![]() |
| Gambar 9. Bab 6 |
Tefuda ga Oome no Victoria Volume 1 - Hari-hari yang Damai
Translated by : Koyomin
Bagian 1
Aku belum menerima kabar apa pun dari keluarga kerajaan, meski aku yakin sulit bagi mereka untuk mengakui bahwa pangeran kedua dipermalukan oleh seorang perempuan jelata. Memang sih pangeran itu yang memulai semuanya, tapi aku tetap lega mendengar ia berkeliling memberitahu orang bahwa dirinya terjatuh. Bagiku saat ini, yang paling penting adalah ketenangan.
Di tengah semua itu, pekerjaanku sebagai asisten Tuan Bernard mendadak terhenti. Suatu hari, dia mencoba mengambil buku dari rak paling atas di perpustakaan dan terjatuh dari tangga, hingga lengan kanannya patah. Untungnya, Lady Eva ada di tempat saat itu, sehingga ia bisa segera meminta pertolongan.
“Maaf sekali, Victoria, tapi Paman akan tinggal di rumahku sampai pulih sepenuhnya. Untuk sementara, bagaimana kalau kau mengajar putraku? Aku akan membayarmu dengan gaji yang sama seperti yang diberikan Paman.”
Kenapa aku harus mengajar anak bangsawan? pikirku. Tapi kemudian Lady Eva menjelaskan:
“Putraku, Clark, berusia dua belas tahun, dan dia perlu dibantu dalam pelajaran bahasa asing. Memang sudah ada guru untuknya, tapi aku tidak melihat hasil apa pun. Karena kau menguasai empat bahasa, aku ingin sekali meminta bantuanmu. Bagaimana? Suamiku juga sudah bilang sebaiknya Clark diganti pengajarnya. Hanya sampai Paman pulih.”
“Tapi saya orang biasa, bukan guru. Lagipula saya harus menjaga Nonna.”
“Suamiku bilang kalau kau cukup terampil untuk menjadi asisten sejarawan, maka kau juga lebih dari mampu untuk mengajar Clark. Lagi pula, kau bisa membawa Nonna bersamamu. Bahasa Ashburian-mu sempurna, jadi tidak perlu khawatir.”
“Boleh saya minta waktu untuk memikirkannya?”
“Tentu saja. Semoga kabar baik yang kudengar nanti!”
Aku memutuskan untuk bertanya pada Nonna lebih dulu, dan ia langsung menjawab.
“Tidak masalah bagiku, asal aku bisa bersamamu, Vicky.”
“Tapi aku khawatir padamu. Kau akan bersama seorang anak bangsawan.”
“Tidak apa-apa.”
“Kau yakin? Janji akan bilang padaku kalau kau merasa tidak nyaman atau takut, ya?”
“Tentu saja.”
Karena Nonna baik-baik saja dengan itu, aku pun pergi ke kediaman Lady Eva untuk menerima tawarannya.
Aku menyempatkan diri menyapa Tuan Bernard terlebih dahulu dan mendapati beliau tampak murung. Rasa sakit dan kenyataan bahwa fisiknya melemah akibat jatuh dari tangga benar-benar membebani pikirannya.
“Maaf hal ini terjadi begitu mendadak, Victoria. Kumohon, katakan padaku kau akan kembali menjadi asisten-ku lagi setelah aku pulih.”
“Tentu saja, Tuan Bernard. Tapi untuk saat ini, Anda harus fokus untuk sembuh dulu!”
Melihat beliau begitu terpuruk membuat hatiku nyeri. Aku tidak pernah mengenal kakek-nenekku, dan meskipun tak pernah kuucapkan, Tuan Bernard sudah seperti kakek bagiku.
Tuan Muda Clark adalah anak lelaki berambut merah dengan tubuh ramping dan wajah berbintik. Saat Nyonya Eva mengatakan usianya dua belas tahun, aku membayangkan ia akan sulit diatur, tetapi ternyata ia sangat tenang dan sopan. Mata hijaunya terlihat cemas ketika menyapaku dan Nonna dengan penuh hormat.
“Selamat siang. Namaku Clark Anderson.”
“Halo. Aku Victoria Sellars, dan ini Nonna. Untuk sementara waktu, kami akan sering datang ke sini. Senang berkenalan denganmu.”
“Aku Nonna.” Nonna menunduk hormat pada Tuan Muda Clark.
Awalnya aku sempat mengira ia akan sulit diajak bergaul karena anak tunggal, tapi ternyata ia manis sekali.
“Lady Eva memintaku membantumu belajar bahasa Haglian dan Randallish.”
“Kamu bisa berbahasa Haglian dan Randallish, Nona Sellars?”
“Ya, bisa. Aku suka belajar bahasa di waktu luangku. Aku tidak kesulitan bercakap-cakap sehari-hari dengan bahasa yang sudah kupelajari.”
“Aku tidak bisa bahasa asing. Ayahku menteri urusan luar negeri, jadi katanya aku harus bisa Haglian dan Randallish, tapi aku sama sekali tidak bisa memahaminya. Aku juga tidak pandai olahraga. Sebenarnya, aku tidak pandai apa pun.”
Jelas sekali ia kurang percaya diri.
“Aku ingin melihat dulu seperti apa pelajaranmu sebelumnya. Boleh kutengok catatanmu?”
Tuan Muda Clark mengeluarkan catatannya dari meja dan menyerahkannya padaku. Buku catatan itu penuh dengan tulisan tangan yang sangat rapi. Jelas sekali ia anak rajin yang benar-benar berusaha menghafal kosakatanya. Namun, saat kulihat isi pelajarannya, aku hanya bisa menghela napas dalam hati.
