Victoria of Many Faces Jilid 1 Bab 13

Tefuda ga Oome no Victoria Vol 1 Bab 13 - Victoria hidup sebagai Maria dan memulai hari baru bersama Nonna di Randall. Akankah kisah ini berlanjut.
Ilustrasi Bab 13 dari Seri Tefuda ga Oome no Victoria | Yomi Novel
Gambar 17. Bab 13

Tefuda ga Oome no Victoria Volume 1 - Kehidupan di Pertanian

Translated by : Koyomin

Bagian 1

Begitu demam Nonna mereda, aku membeli gerobak terkecil yang bisa kutemukan.

Setelah ia benar-benar pulih, aku membungkusnya hangat-hangat, menempatkannya di dalam gerobak, dan menempuh perjalanan sejauh mungkin selama masih ada cahaya. Saat kami melewati pos perbatasan menuju Randall, Nonna duduk santai di atas tumpukan barang, memakan buah dan camilan.

Saat ini, aku menyamar sebagai seorang wanita berambut hitam bernama Maria. Nonna adalah putraku berambut hitam bernama Lyle.

Nama Maria kudapat dari hasil penyelidikanku terhadap kehidupan Victoria yang asli. Maria juga merupakan orang hilang—ia pernah memasuki Ashbury dari Randall delapan tahun lalu dan tak pernah kembali. Waktu itu, usianya dua tahun lebih tua dariku dan ia tidak memiliki anak.

Karena Maria berambut hitam, awalnya aku tak mengira informasi itu berguna. Tapi ketika menemukan rambut hitam panjang di pasar terbuka, aku begitu gembira.


Sepanjang perjalanan melewati Randall, aku berusaha menjelaskan semuanya sejujur mungkin kepada Nonna.

“Jadi, kau kabur, Vicky?”

“Ya. Pekerjaanku dulu tidak mengizinkan siapa pun berhenti. Karena itu aku butuh rambut palsu dan harus mengganti nama. Itu juga alasan kita harus pindah. Aku kabur dari pekerjaanku dulu, jadi mungkin rekan-rekanku marah dan mengejarku. Maaf karena tidak bisa memberimu hidup yang damai dan tenang, Nonna.”

“Tidak apa-apa. Sekarang kita bisa pergi ke banyak tempat bersama.”

“…Terima kasih. Oh, dan mulai sekarang, bisakah kau memanggilku Maria, bukan Vicky?”

Nonna berpikir sejenak, lalu menjawab, “Boleh aku memanggilmu Ibu saja? Kalau aku memanggilmu dengan nama lain, aku bisa lupa dan tidak sengaja menyebutmu Vicky.”

Mendengar itu, aku begitu terkejut sekaligus bahagia hingga langsung memeluknya erat, mengangguk berulang kali. Selama ini aku tidak berani meminta agar ia memanggilku begitu.

“Ya. Ya, tentu saja boleh memanggilku Ibu! Terima kasih banyak.”

“Hah? Kenapa kau menangis?”

“Yah karena itu.”


Sekarang kami tinggal di Randall, di sebuah peternakan domba. Kami mulai menetap di sana saat musim gugur, cuaca yang sempurna untuk menikmati kastanye panggang. Tiga bulan telah berlalu sejak itu, dan kini angin dingin dari utara mulai bertiup seiring datangnya musim dingin.

Sewa tempat tinggal kami tidak mahal, dan sangat praktis karena kami bisa tinggal sekaligus bekerja di lahan yang sama. Kamar pelayan tempat kami menumpang cukup hangat dan bersih. Kami sering diberi daging domba untuk dimakan.

Di kamar itu ada tungku besar berbahan bakar kayu dengan cerobong asap yang juga bisa dipakai untuk memasak. Ranjang kami diisi jerami yang beraroma hangat seperti matahari. Selimutnya terbuat dari wol tebal yang lembut dan nyaman.

Istri sang peternak mengajariku cara merawat domba, memintal, dan mewarnai wol. “Kau cepat belajar dan rajin sekali,” katanya memuji.

“Terima kasih,” jawabku. “Aku memang suka pekerjaan yang memakai tangan.”

Nonna membantuku di siang hari dengan memberi air segar untuk domba dan membersihkan kandang. Kalau lelah, ia bermain dengan anak-anak domba. Setiap malam, ia merajut renda wol dengan teknik mirip renda gulungan, menggunakan benang wol hasil pintalanku. Ia menyambung banyak pola kecil menjadi taplak sofa dan penutup tempat tidur.

“Bu, menurutmu ini bisa dijual?”

“Kau ingin menjualnya?”

“Iya. Aku ingin dapat uang.”

“Aku bisa mencari uang untuk kita.”

“Tapi aku yang mau menjualnya.”

“Oh kamu. Kalau begitu, semoga harganya tinggi, ya.”

Mina, si istri peternak, berusia sekitar akhir lima puluhan. Ia menyadari kami sedang mengalami masa sulit dan menawarkan pekerjaan serta tempat tinggal. Kadang ia berkata, “Sayang sekali, masih ada saja pria yang kasar pada istrinya.” Sepertinya ia mengira kami melarikan diri dari suami yang kejam. “Kalau musim semi tiba, aku akan ajarkan cara mencukur bulu domba.”

“Terima kasih, Mina. Tapi kami berencana pindah lagi saat musim semi datang. Maaf, kami harus pergi cepat setelah kau mengajari kami banyak hal.”

“Oh? Sayang sekali. Nanti tempat ini akan terasa sepi tanpa kalian.”


Aku menyukai pekerjaan yang membutuhkan ketelitian, jadi aku membeli sedikit wol dari Mina dan memintalnya menjadi benang. Aku menggunakan sari tumbuhan untuk mewarnai benang itu, lalu mulai merajut sweater. Terakhir kali aku merajut adalah saat di akademi, ketika teman sekamarku mengajariku caranya. Meskipun sudah lebih dari sepuluh tahun berlalu, jemariku seolah masih mengingat setiap gerakan.

“Bu, polanya cantik banget!”

“Makasih.”

“Ibu, selalu saja bilang begitu.”

“Mungkin begitu. Karena Ibu benar-benar bermaksud begitu.”

Sweater itu berwarna biru tua dengan pola kepingan salju putih di bagian kerah dan ujung lengan. Menurutku, hasilnya cukup manis.

Tanpa kusadari, aku sudah merajut sepuluh sweater dalam tiga bulan.

Penutup tempat tidur buatan Nonna pun telah selesai. Ia menenunnya dengan renda wol hasil rajutannya sendiri. Meski banyak celah kecil tempat udara bisa menembus, kain itu terasa hangat dan lembut bila disampirkan di pundak atau diletakkan di pangkuan.

