Steins;Gate The 0th Act Turning Point: Reverse

Simak The 0th Act - Turning Point: Reverse dari novel Steins;Gate. Ikuti titik balik penting dalam kisah fiksi ilmiah favoritmu

Steins;Gate Chouyoku no Divergence - The 0th Act - Turning Point: Reverse










Babak ke-0 | Titik Balik: Terbalik

Translated by : Koyomin

Angka-angka berhamburan, membanjiri pandangan.

Kode elektronik (Code) turun bagai hujan deras.

Di latar hitam pekat, ribuan karakter berpendar dalam tujuh warna, melesat tak terbendung.

...Ah, mimpi ini lagi.

...Aa, mimpi ini lagi.

Mimpi yang sama, yang telah kualami berkali-kali. Perasaan yang sama, yang terus kurasakan.

Dalam mimpi yang akan menguap dari ingatan saat kubuka mata, entah mengapa otakku bisa mengingat dengan jelas bahwa ini adalah mimpi yang pernah kualami sebelumnya. Lalu, aku juga teringat pada seorang pria yang selalu muncul setelahnya—

"...!"

Seperti yang kuduga, seorang pria muncul dalam pemandangan artifisial ini, seolah adegan film yang diputar mundur.

Pria itu berteriak sesuatu dengan panik.

Berjubah putih, rambutnya acak-acakan, wajahnya gusar sambil menjulurkan tangan, berteriak sekuat tenaga.

Namun aku tak bisa mendengarnya. Aku... sama sekali tak bisa mendengar suaranya.

Ini selalu terjadi. Kata-katanya tak pernah sampai ke telingaku.

Aku hanya tahu dia sedang berteriak sesuatu.

Hanya itu.

Cuma sampai di situ.

Namun, entah mengapa, setiap kali melihat pemandangan ini, dadaku terasa sakit.

Aku telah melupakan sesuatu.

Mimpi yang berulang ini membuatku sadar.

Ya, aku telah melupakan sesuatu. Hanya saja, aku tak tahu apa yang kulupakan.

Apa yang kulupakan...? Aku benar-benar tak bisa mengingatnya.

Jadi, aku memutuskan untuk mengamati. Setiap kali mimpi ini datang, kuperhatikan setiap detailnya.

Aku tipe orang yang selalu mencari jawaban atas setiap pertanyaan.

Menemukan jawaban, mengungkap kebenaran—itulah sifat dasarku.

Setidaknya, begitulah aku mengenal diriku sendiri, dan begitulah orang lain memandangku.

Jadi, aku akan fokus.

Dengan sepenuh hati...

Dan akhir-akhir ini, aku mulai menemukan beberapa hal.

Sebenarnya, baru belakangan ini aku menyadari pria itu mengenakan jubah putih. Karena kaburnya mimpi, rambutnya yang acak-acakan juga baru kusadari setelah beberapa kali bermimpi.

Kali ini, aku ingin mengamati apa yang dia ucapkan. Apa yang dia teriakkan.

Tentu saja, aku tak bisa mendengarnya.

Tapi saat seseorang berbicara, gerakan bibirnya mengikuti kata-kata. Dalam kebanyakan kasus, bentuk bibir berubah sesuai vokal, dan perbedaan kecil dalam pelafalan menggerakkan rahang dengan cara berbeda.

Teknik ini biasa disebut lip reading, tapi bahkan tanpa keahlian itu, kebanyakan orang secara tak sadar mengamati gerak bibir lawan bicara untuk memastikan informasi suara yang mereka dengar.

Apa yang kulakukan sekarang pada dasarnya sama.

Fokus, amati dengan cermat, dan "dengarkan" teriakan bisu itu dengan mataku.

Ku...

"Ku?"

Kurisu...

"Eh!?"

Saat gerak bibirnya terbaca, aku terkejut dan mengerutkan kening.

"Kenapa... dia tahu namaku?"

Bergegas aku bergumam pada diri sendiri.

Chris... Makise Kurisu.

Ya, nama yang dipanggil pria itu tak lain adalah namaku.

"Apa yang sebenarnya terjadi...?"

Dalam mimpiku, seorang pria mati-matian memanggil namaku. Biasanya, ini pasti ingatan dari pengalaman nyata. Tapi, aku sama sekali tak punya ingatan tentangnya.

Tak ada ingatan... tapi entah mengapa…

"Kenapa dadaku terasa sakit begini...?"

Tanganku menekan dada yang nyeri sambil bertanya pada diri sendiri.

Sebelum kutemukan jawabannya, pria itu kembali berteriak:

Christi…

"Eh, bukan namaku?"

Mataku membelalak. Seharusnya dia memanggil namaku.

Tapi gerakan bibirnya belum berhenti. Kenapa?

Christina!

Saat aku benar-benar membaca gerak bibirnya, emosi meluap tak terbendung. Dorongan perasaan itu memaksaku bertindak. Aku membiarkan diriku terbawa, dan tanpa berpikir, berteriak:

"Sudah kubilang! JANGAN PAKAI 'TINA'————!!"

"Sudah kubilang! JANGAN PAKAI 'TINA'————!!"

Dengan teriakan itu, tubuhku melompat bangun dari tempat tidur.

"Aku benar-benar tak tahan denganmu! Apa-apaan ini! Ini game sedih macam apa!? Kembalikan rasa sakit ini————!!"

Emosiku masih meluap. Setelah berteriak sepuasnya, napasku terengah-engah, bahu naik turun. Perlahan, amarahku mereda.

"Hah... Eh?"

Kupandang sekeliling. Aku berada di tempat tidur hotel yang sudah kutinggali beberapa waktu.

Aku—Makise Kurisu—duduk di kasur, masih menggenggam erat selimut, kepala berkabut karena baru bangun.

"Ehh? Kenapa... mimpi... tadi terasa aneh?"

Ugh... Aku mengerang, berusaha mengingat mimpi itu. Tapi ingatanku terputus. Pikiranku yang sudah sadar menolak mengakses memori mimpi itu.

"Tak bisa kuingat... Padahal ada sesuatu yang menggangguku..."

Bergumam sendiri, mataku beralih ke layar ponsel.

2010/07/28 09:27

Tampaknya sudah waktunya bangun.

"Kalau tak ingat, ya sudah."

Menghela napas, kuangkat selimut dan turun dari tempat tidur. Meski sudah lama tak kembali ke Jepang, tak ada waktu untuk bermalas-malasan. Aku harus bersiap dengan baik.

Sambil melepas pakaian tidur, aku berjalan ke kamar mandi. Air hangat mengalir di tubuhku sementara otakku menyusun jadwal hari ini.

Ya.

Beberapa waktu lalu, Viktor Chondria University Brain Science Institute tempatku bernaung menerima permintaan dari Akihabara Techno Forum (ATF) untuk memberikan seminar tentang mesin waktu. Dari sudut pandang tertentu, mereka jelas salah alamat.

Siapa yang tega meminta ahli neurosains untuk menjelaskan mesin waktu—eksperimen pikiran dalam fisika? Ini seperti meminta koki restoran untuk mengelas baja di proyek konstruksi hanya karena sama-sama menggunakan api.

Tapi, ATF tampaknya memang ingin sudut pandang orang awam. Mereka berargumen bahwa mesin waktu masih sebatas eksperimen pikiran, dan untuk membuktikannya, dibutuhkan imajinasi fleksibel dan perubahan cara berpikir.

Dari situ, memilih ahli neurosains sebagai pembicara jadi masuk akal.

Tapi, ilmuwan yang sibuk dengan penelitiannya sendiri tak mungkin meninggalkan segalanya hanya untuk terbang melintasi Pasifik.

Awalnya, lab kami berniat menolak. Tapi kemudian, mereka teringat padaku—Makise Kurisu—yang sudah lama tak pulang ke Jepang sejak berangkat kuliah ke Amerika.