Pertama-tama, pengajarnya sebelumnya mencoba mengajarkan tata bahasa sejak awal. Mengajarkan bahasa lewat literatur klasik sambil menjelaskan tata bahasa mungkin terlihat efisien, tapi metode ini mengabaikan kesulitan tiap murid. Cara itu juga tidak memberi ruang untuk membuat kesalahan. Padahal orang justru lebih cepat dan lebih senang belajar bahasa jika diberi kesempatan mencoba tata bahasa baru tanpa takut salah. Lagi pula, kesalahan bisa selalu diperbaiki.
“Mari kita mulai dengan caraku mengajar, bagaimana? Apa hal yang kau sukai, Tuan Muda Clark?”
“Hal yang kusukai?”
“Ya. Misalnya, aku suka memasak dan berolahraga.”
Tuan Muda Clark merenung sejenak.
Sementara itu, aku bertanya pada Nonna, “Kalau Nonna, apa yang kamu suka?”
“Buku. Dan latihan!” jawabnya.
“Latihan?” tanya Tuan Muda Clark dengan wajah bingung.
“Aku memanjat tembok tinggi. Dan pohon. Dan aku berputar di udara!” kata Nonna dengan bangga. Aku tak kuasa menahan tawa.
“Tunggu, sungguh? Bisa kau tunjukkan padaku?” tanya Tuan Muda Clark penuh penasaran.
“Tentu!”
Nonna menoleh padaku. Setelah aku mengangguk, ia melompat, berlari beberapa langkah, lalu melakukan salto ke depan. Gerakannya sempurna, tapi itu mengingatkanku untuk menyuruhnya memakai celana lain kali jika ingin memamerkan kemampuannya di depan orang lain.
“Wow, kau hebat sekali untuk seorang gadis!”
“Aku hebat justru karena aku seorang gadis! Aku harus tahu cara menjadi kuat dan bisa lari sendiri kalau ada orang dewasa jahat yang menyerangku! Bisa melakukan ini berguna untuk banyak hal… Begitu kata guruku bela diri.”
“Hmm…” Mata Tuan Muda Clark yang tadinya lesu kini bersinar penuh rasa ingin tahu. Baiklah. Dia terpikat.
“Jadi, apa yang kau minati, Tuan Muda Clark?”
“Aku mau berlatih seperti Nonna!”
Sudah kuduga ia akan mengatakan itu. Aku harus berhati-hati agar ia tidak terluka, tapi belajar kosakata sambil berolahraga sebenarnya bagus untuk daya ingat.
“Baiklah. Kita mulai dari Randallish. Dua bahasa sekaligus mungkin terlalu membingungkan.”
Aku senang Nonna ikut serta dengan kami.
“Pertama, kita mulai dengan latihan dasar. Aku akan memberi instruksi dalam Ashburian, lalu mengulanginya dalam Randallish. Kau bisa menghafalnya lewat pendengaran. Nanti setelah latihan, kalau kau mempelajari ejaannya, pasti mudah mengingatnya.”
“Baik!”
“Angkat tanganmu.”
<Angkat tanganmu.>
Aku memberi instruksi dalam Ashburian lalu mengulanginya dalam Randallish, sambil mempraktikkannya dengan mengangkat tangan. Begitulah aku dulu belajar bahasa. Aku tidak yakin apakah Clark akan cocok dengan metode ini, tapi hanya ada satu cara untuk mengetahuinya.
Di tengah pelajaran, Tuan Muda Clark meminjamkan Nonna sepasang celana pendek dengan tali untuk dijadikan ikat pinggang.
Kami menaruh banyak bantal di lantai untuk meminimalkan risiko cedera. Jangan sampai nyonya rumah melihat ini! pikirku, tapi untunglah Lady Eva sibuk.
Begitu Tuan Muda Clark berhasil menguasai tujuh kata dengan cara ini, ia langsung bisa mengeja semuanya dengan sempurna. Mengejutkannya, Nonna juga bisa.
Karena Nonna masih sedikit demi sedikit belajar membaca dan menulis Ashburian, aku sempat khawatir mempelajari bahasa lain terlalu cepat akan membingungkannya, tapi dia berkata baik-baik saja. Ketangguhannya belakangan ini sering membuatku terkejut.
Clark tampak sangat senang saat menulis di bukunya, keringat menetes di dahinya. Begitu ia berhasil menghafal semua kosakata hari itu, wajahnya bersinar penuh kegembiraan.
“Guru! Aku belum pernah merasa seasyik ini di kelas bahasa sebelumnya!”
“Aku senang mendengarnya. Mari kita berusaha sama kerasnya di pertemuan berikutnya. Tapi, aku tidak ingin membuat ibumu khawatir, jadi jangan melakukan salto.”
“Aku tidak akan bilang pada Ibu! Jadi tolong biarkan aku melakukannya!”
Rasanya wajar kalau anak-anak ingin bisa salto setelah melihat orang lain melakukannya. Lagipula, aku bisa mengawasinya. Mungkin akan baik juga bagi anak ini memiliki setidaknya satu hal yang membuatnya percaya diri, karena ia terlihat rapuh, baik secara fisik maupun emosional.
Begitulah pekerjaanku yang sangat menyenangkan itu dimulai.
Setiap malam kami selalu makan malam di rumah.
Nonna selalu berkata masakanku enak. Aku sering dengar banyak anak-anak tidak suka sayur, tapi Nonna memakannya dengan lahap.
“Nonna, masakan apa yang paling kau suka dariku?”
“Daging domba panggang.”
“Kalau yang kedua?”
“Sup dengan kacang, sayuran, dan daging. Aku suka itu juga.”
“Kalau begitu, bagaimana kalau kita masak bersama malam ini?”
“Tentu!”
Memasak bersama di dapur terasa menyenangkan. Aku menyerahkan celemek kecil yang kubuatkan untuk Nonna dan mengikatkan pita untuknya. Aku sendiri memakai celemek kembaran dari kain yang sama dan kami mulai dengan mencuci sayuran. Nonna sangat teliti dalam hal pekerjaan semacam ini.
Aku mengupas sayuran dengan pisau, sedangkan dia memotongnya dengan hati-hati menggunakan pisau lain.