“Bagaimana kalau kita pergi ke kota besar untuk menjualnya? Aku yakin selimutmu akan laku dengan harga tinggi,” kataku.

“Benarkah kita boleh?”

“Tentu. Selain rambut palsu, kita bisa memakai topi, dan aku akan menutupi mulut dengan syal. Jadi tak masalah. Lagipula, aku satu-satunya orang yang kau ajak bicara setiap hari. Sesekali berinteraksi dengan anak-anak lain juga penting untukmu.”


Jadi aku membawa Nonna ke kota besar, sekitar dua jam perjalanan dengan kereta kuda. Kami berbelanja cukup banyak, lalu aku mencari toko yang mungkin mau membeli sweater rajutanku. Kami masuk ke sebuah toko yang menjual berbagai barang kebutuhan sehari-hari, termasuk pakaian hangat. Setelah membelikan Nonna beberapa baju baru dan membayar di kasir, aku bertanya, “Apakah kalian menjual sweater rajutan tangan di sini?”

Perempuan penjaga toko mengangguk dengan senyum ramah. “Tergantung pada sweaternya. Apakah Anda membawanya?”

“Ya. Mau melihat?”

“Tentu saja.”

Aku mengeluarkan sepuluh sweater dan meletakkannya di meja kasir. Ia meneliti satu per satu, lalu membeli semuanya dengan harga yang cukup baik.

“Ini pasti laku. Kalau Anda berencana merajut lagi, bawalah ke sini, nanti saya jualkan di toko. Dan untuk penutup tempat tidur ini, bagaimana kalau saya bayar delapan koin perak kecil?”

“Ya! Aku mau!” seru Nonna sebelum aku sempat menjawab.

“Hmm? Tunggu, kamu yang membuat ini?”

“Ya, semua polanya dia yang buat,” kataku. “Kami menyusunnya bersama.”

“Kamu memakai renda bobbin, ya? Hebat sekali bisa membuat penutup tempat tidur sebesar ini.”

“Aku bekerja keras sekali!” jawab Nonna dengan bahasa Randall yang fasih meski lahir Ashbury.

Keseluruhan, kami menjual sepuluh sweater seharga dua puluh empat perak kecil dan lima tembaga besar. Aku cukup terkejut Nonna bisa mendapatkan delapan perak kecil untuk selimut rajutannya. Itu memberinya satu kemampuan baru yang membuatku senang.

Setelah itu kami mampir ke toko roti mewah. Nonna tersenyum cerah sambil menunjuk etalase.

“Aku mau sepotong kue dengan banyak krim di atasnya!”

Kami menikmati kue kami, lalu ia bertanya, “Setelah ini, kita mau ke mana?”

Aku tahu ia sadar betapa bersalahnya aku karena harus terus berpindah-pindah. Ia anak yang cerdas. Kadang aku berharap ia mau mengeluh, walau hanya sedikit.

Bagian 2

Jeffrey sedang berbicara dengan perdana menteri di ruang kerjanya.

“Sepertinya Victoria adalah mata-mata elit dari Hagl. Ia membelot, dan karena itulah mereka mengirim para pembunuh bayaran untuk mengejarnya.”

“Mata-mata elit…”

“Ya. Bagi Paduka, Victoria hanyalah warga Randall yang dibunuh oleh Hagl karena alasan yang tidak diketahui.”

Kenapa? tanya Jeffrey dalam hati pada perdana menteri.

“Kalau orang-orang Hagl tahu bahwa Victoria masih hidup, mereka akan terus mengirim pembunuh ke kerajaan kita. Kita tidak mau masalah seperti itu. Jadi, kita akan memberi tahu Hagl secara tidak langsung bahwa kita tahu mereka mengirim para pembunuh, sebagai bentuk peringatan.”

“……”

“Aku juga sudah berbicara dengan Ordo Ketiga untuk memastikan, dan mereka bilang kalau mereka butuh informasi tentang Hagl, mereka sudah punya empat pembunuh itu. Jadi mereka tidak tertarik lagi pada wanita yang hilang itu.”

Perdana menteri mendorong kacamatanya naik di batang hidung.

“Secara resmi, kerajaan kita tidak tahu identitas aslinya. Seorang wanita dari Randall dibunuh oleh pria-pria dari Hagl, dan hanya itu.”


Setelah berdeham, perdana menteri berkata kepada Jeffrey dengan nada suara yang agak dramatis, “Jadi? Kau tahu identitas aslinya atau tidak?”

“Aku punya firasat. Maaf karena tidak memberitahumu tentang itu.”

“Mungkin karena usiaku sudah tua, tapi aku tidak begitu mendengar. Apa katamu? Kau tidak tahu identitas aslinya?”

“Tidak, aku tidak punya bukti, tapi aku punya firasat.”

Perdana menteri menghela napas panjang. 

“Katakan saja kau tidak tahu. Kadang ada saatnya kejujuran berlebihan malah jadi masalah.”

Meski begitu, Jeffrey tidak menarik kembali ucapannya.

“Sungguh. Baiklah. Maka kau harus menerima hukuman. Tunggu keputusan hukumanmu di rumah. Dan kau dilarang membicarakan kasus Victoria lagi.”

“Baik, Tuan.”

Jeffrey pergi ke kantornya untuk mengemasi barang-barangnya, pikirannya dipenuhi berbagai hal.

Victoria menghilang tepat sebelum para pembunuh itu muncul. Mungkin dia tidak tahu kalau keberadaannya telah diketahui Hagl dan bahwa pasukan pembunuh sedang memburunya. Kalau dia tahu, dia tak mungkin meninggalkan Lady Yolana dalam bahaya. Jadi pasti dia masih bersembunyi, tanpa tahu bahwa secara resmi dia telah dinyatakan tewas. Pikiran itu membuat Jeffrey tak bisa tenang.

Keesokan harinya, Jeffrey diberhentikan dari jabatannya sebagai kapten dan dipindahkan ke posisi yang sama sekali berbeda. Ia menjadi administrator keamanan di kadipaten tempat kota pelabuhan besar bernama Haydn berada. Haydn adalah pusat pengelolaan ekspor kayu. Para anggota muda dari Ordo Kedua mengucapkan selamat tinggal dengan wajah sedih.

“Aku ingin kalian semua terus bekerja keras.”

Beberapa dari mereka meneteskan air mata mendengarnya.

