![]() |
Gambar 6. Bab 4 |
Tefuda ga Oome no Victoria Volume 1 - Soiree
Translated by : Koyomin
Bagian 1
Suatu hari, saat sang kapten sedang bertugas, ia sempat mampir ke rumah pamannya, Bernard, untuk menemuiku.
“Keluarga kerajaan akan mengadakan sebuah soirée di istana dalam waktu dekat. Aku ingin tahu, maukah kau menemaniku?.”
TN Yomi: Soiree adalah pesta atau pertemuan sosial yang diadakan di malam hari, biasanya bersifat formal dan mewah, serta sering kali mencakup hiburan seperti musik atau pertunjukan seni.
“Soirée? Diselenggarakan oleh keluarga kerajaan? Ah, mana mungkin aku bisa menghadirinya!” sahutku.
“Aku akan menyiapkan gaun dan perhiasan untukmu. Kau tak harus menari kalau tidak mau. Yang perlu kau lakukan hanyalah tetap berada di sisiku dan bersikap ramah kepada semua orang.”
“Jadi maksudmu aku hanya akan menjadi pemanis di sisimu?”
Senyum canggung yang muncul di wajahnya ketika kuucapkan itu terlihat begitu menggemaskan hingga aku tak kuasa menahan senyum balasan.
“Aku yakin tak sedikit perempuan yang akan senang sekali menerima tugas semacam itu, Kapten.”
“Perempuan-perempuan itu hanya tertarik pada satu hal, dan ujung-ujungnya hanya akan menimbulkan masalah.”
“Ahh, jadi alasanmu mengajakku adalah agar para perempuan lain menjauh darimu!”
“Itu memang sebagian alasannya. Namun yang utama, aku ingin atasan berhenti mencoba menjodohkanku dengan orang lain. Kupikir kau akan bisa menyatu dengan baik di antara para wanita bangsawan.”
Aku menghela napas. Meski kemungkinannya kecil, tetap ada peluang aku bertemu seseorang yang kukenal di istana. Sudah tentu akan ada bangsawan atau pejabat yang kerap bepergian ke kerajaan lain. Aku memang terbiasa berpura-pura sebagai putri bangsawan, tapi aku sama sekali tak menginginkannya.
Aku akan menolak saja, batinku sambil mengangkat wajah. Namun, tiba-tiba Lady Eva menyelanya.
“Oh, tidakkah kau ingin pergi bersamanya, sayang? Anggap saja ini perpanjangan dari pekerjaanmu. Kami bisa membayarmu atas waktu dan tenagamu. Setiap hari kau harus menghadapi paman tua kami yang pemarah, lalu pulang dan berurusan dengan nenek tua yang tak kalah cerewet! Kasihan sekali dirimu. Melihatmu hanya menghabiskan waktu bersama orang tua dan anak-anak sungguh membuat hatiku miris. Kau masih begitu muda, sayang.”
“Oh, tapi saya…”
“Aku akan menjaga Nonna. Kau pergilah dan bersenang-senanglah. Anggap saja kau sedang menolong Jeffrey yang malang. Nonna, kau tak keberatan menghabiskan satu malam tanpa Victoria, bukan? Aku akan menemanimu sepanjang waktu, dan kau bisa menginap di rumahku.”
“Aku tidak apa-apa. Vicky, pergilah ke pesta bersama Kapten!”
“Apa?! Nonna…”
Dalam sekejap mata, semua jalan untuk menghindar tertutup rapat.
Aku tak punya pilihan lain selain menyetujui, Itu berarti aku harus memikirkan dengan saksama segala kemungkinan yang bisa terjadi pada hari itu. Bersiaplah untuk hal terburuk, tapi tetap berharap yang terbaik—itulah yang sudah tertanam dalam diriku. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah berdoa semoga aku tidak bertemu kenalan siapa pun di sana.
Malam itu, aku masuk ke kamar untuk menidurkan Nonna, namun kudapati ia masih terjaga.
“Nonna, belum bisa tidur?”
“……”
“Apakah sebenarnya kau takut kalau aku pergi meninggalkanmu?”
“Aku bisa melakukannya. Hanya saja… aku tidak suka ketika dia menyebutmu orang malang.”
“Oh, Nonna.” Aku refleks meraih wajah mungilnya dengan kedua tanganku. “Aku senang sekali hidup bersamamu. Itu bukan sesuatu yang pantas dikasihani. Lady Eva tidak bermaksud buruk dengan ucapannya. Jadi jangan kau pikirkan lagi, ya?”
“Apakah Vicky akan memakai gaun?”
“Ya.”
“Dan perhiasan juga?”
“Mungkin.”
Senyum kecil merekah di wajahnya.
“Ada apa?”
“Aku ingin melihatmu berpakaian seperti seorang putri.”
“Baiklah. Nonna, ingatlah… Vicky bukan orang malang. Jangan dipikirkan lagi, ya?”