“Sekarang masukkan sayurannya ke dalam panci.”
“Baik. Aku mau banyak kacang.”
“Tentu. Kau memang suka kacang, kan?”
Karena Nonna sangat suka kacang, aku selalu menyediakan kacang kering. Aku selalu merendam sebagian kecil dari mereka setiap hari untuk merehidrasi mereka sehingga aku bisa menggunakannya untuk makan malam malam itu..
Aku menyalakan kayu bakar, meletakkan panci di atas tungku, lalu menaruh wajan di sampingnya.
“Kita tambahkan daging asap malam ini..”
“Aku suka daging asap! Aku mau memotongnya.”
“Oke.”
Ekspresi serius Nonna saat memotong daging asap itu sangat menggemaskan. Aku jadi sedikit melankolis, membayangkan apakah dulu ibuku juga pernah mencoba mengajarkanku memasak seperti ini. Tinggal bersama Nonna sering membuatku memikirkan bagaimana perasaan mendiang ibuku dulu. Saat Nonna terluka, meskipun hanya goresan kecil, aku selalu berharap akulah yang menanggung sakit itu. Saat Nonna bahagia dan tersenyum, aku selalu ingin membuatnya tersenyum seperti itu lagi.
Bersama Nonna membuatku seolah merasakan kembali masa kecilku. Aku tumbuh jauh dari ibuku, jadi ini membuatku merasa seperti kembali bersamanya. Rasanya sangat menenangkan.
“Kenapa kau tersenyum, Vicky?”
“Hmm? Karena aku senang. Aku selalu sangat senang kalau bersamamu, Nonna.”
“Oh.”
“Kalau kau sendiri bagaimana?”
“Aku juga senang!”
Oh, Aku bersyukur sekali telah merawat gadis ini, pikirku.
Senyum tak lepas dari wajahku ketika menumis daging asap, lalu memasak kacang dengan minyaknya. Setelah itu, aku menuangkan sisa lemak dari wajan ke dalam mangkuk.
“Itu mau kau apakan?”
“Lemak ini enak sekali kalau dipakai untuk menumis.”
“Oh!”
Malam itu, kami makan roti bersama sup yang penuh dengan berbagai bahan. Hidangan sederhana, tapi lezat.
Keesokan harinya, saat jeda dari pelajaran, Nonna menyombongkan diri pada Tuan Muda Clark.
“Aku masak kemarin. Sup enak.”
“Wow, kau masak makanan, Nonna?”
“Yap! Vicky yang ajarin!”
“Boleh aku coba masakanmu nanti?”
“Tentu. Kau suka kacang?”
“Kacang…? Tidak terlalu…”
“Kalau begitu tidak boleh. Aku hanya masak untuk orang yang suka kacang.”
“Aku akan belajar menyukainya! Tolong biarkan aku mencobanya!”
Aku terkekeh melihat percakapan polos antara bocah laki-laki itu dan gadis kecilku. Sampai kapan obrolan mereka akan tetap seperti ini? Dalam tiga tahun saja, Tuan Muda Clark tak lagi menjadi seorang anak laki-laki, melainkan remaja muda. Sepertinya waktu kami hanya sampai saat itu, pikirku dengan sedikit rasa sendu.
Bagian 2
Itu adalah hari libur pertamaku sejak mulai mengajar Tuan Muda Clark.
Aku mengajarnya di hari kerja dan mendapat libur di akhir pekan. Kala iut Nonna dan aku membersihkan rumah serta mencuci pakaian. “Bagaimana kalau kita menyulam sebentar? Aku bisa mengajarkannya,” tawarku. Tapi tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.
“Ya, siapa di sana?”
“Aku, Clark Anderson.”
Terkejut, aku segera membuka pintu, dan benar saja, Tuan Muda Clark berdiri di sana.
“Tuan Muda Clark! Ada apa?”
“Aku hanya ingin menemuimu hari ini, Nona Sellars.”
“Ya ampun. Baiklah, silakan masuk.”
Ia menatap sekeliling ruangan dengan rasa ingin tahu, tapi tampak agak malu.
“Mau minum teh?”
“Ya, terima kasih.”
Nonna menyiapkan cangkir, sementara aku merebus air. Aku memotong kue kenari dan ara kering yang kubuat sehari sebelumnya, lalu menyajikan sepotong untuknya. Tuan tampak gelisah, tapi setelah menggigit kue itu, wajahnya langsung berbinar penuh kejutan. “Mmm!” katanya.
“Kau suka?” tanyaku.
“Ya, sangat suka! Dari toko roti mana ini?”
“Vicky yang bikin.”
“Betul. Nonna membantuku memanggangnya kemarin.”
“Wah…” Tuan Muda Clark mengeluarkan suara takjub yang menggemaskan, lalu sadar dengan apa yang ia lakukan dan langsung memerah.
“Masih banyak kalau kau mau,” Kataku. “Nikmatilah pelan-pelan.”
“Terima kasih. Nona Sellars benar-benar bisa melakukan apa saja, ya?”
“Oh, tidak juga.”
“Tapi benar! Paman Bernard selalu memujimu. Katanya selain bisa berbahasa empat bahasa, kau juga pandai memasak, membersihkan, dan mengatur dokumen. Bukan hanya itu, kau juga sangat atletik!”
Nonna tersenyum bangga, seolah berkata, “Benar sekali!”
“Aku tumbuh dengan mandiri,” jelasku. “Sejak umur delapan tahun aku terpisah dari orang tuaku, dan harus melakukan apa pun yang diperintahkan. Aku juga dipaksa belajar bahasa, tapi pada akhirnya aku jadi menikmatinya juga.”
“Menurutmu belajar bahasa itu menyenangkan?”