Pemindahan itu berarti ia akan menghilang dari kehidupan publik di ibu kota, sehingga bisa dianggap sebagai penurunan jabatan. Namun Jeffrey menganggapnya sebagai hukuman yang ringan. Tak ada yang bisa dilakukan untuk mengubah keputusan itu, dan sebenarnya, mungkin ia seharusnya mengundurkan diri sendiri. Toh, niat awalnya memang berhenti agar bisa hidup bersama Victoria. Tapi kini, Victoria telah pergi, dan semua rencana itu berubah.


Di kediaman keluarga Asher, Jeffrey menundukkan kepala dalam-dalam di hadapan kakaknya.

“Aku minta maaf atas semua yang terjad—”

“Oh, jangan khawatir soal itu. Aku hanya mengurus pekerjaan-pekerjaan kecil di istana, jadi apa pun yang terjadi padamu tidak akan berdampak buruk padaku. Lupakan saja dan jalani tugas barumu dengan tenang. Yang lebih penting, kau baik-baik saja? Kelihatannya kau agak kurusan.”

“Aku baik-baik saja.”

“Begitu ya. Cuaca di sana cukup sejuk, jadi anggap saja kesempatan untuk beristirahat.”

“Terima kasih..”

Edward memperhatikan adiknya yang pergi dengan wajah penuh pikiran.

Pernyataan resmi terkait insiden itu berbunyi: “Seorang pengelana dari Randall dibunuh oleh sekelompok perampok asal Hagl di wilayah kita. Para perampok tersebut ditangani oleh pasukan pengawal bangsawan. Peristiwa ini menimbulkan banyak kesulitan bagi kerajaan kita.” Untungnya, dengan pernyataan itu mereka bisa menekan Hagl dan menuntut ganti rugi secara diplomatis.

Namun karena Victoria belum ditemukan, tak ada cara untuk memberinya tahu tentang kesepakatan tersebut.

Edward sendiri tidak tahu apa yang harus dilakukan, tetapi ia menenangkan dirinya dengan keyakinan bahwa semuanya akan berjalan sebagaimana mestinya. Ada banyak urusan lain yang menunggu untuk ia selesaikan.

Salah satu pembunuh yang ditangkap ternyata adalah seorang informan. Hanya ada satu orang di Ordo Ketiga selain dirinya yang mengetahui hal itu. Pembunuh itu yang bertugas mengintai di luar dan kini meminta suaka di kerajaan ini. Edward harus memutuskan nasibnya dan mencari informan berikutnya.


Jeffrey menunggangi kuda kesayangannya menuju kantor pemerintahan di kadipaten tempat ia akan bekerja.

“Selamat datang di wilayah kami, Direktur. Nama saya Hamms, saya yang mengelola wilayah ini sampai sekarang. Senang bertemu dengan Anda.”

Hamms adalah pria berusia awal lima puluhan, berambut cokelat pendek dan bertubuh tegap. Senyumnya lembut, tetapi dari raut wajahnya jelas ia bukan orang yang bisa dianggap enteng.

“Sang Adipati sedang menunggu Anda, Direktur.”

“Apa?”

Haydn adalah pelabuhan yang sangat penting, dan wilayah itu telah ditetapkan untuk diambil alih oleh pangeran kedua setelah ia menjadi adipati. Namun Cedric masih berstatus pangeran. Jadi siapa adipati yang dimaksud? Pikir Jeffrey.

“Hei, Jeffrey! Kakakku benar-benar kecewa kehilanganmu,” terdengar suara riang menyapanya.

“Pangeran Cedric!”

Seorang pria tampan, berotot, berambut pirang, dan bermata biru melangkah keluar perlahan dari kantor administrasi.

“Aku bukan pangeran lagi. Aku memutuskan untuk benar-benar serius kali ini, jadi mulai sekarang aku akan fokus mengelola wilayah ini.”

“Ah, begitu ya…”

“Itu terdengar tidak terlalu antusias! Oh, hampir lupa, biar kuperkenalkan tunanganku! Hei, Beatrice!”

Jeffrey menatap ke wanita itu, dan berpikir, Apakah dia bertunangan dengan wanita lain yang namanya sama dengan tunangannya dulu?

Ia masih ingat Beatrice dulu kurus seperti ranting, tetapi kini tubuhnya berisi dan pipinya bersemu merah saat ia berlari kecil menghampiri mereka.

“Tuan Asher! Sudah lama sekali.”

“Kau kaget, kan, Jeffrey? Waktu dia tahu aku pindah ke kadipaten, dia berkata, ‘Aku belum punya tunangan, jadi jadikan aku istrimu!’ Sekarang dia jauh lebih kuat, sampai aku hampir tak mengenalinya.”

Mendengar itu, Beatrice tersenyum lebar dan berkata, “Dia memutuskan pertunangan kami karena aku lemah dan sering sakit. Aku sangat terpukul dan bersumpah, ‘Aku akan jadi kuat dan sehat supaya bisa membuatnya menyesal!’ Aku berlatih keras agar bisa menyaingi calon istri Cedric. Tapi ketika kudengar dia tak bertunangan lagi dan memilih meninggalkan gelarnya, aku tahu aku harus bertindak! Jadi aku memutuskan untuk melamarnya! Tee-hee!”

Cedric menatap Beatrice dengan tatapan penuh kasih.

“Aku sadar, hanya orang bodoh yang menolak wanita dengan tekad sekuat itu!” katanya bahagia. “Wilayah ini ramai oleh keluar-masuknya orang. Dengan adanya festival musim panas Cadiz dan berbagai kegiatan, banyak hal yang harus diawasi. Sejauh ini Hamms telah mengurus semuanya dengan baik, tapi mulai sekarang aku akan bekerja keras demi kemakmuran dan kedamaian wilayah ini.”

“Aku akan mendukung sebaik mungkin, Yang Mulia.”

Cedric dan Hamms mengangguk ketika Jeffrey menunduk hormat.

Mengelola wilayah dengan arus pendatang yang tinggi tidak akan mudah. Kami tak boleh lengah, atau barang-barang ilegal bisa saja beredar. Aku harus mulai memahami kondisi wilayah ini, dibimbing oleh Hamms.

Jeffrey menatap pasangan muda yang sedang dimabuk cinta itu dan berdiri lebih tegak, meneguhkan niat untuk memusatkan pikirannya pada pekerjaannya.

Bagian 3

Domba-domba melahirkan di awal musim semi. Domba yang di awal musim dingin tampak biasa-biasa saja tiba-tiba perutnya membesar menjelang pergantian musim.

Nonna dan aku sibuk memastikan para induk domba mendapat cukup latihan.

Selama musim dingin, domba yang bunting enggan keluar dari kandang. Anak di dalam perut mereka tumbuh terlalu besar, otot induknya melemah, dan itu membuat proses melahirkan berisiko.

