Victoria of Many Faces Jilid 1 Bab 12

Tefuda ga Oome no Victoria Vol 1 Bab 12 - Jeffrey mengantarkan surat Victoria, meninggalkan duka dan tanda tanya. Baca kelanjutannya di Yomi Novel
Ilustrasi Bab 12 dari Seri Tefuda ga Oome no Victoria | Yomi Novel
Gambar 16. Bab 12

Tefuda ga Oome no Victoria Volume 1 - Ordo Ketiga Ksatria

Translated by : Koyomin

Bagian 1

Sayap utara Kastil Ashbury.

“Kau. Ke sini sebentar.”

Direktur administrasi menyerahkan beberapa dokumen kepada bawahannya mengenai laporan tentang perilaku sang marques dan putranya.

“Kita bisa menutup perkara ini sekarang. Perilaku marques dan anaknya benar-benar memalukan.”

“Untung saja insiden di soiree itu membuka kedok perbuatannya.”

Direktur administrasi tampak ragu.

“Marques itu sepertinya tidak mengerti bahwa tindakannya juga menimbulkan kebencian dan amarah rakyat terhadap kaum bangsawan. Sulit dipercaya, mengingat kemampuan yang dulu ia miliki.”

“Putranya juga sama bermasalahnya. Ia sering terlihat di tempat perjudian bawah tanah, dan kabarnya telah meminjam uang dalam jumlah besar dari orang-orang mencurigakan. Jika gelar bangsawan diwariskan padanya, ia hanya akan menyalahgunakannya untuk keuntungan pribadi.”

Sambil memutar pena kaca di ujung jarinya, sang direktur bergumam. “Mungkin itu sebabnya ia terlibat dalam perjudian sejak awal. Marques itu pasti sudah mengatur segalanya agar anaknya selalu diuntungkan. Jujur saja, aku masih tak habis pikir bagaimana mereka bisa berakhir seperti ini, padahal keduanya dulu begitu cakap.”

Adalah kebodohan besar bagi kaum bangsawan menimbulkan kemarahan rakyat. Ia teringat pada begitu banyak keluarga kerajaan yang hancur karena pemberontakan dan kemarahan rakyat sepanjang sejarah.

“Jadi, wanita berambut merah itu masih belum ditemukan?”

“Belum, dan setelah menyelidiki pria itu, tampaknya ia hanya berusaha menyerang sang marques karena dendam pribadi, jadi motif wanita itu membantu pelariannya masih belum jelas. Daerah pencarian pun terlalu luas, membuatnya sulit ditemukan.”

“Begitu, ya.”

“Keberadaan adik perempuannya juga belum diketahui. Menurut kesaksian para tetangga, kondisinya tidak stabil secara mental, jadi mungkin saja ia sudah tidak hidup lagi. Ada kemungkinan ia bersama kakaknya, tapi sejauh ini belum ada petunjuk.”

“Hmm. Pria itu memang punya alasan pribadi, tapi karena ia melakukan kejahatannya di dalam istana kerajaan, sang raja tidak punya pilihan lain.”


Departemen administrasi terletak di sayap utara kastil yang remang-remang, jauh dari kemegahan departemen seperti Keuangan dan Urusan Luar Negeri.

Tiga departemen menempati sayap utara itu: Departemen Perbaikan di lantai dua, Pengelolaan Dokumen di lantai tiga, dan Departemen Pemeliharaan Institusional di lantai empat.

Namun, ketiga departemen itu sebenarnya merupakan satu kesatuan yang dikenal dengan nama “Ordo Ketiga para Kesatria,” atau lebih singkat, “Ordo Ketiga.”

Hakikat sejati Ordo Ketiga sangat dirahasiakan, hanya diketahui oleh segelintir orang. Bahkan beberapa menteri pun tidak memahami secara pasti fungsi lembaga tersebut; mereka hanya tahu bahwa organisasi itu memang ada.

Kepala Ordo Ketiga secara resmi adalah perdana menteri, tetapi orang yang benar-benar menjalankan operasinya adalah kepala Departemen Pemeliharaan Institusional.

