![]() |
| Gambar 7. Selingan 2 |
Tefuda ga Oome no Victoria Volume 1 - Penyesalan Jeffrey
Translated by : Koyomin
“Kakak, apakah kau yakin kita harus membiarkan wanita itu bebas begitu saja?” tanya Cedric kepada Conrad.
“Menurut penuturan Jeffrey, kemungkinan besar ia tidak bersalah. Namun, alasan mengapa ia membuat pria itu tak sadarkan diri masih belum jelas. Mari kita awasi ia, demi Jeffrey. Bagaimanapun, sebagian dari penderitaan yang ia alami selama sepuluh tahun terakhir adalah kesalahanku. Jika ada yang harus menjadi pihak jahat dalam situasi ini, biarlah aku. Aku tak ingin kau yang menanggung kekhawatiran itu.”
Meskipun kedua pangeran itu tampak sangat mirip dengan rambut emas dan mata biru, kepribadian mereka justru sangat berbeda.
Putra mahkota, Conrad, berusia dua puluh lima tahun. Ia sosok yang bijak dan lembut. Sedangkan pangeran kedua, Cedric, berusia dua puluh tahun. Ia ceria dan penuh semangat.
Peristiwa yang Conrad sebut sebagian kesalahannya adalah penyebab perang yang meletus sepuluh tahun silam.
Sebuah suku dari barat menyatakan akan merebut kembali tanah suci yang menurut mereka adalah hak leluhur, lalu melancarkan serangan ke perbatasan barat kerajaan Ashbury. Wilayah itu merupakan hutan luas dan lebat. Dahulu, batas antara negara tetangga dan Ashbury yang terbentang melewati hutan itu memang masih samar.
Namun kemudian, setelah melalui perundingan, batas wilayah ditetapkan dengan jelas, dan para pemukim Ashbury mulai mengolah tanah di sisi perbatasan tersebut.
Mereka menjadikannya subur dan makmur. Saat itulah bangsa barat tiba-tiba berbalik menuntut, “Hutan itu adalah tanah suci kami sejak zaman dahulu!”
Ashbury, tentu saja, tidak mundur. Maka perang pun pecah.
Itu adalah pertempuran pertama bagi putra mahkota. Saat itu, Jeffrey masih menjadi anggota Ordo Kesatria Pertama, dan ia juga turut ambil bagian.
Pada awalnya, seolah-olah Ashbury akan meraih kemenangan dengan mudah karena mampu menekan musuh. Namun, ketika menyangkut strategi, pendapat pun terbagi.
Ada dua usulan. Yang pertama, melancarkan serangan mendadak pada malam hari sebelum musuh sempat menyusun kembali pasukan mereka. Sementara pihak lainnya menilai hal itu terlalu berbahaya, sebab bila musuh lebih mengenal medan, serangan malam justru bisa berbalik merugikan, Mereka berpendapat lebih baik menunggu hingga fajar menyingsing untuk melancarkan serangan penuh.
Kedua usulan itu sama-sama memiliki kelebihan dan kelemahan, sehingga sulit mencapai kata sepakat. Akhirnya, komandan batalion menyerahkan keputusan kepada putra mahkota, meski itu baru pertempuran pertamanya.
Setelah berpikir matang, Conrad memutuskan lebih baik menyerang pada malam hari, sebelum bala bantuan musuh tiba. Namun, seorang pemimpin skuadron bernama Kaiser menentang keputusan itu.
“Yang Mulia, bila musuh menduga kita akan menyerang malam hari, bukan hanya korban dari pihak kita yang akan berjatuhan, tetapi juga ada risiko besar salah sasaran karena sulit membedakan kawan dan lawan dalam kekacauan awal serangan. Mohon pertimbangkan kembali keputusan Anda.”
Meski ada keberatan dari Kaiser, Conrad tetap memilih serangan malam setelah mempertimbangkan dengan hati-hati.
Sayangnya, musuh memang sudah memperkirakan serangan itu. Dari puncak bukit, hujan panah mengguyur pasukan Ashbury laksana badai. Banyak korban pun berjatuhan.