“Ke sini! Ayo ke sini!” seru Nonna dari ujung peternakan. Aku berjalan di belakang kawanan domba dengan tongkat panjang, mengayunkannya perlahan untuk menuntun mereka ke arah Nonna. Dalam situasi ini, aku adalah orang jahat.

Para induk domba menoleh dan menatapku tajam sambil berjalan pelan.

“Kalian bisa! Ayo, banyak-banyak jalan, ya!”

Nonna melompat dan berputar-putar begitu bersemangat hingga mungkin dia malah berolahraga lebih banyak daripada domba-dombanya.

Kami menggiring para induk domba berolahraga selama sekitar satu jam, lalu mengembalikan mereka ke kandang. Nonna membentangkan kedua tangannya untuk menuntun mereka masuk, tapi para domba tampak senang sekali bisa kembali, jadi tidak perlu dibujuk lama.

Istri sang peternak datang dan memeriksa satu per satu. “Yang ini sepertinya akan melahirkan malam ini,” katanya.

Kalau ada domba yang akan melahirkan, semua orang di peternakan ikut berjaga di kandang. Kalau prosesnya sulit, mereka bergantian supaya induk dan anaknya selamat..

“Ibu, aku mau lihat bayi domba lahir.”

“Hmm, nanti akan banyak darah. Kamu tidak takut?”

“Kayaknya tidak.”

“Baiklah, kita tanya Mina dulu. Tapi kamu harus janji tidak mengganggu siapa pun.”

“Oke!”

Mina mengizinkan kami, jadi Nonna and aku berjaga setelah makan malam.

Kandang itu punya tungku batu bara dan cerobong asap, jadi di dalamnya tidak terlalu dingin. Kami duduk di kursi di dekat tungku. Aku merajut di bawah cahaya lampu minyak, sementara Nonna membaca buku.

Sesekali aku menengok ke arah induk domba sambil terus merajut. Beberapa saat, induk itu mulai bangkit dan berjalan mondar-mandir.

“Nonna, sepertinya dia mau melahirkan. Cepat panggil Mina.”

“Baik.”

Nonna mengenakan mantel dan berlari keluar kandang, lalu kembali bersama Mina dan suaminya. Setelah lama domba itu mengembik kesakitan, berdiri dan duduk bergantian, akhirnya ia melahirkan seekor anak domba. Mina mengelap tubuh bayi yang jatuh di atas jerami, sementara suaminya menggosoknya dengan kain kering untuk menstimulasi tubuhnya.

Nonna memperhatikan proses melahirkan itu dengan seksama. Matanya membesar, bahunya menegang. Begitu anak domba itu akhirnya mengeluarkan suara embikan pertama, butuh waktu lebih dari setengah jam sebelum ia bisa berdiri. Saat itu, Nonna menepuk tangannya gembira..

Bayi domba itu menempelkan hidungnya ke perut induknya, mencari sumber susu. Begitu menemukannya, ia segera menyusu dengan lahap.

Momen ketika kehidupan baru lahir ke dunia sungguh berharga. Aku merasa haru dan berbisik dalam hati kepada sang induk, “Terima kasih atas kerja kerasmu. Kau sudah melakukan yang terbaik.” Nonna memandangi bayi domba yang menyusu dengan mata berbinar.

Setelah yakin keduanya aman dan tenang, kami kembali ke kamar.


“Ibu domba itu benar-benar bekerja keras, ya? Tapi sekarang kita harus tidur. Sebentar lagi sudah pagi,” kataku.

“Aku capek.”

“Malam ini kita tidur bersama, ya.”

“Oke!”

Kami naik ke tempat tidur yang diisi jerami dan menutupi diri dengan selimut wol yang hangat.

“Bayi dombanya lucu sekali.”

“Lebih besar dari yang aku kira, ya.”

“Iya. Ibu dombanya kelihatan kesakitan banget.”

“Iya, benar,” jawabku pelan.

Nonna terdiam. Aku kira dia sudah tertidur, tapi ternyata belum. “Kira-kira ibu kandungku dulu juga kesakitan nggak, ya.”

“Saat melahirkanmu? Pasti. Tidak ada persalinan yang tanpa rasa sakit.”

“Berarti dia berjuang keras buat melahirkanku?”

“Persalinan manusia bahkan bisa lebih lama dari domba.”

“Wah.”

Aku tidak tahu harus menjawab apa lagi, jadi aku berkata sederhana saja, “Ibumu dulu berjuang keras supaya kamu bisa lahir ke dunia ini, Nonna.”

“Iya.”

“Dan kamu juga berjuang keras supaya bisa lahir.”

Kali ini dia tidak menjawab. Ia sudah benar-benar tertidur. Aku mengelus rambut pirangnya yang lembut dan menarik tubuh mungilnya mendekat. Hangat sekali.

“Terima kasih sudah lahir, Nonna. Aku sangat bersyukur bisa bertemu denganmu,” bisikku.

Selama ini aku tidak pernah berpikir baik tentang ibu kandung Nonna yang telah meninggalkannya. Aku bahkan tidak tahu seperti apa wajahnya. Tapi untuk pertama kalinya, aku berpikir dalam hati, Terima kasih sudah melahirkan Nonna.

Bagain 4

Domba-domba tampak sangat bahagia saat memakan rumput musim semi yang lembut. Suatu hari nanti, aku ingin punya dombaku sendiri, pikirku sambil melamun.

Aku ingin menetap di satu tempat, memelihara domba, mencukur bulunya, memintal wolnya jadi benang, mewarnainya, lalu merajut barang-barang untuk dijual. Apakah aku akan bisa menjalani kehidupan seperti itu suatu hari nanti?

Menjelang akhir musim semi, aku dan Nonna belajar mencukur bulu domba. Kami menggunakan gunting besar dan berhati-hati agar tidak melukai kulit mereka. Setelah dicukur, tubuh mereka tampak jauh lebih kecil. Mina membuatkan rompi kain agar mereka tidak kedinginan setelah dicukur. Setelah membantu sampai sejauh itu, kami berpamitan dari peternakan tempat kami tinggal selama beberapa bulan.

“Selamat tinggal! Selamat tinggal!” seru Nonna sambil tersenyum lebar dan melambaikan tangan pada Mina. Aku juga melambaikan tangan, menundukkan kepala, dan berkali-kali mengucapkan terima kasih.


Kali ini, kami pindah ke ujung selatan Randall, ke sebuah desa nelayan dekat Ashbury. Aku bekerja di restoran dan penginapan di kota yang ramai itu. Tempatnya besar dan punya banyak karyawan. Tugasku membersihkan ruangan, tapi kalau ada kekurangan tenaga, aku membantu di bagian lain juga.