“Betul sekali. Aku sebenarnya jarang bepergian. Bahkan pindah ke kerajaan ini adalah perjalanan pertamaku! Jadi sebelumnya aku hanya membaca buku tentang negeri lain. Tempat kerjaku dulu punya banyak buku, tapi semuanya berbahasa asing. Awalnya aku tidak tahu apa isinya, jadi aku hanya menatap ilustrasinya. Tapi lama-lama aku bosan, jadi aku mulai belajar agar bisa membacanya.”
“Tempat dengan banyak buku… Apa kau bekerja di rumah bangsawan?”
“Ya, benar.”
Tuan Muda Clark menghabiskan potongan kue keduanya. “Kurasa agak egois bagiku mengeluh soal tidak pandai belajar,” katanya dengan wajah murung. “Aku akan berusaha lebih keras. Pelajaranmu sangat menyenangkan, jadi kupikir aku bisa belajar banyak kosakata baru.”
“Ya ampun, Bagus sekali! Mari kita semua berusaha, ya?” jawabku.
Tiba-tiba Nonna berseru, “Aku juga mau belajar hari ini!” sambil menatapku dengan mata berbinar. Mata Tuan Muda Clark juga sama berbinarnya. Bagaimana mungkin aku menolak anak-anak ini kalau mereka begitu menantikannya?
“Baiklah. Bagaimana kalau kita pelajari sesuatu yang tidak bisa dipelajari di kediaman?”
“Memanjat pohon!”
“Nonna, aku rasa Tuan Muda Clark —”
“Aku mau coba! Tolong ajari aku memanjat pohon!”
“Ha-ha-ha. Baiklah, kalau begitu mari kita lakukan.”
Setelah aku dan Nonna berganti pakaian, kami bertiga berjalan sebentar menuju tempat aku pernah bertarung dengan pangeran kedua. Ada banyak pohon besar di sana, jadi tempat itu sempurna untuk berlatih memanjat.
“Kita pakai pohon ini. Hal pertama yang harus kalian lakukan sebelum memanjat pohon adalah memastikan pohon itu tidak mati. Jika kalian mencoba memanjat pohon yang kering tanpa daun, meskipun terlihat tebal, cabangnya bisa tiba-tiba patah dan kalian bisa terluka parah. Dalam kasus terburuk, kalian bahkan bisa mati jika jatuh dan membentur kepala terlebih dahulu. Kalian bisa tahu pasti bahwa pohon itu hidup jika daunnya berwarna hijau. Di musim dingin, cara lain untuk memastikannya adalah dengan mematahkan salah satu cabangnya; bagian dalamnya akan berwarna hijau. Hindarilah memanjat pohon yang cabangnya mudah patah.”
“Baik,” kata Tuan Muda Clark.
“Sekarang, aku akan memanjat dulu untuk memberi contoh. Perhatikan baik-baik cabang mana yang kupilih dan bagaimana aku menempatkan kakiku.”
Aku melepas sepatuku dan bisa merasakan tatapan penuh hormat dari kedua anak itu saat aku memanjat pohon hanya dengan mengenakan kaus kaki.
Aku naik cukup tinggi, lalu menuruni pohon dengan gerakan terbalik. Tak tahan lagi, Nonna melepaskan sepatunya dan dengan piawai memanjat pohon. Dia naik sampai ke tempat yang tadi kucapai, duduk di cabang, lalu melambaikan tangan ke arah kami.
“Oke, Sekarang giliranku!” seru Tuan Muda Clark. Ia melepas sepatunya seperti Nonna, lalu berusaha keras memanjat pohon. Butuh waktu lebih lama baginya untuk mencapai cabang yang sama, tapi begitu ia duduk di atasnya, wajahnya terlihat sangat puas.
“Dahan.”
<Dahan.>
Aku mengucapkan kata itu dengan jelas dalam kedua bahasa, dan mereka berdua menirukannya..
“Memanjat.”
< Memanjat.>
“Aku memanjat pohon.”
< Aku memanjat pohon.>
“Aku turun dari dahan yang tinggi.”
<Aku turun dari dahan yang tinggi.>
Suara mereka terdengar serempak saat mengulang setelahku.
“Aku memanjat pohon tinggi, lalu aku turun.”
< Aku memanjat pohon tinggi, lalu aku turun.>
“Bagus sekali, kalian berdua! Baiklah, Nonna, kau yang pertama turun.”
Turun dari pohon jauh lebih berbahaya dibanding memanjatnya. Nonna berhasil turun dengan selamatlalu aku memanjat naik ke tempat Tuan Muda Clark berada. Aku mengikatkan tali di tubuhnya untuk berjaga-jaga. Aku melilitkannya dua kali di bawah ketiaknya dan mengikatnya dengan kencang, lalu aku memegang ujung tali itu, dan kami berdua menuruni pohon bersama-sama. Dalam perjalanan turun, aku mendengar suara yang sangat kukenal berseru dari kejauhan, “Oh, astaga!” Rupanya kapten sudah memperhatikan kami sejak tadi.
Begitu aku dan Tuan Muda Clark menjejak tanah dengan selamat, sang kapten pun menghampiri.
“Itu luar biasa, Clark!”
“Paman Jeff! Halo. Aku baru saja memanjat pohon untuk pertama kalinya!”
“Kau suka?”
“Iya!”
Kapten menatapku dengan wajah geli, dan tiba-tiba aku merasa canggung. Aku yakin dia terkejut melihat betapa tomboy-nya diriku, dan juga karena aku membuat satu-satunya pewaris Keluarga Anderson memanjat pohon. Dan yang lebih parah, pikiranku sekarang malah melayang pada saat kapten memelukku tempo hari.
“Maaf, aku sudah mengajari keponakanmu tanpa izin.”
“Tidak apa-apa. Ini pertama kalinya aku melihat Clark begitu ceria dan bebas. Aku selalu khawatir karena dia terlalu pendiam dan tertutup sepanjang waktu. Maaf juga karena dia datang di hari liburmu.”
“Jangan minta maaf. Aku pun bersenang-senang.”