“Baik.”
“Gadis baik. Selamat tidur.”
“Selamat malam, Vicky.”
Bagian 2
Lady Eva bersikeras memberiku pelajaran, sambil berkata.
“Aku akan memberimu kursus singkat tentang etiket yang benar.”
Aku tidak ingin membuat Nonna menungguiku setiap hari sepulang kerja, jadi aku menjawab.
“Saya tipe orang yang bisa cepat menangkap sesuatu hanya dengan satu atau dua kali mencoba.”
“Kau luar biasa. Bagaimana bisa belajar secepat itu?” tanyanya tak percaya.
“Sejujurnya, ini bukan pertama kalinya saya diundang ke pesta hanya untuk menjauhkan perempuan lain dari seseorang. Meski begitu, saya agak kaku sekarang; terakhir kali saya melakukannya sudah cukup lama.”
“Oh, begitu rupanya! Masuk akal.”
Aku menceritakan kepada Lady Eva bahwa dulu aku pernah bekerja untuk sebuah keluarga bangsawan dan ditugasi berpura-pura menjadi kekasih sang tuan demi menghalangi seorang wanita yang berusaha menikah dengannya sebagai istri kedua demi harta. Itu memang sebagian benar, meski sesungguhnya tugasku waktu itu adalah menyelidiki hubungan sang bangsawan dengan seseorang dari kerajaan lain.
Aku sudah siap jika ada yang menganggapku selingkuhan sang kapten, dan bila ada yang berkata, “Kami tak bisa memperkerjakan gadis semacam itu,” aku pun rela mencari pekerjaan lain. Namun sikap Lady Eva tidak berubah setelah mendengar kisah masa laluku, dan Tuan Bernard pun tampak tak mempermasalahkannya.
Sepuluh hari setelah Lady Eva mengambil ukuran tubuhku, sebuah gaun pesanan khusus kiriman Kapten Jeffrey Asher tiba di kediaman Lady Yolana, bukan di pondokku.
Kurir itu pasti mengira sang nyonya rumah yang memesan gaun tersebut.
Gaun itu berwarna ungu lilac dengan desain elegan, leher yang anggun, serta sepasang sepatu lilac serasi dalam kotak terpisah.
Maid itu membawakannya kepadaku, ditemani Lady Yolana.
“Jadi kau masih bertemu dengan sang kapten, ya?” tanyanya.
“Saya tak yakin bisa menyebutnya begitu. Dia hanya sesekali datang berkunjung ke kediaman Tuan Bernard.”
“Lalu apa maksud gaun ini?”
“Begini, sebenarnya…”
Setelah aku menjelaskan, Lady Yolana tertawa riang.
“Ah, dia benar-benar canggung. Seharusnya dia langsung saja mengajakmu kencan saja, bukannya membuat alasan konyol seperti itu”
Aku hanya tersenyum samar, sulit bagiku untuk mengatakan bahwa kami sudah pernah makan malam dan juga piknik bersama.
Namun Nonna berseru gembira.
“Kami sudah piknik bersama!”
“Wah! Benarkah begitu? Sungguh luar biasa. Kau dan kapten itu sama-sama lajang. Dan zaman sekarang, orang tak terlalu peduli soal perbedaan status!”
“Oh, tapi hubungan kami tidak seperti itu…”
“Omong kosong! Semua orang membutuhkan kilau cinta dalam hidupnya. Terutama ketika masih muda.”
Aku tidak tahu harus bagaimana menanggapi dorongan semangat Lady Yolana. Meskipun tujuanku hadir hanyalah untuk menghalau perempuan lain, orang pasti akan mengira aku dan sang kapten sedang berpacaran. Itu bisa saja memicu masalah baru. Namun aku sudah menyiapkan diri untuk kemungkinan itu sejak awal aku menyetujui.
Jangan pernah membuat janji yang tak bisa kau tepati. Dan jangan pernah mengingkari janji yang sudah kau buat—itulah keyakinan yang selalu kujunjung tinggi.
Sepanjang hari untuk soiree itu, aku sibuk bersiap-siap, lalu menunggu kapten datang menjemputku.
Tepat pukul empat sore, ia tiba dengan keretanya. Matanya langsung membelalak kaget saat melihatku dalam balutan busana resmi.
“Kau tampak seperti seorang bangsawan yang anggun. Aku tahu warna ungu lilac akan sangat cocok untukmu. Malam ini, aku pasti jadi bahan tatapan iri banyak orang.”
“Terima kasih. Pujian untuk seorang wanita tak akan pernah cukup, tahu?”
Aku mendongakkan dagu, pura-pura angkuh. Dia pun tertawa.
Nonna meminta izin untuk bermalam di kediaman utama bersama Susan, Maid pribadi nyonya.
“Kami akan menjaganya sampai pagi, jadi kau tak perlu khawatir pulang malam ini.”
