On The Way Back Form The Hero Volume 1 Chapter 2
Rauni Sang Penyihir
Bagian 1
Dia adalah salah satu dari lima orang yang dinubuatkan untuk "berpetualang bersama Sang Pahlawan, mengalahkan Raja Iblis, dan mengembalikan cahaya ke dunia."
Lebih spesifiknya, dia adalah Penyihir ras Peri yang mahir dalam Sihir Arwah.
Penampilannya kecil dan ramping, dengan rambut perak panjang dan mata ungu yang bulat. Dia kadang terlihat seperti seorang gadis kecil, bahkan seperti seorang bocah yang belum berumur. Namun—saat ada pesta, dia bisa menghabiskan sebotol hard liquor dalam sekejap, dan ketika berada di medan perang, dia dengan mudah menyapu bersih pasukan musuh menggunakan Sihir Arwah andalannya.
"Dalam hal kekuatan sederhana... atau daya hancur yang bisa ditangani, tidak ada satu pun dari kita yang bisa menandingi Peri itu."
Bahkan Leona, seorang Ksatria Suci yang meskipun jumlahnya sedikit, juga mampu menggunakan Sihir Suci dan Sihir Arwah, memberikan penilaian setinggi itu. Kekuatan Rauni sebagai Penyihir sungguh menonjol.
Itu disebabkan oleh cadangan kekuatan sihirnya yang melimpah sebagai Peri, serta pengalaman dan pelatihan yang berlangsung selama puluhan tahun karena ia termasuk ras berumur panjang.
"Meskipun membunuh Raja Iblis tidak akan berhasil tanpa salah satu dari kelima rekan, tanpa Rauni, kita bahkan tidak akan bisa menginjakkan kaki ke Kastil Raja Iblis."
Api. Air. Tanah. Angin. Petir. Cahaya. Bayangan.
Dia bisa memanipulasi hampir semua fenomena yang berada di bawah kekuatan arwah sesuai keinginannya.
Jika ada kelemahan... itu juga berasal dari ciri khas ras Peri.
Yaitu, ia lemah secara fisik, mudah lelah, dan rapuh—jika dipaksakan, ia akan langsung sakit dan harus beristirahat. Membawa barang berat sedikit saja sudah membuatnya kelelahan.
Maka, sudah pasti ia tidak mungkin terlibat dalam pertempuran jarak dekat.
Karena ia sendiri sangat menyadari hal itu, ia tidak membawa apa pun selain tongkatnya sebagai media aktivasi sihir, bahkan belati sekalipun. Ia telah mengambil keputusan untuk menyerahkan pertarungan tektok dan perkelahian kepada yang lain dan fokus sepenuhnya pada perapalan mantra dan pengendalian formasi sihir.
"Kesanku terhadap ras Peri benar-benar berubah sejak bertemu Rauni."
Melakukan keisengan seperti mencoret-coret wajah teman yang sedang tidur adalah hal yang biasa ia lakukan sehari-hari.
Dia banyak minum, banyak makan, banyak tidur, dan banyak bermain.
Sikapnya yang bebas dan tak terkendali memang mirip dengan citra umum ras Peri. Namun, perkataan dan perilakunya seringkali berbau duniawi yang kuat. Dia akan melakukan apa yang dia suka dengan inisiatif tinggi, tetapi akan bermalas-malasan dan mengabaikan apa yang tidak dia sukai karena dianggap merepotkan.
"Itu sih namanya hanya jorok saja."
Bahkan Graham, yang pada dasarnya tidak pernah menjelek-jelekkan orang lain, pernah menilainya seperti itu sambil tersenyum kecut.
Meskipun demikian, alasan mengapa evaluasinya di antara Rombongan Pahlawan tidak rendah adalah karena ia selalu mengerahkan seluruh kemampuannya saat menggunakan sihir dan tidak pernah menahan diri.
Intinya, ia bukan tidak serius atau tidak tulus—hanya saja, ia sangat ekstrem dalam menentukan tempo untuk setiap hal yang ia lakukan.
Seolah-olah ia sedang mencari batasan dirinya sendiri.
Yuma dan rekan-rekannya sementara memahaminya seperti itu.
Oleh karena itu—
Bagian 2
“—Leona.”
Rauni, yang seharusnya berbaring bermalas-malasan di atas tumpukan barang, tiba-tiba bangkit dan memanggil Ksatria Suci di kursi kusir. Tindakannya, seperti biasa, sangat mendadak.
Sudah sekitar setengah bulan sejak mereka meninggalkan Kota Wargin, kampung halaman Graham.
Jalur utama awalnya banyak mengalami kerusakan parah akibat serangan sihir skala besar yang dilancarkan kedua belah pihak selama perang Iblis, dan tidak sedikit bagian yang tidak bisa dilewati kereta. Oleh karena itu, Yuma dan rekan-rekannya sedang menuju Ibu Kota Kerajaan melalui rute yang berbeda dari sebelumnya, mengambil sedikit jalan memutar.
“Sebentar lagi kita bakalan nemuin sebuah batu besar belang-belang tergeletak di sana~.”
Rauni berkata sambil mengangkat tongkatnya.
“—Batu besar?” Yuma, yang duduk di kursi kusir di samping Leona, memiringkan kepalanya.
“Kenapa kau tahu hal—?”
Saat ia hendak bertanya, bagaimana ia tahu, Yuma teringat bahwa Penyihir ras Peri ini telah berkeliaran bebas di berbagai tempat sebelum bergabung dengan rombongan mereka. Mungkin dia pernah melewati daerah ini sebelum perjalanan mengalahkan Raja Iblis.
“Ambil jalan belok kiri di persimpangan dekat batu besar itu~.”
“...Kiri? Itu berarti arah Timur Laut, kan?” kata Leona, menoleh ke Rauni.
“Itu daerah pegunungan, seharusnya banyak tempat yang tidak bisa dilewati kereta kuda—”
Memang, ketika melihat ke arah Timur Laut, terlihat pegunungan yang terjal, yang tampaknya sulit dilewati oleh kereta. Tidak. Bahkan sebelum itu, jika mereka menuju Ibu Kota Kerajaan, mereka seharusnya mengambil jalan ke kanan, menuju Tenggara.
“Ini adalah hadiah dari Beta setelah ngalahin Raja Iblis, beta bakal bawa kalian ke tempat yang cukup menarik.”
“...Tempat menarik?” Bonita langsung tertarik.
“Apa, seperti tambang emas rahasia atau semacamnya?”
“Nah, itu biar jadi kejutan saat kita sampai di sana~” Rauni tertawa sambil mengayunkan tongkatnya membentuk lingkaran di ujungnya.
“Ini tuh perayaan sebelum pawai kemenangan ke Ibu Kota Kerajaan. Kalian tidak akan rugi. Percayalah pada Beta dan ikuti aja.”
“Kau selalu mengatakan hal yang sulit,” Leona tersenyum kecut karena ia pernah mengalami sendiri, ketika mengikuti instruksi Rauni yang menyuruhnya ‘percayalah pada Beta dan ikuti aja’, akhirnya mereka harus menyerbu perkemahan pasukan Iblis, atau berselisih dengan preman yang menguasai arena judi di permukiman pengungsi.
“Yah, kita kan memang sedang jalan memutar,” kata Yuma sambil tersenyum kecut.
“Menyimpang sedikit juga tidak masalah, kurasa.”
“Kalau Sang Pahlawan yang bilang begitu, tidak ada pilihan lain,” Leona mengangguk.
Tidak lama kemudian, batu besar belang-belang itu terlihat.
Bagian 3
“Wahai segala yang ada, yang hadir dan selalu ada—”
Di atas kursi kusir kereta kuda.
“Pinjamkan kekuatan kalian untuk sesaat—”
Di samping Leona yang memegang kendali, Rauni berdiri sambil mengangkat tongkatnya dan merapal mantra Sihir Arwah. Rambut peraknya yang panjang mengambang seolah berada di dasar air yang dalam, dan di sekitar tongkatnya, arwah-arwah transparan seperti ikan terlihat berenang bergerombol di udara.
Akhirnya—
“—Tangga menuju Surga, Jembatan menuju Kehampaan; meskipun hanya sementara, yang kini dibangun di hadapan kami, jadilah sekuat batu cadas!”