Sementara kami mengobrol, kedua anak itu berlarian di halaman sambil berteriak, <Dahan!> <Memanjat!> <Tinggi!> dalam bahasa Randallish, mereka pun bermain kejar-kejaran dengan riang. Mereka terlihat begitu bahagia. Keduanya bermain seperti itu lebih dari satu jam sebelum akhirnya kelelahan.
“Aku sebaiknya mengantar Clark pulang,” kata kapten padaku. “Maukah kau makan malam bersamaku nanti?”
“Terima kasih. Tapi bukankah kita baru makan malam bersama belum lama ini?”
“Aku sudah menahan diri untuk tidak memintamu lagi sejak itu,” ujarnya lembut sambil mengalihkan pandangan. “Tempatnya santai, jadi tak perlu berdandan berlebihan.”
“Baiklah.”
Nada malu-malu kapten itu membuatnya tampak seperti beruang perak besar yang canggung.
Tuan Muda Clark terlihat kecewa, tapi wajahnya kembali cerah ketika aku berkata, “Datanglah bermain lagi nanti, ya?” dan dia pun mengangguk berkali-kali dengan gembira sebelum pulang bersama pamannya.
“Nonna, malam ini kita makan malam lagi bersama kapten.”
“Apa kita akan berdandan, Vicky?”
“Mungkin sedikit. Katanya tempatnya tidak terlalu mewah.”
“Jadi ada restoran yang tidak perlu berdandan?”
“Benar. Ini akan jadi pengalaman yang baik untukmu, Nonna.”
“Iya!”
Aku mengenakan gaun hijau terang dan mengganti pakaian Nonna dengan gaun biru tua. Kami mengikatkan pita berwarna anggur yang sama di rambut kami, lalu saling tersenyum.
“Aku tak sabar, Nonna.”
“Iya! Dan hari ini aku senang sekali memanjat pohon bersama Tuan Muda Clark! Aku juga belajar bilang ‘Aku memanjat pohon tinggi’ dalam bahasa Randallish!”
“Hebat sekali. Kau cepat sekali belajar bahasa, Nonna!”
“Yay!”
Nonna berlari dan memelukku. Aku membungkuk dan merangkulnya, menghirup dalam-dalam aroma manisnya. Baunya seperti bau khas anak kecil; itu adalah aroma yang aku sukai dan membuatku merasa damai.
Malam itu, kapten mengajak kami makan di sebuah restoran populer di kalangan rakyat biasa bernama Swallow House.
Akhir-akhir ini aku memang sering bersama kapten, pikirku.
Semua meja di Swallow House berupa ruang setengah pribadi, dipisahkan oleh dinding kecuali bagian yang menghadap ke jalan. Saat menoleh ke sekitar dan kulihat kebanyakan tamunya adalah pasangan. Aku sempat bertanya-tanya apakah wajar jika kami membawa anak kecil.
“Tempat ini bagus sekali. Pasti sulit mendapatkan reservasinya.”
“Aku bertanya kepada seorang bawahanku tentang restoran yang bagus untuk mengajak seorang wanita keluar.”
“Wah, sampai repot-repot begitu? Terima kasih.”
Aku hampir tidak percaya ia benar-benar meminta pendapat bawahannya untuk hal seperti itu. Ia pasti sama sekali tidak peduli pada gosip.
Tak lama kemudian, pesanan kami datang di atas piring persegi besar. Hidangan utamanya adalah daging rusa rebus dengan sayuran berwarna cerah. tersusun begitu indah hingga tampak seperti lukisan, lengkap dengan hiasan bunga kecil di atasnya.
“Wow!” seru Nonna gembira. Tak hanya indah, tapi rasanya pun juga lezat.
“Luar biasa enak, Kapten.”
“Benar-benar enak, bukan?” Sang kapten memiliki nafsu makan yang baik dan langsung membersihkan piringnya. Dia mengobrol dengan suaranya yang menyenangkan saat kami makan.
“Aku sudah bicara dengan pangeran. Ia bersikeras bahwa tulang rusuknya patah karena terjatuh. Jadi kau tidak perlu khawatir. Lagi pula, dia yang datang menantangmu sambil membawa pisau. Bagaimanapun juga, jelas dia yang salah.”
“Sepertinya kamu cukup repot mengurus dia, Kapten,” ujarku, dan ia tertawa kecil dengan canggung.
Setelah makan, kami menikmati anggur dan hidangan penutup: irisan buah ara dalam sirup, disusun menyerupai bunga. Saat itulah aku memutuskan untuk menanyakan sesuatu yang sudah lama kupikirkan.
“Kapten?”
“Ya?”
“Seperti apa sebenarnya Pangeran itu? Tentu, kalau kamu tak ingin membicarakannya, tak apa. Aku bukan orang kuat, saat itu aku hanya berusaha sekuat tenaga untuk mengusirnya, Tapi kalau dia mendekati orang lain dengan cara seperti itu, bisa-bisa nyawanya ikut melayang. Aku sulit percaya seseorang dengan status sepertinya akan bertindak begitu sembrono.”
Pandangan kapten jatuh ke arah piringnya.
“Itu benar. Dia bisa saja kehilangan nyawanya. Harusnya aku bilang padanya bahwa dia beruntung berhadapan denganmu. Tapi dia tidak punya niat buruk, Sebagai putra kedua, dia dibesarkan dengan sangat hati-hati. Sejak kecil dia berlatih pedang, dan untuk seseorang di posisinya, aku pikir kemampuannya cukup hebat. Kadang dia memang ceroboh, itu yang paling mengkhawatirkan. Tapi semua bawahannya sangat menyayanginya.”
“Aku mengerti.”
Kapten menatapku dengan raut khawatir. “Kenapa kau menanyakannya?”
“Aku hanya takut pangeran berubah pikiran. Kalau dia bilang aku yang melukainya, posisiku bisa jadi berbahaya.”
