jatuh sakit.
Menurut dokter, penyebabnya adalah stres. Mungkin pertunangan dengan pangeran kedua dan masa depan sebagai seorang adipati terlalu berat baginya.
“Beri tahu aku kalau ada yang mengganggumu. Aku akan melindungimu.”
"Tidak, aku akan menepisnya dengan senyum,” jawab Beatrice waktu itu. Tapi Cedric merasa mungkin Beatrice hanya menyimpan semua kekhawatirannya dalam hati.
Saat itu ia berusia lima belas tahun, sementara Beatrice baru empat belas. Ia menderita demam tinggi yang tak kunjung reda, jadi Cedric datang menjenguk. Tunangannya terengah-engah kesulitan bernapas. Ia menggenggam tangan Beatrice yang panas dan menatap wajahnya cukup lama.
Hidupnya terpotong pendek hanya karena aku menginginkannya sebagai istriku.
Malam itu, dengan suara bergetar, ia menyalahkan dirinya sendiri dan memohon pada ayahnya untuk memutuskan pertunangan.
“Tolong carikan cara untuk membatalkan pernikahan kami agar tidak berdampak buruk padanya.”
Wajah ayahnya tampak penuh rasa sakit. “Baiklah,” hanya itu yang ia ucapkan, tapi ia tetap menuruti keinginan Cedric.
Setelah pertunangan dibatalkan, Beatrice kabarnya hancur hati dan menghabiskan hari-harinya dengan menangis, namun perlahan kesehatannya pulih kembali.
Ini yang terbaik, pikir Cedric, tapi hatinya tetap terasa kosong.
Dia mencurahkan diri pada latihan pedang, namun Ashbury tidak menunjukkan tanda-tanda perang di cakrawala. Tentu saja itu hal baik, tetapi apa jalannya dalam hidup? Suatu hari ia akan menjadi warga kerajaan dengan gelar duke, tapi setelah itu apa?
Dia berjuang mencari tempatnya di dunia, hingga akhirnya insiden di pesta dansa terjadi. Ia mendengar kabar tentang seorang wanita yang menjatuhkan pelaku dengan kemampuan luar biasa. Rasa ingin tahunya membuncah, dan ia pun langsung bertindak. Hasilnya: tulang rusuknya patah.
Gerakannya efisien dan mengejutkan cepat. Saat wanita itu menghunus pisau, Cedric benar-benar mengira dirinya akan dibunuh. Itulah pertama kalinya sepanjang hidup ia merasakan ketakutan akan kematian.
Kini setelah mengingatnya, ia sadar wanita itu hanya berjuang mati-matian untuk melindungi gadis kecil yang bersamanya. Ia sudah memperingatkannya berkali-kali agar pergi, dan ketika ia tak patuh, sikapnya berubah setajam induk kucing yang melindungi anaknya. Cedric tak sebanding dengan intensitasnya, apalagi kemampuannya.
Aku ingin tahu apakah dia mau melatihku…, pikirnya, lalu tiba-tiba tertawa. Rasa sakit menyambar rusuknya, membuat Cedric meringis.