“Wow............”
Yuma berseru kaget dari atas tumpukan barang.
Di tempat yang seharusnya hanya ada jurang—kekosongan belaka—garis-garis transparan seperti kaca mulai terlukis dengan mulus.
Garis-garis itu bertambah banyak dalam sekejap, membentuk wujud, dan bertambah tebal, seolah seorang pelukis menggoreskan arang berkali-kali ke kain untuk menggambar, dan dalam waktu singkat, ia telah menciptakan—
Sebuah ‘Jembatan’ sesuai dengan kata-kata mantranya.
“Hebat banget...”
Bahkan Bonita, yang seharusnya sudah terbiasa melihat Sihir Arwah Rauni berkali-kali, melontarkan kesan seperti itu, karena ini adalah pertama kalinya Rauni menggunakan sihir ini di depan mereka semua.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, Rauni telah melawan pasukan Iblis menggunakan berbagai sihir, seperti api, es, angin kencang, kejutan, dan aliran air. Namun, efek setelah aktivasi biasanya hanya sesaat dibandingkan dengan perapalan mantra yang panjang—seketika menghilang dalam sekejap mata.
Jadi, mereka hampir tidak pernah melihat sihir yang ‘membangun dan mempertahankan sesuatu’ seperti ini.
Terlebih lagi—
“Itu...”
Leona, yang berada di kursi kusir, menyipitkan mata tajamnya, karena di seberang ‘Jembatan’ transparan yang membentang di angkasa, langit biru mulai bergelombang, membentuk riak-riak seolah permukaan danau dilempari batu.
Ada sesuatu di balik jembatan itu.
Sesuatu itu—
“...Gunung?”
Itu begitu besar sehingga Yuma mengiranya sebagai gunung.
Namun, itu bukan gunung.
Itu adalah... yang mengejutkan, sebuah pohon raksasa yang sebanding dengan gunung.
Terlebih lagi, di permukaan ranting dan akar pohon yang terlalu besar itu, di tanah humus yang terkumpul di bagian cekungannya, tumbuh tumbuhan lain, sebuah pemandangan yang sangat fantastis.
“Pohon Dunia Mahoroba...”
“O-ho. Di dunia fana, memang disebut begitu ya~” kata Rauni dengan nada bangga.
“Dan yang lain menyebutnya begini—〈Desa Tersembunyi Para Peri〉.”
Ia melompat turun dari kursi kusir dengan ringan, seolah dirinya juga adalah arwah, seolah ia tak berbobot.
Kemudian ia memimpin teman-temannya yang tercengang, dan dengan langkah seperti menari, ia mulai menyeberangi jembatan transparan yang baru saja tercipta itu.
“...Jangan-jangan, ini kampung halaman Rauni?” tanya Yuma. Rauni hanya tersenyum cengengesan. Ini pasti bagian dari ‘kejutan saat sampai di sana’ lagi.
Memang, Yuma sendiri hanya pernah mendengar tentang ‘Pohon Dunia Mahoroba’ dalam bentuk legenda... tidak ada yang tahu di mana letaknya, dan ia juga belum pernah bertemu siapa pun yang pernah pergi ke sana.
Memang, jika mereka bisa dibawa ke tempat seperti itu, itu akan menjadi ‘hadiah’ yang luar biasa.
Sementara itu—
“Um, ini aman, kan?”
Bonita bertanya pada Leona yang memegang kendali, tapi Ksatria Suci itu hanya mengerutkan wajah dan tidak menjawab. Meskipun ia bisa menangani sedikit Sihir Arwah, untuk sihir yang begitu istimewa ini, ia juga tidak bisa menjawabnya.
“Nah. Jangan takut, menyeberanglah~”
Rauni berhenti di atas jembatan dan melambaikan tangan.
“Di seberang sana itu bukan fatamorgana atau apa pun, dan kita tidak akan jatuh ke mana-mana setelah menyeberangi jembatan... kan?”
Yuma bertanya dengan ekspresi sedikit tegang.
Rauni... Penyihir Arwah ras Peri ini memiliki sisi yang suka berbuat jahil.
Tentu saja, dia tidak pernah bercanda saat pertempuran yang mengancam nyawa, tapi selama perjalanan, dia sering melakukan hal-hal aneh dan mengejutkan teman-temannya.
Dia bahkan mungkin saja menggunakan ilusi untuk membuat teman-temannya terjun ke kolam bersama kereta.
“Kenapa, engkau tidak percaya pada Beta sih~?”
“Mulut siapa yang bicara begitu...” Yuma tersenyum kecut.
“Lagian, apa prinsip dari semua ini? nggak mungkin Negeri Peri tak terlihat hanya karena ilusi mata, kan? Atau mungkinkah seseorang menggunakan Sihir Arwah tipe ilusi?” tanya Bonita.
Karena profesinya sebagai Pengintai, dia juga bisa menggunakan sihir sederhana dan memiliki beberapa alat sihir. Dia bisa menghilangkan wujudnya untuk menipu mata musuh, tetapi itu hanya dalam skala individu dan dalam waktu singkat.
“Tidak mungkin itu bisa terjadi~” Rauni tertawa.
“Menyembunyikan skala sebesar ini tak bisa dilakuin hanya oleh satu atau dua pengguna sihir. Apalagi kalau itu dilakuin secara terus-menerus~.”
“Kalau begitu...?”
“Ini bukan teknik. Ini Sihir—atau lebih tepatnya, Hukum Alam.”
“Hukum Alam?”
“Itu adalah ‘hal yang wajar’ atau ‘kodrat’nya, Intinya, para arwah melakukannya secara sukarela, tanpa perlu kami mintai dengan sihir~.”
“............”
Yuma melihat sekeliling, dan memang sesekali terlihat sesuatu yang semi-transparan seperti ikan melintas di angkasa. Itu adalah arwah. Berarti, tersembunyinya Negeri Peri itu adalah kehendak mereka.
“Bukankah arwah itu katanya minim kemauan atau insting?”
Itulah mengapa mereka dengan patuh merespons ketika manusia 'meminta' dengan sihir.
Itu adalah dasar dari Sihir Arwah, seperti yang diajarkan Rauni pada Yuma.
“Ah. Yah, memang begitu~,”
Mungkin sedang berpikir bagaimana menjelaskannya, Rauni memiringkan kepala sambil mengetuk bahunya dengan tongkat.
“Pohon yang disebut Pohon Dunia itu, telah ngelewatin lebih dari sepuluh ribu tahun tanpa layu. Bisa dibilang keberadaannya sendiri merupakan sebuah keajaiban, yang udah mendekati ranah dewa~.”
“Dewa...”
Yuma berpikir di benaknya, apa yang akan dikatakan Graham jika dia ada di sini.
Karena gereja pada dasarnya melarang penyembahan berhala dan hanya menyembah satu Tuhan, ucapan Rauni bisa saja dikategorikan sebagai 'bid'ah'.
Namun—
“Meskipun sulit dilihat oleh manusia, pohon juga punya kehidupan, dan jika ada kehidupan, ada pula jiwa. Jika udah berumur ribuan atau puluhan ribu tahun, ia bisa numbuhin sesuatu kayak hati. Dan hati pohon sejak awal dekat dengan arwah, sehingga mereka beresonansi dengan baik. Jika Pohon Dunia berkehendak menyembunyikan diri, arwah bakal meresponsnya~.”
“Menyembunyikan diri—?”
“Menurut para arwah, dulunya, pohon sejenis dengan Pohon Dunia sering ditebang satu per satu. Makanya ia ingin bersembunyi dari pandangan manusia.”
“............”
Yuma terdiam.
Sebagai seseorang yang berasal dari desa perintis, ia juga memiliki pengalaman menebang hutan, memotong pohon menjadi kayu untuk membangun rumah dan pagar.
Ia tidak pernah mempertanyakannya dan menganggapnya wajar. Namun, kalau dipikir-pikir, bagi pohon-pohon yang ditebang, itu mungkin terlihat seperti pembantaian massal.
“Yah, engkau tidak perlu memikirkan hal itu. Untuk memahami kesadaran pohon, dibutuhkan ribuan atau puluhan ribu tahun bagi manusia. Jadi, tidak ada gunanya memaksakan nilai-nilai manusiamu dan mencemaskannya.”