Para kepala departemen lain disebut “menteri,” sedangkan kepala departemen ini dikenal sebagai “direktur administrasi”—sebutan yang oleh masyarakat umum dianggap bernada merendahkan.

Direktur administrasi saat ini dulunya adalah pegawai negeri yang dipilih berkat kecerdasannya, integritas tinggi, ketajaman penilaian, serta kemampuannya menghindari konflik.

Pernah, sang putra mahkota berkata, “Kalau kau ingin tahu akar dari semua gosip di kerajaan, tanyakan saja pada direktur administrasi.” Dan Ucapannya itu bukan candaan; ia benar-benar serius.

Ketepatan analisis direktur administrasi bahkan kadang membuat perdana menteri sendiri merasa tidak tenang.

Meski sering mengeluh bahwa departemennya hanya kebagian tugas-tugas membosankan kerajaan, ia tetap bekerja dengan ketekunan dan semangat tinggi.


Kini sendirian, sang direktur membuka laci terkunci dan mengeluarkan sebuah amplop bertanda PENDING. Dari dalamnya, ia menarik tiga berkas.

Satu berkas berisi laporan tentang Victoria Sellars, yang ia selidiki atas perintah Paduka Raja. Berkas kedua mengenai wanita misterius dari insiden soiree, dan yang terakhir tentang kasus pelarian tahanan.

“Mereka semua gadis muda. Dan Victoria Sellars baru saja memasuki kerajaan ini.”

Pria itu menyibak rambut peraknya yang berkilau dengan sedikit guratan putih, lalu menghela napas panjang. Jika laporan Randall bisa dipercaya, Victoria Sellars bersih dari segala tuduhan. Namun, beberapa hal di dalam laporan itu bertentangan dengan informasi yang ia ketahui sendiri.

Sebagai contoh, laporan menyebutkan bahwa keberadaan orang tua Victoria tidak diketahui. Namun ia pernah mendengar keduanya tewas dalam kebakaran. Mustahil orang yang meninggal dalam kebakaran dianggap sekadar hilang.

Dan ketika berbicara tentang kuda, sepertinya, Victoria mengaku diajari menunggang oleh kakak laki-lakinya yang bertugas di militer, Padahal, Victoria Sellars yang asli tidak memiliki kakak sama sekali.

“Kau terlalu ceroboh, Victoria,” bisik direktur dengan raut wajah cemas sambil menatap dokumen-dokumen tersebut.

Ada satu hal lagi. Nalurinya mengatakan bahwa Victoria adalah wanita berambut merah yang membantu pria itu kabur dari penjara, meski ia tak memiliki bukti sedikit pun untuk menguatkannya.

Jika Victoria terlibat dalam ketiga insiden ini, untuk apa ia datang ke kerajaan ini? Dan mengapa ia menolong seorang pria yang dijatuhi hukuman mati tanpa memperoleh apa pun darinya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, seolah menunggu jawaban langsung darinya.


Direktur itu pernah memberi saran kepada suami sepupunya, Earl Anderson. “Aku tahu kau cemas soal pelajaran bahasa Clark. Bagaimana kalau kau mempekerjakan Victoria sebagai pengajarnya? Itu juga akan membantunya, mengingat penghasilannya berkurang sejak Paman terluka.” Ia sengaja mengusulkan hal itu agar bisa mengawasi Victoria dari dekat.

Secara pribadi, ia sebenarnya menyukai gadis itu. Ia berutang budi padanya —Victoria telah membebaskan hati adik laki-lakinya dari penjara batin yang menahannya selama satu dekade. Ia berharap hubungan Jeffrey dan Victoria dapat berkembang dengan baik. Namun, terlalu banyak hal tentangnya yang masih misterius.

Mungkin Victoria sedang melarikan diri dari sesuatu. Jika alasannya masuk akal, ia ingin melindunginya. Tapi bisa saja alasan itu justru memaksanya menyerahkan gadis itu kepada pemerintahan negara lain.