Profesor pembimbingku bilang:

"Chris. Aku tahu kau pekerja keras, tapi kau terlalu memaksakan diri. Pulanglah sebentar ke tanah airmu."

Memang, saat itu penelitianku sedang jeda.

Tapi menyebut Jepang sebagai "tanah air" agak berlebihan. Tak ada rumah yang menungguku di sana. Mama-ku ikut tinggal di Amerika sejak aku memutuskan kuliah di sana, jadi rumahku sekarang justru di sana.

Jadi, kalau bukan karena satu surat itu, aku takkan kembali ke Jepang.

Ya, surat itulah yang mengubah pikiranku...

ATF menawarkan syarat yang sangat baik: mereka menanggung biaya perjalanan pulang-pergi, akomodasi, bahkan menjembatani komunikasiku dengan universitas di sini.

"Kalau tidak tahu maksud di baliknya, bisa-bisa aku curiga ada sesuatu yang mencurigakan..."

Terkekeh kecil pada diri sendiri.

Sepertinya aku agak bersemangat.

Mematikan keran, kurapikan penampilanku. Tak lupa menyemprotkan parfum lembut yang direkomendasikan senpai di lab. Katanya, ini trik untuk menghilangkan stereotip "peneliti = berantakan".

Lalu, kukenakan seragam Akademi Putri Shobuin—sekolah tempatku pernah bersekolah singkat. Beberapa waktu lalu, karena mama khawatir dengan kepulanganku yang mendadak, aku memutuskan untuk "reverse-study abroad" dan masuk sekolah ini sementara.

Saat bepergian, aku tak bisa membawa banyak pakaian. Dalam situasi seperti ini, seragam sekolah yang kuat dan tahan lama sangat berguna. Meski sudah kumodifikasi di beberapa bagian, jadi tak persis seperti aslinya...

"Oke, selesai."

Melihat diriku di cermin. Aku tak berdandan berlebihan hanya karena akan berbicara di depan umum, tapi juga tak ingin terlihat ceroboh. Itu akan mempermalukan lab dan ATF yang mengundangku.

Terakhir, kubuka ponsel dan memeriksa lokasi dan waktu seminar.

"12:00... Radio Kaikan di depan Stasiun Akihabara, oke."

Bergumam sendiri, kuambil map berisi makalah penelitian dan membuka pintu kamar.

Dengan sedikit harapan: Hari ini, sesuatu akan berubah...

Panas.

Begitu melangkah keluar hotel dan tiba di jalan Hongo, terik matahari yang menusuk dan hawa panas langsung menyergap.

"Tak heran... ini pusat fenomena heat island."

[Fenomena di mana suhu di wilayah perkotaan lebih tinggi dibandingkan daerah pedesaan di sekitarnya, karena penggantian vegetasi alami dengan permukaan yang menyerap dan menahan panas seperti bangunan dan trotoar, serta panas yang dihasilkan dari aktivitas manusia.]

Seharusnya ada sungai di sekitar sini, tapi sepertinya tak cukup untuk meredam panas ini. Otakku mulai mensimulasikan efek angin sungai dan pepohonan terhadap suhu sekitar.

"Panas yang sulit dipercaya..."

Aku terus terkejut dengan cuaca ini. Sudah dua minggu, dan aku masih belum terbiasa.

Aku tahu musim panas di Jepang sangat panas, dan aku juga pernah tinggal di sini sebelumnya. Tapi bukan di puncak Juli-Agustus di pusat Tokyo.

Panas.

Dengan perasaan itu, aku berjalan menyusuri Tokyo Medical and Dental University, menuruni Yushima-zaka. Di sebelah kanan, ada Yushima Seido, dan di kiri, gerbang Kanda Myoujin.

Saat melihat torii dengan sedikit warna hijau itu, teringat seorang senpai di lab memintaku membelikan jimat dari kuil ini.

"Dia peneliti di Viktor Chondria University Brain Science Institute, tapi percaya takhayul..."

Katanya, Jepang punya banyak dewa yang terkait dengan Shiva—dewa penghancur dan pencipta dalam mitologi India. Kanda Myoujin adalah salah satunya. Mungkin orang Jepang lebih mengenal Daikokuten atau Fudou Myou-ou.

Tentu saja, di Amerika, banyak orang yang tak melihat masalah menyatukan sains dan iman. Senpai-ku salah satunya. Dalam budaya Barat, sains berawal dari keinginan untuk "memahami" ciptaan Tuhan, jadi harmoni antara sains dan agama bukan hal aneh.

Tapi, meski sudah lama di Amerika, aku tak sepenuhnya paham konsep ini. Perbedaanku dengan mereka adalah: aku hanya mengerti logikanya, tapi tak mengerti bagaimana rasanya "memiliki iman".

Iman mereka berbeda dengan yang kubayangkan—itu adalah keyakinan yang mengakar dalam hidup. Menurutku, iman ala Amerika lebih mirip konsep "tradisi" di Jepang. Intinya, jika Kristen punya Tuhan, Islam punya Allah.

Kalau di Jepang, mungkin intinya adalah keluarga, kuil kampung halaman, atau sekolah tempat murid berkumpul. Meski tak bisa kurasakan sebagai "iman", begitulah mereka memahaminya.

Memiliki sesuatu yang menjadi "patokan nilai" dalam hidup—itulah iman.

Semakin kuat iman itu, semakin tak goyah keputusan seseorang. Karena ada sandaran, mereka tak mudah tersesat.

"Dalam debat, aku sering kalah karena ini..."

Tak terhitung berapa kali aku menyerah saat berdebat.

Tentu saja, sekadar mengikuti suatu keyakinan buta tak akan membawamu ke mana-mana.

Sandaran hanyalah fondasi. Di atasnya, kau harus menumpuk kemampuan dan kerja keras.

Tapi... terkadang aku sedikit iri pada mereka.

Aku sadar.

Sejak kecil, aku punya banyak "hadiah (gift)"—bakat.

Orang bilang, aku sudah bisa menghitung di usia dua tahun. Karena beberapa alasan, aku juga sangat tertarik pada fisika dan bidang lainnya.

Anak ajaib, jenius kecil—panggilan itu sudah kudengar sejak lama. Aku juga cepat sadar bahwa ada jarak antara diriku dan orang lain. Mungkin itu karena kecemburuan atau rasa inferior mereka.

Jarak itu membuatku lelah, jadi aku memilih loncat kelas dan menjauh dari mereka.

Akibatnya, aku tak punya teman. Sekarang pun, meski punya rekan kerja dan senior, aku tak yakin apakah mereka bisa disebut teman.

—Tapi kalau kuungkapkan itu, pasti mereka akan protes sambil menangis...

Aku tak punya keyakinan teguh.

Itulah harga yang kubayar untuk "hadiah" bakat ini.

Aku sadar.

Tapi aku tak pernah merasa inferior. Mungkin ini kelemahanku, tapi suatu hari nanti, aku akan menutupinya dengan kerja keras.

Karena itulah aku datang ke Jepang.

Surat yang kuterima beberapa waktu lalu.

Surat itu memberiku "keyakinan" yang selama ini kurang.

Tidak—lebih tepatnya, surat itu membantuku "mengambil kembali" sesuatu yang hilang.

"Keyakinan"—ikatan antara aku dan papa.

Makise Shouichi.

Itulah nama papa-ku.

Dan juga nama Dr. Nakabachi—orang yang akan menggelar "Konferensi Pers: Kesuksesan Pengembangan Mesin Waktu" di lantai 8 Radio Kaikan, Akihabara, hari ini.

Soal nama samaran ayahku, "Dr. Nakabachi", jujur saja aku tak begitu paham. Tapi setahuku dari hasil pencarian di internet, reputasinya buruk.

Bahkan di "@channel"—forum anonim besar asal Jepang yang sering kubaca—thread khusus tentangnya dipenuhi komentar negatif.

Dan aku sendiri sudah tujuh tahun tak bertemu Papa.