“Oh, Lady Yolana! Saya akan pulang malam ini. Hanya masalah apa yang anda ingin saya terlibat di dalamnya?”
“Haha! Sudahlah, pergilah bersenang-senang,” katanya sambil berkedip nakal. Aku membungkuk hormat padanya dan melambaikan tangan ke arah Nonna, lalu naik ke dalam kereta. Tuan Asher mengulurkan tangan untuk membantuku. Tangannya besar, keras berkapal, kering namun hangat.
“Eva bilang ini bukan pertama kalinya kau diminta menjauhkan wanita lain saat pesta,” ujar Tuan Asher padaku.
“Benar. Aku sudah berpengalaman. Oh ya, bisakah kau memberitahuku siapa pria yang berusaha menjodohkanmu itu? Aku ingin tahu wajahnya sebelum bertemu langsung.”
“Tentu. Nanti akan kutunjukkan begitu kita melihatnya di pesta. Tapi bisa saja ia tidak muncul.”
Kami berdua terus mengobrol sepanjang perjalanan menuju istana.
Istana kerajaan bersinar terang oleh puluhan lampu minyak dan lampu gantung kristal, ditambah dengan api unggun besar di taman. Cahaya gemerlap dari dalam justru membuat kegelapan taman di luar semakin pekat. Para penjaga dengan seragam biru laut berdiri tegak di depan, berdampingan dengan pengawal kerajaan yang mengenakan seragam putih berkilau berhias emas.
Pesta itu dipenuhi para wanita dalam gaun mewah, bak hamparan padang bunga yang tengah bermekaran. Ini adalah kali keempat aku menghadiri pesta dansa di istana kerajaan, termasuk di luar negeri, namun jelas inilah yang paling glamor yang pernah kualami. Benar-benar pantas untuk sebuah kerajaan makmur seperti Ashbury.
Begitu kami melangkah masuk ke aula, desas-desus langsung beredar, dan orang-orang menoleh memandang kami bagai gelombang. Ada yang mencuri pandang secara diam-diam, ada pula yang menatap terang-terangan. Sebenarnya sepopuler apa sih kapten ini? pikirku. Tatapan para tamu pun jatuh padaku yang berdiri di sampingnya.
Baiklah, saatnya menjalankan tugasku.
Sudah lama sekali aku tidak merasakan sensasi gugup yang sekaligus menyenangkan seperti ini. Aku meluruskan punggung dan menggenggam lebih erat lengan pendampingku, lalu mendongak ke arah kapten berambut perak itu sambil tersenyum.
“Sepertinya kamu populer di kalangan para wanita maupun pria.”
“Nah, mungkin mereka kaget. Sudah sepuluh tahun sejak terakhir kali aku datang ke pesta bersama seorang wanita.”
“Apa?”
Ini kabar yang mengejutkan bagiku. Pria setampan ini sudah sepuluh tahun tanpa pasangan? Apa maksudnya itu?
“Oh, Kapten Asher! Lama tak berjumpa. Saya terkejut melihat Anda datang bersama seorang wanita.”
“Halo, Earl Wald. Butuh waktu sangat lama bagiku untuk menemukan seseorang yang ingin kubawa kemari.”
“Bolehkah saya tahu nama Anda, Nona?”
“Saya Victoria Sellars. Dari Kerajaan Randall.”
“Ah! Pantas saja wajah Anda terasa asing. Rupanya Anda dari kerajaan tetangga.”
Cerita yang sudah kami sepakati sebelumnya adalah bahwa aku merupakan putri dari sepupu Lady Eva yang tinggal di Randall.
“Kalau kita jujur dan mengatakan kau seorang rakyat biasa, itu akan jadi bahan omongan tiada henti. Aku tidak ingin kau merasa tidak nyaman, Victoria,” kata Lady Eva padaku.
Namun, demi berjaga-jaga, aku sudah menyelipkan surat identitas palsu dari Randall di dalam sakuku.
Saat kami menyapa para tamu, seorang gadis muda berusia sekitar dua puluh tahun menyeret pasangannya mendekati kami.
Waduh, aku harus hati-hati dengan yang satu ini, pikirku begitu melihat tatapan menusuknya. Aku sedikit menyikut Tuan Asher sebagai isyarat. Ia tetap menatap lurus ke depan dan hanya mengangguk pelan.
“Oh, Selamat malam, Lady Gilmore.”
“Kapten Asher, sudah berapa kali saya bilang panggil saja Florence? Bagaimanapun juga, malam ini tampaknya cukup tidak biasa, bukan?”
Ucapannya diiringi tatapan dari ujung rambut hingga ujung kaki, seolah-olah sedang meniliku. Itu adalah hal yang paling kubenci. Tidak perlu kusebutkan, ekspresi di wajahnya sangat tidak pantas hingga sulit dipercaya ia seorang bangsawan. Penuh rasa iri; jelas ia lupa menjaga wibawa. Aku hanya tersenyum, menerima tatapan kurang ajarnya dengan sabar, dan berusaha memancarkan keanggunan penuh percaya diri.