Dan bila ternyata Victoria memang melakukan kejahatan, ia tidak bisa mempertaruhkan hubungan diplomatik Ashbury demi satu perempuan asing.

“Ugh,” Edward Asher mengeluh pelan. Aku tidak akan memberitahu perdana menteri tentang dugaanku, dia memutuskan. Selama ini, ia hanya sekadar mengingatkan raja dan perdana menteri untuk mempertimbangkan segala kemungkinan.

“Perdana menteri itu terlalu terburu-buru. Dia pasti langsung berkata, ‘Cari alasan untuk mendeportasi gadis itu.’”

Ia menyisir rambutnya dengan jari, kebiasaan yang selalu muncul setiap kali ia tenggelam dalam pikiran.


Edward kemudian mengembalikan tiga berkas itu ke dalam amplop semula, memasukkannya ke laci, lalu menguncinya. Ia tahu kunci sederhana itu takkan menghentikan orang yang benar-benar berniat membukanya, tetapi kalau ada kunci, nalurinya adalah menggunakannya. Begitulah sifatnya.

Kali ini, ia memanggil bawahan lain.

“Laporan dari Miles di mana? Oh, begitu. Semua berjalan lancar? Katakan padanya lanjutkan seperti biasa.”

Ia yakin adiknya kini sudah menyadari bahwa Victoria bukanlah gadis biasa.

Semoga Jeff tidak bertindak gegabah, batinnya. Untuk sesaat, Edward lupa jabatannya dan kembali menjadi sosok kakak yang khawatir pada adik yang terlalu lembut dan penuh pengabdian.

Bagian 2

“Miles, aku akan membawa Aleg keluar.”

“Baik. Putrimu tidak ikut hari ini?”

“Tidak. Dia baru saja sembuh dari sakit, jadi aku meninggalkannya di rumah.”

“Begitu, semoga dia cepat pulih.”

“Terima kasih.”

Dan itulah terakhir kalinya Miles melihat Victoria. Biasanya, ia membawa Aleg keluar pagi-pagi dan kembali dalam setengah jam hingga satu jam. Namun hari itu, hingga sore, ia belum juga kembali.

Dia bilang putrinya sendirian di rumah. Apa sesuatu terjadi padanya?

Cemas, Miles memutuskan pergi menemui Lady Yolana. Di rumah wanita tua itu, ia melihat seekor kuda dengan pelana berukir lambang kesatria.


“Selamat malam. Saya ingin menanyakan soal Victoria. Nama saya Miles, saya tinggal di belakang kediaman ini.”

“Tunggu sebentar, ya. Saya akan memanggilkan seseorang.”

Tak lama kemudian, pelayan itu kembali dan menuntunnya ke ruang tamu. Di sana duduk seorang pria berotot berambut perak—mungkin pemilik kuda di luar.

“Maaf, saya tidak tahu kalau Anda sedang menerima tamu. Nama saya Miles, saya tinggal di belakang rumah ini. Saya datang karena ingin menanyakan tentang Victoria.”

Begitu mendengar nama “Victoria”, pria berambut perak itu segera menoleh tajam padanya. Mungkin memang ada sesuatu yang terjadi.

“Aku Yolana Haynes. Ada urusan apa dengan Victoria?”

“Saya membantu merawat kudanya. Tadi pagi dia datang menjemput Aleg, tapi belum juga kembali. Saya khawatir sesuatu menimpanya di luar sana.”

Lady Haynes dan pria berambut perak itu saling berpandangan sejenak, lalu menatap Miles bersamaan.

“Jadi kau yang menjaga kudanya Victoria?” tanya pria itu dengan nada tajam.

“Ya. Dia membayar saya untuk merawatnya.”

Tiba-tiba, Miles melihat beberapa surat di atas meja dekat Lady Haynes.

“Namamu Miles, katamu? Tapi orang yang tinggal di belakang rumahku dulu bernama Peter. Dia mantan pegawai pemerintahan.”