“Begitu?”
“Memang begitu. Atau mungkin, dalam hati pohon itu, bercampur pula niat suku kami yang pernah bertikai dengan ras Manusia dan ras Kurcaci lalu terdesak ke tempat ini. Lagi pula, tradisi pemakaman kami itu dikubur di celah akar pohon untuk menjadi pupuknya. Pemikiran ras Peri yang menjadi bagian dari Pohon Dunia juga bisa memengaruhi pohon itu~.”
Rauni mengatakannya dengan sangat santai, tapi Yuma tidak tahu apakah ini unik bagi Rauni di antara ras Peri, atau apakah semua ras Peri memiliki perasaan seperti ini.
“Nah. Jika kita berdiam di sini, kita benar-benar akan jatuh ke dasar jurang. Sihir Beta tidak akan bertahan lama.”
Setelah berkata demikian, Rauni dengan cepat menyeberangi jembatan.
Yuma, Bonita, dan Leona saling pandang.
“...Ayo kita kuatkan tekad.”
Seolah didorong oleh kata-kata Sang Pahlawan itu, kereta kuda pun mulai bergerak, mengikuti Rauni.
Bagian 4
Ras Peri adalah makhluk yang langka.
Pada dasarnya, dibandingkan dengan ras Manusia—yang disebut demikian karena mereka adalah ras yang paling subur, paling adaptif, dan pada akhirnya paling banyak menyebar di dunia ini—ras Peri jarang sekali ditemui.
“—Jangan bergerak.”
“...!?”
Setelah ras Kurcaci dan ras Manusia—yang disebut demikian karena merupakan ras dengan daya reproduksi dan adaptasi tertinggi di dunia ini, sehingga paling banyak tersebar, menjalin hubungan yang relatif erat karena kesamaan kepentingan dalam memajukan peradaban, ras Peri semakin sering berkonflik dengan kedua ras tersebut. Terkadang, konflik lokal pun terjadi... dan sebagai akibatnya, mereka menarik diri ke wilayah yang disebut 'Desa Tersembunyi' di berbagai tempat.
Oleh karena itu, ras Peri yang melakukan kontak dengan ras Manusia terbatas pada mereka yang sengaja meninggalkan 'Desa Tersembunyi' karena alasan tertentu.
Misalnya, mereka diusir karena melakukan kejahatan serius.
Atau—memiliki minat yang luar biasa terhadap dunia 'luar' karena alasan yang sangat pribadi, seperti tujuan penelitian, atau sekadar hobi.
Atau, murni karena kecelakaan.
Apa pun itu—
“Jangan bicara. Jangan bernapas.”
“Dasar kaum telinga bulat tak tahu malu.”
—Jembatan yang dilewati Yuma dan rekan-rekannya menghilang.
Sama sekali tidak ada pertanda, dan terjadi begitu tiba-tiba.
Yuma dan rekan-rekannya sudah bersiap-siap mengantisipasi kenakalan Rauni, tapi akibat jembatan yang hilang, mereka, termasuk Rauni, terjun bersama kereta ke bawah, menimbulkan percikan air yang tinggi.
Di bawah jembatan itu terdapat sebuah danau luas, seperti lautan.
Dan di tengah danau itulah 〈Pohon Dunia Mahoroba〉 tumbuh.
Untungnya, tempat Yuma dan rekan-rekannya jatuh bersama kereta tidak terlalu dalam, dan meskipun sedikit sakit, semua orang—termasuk kuda penarik kereta—selamat tanpa tenggelam.
Hanya saja—
“Rauni!? Apa-apaan ini—”
Saat Yuma mencari Rauni dan melihat sekeliling, Penyihir yang memimpin mereka ke Negeri Peri ini sedang digantung, dicengkeram kerah bajunya seperti anak kucing.
Yang menggantungnya adalah seorang raksasa transparan yang tampak seperti patung terbuat dari kaca atau es.
Tingginya sekitar empat atau lima kali tinggi manusia biasa.
Meskipun secara umum berbentuk seperti manusia, bahunya lebar dan kepalanya memanjang ke samping, sehingga secara keseluruhan terlihat sangat lebar.
Meskipun Yuma tidak mahir dalam Sihir Arwah, ia bisa membayangkan bahwa itu adalah sejenis boneka yang diciptakan dengan sihir menggunakan air sebagai media—Golem Sihir.
Pasalnya, di bahu raksasa itu, di sisi kanan dan kiri, masing-masing dinaiki oleh seorang pria ras Peri yang sama-sama memegang busur, dan di atas kepalanya duduk seorang wanita ras Peri yang memegang tongkat, kemungkinan untuk sihir.
“Aku bilang diam.”
Sebuah anak panah melesat bersamaan dengan satu kalimat itu.
“............”
Anak panah itu menusuk dalam ke kursi kusir kereta dan bergetar karena sisa momentumnya.
Yuma, yang secara refleks bersiap menghunus pedang, terdiam kaku.
Tidak—
(Di sini... lebih baik terlihat seperti itu, kan?)
Lebih tepatnya, ia ‘berpura-pura terdiam kaku’.
Faktanya, panah yang diluncurkan oleh para pria ras Peri itu kalah dalam kecepatan awal maupun akurasi dibandingkan dengan panah Jared. Dan bagi Yuma, yang tumbuh dengan kecepatan luar biasa dan memiliki pengalaman tempur yang kaya sebagai Sang Pahlawan yang dinubuatkan, menangkap panah mereka di udara bukanlah hal yang sulit.
Bahkan Leona dan Bonita mungkin bisa menghindarinya.
Itulah mengapa keduanya, sama seperti Yuma, meletakkan tangan mereka di senjata, tapi tidak bergerak.
Mereka tahu bahwa jika mereka gegabah menghunus senjata dalam situasi ini, tidak akan ada lagi ruang untuk negosiasi, dan akan langsung menuju pertarungan maut—itulah yang ingin mereka hindari di kampung halaman Rauni.
Hanya saja—
(Rauni...?)
Mengapa Rauni diam saja sejak tadi?
Jika dia berasal dari Negeri Peri ini, seharusnya dia bisa menjelaskan identitas Yuma dan rekan-rekannya, atau melakukan sesuatu untuk menengahi.
Berpikir begitu, Yuma menyipitkan mata ke arahnya—
“—Ah.”
Ikan kecil semi-transparan yang menyerupai arwah, menempel di mulut Rauni.
Segel Penyihir.
Karena Penyihir tidak bisa dipercaya meskipun sudah dilucuti senjatanya, mereka menyegel perapalan mantra untuk mencegah penggunaan sihir, senjata terkuat mereka.
Taktik ini tampaknya umum digunakan dalam pertempuran antar Penyihir, tapi karena sebagian besar Iblis dalam pertempuran melawan Iblis tidak merapal mantra dan menggunakan sihir, Yuma dan rekan-rekannya melupakannya.
“............”
Rauni, yang masih digantung oleh raksasa air, berulang kali mengedipkan mata ungunya.
Ia mengangkat bahu, seolah berkata: Maafkan aku.
(............Um. Jadi gimana?)
Yang membawa Yuma dan rekan-rekannya ke kampung halamannya itu Rauni.
Namun, meskipun Rauni yang sebangsa dengannya berjalan di depan, para Peri di Negeri Peri menghilangkan jembatan tanpa banyak bicara dan menyerang mereka.
Akibatnya, Rauni segera disegel sihirnya.
Sungguh—bagaimana semua ini bisa jadi serumit ini?
(Aku tidak enak pada Rauni, tapi agar mereka mau mendengarkan, untuk saat ini, kita harus—)
Haruskah mereka bertarung, secukupnya agar tidak membunuh lawan, untuk membuka jalan keluar?
Yuma berpikir demikian.
“—Yuma!”
Bonita memperingatkan.
Detik berikutnya, lebih dari sepuluh raksasa air, serta lebih dari lima puluh Peri, muncul dari bawah permukaan air, mengelilingi Yuma dan rekan-rekannya, mengarahkan tongkat dan panah ke arah mereka.
“Sudah kubilang diam!”
“Bodoh sekali, telinga bulat tak berguna, harus dibilangi berapa kali!”