“Victoria,” ujar Tuan Asher, “ini Florence Gilmore, putri Earl Gilmore. Lady Gilmore, ini Victoria Sellars. Putri seorang Viscount dari kerajaan tetangga.”
“Oh! Dari kerajaan tetangga rupanya!”
Wajah Lady Florence yang sudah berwajah masam semakin terpilin penuh kebencian begitu tahu aku berasal dari status sosial lebih rendah darinya.
Bodoh. Betapa tololnya memperlihatkan sifat busukmu di depan orang yang kau sukai?
“Saya Victoria Sellars. Gadis-gadis muda Ashbury sungguh anggun dan penuh kehalusan budi. Saya benar-benar terkesan.”
“Pfft.”
Aku mendengar kapten menahan tawa. Rupanya ia menangkap sarkasme halusku. “Victoria sangat penting bagiku. Kuharap kau bisa berhubungan baik dengannya,” katanya, lalu merangkul bahuku dan mengecup rambutku.
“Apa—?!”
Lady Florence membeku, wajah dan lehernya memerah, jelas dipenuhi amarah.
Karena sang kapten sudah sepuluh tahun tak pernah membawa pasangan ke pesta, gestur romantis itu sontak menghebohkan banyak tamu. Sejujurnya, aku pun cukup terkejut dengan sikap penuh kasih sayangnya, meski tidak terlalu kaget. Sebelum pesta, ia memang sudah berpesan agar aku benar-benar memerankan peran seorang wanita yang jatuh cinta.
“Oh, Jeffrey!” seruku manja. Aku memiringkan tubuh sedikit agar semua orang bisa melihat raut kebahagiaan murni di wajahku saat menatapnya penuh cinta.
Kapten membalas dengan tatapan yang bahkan lebih manis. Ya ampun!! Dan entah bagaimana, itu malah membuatku gugup—sesuatu yang jarang sekali terjadi padaku.
“Permisi,” ucapnya, membawaku pergi dari Lady Florence, yang kini tampak seolah matanya hendak memuntahkan api. Kapten lalu menuntunku berkeliling untuk menyapa tamu lain, meski orang yang mencoba menjodohkannya—atasannya—belum juga tampak.
Tak lama kemudian, pangeran mahkota muncul mewakili keluarga kerajaan. Rambutnya pirang, matanya biru, dan ada wibawa yang tenang sekaligus menakutkan terpancar darinya.
Ia menyampaikan pidato singkat, lalu menari bersama seorang wanita yang kuduga adalah putri mahkota. Setelah itu, mereka berdua berbaur untuk bersosialisasi. Karena para tamu lain juga mulai menari, kapten dan aku pun ikut bergabung. Meski bertubuh tinggi dan berotot, ia ternyata penari yang sangat anggun. Gerakannya terarah dan mantap, membuatku menari bersamanya dengan mudah.
“Eva bilang kau penari yang bagus, Victoria, dan ternyata benar. Sungguh, semakin banyak waktu yang kuhabiskan denganmu, semakin sering kau membuatku terkejut.”
“Terima kasih. Sekarang, siapa atasanmu yang kamu sebutkan tadi?”
“Orang yang tadi menari di sana. Pangeran mahkota.”
“Astaga!”
Aku menatap kapten dengan senyum kagum. Masuk akal jika atasannya adalah anggota pengawal kerajaan, tapi Jeffrey adalah kapten Ordo Kedua! Jangan-jangan ia juga favorit pangeran mahkota! pikirku kaget. Saat aku masih mencerna hal itu, pandanganku tertumbuk pada seorang pria di sudut ruangan.
Ia mengenakan seragam pelayan putih, tapi sudah lama tidak terlihat bekerja. Tangannya memegang nampan perak berisi gelas-gelas perak beralkohol, namun tatapannya tampak mencari seseorang.
Dalam acara sebesar ini, memang kadang ada orang mencurigakan yang bisa menyusup. Tapi di istana kerajaan? Itu mustahil. Pemerintah melakukan pemeriksaan latar belakang yang ketat terhadap siapa pun yang bekerja di sana, dan jelas bukan orang baru yang akan ditempatkan di pesta sepenting ini.
Namun, dari gerak-geriknya, aku bisa tahu ia seorang amatir. Ada beberapa kemungkinan mengapa orang dengan kedudukan sepertinya bisa berada di sini. Sempat kupikir untuk mengabaikannya, tapi segera kuurungkan. Aku harus membuat kapten bertindak.
Aku menggenggam lengannya, memberi sinyal.
“Ada apa?” tanyanya.
“Ada seorang pria di belakangmu yang menyamar sebagai pelayan tapi sudah lama tak bekerja. Aku rasa dia mengincar perhiasan para wanita. Menurutmu, mungkinkah hal semacam itu terjadi di istana?”