“Benar, saya baru pindah beberapa waktu lalu. Peter sudah pindah ke rumah putrinya.”

“Begitu. Yah, Victoria sudah tidak di sini lagi. Sepertinya dia berangkat pagi-pagi sekali. Dia meninggalkan sepucuk surat untukmu. Aku sempat heran siapa ‘Miles’ yang dimaksud, rupanya kau.”

Lady Haynes menyodorkan amplop kepadanya. Miles segera membukanya dan membaca isinya.

Terima kasih sudah merawat Aleg dengan baik. Aku senang sekali bisa memungut kastanye bersamamu.

Hanya itu yang tertulis. Pria berambut perak itu meminta izin melihat suratnya, dan Miles memperlihatkannya.

“Aku lega mendengar Victoria tidak apa-apa. Kalau begitu, saya pamit.” Miles terseyum dan meninggalkan kediaman itu, lalu kembali ke tempat tinggal sementaranya. ia menyiapkan kudanya dan menungganginya menuju kastil.


Jeffrey berdiri dari kursinya. “Lady Yolana, aku akan mengantarkan sisa surat-surat ini.”

Ia mengambil beberapa amplop yang ditujukan kepada Lady Eva, Clark, Bernard, dan Edward, lalu menyelipkannya ke dalam saku mantel.

“Maaf sudah membuatmu repot datang sejauh ini dan harus ikut membantu. Tapi boleh aku bertanya sesuatu, Kapten?”

“Tentu silahkan.”

“Apakah Victoria benar-benar tidak memberitahumu tentang semua ini?” Lady Yolana langsung menyesali ucapannya begitu kalimat itu keluar. Biasanya, sang kapten selalu menampilkan senyum tenang, tapi kali ini ekspresinya berubah sejenak tampak penuh luka, sebelum akhirnya lenyap sama sekali.

“Tidak. Sayangnya, dia tidak mengatakan apa pun padaku.” Ia kembali menampilkan senyum samar, membungkuk hormat, lalu berpamitan.


“Susan! Susan?”

“Ya, Nyonya?”

“Victoria dan Nonna pasti akan kembali. Hentikan tangisanmu.” Meski menegur, wajah Lady Yolana sendiri terlihat sangat sedih.

Surat yang ditujukan untuknya berisi permintaan maaf dan ucapan terima kasih. Saya sudah membereskan sebagian barang, tapi tolong buang sisanya, begitu bunyinya. Jelas Victoria tidak berniat untuk kembali. Barang-barang yang ditinggalkannya pun hanya sedikit.

Semoga kau selamat. Dan semoga suatu hari kau pulang, Lady Yolana berdoa.

Baru enam bulan mereka saling mengenal, tapi perpisahan ini membuat hatinya hancur. Ia terus bertanya-tanya, mengapa Victoria harus hidup dengan cara seperti itu, Namun, semakin ia berpikir, semakin ia yakin. Victoria pasti telah melakukan sesuatu yang berat, dan kini sedang melarikan diri darinya.

Ingatannya kembali pada hari ketika Victoria membantu melepaskan topinya yang tersangkut di cabang pohon.


Jeffrey menunggang kudanya dan bergegas mengantarkan surat-surat itu. Setiap penerima yang membacanya menunjukkan keterkejutan dan kesedihan.

Clark bersikeras ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi Jeffrey hanya bisa menjawab bahwa ia pun tidak tahu. Ia kemudian segera kembali ke asrama kesatria, masuk ke ruang kerjanya, dan membuka surat yang ditujukan padanya sendiri.

Tulisan tangan Victoria rapi dan tenang.


Untuk Jeffrey Asher,

Maaf karena aku pergi begitu tiba-tiba. Ada sesuatu yang terjadi, dan aku tak bisa lagi tinggal di rumah itu. Terima kasih sudah menyemangatiku, memperlakukanku dengan lembut, dan tertawa bersamaku.

Hidup di sini adalah masa paling bahagia dalam hidupku.