Dulu, aku hanya ingin dipuji papa yang seorang ilmuwan. Aku belajar fisika mati-matian hanya untuk bisa membaca tulisannya. Untungnya, aku punya bakat, dan selama papa memujiku, aku mau belajar apa saja.

...Tapi, aku gagal.

Aku terlalu fokus memahami tulisannya, sampai tanpa sadar justru membantah teorinya.

Di ulang tahun ketujuhku. Papa marah besar setelah membaca catatanku:

"Kau puas? Di usia tujuh tahun kau sudah membantah seluruh teoriku!? Ini keterlaluan!!"

Aku belum pernah melihat papa semarah itu.

Atau... mungkin bukan itu masalahnya.

Aku rasa kejadian saat itu mungkin hanya pukulan terakhir. Hubungan antara aku dan papa sudah lama renggang.

Tapi aku tak menyadarinya.

Kupikir dengan rajin belajar polos, aku akan dipuji.

Tapi ternyata tak sesederhana itu.

Aku sedih, takut... bingung harus bagaimana.

Sejak saat itu, hubunganku dengan papa hancur...

Jadi, selama tujuh tahun ini, kurasa aku terus mengejar bayangan papa. Meski ada firasat bahwa aku takkan pernah bertemu lagi dengannya.

Tapi, ternyata tak sesuai dugaan.

Papa mengirimiku surat. Isinya undangan untuk "Konferensi Pers: Kesuksesan Pengembangan Mesin Waktu" ini.

"Aku akan menyelesaikan mesin waktu yang kau bantah, dan membuktikan padamu bahwa aku benar!"

Itu yang papa katakan tujuh tahun lalu.

Sekarang kuingat, hampir semua makalah ayah adalah tentang mesin waktu. Mungkin seperti katanya, dia masih menelitinya sampai sekarang.

...Jujur saja, aku tak percaya penelitian mesin waktu papa benar-benar berhasil. Kalau memang berhasil, seharusnya sudah ada makalah pendahuluan yang dipublikasikan.

"—Tapi mungkin konferensi ini justru untuk mempublikasikan makalah itu."

Gumamku sambil berjalan menuju Radio Kaikan.

Jika benar begitu, maka makalah yang kubawa ini bisa membantu papa.

Kupeluk erat map berisi makalah itu, seolah itu harta karunku.

Makalah yang kutulis dengan hati berbunga setelah menerima undangan papa.

Jika papa membaca makalah ini dan memujiku…

Jika aku bisa menebus kesalahan tujuh tahun lalu…

Jika aku akhirnya mendengar kata-kata yang seharusnya papa ucapkan saat itu…

Usahaku tak akan sia-sia. Aku bisa mengambil kembali "keyakinan" itu.

Mengembalikan ikatan dengan ayah...

"Aku... sangat ingin bertemu denganmu, Papa."

Saat tiba lebih awal di Radio Kaikan, kusadari gedung ini jauh lebih kecil dari bayanganku. Menurut pencarian di internet, ini adalah gedung pencakar langit pertama di Akihabara yang dibangun tahun 1962.

"Ternyata sudah tua..."

Untuk usia lebih dari 40 tahun, mungkin tak pantas menyebutnya kecil. Gedung ini pasti pernah menjadi ikon tertinggi di Akihabara.

Kututup ponsel dan menatap gedung itu. Lampu-lampu hiasannya pasti terlihat cantik di malam hari.

—Tapi Akihabara penuh dengan gedung semacam ini.

Gedung delapan lantai ini memiliki papan neon besar di lantai dua yang mencolok dengan logo setiap toko. Lebih mencolok daripada gedung sekitarnya.

Begitu masuk, kesan berantakan dari luar ternyata belum seberapa.

Kekacauan di dalamnya tak terbayangkan dari penampilannya.

Sambil melewati toko elektronik, kamera, dan suvenir, aku menuju lift. Untuk usianya, interiornya cukup anggun—ciri khas bangunan tua.

Di depan lift bernuansa vintage, jariku berhenti tepat sebelum menekan tombol. Ada keraguan.

Aku ingin segera bertemu papa, tapi pengalaman tujuh tahun lalu membuatku takut.

Dua perasaan bertolak belakang ini benar-benar menggoyahkan hatiku.

"Wajar jika takut..."

Kutarik napas dalam, mencoba menenangkan diri.

Bertemu papa yang pernah memarahiku dengan amukannya—tentu menakutkan.

Seperti umat Kristen menyebut Tuhan sebagai Bapa, bagiku, papa adalah sosok yang kusegani. Pengaruhnya sangat dalam.

Baik maupun buruk.

Hal yang ingin kulakukan atau tidak.

Aku tak bisa lepas dari pengaruhnya.

Sebagai ahli neurosains, aku paham betul mekanisme dan penyebabnya.

"Justru karena itu... aku harus bertemu papa."

Kututup mata sebentar, lalu buka. Napas kembali kukendalikan.

Aku tahu persis efek gerakan ini pada otak dan emosi. Pengetahuan dari pengalaman dan studiku.

Ini adalah "keyakinan" lain bagiku.

Meski tak sekuat iman senpai atau perasaanku pada papa, ini adalah hasil jerih payah tujuh tahun terakhir. Kebanggaan ilmiahku sebagai peneliti di Viktor Chondria University.

Dengan mengatur napas dan pandangan, perasaanku tenang. Detak jantung masih tak stabil, tapi jauh lebih baik.

"Tiba lebih awal ternyata keputusan tepat."

Senyum kecil mengembang saat melihat jam. Masih ada waktu untuk menenangkan diri.

Lift menunjukkan sedang menuju lantai atas.

"...Aku akan naik pelan-pelan saja."

Kusuarakan keputusanku untuk meyakinkan diri.

Belok ke tangga, kunaikinya selangkah demi selangkah menuju papa.

Kusengaja berputar di dalam gedung untuk memperlambat waktu. Jika langsung naik, delapan lantai hanya butuh beberapa menit. Aku butuh lebih banyak waktu.

Untungnya, mungkin karena hampir jam makan siang, koridor sepi. Terutama lantai empat—hanya ada pegawai toko.

"Mungkin karena tak ada restoran di sini?"

Hanya beberapa orang yang turun, jarang yang naik. Aku tak tahu apakah ini normal atau tidak, karena pertama kali di Radio Kaikan.

Tapi kondisi ini sempurna untuk menenangkan diri.

Dengan langkah stabil dan napas teratur, kuputari lantai empat. Stimulasi pada saraf simpatik perlahan meredakan kegelisahanku.

Saat kembali ke tangga, keinginan bertemu papa mulai mengalahkan ketakutan.

Tiba-tiba—"Boom!"—suara gemuruh mengguncang!

"Eh... Gempa?"

Tubuhku kaku, tapi lantai tak bergoyang. Apa itu?

Ponsel tak menunjukkan peringatan darurat. Pegawai sekitar juga tak panik. Mungkin bukan apa-apa.

Kubuka ponsel: 11:51. Waktunya hampir tiba.

"...Harusnya... aku sudah siap. Ya!"

Kukonfirmasi lagi. Detak jantung tak bertambah cepat. Bibir tak bisa menahan senyum.

Perasaan bahagia saat menerima undangan ayah kembali mengalir. Sukacita saat tahu papa tak melupakanku, tak membenciku.

Saat tenang, teringat isi map di tanganku.

Hadiah pertemuan setelah tujuh tahun.

Makalah untuk papa. Akankah dia memujiku kali ini?

Kupeluk erat map itu, memastikannya aman.

Saat surat papa yang membuatku menerima undangan ATF tiba, aku sangat gembira. Kukira papa mau memaafkanku. Karena itulah kutulis makalah ini untuknya.

"Tinjauan Tentang Mesin Waktu"

Dalam lingkup fisika modern, mesin waktu mustahil ada. Tepatnya, perjalanan waktu—pergerakan melintasi waktu—memang mungkin.