“Punya pekerja seenergik dirimu benar-benar membantu sekali.”

“Terima kasih, Nyonya. Dan terima kasih juga sudah memberi kami kamar untuk tempat tinggal.”

“Tentu saja. Ngomong-ngomong, Maria, tentang sweter yang kamu berikan padaku waktu itu. Kalau aku bayar, bisa tolong rajutkan satu juga untuk suamiku?”

“Tentu, dengan senang hati.”

“Modelnya bagus sekali, dan harganya lebih murah daripada yang dijual di toko. Aku mungkin akan pesan satu lagi.”

“Jadi dua sweter, ya? Akan segera aku rajut.”

“Oh, Tidak perlu buru-buru. Asal bisa dipakai musim dingin nanti saja sudah cukup.”

“Ada pola tertentu yang Nyonya inginkan?”

“Aku serahkan padamu saja.”

Aku senang mendapat kesempatan untuk menambah penghasilan sedikit. Kalau dipikir-pikir, keluarga Anderson, Tuan Bernard, dan Nyonya Yolana dulu juga membayar dengan sangat murah hati. Sekarang ini, aku hanya bisa berusaha cukup keras agar kami bisa makan. Suatu hari nanti, aku ingin berterima kasih dan meminta maaf kepada mereka. Tapi untuk saat ini, aku hanya bisa terus bekerja keras demi bertahan hidup.

Selama ini, Nonna tidak suka ikan. Tapi setelah kami pindah ke Alde, dia berkata ikan di sini enak dan memakannya dengan lahap. Itu kemajuan yang bagus.


Suatu hari, aku dan Nonna sedang membersihkan bagian luar restoran ketika wanita pemilik toko roti di sebelah memanggil kami. “Maria, kalian berdua mau pergi ke festival musim panas di Cadiz?”

“Apa? Cadiz? Bukankah itu di kerajaan lain?”

“Iya, tapi hanya pada hari itu ada kapal yang berangkat dari sini menuju Cadiz. Banyak sekali orang pergi ke festival itu, dan ada banyak toko serta hiburan seru di sana. Berkat layanan feri sementara, kita bisa pergi ke Ashbury tanpa harus melewati pos pemeriksaan perbatasan. Tapi kamu tetap harus menunjukkan surat identitas saat naik dan saat tiba.”

“Begitu, ya.”

“Aku mau pergi! Ibu, boleh ya? Aku mau lihat festivalnya!”

“Hmm…,” jawabku samar, jadi Nonna tidak memaksa lagi di depan wanita itu.

Aku berusaha menghindari pembicaraan tentang rencana masa depan di hadapan orang lain. Tapi ini adalah festival musim panas yang dulu pernah aku rencanakan untuk datangi bersama kapten.

Namun aku telah menghilang tanpa sepatah kata pun padanya. Akan terlalu egois kalau aku berharap dia masih mengingat janji itu. Lagipula, waktu itu dia sangat kelelahan karena berusaha menemukan tahanan yang kabur, tahanan yang kubantu melarikan diri. Mungkin dia bahkan sudah melupakan semuanya.

Kupikir percakapan itu sudah selesai, tapi malamnya, saat kami sudah berbaring di tempat tidur, Nonna bertanya lagi.

“Ibu, aku benar-benar ingin pergi ke festival.”

“Baiklah. Kita pergi.”

“Benarkah? Ibu nggak akan marah?”

“Tentu saja tidak. Ini akan jadi festival pertamaku.”

“Beneran? Padahal Ibu sudah dewasa?”

“Iya. Sekarang tidur, ya. Kita harus bangun pagi besok.”

“Baik.”

Malam itu, aku sulit tidur.

Masih ada tiga minggu lagi sampai festival musim panas. Festival itu berlangsung dari siang hingga malam, dan kalau memang seramai yang wanita itu bilang, pasti tidak ada yang memperhatikan kami kalau kami memakai wig.

Aku tidak ingin ada yang menemukan kami, tapi di sisi lain aku berdoa, Tolong ingat janji yang kita buat waktu itu, dan temukan kami, meski aku tahu kalau bertemu lagi dengan kapten berarti aku tidak akan bisa kembali ke kehidupan lamaku.

Sejak kapan aku jadi orang yang berpikir hal-hal bodoh seperti ini?

Mungkin aku hanya lelah. Aku sudah terlalu banyak bekerja sampai pikiranku tak bisa berfungsi dengan benar, pikirku sambil memejamkan mata.


Saat masih berada di organisasi, aku menerima perintah, bekerja, dan mendapat pujian. Saat itu, aku merasa puas dengan hidup seperti itu.

Namun sekarang, setelah bebas, hidup terasa sangat sepi dan sulit. Sejak kami meninggalkan ibu kota Ashbury, ada bagian dalam diriku yang terus berteriak, Aku kesepian, aku kesepian! berulang-ulang seperti anak kecil yang manja.

Aku bertanya-tanya, apakah perasaan ini akan hilang jika aku kembali ke Pasukan Operasi Khusus.

Tapi aku belum pernah mendengar ada yang membelot dari organisasi, apalagi kembali. Meski begitu, akhir-akhir ini aku sering berpikir bodoh seperti, Mungkin aku bisa kembali dan menerima hukuman apa pun yang mereka berikan. Jadi tukang bersih-bersih pun tak apa. Kalau bukan karena Nonna, mungkin aku sudah kembali ke Hagl dengan kepala tertunduk. Aku tahu sekarang bahwa hidupku dulu bukanlah hidup yang bahagia. Tapi aku sempat berpikir, mungkin akan lebih mudah dibandingkan rasa sedih dan kesepian yang kurasakan sekarang.

Aku tidak boleh membiarkan Nonna mendekati tempat itu.

Otakku memang sedang tidak jernih belakangan ini, tapi setidaknya aku tahu hal itu dengan pasti.

Nonna adalah alasan aku masih bisa bertahan.


“Ibu, bangun. bu!”

“Hmm? Mm? Aku kesiangan, ya? Maaf, aku akan segera menyiapkan sarapan.”

“Ada apa?”

“Huh?

“Matamu merah.”

Aku buru-buru berlari ke depan cermin tua yang buram di sudut kamar dan melihat mataku bengkak dan merah karena menangis dan kurang tidur.

“Aku tadi malam tak bisa tidur nyenyak.”

“Huh.”

Aku segera menyiapkan telur goreng dan menghangatkan sisa sup sayur dari malam sebelumnya. Aku mengiris roti yang sudah agak keras, dan Nonna membantu menghangatkannya di atas tungku sambil berkata, “Panas! Panas!”