Conrad berhasil selamat dari pertempuran itu, namun Kaiser melindunginya dengan tubuhnya sendiri dan terkena beberapa anak panah di punggung.
Kendati diterpa serangan dahsyat para pemanah, Ashbury akhirnya berhasil menang lewat serangan balasan yang sengit, sehingga permukiman pun terselamatkan.
Satu-satunya keluarga yang ditinggalkan Kaiser adalah saudari kembarnya, Katherine. Beberapa waktu sebelum kematian Kaiser, kedua orang tua mereka telah wafat karena sakit dalam waktu berdekatan. Dengan demikian, dalam kurun setahun saja, Katherine kehilangan seluruh keluarganya.
Meski begitu, saat menerima kabar duka tentang kematian saudara kembarnya, Katherine tidak kehilangan ketenangan. Ia tetap tegar.
Banyak orang merasa kagum, mengatakan bahwa sikap itu pantas dimiliki oleh putri keluarga kesatria yang sudah turun-temurun.
Namun, di tengah-tengah kesibukan merawat orang tuanya yang sakit dan stres karena kehilangan mereka satu demi satu, tragedi kehilangan saudara kembarnya diam-diam menggerogoti hati Katherine yang kala itu berusia delapan belas tahun.
Saat itu, ia telah bertunangan dengan Jeffrey Asher, Kesatria Ordo Pertama berusia dua puluh dua tahun.
Jeffrey paham betul bahwa ikatan saudara kembar bahkan bisa lebih kuat daripada antara orang tua dan anak. Karena itu, sejak pulang dari medan perang, ia sangat mengkhawatirkan tunangannya. Jeffrey sendiri bertarung di dekat putra mahkota dan menyaksikan langsung detik-detik terakhir Kaiser.
Ia masih teringat bagaimana tubuh Kaiser ditembus panah, darah muncrat dari mulutnya. Saat sadar tak mungkin diselamatkan, ia menjadikan tubuhnya perisai untuk melindungi sang pangeran.
Jeffrey berpikir sebaiknya menunggu beberapa waktu sebelum memberi tahu Katherine tentang akhir tragis saudara kembarnya. Ia ingin Katherine punya sedikit kesempatan untuk pulih dari kehilangan orang tuanya.
Namun, ketika beberapa tamu datang menjenguk, merekalah yang justru menyampaikan kabar itu kepadanya dengan ucapan belasungkawa. Lebih buruk lagi, mereka memberikan kisah yang tidak sepenuhnya benar.
“Pangeran terlalu terburu-buru ingin menang, jadi memaksa melakukan serangan malam yang gegabah.”
“Sejak awal, Pemimpin Skuadron Kaiser sudah menentang strategi pangeran.”
“Dia merelakan tubuhnya jadi tameng untuk melindungi pangeran, dan gugur di medan perang.”
Campuran antara kebenaran dan kabar simpang siur itu diterima Katherine bulat-bulat sebagai kenyataan, tanpa sepengetahuan Jeffrey.
Sekitar sepuluh hari setelah pemakaman, Pangeran Mahkota Conrad memanggil Katherine dan Jeffrey ke istana. Ia ingin menemui adik perempuan Kaiser dan secara pribadi menyampaikan permintaan maaf.
Sang pangeran meminta semua orang meninggalkan ruangan. Ia bangkit dari kursinya, lalu menundukkan kepala dalam-dalam. “Maafkan aku.”
Jeffrey hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Kematian Kaiser bukanlah kesalahan Conrad. Saat putra mahkota sendiri merendahkan diri hingga berlutut di hadapan Katherine, apa lagi yang bisa ia lakukan selain memaafkannya?
Sebenarnya Conrad tidak perlu meminta maaf. Aku berharap kita bisa menunggu untuk membicarakan hal ini sampai Katherine memiliki lebih banyak waktu untuk pulih, pikir Jeffrey. Namun saat itu, sang pangeran baru berusia lima belas tahun, jadi tidak mengherankan jika dia tidak mempertimbangkan faktor-faktor tersebut. Mungkin sang raja bahkan tidak menyadari pertemuan ini sejak awal.