Kapten dengan tenang memutarku untuk mengganti arah, mengarahkan kami mendekati pria itu. Ia mengamatinya beberapa saat, lalu mengangguk.
“Sepertinya dia sedang mencari seseorang.”
Sambil terus menari, aku memperhatikan pria itu. Tiba-tiba ia melangkah cepat, jelas sudah menemukan targetnya. Aku segera mengalihkan pandangan ke depan, menelusuri jalur yang mungkin akan ia gunakan untuk melarikan diri.
“Aku minta maaf, Victoria. Aku segera kembali.”
“Silakan.”
Aku tak mengharapkan hal lain dari kapten. Ia juga melihat pria itu sudah bergerak. Kemungkinan besar pria itu memilih melakukan aksinya di acara yang dijaga ketat karena itulah satu-satunya kesempatan untuk mendekati targetnya.
Sekarang saat aku sendirian, aku segera bergegas ke teras dengan gerakan yang tampak wajar Aku memanjat turun melewati pagar dan mendarat di taman, lalu berjongkok di balik pohon, memantau jalur yang kukira akan dipakai pelaku untuk melarikan diri. Meskipun aula istana terang benderang, pepohonan dan semak di taman rapat sehingga di sini sangat gelap.
Tak lama kemudian kudengar beberapa wanita berteriak dan bunyi pecahan gelas.
Sangat disayangkan. Apakah kamu membiarkan dia kabur, Kapten?
Siluet gelap melompat keluar dari lokasi pesta yang terang. Ia melompati pagar teras dan berlari dengan punggung membungkuk. Saat mendekat, ia dengan cepat menanggalkan seragam pelayan. Aku sudah memperkirakan itu—seragam putih bersih akan membuatnya terlalu mencolok jika dipertahankan.
Sekarang!
Aku bangkit, mengangkat bagian bawah gaunku, lalu menendang melingkar ke samping kepala pria itu ketika ia berusaha mengeluarkan lengannya dari lengan jaketnya tepat di depanku. Tanpa ragu kugenggam kedua bahunya dan kukenakan lutut ke perutnya. Lalu kukenakan pukulan karate ke tengkuknya saat ia terhuyung ke depan. Seluruh rangkaian itu berlangsung tiga sampai empat detik. Pria itu mengerang sebentar lalu roboh tak sadarkan diri.
Aku lari menjauhinya secepat mungkin. Tetap merunduk serendah mungkin ke bawah dan melirik ke belakang dari balik bahuku, kulihat beberapa pria melompat dari teras. Mereka pasti akan menangkap pencuri itu selagi masih pingsan.
![]() |
Ilustrasi Bab 4 - Victoria Bertarung |
Aku menarik napas panjang beberapa kali untuk menenangkan diri sebelum kembali ke pesta seakan-akan biasa. Malam itu rupanya sudah berantakan sejak awal. Kulihat kapten mondar-mandir tampak cemas, jadi aku mendekatinya pelan dan berbisik lembut.
“Aku akan naik kereta sendiri pulang.”
“Baik. Kau di sini. Pakailah keretaku untuk pulang. Aku rasa, aku tak bisa pergi sekarang, Sampai jumpa nanti.”
Aku sempat mempertimbangkan untuk memintanya merahasiakan bahwa akulah yang memperingatkannya tentang pria itu. Namun aku urungkan—permintaan semacam itu bisa menimbulkan kecurigaan lain.
Salah satu bagian aula benar-benar kacau. Dengan pecahan kaca yang berserakan, minuman tumpah, makanan berantakan di lantai. Aku menyelinap keluar bersama tamu-tamu yang beranjak pulang. Meskipun pelakunya sudah ditangkap, respons keamanan yang longgar sangat mengkhawatirkan. Kalau aku yang bertanggung jawab, hal pertama yang kulakukan adalah menahan orang-orang untuk diwawancarai sebelum membiarkan mereka pergi.
Aku menemukan kereta keluarga Asher. Tepat saat hendak naik, kusir menatapku dengan cemas.
“Saya dengar ada keributan di pesta. Apakah semuanya baik-baik saja?”
“Ada insiden kecil, tapi sekarang sudah beres. Aku ingin mengganti pakaian sebelum pulang; Bisakah kamu berhenti di sebuah toko di kawasan selatan?”
“Tentu saja.”
Aku yakin ia bertanya-tanya mengapa aku perlu berganti pakaian jika tujuannya hanya pulang. Namun, sebagaimana layaknya seorang pelayan bangsawan, ia tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Kereta berhenti di depan sebuah toko pakaian sederhana di kawasan selatan.
“Aku bisa pulang sendiri dari sini.”
Wajahnya seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi aku memberinya tip yang cukup besar dan menyuruhnya kembali. Sudah lama sejak aku melakukan sesuatu seperti yang kulakukan di pesta tadi, jadi aku tidak merasa nyaman langsung pulang ke rumah menemui Nonna. Aku yakin dia akan sangat peka terhadap hal semacam itu.