“Sekarang, mari kita jalani hari ini dengan semangat!”

“Ya!”

Aku mencium pipi lembut Nonna yang berbau samar susu manis, lalu kami berangkat ke restoran untuk membersihkan penginapan.


Kami bekerja sepanjang siang, dan pada malam hari aku terus merajut. Aku begadang sampai akhirnya terjatuh ke tempat tidur karena kelelahan, tidur sebentar, lalu bangun untuk mengulang semuanya lagi. Waktu berlalu begitu cepat, dan tanpa kusadari, tibalah hari festival musim panas di Cadiz.

Hari ini, giliran kerjaku di restoran selesai lebih awal.

“Tidak akan ada pelanggan juga walau tetap buka,” kata manajer. “Semua orang naik feri ke Cadiz. Kalau kalian berdua tidak cepat-cepat berangkat, kalian tidak akan dapat tempat bagus untuk menikmati pemandangan.”

“Iya juga.”

Nonna mendengarkan wanita itu dengan wajah serius.

“Ratusan—tidak, mungkin ribuan—perahu kecil akan diterangi lilin dan mengapung menuju laut. Kamu harus melihatnya setidaknya sekali seumur hidup. Pemandangannya luar biasa indah. Aku yakin kalian akan pulang larut malam, jadi ambil saja libur besok. Kamu belum pernah libur satu hari pun sejak datang ke sini, Maria.”

“Terima kasih, aku terima tawaran itu.”


Sore itu, kami berdua mengenakan wig hitam dan naik ke perahu nelayan. Matahari musim panas belum terbenam, jadi masih terang. Aku membayar ongkosnya, dan kami naik ke perahu. Para nelayan lokal ingin mendapat penghasilan tambahan, jadi mereka menambatkan perahu ke dermaga, menjemput orang-orang dari Randall, lalu berangkat. Perahunya kecil, dengan empat orang mendayung dan delapan penumpang.

Semua orang tampak bersemangat, tapi aku gugup.

Apakah kapten akan datang? Apakah dia masih ingat janji itu?

Tidak. Aku menghilang tanpa menjelaskan apa pun. Tidak seharusnya aku berharap hal yang mustahil. Aku menggeleng, mencoba menyingkirkan pikiran itu. Malam ini, aku hanya ingin fokus membuat Nonna bahagia. Aku menatapnya sambil tersenyum.

“Kamu tak sabar ingin melihat festival, kan?”

“Iya! Ibu juga, kan?”

“Iya, tentu saja.”

Perjalanan ke pelabuhan Cadiz ternyata lebih singkat dari yang kukira. Beberapa kapal besar melintas di sisi kami, dan dari kejauhan sudah terlihat cahaya dari ribuan lilin yang berayun di atas air.

Para pendayung membawa perahu kecil kami ke tepi pelabuhan. Akhirnya, kami tiba di Cadiz, Ashbury.

Pelabuhan Cadiz berbatu dan sudah dipenuhi orang. Masing-masing memegang perahu kecil. Mereka menyalakan lilin mungil, lalu melepaskan perahunya. Ada yang tersenyum, ada yang menangis, dan ada pula yang berdoa dengan mata terpejam.

Semua tampak seolah sedang berbicara dengan arwah orang-orang yang mereka cintai, yang hanya datang berkunjung ketika lilin-lilin itu menyala.

Area di luar pelabuhan berupa pasir dan rerumputan. Di sana berjajar deretan stan sederhana yang menjual daging panggang, buah-buahan, kue manis, air buah, aksesori, dan mainan kecil. Segala macam barang ada di sana.

Nonna begitu bersemangat melihat stan-stan itu hingga mungkin sudah tersesat di kerumunan kalau aku tidak menggenggam tangannya erat-erat.

Aku merasa anehnya lega sambil berpiki, Ya, tak mungkin ada yang mengenali kami di kerumunan sebesar ini, tapi di saat yang sama muncul pikiran lain, Untuk apa menenangkan diri dengan alasan seperti itu?

Ruangan kecil itu dipenuhi orang. Setelah mempertimbangkan dengan matang, Nonna memilih roti goreng berbentuk bulat yang ditaburi banyak gula bit.

“Ibu, ini manis banget dan enak!” katanya sambil menyodorkannya padaku.

Aku menggigit sedikit. “Mm, iya, enak!”

Nonna tersenyum bahagia. Belakangan ini dua gigi depannya copot, membuat senyumnya terlihat agak konyol, tapi itu tanda bahwa dia tumbuh besar. Dan sejujurnya, senyumnya yang ompong itu terlihat sangat manis.

“Lihat!” seru Nonna sambil menunjuk ke arah laut. Sekelompok besar orang sedang melepas perahu mereka ke laut, mungkin karena air laut sedang surut hingga titik terendahnya.

“Wah…”

Nonna memandangi lautan dengan gula bit masih menempel di mulutnya. Ada mungkin seribu lilin di atas perahu-perahu kecil yang mengapung di ombak, perlahan menjauh ke laut lepas.

“Ayo kita lepas perahu juga, Nonna.”

“Boleh?”

“Tentu.”

Kami membeli dua perahu kayu kecil, dan panitia menyalakan lilin di atasnya untuk kami. Kami menangkupkan tangan agar api tidak padam lalu berjalan ke tepi pantai berbatu.

“Hati-hati melangkah. Kalau jatuh bisa luka.”

“Baik!”

Ombak menyentuh sepatu kami saat kami berdiri bersama orang-orang lain. Kami meletakkan perahu kecil itu di air dan melihatnya perlahan terbawa arus menuju laut.

Aku berbicara dalam hati pada perahuku yang semakin menjauh.

Ayah, Ibu, Emily. Aku merindukan kalian. Aku sangat merindukan kalian. Aku sudah berusaha keras selama ini, tapi sekarang… aku sedikit lelah.

Ada gumpalan panas di tenggorokanku, dan air mata mulai mengalir di wajahku. Meski banyak orang di sekitarku, aku berlutut di tepi pantai dan menangis melihat perahu itu pergi.

“Hiks… Waaah…”

Ternyata banyak juga orang lain yang menangis.

Nonna menepuk punggungku dengan lembut menggunakan tangan mungilnya.

“Maaf ya, Nonna. Aku suda tidak menangis sekarang.”

“Tidak apa-apa. Ibu juga boleh menangis.”

Aku menghapus air mata dan menarik napas dalam-dalam beberapa kali. “Yah, bagaimana kalau kita beli oleh-oleh lalu pulang?” kataku sambil tersenyum, Namun saat itu aku melihat Nonna menatap sesuatu di belakangku dengan wajah terkejut.

Aku menoleh—dan di sana berdiri sang kapten.