Tapi bisa dipastikan, mesin waktu seperti dalam fiksi ilmiah masih mimpi. Karena tubuh manusia tak bisa menahan banyak masalah yang muncul dari perjalanan waktu.

Tapi…

Bagaimana jika kita melihatnya dari sudut berbeda?

Saat ide itu muncul, beberapa skema langsung melintas di pikiran. Kebetulan penelitian lain baru selesai, jadi kufokuskan seluruh waktuku untuk menyusunnya.

Ini pasti membantu papa. Meski tak langsung menciptakan mesin waktu, setidaknya bisa memajukan penelitiannya. Bahkan mungkin mewujudkan mesin waktu papa.

Untuk itu, makalah ini bisa kupublikasikan bersama papa. Dia pasti akan memujiku.

Pasti.

Semakin kurenungkan, semakin bersemangat. Tanpa sadar kubuka map untuk memeriksa isinya.

Kebiasaan buruk peneliti: terlalu fokus hingga tak aware sekitar. Dan tentu saja, aku juga melakukannya. Sungguh tidak dewasa dan berbahaya.

"Hmm?"

Bukan gemuruh tadi, tapi kejutan lain—

Aduh!

Aku menabrak seseorang.

"Maaf—!"

Kumerespon cepat, lalu menatap orang itu.

Hal pertama yang kulihat: jas lab putih. ...Jas lab? Peneliti? Peserta konferensi papa?

Tanpa sadar aku berasumsi dia pendukung teori papa, lalu melihat wajahnya. Pikiranku mendadak blank.

Rambut acak-acakan, pria Asia sekitar 20-an tahun. Ekspresinya kosong—seperti melihat seseorang yang tak terduga, sedih, dan bingung.

Dengan wajah kaku, dia berbisik pelan:

"Kurisu..."

Itu... namaku.

"Kurisu..."

Kali ini, giliranku yang terkejut.

"Kau tahu namaku? ...Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"

Setahuku, tak ada ingatan tentang pria ini. Tapi ekspresi dan tatapannya menunjukkan bahwa ini bukan pertemuan pertama.

Ketika orang bertemu seseorang untuk pertama kalinya, mereka selalu berperilaku dengan cara tertentu, yang tercermin jelas pada jarak yang mereka jaga dan cara mereka memandang orang lain.

Namun perilakunya berbeda.

Dia bersikap seolah mengenalku. lebih dari sekali atau dua kali, seperti seseorang yang dekat denganku.

Kenapa? Bagaimana bisa?

Tak peduli seberapa kugali ingatanku, tak ada informasi tentangnya.

"...Kamu dengar?"

Aku bertanya lagi pada pria yang tertegun itu. Nada suaraku penuh curiga.

Mendengar suaraku, matanya bergetar. Sepertinya kata-kataku telah membangkitkan emosinya.

Tiba-tiba, tangannya bergerak tak terduga—

jari-jarinya mecoba menyentuh pipiku—

"... Ada apa sih?"

Refleks kuhindari sentuhannya. Tapi—whoosh!—makalah dari map yang terbuka berhamburan ke lantai! Kertas-kertas putih berserakan di lantai vinil krem.

Cepat kumerunduk mengumpulkannya.

Gelombang kemarahan tiba-tiba membuncah dalam diriku...!

Makalah untuk papa... berantakan begini!

"Apa maumu? Tolong jawab pertanyaanku!"

Ini kesempatan langka... ini kesempatan pertama dalam tujuh tahun...

Tentu, sebagian logikaku tahu ini bukan masalah besar. Makalahnya tak kotor, masih bisa dibaca.

Tapi entah mengapa, meski tahu itu tak rasional, aku merasa ini akan menggagalkan rekonsiliasi dengan ayah... Kebencian pada diriku sendiri semakin memicu amarah pada pria pendiam ini.

Bisakah kau bicara?!

Saat aku berteriak dalam hati, suara lembut mencapai telingaku:

"Aku..."

Suara gemetar... Seolah-olah dia diliputi emosi.

Suara yang hampir menangis. Seperti hendak menangis tersedu-sedu setiap saat…

"Eh?"

Aku terkejut, bahkan lupa marah, dan menatapnya. Matanya berkaca-kaca, air mata hampir tumpah.

Dia menatapku dengan gemetar, ekspresinya menunjukkan dia berusaha mati-matian menahan air matanya, Namun tetap tak bisa menahannya.

"Aku... akan..."

Ucapannya terhenti di tengah.

Baru kusadari: dia bukan tak mau menjawab atau sengaja diam.

Dia tak bisa bicara.

Emosinya terlalu kuat hingga kata-kata tak keluar.

Untuk sesaat, kami hanya saling memandang dalam diam.

Aku tak tahu hubungannya denganku, alasannya di sini, atau kenapa dia begitu emosional. Tapi aku tahu itu sesuatu yang tidak biasa.

Aku terpana, tak bisa bergerak, hanya terus menatapnya.

Dan kemudian saat itu—

Suara kecil di kedalaman kesadaranku. Seperti roda gigi. Cincin yang berputar teratur. Sesuatu menyangkut, mengeluarkan bunyi reyot.

Gambar-gambar muncul seperti adegan film mundur:

Seorang pria dengan raut wajah putus asa mengulurkan tangan dan meneriakkan sesuatu. Bayangan samar muncul dan menghilang satu demi satu.

Ada sesuatu... yang kulupakan. Selalu ada perasaan ini.

"Konferensi pers Dr. Nakabachi akan segera dimulai di auditorium lantai 8. Silakan masuk..."

Suara pengumuman menyadarkanku dan dia. Kami serentak menengok ke atas. Waktu yang sempat beku kini mengalir lagi.

Aku harus pergi ke konferensi papa…

Itu yang pertama kupikirkan ketika mendengar pengumuman itu.

Jadi... saat pria ini tiba-tiba berlari setelah mendengar pengumuman, aku tak sempat menghentikannya.

"Ugh—!"

"Eh, tunggu, tunggu sebentar!"

Terlambat. Jika kukejar, mungkin bisa, tapi waktunya mepet. Lagi pula, auranya menolak untuk ditahan.

Apa yang ingin dia katakan tadi?

Dengan keraguan, kuambil makalah dan naik tangga.

Jujur, aku penasaran siapa dia, tapi sekarang ada prioritas lebih penting.

Kupercepat langkah menuju lantai 8.

"Hmm?"

Di tangga lantai 7, ada sesuatu yang mengkilap. Apa itu?

Kuraih benda logam bulat kecil itu. Seperti jimat. Tertulis "Mayushii" dengan tinta merah. Nama Maskot ini?

"...Imut."

Anehnya, benda ini terasa seperti jimat keberuntungan. Bentuknya yang bulat menenangkan, seolah bisa membantuku berbicara lancar dengan papa.

...Sepertinya seseorang kehilangan sesuatu. Maaf, pinjam sebentar, ya.

Senyum kecil mengembang saat kumasukkan ke map. Lanjut ke lantai 8.

Konferensi tampaknya sudah dimulai. Tapi masih banyak yang baru datang. Lega, aku masuk.

Setelah tujuh tahun, akhirnya bertemu lagi dengan papa.

...Untuk mengambil kembali waktu yang hilang.

"DOKTERRR—!!"

Teriakan.

Benar-benar hanya teriakan.

Begitu sampai di lantai 8, suara dari ruang konferensi membuatku mengkerut.

Aku selalu takut pada teriakan atau amukan. Meski logikaku tahu ini bukan apa-apa, tubuhku tetap bereaksi—sejak malam tujuh tahun lalu ketika papa memarahiku.

Lalu, suara papa yang marah terdengar lagi. Tampaknya debat terjadi. Seketika aku mengkerut lagi, tapi karena kemarahan itu bukan padaku, aku bisa menahan ketakutan.