Bersamaan dengan kata-kata itu, tiga anak panah berturut-turut menancap di roda kereta, tepat di dekat Bonita. Tiga anak panah itu, yang sesuai dengan jumlah anggota rombongan Yuma, mungkin adalah ultimatum bahwa kali berikutnya mereka akan menembak tanpa peringatan.
(...Ternyata mereka cukup baik?)
Setidaknya mereka tidak berniat membunuh Yuma dan rekan-rekannya untuk saat ini.
Jika begitu, negosiasi masih mungkin dilakukan.
Jujur saja... Yuma bisa mengalahkan jumlah lawan sebanyak ini.
Tapi akan sulit untuk menahan diri. Jika ia tidak sengaja membunuh atau melukai lawan, tidak akan ada lagi ruang untuk negosiasi.
“............”
Setelah saling pandang dengan Bonita dan Leona, Yuma menghela napas dan mengangkat kedua tangannya.
Bagian 5
Yuma dan rekan-rekannya segera dipenjara.
Meskipun mereka sudah mencoba mengatakan, "Ada kesalahpahaman, kami ingin berdiskusi," permintaan mereka sama sekali tidak digubris.
Dan—
“...Tapi...”
Leona melihat sekeliling dengan penuh minat.
“Aku dengar dari Rauni bahwa ras Peri memiliki budaya yang berkembang pesat.”
“Kenapa dia nggak kelihatan panik sedikit pun?” kata Bonita sambil duduk di lantai dan memiringkan kepalanya.
Memang, pendapat Leona dan Bonita ada benarnya.
Tempat itu terlalu terbuka untuk disebut sebagai penjara.
Sederhananya, tidak ada apa-apa.
Di sekitar mereka hanyalah air, air, dan air.
Yuma dan rekan-rekannya diletakkan di atas piringan kayu yang datar, tapi itu saja satu-satunya struktur yang ada; tidak ada teralis besi maupun pagar. Jika mereka tidak diberitahu oleh para Peri bahwa ini adalah penjara, mereka tidak akan menyadarinya sama sekali.
Hanya saja—
“Yah, niat membunuhnya cukup tinggi,” gumam Yuma sambil perlahan mengulurkan belati yang dihunusnya dari pinggang, ke tepi piringan.
Yang mengejutkan, para Peri sama sekali tidak melucuti senjata Yuma dan rekan-rekannya. Leona juga masih mengenakan baju besinya.
Hanya saja—
“Wah!” Bonita berseru.
Itu karena ujung belati yang diulurkan Yuma patah dengan suara tajam. Air yang seketika menyembur dari permukaan air tepat di luar piringan telah memotong belati baja itu.
Yuma tahu bahwa ada Sihir Arwah berelemen air yang memberikan tekanan tinggi pada air, menjadikannya bilah yang lebih tipis dari pisau cukur untuk memotong target.
Tapi ini adalah pertama kalinya ia melihatnya digunakan seperti ini.
“Sayang sekali,” kata Leona dengan wajah muram, tapi Yuma mengangkat bahu dan tertawa.
“Sudah terlalu sering dipakai, jadi ujungnya sudah mulai tumpul. Malah rasanya seperti diasah lagi,” Yuma menunjukkan ujung belatinya. Itu menjadi sangat tajam, mungkin karena ia sengaja menyesuaikan sudut potongnya.
“Aku nggak mau jika tak sengaja terpeleset dan kepalaku terpenggal,” kata Bonita sambil menggembung pipinya, dan Yuma setuju. Intinya, jika mereka melangkah keluar dari piringan, mereka akan terpotong-potong oleh bilah air yang menyembur ke atas.
Ini sangat berbahaya.
Para Peri memang sudah memperingatkan Yuma dan rekan-rekannya dengan memperagakan bagaimana bilah air itu memotong sebatang kayu seperti memotong tanah liat, sambil berkata, ‘Jika kalian melangkah keluar, inilah yang akan terjadi.’
(Yah, tapi fakta bahwa mereka repot-repot memberitahu kita, berarti mereka memang tidak berniat membunuh kita segera, kan?)
Yuma berpikir demikian.
“Aku pernah dengar ras Peri tidak punya budaya metalurgi dan pembuatan besi... aku bertanya-tanya bagaimana mereka menebang pohon, ternyata dengan Sihir Arwah,”
Di sisi lain, Leona tampak tertarik pada aspek tersebut.
“Sepertinya begitu,” kata Yuma sambil melihat piringan yang mereka naiki.
Yuma juga penasaran bagaimana mereka membuat kerajinan kayu seperti ini tanpa kapak atau gergaji, tetapi artinya semua itu dibuat menggunakan bilah air.
“Tapi kebanyakan sihir itu kan sesaat. Apa ada yang terus merapalkanya sepanjang waktu?”
“Atau mungkinkah di Negeri Peri ini kekuatan arwahnya kuat, jadi durasi sihirnya lebih lama? Sama seperti sihir ilusi yang menyembunyikan tempat ini,”
Bonita dan Leona berdiskusi tentang sihir sambil sesekali menguap.
Meskipun belum lama mereka dimasukkan ke dalam 'penjara' atau apa pun itu—mereka semua sudah bosan karena tidak ada yang bisa dilakukan. Selain karena tempatnya kosong, jebakan untuk mencoba melarikan diri juga terlalu berbahaya.
(Yah, mungkin secara paksa kita bisa keluar juga sih)
Dengan sihir atau sihir suci yang bisa digunakan Yuma dan rekan-rekannya, mereka mungkin bisa menetralkan atau membelokkan bilah air itu dengan merapal berlapis-lapis atau membuat interferensi.
Para Peri mungkin berpikir mereka telah ‘mengunci’ mereka, tapi Yuma dan rekan-rekannya hanya bersikap patuh ‘sampai mereka mengerti situasinya’.
Hanya saja—
“Bagaimana kabar Rauni ya?”
Leona bergumam sambil melihat ke arah Pohon Dunia.
Penyihir, rekan mereka, tidak dimasukkan ke dalam penjara ini.
Mungkin alasannya adalah karena Rauni mahir dalam Sihir Arwah, jadi dia akan segera menemukan cara untuk menghancurkan penjara ini, sehingga dia harus dikurung secara terpisah.
Namun, karena mereka tidak tahu mengapa para Peri memusuhi Yuma dan rekan-rekannya, mereka juga tidak tahu bagaimana Rauni diperlakukan.
Menganggap bahwa mereka tidak akan kasar pada sesama warga kampung halaman adalah pemikiran yang terlalu optimis.
“Leona...”
Di antara rekan-rekan Yuma, Leona sangat dekat dengan Rauni.
Mereka sering terlihat berbicara berdua saja, dan beberapa kali, mereka berdua tidak terlihat di perkemahan. Ketika ditanya ada apa, Leona, yang biasanya berbicara blak-blakan, justru tersipu dan mengalihkan pembicaraan, yang jarang ia lakukan.
(Mereka sangat cocok karena sama-sama tampan dan cantik...)
Meskipun berbeda ras, Leona dan Rauni terlihat serasi saat berdiri berdampingan.
Itulah mengapa ketika Rauni mengatakan ingin singgah di Negeri Peri kali ini, Yuma berasumsi bahwa ia mungkin ingin memperkenalkan Leona kepada keluarganya...
“—Ah. Rauni!”
Tiba-tiba Bonita berseru.
Melihat ke arah yang ditunjuknya, memang terlihat tiga Peri berjalan di atas air—mungkin ini juga Sihir Arwah—menghampiri mereka.
Salah satunya adalah wanita yang tampak seperti Penyihir, memegang tongkat.
Dua lainnya adalah pria pembawa panah.
Wanita itu berjalan di depan, seolah mengomando kedua pria di belakangnya, dan dia sama sekali tidak terlihat sedang ditahan.
Hanya saja—
“Rauni, kau baik-baik aja?” Bonita bangkit dan memanggil, tetapi Leona menahan bahunya.
“—Itu bukan dia.”
“Eh? Apanya?”
“Itu bukan Rauni.”
Ksatria Suci itu menegaskan dengan ekspresi tegas.
“Mereka mirip, tapi itu orang lain.”
“H-Hah? B-begitukah?” Bonita menunjukkan ekspresi bingung.