“Jeff!” Nonna berlari dan langsung memeluknya. “Jeff! Jeff!” Ia menempel erat padanya, dan Jeff mengangkatnya dengan satu tangan kiri, lalu merangkul bahuku dengan tangan kanannya untuk membantuku berdiri.

“Aku sudah bertekad akan datang ke sini setiap tahun sampai kutemukan kalian, tapi aku sama sekali tak menyangka akan berhasil di tahun pertama!” Suaranya terdengar begitu menenangkan seperti biasa.

Aku tahu seharusnya aku mengatakan sesuatu—setidaknya meminta maaf. tapi yang bisa kulakukan hanyalah menangis seperti anak kecil.

Kapten menoleh ke arah pria besar di dekatnya. “Permisi, tapi aku harus pulang lebih awal hari ini.”

“Tentu. Terima kasih atas kerja keras Anda. Tahun ini jauh lebih mudah dengan bantuan Anda, Direktur. Selamat malam.” Pria itu menatap kami dengan senyum lembut sebelum pergi.

Jeff membawa kami ke sebuah rumah kecil.

“Ini rumahku.”

“Rumahmu, Kapten?”

“Aku bukan kapten lagi. Sekarang aku direktur keamanan untuk kadipaten ini,” katanya sambil mempersilakan kami duduk di sofa. Seorang pengurus rumah tangga paruh baya tersenyum sopan, dan Jeff berkata padanya, “Biar aku urus selanjutnya. Kau boleh pulang.”

Nonna duduk di sofa sambil mengantuk. Hari ini terlalu banyak keseruan baginya, tentu ia kelelahan. Aku melepas wig-nya, dan Jeff dengan mudah mengangkat tubuh mungil itu, meletakkannya di kursi panjang, lalu menyelimutinya dengan selimut musim panas tipis.

Ia duduk di sampingku, lalu menarikku ke dalam dekapannya. Tubuhnya hangat, dadanya kokoh.

“Aku sangat lega kau selamat. Aku khawatir sekali kalau-kalau sesuatu terjadi padamu.”

“Aku minta maaf…”

“Jangan minta maaf. Aku tidak ingin kau melakukannya. Aku bahkan tidak tahu harus mulai dari mana. Ada begitu banyak hal yang harus kukatakan padamu.”

Masih memelukku, ia mulai menjelaskan. Tentang pasukan pembunuh dari Hagl, tentang bagaimana cerita resmi menyebut aku tewas dalam serangan itu. Bahwa para pejabat tinggi Ashbury tahu identitasku yang sebenarnya, dan bahwa Lady Yolana serta semua orang di sana selamat.

“Saat kudengar kau adalah mata-mata terbaik mereka, semuanya jadi masuk akal bagiku.”

Aku tak sanggup menatap wajahnya.

“Tapi sekarang kau tak perlu lari lagi. Victoria Sellars sudah mati. Kau bisa hidup tenang mulai sekarang. Kalau kau khawatir bertemu orang yang mengenalmu, tinggallah di sini, di Cadiz. Banyak orang asing datang dan pergi lewat pelabuhan, tapi tak ada yang akan mencarimu. Ini kota nelayan dan petani. Kecuali saat festival musim panas, hanya warga lokal yang ada di sini. Tinggallah di sini bersamaku. Aku bekerja dari rumah ini.”

Aku akhirnya mengajukan pertanyaan yang sejak tadi menggangguku.

“Kapten…”

“Panggil aku Jeff.”

“Jeff, kenapa kau keluar dari pasukan kesatria dan pindah ke sini? Itu salahku, kan?”

“Bukan, itu bukan salahmu. Sejujurnya, aku sudah lama punya firasat bahwa kau meninggalkan organisasi itu, jadi sejak awal aku memang berencana keluar dari pasukan kesatria agar bisa bersamamu. Tapi kemudian kau menghilang, jadi aku datang ke sini untuk bekerja. Aku akan tetap berhenti, entah kau pergi atau tidak.”

Aku tidak begitu yakin dengan itu. Kalau saja dia tidak pernah bertemu denganku… Pikiranku sampai ke situ, lalu aku baru sadar sesuatu.. Astaga! Kapalnya!

“Tunggu! Kita akan ketinggalan kapal pulang!”

“Aku bisa mengirim pesan ke mana pun yang ingin kau hubungi,” kata kapten. maksudku, Jeff. Ia tidak berniat melepaskanku. “Aku tidak ingin punya penyesalan lagi. Setelah membaca suratmu, aku marah pada diriku sendiri karena tidak mengatakan semuanya lebih cepat. Kalau kau merasa tidak aman tinggal di Cadiz, kita bisa hidup di pegunungan. Aku bisa berburu untuk makanan kita.”

“……”

“Victoria, di mana saja kau selama ini dan apa yang kau lakukan selama ini? Apa kau dalam bahaya?”

“Jeff, sebelum aku menjawab itu, ada hal lain yang harus kukatakan dulu.” Aku duduk lebih tegak dan menatap matanya langsung. Tubuhku bergetar karena cemas atas apa yang akan kukatakan.

“Aku masuk akademi saat berusia delapan tahun dan dipaksa melepaskan nama asliku. Sebagai gantinya, mereka memberiku nama Chloe, dan itulah nama yang kugunakan selama di organisasi. Meskipun sudah dua puluh tahun tidak ada seorang pun yang memanggilku dengan nama itu, nama asliku adalah Anna. Anna Dale. Nama itu sangat berharga bagiku, karena itu pemberian dari ayah dan ibuku.”

Ilustrasi Tefuda ga Oome no Victoria Jilid 1 Bab 13 - Victoria dan Jati Diri
Ilustrasi Jilid 1 Bab 13 - Victoria menceritakan jati dirinya

Lalu aku menceritakan semuanya. Tentang bagaimana kami tinggal di peternakan di Randall, lalu pindah ke desa nelayan.

Jeffrey mendengarkan dengan tenang sepanjang waktu, sesekali mengusap punggungku atau membelai rambutku dengan lembut.

Begitu aku selesai bercerita, ia menghela napas. Sepertinya ada sesuatu yang membebani pikirannya.

“Ada apa? Apakah ada yang salah dengan ceritaku?” tanyaku.

“Tidak. Sebenarnya, aku juga punya rahasia. Aku rasa aku harus memberitahumu, karena aku berniat hidup bersamamu selamanya.”

Itu membuatku penasaran, karena sebelumnya dia sudah bercerita tentang mendiang tunangannya.

“Ini bukan tentang tunanganku. Ini rahasia yang hanya diketahui oleh aku dan saudaraku. Alasan kenapa dia selalu khawatir padaku adalah karena masa kecil kami yang berbeda dari orang lain.”