Setelah berhasil mengatasinya, amarah lain muncul. Setengahnya karena malu pada diri sendiri yang takut hal kecil, setengahnya karena kesal pada orang asing itu yang memicu amarah papa di saat penting. Aku tahu ini kekanak-kanakan, tapi tetap saja kesal.

Dengan wajah masam, kubuka pintu ruang konferensi.

Siapa pun itu, aku perlu meluapkan emosi ini.

………………………………………

Tapi pada akhirnya, amarahku tak tertumpahkan.

Di dalam, seorang pria sedang berdebat dengan papa. Pasti dia yang berteriak tadi. Penampilannya begitu mengejutkan hingga aku lupa marah.

Orang itu…adalah pria yang kutabrak di tangga lantai empat 10 menit lalu.

Pria yang menatapku dengan mata berkaca-kaca.

Rambut acak-acakan, jas lab putih, tinggi tapi kurus.

Tak mungkin salah. Kecuali ingatan jangka pendek-ku bermasalah, ini orang yang sama.

Entah bagaimana dia bisa sampai lebih dulu dariku yang langsung naik, tapi aku baru saja bertemu—tak mungkin keliru.

Saat mengenalinya, amarahku hilang, digantikan satu pertanyaan:

"Kenapa?"

Kenapa menatapku dengan tatapan itu?

Kenapa memanggil namaku dengan suara itu?

Kenapa wajahnya hampir menangis?

Kenapa ingin bicara tapi berhenti?

Kenapa, kenapa, kenapa, kenapa, kenapa, kenapa, kenapa, kenapa, kenapa, kenapa, kenapa...?

Sebagai peneliti, otak yang dipenuhi kata "kenapa" bukan hal aneh. Dan sebagai peneliti, pertanyaan "kenapa" harus dijawab.

Tanpa ragu, kuterobos kerumunan dan mendekatinya. Kutepuk bahunya:

"...Ikut aku."

Pasti tatapanku sangat tajam. Tapi aku tak peduli. Bahkan tujuan utamaku ke Jepang—papa—terlupakan sejenak.

Tidak, itu tidak tepat. Aku tak melupakan papa. Hanya saja, bertanya pada pria ini menjadi prioritas tertinggi.

Kusentuh bahunya, alihkan perhatiannya dari papa, lalu kutarik tangannya keluar ruangan. Dia protes, tapi aku tak peduli.

Begitu di luar, pria berambut acak itu langsung kasar:

"Siapa kau?" Ucapnya

Ini pertanyaanku!

"Itu mestinya kalimatku."

"Apa?"

Saat berbicara, ada ketidakcocokan dalam sikapnya. Kulempar tatapan sinis sambil menjaga jarak, lalu tanyakan hal yang paling menggangguku:

"Tadi kau ingin mengatakan sesuatu, kan? padaku"

Lima belas menit lalu. Dia pergi tanpa menjelaskan. Tapi jawabannya justru membuatku tak puas.

"...Tadi?"

Ekspresi bingungnya membuat tatapanku semakin tajam. Dia pura-pura lupa? Tetap saja, kutahan amarah dan berkata tenang:

"Sekitar lima belas menit lalu."

"Omong kosong apa yang—"

Tiba-tiba suaranya berubah.

"Makise... Kurisu?"

Ini kedua kalinya dia memanggil namaku. Nada suaranya membuatku menyadari sumber ketidakcocokan tadi. Berkali-kali aku berkedip. Ya, nada, intonasi, gerak matanya... semua seperti pada orang asing.

Akting? Bisa sempurna sampai segitunya? Atau dia punya kepribadian ganda?

Aneh... pertanyaan baru bermunculan.

Pria di hadapanku—entah tidak menyadari kebingunganku atau benar-benar pura-pura bodoh—terus berbicara seolah kami baru pertama kali bertemu:

"Sebelumnya makalahmu pernah terbit di Science..."

Dia merujuk pada tulisanku "Analisis Sinyal Saraf terkait Memori di Lobus Temporal". Aku yakin dia berpura-pura, tapi memutuskan untuk bermain-main dengan kebohongannya. Kuturunkan suara:

"Tahu banyak juga? Apa kamu peneliti dari suatu universi—?"

"...Kau!"

Suaranya yang terkejut bertabrakan dengan ucapanku. Nada seolah sedang menghadapi situasi genting membuatku bingung. Dia mundur beberapa langkah.

"...Apa kau agent kiriman Organisasi?"

"Organisasi?"

Apa yang dia bicarakan?

Isi pembicaraannya begitu tak terduga hingga pikiranku blank. Aku mulai panik.

"Apa itu? Aku cuma ingin bertanya—"

"Aku tak wajib menjawab pertanyaamu!"

Lagi-lagi dia memotong sebelum aku selesai. Sikapnya membuat darahku mendidih. Ketika dia mengeluarkan ponsel dan menelepon seseorang, aku mendekat tanpa ragu.

"Kamu bicara dengan siapa?" Tanyaku.

Tapi dia mengabaikanku, terus berbicara di ponsel. Emosiku meledak—tanpa berpikir, kuambil ponselnya dengan paksa!

Tak peduli siapa di seberang telepon, aku harus tahu. Tapi layar ponselnya gelap.

"Eh? Baterai-nya...?"

Dia bahkan tidak sedang menelepon siapa pun.

Ponselnya dari awal tidak menyala. Saat kusoroti ini, wajahnya berubah drastis—lalu tiba-tiba... tertawa terbahak-bahak.

"Fu, fuh—HAHAHAHAHA...! Aku beri tahu rahasia. Ini ponsel misi yang akan mati otomatis kalau disentuh orang lain selain aku! Ponsel yang dibuat khusus! Fu, FUHAHAHAHA!"

Mendengar klaimnya yang diiringi tawa, amarahku yang hampir mendidih tiba-tiba membeku. Untuk pertama kali, kusadari: kemarahan yang melampaui batas justru berubah dingin.

"...Jadi, bicara sendiri."

Jika kata-kata bisa setajam pisau, pastilah diucapkan dalam kondisi sepertiku. Entah karena menyadari amarahku atau alasan lain, pria itu berhenti tertawa.

"Aku akan langsung ke intinya. Apa yang ingin kau katakan padaku tadi?"

Kutatap matanya tanpa berkedip, bertekad tak melewatkan gerak-geriknya. Seseorang bisa berpura-pura, tapi tidak dengan reaksi saraf dan otak. Sebagai ahli neurosains, aku bisa membaca itu.

Terutama—mata.

Gerakan bola mata lebih jujur daripada ribuan kata.

"Sekitar lima belas menit lalu, kau ingin mengatakan sesuatu, kan? Ekspresimu seperti sedang khawatir—"

Tatapanku yang tak berkedip membuatnya tidak nyaman. Dia menghindari kontak mata, lalu mencoba menutupi kegelisahannya:

"Fu, fuhehe... A-Aku bisa melihat segalanya. Gadis Jenius, saat kita bertemu lagi, kita akan jadi musuh!"

Ucapannya yang dibuat-buat begitu tidak masuk akal hingga pikiranku kacau.

Apa-apaan ini?

"Eh?"

"Selamat tinggal."

Kali ini, akulah yang tertinggal. Saat pikiranku kacau, dia tertawa sambil berlari menuruni tangga ke lantai 7.

"Tunggu!"

Aku memanggilnya untuk berhenti, seperti yang kulakukan lima belas menit yang lalu, tetapi sia-sia. Aku hanya bisa menyaksikan, tak berdaya, saat ia kembali berlari.

Kuberkedip beberapa kali menatap tangga tempat pria misterius itu menghilang.

Pada akhirnya, aku tetap tak mendapat jawaban.

Tapi satu hal kini pasti: "Dia" yang kutemui sekarang dan 15 menit lalu bukan orang yang sama. Setidaknya, sejauh ingatanku.

Sebagai ahli neurosains khususnya ingatan, aku yakin tak ada yang bisa menipuku selama itu. Ini bukan akting. Dia benar-benar tidak ingat pernah bertemu 15 menit lalu.