“Tidak akan. Dia memang agak eksentrik dan sering menimbulkan masalah, tapi dia tidak akan melakukan tindakan sepengecut itu,” jawab kapten dengan tegas.
Kalau dia berkata begitu, kurasa aku tak perlu khawatir. Lagi pula, sekarang aku yakin meski mereka menyelidiki latar belakangku, semuanya akan baik-baik saja. Aku bisa sedikit tenang.
“Begitu ya. Syukurlah. Yah, sebaiknya kita akhiri malam ini. Nonna tampak mengantuk.”
Nonna memang sudah beberapa kali menguap selama kami berbicara. Ia banyak berlari dan bermain bersama Tuan Muda Clark hari ini.
“Kau lelah, Nonna?” tanya kapten.
“Sedikit.”
“Tentu saja. Sayang sekali harus berpisah, tapi sebaiknya kita antar kau pulang lebih awal malam ini.”
Kami pulang dengan kereta Keluarga Asher yang nyaman.
“Makan malamnya enak, kan, Nonna?”
“Iya! Tapi aku lebih suka masakanmu, Vicky.”
Jujur saja, Aku benar-benar mencintai anak ini! Kapten juga tersenyum lembut padanya.
Bagaimanapun, aku menanyakan soal pangeran karena sebuah alasan.
Jika keluarga kerajaan mulai memperhatikanku, mungkin ada gunanya menjadikan pangeran kedua sebagai kartu cadangan. Taruhannya bisa jadi pedang bermata dua, tapi lebih baik punya pilihan berbahaya daripada tidak sama sekali.
Jika organisasi itu berhasil melacakku, ada kemungkinan mereka akan menuntut agar aku diekstradisi. Aku yakin sudah bekerja cukup keras untuk membayar kembali investasi mereka padaku, tapi mungkin mereka tidak berpikir begitu.
Namun jika aku bisa menjalin hubungan dengan keluarga kerajaan sebelum hal itu terjadi, mungkin aku bisa menghindari ekstradisi. Tapi saat aku memikirkan rencana itu, sebuah pertanyaan muncul dalam hatiku: Sebenarnya, apa sih yang begitu keras diriku pertahankan sampai rela sejauh ini?
Kapten datang ke rumah kami pukul delapan malam berikutnya. Ia mengatakan dirinya sedang bertugas malam itu.
“Kamu masih harus bekerja setelah ini? Pasti berat, ya.”
“Ada sesuatu yang perlu kusampaikan. Tentang bagaimana pangeran pertama memerintahkan agar kau diawasi, dan juga soal insiden dengan pangeran kedua. Sebenarnya semua ini terjadi karena aku memaksamu datang ke soiree waktu itu. Aku menempatkanmu dalam posisi sulit, dan aku sungguh menyesal. Aku hanya ingin mengatakan itu. Aku tahu datang ke sini tanpa pemberitahuan sangatlah tidak sopan, tapi aku harus memberitahumu secepat mungkin.”
Dia orang yang benar-benar baik, pikirku. Dan di sini aku malah menyembunyikan banyak hal darinya.
“Kapten, aku sendiri yang setuju untuk pergi bersamamu. Dan aku juga yang menunjuk pencuri itu. Tidak ada alasan bagimu merasa bertanggung jawab. Itu keputusan yang kuambil sendiri, jadi aku siap menanggung akibatnya. Aku tidak menganggap ini salahmu, dan aku tidak menyalahkanmu. Jadi tolong, jangan khawatirkan hal ini.”
Dia menggigit bibir dan menatapku dalam diam.
“Ada apa?” tanyaku.
“Kau orang yang sangat kuat.”
“Aku sering dengarnya,” jawabku sambil tertawa kecil. Kapten lalu memegang wajahku dengan kedua tangannya, begitu lembut seolah aku benda rapuh. Aku sedikit panik, berpikirlah, apakah aku mengatakan sesuatu yang membuatnya bereaksi seperti itu?
Sentuhan tangannya hangat; aku bisa merasakan suhu tubuhnya menembus kulitku. Sekilas, terpikir betapa menyenangkannya jika ada dia di sisiku saat musim dingin tiba.
Aroma maskulin alami bercampur wangi kayu dari kolonya menyelimuti udara di antara kami. Dia benar-benar harum. Aku diam saja, membiarkannya melakukan apa pun yang dia inginkan.
Dia menatapku lama dalam keheningan, lalu perlahan melepaskan tangannya.
“Setiap kali aku bersamamu… aku merasa tenang,” gumamnya pelan, seolah berbicara pada diri sendiri. Lalu, tanpa sepatah kata pun, dia berbalik dan pergi.
Ayolah, paling tidak ucapkan selamat malam dulu!
Barulah saat itu aku benar-benar memahami alasan organisasi memerintahkan kami untuk meninggalkan nama asli kami— mereka ingin mencegah kami menjadi seperti diriku sekarang.
Secara resmi, para agen diwajibkan melepaskan nama asli agar lebih mudah memutus hubungan dengan orang-orang yang ditemui selama bertugas dan melupakan mereka tanpa beban. Sekalipun aku memahaminya, dan meskipun aku berpikir, aku harus pergi dari sini dan memutuskan semua hubungan, aku tidak bisa lari dari tempat ini. Jika aku bertemu orang-orang ini dengan nama asliku, mungkin akan jauh lebih sulit lagi untuk meninggalkan mereka.
Aku memikirkan rekan-rekanku di organisasi, dan juga mereka yang akan bergabung di masa depan.
Tidak ada satu pun yang direkrut dengan paksaan. Tidak ada yang bekerja di luar kehendak mereka sendiri. Aku yakin beberapa dari mereka mungkin sempat bimbang dengan pekerjaan ini, tapi semuanya tetap memilih untuk menjadi bagian dari organisasi.
Jadi mengapa aku merasa seolah sedang mengkhianati anggota operasi khusus Hagl, dan bahkan para calon yang belum bergabung, hanya karena aku mulai menikmati kebahagiaan sederhana seperti ini?