“Tak apa. Aku tidak perlu tahu seluruh masa lalumu.”

“Tidak, suatu hari nanti kau pasti akan bertanya-tanya kenapa dia begitu khawatir padaku.”

Lalu Jeff menceritakan rahasianya padaku. Setelah mendengarnya, setiap kali aku mengingat hal itu, hatiku terasa begitu sakit, seolah akan robek menjadi dua.


“Sejauh yang kuingat, ayah kami tinggal terpisah bersama keluarga lain. Bagi kaum bangsawan, punya selir bukan hal aneh. Tapi setelah selir ayah melahirkan anaknya, dia mulai menyiksa kami. Dia sering memukulku berkali-kali, padahal aku masih sangat kecil.”

Ibu Jeff mengalami gangguan mental sejak dini dan hidup dalam keadaan setengah sadar antara kenyataan dan halusinasi.

Ayahnya datang satu atau dua kali seminggu hanya untuk menyiksa mereka karena alasan sepele. Setiap kali alasannya berbeda. Mereka tak pernah tahu mengapa akan dipukul hari itu. Kadang Edward yang menahan cambukan di tempat ibu atau Jeff demi melindungi mereka.


“Aku rasa saudaraku memilih menjadi pegawai negeri karena luka-luka cambuk itu. Bekasnya masih ada di seluruh punggungnya. Para kesatria harus berganti seragam bersama setelah latihan, jadi tidak mungkin dia bisa menyembunyikan bekas luka itu. Dan kami tidak bisa melarikan diri karena ibu kami, yang saat itu sangat tidak stabil. Kakakku hanyalah pegawai rendah waktu itu, dan keadaan ibu benar-benar buruk, jadi dia pikir dia tak bisa membawa kami pergi.”

Aku teringat sesuatu yang kupelajari di organisasi. Orang yang dipukuli terus-menerus akhirnya kehilangan kemampuan untuk melawan atau melarikan diri. Kekerasan menguasai mereka, baik secara mental maupun fisik. Mungkin itulah yang terjadi pada kakak dan ibunya.


Edward menenggelamkan dirinya dalam belajar untuk melarikan diri dari kenyataan, sementara Jeffrey mengasah kemampuannya dalam seni pedang. Setelah bertahun-tahun berlalu, Jeffrey muda berpikir, Mungkin sekarang aku cukup kuat untuk mengalahkan ayah.

Suatu hari, ayah mereka hendak menelanjangi Edward dan mencambuknya seperti biasa, tapi Jeffrey menyerangnya.

“Tekad seseorang yang berjuang demi hidupnya berbeda dari orang yang sekadar menahan penderitaan. Saat itu aku sudah lebih besar darinya. Aku segera menjatuhkan ayahku, mengambil tempat lilin di dekatku, dan berkata kepada saudaraku yang terkejut, ‘Aku anak kedua. Aku yang akan melakukannya. Setelah itu, keluarkan aku dari daftar keluarga. Terima kasih untuk semua yang telah kau lakukan untukku.’”

“Oh, Jeff…”

Ia melanjutkan ceritanya dengan pandangan mata yang jauh.

“Saat aku masih kecil, semua kebencian yang kupendam setiap kali dia memukulku—semua ketakutan saat aku berpikir, Kali ini dia mungkin akan membunuhku—meledak begitu saja. Aku benar-benar serius ingin membunuhnya. Tapi saudaraku menghentikanku dan dengan tenang berkata pada ayah kami, ‘Mulai hari ini, aku akan mengambil alih posisi kepala keluarga Asher. Aku akan memastikan engkau dan keluargamu hidup tanpa kekurangan dan tanpa aib. Pilihan ada padamu. Akankah kau menyerahkan posisi kepala keluarga padaku, atau membiarkan kami membunuhmu? Apakah kau pikir kami menahan semua penyiksaan ini tanpa rencana? Aku sudah menyiapkan dokter yang akan memastikan penyebab kematianmu adalah serangan jantung, apa pun kondisi tubuhmu.’”

Saat itu, Edward berusia dua puluh tahun, dan Jeffrey dua belas tahun.

“Setelah ayah pergi, aku menangis dan berkata pada kakakku, ‘Karena aku kurang tekad, aku membuat Ibu dan Kakak dalam posisi terburuk. Seharusnya aku melakukannya lebih cepat. Maafkan aku karena pengecut!’ Sejak hari itu, kakakku menjadi pelindungku dan ibu. Itu sudah menjadi kebiasaannya sampai sekarang, kadang agak merepotkan, tapi kami berdua hidup saling melindungi. Ayah menyiksa kami begitu parah sampai-sampai kami benar-benar bisa mati di tangannya.”

Aku memeluk Jeffrey erat-erat. Tubuhnya besar, hampir tak bisa kurengkuh seluruhnya, tapi aku tetap memeluknya sekuat tenaga.

“Aku tidak tahu kenapa ayahku tidak menceraikan ibu sampai aku mulai bekerja di istana. Rupanya, perdana menteri adalah mak comblang bagi mereka, jadi ayah takut menyinggungnya kalau bercerai. Alasannya benar-benar konyol. Dia melampiaskan amarahnya pada kami.”

Jeffrey tersenyum getir lalu berkata, “Ayah meninggal dua tahun lalu.”

“……”

Aku sendiri hanya menikmati delapan tahun kehidupan keluarga yang hangat dan penuh kasih. Tapi Jeffrey bahkan tidak memiliki itu.

Seperti yang aku pikirkan saat berada di organisasi, semua keluarga bahagia memiliki hal-hal yang sama. Tidak peduli apakah mereka kaya atau miskin; semua keluarga bahagia adalah lingkungan yang penuh kasih sayang.

Namun Lord Edward dan Jeffrey telah hidup di neraka.

“Jeff, aku akan melindungimu dan Nonna dengan seluruh hidupku. Mari kita bentuk keluarga yang bahagia bersama.”

Jeffrey tersenyum lembut padaku dan berkata, “Biasanya hal itu dikatakan oleh pria. Setidaknya biarkan aku sedikit bergaya.”

Lalu ia berlutut di depanku. “Anna, maukah kau menikah denganku.”

Itu adalah lamaran yang sederhana, namun sangat menyentuh hati.

About the author

Koyomin
Yomi Novel adalah blog fan translation yang menerjemahkan web novel (WN) dan light novel (LN) Jepang pilihan ke dalam Bahasa Indonesia. Nikmati kisah fantasi, romansa, hingga dark story dengan terjemahan berkualitas dan update rutin.

Gabung dalam percakapan