Aku membeli sebuah gaun polos berwarna biru tua di toko itu dan segera berganti pakaian. Setelah membayar, aku berjanji akan kembali keesokan harinya untuk mengambil gaun yang kupakai ke pesta.
Di jalan belakang toko, ada sebuah kedai minuman. Aku mendorong pintunya, untungnya tempat itu hampir kosong. Aku memilih duduk di meja bagian belakang, di sudut remang-remang agar tak terlalu diperhatikan. Seorang pria yang tampaknya pemilik kedai datang untuk mencatat pesananku, tetapi aku hanya memintanya menyajikan minuman keras terbaik mereka.
Aku merasa puas. Nyaman.
Itu adalah kepuasan yang muncul ketika kau mampu mengantisipasi sesuatu dan mempersiapkan diri terlebih dahulu. Aku begitu dipenuhi adrenalin sampai-sampai dunia di sekitarku terasa berjalan lambat. Sudah lama aku tidak merasakan hal seperti itu.
Pemilik kedai meletakkan segelas minuman keras di depanku. Bahkan sebelum ia sempat benar-benar berbalik, aku sudah menenggaknya habis dalam satu tegukan.
“Tambahkan satu lagi,” pintaku.
Pemilik kedai yang berambut hitam pendek dan berjanggut itu menoleh sekilas ke arah gelasku yang kosong. “Baiklah,” katanya singkat.
Kupikir aku hanya bekerja demi keluarga dan Lancome, tetapi ternyata ada sebagian diriku yang benar-benar menyukai pekerjaanku, renungku.
Tentu saja, aku tidak berniat kembali ke organisasi setelah semua yang terjadi. Aku sudah memiliki Nonna, dan aku ingin hidup bersamanya.
Aku menikmati tegukan kedua perlahan. Begitu merasa cukup tenang, aku membayar tagihan lalu meninggalkan kedai. Si pemilik berjanggut itu berseru, “Datanglah lagi,” dengan suara berat saat aku melangkah pergi.
Dalam perjalanan menyusuri jalan, aku merenungkan apa yang terjadi malam ini.
Aku ikut campur hanya karena tak ingin pria itu membunuh siapa pun.
Memang, aku tak tahu apakah targetnya di pesta orang baik atau buruk. Tapi aku punya firasat kuat bahwa ia berniat membunuh. Jika aku tidak berbuat apa-apa dan belakangan mengetahui bahwa korbannya orang polos yang tak bersalah, bahkan keteguhan batin yang kupunya takkan sanggup menahan rasa sesal. Dan dari pengalaman, aku tahu penyesalan bisa menyiksa hati.
Lagipula, pria itu hanyalah seorang amatir; Jika orang seperti dirinya ingin menghabisi seseorang, biasanya penyebabnya adalah dendam pribadi. Apa pun yang telah terjadi di masa lalu hingga memupuk dendamnya, itu takkan bisa dihapus, bahkan bila ia berhasil membunuh targetnya. Aku ragu ada pembunuh yang benar-benar bisa berkata, “Sekarang orang yang kubenci sudah mati, aku sepenuhnya melupakan luka lama itu!” Aku mengenal beberapa orang yang pernah membunuh karena dendam pribadi, dan semuanya menjalani kehidupan yang kelam setelahnya.
Aku menghentikan pria itu kabur bukan demi siapa pun, melainkan demi diriku sendiri.
Tembok yang mengelilingi taman sangat tinggi, tetapi ada sebuah pohon tidak jauh dari sana yang menjulang lebih tinggi lagi. Seorang pria yang lincah bisa memanjatnya dan dengan mudah melompati tembok menuju bagian lain dari lahan istana. Karena malam itu sedang berlangsung soiree, kemungkinan besar tidak ada orang di sekitar sana, atau paling banyak hanya segelintir saja. Memang, jika ia salah mendarat, kedua kakinya bisa patah. Namun, bila cukup hati-hati, ia masih memiliki peluang tipis untuk lolos.
Dan bagian lapangan itu adalah jalan buntu, jadi tidak ada penjaga yang ditempatkan di sana. Meskipun pria itu amatir, dia telah merencanakan ini dengan hati-hati..
Seandainya ia berhasil melarikan diri, pihak kastil pasti akan menyelidiki para tamu pesta untuk memastikan identitasnya. Itu akan menjadi situasi yang sangat merepotkan bagiku, mengingat aku hanyalah tamu asing yang baru pertama kali datang, seorang rakyat jelata yang berpura-pura menjadi bangsawan—lengkap dengan identitas palsu pula. Andai aku yang berwenang, aku pasti akan menaruh kecurigaan padaku lebih dulu dibanding siapa pun.
Namun kini, setelah pria itu tertangkap, kemungkinan aku ikut diselidiki hampir tidak ada, apalagi bila motifnya sudah terungkap dan jelas tidak ada kaitannya denganku.