Sejujurnya, aku sempat berniat pergi lebih awal, tapi aku terlalu menikmati hari-hari di sini hingga terus menundanya.

Piknik pertamaku bersamamu adalah kenangan yang tak akan kulupakan. Aku menyukai saat kita makan kastanye panggang dan berbincang bersama.

Semua kenangan indah itu ada berkatmu.

Terima kasih untuk segalanya. Maafkan aku.

—Victoria


“Jangan berterima kasih hanya karena piknik dan kastanye itu. Sudah berapa kali aku memohon padamu untuk tidak menghilang begitu saja?”

Bagian 3

Tiga hari setelah kepergian Victoria.

“Kapten, ada seorang wanita yang kutemui di kedai. Katanya, ‘Seorang kesatria berambut perak pernah menolongku, jadi aku ingin berterima kasih padanya,’ lalu ia membayarkan minumanku! Dia banyak bertanya tentang Anda. Apakah Anda pernah menolong seseorang?”

“Tidak… seingatku tidak. Tunggu, seperti apa penampilannya?”

Bawahan muda Jeffrey berpikir sejenak, “Sepertinya usianya sekitar tiga puluhan. Dia wanita yang ramah sekali, wajahnya bulat, matanya gelap, dan rambutnya hitam. Serta Cantik.”

Seorang wanita menanyakan dirinya dua hari setelah Victoria menghilang… Dia tidak ingat pernah membantu siapa pun. Itu terlalu mencurigakan untuk disebut kebetulan, pikirnya. Jadi, dia mengumpulkan semua ksatria lainnya dan menanyakan kepada mereka apakah hal serupa pernah terjadi pada mereka.

“Ada gadis muda, mungkin dua puluhan, yang bertanya apakah Kapten punya kekasih. Katanya jatuh cinta pada pandangan pertama!”

“Aku bertemu wanita dengan anak kecil yang bilang pacar Anda pernah menolongnya, dan ia ingin mengucapkan terima kasih!”

“Ada pria di kedai yang memuji para kesatria dan membayarkan minumanku! Mungkin dia juga menanyakan soal Kapten, tapi aku sudah terlalu mabuk untuk ingat …”

Jelas ada sesuatu yang tidak beres.


“Dengarkan baik-baik, jika ada yang bertanya apakah aku sedang pacaran dengan seseorang, jujur saja. Aku juga tidak merasa pernah menolong siapa pun. Semua orang tahu Victoria tinggal di properti Lady Yolana Haynes. Untuk sementara, aku tugaskan Pasukan Kedua menjaga kediaman Lady Yolana, terutama pada malam hari. Mengerti?”

“Ya, pak!”

Malam itu, Jeffrey menempatkan empat orang di rumah tamu dan lima di kediaman utama. Apa aku terlalu berlebihan? pikirnya. Namun, pada malam ketiga, ia terkejut menemukan pasukan Ordo Ketiga juga berada di lokasi.

Para kesatria dari Ordo Kedua sama terkejutnya melihat sekelompok pria berpakaian serba hitam dengan topi rajut menutupi mata.

“Aku tidak mendapat kabar kalau kalian akan datang.”

“Kapten Asher dari Ordo Kedua, kami menerima laporan dari sumber lain. Menurut informasi, regu pembunuh dari Hagl akan segera menyerang kediaman ini.”

“Regu pembunuh dari Hagl?”

Ketika Jeffrey mendengar kata-kata itu, dia tidak punya pilihan selain menuruti. Tugas Ordo Kedua adalah menjaga keamanan di kota. Mulai saat itu, Ordo Ketiga bertanggung jawab menangani para pembunuh, sementara Ordo Kedua fokus pada perlindungan perbatasan perkebunan. Tapi Jeffrey bersikeras ingin membantu Ordo Ketiga dalam menangani para pembunuh.

“Itu akan menyulitkan kami. Jangan salahkan kami kalau kau terluka atau mati.”

“Aku mengerti.”