“Victoria, aku terkejut mendengar pagi ini bahwa Clark mengunjungi rumahmu di hari liburmu. Aku sungguh minta maaf tentang itu.” kata Lady Eva dengan wajah berkerut.
“Lady Eva, baik saya maupun Nonna senang sekali menerima kedatangannya. Kami ingin dia datang lagi lain waktu, jadi tolong jangan memarahi Tuan Muda Clark.”
Begitu mendengar itu, wajah Tuan Muda Clark langsung berseri-seri.
“Kita benar-benar bersenang-senang, bukan?” kataku.
“Iya, benar!” jawab Tuan Muda Clark.
“Baiklah, kalau memang begitu,” Lady Eva manambahkan. “Aku selalu khawatir karena dia terlalu pendiam untuk anak laki-laki seusianya. Ketika aku dan suamiku mendengar dia mulai terbuka belakangan ini, kami benar-benar bingung!”
“Baik Tuan Muda Clark itu pendiam ataupun aktif, dia tetap anak yang manis,”
“Ya ampun! Terima kasih.” ujar Lady Eva sambil tersenyum, lalu melanjutkan pembicaraan ke topik lain. Aku mendengarkan dan mengangguk sewajarnya. Sementara itu, Tuan Muda Clark terus memandangku dengan mata berbinar penuh kekaguman, tapi aku pura-pura tidak menyadarinya.
Hari itu, aku memutuskan untuk mengajar dengan format pertunjukan drama.
Kami akan menampilkan sebuah drama berdasarkan salah satu dongeng kerajaan ini, Sang Putri Putih dan Kadal Biru.
Dalam cerita itu, seorang putri berambut putih tersesat di hutan dan menemukan seekor kadal biru yang terperangkap dalam jaring laba-laba. Kadal itu bisa berbicara dalam bahasa manusia dan memohon bantuan sang putri untuk mengalahkan penyihir jahat. Sang putri menyelamatkan kadal itu dari jaring dan bekerja sama dengannya untuk menumpas sang penyihir. Kutukan yang pernah dijatuhkan penyihir pada kadal biru, saat ia mencoba mengalahkannya sendirian pun terhapus, dan kadal itu berubah menjadi seorang pemuda tampan. Cerita berakhir dengan sang pemuda melamar putri berambut putih itu.
“Baiklah, siapa yang ingin memerankan kadal biru?”
“Aku!”
“Oke, Tuan Muda Clark akan menjadi kadal biru. Siapa yang ingin memerankan sang putri?”
“……”
“Hmm? Kamu tidak mau, Nonna?”
“Aku ingin jadi penyihir. Kamu saja yang jadi putri, Vicky.”
“Tapi penyihirnya mati di akhir cerita. Jangan nangis ya?”
“Aku tak akan.”
“Oke, kalau begitu aku yang jadi putri. Sayang sekali… padahal aku ingin sekali melihat Nonna jadi putri.”
Setelah itu, aku hampir tidak bisa berhenti tertawa.
Meski biasanya datar tanpa ekspresi, Nonna benar-benar menjiwai perannya sebagai penyihir jahat, meniru suaraku dengan sempurna.
Hmm, dia baru enam tahun, tapi sudah punya bakat akting, pikirku, kagum.
Segala sesuatu dari penampilan Nonna tampak menggemaskan, mulai dari cara ia memusuhi kadal biru, hingga bagaimana ia menakut-nakuti sang putri sambil berkata, “Aku akan menangkapmu, dasar bocah nakal!”
Meskipun anak-anak agak gugup karena harus mengucapkan dialog mereka terlebih dahulu dalam bahasa Ashburian lalu dilanjut dalam bahasa Randallish, aku menikmati mendengar suara Nonna yang mungil dan nyaring serta suara Tuan Muda Clark yang jernih dan kekanak-kanakan. Kami mengulang dialog itu berkali-kali sampai mereka benar-benar menguasainya.
<Mau kah kau menikahlah denganku, Putri?>
“Perhatikan pengucapan huruf ‘lah’ saat kamu mengatakan, ‘menikahlah denganku’. Cobalah untuk membuatnya lebih jelas, seperti ini: ‘Menikah denganku’. Ya, ya, itu benar!”
Aku membuat Master Clark berlatih pengucapan frasa menikah denganku dalam bahasa Randallish beberapa kali, sampai aku sadar wajah, telinga, dan lehernya memerah terang.
Aduh, aku salah langkah. Di sini aku, seorang guru rakyat biasa yang lebih tua, menyuruh murid bangsawan mudaku berulang kali berkata, “Menikah denganku’”! Ini bisa dianggap pelecehan.
“Maaf, aku terbawa suasana. Aku seharusnya tidak menyuruhmu berulang kali menikah denganku ke gurumu yang berumur ini.”
“Tidak sama sekali! Kamu tidak tua sama sekali, Ms. Sellars! Dan kamu sangat cantik!”
Entah kenapa, Nonna menatap tajam Master Clark setelah dia mengatakan itu. Tiba-tiba ia berdiri di antara kami dan merentangkan tangan, berteriak, “Tidak! Vicky milikku!”
Aku langsung tertawa kencang. Dia bilang aku miliknya! Pernahkah aku membayangkan mendengar gadis kecil yang manis ini berkata begitu tentang diriku akan membuatku begitu senang? Tidak, tentu saja tidak!
“Nona Sellars?”
Senyumku yang menyeringai mungkin tampak mencurigakan, dan sekarang Tuan Muda Clark terlihat khawatir.
“Maaf. Aku hanya senang mendengar Nonna berkata begitu. Baiklah, mari kita kembali ke adegan saat mereka pertama kali bertemu di hutan. Aku akan mengucapkan semua bagianku dalam bahasa Ashburian, tapi aku ingin kalian mengucapkan bagian kalian dalam bahasa Randallish!”
Pementasan kami atas Sang Putri Putih dan Kadal Biru dalam bahasa Randallish berjalan luar biasa.