Pikiran-pikiran itu terus berputar dalam benakku sepanjang perjalanan pulang. Begitu tiba di rumah, Lady Yolana langsung mencecarku dengan berbagai pertanyaan seperti.
“Kenapa kau pulang sendiri?” “Mengapa kau kembali begitu cepat?” “Apa yang terjadi dengan gaunmu?”
Singkatnya, malam itu benar-benar penuh kejadian.
Bagian 3
Jeffrey menghadiri rapat darurat yang dipanggil oleh raja.
Ada delapan orang yang hadir: sang raja, putra mahkota Conrad, pangeran kedua Cedric, perdana menteri, kapten pengawal kerajaan, kepala istana, Marquess McKenna (target serangan) dan Jeffrey, kapten Ordo Kedua para ksatria.
Pertama-tama, kejadian malam itu dijelaskan secara rinci. Yang memimpin jalannya pembahasan adalah putra mahkota.
“Lord McKenna, apakah Anda tahu alasan seseorang mencoba mencelakai Anda?”
“Sedikit pun tidak, saya khawatir. Tentu saja, pria itu pasti disewa, tetapi saya tidak bisa membayangkan ada alasan seseorang menyimpan dendam terhadap saya.” Marquess McKenna, pria berusia lima puluhan, menegakkan tubuhnya yang berwibawa dan menjawab dengan nada bingung. “Namun, saya harus meminta maaf telah menimbulkan kerepotan pada soiree Yang Mulia. Jika bukan karena kapten Ordo Kedua para ksatria yang segera tiba, kemungkinan besar saya sudah…”
“Mati. Pisau yang dibawa pria itu dilapisi racun.”
Wajah semua orang mengeras mendengar pengumuman putra mahkota tersebut.
“Jeffrey, kapan kau menyadari keberadaan penyerang itu?” tanya putra mahkota.
“Sebenarnya, bukan saya yang pertama kali menyadarinya. Wanita yang menemani saya malam ini-lah yang melihatnya. Saat kami berdansa, ia berkata ada seorang pelayan yang tidak bergerak sama sekali. Saya menoleh dan melihat dia bertingkah mencurigakan. Saat itulah dia menerobos kerumunan, jadi saya mengejarnya.”
Putra mahkota merapatkan jari-jarinya, menepuk-nepuk ujung jarinya satu sama lain.
“Begitu. Jadi wanita itu yang memperhatikan lebih dulu?”
“Ya.”
“Pria itu sudah bekerja di kastel selama setahun. Baron Eld menulis surat rekomendasi untuknya, dan kami sudah mengirim prajurit untuk memanggilnya guna dimintai keterangan. Penyerang itu pasti berhasil meyakinkan dirinya sebagai kerabat sang baron.”
Kepala istana, seorang pria paruh baya yang bertanggung jawab atas perekrutan staf kastel, tidak menyadari akan hal ini dan kini sibuk mengusap keringat dingin dengan saputangan.
“Selain itu, pengawal pertama yang mengejar ke taman memiliki penglihatan malam yang sangat tajam. Saat ia menemukan pelaku tergeletak tak sadarkan diri di tanah, ia sekilas melihat seorang wanita berlari menjauh.”
“Seorang wanita?”
“Maksudmu, seorang wanita yang membuat pelaku itu pingsan?”
Kejutan terdengar di seisi ruangan.
“Memang, ia tidak benar-benar melihat wanita itu menjatuhkannya. Namun, pengawal tersebut mengikuti pelaku dari aula ke teras lalu ke taman. Pelaku sempat hilang dari pandangannya hanya beberapa detik setelah melompat ke taman. Saat pengawal menemukannya, pelaku sudah tidak sadarkan diri. Bahkan seorang pria pun akan kesulitan menjatuhkan orang secepat itu. Bisa saja pengawal itu keliru. Atau mungkin wanita itu kebetulan berada di taman saat itu, terkejut, lalu lari ketakutan.”
“Tapi tetap ada seseorang yang membuat pria itu pingsan, bukan?” tanya sang raja.
“Seperti apa rupanya wanita itu?” tanya kapten pengawal kerajaan.
“Ia lari terlalu cepat, dan karena suasana gelap, satu-satunya ciri yang bisa dikenali pengawal hanyalah bahwa ia mengenakan gaun,” jawab Pangeran Conrad dengan nada menyesal.
Wajah Victoria melintas di benak Jeffrey saat ia mendengarkan dengan tenang. Dialah yang pertama kali menyadari keberadaan pelaku. Ia juga teringat bagaimana Victoria pernah menjegal pencopet sambil menggendong Nonna di punggungnya.
“Pertama-tama, kita harus menyelidiki latar belakang pria itu. Lord McKenna, bolehkah kami mengajukan beberapa pertanyaan lagi?”
“Tentu,” jawab sang marquess kepada kapten pengawal kerajaan.