Keesokan harinya, dengan keputusan resmi untuk menjaga bersama antara Ordo Kedua dan Ordo Ketiga, para pembunuh akhirnya muncul di hadapan Jeffrey dan pasukannya yang bersembunyi dalam gelap di sekitar rumah tamu.

Bagian 4

Empat anggota regu pembunuh dari Hagl menunggang kuda sepuluh hari hingga tiba di ibu kota Ashbury.

“Pria berotot berambut perak yang kelihatan seperti bangsawan dalam laporan itu hampir pasti adalah Jeffrey Asher, kapten Ordo Kedua.

Mereka menghubungi jaringan orang yang tinggal di Ashbury untuk mencari tahu di mana pacar Jeffrey tinggal. Mereka juga menyuap warga Asbury setempat demi informasi.

Dalam beberapa hari saja, mereka berhasil mengungkap nama samaran Chloe dan alamat tempat tinggalnya.

“Ya. Chloe mungkin tinggal di pondok itu.”

Mereka memantau rumah itu pada siang hari dan menandainya sebagai target.

Ketika malam tiba, keempatnya mendekati kediaman Yolana Haynes. Lampu masih menyala di rumah utama dan di pondok tamu.

“Tunggu satu jam setelah lampu padam. Tiga orang masuk, satu orang berjaga,” kata pemimpin mereka. Yang lain mengangguk.

Akhirnya lampu padam. Mereka menunggu satu jam lalu merayap ke pondok tamu. Satu orang dari cekatan membuka kunci pintu depan. Mereka masuk dan berpisah.

Dua dari penyusup membuka pelan pintu kamar utama dan menyelinap masuk. Sang pemimpin dan rekannya mendekati sosok yang terbaring di ranjang. Saat mereka menghunus pisau, terdengar bisik-bisik.

Mereka berputar dan sempat menangkis pisau dengan pisau mereka. Tidak—itu bukan pisau; melainkan pedang, yang diayunkan oleh seorang pria besar. Sang pemimpin memiliki penglihatan malam tajam, dan dalam gelap, rambut perak pria itu berkilau, dan bertanya-tanya, Apa yang dia lakukan di sini?

Tak ada waktu untuk melawan. Pria berbadan besar itu menghantam mereka dengan kekuatan kasar dan kecepatan serangan yang membuat mereka kewalahan.

Sementara itu, rekan sang pemimpin berkelahi dengan pria lain, tetapi cepat ditaklukkan oleh sekelompok pria berpakaian hitam yang menerjang masuk, menahan tubuhnya ke lantai dan membuatnya tak sadarkan diri dengan menekan titik-titik lehernya.

Pemimpin regu pembunuh itu berusaha terus bertarung sambil mencari celah melarikan diri. Saat ia menangkis pedang pria berambut perak, orang-orang berpakaian hitam menjatuhkannya dengan semacam tali. Ia terjungkal dan segera diborgol.

Anggota ketiga menyelinap ke kamar anak dan menahan langkah ketika mendengar keributan dari kamar sebelah. Apa dua rekannya telah tertangkap?

Saat ia bersiap berlari, ia dipukul di ulu hati dan dibenturkan dengan sebuah batang besi. Ia meraung dan membeku ketika seorang mendekat dari belakang lalu melilitkan lengan di lehernya untuk mencekik.

Pembunuh pengintai ditempatkan di luar. Tiba-tiba, ia merasakan pisau menekan lehernya tepat saat ia melihat rekan-rekannya masuk ke dalam pondok. Seorang pria lain dengan pisau berada tepat di depannya.

“Bergerak dan kau mati. Bersuara dan kau mati.”

Pria itu berbicara dalam bahasa Hagl. Pengintai itu sempat berpikir melawan sambil mengangguk cemas. Namun ia segera dikelilingi oleh pria-pria berpakaian hitam. Kapan mereka sempat datang? ia bertanya-tanya.

Beberapa saat kemudian, banyak lentera dinyalakan untuk menerangi taman di kediaman.