Sebagai Pengintai, ia yakin dengan kualitas mata dan telinganya. Sangat tidak mungkin ia salah mengenali rekannya sebagai orang lain hanya karena sedikit kemiripan.
Namun, perkataan Leona, yang sangat dekat dengan Rauni, memiliki kekuatan persuasif yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
“Tapi dia sangat—”
“............Buka.”
Ketika gadis Penyihir yang mirip sekali dengan Rauni di barisan depan berkata demikian... terlihat arwah-arwah berhamburan terbang dari permukaan air di sekitar piringan. Bilah air itu memang Sihir Arwah.
Yuma mencoba mengulurkan belatinya, tetapi kali ini tidak terjadi apa-apa.
Dan kemudian—
“............”
Tiga Peri naik ke atas piringan.
Semuanya tanpa ekspresi dan sulit dipahami apa yang mereka pikirkan... justru karena itu, Yuma pun kini menyadari bahwa gadis di tengah ini bukanlah Rauni.
Ekspresinya berbeda. Yuma tidak ingat pernah melihat Rauni memasang ekspresi sekaku ini. Rasanya, bukan karena ia minim ekspresi emosi, tetapi seolah ia memaksa menahan emosi di dalam dirinya agar tidak terlihat.
Dan kemudian—
“Anu—”
“Saya minta maaf.”
Bersamaan dengan Yuma yang membuka suara, gadis Peri itu langsung membungkuk dalam-dalam.
“Nona Roniya...!”
“Jangan lakukan hal seperti itu pada kaum telinga bulat—”
Para pria di kanan dan kiri bergegas menyuarakan keberatan.
Rupanya nama gadis ini adalah Roniya, dan dia memang bukan Rauni.
Hanya saja—
“Para Tuan ini tidak bersalah. Kami yang salah. Maka, kami harus meminta maaf,” kata gadis yang dipanggil Roniya itu.
Para pria itu mengerang pendek dan mundur selangkah. Tampaknya posisi Roniya lebih tinggi. Para pria itu mungkin lebih merupakan pengiring bagi tokoh penting, daripada pengawal bagi gadis yang lemah.
“—Apa maksudnya?” tanya Leona, dengan satu lutut terangkat dan satu lutut menapak.
Sekilas, posturnya seperti sedang melayani tuannya... tetapi Ksatria Suci ini dapat menghunus pedangnya dalam sekejap dari posisi itu, mendekati lawan, dan memenggal lehernya. Lawan mungkin akan mati tanpa menyadari apa yang menimpanya.
Jiki ini pertarungan sungguhan —dalam hal kemampuan bertarung secara keseluruhan, Yuma mungkin lebih kuat, tetapi dalam hal kemahiran teknik pedang, Leona tetaplah yang unggul. Bagaimanapun, Ksatria Suci inilah yang mengajari pedang kepada Sang Pahlawan yang dinubuatkan, yang awalnya hanyalah penduduk desa perintis biasa.
“Lalu, apakah rekan kami, Rauni, baik-baik saja?”
Dari pertanyaan itu, terlihat jelas bahwa ia mengkhawatirkan keselamatan Rauni.
“............Ya, tentu saja,” Roniya mengangguk.
“Kakak aman. Meskipun saya yakin dia sedang dikelilingi oleh para tetua dan dimarahi habis-habisan.”
“............Eh,” suara kaget keluar dari mulut Yuma.
Melihat kemiripan wajah mereka, Yuma sudah menduga mereka kerabat sedarah.
Gadis ini... adik perempuan Rauni?
“Perkenalkan sekali lagi. Telinga bulat, atau haruskah saya sebut Tuan-tuan ras Manusia. Nama saya Roniya, dan saya menjabat sebagai Pemimpin negeri ini.”
Itu mungkin etika ras Peri—kali ini, alih-alih menundukkan kepala, ia menyerahkan tongkatnya kepada salah satu pengikutnya, lalu meletakkan kedua tangannya di dada sambil berkata.
“Saya meminta maaf atas ketidaksopanan kami yang besar terhadap para tamu, yang disebabkan oleh kesalahpahaman kami. Terima kasih karena telah membawa pulang si tukang foya-foya itu.”
“...Foya-foya?”
Apakah itu sebutan untuk Rauni?
(Memang sih dia pemabuk berat dan suka iseng...)
“Kakak... sering meninggalkan negeri ini dan pergi melihat ‘dunia luar’ karena rasa ingin tahu. Tapi dia hanya pergi untuk melihat-lihat, dan selalu segera kembali setiap saat,” kata Roniya sambil menerima kembali tongkat dari pengikutnya.
“Namun, suatu hari, Kakak tidak kembali. Karena tidak ada kabar sama sekali, kami menduga, dia diculik oleh ras Manusia—”
“Gak, gak, gak, gak. Itu nggak mungkin.” kata Bonita sambil melambaikan satu tangan.
“Kalau mau menculik Rauni, butuh pasukan tentara.”
“Yah, orang itu tidak mungkin bisa diapa-apakan oleh penculik atau pedagang budak biasa. Malah, kalau gegabah, mereka bisa dihancurkan,” Leona juga setuju. Yuma pun berpendapat sama.
Meskipun Rauni adalah Penyihir yang lemah dalam pertarungan jarak dekat dan ras Peri yang lemah dalam stamina, dan ada banyak cara untuk menjebaknya. Tetapi, hanya sedikit ras Manusia yang tahu kelemahan semacam itu. Bahkan Yuma dan rekan-rekannya baru mengetahuinya selama melakukan perjalanan bersama Rauni.
“Meskipun begitu, aku pernah mendengar cerita bahwa di masa lalu, ras Peri dihargai dan dijadikan budak untuk kesenangan. Mereka menggunakan besi yang ditempa Kurcaci untuk mematahkan sihir, dan menyiapkan borgol serta belenggu kaki agar mereka tidak bisa menggunakan Sihir Arwah... begitu ceritanya.”
“Begitukah?”
Mungkin karena masalah itulah desas-desus bahwa ‘ras Peri membenci ras Kurcaci’ tersebar luas. Rauni sendiri, meskipun kadang menjahili ras Kurcaci, tidak pernah menunjukkan kebencian yang mendalam.
“Aku dengar itu terjadi lebih dari dua ratus tahun yang lalu—ah,” Leona menggelengkan kepala.
“Bagi ras Peri yang berumur panjang, cerita lalu sama saja dengan hari ini, ya?”
“Ya. Oleh karena itu, kami langsung mengambil kesimpulan pendek, dan mengira kalian adalah pedagang budak atau semacamnya...”
Faktanya, perbudakan sudah dihapuskan di masyarakat manusia beberapa dekade lalu. Setidaknya secara de jure. Tapi, cerita-cerita seperti itu mungkin tidak sampai ke Desa Tersembunyi Peri ini.
“Saya telah menerima penjelasan dari Kakak. Izinkan kami meminta maaf atas ketidaksopanan kami... Kami telah menyiapkan perjamuan, jadi mohon, bersedialah untuk berpartisipasi.”
Setelah itu, Ia membungkuk lagi—kali ini dengan tata krama ras Manusia. Sikap Roniya terlihat tulus di mata Yuma dan rekan-rekannya.
Oleh karena itu—
“Tolong tegakkan kepala Anda, Ra... bukan, Roniya-san. Kami senang kesalahpahaman telah terurai.”
“Kami sangat ingin tahu lebih banyak tentang Rauni dan bangsanya setelah kesempatan ini,” kata Yuma, sambil bertukar pandang dengan Leona dan Bonita. “Saat mengalahkan Raja Iblis, kami adalah rekan yang berjuang bersama, tapi begitu semua selesai, kami menyadari betapa sedikitnya yang kami ketahui tentang satu sama lain...”
Terutama tentang ras Peri yang merupakan ras lain.
“............Raja Iblis?”
Roniya bertukar pandang dengan pengikutnya.
“Apa itu?”
“............”
Yuma dan rekan-rekannya terdiam.
“Um, maafkan saya bertanya hal yang tidak pada tempatnya. Bagaimana dengan perang melawan Iblis...?”
“Iblis, ya?”
Roniya memiringkan kepalanya seolah itu adalah kata yang baru pertama kali ia dengar.
“Apa yang dikatakan Rauni tentang kami?”