Katherine segera berdiri dan berkata, “Yang Mulia, mohon angkat wajah Anda!” seraya mendekatinya. Dengan senyum tenang, ia mengulurkan tangan. Jeffrey berusaha menghentikannya, karena menyentuh pangeran tanpa izin dianggap lancang. Namun, saat itu ia menyadari sesuatu tersembunyi di tangan tunangannya.
Ia spontan menerjang Katherine, menjatuhkannya, dan memaksa membuka genggamannya. Di sana, sebuah belati kecil nan tajam berkilat. Sungguh sebuah keajaiban benda itu bisa lolos hingga ke ruangan audiensi tanpa terdeteksi.
Tubuh Jeffrey menghantam meja, membuat cangkir dan piring jatuh berdebam ke lantai. Mendengar keributan itu, para pengawal bergegas masuk. Dengan sigap Jeffrey menyembunyikan belati tersebut dan berkata, “Ia sedang tidak sehat,” lalu membawa Katherine ke ruang perawatan tanpa penjelasan lebih lanjut.
Jeffrey menggendong Katherine menuju ruang perawatan dan menurunkannya di sofa. Gadis itu tidak menangis, tidak juga tampak marah, Ia hanya duduk diam, mata beningnya seperti manik-manik yang menatap kosong ke arahnya, tetapi sejatinya tidak melihatnya. Saat itulah Jeffrey menyadari bahwa Katherine belum benar-benar menerima kematian saudara kembarnya, dan tentu saja, ia sama sekali belum memaafkan sang pangeran.
Sejak Kaiser gugur, Katherine selalu menampilkan senyum ceria, berulang kali mengatakan bahwa kakaknya telah memilih mati di medan perang demi melindungi putra mahkota. Jeffrey kini dipenuhi penyesalan karena pernah mempercayai kata-kata itu.
Satu-satunya orang yang tahu bahwa Katherine pernah mengacungkan pisau pada anggota keluarga kerajaan hanyalah Jeffrey dan sang pangeran, meski empat pengawal yang sempat bergegas masuk ke ruangan mungkin saja menaruh curiga. Jika kebenaran itu terbongkar, Katherine pasti menghadapi hukuman mati.
Untungnya, sang pangeran memilih untuk merahasiakan insiden tersebut. Jeffrey pun membawa tunangannya pulang ke rumah. Ia memerintahkan para pelayan, “Awasi dia dengan ketat dan jangan biarkan keluar dari kediaman. Panggilkan dokter.” Setelah itu, ia mengambil cuti beberapa hari untuk tinggal bersama Katherine di manor keluarganya.
“Kematian Kaiser bukanlah kesalahan sang pangeran.”
Berkali-kali dia mencoba menjelaskan kebenaran, tetapi Katherine hanya menatapnya dengan mata kosong, tanpa cahaya kehidupan.
Sehari setelah Jeffrey kembali bekerja, Katherine mengakhiri hidupnya sendiri. Hingga kini, dia masih dapat mengingat jelas rasa putus asa yang mencekiknya saat mendengar kabar bunuh diri itu. Katherine meninggalkan sebuah catatan pendek yang hanya berbunyi, Aku akan pergi menyusul keluargaku.
Setelah kematian tunangannya, Jeffrey mendatangi kapten kesatria dan mengajukan pengunduran diri dengan alasan pribadi, berniat menanggung tanggung jawab karena gagal mencegah tindakan nekat Katherine.
Namun, raja menganggap keputusan itu tidak bijak, dan putra mahkota juga menolak kepergiannya; akibatnya, Permohonannya pun ditolak. Sebagai gantinya, ia dipindahtugaskan ke Pasukan Kesatria Kedua, satuan yang bertugas menjaga keamanan kota—jabatan yang hingga hari ini masih dia emban.
Sepuluh tahun berlalu, penyesalan Jeffrey atas ketidakmampuannya menyadari penderitaan Katherine, serta kegagalannya menjadi sandaran baginya, tetap menjadi noda di hatinya yang tak kunjung pudar.
Namun suatu hari, Victoria, seorang wanita yang tidak bergantung pada siapa pun kecuali dirinya sendiri, muncul dalam hidupnya dengan Nonna di punggungnya.