Pria-pria berpakaian hitam itu dengan cekatan menanggalkan sepatu dan sabuk para pembunuh yang tak sadarkan diri, menelanjangi mereka hingga setengah badan, mengikat tubuh mereka, lalu mengangkatnya di pundak dan membawanya pergi. Semua berlangsung begitu cepat, nyaris tanpa suara. Dari pakaian mereka ditemukan berbagai senjata kecil yang mematikan.

Seorang anggota Ordo Ketiga menghampiri Jeffrey dan berkata, “Kerja bagus,” lalu menghilang dalam gelap.

Lady Yolana dan para pelayannya ternyata telah diam-diam dievakuasi sejak siang.

Saat meninggalkan kediaman keluarga Haynes yang kini kosong, Jeffrey sempat melirik ke arah pondok tamu, namun segera memalingkan pandangan dan melangkah menuju kastil.


Para pembunuh itu langsung dibawa ke ruang bawah tanah kastil. Meski malam sudah larut, tempat itu ramai oleh lalu-lalang orang.

Beberapa waktu kemudian, seorang pria berpakaian hitam yang hanya memperlihatkan matanya masuk ke penjara.

Para pembunuh ditempatkan di sel terpisah agar tidak bisa saling melihat.

“Jadi kau pemimpinnya? Oh, benar, kau tak bisa menjawab karena mulutmu disumpal. Kalian terkejut, ya? Tak menyangka akan ada yang menunggu. Ashbury punya Pasukan Operasi Khusus sendiri, meski tidak secanggih milik kalian. Kami sudah tahu kalian akan datang.” Ia berbicara lancar dalam bahasa Hagl. Kemudian ia berseru, “Masuk!” dan memanggil seseorang dari luar sel.

“Kau takut akan disiksa? Jangan khawatir. Tidak seperti kalian, kami tidak menggunakan cara-cara biadab. Kami hanya memberimu suntikan.”

Pemimpin regu pembunuh itu diikat pada kursi, mulutnya tersumbat kain. Ia berusaha meronta sambil menggigit sumbal di mulutnya.

“Tenang saja. Rasanya sedikit perih, tapi tidak akan membunuhmu. Itu hanya akan membuatmu merasa sangat rileks. Berbeda dengan di negaramu, kami tidak mencabut kuku jari orang atau menyiksa mereka dengan metode waterboarding di sini. Setidaknya, kami tidak melakukannya selama bertahun-tahun. Lagipula, aku tidak suka melihat hal-hal seperti itu.”

TN Yomi: Waterboarding adalah metode penyiksaan di mana sensasi tenggelam disimulasikan untuk menginterogasi atau menghukum seseorang. Selama prosedur ini, seorang individu diikat ke papan miring, dengan kaki terangkat dan kepala di bawah. Sebuah kain diletakkan di atas wajahnya, lalu air dituangkan ke atasnya, menyebabkan orang tersebut mengalami refleks panik dan tersedak karena merasa tenggelam.

Pria berpakaian hitam menahan pembunuh bayaran yang meronta, sementara pria lain yang berpakaian seperti dokter memberikan suntikan cepat padanya. Dokter itu menghitung sebentar, lalu melirik ke arah pembunuh bayaran..

“Aku pikir efeknya sudah mulai bekerja,” bisiknya pada interogator.

Kerajaan Ashbury membeli obat-obatan dari negeri jauh di seberang lautan. Tempat di mana penduduknya dikenal berambut dan bermata hitam. Obat-obatan itu mahal, tapi sangat manjur.

Selain obat untuk luka bakar, luka sayat, dan pereda nyeri, kerajaan juga mengimpor serum kebenaran ini. Sebagai gantinya, Ashbury mengekspor kayu hitam dan cendana merah berkualitas tinggi ke negeri tersebut.


Interogator menarik kursi dan duduk di depan sang pembunuh. Pintu sel dikunci demi keamanan, tapi itu tak menghalanginya. Ia mulai mengajukan pertanyaan dalam bahasa Hagl.

“Sekarang. Siapa targetmu? Sebutkan namanya.”