“Tidak. Itu...”
Roniya mengalihkan pandangannya dari Yuma dengan canggung.
Setelah mencari kata yang tepat untuk beberapa saat—
“Kakak, um, berkata bahwa kalian adalah orang-orang yang terpedaya oleh kecantikannya...? Dan mengikuti perjalanan santai mencari makanan dan minuman lezat, begitu...”
“............”
Lagi-lagi Yuma dan rekan-rekannya saling pandang.
Dan kemudian—
“Maaf. Sebelum perjamuan, bolehkah kami juga ikut bergabung dalam pertemuan untuk memarahi Rauni?” tanyanya.
Bagian 6
Perjamuan itu kecil, tetapi padat.
“............Wow...”
Di pangkal pohon raksasa yang bisa disebut sebagai inti, atau jantung Negeri Peri.
Di tempat perjamuan yang didirikan di tepi air, Yuma dan rekan-rekannya disuguhi hidangan lokal dan anggur buah dari Peri, sambil menyaksikan lagu dan tarian dari sepuluh pria dan wanita yang berjalan di atas air—kemungkinan besar dengan Sihir Arwah.
Setengah dari mereka memainkan alat musik, dan setengahnya lagi menari di atas air.
Ras Peri banyak yang tampan dan cantik, juga tarian mereka, di mana pria dan wanita bergerak meluncur di atas air, sungguh fantastis. Mereka sesekali melompat dan berputar, berganti-ganti dengan cepat mengikuti melodi, memukau Yuma dan rekan-rekannya.
“Entah... bagaimana bilangnya... Indah sekali...” Bonita bergumam dengan tercengang saking indahnya, sambil memegang gelas anggur buah.
“Aku dengar tarian dan seni bela diri memiliki banyak kesamaan. Keseimbangan tubuh mereka yang tidak goyah sungguh luar biasa,” Leona, di sisi lain, tampak kagum pada hal yang berbeda.
(Gema alat musiknya juga aneh, ya. Apa mereka meminta bantuan Arwah Angin juga?)
Meskipun seharusnya dimainkan di tempat terbuka, suaranya bergema berlapis-lapis seolah didengar di dalam gua. Gema halus itu—menciptakan ‘penundaan’ nada dan nuansa yang samar, sehingga menghasilkan suara yang tebal.
Meskipun hanya ada lima pemain, rasanya seperti mendengarkan orkestra yang terdiri dari puluhan orang.
Dan kemudian—
“M-maaf sudah membuat kalian menunggu~” Rauni muncul setelah tarian selesai.
Bukan pakaian perjalanannya yang biasa—meskipun ia membawa tongkatnya, ia mengenakan pakaian yang sama dengan Roniya yang mereka temui sebelumnya. Pakaian longgar yang didominasi warna putih, dengan sulaman bunga di berbagai tempat. Dengan pakaian itu, ia bahkan tampak seperti orang lain dari Penyihir ras Peri yang mereka kenal.
“Para tetua itu luar biasa cerewetnya. Beta sampai kehabisan kata-kata.”
“............”
Roniya juga ada tepat di belakangnya.
Ia hanya membungkuk hormat kepada Yuma dan rekan-rekannya tanpa bicara.
“Sudah minum? Sudah makan? Meskipun agak hambar dibandingkan dengan minuman dan masakan ‘dunia luar’, tapi tidak buruk kan~?”
“Sudah cukup enak,” Yuma tersenyum kecut.
“Daripada itu, Rauni... kau ini Kepala Suku, ya?”
Itu adalah hal yang baru saja mereka dengar dari Roniya.
Rauni dan Roniya itu kembar dan berasal dari garis keturunan Kepala Suku Peri di negeri ini.
“Apa Beta belum bilang?”
“Belum pernah kau ceritakan.”
Yuma tidak pernah mendengar cerita tentang latar belakang Rauni.
Meskipun ia sempat berpikir Leona mungkin tahu—
“…………”
Ksatria Suci itu juga menggelengkan kepala sambil tersenyum kecut.
“Jika seorang Kepala Suku tiba-tiba ilang tanpa ninggalin pesan, tentu aja mereka akan menduga penculikan,” kata Bonita sambil menuangkan sendiri anggur buah ke gelasnya.
Jarang sekali dia minum alkohol—katanya karena bisa menumpulkan indranya sebagai Pengintai. Fakta bahwa dia minum dengan kemauan sendiri berarti dia merasa sangat aman.
“Yah, yang benar adalah ‘pengganti’ Kepala Suku~,” kata Rauni, melirik Roniya.
Roniya, meskipun tanpa ekspresi, sejenak menundukkan pandangan.
Yuma dan rekan-rekannya tidak tahu apa arti dari isyarat itu—
“Maksudmu perwakilan?”
“Tidak. Beta dan Roniya itu kembar, dan keluarga kami selalu melahirkan anak kembar, tapi posisi Kepala Suku pada dasarnya merupakan warisan kepada anak bungsu.”
“...Eh? Begitukah?” Yuma mengedipkan mata sambil membandingkan Rauni dan Roniya.
Dalam masyarakat ras Manusia, warisan kepada anak sulung merupakan norma.
“Yah, karena kami kembar, siapa yang menjadi kakak dan siapa yang menjadi adik hanya masalah urutan saat persalinan, sih~.”
Rauni tertawa cengengesan seperti biasa, sementara Roniya tetap tanpa ekspresi. Karena wajah mereka sama, kontrasnya sangat mencolok ketika mereka berdiri bersisian.
“Yah singkatnya, Beta ini cuma ‘cadangan’ Roniya.”
“—Rauni,” Roniya menyela dengan nada menegur.
“Supaya tidak terjadi kepunahan pada Kepala Suku... atau lebih tepatnya, Dukun Pohon Dunia karena kecelakaan atau penyakit. Yah, ada banyak tradisi lain juga~.”
Rauni melanjutkan seolah tidak mendengar.
“Lahir di pangkal Pohon Dunia, dan kembali ke pangkal Pohon Dunia saat mati. Begitulah cara hidup kami. Tapi yah, berdiam diri terus-menerus hanya akan membuat sesak~.”
“Rauni!”
Roniya mengerutkan wajah dan meninggikan suara, tapi Rauni tetap tertawa cengengesan seolah tidak mendengar.
“Jadi, Beta sering keluar untuk melihat ‘dunia luar’ dan memperluas pengetahuan. Kebetulan, saat itu ada yang namanya Raja Iblis menyerang~.”
“Kebetulan?”
“Ini tuh krisis dunia! Apa yang harus dilakukan jika Beta tidak bertindak! Begitulah semangat yang muncul. Seolah merespons tekad Beta, 'bukti' itu juga muncul dengan kebetulan yang sama~”
Rauni mengangkat tangan kanannya dan menunjukkan ‘Bukti Rekan Sang Pahlawan’—Stigmata—di punggung tangannya.
“Jadi, bagi Rauni, mengalahkan Raja Iblis itu hanya ‘sampingan’ dari perjalanan keliling negara?”
“Mungkin saja~,” Rauni mengangkat bahu.
“...Itu memang Rauni sekali, kalau dipikir-pikir.”
“Benar-benar, ya,” Leona dan Bonita tersenyum kecut.
Dan kemudian—
“Yah, hal-hal seperti itu tidak penting lagi sekarang. Nah, geser sedikit dong, tuangkan juga untuk Beta, Boni.”
Rauni menyela dengan paksa di antara Bonita dan Leona, duduk, lalu merebut gelas Leona dan mengangkatnya.
“Setelah minum dan makan, mau menari sebentar~?”
“Tidak, kami tidak bisa—”
Paling tidak, menari sambil menggunakan Sihir Arwah untuk berjalan di atas air adalah keterampilan yang sangat tinggi bagi Yuma dan rekan-rekannya.
Namun—
“Jika kalian berpasangan dengan Peri, tidak masalah. Berkah dari Pohon Dunia dan arwah selalu menyertai para Peri di negeri ini.”
Rauni meneguk habis gelasnya dalam sekali tegukan dan tertawa.
“Beta akan berpasangan dengan Leona. Bonita, sebaiknya kau dengan para pria di sana. Yuma, kau berpasanganlah dengan Roniya.”
“...Rauni!”