"Mungkinkah... kembar?"

Ini penjelasan paling masuk akal. Mungkin mereka kembar identik dengan pakaian sama persis. Jawaban yang paling tidak membuatku stres.

Jika benar, alasan dia sampai di ruang konferensi lebih cepat dariku juga jelas: yang kutabrak tadi tidak pergi ke sana, sedangkan yang di ruang konferensi sudah ada sejak awal.

Penjelasan lain: kepribadian ganda. Ini bisa menjelaskan mengapa dia bersikap seolah baru pertama kali bertemu.

—Namun, kedua teori ini memiliki masalah: lima belas menit yang lalu, dia berperilaku dengan cara yang menunjukkan bahwa dia mengenal baik Makise Kurisu, seseorang yang belum pernah dia temui sebelumnya. Ini tak bisa dijelaskan oleh teori kembar atau kepribadian ganda. Bahkan andai dia aktor ulung sekalipun.

Seperti biasa saat menganalisis, otakku terus bertanya-jawab sendiri. Tiba-tiba, ide gila muncul:

"...Tidak mungkin."

Kutertawa kecil, menyangkal kemungkinan itu.

Ya. Mustahil.

Bagaimana jika dia penjelajah waktu?

Mungkin yang di ruang konferensi benar-benar pertama kali bertemu, sedangkan yang 15 menit lalu datang dari masa depan?

Dengan asumsi ini, semua bisa dijelaskan.

Masalahnya hanya satu: mesin waktu tidak ada di dunia ini.

...Bahkan jika mesin waktu diciptakan di masa depan dengan makalahku dan penelitian papa, pengembangannya butuh waktu lama. Selama waktu itu, ia akan menua dan penampilannya tidak lagi sama.

Tentu saja, mungkin saja di masa depan, teknik-teknik yang sangat maju untuk mempertahankan keremajaan atau operasi plastik untuk peremajaan akan ditemukan, tetapi anggapan-anggapan seperti itu masih sekadar khayalan belaka, dan berada di luar jangkauan pemikiran ilmiah.

Meskipun hal ini mungkin dapat diterima saat memunculkan teori baru, ini adalah ide yang harus diabaikan selama proses verifikasi ini.

Kugelengkan kepala untuk mengusir ide liar itu, lalu membuka ponselku dan memeriksa waktu:

12:26

Aksi-aksi tadi menghabiskan waktuku. Dari balik pintu ruang konferensi, Dari balik pintu tempat acara di belakangnya, samar-samar ia mendengar suara tepuk tangan. Sepertinya konferensi pers itu sendiri sudah selesai.

Berbeda dengan kuliah, konferensi pers mungkin tidak membahas hal teknis mendalam. 

Jika memang begitu, tidak mengherankan jika konferensi pers berakhir hanya dalam 30 menit.

Untuk beberapa saat saja. Aku ragu sejenak.

Aku ingin berbicara dengan papa. Aku ingin menunjukkan makalah ini.

Tapi papa bukan hanya Makise Shouichi-nya aku, dia juga Dr. Nakabachi. Sebagai anak, aku tak bisa sembarangan mengganggu urusan profesionalnya. Aku juga akan marah jika ada yang masuk ke labku tanpa izin.

Mungkin harus mencari tempat sepi? Ini menyangkut privasi.

Kuperhatikan sekeliling.

Tampaknya ada lorong untuk karyawan di belakang, dan lebih jauh lagi ada ruang tunggu bagi mereka yang terlibat, di mana orang tua dan anak dapat berbicara secara pribadi tanpa terganggu.

Begitulah rencanaku...

Sebelum orang lain meninggalkan tempat itu, aku diam-diam berjalan menuju lorong karyawan.

Menghindari tumpukan kotak kardus, aku berjalan ke ruang tunggu bagi mereka yang terlibat dan bersandar ke dinding untuk mengatur napas.

Tak lama lagi, papa akan lewat sini.

Apa yang harus kukatakan duluan? Sudah tujuh tahun? Aku merindukanmu? Atau...

Semakin kurasakan jantung berdebar.

Tidak, mungkin harus langsung bahas makalah ini. Karena jika papa membacanya, aku yakin... dia pasti akan senang.

Makalah ini akan menjadi katalisator agar hubunganku dengan papa-ku kembali terjalin. Dengan pikiran itu, kuperiksa lagi isi map. Tiba-tiba, seseorang masuk ke koridor.

Seseorang mendekat dengan langkah kasar, sambil menggumamkan sesuatu pada dirinya sendiri.

Seorang pria berusia empat puluhan mengenakan jaket berwarna sepia dan sapu tangan hitam di lehernya. Itu jelas papa.

Awalnya, aku bermaksud untuk berbicara langsung kepadanya, tapi aku merasa sedikit terintimidasi oleh sikap tegas yang ditunjukkan Papa.

Jadi... papa-lah yang lebih dulu berbicara.

"Kau... ada perlu?"

Ayah menatapku dengan aura cemberut, melotot tajam. Ekspresinya entah bagaimana mengingatkanku pada papa-ku tujuh tahun lalu. Aku berusaha menekan rasa takut yang tumbuh di hatiku dan entah bagaimana memaksakan senyum.

Tapi jelas bagiku bahwa ini tidak berhasil. Aku berusaha sebaik mungkin untuk berbicara dengan suara yang meyakinkan:

"Ini... Tolong baca ini... Papa."

Kuserahkan makalah itu—karya yang kutulis untuk mendapat pujiannya.

Jika papa membacanya, semuanya akan membaik.

Aku berpikir dan berharap begitu.

Ujung jariku mungkin gemetar. Tapi kuharap itu menunjukkan betapa kerasnya aku bekerja. Betapa aku menyayangimu, Papa.

Papa menyambar makalah itu dan langsung membacanya. Makalah itu cukup panjang. Butuh waktu lama untuk sekadar membacanya sekali. Tapi Papa pembaca yang cepat, jadi ia hanya butuh waktu tak lebih dari lima menit untuk memahami inti dari kertas sepanjang ini.

Papa membacanya dalam diam.

Keheningan menyelimuti kami. Aku tak tahan lagi dengan keheningan itu dan mulai berbicara tanpa tujuan kepada papa-ku.

"Papa tidak menghubungiku selama tujuh tahun, tapi kali ini mengundangku ke konferensi pers. Karena itulah aku menulis makalah ini—"

Tanpa menjawab sama sekali, Papa hanya membalik-balik halaman dan melanjutkan membaca dengan kecepatan robotik. Aku merasa gelisah dan mati-matian berusaha menemukan topik untuk dibicarakan

"Aku menyusun teoriku dan berpikir... mungkin ini bisa mewujudkan dasar pembuatan mesin waktu. Aku ingin mendengar pendapat, Papa ."

Aku bersemangat menjelaskan.

Terus berbicara.

Aku ingin papa-ku, yang hanya membaca dalam diam, entah bagaimana mengalihkan perhatiannya padaku. Aku ingin dia memujiku karena telah melakukan pekerjaan dengan baik. Aku ingin dipuji.

Aku ingin mengulang malam itu tujuh tahun lalu.

Membuatnya kembali menjadi papa-ku.

"Jika ini disetujui, itu akan menjadi balas dendam papa karena dikeluarkan dari akademi—"

Saat aku mengatakan itu. Tiba-tiba, tatapan papa menjadi tajam…

"Aku tidak diusir! Aku yang memilih pergi karena menganggap mereka rendah!"

Tiba-tiba, terdengar teriakan melengking. Aku merasakan tekanan fisik yang sebenarnya tidak ada, dan seluruh tubuhku membeku. Secara refleks, aku melontarkan permintaan maaf.

"Maaf..."

Papa selesai membaca koran tak lama setelah aku meminta maaf. Dia melirik sampulnya dan berkata:

"Hmph... Lumayan."