Karena tidak ada informasi lebih lanjut, rapat pun ditutup, dan beberapa orang segera bergegas keluar untuk menjalankan tugas masing-masing. Yang tersisa hanyalah raja, kedua pangeran, perdana menteri, dan Jeffrey, yang memang diminta tetap tinggal oleh putra mahkota.
Pangeran Conrad angkat bicara lebih dulu.
“Jeffrey, aku merasa wanita yang terlihat di taman itu adalah pasanganmu malam ini. Aku tidak menyampaikan hal ini di depan yang lain, tapi pengawal yang melihat wanita itu mengonfirmasi warna gaunnya. Ia bilang warnanya antara biru muda atau ungu muda, tapi tidak yakin yang mana. Pasanganmu memakai gaun lilac, bukan? Dan kau juga bilang dialah yang pertama kali menyadari pria itu bertingkah mencurigakan? Siapakah wanita muda itu?”
“Namanya Victoria Sellars. Aku baru mengenalnya belakangan ini.”
“Boleh kutanyakan bagaimana kalian bisa saling mengenal?”
Jeffrey memutuskan demi kebaikan Victoria lebih baik dia jujur, jadi dia meminta maaf kepada para pangeran dan raja karena telah membiarkan seorang rakyat biasa hadir dengan menyamar sebagai bangsawan.
“Tak masalah—kau tak perlu khawatir soal itu. Aku ingin tahu detail bagaimana kalian berdua bisa bertemu. Apakah mungkin dia mendekatimu dengan maksud tersembunyi?”
Jeffrey pun menceritakan bagaimana hubungannya dengan Victoria berkembang, satu demi satu peristiwa.
Ia memulai dengan kisah saat Victoria menjegal pencopet sambil menggendong Nonna, lalu menjelaskan bagaimana mereka bertemu kembali di rumah pamannya, dan akhirnya menceritakan kepada sang pangeran bagaimana ia mengundangnya ke soiree.
“Hmm.” Pangeran mahkota mengangguk. “Baiklah. Dari semua penjelasanmu, tampaknya memang sebuah pertemuan kebetulan, apalagi karena kaulah yang lebih dulu mendekatinya. Aku tidak percaya dia sedang menargetkanmu.”
“Aku tidak mendekatinya…”
“Bagaimanapun kau melihatnya, itulah yang sebenarnya terjadi. Dan itu bukan sifatmu biasanya. Boleh aku tahu alasannya?”
“Cara dia memandangku tidak membuatku merasa tidak nyaman. Malah aku merasa tenang bersamanya. Tapi yang terpenting, meskipun ia seorang wanita, ia sudah menjalani hidup yang sangat mandiri. Ia punya keberanian untuk merawat seorang anak terlantar, meski baru pindah dari negeri lain, dan…”
“Jadi kau jatuh cinta padanya?” sela sang raja dengan blak-blakan.
Jeffrey mengangguk jujur. “…Benar, Baginda.”
“Haah…” Pangeran sulung mendesah panjang sambil menatap Jeffrey. “Kau menolak semua wanita yang coba kukenalkan, tapi sekarang jatuh cinta pada seorang wanita yang jelas tidak mudah dihadapi, Jeffrey.”
“Dan aku minta maaf soal itu. Tapi aku berjanji, dia sungguh luar biasa.”
“Kakak, aku ingin bertemu wanita itu. Kalau benar dia yang menjatuhkan pria tadi, berarti kemampuannya luar biasa,” timpal Pangeran Cedric, yang sangat percaya diri dengan kemampuan pedang dan bela dirinya.
“Bertemu dengannya lalu apa? Ini bukan urusanmu,” jawab pangeran mahkota.
“Tidakkah kau ingin melihat sendiri apa yang bisa dia lakukan?”
“Hentikan, Cedric.”
“Tolong hentikan, Yang Mulia.”
Baik sang raja maupun Jeffrey berusaha meredam.
“Yang Mulia, Pangeran Conrad. Sepertinya kalian berdua masih mengira Victoria bekerja untuk seseorang, tapi kalau memang begitu, mengapa dia harus mengurus anak itu? Bukankah itu justru menghambat pekerjaannya,” kata Jeffrey.
““Itu benar,” sang raja mengangguk. “Jeffrey, aku takkan melarangmu menjalin kedekatan dengan wanita itu. Namun, jika kau menemukan sesuatu yang mencurigakan darinya, kau harus segera melapor padaku.”
“Ya, Baginda.”
“Kalau kapten tidak mau, biar aku yang mengawasinya.”
“Tidak perlu, Pangeran Cedric. Aku sendiri yang akan menjaga Victoria.”
Pertemuan pun ditutup, dan Jeffrey berpamitan.
Saat sang raja kembali ke kediamannya, ia menoleh kepada perdana menteri di sampingnya dan berbisik pelan.
“Aku ingin kau menghubungi orang-orang kita di Randall dan menyelidiki siapa sebenarnya Victoria Sellars.”