“Engkau harus minta maaf karena sudah memenjarakan mereka karena kesalahpahaman, kan?”
“............”
Saat Rauni berkata begitu, Roniya terdiam.
Sambil membandingkan ekspresi keduanya—
“Ah, tidak, jangan dipaksakan. Aku lebih suka menonton saja.”
Yuma mencoba menengahi.
“...Tidak. Saya akan menjadi pasangan Anda,” kata Roniya, sambil menyerahkan tongkat sihirnya kepada seorang Peri di dekatnya.
Melihat wajahnya yang memerah dan penuh tekad, seolah hendak pergi ke medan perang, Yuma hanya bisa tersenyum kecut.
“Y-Ya, mohon bantuannya,” katanya sambil menundukkan kepala.
Bagian 7
Perjamuan telah usai—setelah itu.
“Fuuh............”
Setelah para Peri pergi, Yuma dan rekan-rekannya tetap berada di tempat perjamuan untuk menghilangkan mabuk.
Leona duduk diam, tetapi Bonita, entah karena terlalu banyak minum, atau karena buruknya minum sambil menari, terguling di tempat. Untungnya, pria Peri yang menjadi pasangannya menutupi tubuhnya dengan kain, jadi ia tidak akan masuk angin.
Dan kemudian—
“Bagaimana? Setidaknya engkau terhibur, kan~?”
Rauni-lah yang menghampiri Yuma yang berdiri di tepi air.
Dia duduk di samping Yuma dan mencelupkan kaki telanjangnya ke air, memercikkan air seperti anak kecil. Setiap kali dia menggerakkan kakinya, arwah yang tampak di tepi air melompat, menciptakan pemandangan yang fantastis.
“Sebagai permintaan maaf, ini sudah lebih dari cukup. Lagipula kami tidak dipenjara terlalu lama. Minuman dan makanannya enak, dan menari juga menyenangkan.”
Yuma, yang berasal dari desa perintis, sudah sering menari di festival panen desa atau hari jadi desa. Ia ingat dipuji oleh semua orang karena ia dan gadis teman masa kecilnya memiliki gerakan yang cukup bagus ketika menari bersama.
(Carol...)
Gadis yang rajin belajar memainkan alat musik di sela-sela pekerjaan ladang, karena bercita-cita menjadi penyair.
Yuma saat itu sama sekali tidak meragukan bahwa impian gadis itu pasti akan terwujud.
Namun—
“Haha. Yah, Roniya juga sepertinya tidak terlalu keberatan, meskipun penampilannya begitu~” kata Rauni sambil mendongak ke Pohon Dunia yang cabangnya membentang memenuhi pandangan.
“Kalau engkau mau, bagaimana kalau menikahinya~?”
“...Hah?”
Yuma membelalakkan mata karena tawaran mendadak itu.
“Roniya itu, meskipun begitu, dia juga sangat penasaran dengan ‘dunia luar’. Dia tidak menghindar dari ras Manusia sebanyak yang lain. Meskipun dia agak terlalu serius, tapi dia akan menjadi istri yang baik~.”
“Tidak, tidak. Bukankah dia dari garis keturunan Kepala Suku?”
Yuma tersenyum kecut dan melambaikan tangan.
“Apa gunanya menikah dengan orang luar?”
“Sesekali, darah Orang Langka harus dimasukkan. Negeri Tersembunyi cenderung mengalami inbreeding dan stagnasi. Memasukkan darah dari ras lain juga merupakan tradisi kami.”
“Orang Langka—”
Menurut Rauni, dalam sejarah panjang Negeri Peri, ada beberapa ras Manusia yang tersesat masuk secara tidak sengaja. Mereka tinggal di Negeri Peri dan kembali ke Pohon Dunia seperti halnya para Peri.
(Artinya, ada kemungkinan Leona dan Rauni menikah juga, ya?)
Yuma melirik ke arah Ksatria Suci sambil memikirkan hal itu.
“Lagipula ada ‘penggantinya’” kata Rauni sambil menunjuk dirinya sendiri dan tertawa.
Tidak ada nada mencela diri sendiri dalam tawanya.
Hanya saja—
“—Rauni.”
Yuma tiba-tiba duduk di sampingnya dan bertanya.
“Kenapa kau mau ikut perjalanan kami?”
“Hah? Kenapa tiba-tiba sekali. Tentu saja karena Beta dianugerahi Stigmata..”
“Bukan hanya itu alasannya, kan?”
Fakta bahwa Roniya dan yang lain tidak mengetahui adanya invasi Iblis mungkin karena mereka menarik diri sebagai satu ras di Desa Tersembunyi ini—tetapi tempat ini, yang dilindungi oleh Sihir Arwah ras Peri yang bisa dibilang kuat, mungkin tidak bisa diserang dengan mudah bahkan oleh Iblis.
Artinya, bagi ras Peri, invasi Iblis bisa dibilang masalah orang lain, seperti api di seberang sungai.
Rauni bukanlah orang yang tidak menyadari hal itu.
Tentu saja, mungkin benar dia merasakan semacam takdir karena munculnya Stigmata, tetapi sulit untuk mengatakan bahwa dia menemani Yuma dan rekan-rekannya dalam perjalanan yang mempertaruhkan nyawa hanya karena alasan itu.
Pasti ada pemikiran tersendiri dari pihaknya.
(Sungguh, kita tidak tahu apa-apa tentang satu sama lain...)
Sungguh menakjubkan bagaimana mereka bisa melanjutkan perjalanan yang sulit selama setahun.
Yuma benar-benar merasakannya sekarang.
“............Begitu~,”
Rauni memiringkan kepalanya dan tampak berpikir sejenak.
“Sebenarnya... siapakah Beta ini, ya?”
“............?”
“Dukun Pohon Dunia, ‘pengganti’ Kepala Suku. Sudah diputuskan begitu sejak lahir. Itu sama dengan Roniya. Jika urutan kelahiran kami berbeda, Beta mungkin yang jadi Kepala Suku dan Roniya yang jadi ‘pengganti’.”
“Itu...”
“Kami berdua, hanya ‘jabatan’ saja yang menonjol. Kami hanya memainkan peran yang diharapkan oleh orang-orang di sekitar, dan tidak pernah mendapat kesempatan untuk menemukan jati diri kami sendiri. Bahkan menjadi seorang wanita pun, kami tidak bisa menemukan alasan yang lebih dari sekadar melahirkan Dukun untuk generasi berikutnya.”
“Itu...”
Memang, mungkin saja ingin membuang segalanya.
“Roniya, karena sifatnya seperti itu, meskipun dia bertanya-tanya ‘siapakah aku?’, dia tidak bisa mengambil tindakan. Dia anak yang baik, jadi dia berusaha keras memenuhi harapan orang-orang di sekitarnya.”
Fakta bahwa Roniya, meskipun kembaran Rauni, berbicara dengan cara ras Manusia yang 'modern' adalah hasil dari usahanya untuk bersikap sopan.
“Sementara Beta, saat mencoba mencari cara bicara yang khas Peri, entah bagaimana cara bicara ini malah jadi kebiasaan.”
“Jangan-jangan—”
Tentu saja, ada makna mencari jawaban atas pertanyaan siapakah dirinya sendiri.
Namun, pada saat yang sama, bukankah Rauni berusaha melihat dunia ‘luar’ atas nama adik kembarnya—‘menggantikan’ Roniya dan menunjukkan wujud yang tidak terikat oleh posisi?
“Hmm? Entahlah~” Rauni tertawa cengengesan lagi.
Senyum itu adalah wajah ‘Peri Nakal’ yang sudah dikenal Yuma dan rekan-rekannya.
Mungkin saja bahkan senyum itu adalah salah satu upayanya dalam mencari jati diri. Tingkah lakunya yang melenceng dari kesan 'Peri' yang umumnya dibayangkan oleh ras Manusia—apakah itu semacam pertanyaan terhadap dunia?
“Yah, itu memang perjalanan untuk memastikan apa yang bisa dan tidak bisa Beta lakukan. Dalam artian itu, mengalahkan Raja Iblis sungguh tepat.”
“Ternyata memang hanya sampingan saja.”
“Yah, jika hasilnya bagus, semua baik-baik saja, jangan salahkan Beta untuk itu~,” Rauni mengangkat kedua tangan.