Mendengar itu, rasa takut perlahan menghilang. Digantikan sukacita karena diakui dan dipuji oleh papa. Jadi, tanpa pikir panjang, kuucapkan isi hatiku:

"Sungguh! Aku pikir kalau papa setuju... kita bisa mempublikasikannya bersama. Karena Papa-lah yang menginspirasiku—"

Seketika, amukannya meledak lebih dahsyat dari sebelumnya. Penuh kebencian.

"Jangan mengatakan hal-hal bodoh!"

Teriakan itu membuat tubuhku tanpa sengaja menyusut...dan kupikir air mata mungkin menggenang di mataku.

Menakutkan... menakutkan... Aku takut...

Kini, di usiaku yang ke-18, tepat pada saat itu, aku merasa seakan-akan kembali ke usiaku yang ke-11, tujuh tahun yang lalu.

"...Tolong... jangan marah..."

Dengan suara lemah, aku entah bagaimana berhasil mengucapkan hal itu.

"—Pulang sana."

Ayah membalas kata-kataku dengan satu kata singkat. Jawaban yang tak bisa kupercaya. Aku hanya bisa menatapnya.

Aku tak mengerti. Hanya terus menatap.

Ayah menghubungiku setelah tujuh tahun—bukankah ini kesempatan untuk menjalin kembali ikatan?

Bukankah aku bisa memberitahunya betapa aku telah berusaha?

Bukankah dia akhirnya mau menerimaku?

Aku terus menatap, tapi ayah mengabaikanku, menyimpan makalahku, lalu berpaling. Kalimat terakhirnya sebelum pergi menjerumuskanku ke jurang keputusasaan:

"Kau ingin pendapatku? Baiklah, aku akan memberikan jawabanku. Makalah ini akan diterbitkan atas namaku. Itu saja."

Syok.

Mungkin hanya itu yang kurasakan saat ini.

Itu bukan lagi kesedihan atau kemarahan, tetapi sesuatu yang jauh melampaui itu: keterkejutan murni.

Aku tak percaya. Menolak mempercayainya.

Sebagai peneliti, ini adalah tabu yang tidak boleh dilanggar.

"Bagaimana bisa... Jangan-jangan… Papa, berniat mencurinya?"

Bagi peneliti, penelitian sama dengan kehidupan mereka sendiri.

Bahkan lebih—ia adalah akar keberadaan. Hasil keringat dan darah seumur hidup. Cara berpikir, harapan, perasaan, idealisme—pada dasarnya, jiwa seseorang.

Dan dia ingin mengambil itu... mengambil penelitian orang lain dan mengklaim sebagai miliknya? Itu sama dengan merampas seluruh eksistensi orang tersebut.

Itu sama saja dengan menghapus segala sesuatu yang telah terjadi sampai saat ini, dan akan terjadi di masa mendatang, baik yang sudah lewat maupun yang akan datang.

Apakah papa akan melakukan hal itu?

Papa-ku sendiri?

Bukan pada orang lain—tapi padaku!

Dengan putus asa, kuucapkan perlahan:

"Papa mau mencuri makalahku? Aku kira Papa bukan orang seperti—"

“Papa mau mencuri makalahku? Aku kira Papa bukan orang seperti itu——”

 “Diam!”

Tiba-tiba, pipiku terasa panas.

Begitu saja, aku terpental oleh kekuatan sesuatu yang menghantamku.

Aku butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa Papa telah memukulku.

Aku tidak bisa mempercayainya.

Aku tidak bisa memikirkan apapun.

Ketika aku sadar kembali, Papa sedang mencekik leherku.

“Beraninya... beraninya mengatakan aku mencuri...”

Rasa sakit yang hebat terpusat di tulang leherku. Tapi dibandingkan dengan rasa sakit, tekanan dan kesulitan bernapas menyebabkan penderitaan yang lebih hebat.

“Kenapa kau begitu berbakat? Kenapa anak perempuan bisa lebih hebat dari ayahnya!”

Bagian belakang kepalaku terasa mati rasa, di dalam kelopak mata berkedip-kedip banyak titik merah yang berputar-putar.

Aku hanya bisa mengeluarkan suara yang penuh kesedihan.

“Kalau bukan karena kau, aku bisa tetap menjadi yang terbaik! Kalau saja kau tidak ada…”

Dalam kesadaran yang dikuasai rasa sakit, aku berusaha keras menyangkal keadaan saat ini.

Aku tidak mau mengakuinya.  

Ini bohong, ini bohong, siapapun tolong beritahu aku kalau ini bohong?  

Siapa saja. Katakan padaku ini bohong, katakan padaku ini hanya mimpi.  

Papa tidak mungkin melakukan ini padaku. Papa tidak mungkin membenciku.  

Aku tidak mau, aku tidak mau, aku tidak mau, aku tidak mau, aku tidak mau.  

Papa… Papa… Papa-ku… Papa yang tersayang…

Rasa kebas di dalam pikiran semakin meluas, kegelapan merah perlahan-lahan menenggelamkan pikiran. Rasa sakit perlahan-lahan ditelan oleh rasa kebas, hanya tersisa rasa kebas yang terus meluas.

Saat aku merasa sudah tidak lagi merasakan sakit, hanya tersisa rasa kebas yang mengambang di pikiran, tiba-tiba aku terlepas dari perasaan itu.

Tiba-tiba, rasa kesedihan kembali menyelimuti diriku.  

Aku merasa pusing hebat, dan melindungi leher yang sakit dengan tanganku.  

Sepertinya seseorang telah menabrak papa dan menyelamatkan nyawaku. Di lorong yang gelap, aku melihat bayangan seseorang berdiri di depan papa.  

Dalam penglihatan yang masih kabur, aku hanya bisa mengenali jubah putih dan rambut acak-acakan orang itu.

“Kau..."  

Aku baru saja bertemu dengan seseorang yang sesuai dengan dua ciri tersebut. Aku tidak tahu mengapa dia menyelamatkanku.  

Namun, secara aneh, aku merasa yakin.  

Dia datang untuk menyelamatkanku. Lalu, dalam rasa sakit, aku teringat akan suatu pemandangan. Itu adalah pemandangan yang aku mimpikan pagi ini. Tidak, bukan hanya pagi ini. Sampai saat ini, aku sudah memimpikannya berkali-kali.

Seorang pria dengan rambut acak-acakan dan jubah putih, yang dengan putus asa mengulurkan tangannya kepadaku.  

Dia persis seperti pria yang sekarang berdiri di depanku, melindungiku dari papa-ku.  

Aku tidak tahu kenapa.  

Itu tidak masuk akal secara logis.  

Tapi, aku sangat yakin.

“Kau yang tadi. Jadi begitu, ya? Kalian berdua bersekongkol melawan aku, menghancurkan konferensi persku, kan… Hahaha… Jadi begitu, ya…”

Papa yang didorong menjauh itu tertawa dengan wajah yang terdistorsi

Itu bukan senyuman lembut dan penuh kasih sayang yang aku kenal dari papa. Aku belum pernah melihat senyuman yang begitu mengerikan. Jika hantu atau iblis bisa tertawa, mungkin wajahnya akan seperti itu. Senyum gila nan kejam itu muncul di wajah papa-ku, dan hal itu masih sulit dipercaya bagiku.

Papa-ku tertawa sambil berdiri, lalu mengeluarkan pisau kecil dari sakunya. Seberkas cahaya yang masuk melalui pintu, menyinari bilah pisau yang berkilau, dan pantulan cahaya itu semakin menonjolkan bentuknya yang ganas.

“Papa...“  

Tidak percaya... enggan tuk percaya.  

Aku terus berdoa agar ini bukan kenyataan, tapi harapanku pupus. Papa dan pria berbaju putih itu mulai berkelahi.  