Ekspresi sang pembunuh kini tenang. Pupilnya mengecil, tubuhnya tampak rileks. Orang yang berdiri di belakangnya melepas sumbal dari mulutnya.

“Chloe. Kami datang untuk membunuh Chloe.”

“Dan siapa Chloe ini?”

“Agen tertinggi Pasukan Operasi Khusus. Dia beramut cokelat, mata cokelat, postur biasa, dan tinggi rata-rata. Usianya dua puluh tujuh.”

“Oh, agen tertinggi, ya? Sangat menarik. Dan kenapa kalian ingin membunuhnya?”

“Dia membelot.”

“Dia melakukan kesalahan apa?”

“Tidak. Suatu hari dia pergi begitu saja. Yang Mulia bilang, anjing yang tak setia kepada tuannya harus dibasmi.”

Interogator mengangguk beberapa kali.

“Aku dengar tidak mungkin keluar dari organisasi, meski kau mau. Apa itu benar?”

“Keluar? Keluar dari organisasi?”

“Benar. Apakah kau bisa berhenti jika kau mau atau tidak?”

“Belum pernah ada yang mundur. Kami bekerja selama mampu.”

Pembunuh itu bertindak seolah-olah pria itu telah menanyakan pertanyaan yang sangat aneh kepadanya.

“Banyak pekerjaan di sana. Mengajar, urusan kantor, membersihkan. Kami tidak pernah meninggalkan organisasi.”

Interogator bertukar pandang dengan pria yang berdiri di belakang sang tahanan. Pria itu mengangkat bahu penuh kejengkelan.

“Kau tahu, disini di Asbury, kita menyebutnya ‘perbudakan.’ Budak yang tetap menerima gaji. Sekarang sudah jelas situasinya. Bagaimanapun, kalian masuk ke kerajaan kami dengan dokumen palsu dan memasuki properti bangsawan membawa senjata. membobol rumah, dan mencoba membunuh penghuninya. Itu kejahatan berat. Baiklah. Selanjutnya, sebutkan nama semua kompmu yang tinggal di kerajaan ini.”

Interogasi berlangsung beberapa lama sebelum interogator akhirnya meninggalkan ruang bawah tanah. Bawahannya menyusul di belakang. Ia memanggil penjaga, “Obatnya akan segera habis efeknya, jadi jaga ketat. Aku akan menempatkan beberapa anggota keamanan di sini, tapi orang-orang ini terampil. Jangan lengah sedikit pun. Kalau sampai ada pelarian lagi, kepala kalian yang bakal melayang.”


Saat sang interogator menaiki anak tangga, ia menanggalkan penutup kepala, menampakkan rambut peraknya yang halus. Ia menoleh pada bawahannya di sampingnya. “Jaringan komunikasi yang kubangun sukses besar. Cukup mengesankan bahwa kita mendapat informasi lebih dulu daripada para pembunuh, kalau aku boleh berkata demikian.”

“Benar sekali, Pak.”

Jaringan komunikasi Edward Asher terdiri dari rangkaian utusan berkuda yang terus berganti rute, menjaga aliran informasi bahkan di malam hari.

“Perdana menteri bilang biayanya terlalu mahal untuk dipertahankan, tapi kita harus memakai pajak rakyat demi keselamatan mereka. Menurutku, biaya operasi dan pemeliharaan relatif murah jika itu bisa mencegah perang. Insiden ini justru membuktikan pendapatku.”

“Tepat sekali, Pak.”

“Kita harus menangkap semua kenalan mereka malam ini. Padamkan sumbernya sebelum mereka kabur.”

“Ya, Pak!”

Sebuah senyum puas terpatri di wajah Edward Asher saat ia menaiki tangga.

About the author

Koyomin
Yomi Novel adalah blog fan translation yang menerjemahkan web novel (WN) dan light novel (LN) Jepang pilihan ke dalam Bahasa Indonesia. Nikmati kisah fantasi, romansa, hingga dark story dengan terjemahan berkualitas dan update rutin.

Gabung dalam percakapan