“Pada akhirnya, Beta itu Dukun Pohon Dunia, sekaligus kakak Roniya, rekan Pahlawan Yuma, Peri nakal peminum berat, dan juga pahlawan penumpas Raja Iblis.”
“...Benar.”
“Ternyata Beta sendiri yang memaksakan 'gelar' pada diri sendiri. Beta bebas memilih dan menyebut diri sendiri apa pun yang beta suka kapan pun beta mau. Hanya itu saja. Sungguh bodoh diri beta ini, hidup seratus tahun tapi tidak menyadari hal sesederhana ini.”
Sambil berkata begitu, Rauni dengan cekatan mengambil tongkat sihir yang diletakkan di sampingnya, dan memutarnya.
“Meskipun ini hal yang sederhana, dalam artian ini menjadi pemicu kesadaran itu, mengalahkan Raja Iblis ternyata tidak sia-sia~.”
“Kasihan Raja Iblis yang dikalahkan hanya sebagai sampingan pencarian jati diri Rauni.”
“Hahaha. Benar sekali~.”
“...Tunggu sebentar?” Yuma mengangkat satu tangan dan mengingat ucapan Rauni.
“Kau baru saja bilang hidup seratus tahun?”
“Ya. Memangnya kenapa~?”
“Rauni, di usia seratus tahun, kau masih bilang mencari jati diri... seperti gadis remaja?”
“Jangan samakan dengan ras Manusia. Hati Peri berdetak lambat, seperti bertambahnya lingkaran tahun. Yah, intinya, meskipun sudah seratus tahun lebih, hati ini selalu berusia lima belas tahun~” kata Rauni sambil membusungkan dadanya yang rata.
“Pemalsuan usia...” Yuma tersenyum kecut.
“—Ibu!” suara itu bergema.
Yuma menoleh, dan terlihat tiga sosok datang dari arah batang Pohon Dunia yang menjulang seperti gunung.
Satu adalah pemuda Peri bertubuh jangkung.
Dua lainnya adalah gadis Peri kecil, sama seperti Rauni.
“............’Ibu’!?”
Suara itu mungkin diucapkan oleh gadis-gadis itu.
Yang berarti...
“Tunggu, tunggu, jangan-jangan Rauni sudah menikah!?”
“Apa Beta belum bilang?” tanya Peri Nakal itu sambil memiringkan kepala.
Dua gadis yang mirip Rauni, namun berkesan lebih muda, melompat ke arahnya dan bermain-main seperti anak kucing.
“Ibu lama sekali tidak pulang!”
“Padahal Ibu janji mau cerita tentang dunia luar!”
Mereka berdua menarik Rauni dari kiri dan kanan sambil mengeluh, menciptakan pemandangan aneh seolah Rauni terpecah menjadi tiga oleh sihir ilusi.
Dan kemudian—
“Pada akhirnya, Beta ini adalah seorang ibu dan juga seorang istri. Beta diingatkan akan hal itu lagi. Tidak ada malam selama perjalanan di mana Beta tidak memikirkan kalian,”
Rauni mengarahkan pandangannya pada pemuda Peri yang berdiri sambil tersenyum kecut.
Mungkin dia adalah suami Rauni.
Dilihat dari dekat seperti ini, mereka sangat serasi, dan jika dikatakan mereka adalah pasangan suami istri, sama sekali tidak ada kejanggalan...
“Eh, eh, tapi, L-Leona—kan...” Yuma tergagap.
Ia mengira Rauni dan Leona saling mencintai.
Dia berasumsi bahwa mereka tidak menyatakan diri sebagai kekasih secara terbuka karena perbedaan ras...
“Ada apa denganku?” Leona bertanya, tanpa menunjukkan tanda-tanda kekecewaan atau patah hati.
Sebaliknya, Sang Ksatria Suci itu menatap keluarga Rauni dengan tatapan penuh kasih sayang, seolah melihat sesuatu yang menyenangkan.
“A-ada apa...?”
Jadi, ini cuma prasangka Yuma saja ya?
“Ah—............”
Ternyata dia memang tidak tahu apa-apa.
Saat Yuma memegangi kepalanya karena berpikir demikian.
“Nah, karena itu, Tobias.” kata Rauni, menatap pemuda Peri yang adalah suaminya.
“Mulai sekarang, jangan berani-berani memanggil istrimu ini ‘Wakil Kepala Suku’. Kalau engkau panggil lagi, Beta akan memukulmu.”
“Itu—”
Sambil menunjuk ke arah Tobias yang tampak bingung.
“Panggil saja Rauni. Mengerti?”
“...Aku mengerti. Wakil Kepala—tidak. Aku mengerti. Jangan pukul aku, Rauni. Istriku yang terkasih.”
Tobias menghela napas, berkata demikian, dan mengulurkan tangannya.
“Selamat datang di rumah.”
“Ya. Beta pulang~” Rauni berkata sambil melepaskan tinju yang sempat diangkatnya, meraih tangan suaminya, dan berdiri.
Dan kemudian—
“—Yuma.”
Rauni menoleh ke belakang, melihat Yuma.
“Maaf, Beta tidak bisa ikut pawai kemenangan. Sejak awal, ini hanya perjalanan ‘sambilan’ saja. Beta tidak punya hak untuk memamerkan diri di Ibu Kota Kerajaan sebagai ‘Rombongan Yang Mulia Pahlawan Penumpas Raja Iblis’.”
“...Rauni, itu...”
Kau juga?
Yuma hampir mengatakan itu—tetapi sebaliknya, ia hanya tersenyum kecut dan menutup mulutnya.
Bagian 8
Keesokan hari setelah perjamuan.
Jembatan yang dibangun oleh Rauni dan Roniya dengan Sihir Arwah membentang dari Negeri Peri ke dunia fana.
Yuma dan rekan-rekannya harus meninggalkan tempat itu dengan melewati jembatan tersebut, menaiki kereta yang sudah diperbaiki seadanya. Untungnya, karena jatuh di air, kuda-kuda mereka tampaknya tidak terluka.
“Anda bisa tinggal lebih lama lagi...” Roniya berkata, mencoba menahan mereka dengan ekspresi agak menyesal.
Namun, Yuma dan rekan-rekannya tidak bisa terus menunda kepulangan mereka ke Ibu Kota Kerajaan. Mereka memang sudah melaporkan bahwa Raja Iblis telah dikalahkan menggunakan Sihir Suci 〈Bisikan Arwah〉, tetapi perjalanan ini belum berakhir sampai mereka bertemu langsung dengan Raja dan menceritakan kejadian yang sebenarnya.
“Benar. Kalau mau, Yuma saja boleh menginap semalam lagi, dan minta Roniya untuk membuahi—”
“...Rauni.”
Roniya menyipitkan mata dan mendesis, menempelkan tongkat sihir ke leher Rauni—seperti pedang.
“...Yah, tidak perlu terburu-buru~” Rauni mengangkat bahu.
“Namun, kami selalu menyambut ‘Rombongan Yang Mulia Pahlawan’. Sesekali datanglah untuk bermain. Siapa pun yang pernah menyeberang ke desa kami seharusnya bisa melihat Pohon Dunia dengan samar, jadi jika kalian datang mendekat dan memanggil dengan keras, Beta akan membuatkan jembatan untuk kalian.”
Menurut Rauni, setelah mempertimbangkan situasi dunia yang ia lihat dan dengar di luar, mereka telah memutuskan untuk secara teratur menjalin komunikasi dengan ‘dunia luar’.
Meskipun berumur panjang, mereka tidak bisa dan tidak boleh tetap sama selamanya. Tradisi memang penting, tetapi jika mereka menolak berubah dan tertinggal dari dunia, suatu saat mereka akan kehilangan sesuatu yang penting.
Oleh karena itu, penting untuk memilih untuk berubah sendiri.
Meskipun itu hanya sedikit demi sedikit.
Tampaknya Rauni telah meyakinkan para tetua demikian.
“Yah, begitulah. Setidaknya sekali setiap lima puluh tahun, datanglah berkunjung.”
“...Yah, kalau kami masih hidup,” Yuma tersenyum kecut, memegang kendali di kursi kusir, dan menjalankan kereta.