“Jangan... meremehkan aku—!“

Beruntung, pisau kecil yang ditarik papa segera dijatuhkan oleh pria berbaju putih itu. Namun, amarah papa tampaknya belum mereda. Dia mengambil obeng yang jatuh dari kotak alat di dekatnya dan menggunakannya sebagai senjata baru.

“Berhenti, papa!”

Aku berlari ke depan pria yang melindungiku, berharap papa berhenti.

“Berhenti…! Kumohon… berhentilah…”  

“Diam! Kau tidak berhak memerintahku—!”  

Tapi Papa tidak mau berhenti. Obengnya mengarah ke wajahku, dan aku dengan susah payah menahannya dengan lengan. Adrenalin meredakan rasa sakit, tapi tidak bisa menghilangkan rasa sakit saat obeng itu menggores kulit lengan.

"Kau… kau tidak tahu apa-apa! Kau tidak mengerti perasaanku…! Rasa malu ini…! Neraka ini…!"

Aku menangis.

Hanya bisa menangis.

Aku tidak tahu harus berbuat apa, hanya bisa terus menangis.

Di sudut penglihatan yang kabur karena air mata, aku melihat dia yang mengenakan jubah putih memungut pisau kecil yang tadi jatuh dari tangan papa-ku.

Hah?

Aku membelalakkan mata. Seperti dalam gerakan lambat, aku melihat dia mengangkat pisau dan berlari ke arah papa-ku... lurus ke arahnya.

Tanpa berpikir panjang, aku berlari ke antara dia dan papa-ku dengan penuh keterkejutan.

“Jangan—!”

Perasaan pertama yang muncul adalah “putih”.

Menggambarkan sentuhan dengan warna mungkin terdengar aneh jika diungkapkan dengan kata-kata.  

Namun, dalam fisika modern, partikel dasar seperti quark dan gluon memiliki sifat yang disebut “muatan warna,” yang diklasifikasikan berdasarkan warna. Secara kasar, dapat dikatakan bahwa intensitas energi dan beratnya setara dengan sifat yang diwakili oleh warna.  

Dalam ungkapan bahasa, kita juga menggunakan istilah “bilah putih” untuk menggambarkan mata pisau.

Jika dipikir-pikir, menggambarkan sensasi pisau tajam menusuk tubuh dengan “putih” mungkin bukan ungkapan yang aneh. Entah mengapa, itulah yang terlintas di benakku.

Selanjutnya yang dirasakan adalah dorongan kekuatan, rasa asing, dan sensasi unik kulit dan daging teriris.

Dalam sekejap, aku mengamati dengan tenang sensasi tubuhku dihancurkan oleh senjata tajam.

Hingga rasa sakit yang hebat menyebar ke seluruh tubuh...  

“...Ah, ugh, ha...”  

Tidak bisa mengeluarkan suara.  

Rasa sakit itu mematikan semua indra lainnya. Berbeda dengan mati rasa saat leherku dicekik tadi, ini adalah mati rasa yang lebih kasar dan keras.  

”...Kurisu...”

Pria berbaju putih yang menusukku, tertegun… dia memanggil namaku dengan linglung.

Entah kenapa, suaranya yang memanggilku entah kenapa terasa begitu menenangkan, Meskipun aku begitu kesakitan dan menderita, tapi sekarang aku bersandar di dadanya, merasa nyaman hingga sulit dipercaya.

Aku tak bisa menahan rasa nyaman ini dan rasa sakit yang hebat di perutku, aku bersandar padanya, lalu meluncur lemah dan terjatuh ke lantai.

Aku mendengar dia yang mengenakan jubah putih itu berteriak kesakitan, dan suara langkah kaki papa-ku yang gemetar meninggalkan tempat itu setelah mengucapkan kata perpisahan.

Aku pikir, papa-ku pasti sudah melarikan diri. Tapi, itu tak penting.

Aku malah berharap dia cepat pergi.

… Karena, aku rasa aku akan mati.  

Aku bisa merasakan, hidupku… suatu substansi yang hanya bisa dijelaskan sebagai hidup, mengalir keluar dari luka. Semakin banyak yang mengalir, tubuhku semakin dingin.  

Secara fisik, itu hanyalah darah. Tubuh menjadi dingin karena kehilangan darah.  

Tapi aku tetap merasa yang mengalir adalah hidupku.  

Jadi, aku berharap papa bisa membawa pergi hidupku yang lain.

Makalahku.

Selama ada makalah itu, papa pasti bisa membuat mesin waktu. Karena, dia adalah papa-ku…

Cepatlah melarikan diri… Aku berharap kau berlari sekuat tenaga, lalu membuat mesin waktu. Dengan begitu, meskipun tidak ada yang tahu kebenarannya, setidaknya bukti bahwa aku pernah hidup akan tertinggal. Bukti bahwa aku pernah berusaha akan tetap ada di dunia ini.

Jadi, papa tidak perlu khawatir lagi.

Meskipun aku juga ingin tahu “seperti apa” mesin waktu yang akan dibuat papa, tapi aku sudah menjadi seperti ini, tak ada yang bisa kulakukan.

Namun ada satu hal yang aku sesali.

Sekarang, kehangatan yang memelukku. Dia yang dengan sekuat tenaga memanggil namaku.

Aku hanya merasa bersalah padanya, sangat bersalah…

"Maaf… karena membuat.. mu terli.. bat…”

Aku tidak bisa bernapas dengan benar. Entah karena rasa sakit atau organ pernapasan yang rusak, aku hanya bisa bernapas dengan susah payah dan berbisik meminta maaf padanya.

“Kenapa…?”

Jawaban yang kudapatkan sama saja, suara yang lembut dan hampir menangis.

“Karena… dia adalah Ayahku…”

Aku berusaha menjawab dengan suara yang tertahan.

Aku telah menyulitkannya, ini adalah satu-satunya cara aku bisa menunjukkan sopan santun, juga permintaan maaf terakhirku. Aku membiarkan diriku dipeluknya, sebagai ungkapan terima kasih atas rasa aman yang tak terduga ini.

“Aku… hanya ingin diakui oleh papa-ku… hanya itu…”

Tapi sekarang aku akhirnya mengerti.

Papa tak pernah mau mengakuiku. Dia selalu membenciku.

Selalu membenciku.

Tapi aku hanya memikirkan pujian papa-ku, dan hidup sampai sekarang. Aku sangat berharap papa bisa memperlakukanku seperti dulu—aku benar-benar bodoh...  

Aku sudah mengerti.  

Kenapa aku melindungi papa-ku?  

Kenapa aku berharap dia segera melarikan diri?  

Pertanyaan-pertanyaan ini, aku sudah tahu jawabannya.  

Aku benar-benar bodoh.  

”...Kurisu.”

Rasa sakit semakin kuat. Pikiran semakin kabur.

“Ah... Aku.. Aku akan mati, kan...?”

Aku kembali merasakan rasa kematian dengan sangat kuat. Kegelapan dan ketakutan yang tak terdefinisikan semakin membesar.

Aku berharap ada yang memelukku erat.

Aku berharap ada yang menggenggam tanganku erat.

Karena aku sangat takut.

Sangat gelisah.

Sangat sendirian.

Sangat dingin.

Sangat gelap. Aku tidak bisa berpikir lagi. Tolong. Aku sangat takut.

“Kurisu...! Kurisu!”

Dia memanggil namaku dengan penuh perhatian.

Seperti dalam mimpi itu.

Teruslah memanggil namaku. Kumohon, panggil lebih banyak lagi.

“Aku sangat takut... aku... tak ingin mati...”

Aku tidak ingin… berakhir seperti ini…

Tolong… aku.

…Okabe…

Kegelapan… semakin menyebar…

Steins…Gate…

“Kurisu—!”

Akhirnya, aku samar-samar mendengar suara jeritan tepat di dekat telingaku.

Aku kehilangan kesadaran…

The 0th Act/Turning Point:Reverse...End

Steins;Gate Chouyoku no Divergence - The 0th Act/Turning Point:Reverse...End

Gabung dalam percakapan