Sebagai guru, aku puas karena semuanya berjalan lancar. Dan Meskipun keduanya sempat melakukan beberapa kesalahan, mereka begitu menggemaskan hingga rasanya tetap memuaskan. Bahkan, begitu menyenangkan sampai aku hampir merasa bersalah karena dibayar untuk melakukannya.
Tidak ada yang datang ke ruangan saat kami berlatih, tetapi ketika kami beristirahat, Lady Eva dan beberapa maid masuk.
“Kalian terdengar sangat bersenang-senang, jadi aku tidak bisa menahan diri untuk melihat apa yang terjadi.”
“Tolong berhenti, Ibu. Aku janji aku sedang belajar.”
“Maaf atas keributannya, Lady Eva,” kataku.
“Tidak, sama sekali tidak apa. Aku hanya ingin melihat seperti apa pelajarannya! Para pelayan pun juga terkejut. Mereka belum pernah mendengar Clark terdengar sebahagia itu!”
“Maukah kau memperlihatkannya pada kami, Tuan Muda Clark?”
“Apa? Tidak mau!”
Aku terjebak di antara keduanya dan kehilangan kata-kata, tetapi saat itu Nonna tiba-tiba bersuara, melafalkan dialog penyihir dalam bahasa Randallish.
< Kau kadal kecil kurang ajar!!>
“Astaga! Kau masih begitu muda, tapi pengucapanmu luar biasa! Kau mulai belajar Randallish bersama Clark, bukan? Aku sangat kagum!”
Nonna tampak sangat senang mendengar pujian dari Lady Eva, sementara Tuan Muda Clark sedikit manyun.
“Nonna, ucapkan kalimatmu lagi. Lalu aku akan membalasnya,” Clark berkata.
“Oke.”
< Kau kadal kecil kurang ajar!>
<Aku akan melindungi sang putri! Aku tidak akan membiarkanmu menyakitinya!>
Lady Eva dan ketiga maid itu langsung berdiri dan bertepuk tangan.
“Clark, Nonna, itu luar biasa! Pengucapan kalian sempurna! Victoria. bagaimana kalau kau terus mengajarinya bahkan setelah Paman sembuh? Jika kau bisa membuat Clark begitu bersemangat secepat ini, kau jelas punya bakat mengajar!”
“Bolehkan, Ms. Sellars? Aku ingin kamu jadi guruku selamanya!”
“Yah, aku harus berkonsultasi dulu dengan Tuan Bernard …”
Aku sangat senang mengajar Clark hingga rasanya enggan berhenti, tapi aku berutang budi pada Tuan Bernard karena dia yang mempekerjakanku lebih dulu. Aku tak bisa menyetujui apa pun tanpa izinnya.
Untungnya, Tuan Bernard langsung setuju.
Begitu dia pulih sepenuhnya, aku akan bekerja sebagai asistennya enam hari seminggu, dengan jam kerja berkurang pada hari aku mengajar Tuan Muda Clark.
“Apakah itu tidak akan terlalu berat bagimu?”
“Tidak sama sekali, Lady Eva. Justru sangat membantu karena Nonna juga bisa ikut dalam pelajaran.”
Aku senang karena Nonna sedang membangun dasar yang baik untuk masa depannya. Dan mengajar bahasa kepada mereka benar-benar menyenangkan bagiku.
Malam itu, kapten kembali datang ke rumahku.
Kami tidak berjanji untuk bertemu, jadi aku bertanya-tanya apa yang membawanya ke mari. Dia memberitahuku bahwa misteri di balik serangan pada pesta dansa telah terpecahkan dengan cara yang mengejutkan.
“Kami hanya bisa menangkap pelakunya berkat peringatan darimu, jadi aku pikir kau pantas tahu hasilnya,” kata sang kapten.
Pria di pesta itu melakukan kejahatan karena dendam terhadap sang marquess yang telah menyerang secara seksual adik perempuannya. Dia menghabiskan hampir seluruh uangnya untuk meminta bantuan organisasi kriminal agar bisa diterima bekerja sebagai pelayan di istana, lalu menghabiskan setahun merencanakan balas dendam.
“Saat kami memberi tahu marquess tentang hal ini, dia berkata, ‘Aku tidak ingat pernah melakukan hal seperti itu. Mungkin orang itu marah karena aku memecat pelayan yang berperilaku buruk.’ Namun pria itu mengakui semuanya. Hingga saat itu, dia tetap diam karena khawatir akan kehormatan adiknya.”
“Penyerangan seksual …”
“Menurut pelaku, marquess tidak pernah tertarik pada adiknya sampai ia mendengar kabar pertunangannya. Saat itulah ia menyerangnya, dan sang adik akhirnya membatalkan pertunangan itu. Ia sangat terpukul oleh serangan itu dan patah hati akibat perpisahan, hingga jatuh sakit. Sekarang ia tidak bisa keluar rumah.”
TN Yomi: whut the fukk, otak bekop ni marquis.
“Itu mengerikan! Apakah marquess akan dihukum?”
“Secara resmi, ia dianggap bertanggung jawab atas kekacauan di soiree. Dia dipaksa pensiun dan menyerahkan gelarnya kepada putranya. Dia juga menjabat di Kementerian Keuangan, tapi Yang Mulia memutuskan bahwa jabatannya tidak akan diwariskan kepada sang putra.”
Ya, begitulah nasib berjalan
“Bagaimana dengan pria itu?”
“Dia ditemukan membawa pisau beracun di halaman istana dan mencoba membunuh seorang marquess. Itu termasuk kejahatan berat.”
“Aku mengerti. Sepertinya di setiap negara sama saja, ya? Nyawa rakyat jelata jauh lebih murah daripada nyawa bangsawan.”
Suasana menjadi hening, dan sang kapten berpamitan.
Malam itu, aku duduk lama sendirian, tenggelam dalam pikiran.
